Anda di halaman 1dari 8

WIWIT

Namaku Rama, aku anak dari ayah Jaya dan ibu Reni. Ayahku seorang pegawai
pemerintahan. Pekerjaan ayahku di bidang pariwisata dan ekonomi kreatif. Sedang ibuku
adalah ibu rumah tangga yang selalu mengurusi aku dan keluargaku. Keluarga kami adalah
keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, aku dan adik perempuanku. Adik perempuanku itu
balita yang sangat lucu. Luna, panggilan dari namanya. Luna lahir Ketika aku mulai masuk
sekolah TK. Aku sangat sayang sama Luna. Luna lahir di Bandung, ketika ayah masih
bertugas di kota kembang itu. Saat ini ayahku sudah pindah tugas di kabupaten Magelang.
Ayah berkantor di daerah dekat candi Borobudur.

Dulu kami tinggal di Bandung. Sekarang, karena ayahku pindah tempat kerja,
kamipun juga ikut pindah tempat tinggal. Bukan hal yang baru bagi kami sekeluarga jika
harus berpindah-pindah. Semenjak aku lahir sudah 5 kali kami pindah tempat tinggal.
Sebenarnya itu adalah hal meribetkan, namun juga cukup menyenangkan. Ibuku selalu
bilang:

“Dimanapun kita tinggal itu bukan suatu masalah, yang penting kita tetap baik sama apapun
disekitar kita.”

Perkataan ibu tersebut yang selalu menyemangatiku ketika aku merasa kesal harus berpindah
tempat tinggal. Walaupun agak sulit untuk diterapkan, perkataan ibu memang benar adanya.

Saat ini aku duduk di kelas 5 SD. Dengan pindah tugasnya ayah dari Bandung ke
Magelang. Aku juga pindah sekolah. Dulu aku sekolah di SD Priangan. Kini di SDN
Borobudur 1. Suasana baru dengan teman baru termasuk dengan Bahasa yang baru. Teman-
teman baruku di Borobudur ini selalu menggunakan Bahasa Jawa untuk bercakap-cakap.
Aku, yang sama sekali tidak terbiasa berbahasa Jawa tidak paham dengan apa yang mereka
bicarakan. Aku selalu merasa minder ketika harus masuk sekolah. Bosan dengan teman-
teman yang tidak aku pahami bahasanya.

Pagi itu aku masuk sekolah seperti biasa. Tas ransel warna merah yang telah kuisi
dengan buku sesuai jadwal hari itu, ku taruh di bangku. Ku duduk sambil menungu guruku
masuk kelas. Arga, teman sekelasku yang kebetulan duduk disampingku menyapa,

“Rama, kamu sudah mengerjakan PR?” tanya Arga padaku.

“PR apa Ga?” tanyaku Kembali pada Arga


“PR dari bu Ratih soal membuat cerkak.” Jelas Arga kepadaku.

“Cerkak?????” tatapku heran dan bingung pada Arga.

“Iya, waktu kemarin kamu izin tidak masuk sekolah, bu Ratih memberikan tugas kepada kita
untuk mengarang sebuah cerkak.” Jelas Arga dengan antusias.

“Cerkak itu apa Ga?” tanyaku masih dengan nada heran.

“Cerkak itu crita cekak, kalau dalam Bahasa Indonesia biasa disebut cerpen, cerita pendek.”
Arga menjelaskan kepadaku.

“Berarti itu nulisnya harus pakai bahasa Jawa?” tanyaku pada Arga dengan suara lirih.

Belum sempat Arga menjawab pertanyaanku, Bu Ratih masuk kelas untuk memulai
pelajaran. Bu Ratih menjelaskan pelajaran dengan menyenangkan, terlihat dari teman-teman
sekelas yang begitu riang mengikuti pelajaran hari ini. Namun, tidak demikian dengan aku,
aku merasa gelisah, tidak nyaman mengikuti pelajaran. Aku masih kepikiran tentang tugas
cerkak tadi. Rasanya ingin sekali cepat pulang ke rumah. Malas untuk sekolah.

Pembelajaran terus berjalan di kelas sampai terdengar bel tanda pulang sekolah.

Teetttt……..teeetttttt….teeetttt….

Hatiku berasa sedikit lega, bekal dari ibuku sampai tidak aku makan karena hilang selera
makan. Bu Ratih menutup pembelajaran hari ini dengan berdoa bersama. Usai berdoa, aku
dan teman-temanku keluar kelas dengan bergantian bersalaman dengan Bu Ratih. Keluar
kelas aku duduk di bangku depan ruang guru. Tiba-tiba datang Ibu Guru Ratih
menghampiriku.

“Rama, kok masih duduk di sini, tidak pulang?” Tanya bu guru kepadaku.

“Belum ibu, saya masih menunggu ayah menjemputku.” Jawabku lirih kepada bu guru.

“Loh, kok kelihatannya lelah sekali kamu Ram?” tanya bu guru sambil duduk di sampingku.

“Nggak papa bu, mungkin karena saya sedang lelah bu.” Jawabku ke Bu Ratih, berusaha
menutupi apa yang aku pikirkan.

Mobil ayah sudah terlihat memasuki gerbang sekolah, aku bersiap-siap untuk
menghamipiri ayah. Sambil menggendong tas ranselku, aku berpamitan pada Bu Ratih.

“Ibu saya pulang dulu ya,” ucapku sambil menjulurkan tangan bersalaman dengan bu guru.
Bu Ratih menjawabku dengan mendoakanku. “Iya, hati-hati semoga selamat sampai rumah.”

***

Malam itu, saat aku duduk bersama dengan keluargaku. Tepatnya saat kami makan
malam. Ayah bertanya kepadaku,

“Rama, gimana di sekolah tadi, menyenangkan?”

“ Gimana ya yah, aku masih bingung dengan bahasa Jawa.” Jawabku atas pertanyaan ayah.

“Loh, emangnya pelajarannya pakai bahasa Jawa?” Kembali ayah bertanya padauk.

“Enggak ayah, tapi teman-temanku selalu berbicara dengan bahasa Jawa, aku tidak paham.”

“Tapi ketika pelajaran, kamu paham kan dengan penjelasan dari bu guru?” ayah Kembali
bertanya.

“Paham ayah, tapi aku bosan, aku tidak punya teman rasanya.” Jelasku pada ayah.

“Ya kamu harus berusaha untuk dekat dengan teman-teman kamu yang baru, biar kamu
punya teman.” Ayah menasihatiku.

“Tapi ayah, aku nggak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan, rasanya bosan sekali
sekolah. Aku pingin pindah sekolah saja.” Aku meminta pada ayah.

Ayah menatapku dengan mata tajam sambil bicara “Ya nggak semudah itu pindah sekolah
Rama, kalau begini saja kamu minta pindah, itu artinya kamu lari dari masalah.”

“Tapi ayah,” Aku sudah tidak berani menatap mata ayah.

Dengan suara lembut, ibu berbicara padauku, “Rama, anak ibu yang pintar, tidak ada masalah
yang berat kalau kita mau berusaha nak.” Ibu mengawali nasihatnya.

Aku hanya diam sambil menganggukkan kepalaku, tanda aku setuju dengan perkataan ibu.

“Begini nak, kalau kamu bosan sekolah karena tidak punya teman, maka kamu harus cari
teman.” Jelas ibu padaku.

“Tapi buk, aku tidak paham dengan bahasa Jawa. Bahasa yang selalu teman-temanku
gunakan di sekolah.” Aku berusaha membela diri.

“Nah, kalau itu masalahnya, berarti kamu yang harus belajar bahasa Jawa.” Ibu bicara dengan
nada tegas.
“Baik bu,” jawabku pada ibu dengan nada datar.

Mungkin ibuku mengerti perasaanku, maka beliau langsung mendekatiku dan memelukku
sambil berbisik, “Kamu tenang saja, ada banyak cara agar kamu bisa bahasa Jawa.”

Setelah berbisik padaku ibu mengambilkanku nasi dan menyuruhku mengambil lauknya.
Kamipun melanjutkan makan malam kami.

***

Minggu pagi, dengan terik Mentari yang belum menyengat Aku diajak ayah untuk
bersepeda. Aku dan ayahku terus mengayuh pedal sepeda kami. Pemandangan di sekitar
Candi Borobudur itu sangat indah. Pohon-pohon dengan kerindangan daunnya. Hamparan
hijau kuning tanaman padi. Perumahan warga yang berjejer rapi. Ada satu hal yang membuat
hatiku tertarik. Petani desa setempat yang sedang memanen padi. Akupun bertanya kepada
ayah.

“Ayah, kenapa petani-petani itu memanen padi yang sudah kuning?” tanyaku pada
ayah.

“Iya nak, karena padi yang sudah tua itu yang warnanya sudah menguning, kalau
yang masih hijau itu masih belum ada padinya.” Ayah menjelaskan

“Terus ayah, petani harus menunggu berapa lama untuk memanen padinya?” tanya
Rama kepada ayahnya.

“Tergantung jenis padinya apa, kan padi ada bermacam-macam jenisnnya nak. Tapi
kira-kira petani membutuhkan waktu kurang lebih tiga bulan.” Jawab ayah.

Rama mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda ia paham dengan penjelasan ayah.

“Ayo nak kita turun ke sawah, lihat para petani panen padi.” Sambil menyetandarkan
sepeda ayah mengajakku.

Tanpa berkata-kata aku terus turun dari sepeda dan mengikuti ayah. Kami mendekati
petani yang sedang panen padi. Ayah berbincang-bincang dengan para petani. Aku
mendengarkan mereka bicara dengan serius. Dalam hati aku bicara, ternyata ayah pintar
sekali berbahasa Jawa. Ayahku asalnya memang dari kota Semarang, karena nenek dan
kakekku asli Semarang. Tapi kalau bicara di rumah ayah selalu pakai bahasa Indonesia. Ayah
dan para petani semakin asyik mengobrol, karena bahasa yang mereka gunakan aku belum
begitu paham, maka aku jalan mendekati segerombol tanaman padi yang belum dipanen.

Ternyata di tengah gerombolan tanaman padi itu terdapat wadah, mirip nampan tapi
terbuat dari bambu yang dianyam. Di atas tempat tersebut ada beberapa macam makanan dan
buah-buahan. Aku berjalan mendekati bapak petani yang sedang duduk dipematang sawah
untuk istirahat. Aku beranikan diri untuk bertanya namanya dan melanjutkan dengan
pertanyaan lainnya.

“Maaf bapak, itu kenapa ya pak padinya kok dibiarkan, tidak ikut dipanen, dan ditengah-
tengahnya kok ada makanannya?” tanyaku dengan nada penasaran.

“Oh itu dinamakan wiwit nak, memang sengaja untuk tidak dipanen padi yang bergerombol
itu.” Pak Kardi menjelaskan padaku.

“Wiwit itu apa pak? Tanyaku tambah penasaran.

“Wiwit itu bahasa Jawa yang berarti mulai, jadi biasanya masyarakat Jawa itu kalau mau
memulai memanen padi, mengadakan tradisi wiwit terlebih dahulu nak.” Pak Kardi
menjelaskan dengan tenang.

“Terus kenapa pak orang-orang harus melakukan wiwit?” rasa penasaranku semakin tinggi.

“Namanya juga tradisi nak, sudah ada sejak jaman dahulu, kita tinggal meneruskan.” Masih
dengan nada tenang Pak Kardi menjelaskan.

“Iya ya pak,” tanggapanku atas ucapan pak Kardi.

“Sejatinya wiwit itu ungkapan doa dan syukur atas limpahan hasil panen yang telah diberikan
oleh Tuhan Sang Rabbi Illahi.” lanjut Pak kardi menjelaskan kepadaku.

“Terus gimana pak tradisi wiwit itu dilaksanakan?” tanyaku lagi.

“Dalam tradisi wiwit ada beberapa makanan dan buah-buahan yang disiapkan oleh petani
yang padinya sudah siap dipanen. Terus petani mengundang tetangga untuk kenduri di
rumahnya, dan sebagian makanan yang sudah didoakan di kenduri itu dibawa ke sawah, dan
diletakkan di sawah, begitu nak.”

Mendengar penjelasan Pak Kardi, aku hanya mengangguk-angguk. Dalam pikiranku


terbayang betapa orang-orang desa itu dermawan. Selalu berbagi dalam keseharian.
Merayakan kesenangan dengan berbagi melalui tradisi.
***

Sore hari sehabis mandi. Aku duduk di teras belakang bersama ibu dan Luna. Sambil
mengawasi Luna bermain, aku dan ibu berbincang-bincang. Kami berbincang tentang banyak
hal. Sampai ibu bertanya tentang tugas bahasa Jawa yang diberikan Bu Ratih. Aku langsung
teringat dengan pengalamanku tadi. Pengalamanku waktu bersepeda dan melihat petani. Aku
menceritakan pengalaman tadi pada ibu, ibu sudah paham maksudku. Cerita pengalaman itu
akan aku tulis sebagai cerita cerkak.

Aku minta izin pada ibu untuk mengerjakan PR ku, sambil mencium Luna yang asik
bermain, aku berlari mengambil buku dan pulpen. Aku kembali mendekati ibu,

“Ibu, aku mau mengerjakan PR ku tapi aku tidak bisa menulis yang berbahasa Jawa,”
rengekku pada ibu dengan harapan ibu bisa membantuku.

“Tenang aja nak, ayahmu itu pintar berbahasa Jawa, nanti minta bantuan aja sama ayah.”

“Baik ibuku saying, berarti ini aku kerjakan nanti saja, kalau ayah sudah pulang?” tanyaku
pada ibu.

“sekarang kamu tulis dulu pakai bahasa Indonesia, nanti kalau ayah sudah pulang baru
dijadikan bahasa Jawa.” Jelas ibu padauk

Aku anggukan kepalaku tanda aku paham dengan perkataan ibu. Aku tulis tugas cerita
cerkakku, dengan rasa senang aku terus menulis, meskipun masih dalam bahasa Indonesia.

Kutunggu-tunggu ayah pulang ke rumah. Terdengar suara salam dari ayah. Aku jawab
salam itu dan ku berlari menghampirinya. Aku tawari ayah mau minum apa. Ku ajak ayah
duduk di teras belakang. Sambil ku bawakan kopi pahit panas kesukaan ayah, aku minta
tolong sama ayah.

“Ayah, aku sudah buat cerita yang disuruh Bu Ratih, tapi masih dalam bahasa Indonesia.”
Jelasku pada ayah sambil memijit lengan ayah.

“Terus?” tanya ayah padauk.

“Begini ayah, aku kan belum bisa bahasa Jawa, ayah kan pintar bahasa Jawa.”

“Emang, ayah kan pintar,” jawab ayah sambil tertawa.

“Iihhh ayah,” jawabku terus berhenti memijit ayah.


“Oke, ayah paham maksudmu, ayo diambil ceritamu, ayah bantu mengubah jadi bahasa
Jawa.” Perintah ayah padauku.

Aku dan ayah saling berdiskusi untuk membahasakana Jawa ceritaku, dengan bimbingan
ayahku yang pintar akhirnya tugasku selesai.

Tugas dari bu Ratih sudah terselesaikan, perasaanku jadi lebih nyaman. Semenjak hari itu aku
jadi lebih semangat bersekolah. Aku memang belum bisa berbahasa Jawa seperti teman-
teman yang lain. Tapi aku akan terus belajar, karena sebenarnya kita yang harus bisa memulai
untuk jadi lebih baik.

****
BIODATA

Dwi Ratna, lahir di Kabupaten Magelang, 28 Juni 1992. Tinggal di Desa Soronalan,
Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. Sekarang mengajar di SMPN 2 Kota Magelang.

Anda mungkin juga menyukai