Anda di halaman 1dari 4

NAMA : NORALIZA RECHA ARDZETY

KELAS: XII IPS 4

TEMA :PENDIDIKAN
TOKOH DAN KARAKTER:
• ASEP(Aku) :Protagonis
• PAK UJANG :Protagonis
• PAK RAHMAT :Tritagonis
• ILMAN :Antagonis
• EMA :Tritagonis
• ABAH :Tritagonis
ALUR :CAMPURAN
LATAR TEMPAT :SEKOLAH DAN RUMAH
LATAR WAKTU :PAGI, SIANG DAN SORE
LATAR SOSIAL :MISKIN
Sekolahku di Pedalaman
Sudah lima tahun aku belajar di sekolah "Budi Harapan" ini sekolah aku berada di
daerah Pedalaman, kondisi sekolahnya sangat sederhana hanya ada tiga kelas. Dindingnya
terbuat dari papan dan kulit kayu, sementara atapnya terbuat dari daun sagu atau sering disebut
daun rumbia oleh suku Pedalaman. Meja dan kursinya terbuat dari papan yang di buat
memanjang, dan papan tulis hitam berukuran 1x2 meter menggantung di depan kelasnya.
Sekolah aku hanya berlantaikan tanah, kalau hujan turun airnya akan masuk kedalam kelas
hingga menjadi becek.
Sekarang aku sudah kelas enam, hanya ada empat orang murid dikelasku. Sedangkan
guru yang mengajar disekolahku hanya ada dua orang, Pak Ujang dan Pak Rahmat. Mereka
mengajar dari kelas satu sampai kelas enam. Dalam belajar, aku dan teman-temanku senang
sekali berbaur dengan guru seperti mengerjakan latihan misalnya, kita akan mengerjakan dan
memecahkannya bersama sama.
Dari empat murid itu hanya Ilman satu-satunya murid yang susah diatur dan sering
mengejek teman temannya termasuk aku. Contohnya minggu lalu, Ilman menempelkan bekas
permen karet ke bangkuku dan saat ditegur oleh Pak Rahmat, Ilman malah tidak mengaku.
“Manaku tau, lagian cuma permen karet kok ribet banget sih," ucap Ilman sambil pergi
meninggalkan Pak Rahmat dan aku.
Namun sudah seminggu sampai hari ini Ilman tidak masuk sekolah tanpa keterangan.
Aku sempat merasa cemas karena Ilman sudah lama tidak masuk sekolah, tetapi disisi lain aku
juga merasa lega karena tidak ada yang menganggu aku dan teman temanku seperti biasanya.
Pulang sekolah hari ini aku dibonceng Pak Ujang naik sepedah ontel seperti biasanya.
Aku sering pulang bersama Pak Ujang karena rumah kita searah, jarak rumah ke sekolahku 4
kilometer. Jadi setiap jam 6 pagi aku sudah harus berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki
melewati jalan setapak dan kebun-kebun kacang.
"Pak Ujang hari ini memancing ke sungai lagi? Boleh Asep ikut?.” tanyaku.
“Bapak hari ini memetik buah kelapa di kebun, Sep. Uang belanja sudah menipis, besok
kalau kelapa-kelapa itu sudah terjual, bapak pasti ajak Asep memancing di sungai.” Janji Pak
Ujang.
Aku sedih mendengarnya, sudah lelah mengajar di sekolah Pak Ujang harus memanjat
pohon kelapa lagi sesampainya dirumah. Kalau tidak, keluarganya tidak bisa makan karena
dengan menjual buah kelapa itulah Pak Ujang bisa mendapatkan uang untuk mencukupi
kebutuhan keluarganya. Pak Ujang tidak menerima gaji mengajar di sekolah, karena Pak Ujang
hanya tamatan smp. Tapi niat baiknya ingin memajukan kampungku supaya bebas buta huruf
dan pandai berhitung, memang patut diacungi jempol.
Satu tahun yang lalu ada guru bantu yang di pindah tugaskan dari kota ke kampungku.
Betapa gembiranya aku waktu itu, aku berharap kehadiran mereka bisa memberikan kemajuan
bagi sekolahku. Namun harapanku itu kemudian pupus sebulan mengajar, mereka hanya empat
kali datang kesekolahku. Bulan berikutnya, mereka tak pernah datang-datang lagi ke sekolah.
Ah, mungkin mereka tak terbiasa dengan keadaan kampungku yang terpelosok jauh dari
keramaian kota.
Suatu hari Pak Ujang pernah bertanya kepadaku tentang cita-citaku "Apa cita-citamu,
Asep?,”
"Aku ingin seperti Bapak!.” Jawabku dengan mantap.
" Menjadi guru?.” Pak Ujang tersenyum.
Aku mengangguk, "Aku ingin membuat kampung ini menjadi maju. Aku ingin semua
orang bisa membaca dan berhitung. Kalau orang-orang di kampung ini sudah bisa membaca
dan berhitung, pasti mereka bisa membangun kampung ini menjadi lebih maju.”
Mata Pak Ujang tampak berkaca-kaca mendengar penuturanku,”Pendidikan di
kampung ini memang sangat menyedihkan. Tak ada guru-guru yang mau mengajar di
kampung ini. Apalagi kebanyakan anak-anak seusiamu memilih berkerja di ladang membantu
orang tua mereka daripada pergi kesekolah.”
Ditengah perjalanan aku dan Pak Ujang bertemu dengan Ilman,
"Hei Ilman, kemana saja kamu seminggu ini tidak masuk sekolah, teman-teman dan
Pak Rahmat sangat khawatir." tanya Pak Ujang.
“Maaf Pak, Ilman mau pindah sekolah. Sebenarnya besok Asep mau ke sekolah untuk
pamitan sama teman-teman dan bapak guru, sekali Ilman mau minta maaf atas kelakuan Ilman
yang selalu membuat masalah di sekolah.”
“Ilman juga minta maaf sama Bapak dan Asep, terutama buat Asep. Ilman minta maaf
karena sering jailin Asep dan teman teman." Lanjut Ilman meminta maaf kepada Asep dan Pak
Ujang.
“Gapapa Ilman, Asep sudah memaafkan Ilman.” Balas Asep kepada Ilman.
“Bapak juga sudah memaafkan Ilman, tapi ingat jangan sampai diulang lagi disekolah
yang baru ya Ilman.” Kata Pak Ujang menasehati Ilman.
"Terimakasih ya Asep, dan terimakasih Pak Ujang. Ilman janji tidak akan pernah
mengulangi hal yang sama di sekolah yang baru." ucap Ilman gembira.
Sesampainya dirumah air mataku menetes, teringat perkataan Pak Ujang tentang
Pendidikan di kampung yang sangat menyedihkan, aku sedih sekali. Di rumah, seharusnya
Abah dan Emak bisa membimbingku belajar dan mengerjakan PR tapi mana mungkin, kedua
orang tuaku tidak pandai membaca dan menulis. Malah suatu ketika Abah dan Emak
memintaku untuk mengajari mereka membaca, menulis dan berhitung. Wah... Bagaimana
mungkin? Apa aku bisa? Ah, tapi akhirnya kucoba juga. Setiap hari setelah pulang sekolah,
aku pun mengajari orang tuaku membaca, menulis dan berhitung.
"Abah bangga padamu, Jang. Anak sekecil kamu sudah pandai mengajari Abah dan
Emakmu membaca, menulis dan berhitung.” ujar Abah memujiku.
"Emak juga bangga, Jang. Berkat kamu sekolah, Emak dan Abahmu jadi tak bodoh
lagi. Emak dan Abahmu sekarang sudah bisa membaca walaupun masih mengeja.” kata Emak
lalu mencium kepalaku.
"Terima kasih," ucapku terharu. “Ini juga berkat Abah dan Emak yang mau
menyekolahkanku hingga aku menjadi pintar dan bisa mengajari Abah dan Emak di rumah,
hehe..." Abah dan Emak memelukku, dan menciumi kedua pipiku dengan penuh rasa sayang
dan cinta. Ah, kelak, aku harus bisa membangun kampung ini menjadi lebih maju! Aku ingin
semua orang di kampung ini bisa membaca, menulis dan berhitung.
AMANAT: Kemiskinan bukanlah alasan untuk berhenti menimba ilmu dan bukan tak
mungkin sebuah sekolah kecil dengan segala keterbatasannya ternyata mempunyai anak yang
bertekad kuat ingin bercita-cita menjadi guru demi memajukan kampungnya ke arah yang lebih
baik. Selain itu juga kita diajarkan untuk menjadi manusia yang mempunyai sopan santun, taat
kepada kedua orang tua, selalu bersyukur dan memaafkan kesalahan yang pernah orang lain
lakukan terhadap kita.

Anda mungkin juga menyukai