Anda di halaman 1dari 6

SCENE 1

Di aula sekolah, ketika acara penerimaan rapor yang dibawakan oleh Kepala Sekolah dan
dihadiri oleh orang tua siswa.
Kepsek : “Terlanjur kita yang merasakan betapa sulitnya hidup ini karena dahulu kita tidak
bersekolah, jangan sampai anak-anak kita kelak mengalami hal yang sama.”
Acara penerimaan rapor selesai
Isrul bergumam dalam hatinya
“ Kalimat itu selalu dilontarkan Pak Rahmat untuk mengubah pola pikir masyarakat di desaku.
Tapi itulah kenyataannya, sebagian orangtua siswa hanya mendengar saja, sesudah itu pulang ke
rumah dan sibuk dengan urusan sawah, kebun, sapi, dan berbagai mata pencaharian lainnya.
Tidak ada respon. Salah seorang di antara mereka adalah ayahku. Baginya, ungkapan itu bagai
angin yang berlalu saja “

SCENE 2
Di rumah Isrul
Isrul : “Ibu, bagaimana mi itu yang kutanyakanki? Sudahmi disampaikan ke Bapak?
Ibu : “Bagaimana Pak?”
Bapak : “Dulu saja tidak ada sekolah di desa ini. Kan sekarang sudah ada. Kenapa mau pergi jauh jauh
lagi nak?”
Isrul : “Itukan dulu pak. Sekarang adami juga sekolah di kota Kecamatan pak. Bagus sekolahnya,
sering ikut lomba lomba sampai ke tingkat nasional.”

Bapak :” “Matempo to anana’, ye. Sudah, jangan banyak bicara, tahu apa kau tempo dulu.”
Setelah itu, Bapak beranjak dan pergi ke kamar.

Ibu : “Sudahlah, Nak. Turuti saja kata ayahmu,”


Isrul : “Bu, saya mau sekolah di kota,” katanya mengiba
Ibu : “Untuk apa kau sekolah di kota? Di desa sebelah kan sudah ada SMP.” Sudah kuduga
bahwa ibuku pasti berpihak kepada ayahku.
Isrul : “SMP di sini tidak sama dengan SMP di kota, Bu.”
Ibu : “Ah kau itu, ada-ada saja jawabanmu, di kota namanya SMP, di sini juga namanya
SMP. Apanya yang tidak sama?”
Isrul : “Namanya memang sama, Bu. Tapi cara belajarnya tidak sama.”
Ibu : “Memangnya di kota belajar apa?”
Isrul :“Anu, Bu.”
Ibu : “Ah, sudah. Itu sapi belum minum, lebih baik kau ambil ember lalu ambil air dari
sumur. Sebentar lagi ayahmu pulang. Ia akan marah jika tahu sapi itu belum kau
berikan air,”
Itulah jawaban pamungkas ibu. Meskipun aku kesal dengan sikap ibu, itu kulakukan juga.
SCENE 3
Di sekolah, Ibu Sahida masuk ke ruangan kelas.
Ibu Namirah : Assalamualaikan Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat pagi anak – anak.
Anak – anak : Waalaikumsalam Bu.
Ibu Namirah : Ibu akan menyampaikan sebuah pengumuman penting. Sehubungan dengan
peringatan Hardiknas .Semua sekolah di Kecamatan diisyaratkan mengutus perwakilan untuk
berlomba. Seleksi siswa berprestasi dimulai dari tes pengetahuan, meliputi Matematika, Bahasa
Indonesia, IPA, dan IPS. Tes selanjutnya adalah Hasta Karya. Bagi siswa yang berminat untuk
mengikuti lomba tersebut, bisa datang ke Ibu Sahida pada jam pulang sekolah untuk kemudian
diseleksi siapa yang akan mewakili sekolah kita.

SCENE 4
Setelah membersihkan dengan semangat Isrul berlari ke ruang guru untuk menghadap ke Ibu
Sahida karena takut terlambat.
Isrul : “Assalamualaikum. Maaf saya terlambat bu, masih bisa ji kah saya mendaftar
untuk lomba Hardiknas bu?
Ibu Sahida : “Waalaikumusalam, duduk mi dulu nak.”
Kata nya sambil tersenyum membuat Isrul bingung dengan maksud dari senyuman itu.
Ibu Sahida : “Sejauh ini hanya kamu Isrul yang datang ke ibu untuk mendaftar. Sepertinya
anak anak yang lain tidak berminat. Otomatis kamu yang akan mewakili
sekolah kita.”
Isrul : “Alhamdulillah terima kasih bu”
Ibu Sahida : “Iye nak. Nanti Ibu yang akan langsung membimbing kamu untuk persiapan
lomba.”
SCENE 5
Menjelang lomba, Bu Sahida, guru kelasku, memberiku bimbingan. Bahkan aku diminta untuk
datang ke sekolah sore hari. Tapi tidak semudah itu untuk minta izin ke sekolah mengikuti
kegiatan sore. Setiap hari, sepulang sekolah aku menghabiskan waktu di sawah atau di kebun
membantu orangtuaku. Tak pelak lagi, jika waktu panen kadang orangtuaku tak peduli dengan
kegiatan sekolah.
Bapak : “Rul, nanti ikut ke sawah, ya!”
Isrul : “Tapi, Pak, sore ini aku mau ke sekolah.”
Bapak : “Ke sekolah, untuk apa? Ini kan sudah sore.”
Isrul : “Mau belajar sore, Pak.”
Bapak : “Apa tidak cukup waktu belajarmu pagi sampai siang?”
Isrul : “Kata guruku aku akan diutus mengikuti lomba siswa berprestasi. Aku mendapat
tambahan belajar di sore hari.”
Bapak : “Ah, ada-ada saja alasan kau. Sudah, jangan banyak bicara, ikut ke sawah.”
Isrul :“Tapi, Pak….”
Bapak : “E…. gurumu itu orang desa ini juga. Pasti tahu bahwa saat ini musim
maddongi. Besok kau menghadap, sampaikan bahwa kau membantu Ayah di sawah. Nah, pasti
gurumu mengerti mengapa kamu tidak ke sekolah.”
Isrul terpana. Jawaban Bapak benar-benar membuatnya hampir menangis histeris.

SCENE 6
Di perjalanan pulang
Isna : “Deng, Bagaimana kalau pergiki ke rumah kakek , sampaikan masalahta. Kan hanya dia
yang mampu menunddukkan ayah.
Isrul hanya memikirkannya dan apa boleh buat besok sepulang sekolah dia akan pergi ke rumah
kakek untuk membicarakannya.

SCENE 7
Esok harinya, sepulang sekolah Isrul tidak langsung pulang ke rumah. Diayunkan sepedanya
menuju rumah kakek.
Kakek : “Rul, kenapa kamu lesu,” tanyanya.
Isrul : “Anu, Kek, mungkin nanti aku tidak dapat rangking.”
Mendengar kata rangking, sudah pasti iyye’-ku akan merespon perkataanku.
Kakek : “Wah, kenapa kamu tidak bisa rangking?”
Isrul : “Karena akhir-akhir ini bapak sering ajak Isrul ke sawah. Jadi, banyak pelajaran
yang Isrul tidak ketahui.”
Kakek :“Ya sudah, tidak usah sedih. Nanti kusampaikan pada ayahmu. Kau ke dalam,
makan dulu lalu pulang

SCENE 8
Malam harinya kakekku datang menemui ayah. Aku purapura tidur dan mulai memasang telinga
untuk menyimak pembicaraan mereka
Kakek : “Asssalamualaikum.”
Bapak : “Waalaikumsalam. Poleki mabbere jama’ Etta,”
Isrul mendengar dengar suara bapak menyapa kakeknya.
Kakek :“Iya, sekalian ketemu Pak Dusun.”
Bapak : “Ada apa dengan Pak Dusun.”
Kakek : “Itu, persiapan tudang sipulung.”
Isrul mencoba berpikir bagaimana memancing perhatian mereka agar pembicaaan mereka
berpindah ke masalahnya.
Isrul mrebahkan pelan-pelan kepalanya, lalu pura-pura menggeliat sambil mengeluarkan suara
geliat: “Akhhh….”
Bapak :“Isrul, Tetta.... Dari tadi tertidur, mungkin capek dari sawah,”
Siasatku berhasil. Ingin rasanya aku melompat kegirangan. Pelanpelan aku bangkit. Tiba-tiba
aku mendengar iyye’ mulai menyampaikan kepada ayah perihal masalahku. Kumaksimalkan
pendengaranku.
Isrul :”Ya, Allah, berikanlah rahmat-Mu pada hamba-Mu ini,” doanya.
Dari bilik kamar Isrul mendengar kakeknya mulai menyampaikan apa yang ia keluhkan.
Kakek :“Jangan terlalu memaksa anakmu bekerja. Dia kan masih anak-anak, lagi pula
dia bersekolah.”
Demikian nasihat iyye’ kepada ayah.
Bapak : “Bukan memaksa, Tetta. Saya hanya mengajarkan untuk pembiasaan tidak
malas, seperti halnya Tetta yang selalu mengajarkan saya dulu,”
Kakek :“Iya, tindakanmu itu tidak salah, tapi masa saat kau masih anak-anak sudah tidak
sama dengan masa anak-anak sekarang.”
SCENE 9
Esok harinya, aku menghadap Bu Sahida, menyampaikan bahwa aku tidak bisa ke sekolah sore
hari. Alhamdullilah, Bu Sahida cukup bijaksana. Dia memberiku bahan lomba untuk dipelajari di
rumah.

SCENE 10
Semua bahan tersebut aku bawa ke sawah. Aku membantu ayah di sawah. Tugasku adalah duduk
di dangau mengusir sekawanan burung pipit yang hinggap di batang padi.

SCENE 11
Di mobil
Tibalah saatnya aku berlomba, aku diantar oleh Pak Rahmat, kepala sekolahku, dan Bu Sahida,
guru kelasku. Bu Sahida menenteng hasta karyaku yang sebelumnya sudah dikemas dengan
menggunakan bekas kardus indomie. Dalam perjalanan tak henti-hentinya kedua guruku itu
memberikan motivasi dan semangat. Bahkan berjanji, jika aku juara, mereka akan membantuku
meyakinkan ayahku agar aku bisa lanjut sekolah di kota.

SCENE 12
Seperti dugaanku, bahwa aku pasti akan menemukan persaingan yang lebih ketat dibanding
dengan di sekolahku. Aku bertemu dengan siswa jempolan dari berbagai sekolah di wilayah
kecamatan. Aku bertemu dengan siswa perempuan yang penampilannya sudah menunjukkan
kepintarannya. Namanya Anisah. Kacamatanya tebal; badannya agak kurus, sepertinya lebih
senang belajar daripada makan dan mungkin kurang tidur saking seringnya belajar.
Aku juga bertemu dengan Munawar, seorang laki-laki dengan penampilan cuek. Dari seragam
sekolah yang dia pakai, aku menebak bahwa ia dari salah satu sekolah yang berdomisili di
ibukota kecamatan. Sejak datang ia hanya duduk. Matanya melolot ke buku yang dipegangnya.
Keseriusannya belajar seperti kobaran api yang takkan padam oleh siraman air.
Selain nama yang kusebutkan di atas, aku juga mengenal Anwar. Orangnya mudah dikenal
karena humoris dan suka bertingkah lucu. Karena humorisnya itu, sekejap ia mejadi populer.
Guru lain : “Apa cita-citamu?”
Anwar : “Mau jadi astronot dan menginjakkan kaki di matahari”
Guru lain : “Wah tidak mungkin, kau akan terbakar,”
Anwar : “Saya akan naik ke matahari pada malam hari,” jawab Anwar membanggakan
diri.
Jawaban Anwar sontak membuat orang di sekitarnya tertawa tekekeh.

SCENE 13
Lalu lonceng berbunyi
Aku pamit pada Pak Rahmat dan Bu Sahida. Sebelum masuk ruangan, Bu Sahida menepuk-
nepuk pundakku sementara Pak Rahmat mengelus-elus kepalaku.
Waktu 150 menit berlalu tepat saat bel tanda ujian tulis berakhir. Panitia lalu menghampiri kami,
mengumpulkan lembar soal dan jawaban satu per satu. Kuserahkan lembar soal dan jawabanku
dengan tangan gemetar. Panitia yang menerima pun tersenyum melihat tingkahku itu.
Pandanganku kuarahkan ke pintu ruangan, terlihat guru-guru pendamping berdesakan, seakan tak
sabar ingin menjemput siswa masing-masing. Aku keluar dari ruangan.
Seperti guru lain, Bu Sahida pun menjemputku dengan pertanyaan
Bu Sahida : “Bagaimana pekerjaanmu, Rul.”
Isrul : Sambil menghela nafas panjang. ”Cukup sulit, tapi kujawab semua, Bu.”
Bu Sahida : “Ya, mudah-mudahan banyak jawabanmu benar.”
Aku tak mampu menatap lama raut wajah guruku itu. Terlihat olehku raut muka yang cemas-
cemas berharap.
Sejam kemudian, hasil ujian diumumkan. Dari balik kaca jendela, panitia hanya menempelkan
peringkat 1 sampai 10. Betapa girangnya Bu Sahida saat mengetahui bahwa namaku berada di
urutan ke-2 dari 10
Isrul : “Siapa di urutan pertama Pak?”
Pak Rahmat : “Namanya Anisah .................. dari SMA ....................

SCENE 14
Saat yang mendebarkan tiba. Setelah diundi, urutan pertama yang tampil adalah Anisah, Si
Kacamata Tebal, di susul Si Humoris, Anwar. Semetara, aku urutan ketiga. Anisah menampilkan
bunga yang terbuat dari pipet minuman, sementara Anwar menampilkan miniatur rumah
bersusun yang terbuat dari spons gabus. Melihat karya kedua temanku itu, aku merasa sedikit
minder. Betapa tidak, karya kedua temanku itu begitu mempesona. Namun, terbayang wajah
kedua guruku yang sangat berharap pada diriku. Itu membuat aku berusaha untuk membangun
kembali nyaliku yang hampir runtuh. Saat giliranku tiba, kukeluarkan karyaku dari kardus.
Sesuai dengan arahan panitia, kujelaskan sekilas tentang karyaku itu. Termasuk ketika panitia
bertanya tentang alat dan bahan, cara membuat, dan fungsinya. Semua itu aku lalui dengan
lancar, karena memang pada dasarnya aku sudah terbiasa mencari bahan dan membuat jebakan
burung pipit yang berminiatur rumah. Satu per satu peserta tampil di depan mempresentasikan
hasil karyanya.

SCENE 15
Seorang yang mengenakan stelan jas dan dasi, keluar dari ruangan disusul beberapa panitia. Dari
keterangan Bu Sahida, kutahu bahwa beliau adalah Kepala UPTD Pendidikan di kecamatanku.
Betapa girang dan bahagianya kami bertiga. Saat Kepala UPTD menyebut namaku sebagai
peringkat pertama. Aku lalu menangis, saat Bu Sahida memelukku sambil meneteskan airmata
bahagianya. Lagi-lagi usapan lembut Pak Rahmat kurasakan di kepalaku. Sebuah piala dan
selembar piagam serta bukubuku bacaan kuterima.

SCENE 16
Saat tiba di rumah, aku berlari menemui ibuku dan menceritakan bahwa aku juara satu. Mulanya
ia tidak percaya, tapi melihat piala dan piagam yang kupegang, ibuku menangis dan memelukku.
Ibu :”Ayahmu akan bangga, Rul,” kata ibu saat melepas pelukannya.
Aku pamit sama ibu, untuk menemui ayahku yang masih berada di sawah.

SCENE 17
Aku berlari menelusuri pematang sawah sambil memeluk erat pialaku.
Isrul : “Ayaaaah… aku juara satu,” teriakku saat tiba di dekat dangau.
Dari atas dangau, ayahku menjulurkan tangannya meminta piala yang masih kudekap.
Mata ayahku tak berkedip memandang piala itu. Ia lalu menarik nafas`panjang dan menatapku.
Bapak : “Rul, kau betul-betul mau sekolah di kota.”
Isrul : “Iya, Ayah. Mau sekali,” jawabku spontan.
Bapak : “Kalau kau dapat juara di kabupaten, aku izinkan.”
Betapa gembiranya aku mendengar penyataan ayahku. Aku lalu meluapkan kegembiraanku
menarik tali kelentang.
Isrul : “Heyaaaaaa… aku akan melanjutkan sekolah….” “Heyaaaaaa… sekolah di
kota….”

Anda mungkin juga menyukai