Anda di halaman 1dari 4

CITA-CITA UNTUK AYAHKU

Namaku Ardi Permana. Aku tak pernah membayangkan akan bisa kuliah di perguruan tinggi.
Setelah lulus SMA aku berencana untuk bekerja di pabrik. Hal itu mengingat akan pekerjaan
orang tuaku sebagai seorang buruh tani. Penghasilan sebagai seorang buruh tani hanya cukup
untuk makan, Sedangkan Ibuku hanya sibuk mengurus rumah tangga. Hal itu sempat membuatku
patah semangat untuk mengenyam bangku perkuliahan. Tapi, Ayah selalu membangkitkan
semangatku untuk semua itu. Karena ia melihat kalau anaknya ini masih memerlukan
pendidikan.

“Ardi, sekarang kamu sudah tamat SMA nak, apa langkah kamu selanjutnya untuk masa
depanmu?” tanya Ayah dengan serius ketika kami sekeluarga sedang berkumpul bersama.

“Entahlah Ayah, saya sendiri juga bingung. Jalan mana yang mesti saya tempuh” jawabku
dengan nada yang putus asa. “Apakah kamu berminat untuk kuliah?” “minat!! Tapi…” .

“kalau kamu minat akan Ayah usahakan” jawab Ayah dengan cepat. “yang benar Ayah?”

“ya, supaya kamu tidak mengikuti jejak Ayah” jawab Ayah dengan menyakinkan.

Karena mendengar hal itulah aku bersemangat untuk masuk kuliah. Hingga aku bisa kuliah
perguruan tinggi swasta di Surabaya. Untuk menghemat biaya, aku lebih memilih untuk
mengontrak di salah satu rumah di sekitar tempatku kuliah. Kebetulan, saat itu ada kontrakan
rumah yang sangat murah hanya Rp. 500.000 per tahun. Dalam satu kamar itu dihuni oleh tiga
orang temanku yang juga merupakan mahasiswa di perguruan tinggi yang sama.

Hari itu merupakan hari pertamaku kuliah di kampus tersebut. “Apakah aku sanggup bersaing
dengan teman-temanku yang lain?” pikirku dalam hati. “ Ah..demi cita-cita ayah, aku tidak boleh
menyerah..SEMANGAT!!!”. Sesampainya di ruang perkuliahan, aku melihat bangku-bangku
yang tersusun rapi dan teman-teman yang datang lebih duluan. Di pojok kiri paling belakang
menjadi tujuan tempat dudukku. Setelah itu tiba-tiba datanglah seorang lelaki tua kurus
mengunakan kacamata.

LIFE FOR MY FATHER

My name is Ardi Permana. I never imagined I would be able to go to college. After graduating
from high school I planned to work in a factory. That is considering the work of my parents as a
farm laborer. Income as a farm worker is only enough to eat, while my mother is only busy
taking care of the household. That had discouraged me from going to college. But, Father always
aroused my enthusiasm for all that. Because he saw that this child still needed education.

"Ardi, now you have finished high school, son, what are your next steps for your future?" Father
asked seriously as our family gathered together.
"I don't know, Dad, I'm also confused. Which way should I go "I replied in a desperate tone.
"Are you interested in studying?" "Interest !! But ... "

"If you are interested, I will try," answered Father quickly. "Who is right, Father?"

"Yes, so you don't follow in the footsteps of Daddy" my father assured me.

Because I heard that I was excited to go to college. Until I can study in private universities in
Surabaya. To save costs, I prefer to contract at one of the houses around my college. Incidentally,
at that time there was a rented house that was very cheap for only Rp. 500,000 per year. In one
room it was occupied by three of my friends who were also students at the same college.

It was my first day studying at the campus. "Can I compete with my other friends?" I thought to
myself. "Ah ... for my father's dreams, I can't give up ... LOVELY !!!". Arriving at the lecture
hall, I saw neatly arranged benches and friends who came first. In the left rear corner is my
destination. After that suddenly a thin old man came wearing glasses.

“oh rupanya begini tampilan seorang dosen itu” pikirku dalam hati. Karena semenjak SMA aku
membayangkan kalau dosen itu masuk ke ruangan mengenakan jas. Hari pertama kuliah tidak
langsung masuk ke pembelajaran. Kegiatan hari pertama waktu itu hanya diisi dengan
penyampaian materi-materi yang akan diajarkan dalam satu semester serta pengenalan diri
masing-masing ke depan. Perkuliahan hari itu tak berlangsung lama. Paling lama satu jam kami
sudah ke luar.

Untuk sampai ke rumah kontrakan, aku memilih untuk berjalan kaki. Kebetulan saat itu ada juga
sekelompok teman yang laki-laki pulang bersama. Ku putuskan untuk bergabung dengannya.
“hei!! Kita satu jurusan bahasa inggris kan? Tanyaku. “iya, namanya siapa tadi?”
Ia menjulurkan tangannya untuk bersalaman. “namaku Ardi permana, kamu dapat memanggilku
Ardi!” jawabku. Di perjalanan kami berbicara banyak dan akhirnya kami semua menjadi teman
akrab.

Seminggu telah berlalu. Sebagian besar dosen ada yang telah masuk ke materi perkuliahan.
Pertama awal pembelajaran kami sudah diberi oleh dosen setumpuk tugas. Untuk meringankan
tugas-tugas dari dosen, kami membentuk kelompok belajar yang beranggota terdiri dari 7 orang.
Setiap tugas-tugas yang diberikan oleh dosen, selalu kami kerjakan bersama.

"Oh, this is how a lecturer looks," I thought to myself. Because since high school I imagined that
the lecturer entered the room wearing a suit. The first day of the lecture did not go straight into
learning. The first day's activities were only filled with the delivery of materials to be taught in
one semester and the introduction of each one in the future. The day's lecture did not last long.
For at least one hour we have been out.
To get to the rented house, I chose to walk. Incidentally, at that time there was also a group of
friends who had come home together. I decided to join him.

"Hey!! We are an English department, right? I asked. "Yes, whose name was that?"

He reached out to shake hands. "My name is Ardi permana, you can call me Ardi!" On the trip
we talked a lot and finally we all became close friends.

A week has passed. Most of the lecturers have entered the lecture material. The first lesson we
have been given by lecturers is a stack of assignments. To lighten the duties of the lecturers, we
formed a study group of 7 people. Every assignment given by lecturers is always done together.

Mendekati akhir semester. Kuliahku makin sibuk, tugas semakin banyak. Aku dan teman-teman
merasa Sebal. Aku semakin sebal karena buku di perpustakaan di tempatku tak begitu lengkap.
Hampir saja semangat kuliahku hilang waktu itu. Tapi, kata-kata Ayah masih teringat di
telingaku. Ia pernah mengatakan, “ Ardi, kuliah kamu tidak boleh putus di tengah jalan.
Meskipun lelah kamu harus ingat masa depan mu!”. “oke...Ardi kamu tidak boleh menyerah,
gumam dalam hati. Aku tak ingin mengecewakan Ayahku dengan memperlihatkan nilai yang
rendah padanya.

Seiring berjalannya waktu, hari UAS pun datang dengan begitu cepatnya. Ku curahkan semua isi
otak yang telah ku isi selama ini. Dan Alhamdulillah, hasilnya cukup memuaskan. Nilai itu
langsung ku bawa ke kampung untuk ku perlihatkan kepada kedua orang tuaku. Betapa
senangnya Ayah melihat nilaiku. Ia merasa jerih payahnya selama ini untuk menguliahkanku
tidak sia-sia. Berkali-kali aku dipeluknya. Nilai semester satuku itu menjadi kado termanis untuk
ulang tahun pernikahan kedua orangtua ku.

Tiga setengah tahun berlalu. Semester demi semester ku lalui sekarang tibalah pada tugasku yang
terakhir, yaitu menyusun sebuah skripsi demi memperoleh ijazah S1. Ku tumpahkan segenap
kemampuan yang ku punya. Dan hasilnya cukup memuaskan pembimbing, walaupun skripsi itu
sudah berulang-ulang kali disuruh oleh pembimbing untuk mengulangnya. Gambaran untuk
wisuda sudah ada di depan mata. Itulah saat yang paling ku dambakan. Saat itu adalah saat ku
mengganti jerih payah yang orangtuaku untuk menjadikan aku orang yang penuh dengan
pendidikan.

Tepat pada hari saat ku wisuda, terlihat Ayah dan Ibu berjalan dengan ukiran senyuman yang
terpancar di mukanya. Air matanya sempat menetes ketika melihat anaknya mengenakan pakaian
wisuda dan toga yang menutupi kepala. Ku cium tangan kedua orangtuaku, sebagai tanda untuk
menyambut kedatangannya. Terima kasih ayah inilah cita-cita yang selama ini kau impikan,
untuk melihat anak laki-laki mu sukses. END
Nearing the end of the semester. My lecture is getting busy, more and more assignments. Me and
my friends feel annoyed. I'm getting annoyed because the books in the library in my place are not
very complete. Almost my enthusiasm for college disappeared at that time. But, Father's words
still remembered in my ears. He once said, "Ardi, your lecture should not break up in the middle
of the road. Even though you are tired you have to remember your future! " "Okay ... Ardi you
can't give up, muttered to myself. I don't want to disappoint my father by showing a low value to
him.

Over time, the UAS day came so quickly. I pour out all the contents of the brain that I have filled
up so far. And Alhamdulillah, the results are quite satisfying. I immediately took that value to the
village for me to show my parents. How happy Father is to see my grades. He felt that his efforts
so far to raise me up were not in vain. I hugged him many times. My first semester's value was
the sweetest gift for my parents' second wedding anniversary.

Three and a half years passed. I passed semester by semester now arrived at my last assignment,
which is compiling a thesis in order to obtain a S1 diploma. I spill all my abilities. And the
results are quite satisfying, although the thesis has been repeatedly instructed by the supervisor to
repeat it. The description for graduation is in sight. That's the moment I crave the most. That was
when I replaced the hard work my parents had made me a person full of education.

Right on the day when I graduated, my father and mother were seen walking with carvings of
smiles that appeared on their faces. His tears dripped when he saw his son wearing graduation
and toga clothes covering his head. I kissed my parents' hands, as a sign to welcome him. Thank
you father, this is the dream you have dreamed of, to see your son succeed. END

Anda mungkin juga menyukai