Anda di halaman 1dari 2

Nama : Muhammad Faiz Azzam

Kelas :9i
No absen :18

Cerpen pendidikan

Sekolahku di Pedalaman

Sudah lima tahun aku belajar di sekolah “Budi Makmur” ini. Sekolahku berada di
daerah pedalaman. Kondisi sekolahku sangat sederhana. Hanya ada tiga kelas. Dindingnya
terbuat dari papan dan kulit kayu. Sementara atapnya terbuat dari daun sagu, atau sering
disebut daun rumbia oleh suku pedalam. Meja dan tempat duduk kami terbuat dari papan
yang dibuat memanjang. Papan tulis hitam berukuran 1x2 meter menggantung di depan
kelasku.Se-kolahku hanya berlantaikan tanah. Kalau hujan turun, airnya akan masuk ke
dalam kelasku hingga menjadi becek.Sekarang aku sudah kelas enam. Hanya ada empat
orang murid di kelasku. Sedangkan Guru yang mengajar di sekolahku hanya ada dua orang.
Pak Nantan dan Pak Kurnia,mengajar dari kelas satu sampai kelas enam.Dalam belajar, kami
dan guru senang membaur. Seperti mengerjakan latihan misalnya, kami sering mengerjakan
dan memecahkannya bersama-sama, dan tidak malu-malu bertanya kalau tidak paham. Kami
dan guru terlihat sangat akrab sekali!Pulang sekolah hari ini aku dibonceng Pak Nantan naik
sepeda ontel. Sedangkan Rizal,temanku, ikut dengan Pak Kurnia. Kami sering dibonceng
seperti ini karena rumah kami berdua paling jauh. Jarak rumah ke sekolahku empat kilo
meter. Jam enam pagi aku sudah harus berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki melewati
jalan setapak dan hutanbelantara.“Pak Nantan hari ini mancing ke sungai lagi? Boleh Ujang
ikut?” tanyaku.“Bapak hari ini memetik buah kelapa di kebun, Jang. Uang belanja sudah
menipis. Besok Kalau kelapa-kelapa itu sudah terjual, Bapak pasti akan ajak Ujang mancing
di sungai!” Janji Pak Nantan.

Aku sedih mendengarnya. Sudah lelah mengajar di sekolah, Pak Nantan harus
memanjat kelapa lagi sesampainya di rumah. Kalau tidak, keluarganya tidak bisa makan.
Karena Dengan menjual buah-buah kelapa itulah Pak Nantan bisa mendapatkan uang untuk
mencukupi kebutuhan keluarganya.Pak Nantan tak menerima gaji mengajar di sekolah,
karena Pak Nantan hanya tamat SMP.Tapi niat baiknya ingin memajukan kampungku supaya
bebas buta huruf dan pandai berhitung memang patut diacungi jempol.Setahun yang lalu ada
dua orang guru bantu yang dipindahtugaskan dari kota ke kampung ku. Betapa gembiranya
aku waktu itu. Aku berharap kehadiran mereka bisa memberikan kemajuan bagi sekolahku.
Namun harapanku itu kemudian pupus. Sebulan Mengajar, mereka hanya empat kali datang
ke sekolahku. Bulan berikutnya, mereka tak pernah datang-datang lagi ke sekolah. Ah,
mungkin mereka tak terbiasa dengan keadaan sekampungku yang terpelosok jauh berada di
pedalaman.Suatu hari Pak Nantan pernah bertanya kepadaku tentang cita-citaku. “Apa cita-
citamu,Jang?”“Aku ingin jadi seperti Bapak!” jawabku mantap.“Menjadi guru?” Pak Nantan
ter-senyum.Aku mengangguk, “Aku ingin membuat kampung ini menjadi maju. Aku ingin
semua orang bisa membaca dan berhitung. Kalau orang-orang di kampung ini sudah bisa
membaca dan berhitung, pasti mereka bisa membangun kampung ini mejadi lebih
maju!”Mata Pak Nantan tampak berkaca-kaca mendengar penuturan ku. “Pendidikan di
kampung ini memang sangat menyedihkan. Tak ada guru-guru yang mau mengajar di
kampung ini.Apalagi kebanyakan anak-anak seusiamu lebih memilih bekerja di ladang
membatu orang tua mereka dari pada pergi ke sekolah.”Air mataku menetes. Aku sedih
sekali. Di rumah, seharusnya Abah dan Emak bisa membimbingku belajar dan mengerjakan
PR. Tapi mana mungkin. Kedua orang tuaku tidak pandai membaca dan menulis. Malah
suatu ketika Abah dan Emak memintaku untuk mengajari mereka membaca, menulis dan
berhitung. Wah… Bagaimana mungkin? Apa aku bisa? Ah, tapi akhirnya kucoba juga. Setiap
hari setelah pulang sekolah, aku pun mengajari.
orang tuaku membaca, menulis dan berhitung.“Abah bangga padamu, Jang. Anak sekecil
kamu sudah pandai mengajari Abah dan Emakmu membaca, menulis dan berhitung,” ujar
Abah memujiku.“Emak juga bangga, Jang. Berkat kamu sekolah, Emak dan Abahmu jadi tak
bodoh lagi.Emak dan Abahmu sekarang sudah bisa membaca walaupun masih mengeja,” kata
Emak Lalu mencium kepalaku.“Terima kasih,” ucapku terharu. “Ini juga berkat Abah dan
Emak yang menyekolahkan hingga aku menjadi pintar dan bisa mengajari Abah dan Emak di
rumah,hehe…”Abah dan Emak memelukku, dan menciumi kedua pipiku dengan penuh rasa
sayang dancinta.Ah, kelak, aku harus bisa membangun kampung ini menjadi lebih maju! Aku
ingin semua orang di kampung ini bisa membaca, menulis dan berhitung. Doakan aku ya
teman teman . terima kasih.

Pesan moral: Berusaha lah dan jangan pantang menyerah untuk belajar

Anda mungkin juga menyukai