dagang. Apa saja yang bisa dijual, dia akan jual. Pensil, permen, biji karet cuma
segelintir barang dagangan Udin waktu SD.
'Wah bagus itu. Masih muda sudah punya jiwa bisnis. Bapak doakan bisnismu
makin lancar dan makin berkembang. Bu, tolong buatkan minum buat Anto, Udin
dan Johan. Johan kamu kuliah atau kerja?
'Saya ambil kuliah D3 komputer Pak. Emang dari dulu saya seneng komputer.
Gak cuman seneng gamenya, saya juga seneng utak-atik komputernya. Saya
niatnya mau ambil Fasilkom di UI tapi gak tembus pas SPMB-nya. Jadi saya ke
D3 aja. Niatnya sih biar langsung bisa kerja.
'Anak Bapak yang masih SMA, si Hamid, minta dibeliin komputer. Katanya buat
bikin tugas sekolah. Tapi Bapak belum bisa ngebeliin. Belum ada duit. Yah. gaji
Bapak sebagai guru SD agak kurang sehingga setiap pengeluaran harus dihemat.
'Silakan diminum, Nak. Wah sekarang sudah besar-besar ya? Gimana kabar
kalian? Bu Siti, istri Pak Ahmad masuk dan meletakkan empat gelas teh manis
hangat di meja tamu.
'Alhamdulillah, baik Bu, serentak Anto, Johan dan Udin menyahut.
'Silakan diminum. Mumpung masih hangat. Ibu tinggal dulu ya?
'Hamid sekolah di SMA mana Pak? tanya Johan, kembali teringat dengan
pembicaraan sebelumnya.
'Di SMA 2 deket Gedung Balaikota.
'Wah kebetulan tuh Pak. Saya dengan beberapa teman membuka rental komputer
dan internet. Ada temen yang bapaknya punya ruko deket Gedung Balaikota,
belum ditempatin. Satu ruko diserahin ke temen saya itu. Dari pada kosong ruko
itu kami jadikan rental komputer dan internet. Deket situ kan juga ada kampus
Universitas Putra Bangsa. Mahasiswanya cukup banyak. Yah. banyak juga yang
dateng untuk internetan. Kalau Hamid butuh make komputer datang aja Pak.
Nanti saya bilang ke temen saya biar disediain satu komputer buat dipake
Hamid. Johan menawarkan bantuan.
'Terima kasih, Jo. Nanti Bapak bilang ke Hamid supaya dateng ke rental kamu.
Apa namanya?
'Namanya PUBLIC.NET.
3
'Pak, Bapak masih ngajar di SDN 03? Anto yang sedari tadi diam ikut angkat
bicara.
'Masih. Bapak masih senang mengajar. Sambil menjaga ilmu yang Bapak dapet
dulu. Bapak masih inget nakalnya kalian bertiga. Banyak guru yang ngeluh ke
Bapak. Bapak kan wali kelas kalian waktu di kelas 4. Inget waktu kalian ngerjain
Pak Anjas? Kalian taruh bekas permen karet di bangkunya sampai-sampai dia
kesulitan untuk melepaskannya? Wuah dia marah besar waktu itu.
'Ha.ha.ha.! Iya Pak. Kami memang bandel banget waktu itu. Ketika kami
minta maaI, dia masih saja memarahi kami. Untungnya nilai matematika kami
tidak dimerahin di raport.
'Sekarang Pak Anjas masih ngajar di situ, Pak?
'Masih. Yah . sekarang cari kerja makin susah, nak. Kami para guru nasibnya
tidak pernah berubah. Bertahun-tahun kami menyaksikan anak didik kami datang
dan pergi. Silih berganti. Yang waktu SDnya bebel, susah diajarin, sekarang
sudah jadi dosen. Yang dulunya bandel, sekarang jadi bos perusahaan raksasa.
Kalo Wati sekarang di mana? Dia pintar, cantik lagi. Selalu rangking 3 besar di
kelasnya.
'Wati sekarang kuliah di Kedokteran UI, Pak. Ngikutin kayak papanya yang juga
dokter, sahut Udin.
'Baguslah. Sebenarnya Bapak iri dengan kalian.
'Iri kenapa Pak? Johan penasaran.
'Bapak iri dengan keadaan kalian yang punya harapan cerah. Dengan ilmu yang
kalian dapatkan kalian akan maju menjadi orang-orang yang berhasil dan sukses.
Kalau Bapak bandingkan dengan keadaan guru-guru, hati Bapak sedih . Nasib
rekan-rekan guru dari tahun ke tahun begini-begini saja. Tidak ada kemajuan yang
berarti. Apalagi yang masih jadi guru honorer. Bapak sendiri masih mendingan.
Bapak sekarang sudah diangkat menjadi pegawai negeri. Jadi ada harapan untuk
dapat uang pensiun.
'Sering Bapak ngobrol dengan guru-guru lain. Anak Pak Anjas terpaksa putus
kuliahnya karena tidak sanggup bayar uang semesteran sekitar enam juta rupiah
padahal sebentar lagi skripsi. Bu Nur, guru kesenian kalian, masih ingat? Harus
4
merelakan kepergian anaknya ketika anaknya yang paling kecil terkena demam
berdarah. Meski sudah mencari utangan ke sana sini tetap belum bisa menutupi
biaya pengobatan. Pak Juned, guru bahasa Indonesia, terpaksa narik ojek sepulang
ngajar sampai malam sekedar untuk mencukupi uang beli sayur. Pak Ahmad
mulai membicarakan keadaan para guru.
'Bapak bersama teman-teman guru sudah mengadukan nasib kami ke Kepala
Sekolah, terus ke Diknas kecamatan. Bahkan sampai ke Diknas Pusat. Kami ingin
kesejahteraan kami dapat ditingkatkan agar kami dapat mengajar dengan tenang
dan lebih berkualitas. Bagaimana kami dapat mencari tambahan ilmu kalau buku-
buku berkualitas harganya tak dapat kami jangkau? Uang gaji kami paling hanya
dapat menutupi kebutuhan selama 15 sampai 20 hari. Sisanya mencari
tambahan.Tapi entahlah. Sampai sekarang tetap belum ada tanggapan.
'Beberapa hari yang lalu kami datang ke gedung dewan untuk demo menuntut hal
sama. Waktu itu kami memaksa untuk bertemu dengan anggota dewan, tapi gak
ada yang mau nemuin kami. Makin sedih hati kami, Nak. Sudah capek-capek
teriak, kepanasan, duit abis buat ongkos demo tapi gak ada hasil yang
memuaskan.
'Giliran mau deket-deket pemilu, para caleg rajin ngedeketin para guru. Ngasih
bingkisan lah, kaos lah, segala macem dengan tujuan supaya para guru milih dia.
Ngomong kesana kemari mau memperjuangkan aspirasi para guru dan
meningkatkan kesejahteraan. Eeh. begitu naik jadi anggota dewan, lupa dengan
guru yang dulu milih dia. Sakit hati juga Bapak. Apa mereka gak merasa kalau
tanpa didikan guru gak bakal mereka seperti itu. Dulu yang bikin mereka bisa
baca dan nulis ama ngitung kan para guru. Kalo bukan guru yang ngajarin gak
bakal mereka bisa sekolah sampai setinggi itu.
'Mungkin ini yang menjadi salah satu alasan kenapa tidak banyak yang tertarik
untuk menjadi guru. Andaikata menjadi guru, itupun terpaksa karena tidak bisa
lulus di jurusan yang bergengi seperti teknik, komputer ataupun kedokteran.
Padahal jasa seorang guru sangat luar biasa, terutama guru SD. Guru SD itu guru
yang paling berat tantangannya. Anak-anak yang tadinya gak bisa baca, tulis dan
berhitung diajari sampai bisa dan pandai. Kalo anaknya pintar, mendingan, gak
5
terlalu sulit ngajarinnya. Tapi kalo anaknya biasa-biasa aja bahkan cenderung oon
dan olot, bandel lagi, para guru harus banyak bersabar.
'Orang tua juga ikut nyalahin guru kalau anaknya gak naik kelas. Padahal
pendidikan pertama dan paling utama berawal dari lingkungan rumah. Di rumah
gak pernah diajarin, langsung nyerahin ke sekolah untuk dididik. Kita hukum
sedikit karena kekurangajaran si murid, orang tua lapor ke polisi.
Anto, Johan dan Udin terdiam sambil mendengarkan uneg-uneg dari guru
SD mereka yang mereka sayangi. Dalam hati mereka turut merasakan kepedihan
yang melanda para guru. Menjelang hari guru*) yang akan jatuh sebentar lagi
mereka datang ke rumah Pak Ahmad untuk menyampaikan sedikit hadiah sebagai
tanda terima kasih atas jasanya dalam mendidik mereka. Itupun karena anjuran
guru ngaji mereka, Ustadz Sholihin.
Baru sekarang mereka tahu betapa berat beban yang harus ditanggung oleh
para guru berkaitan dengan penghasilan mereka yang sering tidak mampu
menutupi kebutuhan hidup sehari-hari serta pengorbanan yang diberikan dalam
mendidik mereka. Rasa sesal meliputi hati mereka karena baru sekarang mereka
datang setelah sekian tahun lulus dari sekolah dasar sambil membawa hadiah yang
tidak seberapa dibanding kerja keras guru mereka dulu.
*****
Para guru menghantarkan anak didiknya untuk menuju masa depan yang
cemerlang. Tapi kecemerlangan masa depan itu bukan milik para guru.
Kecemerlangan itu milik anak-anak kecil yang dulu dididik dan diajari tentang
ilmu pengetahuan, yang sekarang entah di mana kepeduliannya.
*) Di Indonesia Hari Guru Nasional diperingat setiap tanggal 25 November
bersama hari ulang tahun PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia). Hari Guru
Nasional bukan hari libur resmi, dan dirayakan dalam bentuk upacara peringatan
di sekolah-sekolah dan pemberian tanda jasa bagi guru, kepala sekolah, dan
pengawas sekolah.
6
oleh Sir Rowland Hill, biaya surat dibebankan kepada pengirim surat atau
penerima surat, dengan cara membayar langsung surat saat hendak dikirim, atau
saat surat akan diterima.
Sahabat pena pernah populer dan berdampak positiI dalam membudayakan
tulis menulis. Melalui sahabat pena ini, memungkinkan seseorang untuk memiliki
sahabat dari luar daerah, seberang pulau, atau Negara lain, dan mengetahui apa
saja (baik itu budaya, pariwisata, atau cerita-cerita menarik) yang ditulis lewat
surat oleh sang sahabat pena tersebut.
Sebagai pendidik, penulis merasa prihatin dengan anak sekolah sekarang
yang kesulitan untuk menulis surat dalam materi pelajaran Bahasa Indonesia. Ini
karena mereka tidak terbiasa menulis surat yang susunannya terdiri dari
pembukaan, isi, dan penutup. Mereka lebih terbiasa menulis sms yang langsung to
the point dalam cara penyampaiannya, atau berbicara/ bertelepon secara langsung
daripada menulis surat.
Tekhnologi komunikasi yang kian canggih dan membudaya di masyarakat
kita menjadikan budaya surat menyurat/ menulis menjadi tersingkir. Tekhnologi
memang bertujuan untuk memberikan kemudahan manusia yang memiliki
mobilitas tinggi.
Tetapi tidak semua tekhnologi komunikasi menghempaskan budaya surat
menyurat dan menulis. Fasilitas e-mail (elektronik mail) tetap menuntut kita untuk
memiliki keahlian menulis surat. Adanya e-mail, mengajak kita untuk tidak
gaptek (gagap tekhnologi) dalam menyikapi perkembangan dunia komunikasi,
surat menyurat, dan menulis. E-mail menjadikan surat yang kita kirim lebih cepat
sampai, hanya dalam hitungan detik, bukan berhari-hari atau berminggu-minggu.
Di zaman yang serba elektronik ini, masihkah kita memerlukan jasa pos
untuk mengirim surat? Apakah budaya menulis surat itu hanya tinggal sejarah?
Apakah suatu saat nanti kita akan menyaksikan masyarakat yang tidak mengenal
surat menyurat?
8
SAHABAT....
Satu demi satu, motor yang terparkir di garasi samping rumah aku
keluarkan ke teras depan. Memang hari masih pagi, teman-teman yang lain masih
tertidur dengan pulasnya. Kecuali Rama yang semenjak shubuh tadi pergi untuk
mengantar koran, dia memang nyambi kerja sebagai loper koran. Jam di dinding
masih menjukkan pukul enam kurang lima belas menit. Tak mengherankan
memang, tadi malam kita begadangan sampai adzan shubuh terdengar. Entah
mengapa, tiba-tiba kami berkeinginan untuk sekedar berbagi cerita. Sesuatu yang
sudah mulai jarang kita lakukan. Terutama ketika berbagai macam praktikum dan
laporan sudah mulai menerjang tanpa henti. Memang berbagi cerita menjadi hal
yang sering kami lakukan ketika memasuki masa awal-awal kuliah.
Kami tinggal berenam di rumah kontrakan ini. Aku dan tiga temanku,
Ahmad, Dzakir dan RiIai, memang sudah sahabat lama. Kami berteman semenjak
masih duduk di bangku SMA. Sedangkan satu orang yang lain, Ivan, adalah
teman kuliahku satu angkatan dan satunya lagi, Rama, teman kuliah dari Dzakir.
Rama dan Ivan sebenarnya kami ajak tinggal di kontrakan ini hanya untuk
memenuhi kuota dan memperingan biaya urunan kontrakan. Lumayan, kami
mengontrak rumah mungil dengan tiga kamar ini empat juta pertahunnya. Kami
sudah terhitung satu tahun lewat delapan bulan tinggal di rumah ini.
Pertama kali memang hubungan antara kami berempat dengan Ivan dan
Rama kurang begitu dekat. Namun seiring berjalannya waktu, mereka berdua pun
akhirnya bisa dekat dengan kami berempat. Semenjak itulah, kami berenam suka
berbagi cerita.
Kami berenam kebetulan sama-sama kuliah di UGM. Aku dan Ivan
kebetulan kuliah di Jurusan Ilmu Komputer, Fakultas MIPA. Dzakir dan Rama
kuliah di Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian. Sedangkan Ahmad kuliah di
Fakultas FilsaIat dan RiIai kuliah di Fakultas Hukum.
**
9
saya di sini saja, jaga kontrakan. Khawatir kalau ada apa-apa, jawabnya. Dengan
tiga motor kami berangkat bersama-sama.
Memang, keluarga Rama termasuk keluarga kurang mampu. Rama bisa
kuliah di UGM juga karena beasiswa. Uang kirimannya sangat terbatas, bahkan
untuk makan sehari-hari saja kurang. Membeli buku adalah sesuatu yang sangat
istimewa baginya. Untunglah, Ivan yang orang tuanya relatiI berada, mempunyai
sepeda onthel yang jarang ia pakai. Sepeda tersebut akhirnya ia berikan pada
Rama, karena Ivan sendiri juga membawa motor. Bagi Rama, sepeda sudah lebih
dari cukup. Dengan mempunyai sepeda, ia tak perlu mengeluarkan biaya transport
ke kampus. Semenjak mengetahui kondisi keluarganya, kami tak pernah lagi
meminta Rama untuk ikut urunan biaya listrik dan air bulanan.
**
Sekitar pukul setengah dua belas, kami sampai di Pantai Depok. Hari ini
sangat cerah. Hari ini pantai ini terlihat sangat penuh. Kami memutuskan untuk
duduk-duduk terlebih dahulu di sisi barat pantai. Kurang lebih selama satu jam
kami bermain-main layaknya anak kecil. Bodoh amat dengan komentar orang,
yang penting hari ini memang kami gunakan untuk bersenang-senang.
Setelah kelelahan, kami memilih untuk memesan makanan di salah satu
warung. Sembari makan, kami membicarakan tentang apa yang terjadi tentang
Rama. Jujur saja, aku sendiri merasa risih dan kurang nyaman dengan sikap Rama
akhir-akhir ini. Ternyata apa yang kurasakan tak jauh berbeda dengan apa yang
dirasakan oleh teman-teman yang lain.
'Beberapa hari yang lalu, sebelum tidur, aku pernah coba tanya pada
Rama. Kamu kenapa? Kok kelihatannya murung dan agak pucat?, ucap Dzakir.
'Dia hanya menjawab. Nggak papa kok. Paling-paling cuma maag-ku lagi kumat.
Sudahlah gak usah dipikirin. Ntar paling sembuh-sembuh sendiri. Udah ah, aku
ngantuk banget., lanjut Dzakir.
'Aku juga pernah tanya. Tapi yang gitu itu. Dia nggak ngomong apa-apa.
Ditanya baik-baik, eh . dia malah mlengos. Kalau bukan temen sendiri udah aku
damprat., tambah Ivan.
11
Bu Ida memang jago masak. Balado ikannya memang dahsyat. Tak terasa
dua piring nasi sudah memenuhi perutku. Teman-teman yang lain juga sampai
kekenyangan. Tinggal Rama saja yang belum mencicipi balado ikan Bu Ida. Bu
Ida hanya senyam-senyum saja melihat kelakuan kami. Kebetulan waktu itu, Bu
Ida mengajak kami makan di rumahnya. Beliau juga sempat menanyakan,
mengapa Rama nggak ikut makan di tempatnya.
Seusai ngobrol sejenak, kami pun kembali ke kontrakan. Kelihatannya ini
adalah waktu yang tepat untuk melaksanakan rencana kami tadi siang. Memang
pertama kali Rama terlihat malas sekali, namun karena kami memaksa akhirnya ia
mau juga.
'Ma, kita ini berteman walau nggak begitu lama, tapi juga nggak bisa
dihitung sebentar. Kita ini sudah seperti keluarga. Masalah satu orang, juga
merupakan masalah bagi yang lain. Kita ini saling bantu. Jujur, kami merasa risih
dan nggak nyaman dengan sikapmu akhir-akhir ini. Walau kamu masih tetap
menjalankan tugas piket harian, tapi bukan hanya itu yang kami minta. Dengan
sikpamu selama ini kami merasa semakin nggak nyaman tinggal di sini. Kayak
ada orang lain saja yang tinggal di sini. Selama beberapa hari ini, kalau kamu
pergi juga nggak pernah bilang kemana, pulang jam berapa. Pulang-pulang juga
begitu, masukin sepeda, trus langsung ke kamar, baca buku, nggak keluar-keluar
seharian. Keesokan harinya juga begitu, sepulang dari loper koran, mandi, trus
plas. ilang entah kemana. Kayak nggak ada orang lain aja di sini., buka RiIai.
'Sebenarnya kamu ini kenapa? Ada masalah? Ngomong aja. Siapa tahu
kita bisa bantu., tambah Ahmad.
Suasana berubah menjadi hening sejenak, Rama hanya bisa terdiam dan
tertunduk lesu. Air mata terlihat mulai meleleh di pipinya. Dengan terbata ia
menjawab, 'Jujur, aku beberapa hari ini instropeksi diri. Aku merasa nggak enak
dengan kalian. Selama ini aku nggak pernah ikut urunan bayar listrik dan air.
Mungkin bagi kalian nggak papa, tapi aku merasa nggak enak. Trus kemudian
beberapa hari yang lalu aku dapat kabar dari rumah. Tahun depan kelihatannya
aku nggak bisa bayar kontrakan, karena nggak ada jatah dari orang tuaku. Uang
jatah kontrakanku akan dipakai untuk biaya adikku yang mau masuk SMA. Aku
13
bingung harus cari uang darimana untuk bayar uang kontrakan. Uang kiriman
ditambah honor loper koran ditambah dengan jatah bulanan dari beasiswaku juga
habis untuk makan sehari-hari. Sedangkan honor dari ngirim tulisan ke koran juga
nggak tentu. Jujur, aku jadi bingung.
'Ma, kami semua tahu bagaimana kondisi ekonomi keluargamu. Kami
sudah maklum dengan itu. Kalau memang kamu nggak bisa urunan lagi untuk
bayar kontrakan tahun depan, ya sudah, nggak papa. Santai aja. Kita-kita nggak
keberatan kalau harus menutupi bagianmu. Untuk tahun depan, kamu nggak bisa
urunan nggak papa. Kamu tetap tinggal di sini. Ntar bagianmu biar aku yang
tanggung., timpal Ivan.
'Jujur, Van. Aku makin nggak enak sama kamu. Sepeda yang aku pakai
sehari-hari itu juga punyamu. Trus ini ditambah kamu bayarin jatah kontrakanku.
Itu uang orang tuamu, bukan uangmu., elak Rama.
'Ma, uang itu cuman titipan dari Tuhan. Bukan orang tuaku atau aku yang
punya. Kamu nggak usah merasa nggak enak begitu. Toh semenjak tinggal
serumah dengan kamu aku juga banyak belajar dari kamu. Bagaimana caranya
bisa hidup prihatin dan hidup hemat. Jujur saja, mungkin kalau nggak kenal kamu,
mungkin tabunganku nggak akan pernah sebesar seperti sekarang ini. Dulu
sewaktu aku SMA, aku boros banget. Sehari aku bisa menghabiskan seratus ribu
hanya untuk nongkrong nggak jelas ngapain dengan teman-temanku. Sekarang
uang segitu bisa aku buat hidup selama tiga-empat hari. Itu juga karena kamu
yang ngajari aku. Mana yang benar-benar kebutuhan, mana yang hanya sekedar
keinginan, bagaimana menentukan skala prioritas. Apa yang aku pelajari dari
kamu itu, kalau diuangkan nggak bakalan bisa keitung. Toh uang kiriman dari
ortuku juga berlebih., jawab Ivan.
Pembicaraan kamipun mengalir, terlihat Rama sudah mulai semakin
tenang. Rama yang ceria sudah mulai terlihat kembali. Bersahabat bukanlah
bisnis, yang bisa dihitung secara matematis, apakah kita untung atau rugi.
Persahabatan takkan pernah bisa dihitung dengan uang. Bersahabat adalah
hubungan antar manusia yang paling tulus, tanpa pamrih. Dengan sahabatlah kita
berbagi suka dan duka, dari sahabatlah kita belajar tentang kehidupan.
14