Anda di halaman 1dari 3

Sudah lima tahun aku belajar di sekolah “Pelita Harapan” ini.

Sekolahku berada
di daerah pedalaman. Kondisi sekolahku sangat sederhana. Hanya ada tiga kelas.
Dindingnya terbuat dari papan dan kulit kayu. Sementara atap nya terbuat dari
daun sagu, atau sering disebut daun rumbia oleh suku pedalam. Meja dan tempat
duduk kami terbuat dari papan yang dibuat memanjang. Papan tulis hitam
berukuran 1x2 meter menggantung di depan kelasku.Se-kolahku hanya
berlantaikan tanah.

Kalau hujan turun, airnya akan masuk ke dalam kelasku hingga menjadi
becek.Sekarang aku sudah kelas enam. Hanya ada empat orang murid di kelasku.
Sedangkan, guru yang mengajar di sekolahku hanya ada dua orang. Pak Nantan
dan Pak Kurna,mengajar dari kelas satu sampai kelas enam.

Dalam belajar, kami dan guru senang membaur. Seperti mengerjakan latihan


misalnya, kami sering mengerjakan dan memecahkannya bersama-sama, dan
tidak malu-malu bertanya kalau tidak paham. Kami dan guru terlihat sangat akrab
sekali!

Pulang sekolah hari ini aku dibonceng Pak Nantan naik sepeda ontel.
Sedangkan Rizal,temanku, ikut dengan Pak Kurna. Kami sering dibonceng seperti
ini karena rumah kamiberdua paling jauh. Jarak rumah ke sekolahku empat kilo
meter. Jam enam pagi aku sudahharus berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki
melewati jalan setapak dan hutan belantara.

“Pak Nantan hari ini mancing ke sungai lagi? Boleh Ujang ikut?” tanyaku.
“Bapak hari ini memetik buah kelapa di kebun, Jang. Uang belanja sudah menipis.
Besok kalau kelapa-kelapa itu sudah terjual, Bapak pasti akan ajak Ujang mancing
di sungai!” janji Pak Nantan.
 
Aku sedih mendengarnya. Sudah lelah mengajar di sekolah, Pak Nantan harus
memanjat kelapa lagi sesampainya di rumah. Kalau tidak, keluarganya tidak bisa
makan. Karena dengan menjual buah-buah kelapa itulah Pak Nantan bisa
mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Pak Nantan tak
menerima gaji mengajar di sekolah, karena Pak Nantan hanya tamat SMP. Tapi
niat baiknya ingin memajukan kampungku supaya bebas buta huruf dan pandai
berhitung memang patut diacungi jempol.

Setahun yang lalu ada dua orang guru bantu yang dipindah tugaskan dari kota
ke kampungku. Betapa gembiranya aku waktu itu. Aku berharap kehadiaran
mereka bisamemberikan kemajuan bagi sekolahku. Namun harapanku itu
kemudian pupus. Sebulan mengajar, mereka hanya empat kali datang ke
sekolahku. Bulan berikutnya, mereka tak pernah datang-datang lagi ke sekolah.
Ah, mungkin mereka tak terbiasa dengan keadaan kampungku yang terpelosok
jauh berada di pedalaman.

Suatu hari Pak Nantan pernah bertanya kepadaku tentang cita-citaku. “Apa cita-
citamu, Jang?” “Aku ingin jadi seperti Bapak!” jawabku mantap. “Menjadi guru?”
Pak Nantan ter-senyum. Aku mengangguk, “Aku ingin membuat kampung ini
menjadi maju. Aku ingin semua orang bisa membaca dan berhitung. Kalau orang-
orang di kampung ini sudah bisa membaca dan berhitung, pasti mereka bisa
membangun kampung ini mejadi lebih maju!” Mata Pak Nantan tampak berkaca-
kaca mendengar penuturanku. “Pendidikan di kampong ini memang sangat
menyedihkan. Tak ada guru-guru yang mau mengajar di kampung ini.Apalagi
kebanyakan anak-anak seusiamu lebih memilih bekerja di ladang membatu
orangtua mereka dari pada pergi ke sekolah.” Air mataku menetes.

Aku sedih sekali. Di rumah, seharusnya Abah dan Emak bias membimbingku
belajar dan mengerjakan PR. Tapi mana mungkin. Kedua orang tuaku tidakpandai
membaca dan menulis. Malah suatu ketika Abah dan Emak memintaku untuk
mengajari mereka membaca, menulis dan berhitung. Wah… Bagaimana mungkin?
Apa akubisa? Ah, tapi akhirnya kucoba juga. Setiap hari setelah pulang sekolah,
aku pun mengajari orang tuaku membaca, menulis dan berhitung.

“Abah bangga padamu, Jang. Anak sekecil kamu sudah pandai mengajari Abah
dan Emakmu membaca, menulis dan berhitung,” ujar Abah memujiku. “Emak
juga bangga, Jang. Berkat kamu sekolah, Emak dan Abahmu jadi tak bodoh
lagi.Emak dan Abahmu sekarang sudah bisa membaca walaupun masih mengeja,”
kata Emak lalu mencium kepalaku. “Terima kasih,” ucapku terharu. “Ini
juga berkat Abah dan Emak yang maumenyekolahkanku hingga aku menjadi pintar
dan bisa mengajari Abah dan Emak di rumah,hehe…”Abah dan Emak memelukku,
dan menciumi kedua pipiku dengan penuh rasa sayang dancinta.Ah, kelak, aku
harus bisa membangun kampung ini menjadi lebih maju! Aku ingin semuaorang di
kampung ini bisa membaca, menulis dan berhitung. Doakan aku, ya, teman-teman!

Anda mungkin juga menyukai