Anda di halaman 1dari 8

Dedikasi

Cerpen Karangan: Dian Rida Alexa SR

Matahari belum benar-benar menampakkan sinarnya, tetapi seorang wanita paruh baya telah
sibuk membersihkan rumahnya yang tidak besar juga jauh dari kata mewah. Sambil
membantu suaminya bersiap untuk pergi bekerja sebagai seorang buruh, ia juga harus
mengurus anaknya yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama untuk pergi ke
sekolah. Lalu setelah semua kewajibannya telah ia tuntaskan, ia pun bersiap dan pergi
menuju sekolah tempat ia mengajar.

Begitulah kegiatan setiap pagi yang dilakukan Wati, seorang guru honorer yang sudah
berusia 52 tahun. Jarak tempat tinggal dan sekolah tempat ia mengajar cukup jauh, ia harus
menempuh perjalanan menggunakan ojek sejauh 3 km dan berjalan kaki sampai sekolah
sejauh 2 km karena medan jalan yang berat. Keceriaan, rasa sayang tulus dan juga
penghormatan yang diberikan para muridnya membuat Wati tetap melakukan perjalanan
melelahkan itu dengan penuh semangat tanpa keluhan hanya untuk bisa tetap mewujudkan
cita-citanya, yaitu menjadikan para muridnya sebagai orang terpelajar yang sukses di masa
mendatang. Di sekolah tempat ia mengajar Wati selalu memberikan arahan kepada murid-
muridnya untuk tetap semangat dalam belajar karena merekalah generasi penerus bangsa.

Segera setelah ia sampai di sekolah tempat ia mengajar ia langsung mengikuti kegiatan


upacara yang akan segera dimulai. Saat pengibaran bendera, sambil hormat, Wati tersenyum
melihat para muridnya dengan penuh khidmat menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ia senang
melihat bahwa para muridnya begitu mencintai negeri ini meskipun keadaan mereka masih
jauh dari kata kesejahteraan dan kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Setelah upacara
selesai, ia bersama-sama para muridnya menuju ke kelas mereka.

“Selamat pagi anak-anak” sapa Wati pada murid-muridnya.


Dengan penuh semangat murid-muridnya membalas sapaan Wati, “Selamat pagi ibu guru.”
Kemudian Wati mulai mengabsen semua muridnya,
“Jadi semuanya hadir ya, 4 siswi dan 6 siswa.”
“Iya ibu guru.”
“Apakah pr kalian sudah kalian kerjakan?”
“Sudah ibu guru.”

Hal inilah yang membuat Wati tetap mengajar di sekolah itu tanpa keluhan, karena meskipun
kondisi sekolah itu jauh dari kata layak untuk digunakan dan memiliki murid yang sangat
sedikit serta harus melalui medan jalan yang sulit, namun para muridnya selalu rajin dan
sangat bersemangat saat belajar, bahkan saat kondisi cuaca sedang tidak baik.

Hari demi hari telah berlalu, kegiatan Wati tetap berjalan seperti biasa tanpa ada masalah
yang berarti. Saat ia akan mengabsen murid-muridnya seperti yang selama ini ia lakukan, ia
keheranan karena muridnya hanya 9 orang.

“Di mana Bernadus? Mengapa ia tidak hadir?”


“Kami tidak tau dimana ia berada, ibu guru.”
Murid-muridnya juga keheranan, karena mereka sedari tadi tidak melihat Bernadus dimana
pun.
Setelah pulang sekolah Wati dan murid-muridnya pun memutuskan untuk pergi ke rumah
Bernadus, salah satu muridnya yang tidak masuk tanpa keterangan, untuk mengetahui
kondisinya. Mereka khawatir jika sesuatu telah terjadi pada Bernadus, karena ia adalah murid
yang sangat rajin, apalagi Bernadus termasuk anak yang sehat sehingga ia jarang sekali sakit.

Saat mereka melewati sebuah kali dalam perjalanan menuju rumah Bernadus, Wati terkejut
saat seorang muridnya berteriak,
“Ibu guru, lihat!”
Saat pandangan Wati tertuju pada objek yang ditunjukkan anak muridnya, kakinya terasa
lemas dan terjatuh. Dilihatnya Bernadus sedang mengambang di pinggir kali, tersangkut
rantai pohon yang terkulai. Wati dan para muridnya dengan segera menuju rumah Bernadus
untuk memberitahukan orang tuanya perihal Bernadus dan meminta tolong kepada para
penduduk kampung untuk mengangkut Bernadus. Diduga Bernadus tergelincir dan jatuh ke
dalam kali dalam perjalanan menuju sekolah tadi pagi. Sebagai guru yang mendidik Bernadus
di sekolah, Wati juga ikut terguncang mengetahui kematian Bernadus. Ia tak percaya cahaya
dari salah satu bintangnya telah padam. Itulah yang Wati pikirkan, saat ia hanya mempunyai
10 orang murid dan harus kehilangan salah seorangnya sangat membuatnya sedih. Ia sangat
ingin menyalahkan pemerintah karena kurang memperhatikan kenyamanan dan kemanan
sarana pendidikan yang ada di pedalaman, tapi apalah dayanya, ia hanya seorang warga sipil
biasa yang masih berstatus guru honorer di usianya yang tak lagi muda. Kematian Bernadus
membuatnya bertekad akan berusaha lebih keras untuk mendidik dan menjaga para muridnya.

Sebulan setelah kematian Bernadus, keadaan di sekolah mulai berjalan normal dan tidak lagi
berduka. Karena kejadian yang dialami Bernadus, pihak sekolah memberikan pengarahan
kepada para murid untuk berhati-hati dan tidak berlarian saat melewati kali juga sekitarnya.
Para orang tua juga mengawasi anak-anak mereka saat melewati kali. Dirasa usaha yang
dilakukan masih kurang untuk menghindarkan anak-anak dari kecelakaan yang bisa terjadi
kapan saja, akhirnya para orang tua juga pihak sekolah memutuskan untuk bahu-membahu
memperbaiki jalan dan jembatan juga menambahkan fitur kemanan pada kali itu.

Kebijakan yang akan dijalankan itu membutuhkan dana yang sangat besar, pihak sekolah
juga para orang tua sudah menyumbangkan bahan dan mengumpulkan dana sebisa mereka
tetapi semua itu belum cukup untuk memperbaiki keadaan kali itu sebagaimana mestinya.
Akhirnya pihak sekolah pun mengambil keputusan berat. Kepala sekolah memanggil satu-
satunya guru honorer yang ada di sekolah itu untuk menegoisasikan sesuatu,
“Ibu Wati, maafkan saya sebelumnya, seperti yang ibu ketahui, kami membutuhkan dana
yang cukup besar untuk memperbaiki keadaan kali, tetapi kami tidak mempunyai dana yang
cukup. Dengan segala hormat, bisakah kami memotong gaji ibu?”
Tanpa berpikir panjang, Wati menyetujui permintaan kepala sekolah.
“Maafkan kami ibu Wati. Kami tidak bisa memberikan ibu gaji yang layak selama ini, lalu
sekarang dengan terpaksa kami harus memotong gaji ibu dari seratus ribu rupiah menjadi
lima puluh ribu rupiah. Sekali lagi maafkan kami bu Wati.”
Wati hanya tersenyum menanggapi perkataan kepala sekolah. Ia tidak menyesal atas
keputusannya. Karena ia tidak pernah menyesal dan tulus dalam melakukan tugasnya, yaitu
membantu anak Indonesia untuk menggapai pendidikan yang lebih baik, karena merekalah
generasi penerus bangsa Indonesia. Caranya mengabdi pada negeri ini adalah dengan
memajukan generasi penerus bangsa ini, demi Indonesia yang lebih baik.
Kasih Sayang Dalam Gelap

Cerpen Karangan: Siti Ajisah Munawaroh

Nisa, begitulah orang-orang memanggilku. Aku lahir sebagai anak ke 2 dari dua bersaudara. Dari
sejak aku lahir hingga saat ini semua kebutuhanku selalu terpenuhi, namun satu yang sampai saat ini
belum aku dapatkan yaitu kasih sayang dari seorang ayah.

Pada hari ini untuk pertama kalinya, aku tak melihat sarapan yang tertata rapi di meja makan. Tak
kudengar suara ibu yang membangunkanku dari mimpi-mimpi yang menemaniku di setiap malam.
Kini hanya hembusan angin yang menemani pagiku yang kelam ini. Pertengkaran hebat tadi malam
menyebabkanku tak tahu kini berada di mana dan harus pergi ke mana.

“Tring…!” Suara sendok dan garpu yang sengaja kujatuhkan di atas piring. “Cukup Ayah, sekali saja
Ayah tidak membanding-bandingkan aku dengan kak Hana!”. Ucapku begitu lantang dengan emosi
yang selama ini kupendam.
Sontak ibu langsung menoleh ke hadapanku dan menaruh tangan halusnya di atas tanganku. “Sayang
kamu ini bicara apa nak?”. “Ibu tahu Ayah tidak pernah mengertikan perasaanku”. Ucapku sembari
pergi meninggalkan ruang makan. “Yah… Nisa kenapa?”. Ayah tak sedikitpun menjawab pertanyaan
ibu.

Melihat hal itu ibu pun pergi meninggalkan ayah dan mengejarku ke lantai atas hingga sampai di
kamarku. “Nisa…” Ucap ibu dengan kagetnya, ketika melihatku yang sedang membereskan barang-
barangku. “Kamu mau pergi ke mana Nak, ini sudah malam”.
Aku pun berhenti dan duduklah aku di tempat yang selalu menemani malam-malamku. “Bu aku
capek, setiap hari aku harus mendengarkan perkataan Ayah yang selalu membangga-banggakan Kak
Hana, Bu… Ayah tidak pernah mengertikan perasaanku”. Tegasku kepada Ibu.
“Nisa, Ibu yakin Ayah tidak bermaksud untuk membangga-banggakan kakak kamu. Dan Ibu yakin
Ayah sayang sama kamu, walaupun perlakuannya seperti itu”.
“Sayang.. Kalau Ayah sayang kepadaku, apa pernah Ayah khawatirin aku, ketika aku tidak ada di
rumah? Apa pernah Ayah ada saat aku sakit? Bu Ayah tidak pernah memberi sedikitpun kasih
sayangnya kepadaku selayaknya seorang Ayah kepada anaknya”. Jelasku dengan penuh emosi dan
linangan air mata.

Mendengar semua ucapku, ibu pun langsung memelukku dengan penuh kehangatan, sembari
mengelus rambutku ibu pun berkata “Bagaimanapun ia memperlakukanmu, ia tetaplah ayahmu,
percayalah suatu saat nanti ayah pasti akan berubah dan kasih sayang itu pasti kamu dapatkan”.
“Sudahlah bu biarkan dia pergi!”. Bentak ayah sambil menarik ibu, dan lepaslah pelukan itu. “Tapi
ayah…” ucap ibu yang terus ia ulang, agar ayah tidak membiarkan aku pergi.
“Dari dulu aku tidak pernah mengharapkan dia lahir ke dunia ini, yang aku inginkan adalah seorang
anak laki-laki yang akan meneruskan perusahaan kita nanti”. Tegas ayah bagaikan sebuah pisau tajam
yang menusuk hatiku. Rasanya begitu sakit dan hanya air mata yang bisa mewakili perkataan demi
perkataan yang tak sanggup kuucapkan kepada ayah.

Aku pun pergi meninggalkan ayah dan ibu, walaupun langkah ini begitu berat, tapi mungkin ini yang
terbaik dan inilah yang ayah inginkan.
Kini aku tak tahu, langkah yang kuambil ini salah atau tidak. Pertengkaran tadi malam itu, sampai saat
ini masih ada dalam pikiranku dan masih terbayang dalam ingatanku.

“Nisa!”. Terdengar jelas, dari kejauhan ada seseorang yang memanggilku. Namun tersirat dalam
pikiranku, bahwa suara itu hanyalah halusinasiku saja.
Tetapi perlahan suara itu semakin jelas dan tampak dekat denganku dan suara itu pun melepaskanku
dari lamunan. Aku pun menoleh ke sekeliling dan dari kejauhan tampak seorang wanita yang
mengenakan pakaian begitu rapi dengan tas yang ia tenteng di tangannya dan sepatu hak tinggi yang
membuat ia tampak anggun layaknya wanita karier di perkotaan.
“Kak Hana…” ucapku dengan kagetnya saat melihat ia tepat di hadapanku. “Nisa ayo pulang
sayang!” Ucap kak Hana sembari menggenggam tanganku.
“Tidak!” Tegasku kepada kak Hana, sembari melepaskan genggamannya itu. “Tapi Nisa… Kamu
harus tahu, semenjak kamu pergi dari rumah, kita semua mencari kamu, kita semua khawatir sama
kamu Nis, termasuk ayah”. Jelas kak Hana, mendengar hal itu aku pun langsung berkata kepadanya,
“apa? Aku tidak salah mendengar, ayah mencariku, ayah mengkhawatirkanku? Kakak ini lucu yah,
seperti sedang mendonheng!”.
“Cukup Nisa, sekarang ayah sudah berubah, ayah sadar semua perlakuannya kepada kamu, itu salah.
Semua ini terjadi, karena ayah sudah membaca buku catatan harian kamu”. Tegas kak Hana yang
terus berusaha agar aku pulang.
“Sudahlah kak, kasih sayang yang selama ini aku harapkan dari ayah, itu semua hanya mimpi dan gak
mungkin kenyataan kak!” Tegasku agar terlihat lebih tegar.

“Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini”. Ucap seseorang yang berada tepat di belakangku. Aku
pun menoleh ke belakang dan ternyata ia adalah sosok laki-laki yang membuatku pergi dari rumah
dan kini berada di jalanan.
Saat melihatnya, aku pun teringat dengan perkataannya malam itu yang membuat hatiku terasa begitu
sakit.
“Nisa ayah minta maaf nak, atas perlajuan ayah selama ini”. Ucap ayah dengan wajah penuh
penyesalan. “Maaf, kata maaf itu memang mudah diucapkan, tapi memaafkan itu sulit!!” Tegasku
kepada ayah.
“Ayah tahu salama ini ayah egois, yang selau mengaharapkan seorang anak laki-laki dan akhirnya
ayah menyianyiakan kamu. Tapi sebelum ayah selesai dengan perkataannya, aku yang begitu emosi
pun langsung memotongnya.
“Tapi apa ayah… Apa?” Ucapku dengan linangan air mata. “Tapi sekarang ayah sadar, kamu adalah
titipan dari Allah yang harus ayah jaga dengan baik. Tolong maafkan ayah Nisa, tolong”. Mohon ayah
hingga ia berlutut di hadapanku.
“Cukup ayah cukup! Sampai sekarang ayah berlutut di hadapanku atau sampai mencium kakiku, aku
tidak akan pernah memaafkan ayah”. Tegasku dengan penuh emosi.
“Ayah tahu kamu pasti sulit memaafkan ayah, tapi ayah mohon kamu pulang yah, ibu sakit di rumah”.
“Apa ibu sakit?”. Tanyaku yang perrlahan mulai lemas saat mendengar hal itu. “Iya Nisa ibu sakit, ibu
mencari kamu, ibu pengen kamu pulang, ibu kepikiran kamu terus Nisa”. Jelas kak Hana yang
membuatku semakin tidak karuan dan hanya ada emosi dalam diriku.

“Ini semua gara-gara ayah, kalau aja dari dulu ayah beri kasih sayang itu kepadaku, aku tidak akan
pernah pergi dari rumah dan ibu tidak akan sakit”. Jelasku kepada ayah sembari menunjukkan
telunjuk tanganku kepada ayah.
“Cukup Nisa, kamu tidak boleh seperti itu, bagaimana pun juga dia ayah kita, ayah kamu juga, kakak
mohon buka hati kamu dan maafkan ayah”. Tegas kak Hana yang terus memohon agar aku
memaafkan ayah.
“Apa semudah itu, kak Hana tidak pernah tahu apa yang aku rasakan selama ini, sakit kak sakit”.
Tegasku dengan berlinang air mata. “Dan untuk ayah, aku benci ayah, ayah jahat, ayah jahat”.
Bentakku sembari pergi meninggalkan ayah dan kak Hana.
“Tapi Nisa, ayah mohon Nisa, Nisa…” ucap ayah hingga ia terjatuh. “Ayah ayo bangun ayah!” ucap
kak Hana sembari membantu ayah untuk bangun. “Ayah harus kejar Nisa” Ayah pun terus
mengejarku walaupun pada saat itu, kakinya masih terasa sakit.

“Nisa…” Teriakan ayah yang terus kudengar berulang-ulang tanpa henti. “Cukup ayah, ini kan yang
ayah mau? Aku akan pergi dari kehidupan ayah!!” Tegasku dengan penuh emosi sembari terus
melangkah menjauh dari ayah dan tanpa kusadari ada sebuah mobil berada tepat di hadapanku dan
akhirnya menabrakku.
“Awas Nisa…” Teriak ayah yang ku dengar pada saat itu. Semuanya gelap, semuanya hitam, tak ada
yang dapat kulihat, saat itu aku merasakan takut, aku pun terus berteriak ketakutan.
Tetapi rasa takut itu hilang bak ditelan bumi, saat ada seseorang yang memelukku dan berkata “kamu
jangan takut Nisa, di sini ada ayah”.
Dan pada akhirnya, walaupun dunia yang indah ini tidak dapat kulihat kembali, namun ada yang lebih
indah, saat kasih sayang itu kini kudapatkan dari ayah.
Tinggal Kenangan
Pagi itu sangatlah cerah, mentari pagi muncul memancarkan sinar cerah dengan semangat 67 eh
semangat 45 maksudnya. Sama denganku, hari ini adalah hari ulang tahun orang yang sangat aku
kagumi bahkan kucintai. Semua sudah aku persiapkan termasuk kue ultah serta kadonya.

Aku masuk ke kelas dengan hati gembira dan bibir tersenyum-senyum sendiri. Kakiku melangkah
tepat di depan pintu masuk kelas dan disambut ceria oleh sahabat sahabatku Syarif dan Renata.
Yaps! hampir lupa, aku Sherly kepanjangan dari Sherlyna rantika putri. Cewek manis berkumis tipis
yang kini sedang dilanda asmara cinta.
“Ciee yang senyum senyum sendiri, kenapa? sakit?” ucap Renata sambil menekan tangannya ke
jidatku.
“Apaan sih Ren, emang aku gila” ucapku (memanyunkan bibir 5 meter).
“Ya mungkin, ya gak Rif?” ucap Renata melirik Syarif.
“Betul, kenapa kamu Sher?” ucap Syarif.
“Hari ini tuh hari special banget buat aku, aku mau bikin suprise buat pangeran cecakku” ucapku
panjang lebar sambil bayangin apa yang akan terjadi nantinya.
Pangeran cecak? Ya, pangeran cecak adalah cowok yang aku kagumi selama ini. Aku julukin
pengeran cecak karena dia super duper takut sama cecak, namanya Tara.
Bel waktu istirahat pun tiba, siswa siswi berbondong bondong ingin memanjakan lidah dan juga
perutnya yang dari tadi demo minta makan.
“Hay guys, doain aku ya. Semoga rencana ini sukses berjalan mulus semulus jalan tol, amin” ucapku.
“Oke, tuh ada Tara kebetulan banget deketin gih” ucap Syarif.
“Sukses ya say” ucap mereka berdua serentak serta kepala dimiringkan ala-ala Rita sugiarto penyanyi
dangdut.
Aku berjalan dengan pedenya sampai gak lihat ada batu di depanku, untungnya gak jatuh, kalau jatuh
malu dong sama pangeran cecakku.

Setelah melewati lorong lorong kelas, aku melihat Tara lagi berduaan sama Lyla cewek yang paling
aku benci karena gayanya yang kecentilan, sok cantik, sombong pokoknya aku ilfeel banget deh sama
dia. Tanpa sadar kue dan kadonya jatuh ke lantai, aku berlari secepat mungkin sambil menangis.

Aku melihat ekspresi Renata dan Syarif kebingungan dengan tingkahku yang mula ceria berubah
drastis menjadi duka membara.
“Sherly, kamu kenapa?” ucap Renata sambil memelukku.
“Tara sama Lyla berduaan mereka mesra banget” ucapku terbata bata.
“Udahlah cari yang lain, masih banyak kok” ucap Syarif.
Sepulang Sekolah kurebahkan tubuhku di kasur empuk milikku. Kutatap langit biru kamarku. Pikiran
itu selalu terngiang ngiang di memory otakku. Kubangkitkan tubuh ini menuju meja belajar.
Pena menari nari amat lambat di atas kertas polos putih. Kutulis kata puitis yang berisi sesuai isi
hatiku.
Tinggal kenangan.

Kuukir namamu dalam hatiku


Agar hati ini tak dalam kekosongan.
Meskipun kau telah menodai hati ini,
Akan kuhapus dengan sejuta air mata.
Aku rela mentari membakar kulitku
Aku rela kebahagiaanku kuberikan padamu
Asal kau bahagia.
Namun itu dulu
Sekarang sudah terbalut
Oleh balutan kenangan.
For Tara (pangeran cecakku)

Pagi ini mendung, mentari engan tul memancarkan sinarnya, sama dengan hatiku.
Mungkin mentari mengerti apa yang sedang aku rasakan.
Aku berjalan sempoyongan dengan mata sembab gara gara menangis semalaman menuju kelasku
disambut oleh sahabat sahabatku.
“Sherly kamu jangan begitu dong, kita kan juga turut sedih jadinya. Strong bro move on bangkit dari
keterpurukan ini” ucap Renata menenangkanku.
“Dan kamu jangan kaget ya, kalau Tara sama Lyla sudah jadiab kemarin. Aku tahu berita ini dari Gita
teman sekelas kita” ucap Syarif.
“Iya makasih ya sahabat sahabatku. Kalian itu orang yang selalu suport aku, aku sayang kalian. Aku
akan move on dari Tara dan selalu bersama kalian” ucapku menangis terharu.
Kita bertiga saling berpelukan.
Sahabat bukanlah selayaknya pacaran yang dapat putus atau nyambung. Namun, Sahabat adalah
persatuan yang abadi.

– Karya Septy Aisyah –

Anda mungkin juga menyukai