Anda di halaman 1dari 4

Sinar mentari pagi mulai menunjukkan dirinya malu-malu, memaksa masuk melewati sela-sela

jendela berteralis besi. Angin berhembus semilir membawa gemerisik suara daun-daun yang
bergesekan dari gerumbul pepohonan lebat di sisi taman. Kicauan burung yang sahut menyahut
melengkapi suasana tentram di pagi hari. Terlihat seorang perempuan tengah sibuk meracik
bumbu sebelum memasaknya dengan nasi dan juga lauk. Tangannya lihai memasukkan bahan
satu persatu sesuai urutan. Dengan celemek yang dia pakai untuk melingungi seragamnya dari
cipratan, dia terlihat seperti koki bintang 5.

‘’Pagi yah!’’ Sapa Akshita dari meja ruang makan. Menata rapih perlengkapan makan juga
menghidangkan menu sederhana untuk sarapan pagi itu.

‘’Pagi nak’’ Balas sang ayah sembari meregangkan otot-otot tubuhnya yang kaku sehabis
bangun tidur. Beliau menguap sebentar sebelum berjalan mendekati Akshita.

‘’Mau sarapan yah? Shita ambilin ya?’’

‘’Siapa nih yang masak? Bibi?’’

‘’Aku dong yah yang masak’’ Ucap Akshita dengan penuh bangga.

‘’Pintarnya anak ayah’’ Puji Beliau sambil mengusap kepala anak semata wayangnnya itu.

Akshita tersenyum, dengan segera mengambilkan sarapan untuk mereka berdua.

‘’Makasi ya nak’’ Ucap sang ayah yang diangguki Akshita. Mereka pun sarapan bersama.

Setelah sama-sama selesai menghabiskan sarapannya. Akshita menyalimi ayahnya karena ia


perlu berangkat kesekolah pagi itu, Tapi tidak untuk belajar seperti biasanya, dia kesana hanya
untuk mengembalikkan buku pelajaran yang dia pinjam 1 tahun terakhir ini. Karena hari itu
adalah hari terakhir dia menjadi siswi disana. Sorenya, ia akan pindah rumah mengikuti ayahnya
yang di mutasi ke Jawa Timur. Otomatis dia juga akan pindah sekolah. Pindah sekolah bukanlah
hal yang sulit bagi Akshita. Dia bukan tipe orang yang terlalu terikat dengan lingkungan atau
teman-temannya, yang jika disuruh berpisah akan menangis sejadi-jadinya seakan-akan dunia
nya runtuh dan hidupnya telah usai. Bukan, dia bukan tipe orang yang seperti itu.

Hari terakhir itu hanya dia gunakan untuk mengembalikan buku di perpustakaan dan
mengucapkan terimakasih juga pamit kepada guru-gurunya yang tak akan mengajarnya lagi, juga
kepada teman-temannya saat ini yang mungkin akan menjadi ‘mantan teman’. Sesekali Akshita
mengeluarkan airmatanya dan berkata kalau dia pasti akan merindukan teman-temannya itu.Tapi
entu saja itu semua hanya formalitas.

Tak terasa beberapa jam telah berlalu, dan Akshita memutuskan untuk segera cabut dari sana.
Dia harus pergi ke bandara sekarang bila ia tak ingin ketinggalan jam penerbangan pesawatnya.

‘’Jadi gimana, sekarang mau lanjut sekolah dimana nak?’’ tanya sang ayah membuka obrolan.
Beliau dan anak semata wayangnnya tengah menikmati matahari sore dengan ditemani segelas
teh hangat.

Akshita menoleh kearah ayahnya, ‘’belum tahu yah’’ jawabnya.

‘’Kalau Shita masih bingung, ayah saja ya yang memilihkan sekolah untuk shita’niko’ Tawar
ayahnya. Akshita hanya mengangguk mengiyakan, selain karena ia tak punya tawaran yang lebih
baik, ia juga selalu menuruti segala perkataan ayahnya.

Singkat cerita, akhirnya ayahnya menemukan sekolah yang dianggapnya pas untuk Akshita.
Sekolah itu adalah SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo atau yang biasa disebut dengan SMAMDA.
Tetapi Akshita kurang puas dengan pilihan ayahnya. Dia beranggapan bahwa akan lebih baik
bila dia dimasukkan kesekolah negri saja seperti SMA nya yang dulu. Karena sekolah negeri
menggunakan kurikulum yang sudah diatur oleh pemerintah dan mengacu pada sistem
pendidikan nasional, kurikulum inilah yang nantinya berlaku ketika ujian nasional, sehingga
mempermudah siswa dalam menghadapi UN. Siswa dan siswi yang masuk sekolah negeri pun
juga diseleksi terlebih dahulu. Inilah alasan utama Akshita memiliki mindset bahwa sekolah
negeri lebih unggul daripada sekolah swasta.
29 Mei 2020, hari dimana Akshita melakukan debut pertamanya di SMAMDA. Rasanya agak
gugup sekaligus mendebarkan. Bohong namanya kalau Akshita mengaku dia tidak exited hari
itu. Ia memakai jasa grab untuk mengantarnya bersekolah karena ia tidak bisa mengendarai
motor sendiri. Saat pertama kali memijakkan tanah disekolah itu, baru sampai halaman parkir
sekolahnya, ia sudah berpapasan dengan sederet barisan guru yang sigap menyapa dan
menyambut semua murid yang datang.

Sekarang Akshita harus segera menuju ke kelasnya sebelum bel berbunyi, tapi ia masih belum
tahu dimana letak kelasnya. Karena sekolahnya juga amat sangat luas, tidak mungkin juga untuk
mencarinya sendiri dengan mengelilingi sekolah itu. Saat ia sedang kebingungan, terbesitlah
sebuah ide, ‘’kenapa aku ngga coba tanya ke orang sekitar aja ya?’’ lalu ia menghampiri
seorang janitor sekolah yang sedang menyapu daun-daun yang memenuhi taman sekolah.

‘’Permisi pak, kelas XI MIPA 8 itu dimana ya pak?’’ tanya Akshita hati-hati agar tidak
mengagetkan beliau.

‘’Ah iya mbak, mbak nya dari sini bisa lurus aja, nanti di tangga depan sana mbak naik, lalu
belok kiri setelahnya.’’

Sebenarnya penjelasan dari beliau sudah sangat jelas dan tidak rumit sama sekali, tapi karena
beliau menggunakan bahasa Jawa, Akshita agaknya makin bingung. Ekspresi wajahnya dengan
jelas menunjukkan bahwa dia tidak menangkap petunjuk arah yang diberikan bapak itu.

Beliau hanya tersenyum lalu berkata, ‘’mari mbak, saya antar saja’’

Akshita sedikit terkejut, agak tidak menyangka kalau bapak tersebut akan mengantar dirinya
padahal beliau sedang bertugas, ‘’terimakasih banyak pak’’ ucapnya tidak enak hati sambil
membungkukkan badan beberapa kali.

Sesampainya Akshita di kelas, terlihat teman sekelas barunya yang masih asing di matanya
tampak saling diam. Sehingga kelas terasa sangat sepi dan sunyi yang hanya menyisakan suara
dari tapak sepatunya setiap ia melangkah. Mata cantiknya menyapu seisi kelas, mengabsen
bangku satu persatu, mencari bangku tanpa pemilik yang bisa ia tempati, dia temukan satu lalu ia
berjalan menuju bangku tersebut. Calon teman sebangkunya pun tersenyum saat melihat Akshita
berjalan kearahnya, Akshita izin duduk di sebelahnya dan menyapanya.
“Hai, siapa namamu?” tanyaku kepadanya setelah duduk.

Lalu ia pun menjawab dengan senyumnya, “Eh, hai, aku Hana. Salam kenal ya, nama kamu
siapa?”

“Senyummu sungguh manis, Hana. Aku Rain, panggil saja aku Rai. Terbilang aneh kan,”
balasku kepadanya dengan senyuman juga.

“Ah, terimakasih. Kamu juga, nama kamu unik kok, Rai.” jawabnya, lalu kami berdua
mengobrol dengan asyik dan tidak terasa bel masuk telah berdering.

“Eh, ayuk kita ke lapangan. Sudah dipanggil kan untuk upacara,” ucapnya kepadaku setelah ia
mendengar suara dari speaker pengumuman yang ada dalam setiap kelas.

“Eh iya, yuk.”

Anda mungkin juga menyukai