Anda di halaman 1dari 8

Belum Terlambat

21 Oktober 1993, menjadi saksi bagi keluargaku.


Kebahagiaan yang tak mampu kuucapkan dalam hati ku,
mungkin juga dalam hati kakakku, ibuku, bahkan ayahku.
Kabar itu tidak lain adalah kelahiran anggota baru di keluarga
kecil kami. Kehadirannya sangat ditunggu-tunggu oleh ayah
dan ibuku.

Bayi itu bernama Jeo, perawakan pendek dan lebih


berisi. Mungkin dibandingkan aku dan kakakku saat bayi, dia
memiliki nilai lebih baik dari segi tampilan tubuh. Dia berkulit
cerah dan matanya berwarna cokelat indah. Senyumnya yang
tipis dapat meluluhkan setiap hati orang yang mendekatinya.
Hal itu membuatnya disenangi oleh banyak orang termasuk
keluargaku dan sanak saudara. Terkadang ada pula yang
meragukan, apakah dia benar benar anak dari ibu dan ayah
ataukah kedua orang tuaku mencoba untuk mengadopsi
anak. Seluruh pertanyaan itu ditepis dengan cepat oleh
ibuku, bahwa betul dialah buah hati yang dilahirkannya.

Saat ini ayahku berumur tiga puluh lima tahun. Beliau


merupakan salah satu pahlawan yang wajib untuk aku
ceritakan kepada anak cucuku kelak. Semangat,
kegigihannya, dan cinta kasihnya selalu ada untuk
keluargaku. Tak perlu engkau ragukan pengorbanan dari
seorang ayah, banyak orang yang berkata bahwa seorang
ayah rela mati mengorbankan nyawanya demi buah hatinya.
Ya, aku rasa itu benar dan sangat nyata. Pria berbadan tegap
yang menjadi panutanku itu bekerja sebagai seorang petani.
Maklum, beliau berasal dari desa yang jauh dari perkotaan.
Luput akan perkembangan teknologi membuat beliau
berpikiran pragmatis sesuai yang diketahuinya. Kulit
cokelatnya dan kumisnya sangat menggambarkan bagaimana
beliau dapat bertahan sampai saat ini. Mungkin sudah sangat
banyak peluh yang dihasilkan, mungkin juga penebalan kulit-
kulit tangannya karena sibuk bekerja demi keluarga kami.

Ibu menjadi seorang sosok yang sangat aku cintai,


bahkan sebelum aku lahir ke dunia ini. Inilah yang dinamakan
cinta pada pandangan pertama, cinta yang murni tak
beralasan karena yang kau tau apabila kau masuk ke
dalamnya adalah kata cinta. Rambutnya agak keriting dan
garis mata yang jatuh kebawah, tampak begitu indah bagiku.
Wanita yang sangat aku kagumi, mungkin kelak aku akan
memilih wanita yang seperti beliau sebagai pendamping
hidupku. Cermat, bijaksana, dan sederhana merupakan kata-
kata yang sudah sangat menggambarkan bagaiamana beliau
sesungguhnya. Kasih tak pernah dipendam, ya itu yang
tampak setiap kali aku dan kakakku melakukan kesalahan
terhadap hatinya. Dia akan sangat cepat luluh dan
memaafkan kami. Kesibukannya dan pendidikan yang
ditempuhnya menjadi batu loncatan bagi dia untuk menjadi
seorang ibu rumah tangga. Aku sangat bangga akan hal itu,
hal itu yang menjadikanku sangat mencintai dia dari dulu
hingga saat ini dan pasti sampai selama-lamanya.

Kakakku merupakan sosok yang sangat dekat


denganku. Maklum setiap hari aku menempati tempat tidur
yang satu ruangan dengan dia. Setiap hari tidak pernah
dilewatkan tanpa cerita. Kadang kami sampai tidur larut
malam, sangat malam membuat kami terlelap dan akhirnya
tidak bisa bangun lebih pagi untuk bersiap ke sekolah.
Kakakku sangat berbeda dengan kakak-kakak yang lain, yang
pernah aku kenal. Ia bahkan rela mengeluarkan banyak
uangnya untuk membeli beberapa kebutuhanku. Meskipun
tidak semua tapi aku berpikir bahwa itu sangat membantu ku
hingga saat ini. Kakakku saat ini sedang duduk di bangku
SMA, siswa akhir yang notabene memiliki jadwal sangat
padat dan mungkin mereka akan banyak menghabiskan
waktu di luar rumah. Ini yang membuat aku sedikit kecewa.

Ayahku merupakan seorang yang suka berpetualang,


ya itu mulai dari sejak beliau muda. Hal ini yang menjadi
faktor paling penting kenapa kami sampai saat ini suka
berpindah-pindah tempat untuk beberapa tahun. “Nak, kalau
nanti kamu memilih calon isteri, pilih yang bisa kamu ajak
jalan jalan ya nak dan masakkan kamu makanan tiap hari.”
Kata ayahku. Lalu aku menjawab, “Sungguh yah? APakah ibu
seperti itu juga?”. Ayah menjawab,”Tentu nak, itu yang
membuat ayah sangat mencintai ibumu sampai saat ini.”
Ayahku memilih pendamping yang sangat cocok untuk
dirinya. Beragam masalah yang terjadi dan menimpa
keluargaku menjadi cambuk bagi ayahku dan ibuku untuk
berpikir sangat keras. Alasannya adalah terkadang ada
beberapa orang yang memberikan pengaruh negatif bagi
keluarga kami. Maka ayah memutuskan untuk berpindah
tempat, bukan karena akibat hubungan yang dijalin antara
mereka namun pengaruh yang akan diberikan kepada kami,
anak-anaknya.

Rumah yang cukup besar berukuran 40 meter ke


belakang dan 10 meter ke samping sangat menjadi tempat
yang nyaman bagi keluarga kami. Ayah sengaja memilih
tempat itu karena masyarakat sekitarnya sangat ramah dan
pemandangan yang sangat asri. Terletak di sebelah selatan
daerah bogor memberikan udara yang sangat sejuk untuk
daerah itu.

Beberapa tahun berlalu dengan cepat, tidak terasa


aku yang dulunya duduk di bangku SMP sekarang sudah akan
tamat dalam jenjang SMA. Adikku yang dulunya kecil sudah
tumbuh menjadi seorang remaja yang sangat digemari oleh
teman seangkatannya. Dia juga termasuk orang yang
terbilang cerdas dalam akademik, dia juga sangat ramah
kepada semua orang yang ditemuinya. Namun, ada sesuatu
yang menjadi sifat buruknya yakni dia memiliki sifat ingin
menang sendiri. Tak jarang dia menimbulkan berbagai
masalah bahkan dari hal kecil sampai besar. Mungkin hal itu
dikarenakan dia selalu menganggap dirinya adalah yang
paling tinggi. Terutama di kalangan anak seusianya. Pernah
dia berkata,”Kak, kenapa ya? Teman temanku banyak nanya
tentang rahasia biar dikagumi? Lalu aku menjawab,”Ya,
mungkin karena mereka sangat mendambakan berada di
posisi mu dik.”

Pernah terjadi sebuah keributan, dimana dia


melaporkan ulah temannya yang sangat tidak baik ditiru.
Pada siang itu, mereka satu kelas mengikuti jam pelajaran
bahasa Indonesia, bertepatan dengan waktu ulangan. Dia
sudah sangat mempersiapkan diri untuk ulangan hari ini.
Namun, hal itu bermula saat dia mulai mengerjakan
beberapa soal. Ya, mereka duduk dengan jarak masing-
masing satu meter. Adikku tampak senang, tentu saja karena
dia sangat mengerti akan pelajaran yang sedang
dikerjakannya, namun tidak dengan teman di sekelilingya,
terutama Alex yang sangat iri kepada adikku. “Aku akan
menjawab semua soal ini dengan baik.” Bisiknya dalam hati.
Alex, dia selalu mencoba untuk menjatuhkan adikku ke dalam
keadaan sulit. Hampir sejam sudah waktu berjalan, Ibu Rita
pun terlihat sudah mempersiapkan diri untuk mengumpulkan
jawaban. Mungkin bagi sebagian besar orang, momen inilah
yang akan menjadi kesempatan untuk memperbaiki jawaban
ataupun mengisi jawaban yang kosong sembari ibu guru
sibuk mengumpulkan tugas teman-teman lainnya.

Alex pun melancarkan tindakannya, dia datang ke


meja adikku dan melihat seluruh jawaban yang ditulisnya.
“Eh kamu, permisi dikit aku mau lihat jawaban kamu!” seru
Alex. Sontak adikku terkejut, “Ini apa apaan, kamu buat apa
melihat jawab aku? Kan kamu belajar juga di rumah.”
Bagaimana tidak jika engkau sudah belajar mati-matian
namun orang langsung meniru jawaban yang telah kau tulis.
Alex pun langsung menjawab, “Diam kamu! Aku cuman ingin
melihat jawaban kamu, gak usah sok pintar deh, aku juga
belajar kok di rumah.” Dia pun bergegas menghampiri ibu
guru dan memberitahukan kelakuan Alex. “Bu guru, Alex
meniru jawaban aku.” Ibu gurumenghampiri,”Benar itu
Alex?” Raut muka Alex langsung berubah seketika seakan
akan menggambarkan dendam yang sangat besar. Akhirnya
ibu guru mengambil kertas jawaban Alex dengan segera
membulatkan namanya menjadi angka nol besar. “Karena
kelakuan kamu yang tidak baik, ibu kasih kamu nilai 0!” Tak
lama kemudian, Alex langsung mendekati adikku dan
mendorongnya ke dinding lalu memukul pipinya hingga ia
meronta kesakitan.”Kamu mau apa? Aku hanya melihat
sebentar, kenapa kamu langsung melaporkanku ke ibu
guru?” Ibu guru berlari ke arah mereka dan berusaha untuk
memisahkan mereka namun Alex menggenggam dengan kuat
tangan adikku dan ingin memutarnya dengan sangat kuat.
Adikku meminta ampun kepada Alex lalu ibu guru berhasil
memisahkan mereka. “Alex, hentikan!”, kata bu guru. Alex
langsung keluar dari ruangan dengan membawa tas karena
jam pelajaran saat itu adalah yang terakhir. Ibu guru pun
langsung dengan sigap membawaku ke UKS dan
membersihkan luka yang ada di pipi adikku. Adikku sedikit
trauma dengan kejadian itu hingga akhirnya dia diantarkan
oleh wali kelasnya bernama bu Sita ke rumah. bungsunya
babak belur. Adikku berlari cepat dan segera masuk ke
rumah tanpa sempat menyalam ayah seperti biasanya.
Akhirnya bu Sita menceritakan hal tersebut dan kemudia
ayah mengerti. Bu sita berpamitan kepada ayah dan kembali
ke sekolah. Ayah sangat cemas dengan keadaan adikku
namun apa daya, dia mengurung dirinya di kamar dan tidak
ingin keluar.
Sepulang dari sekolah, aku bergegas menuju rumah
karena ayah berpesan kepadaku untuk cepat pulang. Aku
sangat khawatir karena tidak biasanya ayah berpesan seperti
ini. Hingga beberapa kali mencoba menelponku walaupun
sedang dalam kelas.

Sesampainya di rumah, aku langsung bertemu


dengan ayah dan menanyakan yang terjadi . “Ada apa
yah?”tanya ku. “Adikmu telah dipukul oleh temannya karena
masalah kecil.” “Lah, kok bisa yah?” tanya ku balik. Ternyata
adikku telah dipukul oleh temannya. Sontak aku berteriak
marah, aku tidak rela dengan sikap temannya yang seperti
itu. Aku ingin menemui teman adikku dan menemui orang
tuanya. “Baiklah saat ini aku ingin menjumpaui orang tua dari
anak itu!” tegas ku. Ayah berkata,”Tidak usah nak, maafkan
saja, ini hanya masalah kecil, tidak perlu dibesarkan” usap
tangan ayah di kepala ku. Namun, ayah berpesan bahwa aku
harus tabah dan memaafkan.

Aku mengetuk pintu kamar adikku dan mencoba


meyakinkan dirinya. “Dik, adik, keluar yuk, kita makan siang
dulu.” seru ku. Beberapa ketukan ku coba, namun adik tak
membalas. “Kak, kak…”tengisnya pun mulai terdengar.
Hampir setelah aku ingin berbalik karena ragu, adik
membukakan pintu kamarnya dan akhirnya ia mau
menceritakan yang terjadi. Aku pun memberikan saran
kepadanya, dan meminta dia untuk minta maaf kepada Alex.

Keesokan harinya, tepatnya hari minggu saat itu. Aku


dan adikku mengunjungi rumah Alex. Alex tampak murung.
“Halo Alex, kamu apa kabar dik?” tanyaku sambil memegang
bahunya. Namun dia tidak menjawab. Kemudian, aku
bertanya kepada orang tua Alex mengapa demikian. “Mohon
maaf tante da nom, saya ingin bertanya tentang keadaan
Alex saat ini.” Orangtuanya menjelaskan bahwa sudah
beberapa hari Alex merasa sangat bersalah akan
perlakuannya kepada adikku. “Nah adik, kalian kan satu kelas
dan juga udah kenal lama, gak boleh ada kata dendam lagi
ya.. kan lebih bagus kalau saling membantu dan
memaafkan?”kata ku.”Benar kak, aku minta maaf ya Jeo.”
kata Alex. “Aku juga minta maaf ya Lex, bagaimana kalau
mulai sekarang kita belajar bersama saja sebelum ujian?”
Akhirnya aku meminta adikku untuk meminta maaf kepada
Alex hingga akhirnya mereka berdua berpelukan dan saling
memaafkan.

Setelah selesai, aku dan adikku meminta izin untuk


pulang. Adikku tampak senang dan bahagia. Kini, Alex dan
adikku sangat akrab dan berteman baik, mereka juga sering
belajar bersama-sama di rumah kami.

Anda mungkin juga menyukai