Anda di halaman 1dari 5

Belum Ada Judul

Oleh Malik Elfaris

Pagi yang indah, matahari bersinar dibarengi suara burung berkicau nan indah. Jalan-jalan
yang ramai dipenuhi suara kenalpot motor, pertanda semua memulai aktivitasnya masing-
masing di pagi ini.
Begitu pula aku yang hari ini akan berangkat kuliah. Semua dipersiapkan dengan sangat
matang. Laptop, flashdisk, mouse, dan lain-lain. Berbeda dengan ibu yang sejak pagi sudah
mempersiapkan barang dagangan di depan rumah, demi menghidup keluarga.
“Bu Faris pamit ya, Bu” katanya, sambil mencium tangan pada Ibu.
“Iya. Hati-hati yo, Le”
“Iya, Bu. Assalamualaikum”
“Waalaikumussalam”
Dengan doa dan ridho dari ibu Insyaallah semua akan berjalan dengan baik, karena apabila
Ibu sudah ridho maka Allah pun ridho. Itulah kata guruku dulu di Pesantren. Aku bergegas
menuju kampus yang jaraknya lumayan jauh dari rumah. Bila ditempuh menggunakan motor
kurang lebih sekitar 15-20 menit, tapi bila ditempuh oleh kendaraan umum maka kurang
lebih sekitar 30-35 menit, sedangkan aku berangkat menggunakan kendaraan umum yang
mengharuskan aku berangkat sejak dini hari. Walaupun begitu, aku tidak pernah punya
pikiran untuk ngekos, karena kupikir kasian Ibu dirumah sendirian, sementara Bapak sudah
meninggal sejak aku menginjak kelas 6 SD. Oleh sebab itulah, sejak SMP aku sudah sering
membantu ibu berjualan dan mulai hidup mandiri.
Waktu menunjukan pukul setengah 2 siang, yang berarti waktu kuliah pun sudah selesai.
Aku segera menuju ke rumah makan yang tak jauh dari kampus, untuk melakukan rutinitasku
yaitu bekerja sebagai pelayan. Rumah makan tersebut ramai karna selain dekat dengan
kampus, tapi juga murah dan enak. Kang Tadin sengaja memurahkan dagangannya, karena
dia tau dan pernah merasakan menjadi mahasiswa seperti yang lain.
Hari-hari bekerja memang tidak mudah, selain harus berhati-hati, ia juga harus menerima
pahitnya lontaran lisan teman-temannya.
“Piye, Le kuliahmu saiki?” tanya Kang Tadin
“Alhamdulillah, Kang lancar,” jawabnya sambil mengelap meja bekas pelanggan.
“Yo Alhamdulillah to, Le. Awakmu kuliahe lancar, aku yo iri karo awakmu”
“Loh kok sampean iri toh karo aku?”
“Awakmu je mudo wis iso kuliah gawe beasiswa”
“Ra usah tawadhu, Kang”
Akupun kembali bersih-bersih dan mengelap meja sambil memurojaah hafalan Qur’anku.
“Permisi,” potong seseorang perempuan bercadar, secara tiba tiba.
“Oh iya. Silakan duduk.” ucap Faris sambil mempersilakan.
“Mau pesan apa mbak?” lanjutnya.
“Oh, ayam geprek 1 sama es teh.”
“Oh, siap”
“Kang, ayam geprek 1 sama es teh 1”
“Faris!” ucap perempuan itu.
“Loh, kok kamu tau nama saya”
“Ih, masa kamu gak inget. Ini aku, Nabila. Temen waktu masih SMP”
“Oh, Nabila”
“Maaf lupa, soalnya kamu pake cadar”
“Sini duduk dulu” kata Nabila sambil mempersilakan kursi didepannya.
Sempat terjadi perbicangan hangat diantara keduanya. saling bercerita, saling mengungkit
masa lalu, dan tertawa bersama. Aku merasakan hati tulus ya Nabila. Aku merasa Nabila
sudah berubah, menjadi seorang yang lebih baik dan sholehah, dibandingkan dulu yang tidak
mengenakan jilbab dan membiarkan rambut indahnya terurai, dan membiarkan siapa saja
dapat melihat pesona cantiknya bak bidadari yang menjelma menjadi manusia, sehingga
banyak sekali orang jatuh cinta padanya. Tapi pada saat itu aku adalah satu orang yang tidak
mencintai Nabila. Entah kenapa? Mungkin karena bukan tipeku atau mungkin karena
memang aku tidak mencintainya. Tapi sekarang entah kenapa aku terkagum padanya. Seakan
dia bukan Nabila yang dulu lagi. Dia sudah berubah, bahkan dia kini sudah hafal Quran,
Masyaallah.
“Kenapa kamu diem aja? Lagi mikirin apa?” potong Nabila.
“Gak, bukan apa-apa” jawab Faris dengan agak kaget
“Jadi gimana perjalanan kamu setelah SMP? Kamu belum cerita”
“Jadi setelah lulus SMP, aku termotivasi oleh Kakakku yang sudah hafal Quran, jadi aku
memutuskan untuk melanjutkan ke Pondok. Ya, di Pondok tahun pertama Alhamdulillah
berhasil menghafal 5 juz, tahun kedua 10 juz, dan tahun ketiga 15 juz, Alhamdulillah. Saat
aku khatam Ibu kaget sekaligus bangga, dulu aku kan gak mau mondok.”
“Walah, walah, wis wis ge ndang muleh, atene tutup” potong Kang Tadin.
“Eh kenapa kenapa ketawa?” tanya Nabila pada Faris.
“Nggak, katanya kamu lucu, hahahaha”
“Ih, yang bener!” jawab nya dengan tangan yang siap mencubit.
“Et, et bukan mahrom, ternyata kamu masih sama ya kaya dulu suka nyubit”
“Ih, apaan sih.”

Hari ini pun berlalu, aku pulang ke rumah dengan pikiran yang terus membayangkan
Nabila yang tadi sebelum pulang merengek meminta no. HP ku, betapa cantiknya dia, ketika
ia merengek bagai anak kecil meminta mainan baru dari orang tuanya, tapi seketika aku
mengingat Allah, “Astaghfirullah, kenapa aku malah memikirkan hal yang tidak ada
manfaatnya”.
Aku pun melupakan Nabila, dan beristighfar sebanyak- banyaknya. Aku takut Allah
menyiksaku karena perbuatanku ini.
Tak lama kemudian aku sampai di Rumah. Ibu menanyakan keterlambatan aku pulang ke
rumah. Aku menjawab dengan jujur karna tak mungkin aku menbohongi.
“Ibu habis ketemuan sama temen”
Tapi tiba tiba, Ibu memasang mata jahil. “Sama temen laki atau perempuan?”
Akupun menjawab “Perempuan, Bu”
“jadi udah kamu tembak belum” tanya ibu dengan nada jahil
“apaan sih bu, Cuma temen doang”
“Ya sudah cepet mandi sana”
Ibu memang ingin aku cepat menikah, karna kata Ibu kasihan kalo kamu gak nikah-nikah,
dan ibu juga ingin cepat punya cucu. Jadi Ibu akhir akhir ini sering menjodoh jodohkan aku
dengan anak teman nya, tapi aku sering menolak, bukan karna aku tidak taat pada orang
tua,dan bukan karna aku tidak mau, tapi aku ingin mencari orang yang aku cintai sendiri,
bukan cinta karna paksaan. Aku belum sempet bilang ke Ibu sih soal Nabila biar jadi kejutan
aja buat ibu, lagian aku jugakan belum tentu jadian sama sama dia, ta’aruf juga belum, jadi
lebih baik nanti kalo udah pasti.

Beberapa bulan berlalu kini ia sudah mulai dekat dengan Faris, tapi ia belum sempat
menyatakan rasanya pada Faris, karna beberapa alasan. Tapi kata adiknya dia belum punya
calon. Aku sering bertanya tanya tentang Faris lewat adiknya, adiknya kini tengah ada di
Madinah, untuk menyelesaikan kuliah S1 nya. Lewat informasi yang aku dapatkan ku kira
aku aku cocok dengan Faris, dia sholeh, dia baik, pintar, dan cerdas. Adiknya juga bercerita
katanya yang terpenting baginya adalah mendapatkan istri yang Sholehah, baik, setia, dan
pandai. Rasanya aku semakin terpikat olehnya entah kenapa, dan apa sebabnya, seakan dia
memang orang yang baik untukku. Dari sekian banyak laki laki yang datang padaku semua
ku tolak karna, mereka akan lebih cepat pindah hati bila melihat perempuan yang lebih cantik
lagi dari aku. Tapi Faris berbeda, dia satu satunya orang yang aku claim. Aku pun sering
berbicang dengan nya via online, tapi dia bilang, kita jangan sering chattan, karna bukan
mahrom,
kecuali ada hal penting. Kata-kata itu menunjukan bahwa dia memang orang yang
menjaga diri.

Matahari mulai menunjukan sinar mungilnya, yang menunjukan bahwa hari mulai pagi,
selesai Sholat subuh nabila langsung, memurojaah hafalan Qurannya, dan bersiap siap untuk
pergi ke tempat reuni, karna hari ini ada reunian teman–teman dari SMP. Ini dalah reunian
pertama dari SMP nya, sebenarnya sudah sempat di rencanakan dari waktu itu, tapi karna
beberapa kendala akhirnya reuni sering diundur-diundur dan diundur, hingga akhirnya sudah
diresmikan bahwa hari ini reuni akan dilaksanakan. Akupun langsung bersiap-siap untuk
pergi, dan tetap memakai pakaian yang sesuai syariat, dan tetap memekai cadar, karna bagiku
tidak ada kata gengsi.

Beberapa saat kemudian aku sampai di sebuah café, café yang clasik dan mewah, sudah
terdegar suara orang bercanda ria didalam, tapi aku belum mau masuk, aku ingin menelpon
faris terlebih dahulu. Beberapa kali aku menelpon tidak diangkat tapi pada panggilan ke 3
kalinya akhirnya ia pun mengangkatnya.
“assalamualaikum ris”
“waalaikumsalam, ada apa?”
“kamu udah sampai belum”
“udah”
“hah! Udah sampe, berarti kamu udah di dalem” tiba tiba di belakangku ada suara orang
menjawab pertanyaan ku.
“udah sampe ini lagi mau masuk”
teryata faris sudah ada di dibelakang ku dengan mengenakan koko berwarna biru, dan celana
catun hitam
“yu masuk” ajak Nabila
Mereka pun masuk kedalam berdua, seperti orang yang berpacaran.
“jangan deket deket bukan mahrom”
“oh sorry”
“assalamulaikum” ucap faris pada orang yang ada di dalam café, dan membuat semua mata
yang ada disana tertuju padanya.
“waalaikumsalam, waduh Faris, makin ganteng aja kau”

Sempat terjadi perbicaraan hangat diantara mereka, teman teman nya menanyakan bagamanai
kuliahnya , ada yang menanyakan apa sudah nikah, dan bahkan ada yang memujinya katanya
ia semakin sholeh aja, berberagam ragam. Ia sebenarnya nyaman nyaman saja disana ,Tapi
bukan itu yang ia permasalahkan, ia sangat tidak betah berada di dalam, karna teman teman
Belum ada judul
Oleh: malik el faris
Sore hari yang indah, burung burung bersiul mengikuti suasana irama senja, sinar orange
yang terpancar dari langit, yang membuat setiap orang, yang memandanginya akan
terhipnotis. Tapi kini keadaan telah menghianati suasana. Berdirilah seorang pemuda
berumur 17 tahun, ber rambut pirang, dengan mengenakan celana abu panjang, dan baju
putih, layak nya seorang pelajar SMA. Tangannya mengepal dan berlumuran darah, matanya
tajam menatap kebawah, bajunya yang putih pun, bernoda darah, dan telah kehilangan 3
kancing paling atas, dibajunya. Dihadapannya terdapat 12 orang pemuda bergeletakan,
bajunya sobek, mukanya bonyok, dan bersimbah darah. Tiba-tiba terdengar suara langkah
kaki seolah sedang berlari menghapirinya dengan tergesa-gesa, kira-kira sekitar 8 orang, tapi
ia sama sekali tidak terusik, matanya tetap tajam melihat ke depan, terpaku pada orang
yang bergeletakan ditanah, dengan tangan yang ngepal kencang, seolah ada marah yang
ingin ia luapkan.
“Van…devan, woi” ujar salah seorang dibelakangnya “anjay, udah lu habisin aja, semuanya.
sorry, gue gak bawa anggota yang lain” sambil meraih pundak pemuda tersebut, yang
namanya devan
“Gak apa-apa, santai, Cuma ngeberesin sampah kecil doang. Lagian tadi berantem mereka
kaya anak kecil lagi rebutan mainan” ujar Devan, sambil meregangkan jari tangan, yang
berlumuran darah “Yogi, gimana keadaan nya si Dika?”
“aman sih, dia Cuma luka ringan aja” jawab Yogi “kayanya besok, lu gak bakal aman, lu bakal
di cari sama pak Guru. Guru dari sekolah mereka juga pasti bakal ngelapor. Mending lu gak
usah sekolah aja”
“lagian ini masalah gue, gue gak akan pernah sembunyi dari masalah gue. Gua bakal tetep
sekolah.” Jawab Devan dengan tegas “WOIII…..AYO BALIK SEMUA, KITA KE MARKAS!”
Instruksinya pada anak buahnya
“SIAAAAP.” Semua anggota menjawab dengan seretak
Mereka semua tunduk dihadapan Devan, tak ada yang berani menentangnya, bahkan
menuturkan satu kata pun, Bukan hanya didalam geng nya saja ia ditakuti, tapi di luar sana,
ia ditakuti oleh geng-geng sekutu lain. Dalam anggotanya hanya berjumlah 20 orang,
dibanding geng lain, yang berjumlah 50 orang lebih, sudah jelas anggotanya kalah jumlah,
tapi dalam pertarungan, anggota geng mereka selalu menjadi mereka selalu jadi pemenang
atas pertarungan tersebut, itulah alasan Geng nya adalah salah satu geng papan atas di
Jakarta. Dalam geng nya devan menjabat sebagai ketua geng, dan dibawah nya ada Yogi,
sebagai wakil ketua geng, dibawah nya lagi ada Dika, sebagai kapten divisi pertama. Mereka
memiliki skil bertarung diatas rata-rata, Dika bisa menghabisi sekitar 4 orang, Yogi bisa
menghabisi 8 orang sekaligus dalam pertarungan, sedangkan Devan, jika dilihat dari
pengalaman ia pernah menghabisi 15 orang sekaligus, saat pertarungan gengnya melawan
geng Djogja berdarah.
Pagi pun datang, Devan berangkat kesekolah dengan baju bercap merah darah, dan
kehilangan 3 kacing diatas nya. Di sampingnya terdapat 2 sahabatnya, yaitu Dika dan Yogi,
mereka berjalan berdekat, seperti presiden yang sedang dikawal polisi. Setibanya di sekolah,
semua orang yang ada di lorong kelas 11, menyingkir secara tiba-tiba, tidak ada yang berani
mendekat, tapi diantara mereka ada juga yang terpesona melihat wajah cool nya devan,
karna memang selain keahlian bertarungnya, ia juga memiliki wajah yang gateng, karna
ibunya adalah orang asli Eropa, itulah alasan ia memiliki rambut hitam ke pirang pirangan.
Selesai menyimpan tas di kelas 12, ia segera menuju ke lapangan untuk melaksanakan
upacara. Selesai upacara ia pak rudi memberiakn pengumuman bahwa 12 anak sekolah lain
babak belur di hajar oleh salah 1 orang dari sekolah ini. Semua siswa dan pak Rudi sudah tau
bahwa, Cuma 1 orang di sekolah ini yang bisa menghajar 12 orang sekaligus, dan semua
mata mulai tertuju pada Devan. Devan pun mengaku dan maju kedepan karna memang ia
yang sudah melakukan itu, jadi ia harus mengakui kesalahanya. Pak rudi menghukumnya
habis-habisan, karna sudah memukuli anak sekolah lain, dan akan memanggil orang tua
Devan ke sekolah, tapi karna orang tua Devan sudah meninggal akibat kecelakaan, jadi
kakaknya yang akan datang ke sekolah, sebenarnya sudah sejak SMP ia tinggal bersama
kakaknya

Anda mungkin juga menyukai