Anda di halaman 1dari 5

Lika-Liku Kehidupan

Di persimpangan jalan ibu kota, aku melihat ada sesosok pemuda. Ya, seorang
pemuda dengan kaos putih nan kusam, serta celana pendek yang robek-robek. Dia berdiri
sambil meminta-minta dari satu mobil ke mobil yang lain, sebuah pekerjaan yang tidak
pantas dilakukan oleh anak seusianya. Kalau dilihat-lihat, seperti nya dia seumuran
denganku. Aku melihatnya dari kejauhan, timbul hasrat untuk menghampiri pemuda itu. Lalu
aku pun menghampiri pemudanya.Dan kemudian aku ajak untuk tinggal bersamaku. Oh iya,
namaku Ardi. Seorang anak yatim piatu. Ayah dan Ibuku meninggal 5 tahun yang lalu,
musibah pesawat jatuh menimpa mereka. Aku tinggal di rumah cinta yang berlokasi di
Jakarta, sebuah rumah yang memang sengaja didirikan untuk menampung anak-anak yatim
piatu dan para tuna wisma. Pemilik rumah cinta yang bernama Ibu Mufrodah itu
mengizinkan anak yang baru kukenal untuk tinggal bersama kami. Ibu Mufrodah memang
orang yang paling mulia hatinya yang pernah kukenal. Ia kaya raya, tetapi ia sangatlah
sederhana. Hampir seluruh hartanya ia gunakan untuk membantu sesama. Setelah di tanya
oleh Ibu Mufrodah,ia berkata bahwa namanya adalah Verrel, sebuah nama yang cukup keren
menurutku. Setelah bertanya panjang lebar, ternyata dia kabur dari rumah, bapaknya adalah
seorang Konglomerat dan ibunya adalah seorang Jaksa. Aku terkejut bukan kepalang
mendengar pengakuan nya itu. Seorang anak yang bisa dibilang cukup beruntung karena
dilahirkan di keluarga yang sangat berkecukupan. Lalu mengapa kau pergi dari rumah?
Bukannya hidupmu itu sangat berkecukupan? tanyaku. Lalu ia menjawab Ayahku adalah
seorang koruptor kelas atas. Aku tak tahan jika terus menerus memakan uang haram. Lalu
aku memutuskan untuk pergi dari rumah. Jawabannya membuatku semakin terkejut, bahkan
mulutku tak mampu berucap.
Keesokan harinya, Ibu Mufrodah menyuruhku untuk menemuinya. Temui Ibu
setelah Shalat Dzuhur, Ar. Katanya. Baik, Bu. Jawabku. Adzan Shalat Dzuhur pun
berkumandang dan aku pun mengajak Verrel untuk shalat bersama. Tetapi ia menjawab
Maaf, Ar. Aku seorang non muslim. Oh begitu rupanya. Baiklah kalau begitu. Kemudian
aku melangkahkan kaki ke masjid dan menunaikan Shalat Dzuhur. Setelah itu, akupun
segera menemui Ibu Mufrodah. Sesuai dengan dugaanku, Ibu Mufrodah bertanya soal Verrel.
Kamu bertemu dengannya dimana, Ar? Saya bertemu dengannya di persimpangan jalan di
daerah kuningan, Bu. Saya melihat dia meminta-minta dari satu mobil ke mobil lainnya. Saya
tidak tega melihatnya, Bu. Kemudian saya menghampirinya dan mengajaknya untuk tinggal
disini. Oh begitu rupanya, baiklah. Ibu minta tolong, bimbing dia ke jalan yang lebih baik
agar dia tidak salah arah. Mengingat pekerjaan orang tuanya yang seperti itu, ibu takut kalau
besarnya nanti ia menjadi seperti orang tuanya, mengingat peribahasa buah tidak akan jatuh
jauh dari pohonnya. Perilaku seorang anak tidak akan jauh berbeda dari kedua orang tuanya.
Ibu takut hal itu terjadi, Ar. Semoga dia tidak akan menjadi anak yang seperti itu. Terang Ibu
Mufrodah. Insya Allah bu, saya akan berusaha sebisa saya untuk membawanya ke jalan
yang lebih baik lagi. Saya mohon juga kerjasama dari ibu. Jawabku. Oh itu tentu saja, ibu
akan tetap mengawasinya. Tolong katakana padanya, mulai besok ia sudah bisa bersekolah
bersamamu. Ibu sudah mendaftarkannya tadi pagi. Ini seragam, tas beserta perlengkapan

sekolah tolong berikan padanya. Baik, Bu. Saya permisi dulu, Bu. Asalamualaikum.
Waalaikumsalam. Jawab Ibu Mufrodah.
Rel, ini ada seragam dan peralatan sekolah lainnya. Ibu Mufrodah yang
memberikannya untukmu. Mulai besok kamu bisa bersekolah denganku. Tadi pagi, Ibu
Mufrodah mendaftarkan sekolah untukmu. Dan yang lebih enaknya lagi, kita sama-sama
sekolah di sekolah yang sama. Kamu senang kan? terangku. Verrel hanya terdiam dan
matanya pun berkaca-kaca. Sontak ia memeluk erat tubuhku. Dia menangis sekencangkencangnya. Mimpi apa aku kemarin, Tuhan? Sudah mendapatkan tempat tinggal yang
nyaman, terlindung dari dinginnya malam, terlindung dari hujan dan suara petir yang
membuatku takut. Sekarang malah dikasih sekolah gratis pula. Tuhan, terimakasih atas
nikmat yang engkau berikan padaku. Aku berjanji padamu Tuhan, aku akan sekolah yang
rajin, menjadi orang yang sukses dan membuat orang tuaku bangga padaku. Aku pun terharu
dan mataku berkaca-kata mendengar ucapannya barusan. Mulutku seakan-akan terkunci,
bahkan untuk membuka sedikit sajapun aku tak sanggup. Aku hanya bisa memeluknya
dengan erat seraya tersenyum bahagia.
Ayo, Ar. Cepat sedikit nanti telat. Kata Verrel. Bukannya cepat-cepat, aku malah
tersenyum melihatnya. Loh kok malah senyum-senyum? Ayo buruan. Katanya. Aku
senang sekali melihatmu sangat semangat sekali untuk pergi ke sekolah. Aku harap kau akan
seperti ini terus setiap harinya, wahai sobatku. Kataku sambil menyiapkan buku. Ya, sejak
saat itu ia menjadi sobat terbaikku. Selain memang orangnya sangat baik, ketika mengobrol
ya nyambung saja. Kita memiliki hobi yang sama, yaitu bermain sepak bola. Sudah menjadi
rutinitas kami, setiap sore kami selalu menyempatkan untuk bermain sepak bola bersama.
Entah setengah jam atau berapapun lamanya, kami selalu melakukannya bersama. Hitunghitung untuk membuang keringat pikir kami.
Tanggal 21 Oktober, hari ini adalah hari ulang tahun sahabat baikku, si Verrel. Aku
sudah membuatkan hadiah ini khusus untuknya. Ya, sebuah bingkai foto dari kalender dan
foto kami berdua. Bingkai yang berwarna-warni itu melambangkan persahabatan kami. Aku
bungkus bingkai foto itu dengan kotak berwarna biru tua, warna kesukaannya. Rel, selamat
ulang tahun ya. Ini kado untukmu. Kataku. Ya Tuhan, Ar. Repot-repot amat. Makasih
banget. Boleh aku buka sekarangkan?. Belum aku menjawab pertanyaannya, dia sudah
membuka kado itu. Dia memang orangnya seperti itu, selalu bersemangat di segala hal.
Kemudian ia terdiam memandang bingkai foto itu. Ar, ini bagus banget. Aku suka, kapan
kamu membuatnya? Tanyanya. Makasih Rel. Aku buat ini udah jauh-jauh hari sih.
Disimpen baik-baik ya? Ini mungkin hadiah pertama dan terakhir yang aku berikan padamu.
Jawabku menundukkan kepala. Loh kenapa kok gitu, Ar? Kamu akan disini terus bersamaku
kan? tanya nya. Aku hanya terdiam. Sebenarnya, tadi siang ada sepasang suami istri hendak
mengadopsi ku. Tapi aku tak kuasa untuk menceritakan padanya. Tetapi, cepat atau lambat
Verrel harus tau mengenai akan hal ini. Tetapi, aku hanya mencari waktu yang tepat untuk
menceritakannya.
Hingga suatu hari, satu hari sebelum orangtuaku yang baru mengadopsiku, aku
menceritakan semuanya kepada Verrel. Verrel pun tak kuasa menahan airmatanya seraya
memelukku erat. Dia membisu seribu kata. Setelah dia bisa mengendalikan dirinya, dia

berkata Jaga dirimu baik-baik, Ar. Jangan lupakan aku sahabatmu ini. Kata Verrel. Iya,
kamu disini juga harus jaga dirimu baik-baik. Ingat pesanku, berbuatlah kebaikan dimanapun
kau berada. Jawabku. Dia tersenyum padaku.
Akhirnya hari itu pun datang juga, hari dimana aku diadopsi oleh kedua orangtuaku,
dan juga hari dimana aku terakhir melihat Verrel. Mungkin ini yang terakhir kalinya aku
melihat Verrel, karena rumah orangtuaku yang baru ini di Jambi. Jauh bukan? Hanya satu
harapanku, harapanku adalah Verrel selalu ingat pesanku tadi.Aku mulai memasuki
kehidupan baru, kehidupan dimana ada orang tua baruku yang sangat baik padaku, semua
fasilitasku dipenuhi oleh mereka. Ah alangkah bahagianya aku.
Tidak terasa usiaku sudah menginjak kepala 3. Berkat kegigihanku dan dukungan dari
orangtuaku, aku sekarang sudah menjadi business man di bidang perkebunan. Mengapa aku
bisa sukses? Aku bisa se sukses sekarang karena menerapkan 1 prinsip, yaitu jujur. Kalau
mengingat kata-kata jujur, aku jadi ingat si Verrel sahabat lamaku. Hampir 20 tahun kita tidak
pernah bertemu lagi. Banyak sekali berita simpang siur tentang Verrel. Bukannya berita baik,
namun berita buruk. Rumor yang beredar, Verrel sedang menjadi buronan polisi karena kasus
penjualan narkoba. Kagetnya bukan kepalang aku mendengar kabar itu. Ya, memang kabar
itu sudah bukan lagi menjadi rahasia umum lagi. Hingga suatu ketika terdengar kabar bahwa
Verrel telah ditangkap oleh pihak kepolisian. Sahabatku, sahabatku kecil yang sangat baik
sekali padaku, ternyata berbuat tindakan tercela yang merugikan banyak pihak, termasuk
Negara sekalipun. Hingga suatu hari, aku mengunjungi Verrel yang telah berada belakang
jeruji besi. Rel, apa yang terjadi padamu? Mengapa ini bisa terjadi? Jawab Rel.. tanyaku.
Tetapi Verrel tetap diam dalam keheningan. Hingga akhirnya dia mengucapkan
Aku malu bertemu denganmu, Ar. Aku terlena dengan nikmatnya dunia dan aku
lupa terhadap pesanmu padaku. Maafkan aku, Ar. Aku telah membuatmu kecewa. terang
Verrel.
Setelah mendengar jawabannya, bumi serasa diselimuti oleh awan gelap tanda
kesedihan. Aku pun tak bisa berkata apapun, mulutku seakan membisu dan badanku serasa
lumpuh tak berdaya. Setelah berbincang-bincang dengannya, aku pun berpamitan dan pulang.
Lantas, aku pun menceritakan semua yang aku bicarakan pada ayah dan ibuku. Mereka
sangat menyayangkan atas apa yang telah menimpa Verrel. Terpampang jelas di wajah
mereka bahwa mereka sedang sedih sekali. Bahkan ibuku menangis. Aku pun bertanya tanya
di dalam hati, mengapa ibuku sampai menangis? Bahkan yang kutahu, ibuku belum pernah
bertemu dengan Verrel sebelumnya. Namun aku berpikir positif saja, paling-paling ibuku
sedih karena mengetahui sahabat karib ku sejak kecil telah menjadi orang yang akhlak nya
tercela, mungkin seperti itu. Kabar yang lebih mengejutkan lagi, ternyata Verrel dalam waktu
dekat ini akan di hukum mati karena perbuatannya itu.
Bicara soal kehidupan pribadiku, kini aku telah memiliki seorang istri nan cantik jelita
bagaikan bidadari yang turun dari khayangan dan 2 orang anak. Kami tinggal di Medan
sedangkan kedua orang tua ku yang semula tinggal di Jambi pindah ke Semarang. Liburan
akhir tahun ini kami sekeluarga akan berkunjung ke rumah orang tua ku di Semarang.
Singkat cerita, tibalah kami di Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah itu. Menempuh perjalanan

kurang lebih 15 menit. Sampailah kami di kediaman orangtuaku. Mereka kaget bukan
kepalangang melihat kehadiranku. Ada rasa haru bercampur bahagia terlihat jelas di raut
wajah mereka. Memang, aku tidak memberi tahu mereka kalau kami akan datang. Ingin
memberi mereka kejutan, karena hampir 2 tahun aku tidak pernah berkunjung ke rumah
orangtuaku karena kesibukanku mengurus perkebunan yang aku miliki saat ini. Kami
berencana hendak menginap selama 2 minggu. Hitung-hitung anakku juga belum pernah
mengunjungi Kota Semarang. Pada malam harinya, kita memutari kota yang terkenal akan
makanan lumpia nya ini. Gemerlap cahaya dan ramainya kota ini membuat ku untuk berlamalama berada di sini. Orangtuaku terlihat sangat senang ketika ku ajak mengelilingi Kota
Semarang. Nak, sudah lama sekali kita tidak melakukan hal ini ya? Ibu ingat ketika kau
kecil dulu kau sangat senang kuajak untuk berputar-putar mengelilingi Kota Jambi. Apakah
kau masih ingat? tanya ibuku. Iya ya bu, sudah lama sekali kita tidak melakukan hal ini.
Tentu saja masih ingat lah, Bu.
Sewaktu itu ketika aku berusia 17 tahun, aku ingin
sekali dibelikan moge, tapi ibu tidak pernah mau membelikannya untukku. Iya kan bu?
jawabku. Itu semua ibu lakukan karena ibu sayang padamu, Nak. Nanti kalau ibu belikan
moge, kamu pasti bakalan ngebut-ngebutan. Bahaya, Nak. Tapi kalau kau sekarang ingin
membelinya, beli saja. Kau sudah cukup usia untuk mengendarainya, tetapi ingat jangan
ngebut-ngebut. pesan ibuku. Memang ibuku sangat khawatir akan kesalamatanku, wajar saja
kalau ibu bertindak seperti itu. Ah iya, Bu. Aku paham kok, lagian sekarang aku sudah tidak
tertarik dengan moge lagi, Bu. Mendingan uangnya kutabung untuk masa depan anak-anakku.
Mereka lebih membutuhkan uang itu, Bu. jawabku. Lalu setelah puas mengitari Kota
Semarang, kita semua pulang ke rumah.
Keesokan harinya ketika sedang sarapan pagi, aku menceritakan tentang keadaan
Verrel pada kedua orang tua ku, soal Verrel yang dikabarkan akan dihukum mati karena
perbuatan yang telah dilakukannya. Dan setelah aku ceritakan panjang lebar pada mereka,
alangkah terkejutnya mereka. Sontak keadaan menjadi hening. Aku pun berkata dalam hati,
mengapa suasana mendadak menjadi hening seperti ini? Memangnya ada apa? Dan belum
selesai aku bercerita, ibuku tiba-tiba pingsan. Sontak aku pun tambah terkejut dan langsung
membawa ibuku ke rumah sakit. Ibuku ternyata terkena serangan jantung. Iya, serangan
jantung. Aku merasa bersalah karena telah menceritakan hal itu kepada orangtuaku. Coba saja
jikalau aku tidak menceritakan tentang Verrel, pasti ibuku tidak akan seperti ini. Tetapi
setelah keadaan cukup tenang, aku mulai berpikir. Kok bisa ya ketika aku sedang
menceritakan tentang Verrel, kedua orang tua ku kaget bukan kepalang, dan ibuku sampai
pingsan dan terkena serangan jantung. Ada apa ini? Pasti ada hal yang tidak beres. Namun
aku berpikir positif saja, ah mungkin Cuma kaget saja soalnya Verrel dulunya adalah teman
baikku. Aku berusaha membuang semua rasa penasaran yang bersarang di benakku. Setelah
seminggu dirawat di rumah sakit, kondisi ibu makin membaik. Rasa syukur yang tiada tara
kepada Sang Khalik karena ibuku boleh pulang ke rumah nanti sore. Aku pun membantu
istriku untuk membereskan baju-baju ibu, sementara ayah sedang keluar untuk membayar
biaya administrasi. Tolong ambilkan koper di sudut ruangan itu sayang. Kataku kepada
istriku. Baik, Mas. Jawab istriku. Bu bagaimana keadaan ibu sekarang? tanyaku.
Alhamdulillah nak ibu sudah merasa sangat baik kok. Ibu sudah rindu akan rumah, Nak.
Jawab ibuku. Iya bu, setelah ini kita akan pulang, dan kita bisa berkeliling kota lagi, Bu.

Ibu sangat bahagia memiliki anak seperti mu, Nak. Ah ibu bisa saja. Kataku sambil
tersenyum malu. Lalu setelah ayahku datang, dan semua barang sudah dibereskan, pulanglah
kita menuju kediaman orang tuaku.
Besok kami akan kembali pulang ke Medan. Malam hari sebelum aku berangkat, ibu
menemuiku. Eh ibu, kok belum tidur, Bu? Sudah larut malam, Bu. Tidak baik jika ibu tidak
segera tidur. Kataku. Nak ada yang ingin ibu katakana padamu. Tapi ibu takut setelah ibu
mengatakan hal ini, kau akan membenci ibu. Kata ibuku sambil berkaca-kaca. Tidak, Bu.
Mana mungkin saya akan membenci ibu? Ibu yang sudah mengadopsi ku ketika aku kecil dan
merawatku dengan susah payah hingga aku menjadi seperti ini. Mana mungkin aku akan
membenci ibu. Apa yang ingin ibu katakana? Katakana saja, Bu. Tidak apa-apa. Jawabku.
Sebenarnya, Verrel itu adalah anak ayah dan ibu. 25 tahun yang lalu, Verrel kabur dari
rumah. Mungkin karena malu bahwa ayahmu adalah seorang koruptor. Sejak saat itu, kami
tidak pernah bertemu dengannya lagi, hingga suatu saat ketika ayahmu sudah keluar dari
penjara, ayahmu bertaubat, Nak. Ayahmu sangat menyesali apa yang telah ia perbuat. Lantas
setelah mengetahui bahwa anak semata wayangnya itu telah pergi dari rumah dan tidak tau
kemana perginya, ayahmu semakin terpuruk. Hingga 1 tahun kemudian, kita mengunjungi
panti asuhan untuk mengadopsi seorang anak. Tetapi, setelah kami sampai di sana, alangkah
terkejutnya kami melihat bahwa ada Verrel kecil kami disana. Tetapi, untuk bertemu
dengannya kami sudah sangat malu, Nak. Hingga pada akhirnya kami memutuskan untuk
mengadopsi mu dan tetap memantau Verrel melalui Ibu Mufrodah. Tetapi, tidak lama setelah
itu Ibu Mufrodah meninggal dunia dan sejak saat itu, kita tidak pernah lagi mengetahui kabar
tentang Verrel. Maafkan ibu nak, ibu tidak pernah menceritakan hal ini kepadamu. Maaf kan
ibu nak. Ibu telah membuatmu kecewa. Ibu bukanlah orang yang baik. Ibu tidak pantas
disebut orang tua. Terang ibuku sambil menangis. Sontak perkataan ibuku membuat ku
kaget setengah mati dan jujur aku sedikit kecewa pada kedua orang tua ku, tetapi aku tidak
ingin melihatkan kekecewaanku pada ibuku, karena ku tahu ibuku sudah sangat menderita,
dan aku tidak mau menambah penderitaan ibuku. Sudahlah, Bu. Tidak usah ibu sesali. Aku
tidak marah pada ibu, sama sekali tidak marah, Bu. Menurutku tindakan ibu wajar kok.
Sudahlah, Bu. jangan menangis. Aku tidak apa-apa kok. Jawabku. Kemudian aku memeluk
tubuh ibuku seraya menenangkannya. MasyaAllah, betapa besar rahasia yang tidak aku
ketahui selama ini, mungkin kalau aku boleh memilih, aku lebih baik tidak usah tau tentang
rahasia besar ini. Kalau bisa memilih, aku ingin melupakan ucapan ibuku yang barusan ia
katakan. Memang, terkadang perkataan jujur itu menyakitkan hati. Tetapi, cepat atau pun
lambat, kebenaran itu pastilah akan terungkap. Sepandai-pandai nya kita menutupi suatu
kebohongan, pasti akan terungkap juga.

Anda mungkin juga menyukai