Anda di halaman 1dari 8

ASYIK FISIKA-KU MUDAH KEHIDUPANKU

Oleh : Yoga Adi Tandanu


Universitas Brawijaya
yogaaditandanu@gmail.com

Suatu sore yang indah, dengan diiringi hujan rintik-rintik. Aku dan teman-temanku
sedang duduk di sebuah cafe yang berada di Malang. Aku dan teman-temanku merupakan
mahasiswa semester 4 dari progam studi fisika Universitas Brawijaya. Mereka membahas
tentang liburan semester yang akan datang. “Bagaimana kalau kita pergi ke pantai?” Tanya
Agam. “ahh, nggak ah. Bosan ke pantai teruss”. Jawab teman lainnya. “Bagaimana kalau kita
pergi ke daerah terpencil, kemudian kita mengajar anak-anak disana. Selain dapat berwisata,
kita juga dapat pengalaman berharga kan”. Ujar aku. “Hahahaha, yaelah yog. Liburan semester
malah dibuat mikir harusnya kan kita senang-senang”. Cetus Bayu. “Yaudahlah kalau tidak
ada yang mau ikut, aku pergi sendiri aja”. Jawab aku. Akhirnya berdasarkan keputusan
bersama, liburan semester kali ini berbeda-beda. Bayu dan Dzaki ingin naik gunung, Mulki
dan Widi pergi ke pantai, sedangkan aku pergi ke sebuah desa terpencil di Malang. Memang
ideku ini sudah aku tebak tidak ada yang mau mengikutinya. Tapi entah mengapa, kali ini aku
ingin sekali keluar dari zona nyaman. Sehingga aku putuskan bahwa minggu depan, aku sendiri
akan mengunjungi salah satu desa terpencil di Malang.
Aku buka laptopku lalu aku searching salah satu desa terpencil di Malang. “Wah, ada
banyak sekali”. Aku yang kebingungan langsung menanyakan ke saudaraku Shinta yang
tinggal di Malang melalui telepon. “Halo shin, minggu depan aku berencana pergi ke salah satu
desa terpencil di Malang. Kira-kira kamu punya referensi nggak?”. Tanya aku. “Wahh kamu
mau ngapain yog? Kalau menurutku desa terpencil di Malang yang bagus sih di Desa
Pandansari Kecamatan Tumpang. Desanya bagus, masih asri dan sejuk. Ditambah lagi ada air
terjunnya juga. Banyak orang belum mengetahui desa tersebut, sehingga desa tersebut masih
terjaga keasriannya”. Jawab Shinta. “oke Shin, Terima kasih banyak informasinya”. Setelah
mendapat informasi dari Shinta, aku pun bergegas menelpon kedua orang tuaku untuk meminta
izin. “Assalamualaikum, pak bu. Bagaimana kabarnya? Yoga mau meminta maaf untuk liburan
ini tidak bisa pulang ke rumah dulu”. Kata ku melalui telepon. “Waalaikumsalam,
Alhamdulillah bapak sama ibu keadaannya baik. Wah, mau kemana nak. Ibu sama bapak sudah
kangen banget sama kamu”. Tanya ibu. Keluargaku merupakan keluarga sederhana yang
tinggal di Kabupaten Mojokerto dengan jarak 85.9 km dari Malang. Setelah menjelaskan
maksud dan tujuanku minggu depan, akhirnya orang tuaku mengizinkan namun dengan syarat
cukup 3 hari saja setelah itu aku harus pulang ke rumah. Aku pun mendengar kabar itu dengan
senang hati dan bergegas menyiapkan barang-barang yang harus aku bawa untuk pergi ke desa
terpencil tersebut.
Minggu depan di hari Senin tiba
Hari yang aku tunggu akhirnya tiba yaitu hari dimana aku ingin pergi ke sebuah desa
terpencil demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Desa tersebut merupakan salah satu desa
terpencil yang ada di Malang. Jaraknya adalah 28.6 km dari pusat Kota Malang. Karena aku
diperbolehkan membawa sepeda motor ke kampus maka untuk transportasi ke Desa Pandansari
tersebut aku juga memakai sepeda motor sendiri. Sebelum berangkat aku mengecek segala
keperluanku untuk disana, seperti ransel, sabun, handuk, pakaian ganti, buku fisika makanan
seperlunya, dan tidak lupa membawa uang untuk jaga-jaga. Setelah dirasa sudah terbawa
semua, aku langsung berangkat untuk ke Desa Pandansari. Ini merupakan sebuah pengalaman
pertamaku yaitu menjelajah desa pelosok seorang diri dengan hanya bermodalkan bondo nekat.
Berdasarkan perhitungan secara teori dari rumus dari Gerak Lurus Beraturan (GLB), apabila
kecepatan sepeda motorku 60 km/jam maka diperkirakan aku sampai tempat tujuan menempuh
waktu kurang lebih 2 jam perjalanan. Hal itu bisa dihitung dengan cara waktu yang aku tempuh
akan sama dengan kecepatan motorku dibagi dengan jarak Kota Malang ke Desa Pandansari.
Namun pada kenyataannya, tidak ada kendaraan yang mampu bergerak dengan kecepatan
konstan.
Pada ¾ perjalanan, tiba-tiba terlihat seorang anak SMP yang mengendarai sepeda motor
dengan sangat kencang. Kemudian “bruakkkk.....Tolonggg”. Pinta anak tersebut. Karena
besarnya kecepatan sepeda motor yang menabrak pohon yang diam didepan maka
menyebabkan tumbukan tak lenting. Aku pun bergegas menolong anak tersebut dan
membawanya ke puskesmas terdekat. “Alhamdulillah, anak ini tidak apa-apa. Cuma sedikit
keseleo saja”. Ujar dokter yang merawat anak tersebut. Aku menunggu anak itu siuman dari
pingsannya. Kemudian tiba-tiba anak itu memanggil ibu dan ayahnya. Sontak aku langsung
berdiri dan menanyakan alamat rumah anak tersebut. “dek, rumahmu dimana? Biar aku antar
ke kedua orangtuamu”. Tanya aku. Kemudian anak itu menjawab dengan terbata-bata “pan-
pan-dan-sa-ri”. “wah kebetulan aku juga mau kesana, aku bonceng ya. Sepedamu titip di
puskemas dulu nanti diambil sama keluargamu”. Ujar aku. “Terimakasih banyak kak, sudah
menolong aku”. Jawab anak yang malang itu. Setelah anak tersebut mendapatkan perawatan
dari dokter, aku langsung mengajak anak itu untuk naik sepeda motorku. Pada saat perjalanan,
kami berbincang-bincang dan anak tersebut ternyata sangat ramah. “oh iya, kenalkan namaku
Yoga. Namamu siapa?”. “Hai kak Yoga, salam kenal. Namaku Agam kak”. Ujar anak tersebut.
Setelah beberapa menit, akhirnya aku dan agam sampai ke rumahnya. Didepan rumah
sudah ada kedua orangtua agam yang seorang petani sedang menunggu dan mengkhawatirkan
anaknya tersebut. “oala gam gam, kamu dari mana saja nak. Ibu sama bapak khawatir”. Gumam
kedua orangtuanya. Kemudian dengan spontan Agam menjawab “Agam habis kecelakaan bu...
pak. Rem sepeda agam blong. Sehingga Agam menabrak pohon besar di pinggir jalan. Tapi
untungnya Agam diselamatkan oleh kak Yoga”. Kemudian kedua orangtua Agam sangat
bersyukur dan berterimakasih kepadaku. Lalu orangtua Agam bertanya, “Nak Yoga
rencananya mau kemana?”. Tanya ibu agam sambil memberikan teh hangat untukku. “Jadi
saya merupakan salah satu mahasiswa fisika di Universitas Brawijaya bu. Saya kemari ingin
pergi ke salah satu sekolah SMP di Pandansari. Saya ingin membagi ilmu saya ke adik-adik di
salah satu SMP di Pandansari”. Jawab aku. “Wah kebetulan sekali nak, ibu dan bapaknya agam
juga seorang guru Bahasa Indonesia dan IPS di SMP Pandansari. Kamu boleh menginap di
rumah kami selagi kamu melakukan pengajaran ke siswa SMP Pandansari”. Kata bapak Agam.
Aku yang masih belum tahu akan tinggal dimana langsung bergembira mendengar tawaran dari
orangtua Agam. “Alhamdulillah, terima kasih banyak atas kebaikan ibu dan bapak. Semoga
Allah membalas kebaikan ibu dan bapak sekalian. Aamiin”. Ini merupakah hadiah yang luar
biasa dari Tuhan yang aku peroleh. Aku diberikan tempat tinggal sementara saat pergi ke
tempat terpencil di Malang ini.
Waktu telah menunjukkan malam hari. Aku terkejut ternyata listrik di Desa Pandansari
ini hanya bisa digunakan pada siang hari. Setelah aku telusuri ternyata jarak gardu PLN ke
Desa Pandansari ternyata cukup jauh sehingga akses penggunaan listrik pun dibatasi hanya
untuk siang hari. Aku diajak untuk makan malam bersama di meja makan. Aku sangat
beruntung sekali dipertemukan keluarga yang sangat baik seperti ini. Setelah makan malam,
ibu dan bapak Agam mengajak aku untuk mengobrol di ruang tamu. “Nak, sebenarnya di SMP
kami ada masalah yaitu siswa disana sangat tidak tertarik dengan pelajaran fisika. Semoga
dengan adanya kamu disini bisa memperbaiki sistem pembelajaran fisika disana ya nak”. Kata
bapak Agam. Lagi-lagi takdir mendukungku saat ini, aku diberikan Tuhan sebuah masalah dan
aku harus mencari solusi tersebut. “Baik, pak. Saya akan berusaha semaksimal saya untuk
memberikan sedikit ilmu saya untuk adik-adik disana”. Jawab aku. Karena waktu sudah larut
malam, aku bergegas untuk tidur di tempat yang telah disiapkan oleh ibu Agam.
Hari pertama di Desa Pandansari
Setelah makan pagi, aku dan keluarga Agam langsung pergi ke sekolah SMP
Pandansari. Karena ini di desa terpencil maka jumlah guru yang berada di SMP Pandansari
juga tidak banyak. Oleh karena itu, dengan kedatanganku disini guru di SMP Pandansari
berharap dapat membantu pendidikan disini. Kebetulan aku ditugaskan oleh bapaknya Agam
untuk mengajar IPA di kelasnya Agam. Karena latar belakangku dari ilmu fisika maka aku
mengajar pelajaran fisika disana. “Selamat pagi adik-adik. Perkenalkan nama aku Kak Yoga,
aku disini membantu adik-adik semua untuk belajar IPA khususnya pelajaran fisika”. Ujar aku
saat sesi perkenalan. Karena ini adalah pengalaman pertama mengajar, tentunya aku sangat
gugup. Dan begitu terkejutnya aku saat ada salah satu siswa SMP kelas 9 SMP bertanya. “Kak
Yoga, fisika itu apa?”. Tanya salah satu anak yang bernama Ainur tersebut. Hal ini menandakan
bahwa siswa di SMP Pandansari belum mengenal fisika, padahal secara tingkatan mereka akan
naik ke jenjang SMA yang pelajaran fisikanya lebih banyak. “Jadi fisika itu merupakan salah
satu pelajaran yang mempelajari fenomena alam itu dapat bekerja”. Jawab aku. Aku melihat
semua siswa di kelas hanya bengong menandakan bahwa mereka belum paham. Kemudian ada
salah satu anak yang bernama Dafari berkata “Ah, fisika kata kakakku susah dan
membosankan. Fisika juga gak penting-penting amat jika dibandingkan mempelajari
matematika dan biologi”. Begitu terkejutnya aku mendengar perkataan dari Dafari tersebut.
Aku yang dari awal sudah niat untuk membagi ilmu dengan ikhlas tidak menyerah untuk
menjelaskan ke siswa SMP Pandansari kelas 9. Kebetulan pada kali ini aku membawakan
materi gravitasi bumi. “Jadi gravitasi bumi adalah bla bla bla dan mempunyai rumus bla bla
bla”. Kataku saat menjelaskan. Setelah 1 jam aku menjelaskan, aku melihat siswa disana sama
sekali tidak memperhatikan. Banyak yang tidur, melamun, dan izin ke kamar mandi tapi tidak
kembali. Hal ini sangat menyakitkan karena berarti metode pembelajaranku salah dan tidak
cocok untuk diterapkan anak-anak SMP Pandansari.
Tepat pukul 13.00 WIB tiba-tiba bunyi bel yang menandakan pulang.
“tetttt...tettttt.....tetttt”. Semua siswa yang tadinya lesu, tidur, dan melamun tiba-tiba
bersemangat. Selain itu, siswa yang izin ke kamar mandi tadi langsung kembali ke kelas setelah
mendengar bel tersebut. Apabila tadi aku bersemangat untuk membagikan ilmu fisika ke adik-
adik SMP, sekarang aku yang lesu dan kurang bersemangat. Pada perjalanan pulang di mobil
Agam, “Nak Yoga, kenapa kok wajahnya murung gitu?”. Tanya ibu kepadaku. Lalu Agam
tiba-tiba menjawa “Kak, aku minta maaf atas perbuatan teman-temanku yang kurang senang
dengan pelajaran fisika”. Kata Agam. Lalu situasi menjadi canggung. Ibu dan bapak Agam
merasa bersalah karena yang meminta aku untuk mengajar di sekolahnya malah tidak
menerima sambutan yang menyenangkan. “Tidak apa Agam, mungkin tadi metode
pembelajaranku yang salah sehingga teman-temanmu merasakan bosan”. Jawab aku dengan
senyuman. Kemudian bapak Agam yang sedang menyetir mobil memberikan nasihat kepadaku
“Nak Yoga, kalau sekiranya kamu tidak nyaman berada disini, kamu gapapa pulang”. Kata
bapak yang melihat aku sedang murung. Setibanya di rumah, aku mencoba merenung di kamar
tidur. “Apa benar ya, aku tidak bakat mengajar. Apa benar ya, seharusnya aku tidak berada
disini saat ini”. Ini adalah pengalaman pertamaku mengajar dan langsung mendapatkan
pengalaman yang tidak mengenakkan. Agam yang melihat aku seding, langsung mengajakku
ke air terjun untuk menghilangkan masalah di sekolah tadi. “Kak, ayo pergi ke air terjun yukk.
Disini ada air terjun yang indah sekali dan airnya juga masih segar”. Dalam hatiku rasanya
tidak ingin dan mau pulang saat itu juga. Namun karena aku tidak mau menyakiti perasaan
Agam maka aku menyanggupinya. “Bolehh ayo kesana”. Kataku. Jarak dari rumah Agam
dengan air terjun tidak jauh. Kami hanya menempuh jarak 1.5 km dengan berjalan kaki.
Sesampainya disana, “Subhanallah, ciptaan Tuhan sangat indah”. Kataku dengan membasuh
muka dengan air terjun yang segar. Aku dan Agam bermain di air terjun dengan sepuasnya
karena disini tidak ada orang lain sekitar kita. Lalu waktu sudah menjelang malam, burung-
burung di angkasa terbang kembali di rumahnya. Dan aku dengan Agam pulang ke rumah
dengan senang.
Sesampainya dirumah, aku melakukan akftivitas seperti biasanya yaitu makan malam
dan berbincang dengan kedua orang tua Agam. Pada saat aku mau tidur, aku membuka
handphoneku agar tidak jenuh. Lalu aku membuka media sosial instagram dan membaca
sebuah berita disana. “Berikan aku pemuda yang paling bodoh, maka aku akan mengajarinya
sampai pandai”. Tulis judul berita tersebut. Iya, itu adalah Prof. Yohanes Surya seorang
fisikawan yang rela menghabiskan waktunya untuk mengajarkan fisika dan matematika di
Papua. Di dalam artikel tersebut, memberi tahu bahwa bukan salah pelajarannya yang susah
namun metode pembelajaran tidak sesuai dengan karakter siswa. Dari informasi itu, aku
mempunyai ide untuk mengubah metode pembelajaranku. Semangat yang tadinya hilang
dalam diriku, tiba-tiba muncul kembali. Aku tidak sabar untuk mengajar pada hari besok.
Hari kedua di Desa Pandansari
Pagi hari sebelum berangkat sekolah, aku berbicara ke orang tua Agam untuk mengajar
siswa SMP Pandansari pelajaran fisika lagi. “Pak...bu...saya sudah mengetahui letak kesalahan
saya saat mengajar kemarin, bolehkah saya memperbaikinya sebelum saya pamit untuk pulang
besok?”. Mendengar permintaanku ibu dan bapak Agam langsung menyetujuinya. “Boleh nak,
semoga kamu berhasil untuk mengajak siswa di SMP Pandansari dapat tertarik dengan fisika”.
Akupun langsung bergembira dan semakin bersemangat ketika bapak dan ibu Agam
membolehkan. Sesampainya disekolah, aku izin ke kepala sekolah untuk membawa anak-anak
kelas 9 untuk belajar di luar sekolah. “Bu Endang, saya izin membawa anak-anak kelas 9 untuk
belajar dari luar sekolah. Apakah diperbolehkan?”. Awalnya Bu Endang tidak membolehkan
karena takut terjadi apa-apa. Karena dibantu oleh bapak dan ibu Agam yang juga seorang guru,
akhirnya Bu Endang membolehkan. “Pagi adik-adik, kita bertemu lagi”. Sapa ku saat berada
di kelas. “yah, ada orang ini lagi”. Ketus Dafari yang tidak senang dengan kehadiranku. “Tutup
buku kalian semua lalu ambil secarik kertas dan bawa 1 bulpen/pensil. Kita akan bersenang-
senang hari ini”. Ucapku dengan bersemangat. “yeyyyyy asyikk.....”. Semua siswa di kelas itu
kegirangan. “Oke, tapi harus dengan satu syarat. Selama jalan-jalan nanti gak boleh ada yang
usil yaa”. Ujarku saat bersiap-siap.
Anak-anak sangat senang dan kebosanan mereka langsung hilang saat kuajak keluar
sekolah. “Pertama kita akan mengunjungi pohon mangga”. Kataku saat berjalan. “Haa... pohon
mangga? Emang kita mau belajar apa? Bukannya kak Yoga ini mengajar fisika?”. Sahut anak-
anak setelah mendengar aku tadi. Sesampainya di pohon mangga yang besar dan lebat buahnya,
aku meminta anak-anak untuk duduk. Kemudian aku bertanya ke anak-anak tersebut.
“Nahhh...berhubung kita sudah sampai, silahkan santai-santai dulu. Oh iya aku mau tanya ke
kalian, nanti kalau sudah besar pingin jadi apa?”. Anak-anak pun langsung bersahutan. “Dokter
kak....Pilot kak...pemain sepak bola kak...”. Jawab anak-anak tersebut kecuali Agam yang
hanya diam. “Agam, kamu kenapa diam saja? Cita-cita kamu apa?”. Tanya aku. “saya ingin
jadi insinyur kak, tapi gak tau Agam bisa apa tidak”. Jawab Agam dengan minder. “Wahhh...
bagus banget cita-citanya. Pak Habibie dulu seorang insinyur juga lohh, tau nggak yang mau
menciptakan pesawat terbang buatan Indonesia sendiri. Tapi, kalian harus menguasai ilmu
fisika dulu”. Jawab aku dengan diiringi angin yang sejuk pada pagi hari. “Wahh, berarti fisika
itu penting sekali ya kak”. Jawab Agam. “Iya dong, bayangkan kalau tidak ada ilmu fisika.
Kamu disini tidak bisa merasakan namanya motor, mobil, listrik dll”. Anak-anak tersebut
sangat serius untuk mendengarkan penjelasan dariku. Tiba-tiba ada pohon mangga jatuh tepat
di depan siswa kelas 9 itu. “pokkk....” Bunyi buah mangga yang jatuh itu. Dalam hati aku
berkata “Alhamdulillah rencanaku berhasil”. Kemudian anak-anak terlihat memperhatikan
buah mangga tersebut. “Kalian tau nggak kenapa buah mangga ini bisa jatuh ke tanah kenapa
nggak melayang di udara”. Tanya aku yang tiba-tiba memecah konsentrasi mereka. “Sudah
takdir kak...karena mangganya sudah matang kak...karena ada burung yang jatuhin kak...”
jawab anak kelas 9 dengan bersahutan. “Yupsss... jawaban kalian hampir benar semua. Tapi
ada jawaban lain yang lebih masuk akal. Ketika mangga terlepas dari ranting, mangga tersebut
jatuh karena adanya gravitasi bumi. Nah itulah mengapa juga kalian apabila melompat dari
ketinggian manapun akan jatuh kembali ke tanah. Itulah fisika yang mangga jatuh pun kita
harus memikirkan”. Jawab aku dengan candaan.
Hari semakin siang, untuk pembelajaran kali ini sepertinya berhasil membuat anak-
anak tertarik dengan dunia fisika. Pada saat perjalanan pulang, ada pengendara sepeda motor
yang terjatuh karena tergelincir. Kemudian aku dan anak-anak langsung menolong, untung saja
banyak warga yang bersedia menolong. “Kalian tau nggak kenapa, pengendara motor ini bisa
tergelincir?” Tanya aku dengan serius. “Tidak tahu kak” Jawab anak-anak dengan kompak.
“Lihat ban sepeda motor tersebut, ban tersebut sudah terepes sehingga mengakibatkan tidak
ada gaya gesek yang terjadi antara jalan dengan ban dan motorpun tergelincir. Itulan salah satu
juga penerapan fisika dalam kehidupan sehari-hari” Jawabku. Anak-anak mengangguk yang
menandakan mereka paham. Dalam perjalanan pulang kami melewati rel kereta api ditengah
terik matahari. “Coba kalian amati rel kereta tersebut, kenapa kayu di dalam rel itu diberi
jarak?” Tanyaku dengan senang. “Biar indah kak....buat jalan air ketika hujan kak...” Jawab
anak-anak dengan semangat. “Tanpa kalian sadari ini adalah prinsip fisika juga. Jadi fungsi
kayu pada rel tersebut diberikan rongga karena besi ketika terkena panas mereka akan memuai.
Memuai adalah proses bertambah panjangnya suatu benda karena perubahan suhu”. Kataku
saat menjelaskan. Lagi-lagi anak tersebut semakin serius dalam mendengarkan penjelasanku.
Sampai tiba di sekolah pukul 3 sore. “Coba kalian amati sekali lagi, kenapa matahari terbit dari
timur bisa terbenam dari barat?”. Anak-anak yang semakin sore semakin penasaran ini
langsung bertanya jawabannya. “Jadi di dalam dunia fisika terdapat gerak semu harian
matahari. Nah bumi tempat tinggal kita memutari matahari sehingga kita dibumi seakan-akan
matahari yang mutar dan jadilah siang dan malam”. “ohhh begituu kak, kak besok kita belajar
kayak gini lagi yaa..” Pinta Dafari. “Waduh gak bisa dek, besok pagi-pagi aku harus pulang ke
rumah. Jadi kali ini aku sekalian pamitan yaa. Aku doakan cita-cita kalian dapat tercapai
semua”. Tiba-tiba anak kelas 9 tadi memelukku dan mengucapkan terimakasih kepadaku.
Benar-benar pengalaman yang sangat menyenangkan. Akhirnya aku bisa memberikan
pelajaran fisika yang menarik dan asyik bagi SMP Pandansari, walaupun hanya 2 hari banyak
yang bisa kupetik dari sini. Tidak ada pelajaran di dunia ini yang tidak bisa dipelajari, yang ada
hanyalah metode pembelajaran tersebut yang tidak sesuai. Karena ini sudah hari kamis sesuai
dengan janjiku kepada orangtua aku harus pulang ke rumah. Aku sangat bahagia dapat
membagikan ilmuku disini walaupun hanya sebentar. Semoga lain kali aku bisa berkunjung ke
tempat yang indah ini.
10 tahun kemudian
Aku penasaran dengan keadaan Desa Pandansari, lalu aku mencoba untuk berkunjung
kesana dan betapa terkejutnya aku melihat desa ini berkembang dengan pesat. Disana aku
melihat ada Agam, Mulki, Dafari, dan siswa yang aku didik dulu menjadi seorang engineer
dan ilmuwan. Mereka membangun desa dengan kemampuannya sendiri. Listrik yang dulunya
hanya bisa dinyalakan pada siang hari sekarang sudah full pagi dan malam dengan
menggunakan teknologi panel surya buatannya. Sungguh fisika sangat berguna untuk
kehidupan di Desa Pandansari dan ilmuku dulu yang aku ajari tidak sia-sia.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai