Anda di halaman 1dari 8

Lelaki Melankolis

Matahari mulai terasa hangat dan kemerahan. Cahayanya tidak lagi terik
membakar kulit. Perlahan bersingut menuju peraduan. Seorang pemuda tengah
memandang sang matahari di ufuk barat. Ini adalah hari ketiga dia duduk termenung di
bukit yang tidak terlalu tinggi itu.
Entah apa yang ada di benaknya setiap kali ia berada disana. Akan tetapi, dari
sudut matanya menggelayut seuntai bulir bening yang kadang jatuh bagaikan kristal nan
indah kala diterpa manisnya cahaya senja. Dia tengah menanti seseorang yang hendak
menjemputnya. Mereka akan pergi bersama menuju tempat yang telah disepakati bersama
pekan lalu. Hampir satu jam berlalu, dia masih asyik termenung memandang indahnya
langit di kala senja.
Seseorang memandanginya dari jarak yang menampakkan dengan jelas air
mukanya. Tak terasa bulir-bulir bening mulai bergelayut di sudut matanya pula. Ia dapat
merasakan apa yang tergambar dari pandangan pemuda itu, karena ia tahu dengan jelas
perkara yang menimpa sahabatnya tersebut.
Perlahan ia berjalan menghampiri sahabatnya. Didekapnya dari belakang pemuda
yang tengah dirundung kesedihan itu. Tak lama, badan keduanya bergetar karena isak
keduanya yang semakin menjadi. “Sabar Fik...”, ucapnya.
Setelah cukup tenang, keduanya duduk bersebelahan. “Fik, kita masih punya
Allah kan?” ucap Zulfi ringan memandang Fikri.
Zulfi hanya diam membisu. Sesekali bulir-bulir bening kembali mengalir deras
dari matanya. Dia begitu tertekan setelah kematian wanita yang seharusnya lima hari lalu
bersanding dengannya di pelaminan. Semua terjadi begitu cepat di kala ia benar-benar
telah berharap pertemuan itu akan berakhir dengan sebuah ikatan pernikahan. Namun
Allah menguji mereka dengan perpisahan sebelum perjumpaan. Bahtera impian itu harus
kandas sebulum mulai berlabuh.
Setengah jam berlalu, Zulfi membonceng Fikri menuju Masjid Al Furqon.
Mereka akan melanjutkan pertemuan rutin mingguan bersama ustadz Bustomi. Tepat
sebelum adzan berkumandang, mereka ttiba di tempat tujuan. Keduanya beranjak menuju
pintu masuk masjid. Saat melepaskan sandal, Fikri menabrak tubuh seseorang di
sebelahnya. Ia mengucapkan maaf seraya membalikkan badan.
“Abi?...” Serunya saat memastikan tubuh lelaki paruh baya yang ditabraknya.
“Fik....” Singkat lelaki itu membalas sapaan Fikri.
Mata Fikri seketika berkaca-kaca. Ia menunduk lemas di hadapan mantan calon
mertuanya. Abi Yusuf memeluk erat Fikri menenangkannya. Matanya juga turut berkaca-
kaca. Sementara Zulfi berlalu cepat setelah menepuk pundak Fikri dan mengangguk ke
arah Abi Yusuf.
“Fikri yang sabar. Jodoh itu sudah Allah tentukan. Jika Fikri ridho, in sya Allah
Fikri dan Dinda berjodoh di akhirat kelak. Hidup harus dilanjutkan, Nak. Jika Fikri yang
belum menjadi siapa-siapa dari Dinda begitu sedihnya, begitu pun Abi dan Umi.”
Tepukan dan elusan di pundak menyadarkan Fikri.
“Iya... Aamiin... In sya Allah, Bi.” Sahut Fikri.
Selesai sholat Maghrib, Fikri menghantarkan Abi Yusuuf keluar masjid. Mereka
memang sudah akrab bahkan sebelum pertemuan keluarga untuk menjalin pernikahan.
Abi Yusuf adalah seorang dosen, sedangkan Fikri adalah mahasiswanya yang pernah
menjadi asistennya di laboratorium.
Waktu berlalu dengan cepat. Jam telah menunjukkan setengah delapan malam
saat guru spiritual mereka datang. Tilawah, infak, nasehat, dan diskusi pun berlalu satu
per satu. Hingga tiba waktu evaluasi dari Sang Guru.
“Saudaraku, alhamdulillah hari ini, saudara kita telah resmi menyandang gelar
sebagai seorang calon suami dari seorang wanita sholehah, in sya Allah. Lamarannya
telah diterima dan tanggal pernikahannya telah disepakati. Dia adalah Zulfi.
Seketika semua yang hadir mendekat ke arah Zulfi. Tidak ada yang menyangka
calon dokter yang satu itu akan dengan beraninya mengajukan proposal pernikahan
dengan cepat. Sementara pendidikannya masih tiga bulan lagi harus diselesaikan. Semua
turut berbahagia dan mendoakan yang terbaik untuknya.
“Yang lain, ayo segera ajukan permohonan, agar segera dicarikan.” Ustadz
Bustomi memotivasi. “Juga Fikri, jangan berlarut-larut dalam kesedihan. Yakinlah Allah
punya rencana yang lebih indah di balik ini semua.” lanjutnya lagi.
Fikri dan Zulfi adalah rekan sekelas, namun Fikri telah lebih dulu menyelesaikan
pendidikan. Zulfi harus terhambat karena sempat mengikuti pertukaran pelajar ke Jepang
selama enam bulan. Mereka berdua kenal saat pertama kali masuk kuliah, hingga
akhirnya menjadi sahabat karib. Bahkan keluarga mereka pun ikut bersahabat karenanya.
***
Dua bulan setelah pertemuan hari itu, di dalam agenda kegiatan yang sama,
tampak semua sudah lebih baik, terutama Fikri. Hari itu dia beranikan untuk kembali
meminta dicarikan calon pendamping. Ia telah yakin dengan keputusannya untuk segera
berumah tangga. Meskipun usianya masih dua puluh tiga, tapi tekadnya telah kuat untuk
menjaga hati dan dirinya dari kekhilafan karena membujang. Ia menyadari profesi yang
tengah dijalaninya banyak menyisakan ruang untuk berjumpa dengan wanita yang bukan
mahrom baginya.
Rangkaian demi rangkaian agenda telah dilaksanakan, hingga tiba waktunya
berpisah malam itu. Fikri tampak duduk kembali setelah bersalam-salaman dengan rekan-
rekannya. Ustadz Bustomi yang menyadari telah melupakan suatu hal penting lantas
beristighfar dan duduk menyebelah bersama Fikri.
“Astaghfirullah... Maaf Abi hampir kelupaan.” Terang Ustadz.
“Iya Bi, tidak apa-apa.” Singkat Fikri menyahut.
“Alhamdulillah, tampaknya sekarang sudah cukup tenang toh?” Ustadz
memastikan bahwa Fikri memang benar-benar telah siap.
“In sya Allah, Bi. Saya ikhlaskan semua dengan Allah, melalui Abi.” Jelasnya.
Namun tanpa disadarinya, apa yang diucapkan baru saja membuat hatinya bergetar.
Seolah ada yang mengusik hatinya. Ragu.
“Alhamdulillah, baru saja sore tadi ada seseorang menitipkan data dirinya. Dan
rupa-rupanya, Allah berkehendak data itu bertemu dengan Fikri. Tapi maaf, Abi lupa
membawakannya.” Ustadz Bustomi merendahkan nada bicaranya. “Namanya Vina. Dia
seorang calon Arsitek. Dia menyebutkan nama Fikri. Mungkin Fikri juga sudah tahu dan
kenal dengannya. Vina Nur Fadilah.” Lanjut Ustadz.
“Benarkah Bi?” Fikri tampak sedikit heran dan tidak percaya. Bagaimana
mungkin seorang Vina yang terkenal sebagai motivator dan aktivis di kampus
menginginkan dirinya.
“Iya, Nak Fikri. Tapi, hal ini belum disampaikan kepada Ummi. Kebetulan Vina
adalah muridnya Ummi. Nanti Abi diskusikan dulu baik tidaknya.” Ustadz mengakhiri
penuturannya.
Setelah memeluk Fikri erat untuk menguatkannya, tak lupa Ustadz mengingatkan
agar melakukan sholat istikharoh. Keduanya pun berpisah di pelataran masjid menuju
kediaman masing-masing. Malam beranjak keperaduannya. Detik jarum jam di dinding
berdetak tiada henti. Begitu pun binar di mata Fikri. Malam itu ia tidak dapat
memejamkan matanya. Meski jam telah menunjukkan angka dua pagi, matanya tak bisa
terpejam. Bayangan wajah seseorang tengah bergelayut dalam benaknya. Berjuta tanya
dan jawab silih berganti dalam pikirannya sendiri.
Tepat setelah sholat Subuh, barulah rasa berat di pelupuk matanya semakin
bertambah. Akhirnya ia pun tak kuasa menahan kantuknya. Ia pun terlelap dalam hening
yang menyelimuti pagi itu. Pagi yang ditemani rinai gerimis yang mengalun syahdu.
“Astaghfirullah....” Fikri berlonjak dari tidurnya. Napasnya terengah-engah. Ia
mengalami mimpi buruk. Pikirannya melayang kepada banyak hal. Benaknya berbisik
‘Perkara apa ini yang sehingga Allah menegurnya melalui mimpi’. Ia bergegas bangkit
dan berwudhu untuk melaksanakan sholat Dhuha. Jam di dinding telah menunjukkan
angka sembilan saat itu.
Dua, tiga hari berganti. Pekan berulang dan beradu cepat meninggalkan siapa saja
yang terlena akan buaian mimpi. Tapi Fikri semakin galau karena tiada kejelasan atas
diskusi yang mereka bicarakan malam itu. Beberapa kali pertemuan rutin pun, Ustadz
tidak membahas kondisi pribadi dari masing-masing muridnya. Hingga tibalah di suatu
sore yang menyisakan sendu hari itu.
Fikri dan Zulfi sedang makan bersama di sebuah warung bakso. Saat sedang
menikmati hidangan, tanpa sadar ada seseorang yang tengah memperhatikan mereka.
“Assalamu’alaikum,” Suara merdu itu menyahut.
“Wa ‘alaikumussalam wa....” Suara Fikri tersendat hingga hanya menyisakan
suara Zulfi yang meneruskan menjawab salam. Fikri tersentak kaget mendapati Vina
sedang berdiri tak jauh darinya dan menyapa. Bukan karena terlena, tapi karena justru
harapannya sudah ia pupuskan untuk meneruskan ta’aruf yang seharusnya bisa mereka
jalani ke tahap yang lebih serius.
“Maaf, bisakah saya bicara?” Sahutnya lagi.
“Disini terlalu ramai, lagi pula sebentar lagi sudah waktunya Zhuhur. Di depan
ada masjid, jadi kita bisa berbicara disana yang ada hijab pemisah antara laki-laki dan
perempuan.” Jelas Fikri lugas.
Vina hanya menganggukkan kepala dan berbalik menuju masjid yang dijelaskan
oleh Fikri. Dia tampak menghampiri dua rekannya yang telah menunggunya di tepi jalan.
Selepas sholat Zhuhur, Fikri mengirimkan sebuah pesan kepada Vina. Dia
memiliki nomornya karena sebelumnya pernah menjadi motivator dalam kegiatan yang
sama. Fikri hanya mengabarkan bahwa dirinya dan Zulfi ada di hijab nomor enam belas,
tapat bersebelahan dengan pintu keluar masjid.
Setelah salam yang terucap dari sisi perempuan, tiba-tiba hening tanpa suara. Fikri
bingung dan tidak tahu harus memulai dengan mengatakan apa, karena bukan kehendak
darinya pertemuan ini. Tak berapa lama, terdengar isak tangis.
“Maaf, Mbak Vina,” Fikri menyapa untuk mencairkan suasana. “Ada apa ya?
Saya kurang faham kenapa Mbak Vina menginginkan pertemuan ini.”
Sejenak isakan itu berangsur hilang. “Iya, maaf sebelumnya jika Mas Fikri kaget
dengan pertemuan ini. Jujur saya juga tidak terpikirkan sebelumnya. Tapi ketika tadi
melihat Mas Fikri, saya rasa ada sesuatu yang harus kita diskusikan agar semuanya jelas.”
Vina memulai pembicaraannya.
Menyadari kurang tepatnya pertemuan ini, Fikri bertutur singkat, “Maaf, tapi saya
tidak bisa lama ya. Saya ada janji dengan Zulfi setelah ini.”
Vina mengangguk. Namun menyadari bahwa Fikri tidak bisa melihatnya, ia pun
singkat membalas, “Baik”. Sejenak terjeda dalam hening, “Maaf sebelumnya, apakah
Mas Fikri sudah menerima apa yang saya titipkan pada Ustadz Bustomi?” Lanjutnya.
“Saya tidak menerima titipannya,” Jawab Fikri singkat.
“Benarkah?” Tanyanya lagi.
“Benar Mbak Vina. Saya tidak menerimanya, sehingga saya tidak bisa
memutuskan apapun. Jika yang Mbak Vina maksud adalah data diri, saya benar-benar
tidak menerimanya. Terus terang saya sudah tahu, tapi jika Ustadz tidak melanjutkan,
maka saya pun tidak bisa berbuat apa-apa.” Jawab Fikri lagi.
“Kalau begitu, apa Mas Fikri tidak punya sedikit saja perasaan dan niat untuk
mengambil langkah yang nyata? Saya sangat berharap pada Mas Fikri.” Vina kembali
terisak dalam kata-katanya.
“Astaghfirullah.... Maaf Mbak Vina, tampaknya pembicaraan ini sudah terlalu
jauh. Sebaiknya kita sudahi ya.” Fikri tegas namun tidak ingin membuat suasana
bertambah tidak kondusif, sehingga ia sedikit memompa kesabarannya.
“Vin... Vina... Kamu kenapa? Bangun Vin!” suara cukup gaduh dibalik hijab.
“Maaf di sebelah ada siapa ya?” Sahut suara salah satunya yang terdengar cukup
familiar di telinga Fikri.
“Mbak Indah?’ Fikri memastikan.
“O Fikri toh... Iya, ini Mbak Indah, Fik. Mbak kebetulan mampir Zhuhuran disini
tadi. Ini ada masalah apa toh, kok jadi pingsan-pingsan segala ini?” sahutnya lagi.
“Tidak ada apa-apa Mbak. Tadi hanya sekedar menjelaskan dan menyampaikan
apa yang terjadi di antara kami yang saat ini dalam pembahasan Ustadz Bustomi.” Fikri
menyampaikan dengan jelas, karena dia yakin mbak Indah juga tahu apa yang terjadi.
Mbak Indah adalah pembina Lembaga Dakwah Kemahasiswaan senior di kampus. Jadi
banyak yang dia kenal, termasuk Fikri dan Zulfi.
“Emh begitu toh. Iya Mbak Indah sudah faham kok. Tapi ini kurang tepat ya Dek.
Sebaiknya kalian tetap menjalankan proses ta’aruf yang baik dan tetap dalam batasan
yang benar.” Indah kembali menuturkan.
“Maaf Mbak Indah. Makanya tadi itu yang saya sampaikan. Saya dan Zulfi sudah
mau mengakhiri, karena sudah terlalu jauh. Tapi keburu ini terjadi.” Sanggah Fikri.
“Ya sudah kalau begitu. Mbak Indah percaya. Fikri sama Zulfi pulang saja duluan.
Vina biar Mbak Indah yang tangani. Vina sudah mulai sadar ini.” Suara Mbak Indah
nyaring terdengar bertepatan dengan sadarnya Vina.
“Iya Mbak, Assalamu’alaikum.” Fikri dan Zulfi mengucapkannya bersamaan.
“Mas Fikri, jangan pergi dulu Mas. Kita belum selesai bicara Mas. Mas dengerin
saya Mas!” Suara Vina semakin mengintimidasi dan terdengar frustasi menyadari Fikri
akan segera pergi. Vina berteriak memanggil nama Fikri yang tidak menghiraukannya.
Di pelataran masjid, Fikri dan Zulfi duduk setelah terengah karena sedikit berlari
keluar dari masjid. “Fik, kenapa nggak cerita masalah ini?” Zulfi penasaran. Sedikit
banyak dari apa yang terjadi barusan, Zulfi memahami dan memang sempat mendengar
desas-desus tentang Vina. Tapi dia tidak menyangka jika Fikri ternyata adalah orang yang
dikejar oleh Vina.
Vina adalah motivator bagi mahasiswa junior di kampus. Kiprahnya cukup baik
selama ini. Namun, setelah mengalami gegar otak akibat kecelakaan 1 tahun yang lalu, ia
jadi lebih agresif dan berani dalam bertindak. Meskipun itu kurang baik dan kurang pantas
dilakukan, terlebih oleh seorang perempuan. Tapi begitulah kadang ego perempuan.
Tidak ada yang salah, namun karena apa yang seharusnya menjadi jalan tidak didapatkan,
maka kesempatan pun kadang dimanfaatkan oleh syaitan untuk menyesatkan.
“Fi, kamu cepat selesai yah dan cepat lulus jadi dokter.” Fikri mengawali kata-
katanya. “Aku....” suara Fikri terhenti dan berganti isak tangis.
“Hey... Malu banyak orang. Kenapa menangis begini?” Zulfi balas memastikan.
Beberapa waktu berlalu dalam diam, Fikri melanjutkan ucapannya. “Aku
menyerah. Aku menyerah pada takdirku.”
“Maksudmu?” Zulfi merasa heran kali ini.
“Hemh....” ia menarik napas dalam dan mengusap kedua matanya. “Aku tak mau
berlarut dalam kesedihan. Mungkin belum tiba waktuku untuk berumah tangga. Jadi aku
tak mau memaksakan diri.” Ucapnya.
“Lalu apa yang mau kamu lakukan sekarang? Menyerah bukan salah satu kata
yang ada di dalam kamus kehidupan kita Fik!” Zulfi semakin heran.
“Semua memang akan indah pada waktunya Fi. Tapi saat ini, Allah telah
menunjukkan bahwa persahabatan kita jauh lebih indah. Aku berterima kasih atas semua
yang telah kita lalui. Ingatlah bahwa kita adalah sahabat selama-lamanya! Meskipun jarak
memisahkan.” Fikri kembali mengusap kedua matanya yang semakin basah.
“Allah menunjukkan bahwa semua yang ada di jalannya itu indah. Bukan hanya
indah pada waktunya. Tapi semua indah karena sesuatu-Nya.” Fikri mengangkat jari
telunjuknya ke atas sebelum melanjutkan kata-katanya. “Aku mau pamitan sama
sahabatku tersayang ini secara khusus. Dua hari lagi, setelah pertemuan rutin kita, aku
akan berangkat ke Papua.”
Kali ini Zulfi yang berderai air mata. Ia tidak menyangka Fikri akan mengatakan
hal itu. “Fik, kamu bercanda kan?” lirihnya.
“Nggak... Kamu sebentar lagi akan menikah, lalu lulus menjadi dokter, dan akan
melanjutkan magister ke Australia sesuai impianmu. Kini aku juga mau mengejar
impianku. Mungkin Allah mau aku mengabdi lebih lama pada negeri ini, baru
mendapatkan jalan impian seperti yang kuharapkan.” jelas Fikri.
“Ummi?” Zulfi mencari kebenaran atas jalan yang dipilih sahabatnya itu.
“Udah... Ummi dan Abi udah setuju. Siapa tahu ada bidadari yang juga sedang
menantiku disana kan?” seloroh Fikri dengan senyum yang kini mengembang di bibirnya.
“Emh, lalu Vina gimana?” Zulfi mengalihkan pembicaraan.
“Tak kemplang kowe Le!” Fikri mencoba menarik tas ransel Zulfi. Namun Zulfi
lebih sigap untuk menghindar. Fikri segera memakai sepatunya dan menyusul Zulfi yang
telah berjalan lebih dulu. “Aku traktir beli buku ya? Hadiah perpisahan buat sahabat dunia
akhiratku ini!” Seru Fikri sambil merangkul bahu Zulfi setelah meraka berjalan sejajar.
“Oke!” balas Zulfi.
Mereka berjalan menyusuri tepi jalan menuju toko buku yang tidak jauh dari
masjid. Hari itupun berlalu. Fikri, Zulfi dan teman-temannya yang bersama-sama belajar
agama pada ustadz Bustomi juga bertemu di sebuah warung makan lesehan dua hari
kemudian. Mereka sekaligus mengantar keberangkatan Fikri ke bandara.
‘Selamat jalan kawan!’ batin Zulfi saat pesawat Batik Air yang ditumpangi Fikri
mulai beranjak meninggalkan landasan. Zulfi membuka surat yang dititipkan oleh Fikri
sebelum masuk ke bandara sesaat kemudian.
“Assalamu’alaikum Sahabat Surga.
Semoga Allah meridhoi ikatan kasih sayang kita sebagai muslim. Dan kelak kita
dikumpulkan dalam Jannah-Nya bersama Rasul kita Muhammad Saw.
Fi, baik-baik belajarnya ya. Jadi dokter yang pandai dalam agama. Aku tahu
kamu pasti bertanya-tanya tujuanku pergi kan? Aku sedih. Aku belum bisa merelakan
Dinda. Sekian besar usahaku melupakannya, tapi setiap kali berhadapan dengan Abi,
aku nggak bisa. Itu ujian terindah kurasa, meski salah aku menyikapinya.
Kamu tahu aku orang yang melankolis kan. Dan kita sama!!! ^.^
Aku memupus harapanku untuk menjadi dosen. Mungkin biarlah nanti Allah
menunjukkan jalan lain bagiku. Malam-malamku hanya dihiasi oleh kesedihan akan
kepergiannya. Dan aku sadar tidak akan bisa lebih cepat move on jika masih disini.
Dan Vina, Allah telah menunjukkan bahwa ini salah. Beberapa kali dan sekian lama
hendak dijalani, tapi tidak ada petunjuk-Nya. Jadi aku ikhlaskan. Stop tanya lagi!
Titip salam buat Abi Bustomi dan Abi Yusuf. Aku sayang mereka. Dan juga
sayang akan persahabatan kita. Ana uhibbukum fillah...
Doakan aku selalu ya...
Wassalam...
Fikri Aditya Pratama
Semoga Allah menjagamu selalu teman. Kau adalah teman terbaikku. Doaku akan
selalu menjadi pengikat rinduku padamu.

Anda mungkin juga menyukai