Anda di halaman 1dari 15

BAGIAN KETUJUH :

Sore itu Jefry masih di kantor setelah sejam lalu Sofyan pulang lebih dulu. Sepulang dari melayat
jenazah pa Arman siang tadi, Jefry tercenung cukup lama di depan meja kerjanya. Ia sedih dan merasa
sangat kehilangan. Selama ini ia menganggap Pa Arman sudah seperti orang tuanya sendiri.
Kehilangannya membuat ia merasa seperti anak yatim, apalagi memang sejak kecil ia tak pernah
merasakan kasih sayang orang tua.

Di ruang kerjanya yang mentereng di lantai 7 mega kuningan tower, Jefry terus melamun hingga
pukul 21 malam. Tadi menjelang magrib ia hanya sempat menyuruh Selvy, sekretarisnya, untuk
membawakannya makanan. Setelah itu, menyusul Selvy pulang, ia terus termanggu di depan meja kerja.
Kadang ia menatap kosong tumpukan berkas di meja rapat bagian samping, kadang juga ia berdiri di
depan dinding kaca sambil melepas pandangannya yang kosong ke anjungan gedung-gedung bertingkat
yang gemerlap. Malam itu, ia merasa jiwanya hampa. Separuh jiwanya seolah pergi bersama kepergian
pa Arman.

“Semalam aku pulang ke rumah jam sebelas bos. Terus, dirumah aku tidurnya menjelang subuh.
Wajah pa Arman selalu terbayang sih..”, ucapnya di depan Sofyan yang sempat menanyainya kenapa
esoknya ia telat masuk kantor.

Meski agak loyo, siang ini Jefry kembali ke ruang kerjanya mengurus pekerjaan rutin. Sebagai
Direktur Divisi Teknik, ia sibuk menangani dan mengontrol operasi teknis 3 unit pabrik nikel milik PT.
Nickel Industri yang tersebar di Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Dua tahun bekerja di tempat ini, ia
benar-benar merasa enjoy, terutama karena berada dibawah kendali Sofyan selaku Direktur Utama yang
notabene adalah rekan, sekaligus mantan anak buahnya sendiri. Meski begitu, ia tetap menunjukkan
kinerja positif sebagai pekerja profesional.

Pukul 18.30 malamnya sepulang dari kantor, Jefry ditelepon Sofyan untuk menemaninya makan
malam bersama Sandra di Pacenongan. Di rumah makan bumbu desa, ketiganya menyantap aneka jenis
seafood sambil mengobrol. Tapi malam ini Jefry terlihat kurang semangat.

“Kamu sakit ya Jef..”, tanya Sofyan di samping Sandra yang lagi mengiris tomat. Sandra
mengenakan jilbab merah maron.

“Oh enggak bos. Cuman agak letih aja seharian ngurus kerjaan di kantor..”, jawab Jefry.

“Hari lain juga kamu sibuk koq, tapi gak letih-letih amat kayak sekarang..”. Sofyan melihat
wajah Jefry agak kusam seolah habis begadang.

Jefry terdiam sambil terus menyantap baronang bakar, cumi goreng, kepiting dan sayur bening
di depannya. Diam-diam Sofyan terus memperhatikannya. Sesekali Jefry melirik ke arahnya saat berbisik
mesra dengan Sandra yang malam itu, seperti biasa, tampil fresh dan manis.
“Jef..”, gumam Sofyan usai cukup lama memperhatikan Jefry yang malam itu mengenakan
kemeja jangkis biru kesukaannya. “Usia kamu sekarang berapa..”.

“Ohh.. Iya. Aku udah tiga puluh tiga bos..”, jawab Jefry. “Emangnya kenapa bos..”, sambungnya
sambil melirik Sofyan.

“Enggak, cuman nanya aja.”, timpal Sofyan. Sofyan ingin menyinggung soal keberadaan Jefry
yang masih menjomblo di usia 33 tahun itu. Tapi ia berasa kurang enak di dengar Sandra. Ia sebenarnya
sudah lama ingin mendekatkan Jefry ke Selvy, adik Sandra yang sekretaris Jefry itu. Tapi ia belum dapat
kesempatan yang pas untuk itu.

Malam minggu ini, usai santap malam, Sofyan mengajak Jefry menyambung obrolan sambil
santai-santai di lantai 50 menara BCA, Thamrin. Di tempat ini, sembari menikmati live musik di depan
jejeran kursi tamu yang berjubel, Sofyan sempat menyinggung soal orang tua Jefry. “Oya, orang tua
Jefry dimana sekarang..”, tukasnya. Disinggung soal itu, Jefry tiba-tiba diam tak menjawab. Ia seolah
baru terbangun, ternyata ia juga punya orang tua. “Iya ya. Dimana mereka sekrang..”, bisiknya dalam
hati.

Pertanyaan Sofyan itu terus terngiang di telinga Jefry hingga pulang ke rumahnya di Bumi
Serpong Damai (BSD). Di rumah cukup mewah yang dibelinya setahun lalu itu, ia mulai terpikir untuk
menemui orang tuanya, setidaknya ibunya yang pernah ditamparnya.

Esoknya, kebetulan hari minggu, ia menyisir kota Jakarta untuk mencari kabar kedua orang
tuanya. Ia mengunjungi dan menanyai orang-orang yang dulu dikenalnya pernah dekat dengan orang
tuanya, terutamanya ibunya. Tapi hingga sore hari, tak seorang pun dari orang-orang itu yang tahu
persis kemana rimba kedua orang tuanya. Hanya Hesty, wanita 46-an tahun yang dulu sering menemani
ibunya, yang memberinya sedikit info : “Ohh, Widya itu ibu kamu ya mas. Dia udah bubaran lagi ma
suami barunya lagi, si Anton itu. Mereka udah cerai dua tahun lalu mas”, kata Hesty.

Ia hanya dapat info sebatas itu. Soal dimana ibunya berada saat ini, ia belum tahu. Sabtu sore
berikutnya, Sofyan menyuruh sopirnya balik lebih dulu, lalu numpang ke Lexus milik Jefry. “Aku ikut di
mobil kamu ya Jef. Ntar kan malem minggu. Makan malam sambil Ngopii yuk ntar. Sandra juga mw
ikutan katanya..”, kata Sofyan sebelum keduanya meninggalkan kantor sejam kemudian.

Ikut mau Sofyan yang memilih ngopi di gazebo belakang hotel mercure ancol malam sebentar,
pukul 16.45 sore itu, dari Kuningan Jefry menyuruh sopir menuju ke arah ke Utara. Seperti biasa,
melewati jalur Kuningan, Sudirman, Tamrin lalu ke gajah mada, macetnya minta ampun. Pukul 17.30,
mereka baru tiba di sekitar Kota Lama. Itu pun, saat melintas di sebuah gedung tua tempat para pelukis
amatiran menjajakan jasa melukis live, Lexus putih itu tiba-tiba harus berhenti. “Ntar pak, aku mw turun
disini ntar aja..”, tukas Jefry ke Sopir di depannya. Jefrly lalu turun tergopoh-gopoh mencari sesuatu.
Agak penasaran, Sofyan melihat Jefry menanyai beberapa pelukis yang ada di sepanjang teras gedung
tua itu. Beberapa orang terlihat menggelengkan kepala di depan Jefry.

Jefry kembali menaiki mobil 10 menit kemudian. Sofyan sempat bertanya Jefry. “Loe sedang cari
sapa sih Jef..”, tanya Sofyan. Jefry menjawabnya ngambang : “Nyari seseorang aja. Gak penting amat
koq…”, kata Jefry lalu menyuruh Sopir jalan. Lanjut menuju arah pasar baru. Di sekitar sini, melihat
waktu sudah hampir magrib, Sofyan mulai agak gelisah, apalagi Jefry lagi-lagi menyuruh sopir berhenti
dan turun mencari sesuatu. Sofyan kembali memperhatikan Jefry yang menanyai orang kiri-kanan. Tapi
kali kedua ini tak sampai 10 menit, Jefry sudah kembali ke mobil di samping Sofyan yang masih
bertanya-tanya. “Jujur lah Jef, kamu lagi cari sapa sih..”, tukas Sofyan serius.

Melihat bosnya penasaran berat, Jefry akhirnya mengalah. “Di dekat para pelukis tadi, aku nyari
seorang wanita tua yang sering nongkrong bersama anaknya.”, jelas Jefry. “Enam tahun lalu, almarhum
pa Arman sering mampir ke situ dan memberinya duit receh. Lalu, di dekat pasar baru itu, ada seorang
lelaki tua yang dikenal baik dan juga sering dikasih duit ama almarhum…”, tambahnya.

“oh ya, lalu..”, kejar Sofyan.

“Sejujurnya, aku inget pesan almarhum. Katanya selalu, sisihkan sebagian rejeki yang diberikan
Tuhan kepadam buat orang lain yang membutuhkan. Karena, kita tidak tahu, saat keinginan untuk
berbagi rejeki itu tiba, apakah masih ada orang yang akan menerimanya”, ucap Jefry.

“Ohhh, jadi, tadi Jefry turun untuk ngasih duit gitu.”.

“Iya bos. Sayangnya, orang yang selalu dikasih duit ama pa Arman semasa hidupnya itu sudah
gak ada. Entah kemana mereka”, jelas Jefry.

“Oh ya..”. Sofyan mengangguk-angguk kecil. “Tapi, Jefry kan bisa aja ngasih duit ke orang lain.
Tuh pengemis banyak koq”. Sofyan melirik sejenak ke arloji Tissotnya.

“Ya tahu bos. Cuman, pa Arman pernah bilang, orang yang sering ia kasih duit itu benar-benar
hidupnya susah. Ia kenal betul orang-orang itu, katanya”, tambah Jefry.

Meski gelisah karena waktu hampir masuk Magrib, tapi ucapan Jefry itu membuat Sofyan
terhenyuh. Ia tiba-tiba teringat pada sabda Rasulullah yang berbunyi : “akan datang suatu masa dimana
manusia akan berlomba-lomba bersedekah, tapi tidak ada lagi yang akan menerima sedekah itu..”.

“Itulah hidup Jef. Kita sering enggan atau lupa untuk berbagi. Padahal harta milik kita yang
sebenarnya adalah apa yang kita belanjakan untuk orang lain..”, jelas Sofyan. Jefry dan sopir di
depannya terlihat manggut-manggut mendengar ucapan Sofyan.

Tiba di pertigaan jalan Gunung Sahari, azan magrib sudah terdengar di kejauhan. Sofyan
semakin gelisah. tapi sopir memintanya bersabar . “Sedikit lagi bos. Setelah WTC Mangga dua, disana
ada Masjid bos..”, ucap si sopir rada kesal karena kembali terperangkap macet.

Tiba di masjid yang dimaksud sopir, waktu sudah masuk pukul setengah tujuh. Sofyan langsung
turun untuk magriban. Setelah itu, ia kembali ke mobil dan lanjut bersama Jefry menuju ancol. Di
perjalanan menuju gerbang Taman Impian Jaya Ancol, Sofyan lagi-lagi terpikir untuk kembali mengajak
Jefry masuk Islam . Selama beberapa tahun ini, ia sudah berusaha membujuk Jefry masuk Islam. Tapi
hidayah Allah rupanya belum turun di hati lelaki lajang yang tabiat dan prilakunya itu sebenarnya sudah
Islami. Ia pun mengerti, tak ada paksaan dalam agama. Ia juga sangat paham, seseorang hanya bisa
masuk Islam dengan hidayah Allah SWT, bukan dengan yang lainnya.

Sekiar 18 menit berlalu, mereka memasuki halaman parkir hotel Mercure. Keduanya lalu
melangkah masuk ke loby hotel dan terus ke belakang menuju gazebo. Di tempat itu, sambil menunggu
Sandra datang, keduanya memesan jus sirsak dan mengobrol.
Setengah jam kemudian, Sandra terlihat muncul dari arah depan menuju ke arah mereka. Saat
Sandra mendekat, pandangan Jefry sesaat tertuju ke arah Selvy yang datang bersama Sandra. Sekretaris
Jefry yang baru 22-an tahun itu mengenakan kerudung bermotif bunga dan gaun biru, sedangkan Sandra
memakai Jilbab Kuning dan gaun coklat muda.

Malam itu keempatnya duduk lesehan menghadap ke laut. Usai memanggil pelayan dan
memesan menu hidangan santap malam, keempatnya mengobrol dan saling melepas canda. Sofyan
duduk di samping kanan Sandra sambil bersandar ke pasak gazebo, sedangkan Jefry duduk bersila di
samping kiri Sevly. Ujung kerudung Selvy kadang tak sengaja menjulur turun setiapkali Selvy menyentuh
wajahnya yang tertiris sehelai dua helai rambutnya karena terseka angin sepoi-sepoi malam. Sebagai
bawahan, meski ia diangkat oleh suami kakaknya, Selvy lebih banyak diam di samping Jefry sembari
sesekali mengulum senyum simpul mendengar obrolan ketiganya. Selvy malam ini diajak Sandra usai
ditelepon Sofyan siang tadi. Sofyan sengaja mengikutkan Selvy untuk membuatnya lebih dekat ke Jefry.

Angin laut sepoi-sepoi disela reranting bunga yang berpayung temaram lampu hias malam itu,
tak semuanya berasa indah. Meski ada Selvy yang sebenarnya butuh perhatian khusus sebagai wanita di
sebelahnya, Jefry lebih banyak termenung. Perasaannya seolah hampa. Ia mengobrol dengan Selvy
seadanya dan lebih banyak melempar pandangan kosong ke tengah laut. Beda dengan Jefry dan Selvy
yang dingin, Sofyan dan Sandra terlihat hangat bermesraan serta saling memanja dan melempar canda.

Tak berapa lama, keempatnya tersentak kaget. ” Praakkk… Tinggg..tingg..”. Baki pengalas
hidangan di tangan salah satu dari dua wanita pelayaan yang muncul ke depan gazebo itu tiba-tiba
jatuh. Empat piring ceper ditambah sendok, garfu dan empat gelas kosong itu pun berserakan di lantai.
Keempatnya menggeliat. Jefry beranjak hendak menanyai wanita itu, tapi secepat itu matanya tertuju
pada wanita berkerudung yang menjatuhkan baki tadi. “Ohh.. ibu. Koq.…”, Jefry menatap tajam wajah
wanita 44-an tahun yang ternyata Widya, ibunya, itu. Ia beranjak mendekatinya. “Ibu, ini aku, Jefry. Ibu
disini ternyata”.

Widya ikut terkejut. Ia melihat tajam ke arah Jefry. “Subhanallah, Jefry, anakku…”, gumamnya
tiba-tiba. Namjun, sesaat kemudian ia tertunduk, seolah ‘malu’ didapati Jefry di tempat itu. Widya
perlahan mundur hendak meninggalkan tempat itu. Jefry mencoba mencegatnya, Tapi ia berkeras dan
terus melangkah ke dalam hotel. Jefry menggeliat hendak mengikutinya. Tapi, “Sebentar Jef. Biar nanti
Selvy yang tanganin..”, cegat Sofyan, lalu memberi isyarat ke Selvy untuk berdiri. Sofyan lalu berbisik
sesaat ke dekat telinga Selvy.

“Baik mas. InsyaAllah Sevly bicarain ke dia..”, gumam Selvy usai Sofyan membisikkan sesuatu.

Sofyan memilih Selvy untuk membujuk Widya agar mau memaafkan putranya karena ia tahu
kemampuan human relation yang dimiliki Selvy. “Aku tau, Selvy pasti bisa..”, ucap Sofyan ke Sandra
sebelum membiarkan Selvy mengikuti Widya ke dalam.

Di dalam hotel, Selvy menuju ke resto hotel. Widya memilih termenung di dekat bar tender
ketika Selvy muncul. Usai meminta izin, Selvy perlahan duduk di dekat Widya. “Maaf bu, aku Selvy.
Sekretaris mas Jefry di Kantor.”, kata Selvy mengenalkan dirinya. “Andai boleh, Selvy ingin
menyampaikan sesuatu kepada ibu..”, ucapnya lembut.

Widya tetap terdiam, tapi beberapa saat akhirnya menyilahkan Selvy berbicara. Selvy lalu
menceritakan keadaan Jefry selama ini, seperti yang pernah di dengarnya dari Sandra, kakaknya. Ia juga
menceritakan bagaimana Jefry sangat menyesali perbuatannya dan terus dihempas perasaan bersalah.
Terakhir, ia memberitahu Widya bahwa Jefry telah mencarinya kesana kemari untuk meminta maaf.

Mendengar cerita Selvy, tak terasa Widya menitikkan air mata. Sekonyong-konyong justru ia
yang merasa bersalah. Ia merasa telah mengkhianati suaminya dan menyia-nyiakan anaknya. “Aku yang
salah dik Selvy. Akulah yang menghancurkan semuanya. Aku malu ketemu Jefry..”, desahnya.

Sesaat Selvy terdiam membiarkan Widya mengeluarkan unek-uneknya sambil sesekali menyeka
air matanya. Widya terlihat agak kurus dengan kerudung itu, meski di wajah mantan wanita jetset itu
masih tergambar rona kecantikan.

Usai mendengar curhatan Widya, Selvy masuk ke pokok pembicaraan. “Mohon maaf Ibu kalo
Selvy lancang..”, ucapnya lembut. “Bukankah kita semua pernah bersalah, bu. Bukankah kaki setiap
orang pernah tergelincir saat ia berjalan menuju harapan. Tapi haruskan kita terus tenggelam dalam
kesalahan itu dan tak ingin melanjutkan perjalanan yang masih panjang ini di dalam kebenaran.
Bukankah ibu masih muda, masih cantik dan masih punya anak yang sekarang ingin meminta maaf dan
ingin mengajak ibu menjalani sisa hidup ini di dalam kebaikan..”, jelasnya.

Selvy terus memberi motivasi dengan sesekali mengutip kata-kata mutiara dari agama dan dari
orang-orang bijak. Setelah berbicara cukup panjang hingga 5 menit berselang, hati Widya pun akhirnya
luluh.

“Tapi benarkah Jefry akan memaafkan ibu..”, tanya Widya ingin meyakinkan dirinya sekali lagi.

“Iya bu..”. Selvy mengangguk manis. Sesaat kemudian, Ia perlahan memegang tangah Widya,
merangkulnya dan mengajaknya ke gazebo di belakang hotel.

Melihat Widya muncul bersama Selvy di depan Gazebo, Jefry langsung beranjak memeluk, lalu
membungkukkan badan menyentuh kaki ibunya. “Maafkan aku bu. Aku pernah menyakiti ibu. Aku
menyesal bu..”, ucap Jefry rada mendesah.

“Jefry…”, suara Widya ikut mendesah. Ia memegang kedua bahu dan menarik Jefry ke atas.
“Bukan kamu yang salah. Ibu yang salah sudah membuat semuanya hancur. Ibu sudah menyia-
nyiakanmu nak…”, tugasnya sambil mengisak tangis.

Pertemuan Jefry dan Widya malam itu menghadirkan suasana haru bercampur bahagia. Wajah
Sofyan dan Sandra tampak berseri disamping Jefry yang berangsur lega. Jefry sempat mengajak Widya
untuk ikut dengannya malam itu juga, tapi Widya bilang nanti besok saja. “Biar nanti besok saja Selvy
menjemput ibu disini. InsyaAllah besok ibu pasti ke rumah kamu..”, ucap Widya lembut sebelum
melangkah meninggalkan tempat.

Pukul 10 pagi esoknya, Jefry menelepon Selvy agar menuju ke Ancol untuk menjemput ibunya.
Saat ditelepon, Selvy ternyata sudah di Senen hendak menuju Ancol bersama Honda Jazz putihnya.
“Selvy udah di Senen mas, mw ke hotel Mercure..”, kata Selvy yang, seperti biasa, di pagi itu menyetir
sendiri. .

Di rumahnya di BSD, Jefry menyuruh pembantu untuk bersih-bersih dan menyiapkan makan
minum buat ibunya. “Dan oya mba, siapkan juga kamar khusus buat ibu di dekat kamar aku..”, pinta
Jefry ke Mba Sari, pembantunya.
Pukul 12.30 siang, Selvy sudah memarkir mobilnya di halaman rumah Jefry yang cukup luas dan
berpagar tembok itu. Ia lalu menyilahkan Widya turun dan melangkah ke teras. Saat hendak menekan
bel rumah, Selvy sempat melihat beberapa pot bunga berjejer rapi di teras rumah mentereng itu. Usai
membuka pintu, mba Sari menyilahkan keduanya masuk ke kamar tamu. “Bapak udah lama nunggu tuh.
Dia di teras belakang…”, kata Mba Sari di depan Selvy.

“Biar kami disini aja dulu mba. Nanti tolong diberitahu aja ke mas Jefry..”, sambung Widya
sambil melihat suasana kamar tamu yang cukup luas dan dipenuhi perabot mewah itu. Usai melihat
lampu hias kristal biru menggantung di palfon ruangan, Widya kembali teringat rumah mewahnya di
patra kuningan tempo hari sebelum ia menjualnya . Apalagi setelah melihat lukisan mirip monalisa di
dinding ruang tamu yang serba putih itu.

Mba sari lalu menuju ke teras belakang untuk memberitahu Jefry. Tak berapa lama, Jefry
muncul ke kamar tamu menjumpai Widya dan Selvy. “Oh ibu, selvy, selamat datang. Oya, kita ke dalam
aja..”, tukas Jefry langsung mengajak keduanya ke ruang tengah. Duduk di sofa empuk, kali ini Selvy
yang terkesima melihat suasana ruangan. Di sudut kiri ia melihat piano putih yang mematung di dekat
gantungan stick golf. Minibar tertata apik di bagian kanan ruangan.

“Oh ya Jef, di rumah mentereng ini, kamu sendirian aja gitu..”, tanya Widya usai melihat tangga
naik ke lantai di bagian depan. Jefry yang lagi memutar sendiri blender untuk membuat jus sirsak di
minibarnya, hanya menjawab singkat. “Yach gitulah bu. Habis, siapa juga yang mw temanin. Untung aja
ada Mba Sari tuh”, tukas Rusdy enteng. Matanya sempat melirik ke arah Selvy yang, saat tahu Jefry
meliriknya, langsung menunduk.

Jefry lalu menyuguhkan dua gelas jus sirsak ke atas meja ukiran di depan sofa putih yang
diduduki Widya dan Selvy. Mba Sari menyusul muncul membawa buang anggur, mangga, pisang ambon,
buah durian yang sudah dibelah dan salak.

“Oya Jef. Kamu kerjanya apa sekarang…”, sambung Widya.

“Mas Jefry direktur divisi teknik di PT. Nickel Industry bu”, Selvy memotong.

“Kebetulan dia sekretaris aku di kantor, bu.., sambung Jefry sambil melihat ke arah Selvy.

Siang itu ketiganya terus mengobrol santai hingga Mba Sari muncul menyilahkan mereka santap
siang. Saat makan, Jefry meminta ke ibunya untuk menemaninya tinggal di rumah itu. Widya tak
langsung Merespon. Ia seolah terpikir sesuatu. “Nanti satu dua hari aku infoin. Ada yang ingin ibu
bicarin dulu ke kamu..”, katanya saat didesak Jefry.

Usai makan, ketiganya kembali mengobrol di sofa sambil menikmati aneka jenis buah. Masuk
pukul 14.00, Widya minta ke Jefry masuk ke salah satu kamar untuk shalat dhuhur, diikuti Selvy. Jefry
lalu memanggil Mba Sari untuk mengurus mereka shalat. Saat keduanya di kamar, Jefry sempat berfikir:
““Ibu ternyata udah sadar bener, udah masuk Islam rupanya..”, bisiknya dalam hati.

Sepuluh menit kemudian keduanya kembali menemui Jefry di sofa ruang tengah. Tapi Widya tak
ingin berlama-lama. Usia mengobrol sejenak, ia beranjak pamitan pulang. “Baiklah Jef. Ibu balik dulu ke
kos ibu di Matraman. Nanti ibu bel besok.”, katanya, lalu memegang lengan Selvy melangkah keluar.
Diantar Selvy ke Matraman setelah itu, perasaan Widya benar-benar lega. Derita dan siksaan
batin yang dirasakannya selama ini secepat itu mulai terobati. Sejak diceraikan pa Anton tiga tahun
silam, ia benar-benar menderita. Setelah tiba-tiba pa Anton menghilang ke luar negeri dan menjual
semua aset miliknya, ia mengalami hidup terlunta-lunta dari satu kos ke kos lain, dari satu kerjaan ke
kerjaan lain. Selain itu, ia juga merasakan penderitaan batin karena merasa telah mengkhianati suami
pertamanya dan telah membiarkan Jefry jauh dari kehidupannya. Tapi di tengah penderitaan itu ia
justru mendapat hidayah. Dia masuk Islam sebelum bekerja sebagai pelayan resto di hotel Mercure.

Tiba dii kamar kosnya di Matraman sore itu, Widya mengajak Selvy mampir sebentar. “Ayo nak
Selvy, mampir bentar aja donk. Biar nak Selvy juga tahu keadaan ibu selama ini..”, kata Widya yang
langsung di’oke’kan Selvy.

Di kamar kos, keduanya berbincang akrab bak sudah kenal sekian lama. Widya menjadi sangat
senang dan malah mulai menganggap Selvy bak anak sendiri.

“Usia nak Selvy sekarang berapa”, tanya Widya, lalu menghidupkan AC, menghidupkan kompor
gas untuk merebus air panas, serta menaruh gula ke dalam dua buah cangkir yang berisi teh saset.

“Selvy udah dua satu bu..”, jawab Selvy sembari memperhatikan suasana kamar kos berukuran 4
m x 6 m itu.

“Ohhh masih muda banget. Dus, udah berapa tahun kenal ma Jefry”, sambung Widya.

“Udah dua tahun bu, sejak mas Jefry pulang dari Konawe Utara. Dulunya mas Jefry kerja
disana..”.

“Ohhh…”, gumam Widya.

Usai menyuguhkan teh, Widya ke kamar mandi sejenak mengganti pakaian, terus mengajak
Selvy mengobrol. Ia ingin tahu gimana hidup Jefry selama ini. Tapi Selvy bilang tak terlalu banyak tahu.
Ia hanya tahu Jefry di dua tahun terakhir sejak menjadi sekretarisnya. “Yang Selvy tahu, mas Jefry baik
banget bu. Dia suka ngebantuin orang, sering nyumbang ke panti-panti asuhan, enggak suka foya-foya
seperti dulu lagi seperti kata kak Sandra. Mas Jefry juga udah enggak minum, nggak nyabu, nggak main
cewek, nggak keluyuran malam seperti yang lainnya..”, jelas Selvy diantaranya ke Widya.

Saat Widya nyinggung soal agama, Selvy bilang. “Nah Itu bu yang Selvy belum tau. Tapi
kayaknya ia belum dapet hidayah, bu. Cuman, mas Jefry dibilang kristen, sepertinya gak juga bu. Selvy
gak pernah liat mas Jefry ke gereja, atau make-make Salib atau nyebut-nyebut Yesus..”, tambah Selvy.

Sore itu Selvy ngobrolnya mulai tidak sungkan. Ia terus menemani Widya mengobrol hingga
petang. Usai shalat magrib berjamaah di belakang Widya, Selvy pamitan pulang.

Pukul 9 pagi esoknya, usai menelepon Jefry, Widya memesan mobil grab untuk mengantarnya
ke BSD dan tiba di rumah Jefry pukul 10.20. Senin ini Jefry gak ke kantor karena tahu ibunya akan
datang. Ia juga sudah minta izin ke Sofyan semalam.

Widya kali ini merasa lebih nyaman dan leluasa ngobrol dengan Jefry meski tak lagi ceplas ceplos
seperti dulu. Saat berbicara, ia sudah lebih mengerti dan lebih menghargai perasdaan Jefry karena
dilihatnya putranya sudah dewasa dan makin matang.
Terus mengajak putranya ngobrol sembari sesekali melihat perabotan rumah yang diperlihatkan
Jefry, sejam kemudian Widya tiba-tiba nyeletuk di samping Jefry di teras samping. “Jef, andai kamu
tidak merasa terpaksa, ibu pengen ngajak kamu masuk Islam..”, tukasnya, serius.

“Oh ya..”, Jefry sedikit tersentak. Ia melihat wajah ibunya yang rada memelas, lalu terdiam.
Ajakan seperti itu sudah sering didengarnya dari almarhum pa Arman, dan juga dari Sofyan.

“Maaf bu. Tapi kenapa ibu tiba-tiba berfikir aku harus masuk Islam..”, tanya Jefry serius.

Sembari bernjak melihat mahkota anggrek bulan yang mulai merekah di teras itu, Widya
bergumam lepas. “ Hmm..Ibu ini bodoh tau, gak cerdas seperti kamu donk Jef. Ya gak bisalah ibu jawab
pertanyaan sesulit itu.”, ucapnya di depan jejeran pot tetanaman hias itu. “Tapi ibu mw bilang, sejak
masuk Islam, ibu mulai ngerti hidup ini. Ibu nggak merasa hampa lagi seperti dulu..”, tambahnya, lalu
melangkah duduk ke samping Jefry.

Jefry tetap mematung mendengar ibunya memberinya pencerahan. Tak seperti Sofyan yang
berbicara ilmiah acapkali menganjaknya masuk Islam, ia melihat ibunya ngomong polos dan apa
adanya.

“Islam udah ngajarin ibu gimana jalanin hidup yang indah Jef..”, tukas Widya lagi. “Islam udah
nunjukkin ibu gimana harus jalanin hari-hari yang sulit seperti kemaren-kemaren. Saat ibu merasa
hampa dan pengen curhat, atau di saat ibu gak lagi bisa meraih sesuatu dengan tangan dan pikiran ibu
sendiri, disitulah ibu merasakan Allah SWT hadir memberi ibu kekuatan dan harapan untuk melanjutkan
hidup..”, tambahnya.

Terus menyimak curhatan ibunya yang cukup panjang, Jefry perlahan mulai membenarkan kata-
kata ibunya. Perasaan hampa dan gelisah yang diceritakan ibunya sejak hidup bergelimang harta hingga
menjalani hari-hari yang sulit, sama persis dengan apa yang dirasakannya kemarin sampai sekarang.
Benar secara ekonomi ia sudah kembali bangkit setelah sempat terpuruk cukup lama, tapi ia terus
merasa hampa dan gelisah.

“Oh ya bu. Kalo aku gak mau masuk Islam, gimana donk..”. Jefry tiba-tiba merasa sudah
waktunya mengambil sikap, tapi ia ingin melihat respon ibunya.

“Yach itu hak kamu Jef. Ibu kan gak bisa maksa kamu. Cuman…”, Widya menarik keningnya ke
atas.

“Cuman apa bu…”, kejar Jefry.

“Cuman, ibu gak bisa tinggal disini temanin kamu.. “, tandas Widya.

Mendengar itu, Jefry melangkah ke depan dan menatap kosong ke arah mbak Sari yang sedang
nyiram bunga di halaman samping rumah itu. “Baiklah bu. Aku akan memberi info besok..”, ucapnya
rendah. Meski tetap rileks, wajahnya terkesan sedang memikirkan sesuatu.

“Eh ntar dulu. Ibu masih ada satu permintaan..”, Widya mendekat ke samping Jefry. “Kalo kamu
bener-bener pengen ibu tinggal disini, ibu pengen ada temen yang bisa temanin ibu setiap hari saat
kamu berangkat kerja”, tambahnya ringan.
“Maksud ibu…?, kejar Jefry.

“Ibu pengen selalu ada Selvy disini. Ibu merasa nyaman dengannya…”,

“Ohhh…”, Jefry tersentak. Sempat berfikir sejenak, tapi tak lama ia langsung bisa menebak arah
pembicaraan Ibunya. Ia tersenyum simpul. “Hmm..ngertiiiiii ibu sayaang…”, gumamnya tersipu, lalu
melangkah ke depan menyuruh mbak Sari menyiapkan santap siang.

Siang itu, usai santap siam dan shalat dhuhur, Widya pamitan pulang ke Matraman. Malamnya
Jefry menelepon Sofyan untuk meminta bertemu. Sofyan mengiyakan.

Keduanya lalu bertemu di café Bellagio, kuningan. Sambil menikmati kopi dan suasana clasic ala
Italy itu, Jefry nyeletuk di depan Sofyan yang malam itu, seperti biasa, tampil fresh dengan kemeja coklat
lengan pendek nya: “oya bos. Kemaren ibu nyampein sesuatu yang penting ke aku..”, tukas Jefry.

“Oh ya. Penting !. Apa’an?”.

Lidah Jefry terantuk sejenak. Ia menarik nafas, terlihat berfikir keras, Tapi tak berapa lama. “Ibu..
Ibu, ajakin aku masuk Islam”, tukasnya.

“Ohh, Subhanallah”. Sofyan tersentak kaget. Ia meluruskan badan sambil memperhatikan wajah
Jefry yang mendadak serius. “Lalu?”, kejarnya.

“Lalu, kenapa aku harus masuk Islam bos”, sambar Jefry. “Bukankah, gini aja udah cukup koq.
Aku bisa ngebantuan orang, bisa nebar senyum, bisa ninggalin kelakuan yang enggak-enggak, enggak
minum, enggak narkoba, enggak main cewek, enggak bohongin orang. Juga aku bisa baik ama temen,
ama bos, dan semoga kedepan, ama ortu, tanpa harus masuk Islam..”, tambahnya, mengumpan.

“Ohhh, gitu toh ceritanya.”. Sofyan manggut-manggut, seolah biasa saja, padahal sudah lama ia
menunggu Jefry menanyainya soal itu. Ia berfikir beberapa saat. Meski tak merokok, ia mengambil
sebatang marlboro putih di depan Jefry dan mencoba memantiknya. Lalu, sambil menyemburkan asap
rokok, ia mulai menjelaskan.

“Jef, aku cuman mw nanya aja nih”, ucapnya, memberi kesan santai. “Saat you merasa hampa,
merasa gersang, merasa jenuh, merasa sepi, merasa tak tahu harus kemana, merasa gak ada apa-
apanya semua ini, seperti yang pernah dirasain Hendry sebelum ia memilih bunuh diri, bisakah you ngisi
perasaan itu dengan kemauan you sendiri, atau you pengen mencabut perasaan itu, misalnya dengan
duit, dengan harta yang berlimpah, atau dengan mabuk, sakaw, rekreasi, atau wanita?”,

“Bisa nggak..”, tantang Sofyan. Terdiam, Jefry hanya menggeleng kecil.

“Lalu, disaat you merasa jenuh, bosen, ato capek karena terus-terusan baik dan ngebantuin
orang yang ternyata gak tau balas budi, atau you terus-terusan nahan diri dan ninggalin kelakuan yang
enggak-enggak di saat you sangat pengen ngerjain atau menikmatinya, sementara tak seorang pun
mau ngerti perjuangan you ninggalin semua itu. Kepada siapa you akan nuntut reward, nuntut
apresiasi?, sambung Sofyan.

“Atau bila suatu saat you dicurangin dan dijahatin orang yang udah nggak ada hingga polisi
nggak bisa menindaknya, atau you sakit hati denger banyak orang yang berbuat curang dan jahat tapi
nggak penah dihukum, lalu kepada siapa you akan minta punishment dan nuntut keadilan buat orang-
orang jahat seperti itu”.

“Atau suatu saat you butuh cinta, kasih sayang, kebahagiaan, ketenangan, perlindungan.
Kepada siapa you akan membelinya atau memintanya di saat tak ada orang yang mau peduli, apalagi di
saat seperti sekarang ketika hampir semua orang lebih peduli pada screen hpnya, pada androidnya,
pada chattinganya, atau pada postingannya di fb, ketimbang menyapa orang di jalan ..”, tambah Sofyan
lagi.

Sofyan terus melontarkan pertanyaan demi pertanyaan yang menggugah dan menantang Jefry
untuk berfikir. Ia juga menjelaskan bagaimana Tuhan akan berada pada tempat dan pada saat seseorang
tak mampu menghadirkan sesuatu yang tak dapat dihadirkannya karena keterbatasan kemampuannya.

“Pada saat-saat seperti itulah”, lanjut Sofyan . “kita semua membutuhkan Tuhan. Dan karena
Dialah yang telah menciptakan kita dan dunia seisinya, maka Dia tahu apa yang tak bisa kita kerjakan
dan apa yang tak mampu kita raih. Dia akan hadir di saat dan di tempat yang tak dapat kita raih itu”.

“Tapi sayangnya”, sambung Sofyan. “Tuhan tidak akan hadir di sisi kita bila kita tidak mengikuti
tata cara yang Ia gariskan. Tata cara itulah yang kemudian disebut dengan agama”.

“Maaf bos. Lalu, kenapa harus Islam. Bukankah agama lain juga mengajarkan cara meniti jalan
Tuhan..”, Jefry tiba-tiba memotong.

“Karena Islam datang terakhir untuk menyempurnakan kebenaran dan memberbaiki


kekurangan yang ada pada agama-agama sebelumnya. Selain itu, you lihat dan berfikirlah sendiri.
Agama mana yang paling masuk akal dan paling sesuai dengan eksistensi dan perkembangan manusia.
dimana dan di jaman apa pun ia berada”, jelas Sofyan yakin.

Sampai disitu, Sofyan berhenti, memberi kesempatan kepada Jefry untuk berfikir dan merespon
balik. Tapi, hingga beberapa saat Jefry hanya terdiam, meski, setelah kembali menyulut marlboro
putihnya dan meminta pelayan menambah suguhan kopi, ia akhirnya luluh dan bisa menerima
penjelasan Sofyan.

“Baiklah bos. Kalau begitu, antar aku besok kepada siapa saja yang bisa menuntun aku masuk
Islam dengan cara yang benar..”, tegasnya mantap.

“Ohh..benarkah..”, kejar Sofyan, seolah belum yakin denga apa yang barusan diucapkan Jefry.

“Iya bos. Aku serius..”, tegas Jefry lagi.

“Ohhh..Subhanallah. Alhamdulillah. Allaahu Akbar…”, gumam Sofyan seketika, berasa lega. Ia


melentangkan kedua tangannya dan mengusap wajahnya. Ia mendadak terhenyuh. Sudah cukup lama
ia menunggu ucapan itu keluar dari mulut Jefry sendiri, tapi baru kali ini didengarnya. Ia mengulang
berucap Alhamdulillah beberapakali. Lalu : “kalo gitu, besok insyaAllah kita akan ke istiqlal. Aku akan
minta imam masjid istaqlal untuk menuntunmu mengucapkan kesaksian”, ucapnya kemudian, yang
langsung diiyakan Jefry.

Sofyan tak lagi konsen menikmati suasana bellagio yang mulai rame didatangi para bule. Ia
seolah tak sabar menunggu besok untuk menjadi saksi, sekaligus mendengar Jefry mengucapkan
syahadat. Tak hanya itu, alunan music klasik italy di depan tamu yang kebanyakan para bule itu pun
seolah tak di dengarnya karena Jefry tiba-tiba menanyakan Selvy. “Oh iya, Selvy dimana ya bos..”,
ucapnya .

“Selvy ada di rumah. Emang kenapa Jef..”, Sofyan memperhatikan raut wajah Jefry yang serius
meski terhalang sinar lampu temaran.

“Ohh enggak. Cuman nanya aja..”, Jefry malu-malu.

“Mw ngirim salam. Ya udah, ntar balik aku sampein..”, seloroh Sofyan.

“Hehehe…gak ah. Kalo mw ngirim salam, aku bisa ngucapin sendiri ke dia koq ..”, Jefry sedikit
ngakak.

Tak berapa lama, Sofyan mengajak Jefry pulang meninggalkan bellagio. “Baiklah, sampe besok
Jef..”, ucapnya serius sambil menyentuh bahu Jefry, lalu naik ke Mercedes Benz-nya.

Pukul 10 esok harinya, Sofyan sudah lebih dulu tiba di istiqlal. Jefry muncul setengah jam
kemudian bersama ibunya. Seorang petugas masjid yang sudah dihubungi Sofyan sebelumnya terlihat
sibuk di dekat mihrab menyiapkan prosesi pengIslaman. Tepat pukul 11.30, Jefry pun mengucapkan dua
kalimat syahadat di depan imam masjid istiqlal yang menuntunya.

“Alhamdulillaahi Rabbil ‘Aalamiin…”, gumam Widya sambil mengusap wajahnya di samping


Jefry. Jefry lalu merangkul erat ibunya sambil mengisak tangis, menyusul Sofyan dan imam masjid yang
ikut dipeluknya.

Lewat setengah jam usai mengobrol sejenak di tempat itu, Jefry untuk pertamakalinya berdiri
mengerjakan shalat, meski, di kali pertama ini, ia didampingi dan dituntun langsung oleh Sofyan di shaft
paling belakang. Setelah itu, ketiganya keluar meninggalkan masjid menuju rumah makan padang Sari
Bundo untuk makan siang.

Usai santap siang, Widya meminta waktu Sofyan untuk bertamu ke rumahnya di Cibubur.
Sofyan mengiyakan. “Boleh bu, tapi nanti besok malam aja ya. Besok isyaAllah aku akan sibuk di
kantor..”, katanya. Setelah itu, ketiganya bubaran. Jefry dan Widya menaiki Lexus putihnya kembali ke
BSD, sedangkan Sofyan kembali ke kantor di Mega Kuningan dengan Merzedes Benz-nya.

Pukul 21 malam keesok harinya, Widya sudah berada di Cibubur menemui Sofyan dan Sandra di
ruang tamu rumah yang mentereng itu. Di depan Sofyan dan Sandra yang mengenakan jilbab merah
ungu, Widya yang kali ini mengenakan kerudung merah maron tak banyak berbasa basi. Ia langsung
mengutarakan maksudnya yang sebelumnya sudah ia bicarakan secara matang dengan Jefry.

“Mas Sofyan dan jeng Sandra yang baik hati..”, ucap Widya serius mulai menyampaikan
maksudnya. “Ibu diutus Jefry kesini untuk nyampaein maksud baik Jefry. Andai mas Sofyan dan jeng
Sandra berkenan, Jefry berniat ingin ngelamar Selvy pak, bu..”, tambahnya, lalu terdiam sambil
menunduk.

Mendengar itu, Sofyan melirik ke arah Sandra. Semenjak orang tua mereka meninggal setahun
silam, semua keputusan di keluarga mereka memang berada di tangan Sandra. Tapi terkait lamaran
Jefry ini, Sandra pastinya harus bertanya ke Selvy dulu sebelum mengambil keputusan sendiri. “ Ntar pa,
Sandra nanyain Selvy dulu ya..”, katanya ke Sofyan, lalu beranjak menemui Selvy di kamar bagian
belakang.
Sambil menanti Sandra muncul memberi info, Sofyan mengajak Widya mengobrol. Ia sempat
menanyai Widya banyak hal, termasuk kenapa sampai Widya masuk Islam dan bekerja sebagai pelayan
di hotel Mercure. Widya pun bercerita seadanya, meski saat masa lalunya sempat disinggung Sofyan, ia
sedikit berkelit. “Ibu malu mas ceritain masa lalu. Malu banget. Ibu hanya bisa berdoa kepada Allah
semoga masa-masa kelam dan sulit itu gak terulang lagi..”, ucapnya rada sedih.

Sekitar setengah jam kemudian, Sandra muncul ke kamar tamu bersama Selvy yang lalu
perlahan duduk disamping Sofyan. Mengenakan Jilbab biru benhur, gadis 21 tahun berhidung mancung
itu tersipu malu ketika dipandangi Widya yang secepat itu terkesima memandang kecantikannya.

“Ayo Sel ngucapin sesuatu ke ibu Widya. Biar semuanya lebih jelas..”, tukas Sandra lembut.

Diminta kakaknya membalas langsung permintaan Widya tadi, Selvy tertunduk malu bercampur
grogi. Tapi tak berapa lama setelah Sandra kembali memintanya berbicara, ia pun mulai berucap.

“Baiklah kak, bu..”, Selvy memandang ke arah Widya yang tengah menatapnya dengan senyum.

“Selvy.. Selvy bersedia bu..”, ucapnya rada gemetar lalu kembali menunduk.

Widya langsung berucap Alhamdulillah dan melepas nafas panjang begitu mendengar ucapan itu
keluar dari bibir Selvy sendiri. Sesaat kemudian, menyusul Selvy yang pamitan kembali ke belakang,
ketiganya lalu membicarakan teknis pelamaran. Tapi diskusinya tak berlangsung lama karena Sofyan dan
Sandra langsung setuju dengan tawaran Widya yang menawarkan ide agar acara pelamaran
dirangkaikan langsung dengan acara pernikahan. “Kami setuju ide itu. Mereka langsung kita nikahkan
saja.”, tukas Sandra yang langsung diiyakan Sofyan.

Malam itu, menjelang pukul 23, Widya meninggalkan Sofyan dan Sandra dengan perasaan
plong. Ia langsung menuju ke BSD untuk menyampaikan kabar gembira itu ke Jefry.

Mendengar kabar itu dari ibunya, Jefry yang sejak tadi masih menunggu di teras belakang, ikut
merasa lega. Bahkan, perasaan hampa yang selama ini mengungkung jiwanya, perlahan mulai mekar
dan berbunga.

Tiga hari kemudian, menepati janjinya, Widya meninggalkan rumah kosnya di Matraman dan
pindah ke rumah Jefry. Dari tempat baru ini, Widya mulai sering berhubungan dengan Sandra untuk
menyiapkan acara akad nikah, sekaligus resepsi. Di kantor PT. Nickel Industry, berita tentang rencana
pernikahan Jefry dan Selvy langsung tersebar luas, apalagi setelah undangan mulai terbagi.

“Oh ya bu, beritahu Selvy untuk siapin satu undangan buat temen aku, Rusdy, di Konawe Utara.
Aku pengen dia hadir di acara itu..”, kata Jefry sewaktu melihat ibunya sibuk membagi undangan seusai
balik dari bertemu Selvy dari Cibubur.

Persiapan acara pernikahan itu tak berlangsung lama. Hanya dua pekan sesudahnya semua
sudah siap, termasuk distribusi undangan. Tempat, makanan dan semua ornamen pesta, semuanya
ditanggung pihak Hotel Sari Pan Pacific.

Acara pernikahan itu pun berlangsung semarak di sabtu pagi. Mengenakan gaun pengantin
muslimah berwarna putih dan bermotif merah jambu, pagi itu Selvy tampak anggun memasuki ballroom
Sari Pan Pacific yang mewah dan sudah mulai dipenuhi karib kerabat, handay touland dan teman se-
kerja di PT. Nickel Industry. Mendampingi Selvy, Sandra mengenakan gaun pesta bermotif putih dengan
hijab bernuansa anggrek bulan. Di sebelahnya, Sofyan mengenakan setelan jas putih-putih berdasi
kupu-kupu. Di antara para tamu yang mengintari 30-an meja bundar, terlihat Rusdy sedang berbincang
dengan seorang rekan bisnis Sofyan yang Chiness di bagian depan.

Ceremony acara pernikahan dimulai pukul 11 tepat. Di atas hamparan permadani di samping kiri
pelaminan, penghulu nampak sudah standby tepat di depan Jefry yang didampingi Widya dan beberapa
kolega dekat Jefry. Beberapa menit kemudian, penghulu pun memulai prosesi pernikahan itu secara
Islam yang didahului istigfar, kemudian khotbah nikah, ijab kabul, doa nikah, dan akhirnya pembacaan
sighat taqlik.

Usai mengikuti prosesi nikah dan resmi menjadi suami, Rusdy perlahan mendekati Selvy di
bagian belakang, lalu mencium jidatnya. Selvy yang masih mengenakan penutup wajah itu balik
memegang tangan Rusdy dan menciumnya. Applaus dan sorak sorai seluruh tamu yang hadir pun
memecah memenuhi ballroom yang mewah itu.

Setelah itu, usai acara sungkeman, keduanya dituntun menuju kursi pelaminan. Applaus para
tamu kembali menggema menyusul sambutan MC yang hangat dipenuhi kata-kata mutiara setelah
kedua mempelai duduk anggun bak sepasang raja dan ratu di kursi pelaminan. Sesaat kemudian, MC
menyilahkan para tamu untuk memberi ucapan selamat dan doa restu kepada kedua mempelai. Lalu, :
“para tamu undangan yang telah memberi ucapan selama dan doa restu, dipersilahkan kembali ke meja
masing-masing untuk menikmati hidangan makan siang..”, tukas MC lagi.

Menyusul para tamu mulai yang mencicipi hidangan, Siluet Band yang disiapkan pihak hotel juga
mulai melantunkan tembang-tembang bergenre pop nusantara maupun barat. Berberapa artis ibukota
gantian tampil melantunkan lagu di depan para tamu undangan yang sedang menyantap hidangan.

Menyusul seluruh tamu selesai memberi ucapan selamat, suasana ballroom mewah itu sesaat
berubah hening ketika MC tiba-tiba mengundang Sandra untuk tampil ke depan Siluet Band. “ Hadirin
para undangan yang berbahagia, atas nama kolega, karib kerabat dan handay tolan, kami
mengundang dengan hormat ibunda Sandra Sofyan untuk menyumbangkan sebuah lagu buat kedua
mempelai dan para undangan sekalian..”, tukas MC wanita itu yang lalu disambut tepuk tangan meriah
dari seluruh undangan.

Siang itu, meski sudah berbalut usia 29 tahun, Sandra tampil bak gadis perawan yang sedang
menawan hati para tamu. Suaranya yang melankolik bak Nike Ardila ditambah raut wajahnya yang bulat
bersinar bagai rembulan, membuat mara para tamu terpana memandangnya sambil menikmati suguhan
lagu the power of love dari Celin Dion.

Usai menutup bait terakhir tembang abadi dari dari Celin Dion itu, Sandra kembali diminta oleh
MC untuk membawakan satu buah lagi. “Mohon maaf mba, ini permintaan khusus dari mempelai
wanita. Ia tadi berbisik ke telinga saya agar mba melantunkan tembang lawas Anggrek Bulan..”, gumam
MC di mikropone

“Oh ya. Baiklah kalo gitu..”, jawab Sandra manis. Ia lalu mengkhususkan request lagu dari MC
itu buat orang-orang yang paling dicintainya. “Mohon maaf tamu undangan sekalian. Tembang lawas
berikut ini aku persembahkan buat kita semua, terkhusus buat adikku Selvy, buat suamiku tersayang
mas Sofyan, dan juga buat teman abadi yang sekarang menjadi kakak iparku, Jefry. Selamat
menikmati..”, tukasnya lagi di depan micropon yang kembali disambut tepuk tangan meriah.
Menyanyikan tembang Anggrek Bulan di siang itu Sandra bak sedang mengenang awal kisah
cintanya bersama Sofyan delapan tahum silam. Seperti Dewi Yul, ia melantukannya dengan indah dan
penuh penghayatan. Perasaan Sofyan yang tengah menatap istrinya menyanyikan lagu itu mendadak
terbawa ke masa lalu, saat ia pertama kali memetik setangkai anggrek bulan di kaki gunung Oheo, lalu
bunga setangkai itu diminta Sandra yang, katanya, akan ditanamnya di taman hati.

Tak hanya Sofyan yang tiba-tiba hanyut ke masa lalu, para tamu undangan lainnya juga ikut
terbawa mengenang masa silam mendengar Sandra menderai suara emas dari balik wajahnya yang
platonik.

Menyusul tepuk tangan meriah para tamu yang menandai berakhirnya lantuan suara Sandra,
suasana romantis di ballrom hotel Sari Pan Pacific itu tetap berlanjut setelah MC kembali mengundang
seseorang untuk tampil ke depan. Kali ini, seseorang itu adalah Rusdy, Bupati Konawe Utara yang
beberapa menit lalu sempat terlihat dititipi setangkai anggrek bulan oleh seseorang yang muncul dari
arah belakang.

Melangkah ke depan sambil memegang setangkai anggrek bulan, Rusdy yang siang itu
menggunakan batik bernuansa hijau, dipersilahkan MC mengambil mikropone dan berdiri menghadap
ke arah tamu. Lalu, dengan penuh percaya diri, Rusdy mulai menyampaikan sepatah dua kata di depan
para tamu yang barusan menyambutnya dengan applaus.

“Para tamu undangan yang berbahagia..”, ucap Rusdy dengan suara khasnya yang rada
berserak. “Atas undangan pak Sofyan dan pak Jefry, dua sahabatku yang dulu pernah menjadi bos aku
di PT Nickel Industry, aku jauh-jauh datang kesini dari ujung utara jazirah tenggara pulau Sulawesi,
hanya untuk membawa setangkai anggrek bulan ini”, Rusdy mengangkat sejenak bunga anggrek di
tangannya, lalu melanjutkan.

“Karena aku tahu, betapa dalamnya arti anggrek bulan ini kepada kedua sahabatku, pa Sofyan
dan bu Sandra..”, lanjut Rusdy di tengah tatapan para tamu yang tertegun menyimak kata-katanya. Dari
arah pelaminan, perhatian Sofyan, Sandra, Jefry dan juga Selvy seutuhnya tertuju kepadanya.

“Anggrek bulan inilah yang menyatukan keduanya, dan yang lalu membuat pak Jefry, yang
waktu itu adalah bos besar kami, menjadi kuat karena dukungan keduanya. Anggrek bulan inilah yang
menebarkan pesona seorang wanita anggun dan santun seperti bu Sandra, dan yang memberi makna
hidup kepada seorang lelaki bijak seperti pa Sofyan. Lalu, lewat kedua tangan merekalah, pa Jefry
menjadi seorang enterpreneur sejati seperti saat ini. Dan lewat kedua tangan merekalah, aku, yang
dulunya adalah seorang anak buah, bisa mengangkat kepala menjadi pemimpin bagi masyarakat
Konawe Utara saat ini…”, jelas Rusdy mantap, yang langsung disambut applaus meriah dari para
undangan. Kali ini, para tamu memberi applaus yung panjang sambil berdiri.

Sesaat kemudian, suasana kembali hening ketika Sofyan terlihat berdiri dan melangkah
kesamping mendekati Rusdy. Sofyan lalu mengambil mikropon dari tangan Rusdy, kemudian
memberikan sambutan tambahan.

“Para tamu undangan yang berbagia.”, tukas Sofyan. “pa Rusdy adalah Bupati Konawe Utara.
Tiga hari lalu, ia kembali terpilih menjadi Bupati untuk periode kedua. Itu artinya, beliau mendapat
dukungan penuh dari rakyat Konawe Utara. Dan lewat dukungan beliau lah, perusahaan kami menjadi
berkibar seperti sekarang itu..”, tambahnya, yang langsung disambut tepuk tangan meriah.
“Dan oya, benar apa yang tadi dikatakan pa Rusdy..”, tambahnya lagi. “Bunga anggrek bulan
yang dipegang pa Rusdy inilah yang telah menyatukan kami semua, terutama kami berdua, aku dan
bidadariku, Sandra.”. Sofyan mengambil setangkai anggrek bulan di tangan Rusdy itu, lalu perlahan
melangkah ke depan Sandra di pelaminan. Menyusul puluhan tamu yang mendekat ke depan sambil
memegang camera hp, Sofyan menyerahkan setangkai anggrek itu ke tangan Sandra sambil mengecup
keningnya. Spontan tepuk tangan pun menggemuruh di seisi ruangan bersama kilatan lampu blitz dari
beberapa fotografer yang berdiri ditengah para tamu yang ikut memotret dengan hp.

Tepuk tangan dan sorak sorai itu terus berlanjut ketika Sandra melangkah kecil ke depan Selvy
dan Jefry di sebelahnya, kemudian berucap lembut : “Anggrek bulan ini, Sandra serahkan kepada kalian
berdua sebagai tanda cinta kasih Sandra dan mas Sofyan. Semoga, perkawinan kalian menjadi indah
dan abadi seperti anggrek bulan ini…”.

Menyusul suasana ruangan yang berangsur tenang usai acara ‘seserahan’ bunga itu, MC acara
menyilahkan para tamu untuk foto bersama. Sejam lebih kemudian, para tamu mulai meninggalkan
ruangan satu per satu menyusul Widya, Jefry, Selvy dan Sandra yang ikut melangkah keluar menuju
ruang ganti di salah satu suiteroom. Sedangkan Sofyan masih menemani Rusdy berbincang di dekat
pintu keluar.

Masuk pukul 13.30, suasana ballrom sudah lengang. Widya mengajak semuanya kembali
menuju BSD di rumah Jefry untuk mengadakan acara syukuran keluarga. Siang itu, Sofyan dan Jefry
secara khusus mengajak Rusdy untuk ikut menuju BSD.

Anda mungkin juga menyukai