Anda di halaman 1dari 18

Sesaat kemudian, “Mari kita ke samping...”.

Buduhama mengajak Mbege keluar kamar menuju


teras samping rumah panggung besar itu.

“Saya pernah melihat penyakit seperti itu sepuluh tahun lalu di Mekongga.”, ungkap
Buduhama sembari merebahkan diri duduk di kursi rotan panjang bersama Mbege. “Salah seorang
cucu dari turunan terakhir Bokeo Mekongga terkena doti kiriman orang. Mulutnya bengkok,
mukanya hitam dan kepalanya lembek. Sama persis dengan apa yang dialami i Suha itu. Padahal
gadis anakia Mekongga itu sebelumnya sangat cantik..”, tambahnya sambil membakar rokok adidie
dan mengisapnya dalam-dalam. Matanya yang sayu menempel di wajahnya yang lusuh, seolah
sedang membayangkan kejadian paling buruk yang bakal tak lama lagi menimpa putrinya. “Waktu
itu puluhan osando dari berbagai kampung sudah didatangkan untuk mengobati. Tapi gadis itu tak
sembuh-sembuh, dan malah akhirnya meninggal...”.

Mbege tercenung. Kata-kata itu membuatnya larut dalam kekalutan pikiran orang tua
kharismatik itu. Tapi ia mencoba mencari jalan untuk memberi harapan dengan lebih dulu menelisik.
“Maaf inggomiu paitua. Darimana paitua tau kalau penyakit seperti yang diderita i Suha itu adalah
doti kiriman orang..”, tanyanya agak hati-hati. Buduhama hanya mengutip kalimat tiga orang
osando yang semalam didatangkannya dari Latoma dan Abuki untuk mengobati Wesuha. “Mereka
semua bilang itu pohanuno toono...”, kata Buduhama yakin.

“Oya inggomiu. Kalau begitu, siapa orang yang sampai hati berbuat jahat seperti itu sama
nduhainggu...”, kejar Mbege.

“Kata para sando itu, dia seorang perempuan. Tapi saya belum tahu siapa orangnya..“,
tambah Buduhama.

Meski sejak keluar dari hutan tempo hari ia tak begitu percaya lagi pada hal-hal mistik,
namun Mbege merasa tak tega mendebat ayah Wesuha yang diyakininya sedang berfikir kalut. Ia
hanya mengangguk dan berusaha mengikuti alur perasaan Buduhama ketika ayah Wesuha itu lagi-
lagi merilis banyak kejadian serupa yang pernah dilihatnya sendiri di kampung lain. “ Tega betul
orang itu...”, sesal Buduhama agak dalam setelah berkisah cukup panjang. Ia tertunduk
menggelengkan kepala dan lalu sesaat kemudian meneteskan air mata.

Meski tak begitu yakin apa kata dukun seperti yang diceritakan Buduhama, Mbege mencoba
berfikir ala kebanyakan orang saat itu, guna, setidaknya, bisa menemukan jalan kecil untuk memberi
secercah harapan yang seolah telah sirna diwajah orang tua itu.

“Hmm, andai memang betul itu doti kiriman seorang perempuan, lalu siapakah
orangnya...”. Mbege mulai menebak-nebak. Pikirannya menelisik ke belakang untuk mencari
hubungan sebab akibat. Dan, sesaat berselang, “Ohhh.. Apa memang dia ya..”, gumamnya dalam
hati, mendadak teringat peristiwa dua malam lalu di tekonggo’a. Malam itu pastinya Wesuha telah
mempermalukan Wesalo di depan orang banyak. “Apa memang si Salo ya..”, bisiknya lagi usai
mengingat kalimat terakhir gadis Lambuya itu sebelum meninggalkan lulo yang sempat bergumam :
“Baiklah kali ini saya mengalah. Tapi kali lain tidak..”.

Tak tahan melihat mata ayah Wesuha yang berkaca-kaca, Mbege memohon pamit untuk
meninggalkan rumah panggung yang masih terus didatangi orang-orang yang ingin melihat keadaan
Wesuha itu. Ia hanya bilang akan keluar sebentar saja ketika ditanyai Buduhama saat hendak berdiri
menuju tangga.

Tak begitu mengacuhkan sapa’an orang-orang yang hendak menaiki tangga, Mbege
mengambil sepedanya di bawah pohon ketapang dan mengayuhnya ke arah Unaaha. Memutar ke
Uepai dan terus menyusuri jalan berdebu ke arah Selatan, siang itu Mbege ternyata hendak ke
Lambuya. Meski kadang harus turun meminggirkan sepeda ke pepohonan rindang di tepi jalan saat
berpapasan dengan beberapa truk tua yang melintas lambat memenuhi badan jalan, ia kelihatan
tergopoh-gopoh dan ngotot hendak menemui seseorang. Pikirannya melulu soal Wesuha dan
Wesalo.

Tiba di Lambuya pukul 11 siang, Mbege menyandarkan sepeda di tiang sebuah rumah
panggung yang cukup mewah milik Barasa. Ia terakhir kali menginjak rumah ini setahun lalu ketika
diajak Wesalo mampir usai menghadiri acara lulo di sebuah pesta keluarga Lambuya. Saat itu juga
pertama kali ia mendengar Wesalo mengungkapkan isi hatinya setelah sebelumnya berkali-kali
mengirim salam kepadanya. Sayangnya kali ini ia tak tak bermaksud menyuburkan benih kasih itu. Ia
justru ingin menginterogasinya.

“Assalamu alaikum...”, tukas Mbege perlahan usai menaiki tangga dan mengetuk pintu
rumah.

“Wa’alaikum salam....”, jawab seorang tua dari dalam sembari membuka pintu. Orang tua
itu ternyata Barasa. “Oh inggo’o Mbege. Mari masuk...”, sambut Barasa cukup ramah. Hanya
sempat berbasa-basi sesaat, Barasa ke belakang menyuruh seseorang memanggil Wesalo yang
tengah ngerumpi di sebelah rumah. Tak kembali ke ruang tamu, Barasa membiarkan Mbege sendiri
di kamar tamu dan melangkah keluar rumah lewat pintu samping. Tak berapa lama Wesalo muncul
dari arah depan dan menemui Mbege yang tengah menunggunya sambil melihat-lihat foto hitam
putih bergambar Wesalo dan ayahnya di ruang tamu itu.

“Eehh ndukaaka sayaang. Angin apami yang bawa kita kesini. Kita tidak tersesatji kah itu ..”,
Wesalo agak kaget, namun wajahnya sumringah saat melihat Mbege. Hanya mengenakan celana sor
dan busana katun tipis, gadis hitam manis itu mengajak Mbege cipika cipiki. Ia seperti bermimpi di
siang bolong, hampir tak percaya sang lelaki pujaannya tiba-tiba hadir di depannya. Namun, belum
lagi sempat memulai canda, Mbege sudah menyuruhnya ke belakang untuk mengenakan rok.

Hampir 10 menit ke kamar tidur dan ke dapur, Wesalo kembali ke ruang tamu dengan
dandanan yang cantik sembari membawa segelas kopi dan beberapa potong kue bagea buat Mbege.
Melihat Mbege agak dingin, Wesalo mencoba melepas canda. “Gimana ndukaaka, cantik toh saya..”,
katanya agak manja. Hidungnya yang mancung berbibir merah merekah, membuat waipode 18-an
tahun itu tampil anggun. Tapi Mbege tetap dingin. Ia malah lalu membuat Wesalo sedikit gusar
karena, selain tak merespon candanya, ia tiba-tiba nyeletuk menyebut nama wanita yang justru
adalah saingan Wesalo selama ini.

“Salo, kamu kenal Wesuha toh. Saya baru dari rumahnya tadi..”, selain ketus, kata-kata
Mbege juga terkesan menisik hati Wesuha. Pertanyaan itu kontan ditanggapi miring.
“Eeh, jauh-jauh ndukaaka kesini hanya untuk memberitahu kalau ndukaa habis ke rumah
perempuan itu. Hmm, teganya...”. Wajah Wesalo sekonyong-konyong merah, mendadak kecewa,
lalu membuang wajahnya ke depan.

“Maksudku bukan begitu nduhai. Saya mau bilang kalau dia tiba-tiba diserang penyakit aneh
tadi malam. Kepalanya lembek, mulutnya bengkok, wajahnya tiba-tiba menghitam...”, ujar Mbege
mencoba meluruskan. Wesalo mengerutkan kening. Meski rada kecewa, ia balik bertanya :
“Ohh..penyakit apa itu. Ichh ngerinyamie..”.

“Iya, makanya saya kesini untuk menanyakan...”,

“Maksud ndukaaka, menanyakan apa..?”, kejar Wesalo.

Mbege tak langsung menyambung. Ia berfikir sejenak mencari kalimat terbaik untuk
menginterogasinya. Lalu, “Begini nduhai”, Mbege memperbaiki posisi duduknya di samping Wesalo.
“Semua orang di Tongauna bilang kalau penyakit yang diderita Wesuha itu karena didoti orang. Kira-
kira menurut nduhai, siapa ya yang melakukannya..”, pancing Mbege.

“E eehh. Mana saya tahu. Dan lagi, kenapa ndukaaka jauh-jauh datang kesini hanya untuk
menanyakan siapa pelakunya. Jangan-jangan ndukaaka menuduh sayy....”.

“Tidak. Saya tidak menuduh siapa-siapa..”, potong Mbege. “Saya hanya bertanya hae. Yah
siapatau nduhai tau...”, Mbege berusaha meredam kecurigaan Wesalo yang memang
mencurigainya.

“Lalu...?, Wesalo penasaran berat.

“Benarkah nduhai tidak tahu siapa kira-kira pelakunya. Sumpah kalau begitu.?, Mbege
nekad memaksa Wesalo untuk buka mulut. Namun, “Sumpah demi Allah ndukaaka, saya tidak tahu.
Kalau saya bohong, biarlah pue Inowa Asaki hidup kembali untuk mengutuk kedua orang tua dan
menjemput mayat saya...”, tukas Wesalo lantang, lalu berdiri dan duduk menjauh ke dekat jendela
samping. Wajahnya memerah padam. Lehernya menegang dan terlihat menelan air liur karena
menahan kecewa. Lama menatap kosong ke depan, matanya berbangsur basah menyusul bibirnya
yang getir.

Mbege tercenung, sedikit terhenyuh melihat air mata yang berangsur titik hingga ke bibir
merah itu. Secepat itu pikirannya berbalik berusaha menarik kata-katanya. Ia membaca isyarat jujur
dari reaksi spontan Wesalo. Apalagi, wajah gadis platonik yang baru saja didandani sedikit bedak
viva itu terkesan polos dan apa adanya. “Dia mungkin benar. Dia tak bohong. Apalagi, mata wanita
takkan berbalut tangis bila ucapan dan suara hatinya berbeda..”, bisiknya dalam hati.

“Salo..”. Mbege mendekat dan mencoba membujuk. Tapi, “Ah tidak usah. Ndukaaka
memang tega dan tidak sayang sama saya..”. tukas Wesalo sambil mendorong Mbege ke kursi dan
beranjak melangkah ke ruang tengah. Mbege mengekor ke dalam dan berusaha menenangkan
Wesalo yang mulai terisak tangis kecil di depan meja makan. “Sayang, saya minta maaf. Saya tidak
bermaksud apa-apa. Saya bertanya ke kamu karena kamu sudah saya anggap adik sendiri ..”, Mbege
duduk disamping Wesalo, berusaha menghiburnya. Meski tak punya perasaan cinta, namun kali ini,
perasaan iba itu mendadak hadir di hati Mbege.
“Sudahlah nduhai, saya tidak tenang kalau kamu menangis seperti itu. Saya sayang hae
sama kamu Salo. Sungguh, sumpah..”, tambah Mbege, nekad menghambur sumpah.

Tapi Wesalo tetap menampik tangan Mbege yang terus berusaha memegang tangannya
hendak meminta maaf. Ia kemudian menoleh dan menatap dalam-dalam bola mata Mbege. Lalu,
dari bibirnya yang getir, ia mendesah dengan suara agak serak : “Tidak. Ndukaaka tidak sayang
sama saya. Ndukaaka tidak pernah cinta sama saya. Ndukaaka jahat, bohong. Berbulan-bulan saya
merindukan ndukaa, ternyata ndukaa hanya muncul untuk menyakiti perasaan saya..”.

Sebagai lelaki yang masih punya setitik perasaan, Mbege mulai terhenyuh mendengar kata-
kata seperti itu, apalagi keluar dari bibir getir seorang wanita yang terisak tangis karena
mencintainya. Ia merasakannya tulus keluar dari lubuk hati Wesalo yang paling dalam. Mbege tiba-
tiba merasakan sesuatu yang, entah apa namanya, membuatnya mulai hanyut dalam perasaan putri
kedua dari lima bersaudara itu. Sekonyong-konyong ia malah mulai lupa dengan misi utamanya ke
tempat itu.

“Salo...”, dada Mbege mulai berdetak. “Kamu menangis, tapi sejujurnya saya suka. Itu
berarti kamu benar-benar sayang sama sama..”. Mbege kembali berusaha memegang tangan
Wesalo, dan kali kedua ini berhasil. Wesalo membiarkan jemari lentiknya yang mulai melemah
digenggam Mbege. Mbege lalu menyentuh wajah dan perlahan menyeka air mata hangat di pipi
Wesalo. “Sudahlah sayang. Yang penting mulai sekarang, kamu adalah kekasihku...”, bisiknya
lembut sambil membiarkan tubuh wangi gadis itu melemah dan mulai bersandar. Ia membelai
rambut Wesalo yang berurai lurus ke pundak. Tak lama kemudian Wesalo kembali menatapnya
dalam-dalam. “Benarkah itu ndukaaka. Ohhh...”. Wesalo merebahkan tubuhnya di pelukan Mbege.

Mbege mulai merasakan getaran hangat di sekujur tubuhnya. Gairahnya sebagai lelaki
normal mulai hadir hingga jemarinya tak sadar menyentuh bibir Wesalo yang hangat. Tak ada lagi
suara hingga beberapa menit berselang, Mbege merapatkan tangannya ke pipi kanan dan kiri
Welalo, lalu mengecup kening tebal itu. “Saya cinta kamu salo..”, desahnya mesra sambil
mengeratkan pelukannya. Wesalo memejamkan mata menyusul nafasnya yang terengah saat tiba-
tiba Mbege mengecup mesra bibirnya yang merekah. “Ohh ndukaaka. Ohh...”. Gairah Wesalo
berangsur bangkit. Ia memasrahkan bibirnya dilumat berulang-ulang oleh lelaki tampan itu. Desah
nafas keduanya pun bertemu dan terus saling melumat. Sempat menoleh sesaat ke arah pintu ruang
tamu, Mbege meminta Wesalo menutupnya. Tak hanya pintu depan, Wesalo yang mulai terbakar
hasrat itu juga menutup jendela di ruang tengah dan pintu dapur di bagian belakang, lalu kembali
pasrah menerima dekapan hangat dan ciuman bertubi-tubi dari Mbege. Melihat suasana agak aman,
Wesalo memberi isyarat agar Mbege membawanya masuk ke kamar tidur. Mbege pun mengiya dan
menggendongnya masuk, lalu merebahkan tubuh wangi Wesalo ke atas kasur sambil terus
melumatnya di bibir, di leher hingga ke dada.

Di kamar tidur, keduanya tak lagi bisa menahan gairah yang terus menggelora. Mbege
perlahan membuka satu per satu kancing baju hingga lanjut membuka kaitan BH Wesalo.
Sebaliknya, jemari Wesalo membelai dada Mbege dan memintanhya ikut membuka baju. Kedua
tubuh tak berbaju itu pun bergumul dalam gairah cinta yang terus memuncak bagai semburan
magma gunung merapi.
Namun, hanya berselang tiga menit usai melepas busana dan saling bercumbu, gairah
keduanya mendadak tertahan. Suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar dari arah ruang tamu.
“Astaga, ada orang..”, Wesalo terkejut. Secepat itu keduanya melompat dari ranjang dan kembali
mengenakan busana. Mbege lalu melangkah cepat ke arah kursi ruang tamu untuk menghapus jejak,
menyusul Wesalo yang, usai merapikan diri sejenak, beranjak membuka pintu depan.

“Ya Tuhan...”, keduanya terperanjat, tak berkutik usai memastikan orang yang mengetuk
pintu itu ternyata Barasa - ayah Wesuha dan seorang pu’utobu yang muncul bersama tiga orang
pemuda dengan memegang parang ta’awu. Barasa menyuruh putrinya duduk di samping Mbege
yang tengah mematung tak berkutik, dan menyilahkan Pu’utobu diduk di sebelah mereka.
Sementara tiga orang pemuda tadi bak pengawal istana yang disuruh berjaga-jaga di depan pintu.

“Kalian berdua sudah tertangkap basah melakukan hubungan intim diluar nikah. Untuk itu,
inggo’o Mbege, harus bertanggungjawab..”, tegas Barasa kemudian di depan putrinya yang hanya
bisa menunduk. Mendengar itu Mbege terperangah, ia ingin menyangkal, namun lidahnya terkunci
setelah mendengar penjelasan Barasa berikutnya. “Tiga orang di luar itu tadi sempat mengintip
yang apa yang kalian perbuat di rumah ini. Mereka bisa bersaksi hae...”, kata Barasa yakin.

Merasa tersudut dan diliputi rasa bersalah, Mbege memilih diam. Ia mendadak pasrah
mendengar kata-kata Barasa yang ngotot, dan lalu menyerahkan mereka untuk berurusan secara
adat dengan pu’utobu. “Ini Kohanu keluarga. Pokoknya, inggo’o Mbege dan inggo’o Salo harus
bertanggungjawab. Kalau tidak, inggo’o Mbege harus peohala untuk menutup malu, dan kamu Salo
harus segera meninggalkan kampung ini..”, tegas Barasa lagi, lalu menyilahkan Puutobu berbicara
untuk menjelaskan aturan adat terkait peristiwa tangkap basah itu.

Usai mendengarkan penjelasan Pu’utobu dan menandatangani surat pernyataan pengakuan,


Mbege memohon izin pulang. Saat menuruni tangga hendak menarik sepedanya di tiang rumah,
Mbege sempat terantuk mendengar nyeletuk kecil dari Janah – kakak kandung Wesalo, yang muncul
belakangan. “Eh Mbege. Bagaimana, didapatjie pelakunya..”. Sedikit terperanjat, Mbege mendekati
janda berusia 35-an tahun itu meski sempat dipelototi para orang pemuda yang sedang memegang
ta’awu tadi. “Pelaku apa kak Hindu...”, tanya Mbege.

“Oh tidakjie. Hanya tanya saja .”. Mbege mengerutkan kening. Setahunya tak ada orang
yang tahu maksudnya kesini selain Wesuha barusan. “Koq Hindu itu tahu ya..”, bisiknya penasaran.
Namun, baru saja hendak mengejar, wanita yang pernah menikah dengan adik Duhuti – ibunda
Mbege - itu sudah keburu kabur ke dalam rumah.

Mbege meninggalkan rumah keluarga Barasa dengan perasaan tak karuan. Otaknya
menegang penuh kekalutan. Ini kali pertama ia mengalami tekanan yang cukup berat. Belum lagi
bisa mengatasi soal Wesuha dambaan ibunya, ia sudah terperosok ke dalam persoalan lain yang
justru lebih berat. “Ya Allah, astagfirullah...”, desahnya berulang-ulang di atas sepeda.

Tiba di Uepai pukul 02 siang, Mbege membaringkan sepedanya ke kolong rumah dan naik
merebahkan diri ke ranjang. Ia jadi sulit membayangkan bagaimana sikap orang tuanya mendengar
apa yang telah ia perbuat. Kalau ayahnya mungkin masih bisa ia lunakkan. Tapi ibunya. Entah apa
yang akan diperbuat wanita keras hati itu kalau besok utusan Barasa datang menemuinya.
Sementara, ia sudah terlanjur menandatangani surat pengakuan untuk menikahi Wesalo atau
membayar denda penutup malu.

Gelisah menggeliat di atas ranjang dan tak juga bisa tidur hingga pukul 4 sore, Mbege
kembali meninggalkan rumah dan mengayuh sepedanya ke Tongauna. Tiba pukul 5 sore, Mbege
berasa kaget melihat orang-orang tengah membuat tinumba (semacam rumah pesta) di halaman
rumah Buduhama. “Kenapa ada tinumba’a ma~ma...”, bisiknya ke seseorang. Dan, seketika itu
jantungnya bak terasa jatuh mendengar jawaban orang tua itu : “Wesuha sudah meninggal dua jam
lalu anakku”.

Ia merengsek naik ke rumah panggung dan menerobos masuk ke ruang tengah. Sebuah
tubuh berbalut kain kafan putih ternyata telah terbujur kaku di hadapan orang-orang yang tengah
riuh mengisak tangis. “Innalillahi wainna ilaihi raaji’uuun..”, ucapnya seketika, lalu melangkah ke
tengah dan mendekati tubuh jenazah. Saat hendak membuka kain kafan di bagian wajah, seseorang
dengan mata berkaca-kaca melarangnya. “Jangan nak..”, bisik wanita tua itu yang ternyata ibunya. Ia
kemudian mengangkat kedua tangan untuk berdo’a. Sebelumnya, ibunya sempat memberi isyarat
agar ia ikut membakar dupa.

Kematian Wesuha yang mengenaskan itu sungguh menyayat hati Buduhama dan
keluarganya. Tak hanya merasa kehilangan, peristiwa aneh yang dianggap sebagai pembunuhan
sadis itu membuat orang se-kampung terluka dan menyisakan rasa sedih yang begitu dalam. Betapa
tidak, putri semata wayang kepala onder-distrik Tongauna yang menjadi tumpuan harapan bagi
banyak orang itu tiba-tiba harus pergi dengan cara yang misterius. Nyaris semua percaya bahwa
kematian itu disebabkan oleh guna-guna. Namun hingga jasad waipode cantik itu selesai
dimakamkan dihadapan ratusan pelayat dari berbagai kampung, tak seorang pun yang tahu siapa
orang jahat yang begitu tega melakukannya. Mbege sendiri belum bisa meraba siapa pelaku guna-
guna itu, meski ia sudah punya petunjuk awal untuk mulai menyelidikinya.

Namun, jangankan mulai menyelidik, untuk ikut menunjukkan dukacita yang dalam pada
keluarga Buduhama saja, kali ini ia tak begitu bisa. Kejadian buruk yang baru saja dilaluinya
membuat perhatiannya terbelah. Ia ikut terpukul dengan kematian Wesuha, tapi ia juga sangat
tertekan dengan kejadian buruk yang baru saja menimpanya. Sebab, meski tak seberat rasa
kehilangan seperti yang tengah dirasakan Buduhama, namun peristiwa di Lambuya itu baginya akan
sangat melukai ibunya. Apalagi, lepas dari masalah itu, kehilangan Wesuha saat ini saja sudah pasti
akan membuat ibunya terpukul. Dan ini yang terjadi sesudahnya.

Di rumah Uepai, Duhuti yang baru saja melepas sumpahnya menyusul kematian Wesuha,
terus dirundung rasa sedih. Semangat hidupnya turun drastis. Ia tak lagi terlihat punya aktifitas lain
selain duduk berhari-hari di atas tikar untuk menganyam sorume. Kepergian Wesuha membuatnya
kehilangan harapan untuk punya menantu yang kelak bisa memberinya warisan darah anakia
Tongauna, Abuki dan Uepai sekaligus dari benih putranya, Mbege.

Sayangnya, rasa sedih itu bukannya berkurang dari hari ke hari. Kondisi Duhuti malah tiba-
tiba memburuk menyusul munculnya pabitara (juru bicara) dari Lambuya yang membawa kabar
tidak sedap. “Tabe inggomiu. Anando i Mbege, kedapatan mesum dengan anano i Barasa, i Wesalo
inggomiu, beberapa hari lalu di Lambuya..”, kata pabitara antara lain mewakili keluarga Barasa
beberapa saat setelah meletakkan kalosara di depan Duhuti dan Ndeba. Kontan, kabar tak sedap
dan hampir mustahil itu membuat Duhuria drop seketika. Ia nyaris jatuh di depan pabitara yang
sedang bersila di tikar Sorume, tepat di depan kalosara. Berusaha tetap tenang, Ndeba menggotong
Duhuria ke kamar tidur. Usai menenangkan istrinya, Ndeba kembali ke ruang tamu untuk
mendengarkan pembicaraan lanjutan utusan keluarga Barasa itu.

“Lalu, bagaimana selanjutnya..”, ucapnya tenang, meski perasaannya ikut tak karuan.

Pabitara melanjutkan berbicara beberapa saat dalam langgam sastra mombesara, lalu di
bagian akhir mengajukan dua opsi tuntutan. “Iye inggomiu. Amano i Salo menitip pesan untuk
menyampaikan dua pilihan..”, ungkapnya dalam bahasa Tolaki yang fasih. “Pertama, dia minta agar i
Mbege bertanggungjawab untuk menikahi anaknya. Kedua, bila tidak, i Mbege harus peohala untuk
menutup kohanu...”, tambahnya sambil membeberkan beberapa persyaratan adat yang harus
dipenuhi bila keluarga Ndeba memilih opsi kedua beserta batas waktu untuk itu.

Berfikir beberapa saat, Ndeba tak langsung bisa memberi jawaban. Duhuria tiba-tiba muncul
ke ruang tamu memberi jawaban ketus. “Tidak. I Mbege tidak boleh kawin dengan anaknya i
Barasa. Tidak boleh”, ujarnya lantang ke arah pabitara. “Hitung saja berapa yang harus saya siapkan
untuk peohala..”, tambahnya, lalu sesaat kemudian kembali ke kamar tidur.

Ndeba tak bergeming. Ia tahu kenapa istrinya berbicara begitu. Cerita masa lalu itu sempat
terbayang sesaat, tapi ia cepat menampiknya. Ia lalu memberi isyarat agar pabitara menarik kalosara
di depannya dan kembali ke Lambuya menemui Barasa untuk menyampaikan sikap keluarganya
seperti yang dikatakan Duhuti.

Sampai disitu Duhuti merasa mendapat tekanan yang jauh lebih berat ketimbang
kehilangan calon menantu. Sejak enam tahun silam ia sudah menarik garis batas untuk tidak
memiliki turunan yang bercampur dengan darah keturunan Barasa. Bersekongkol dengan Hasani,
ayah Rende yang sekarang menjabat sebagai kepala onder distrik Uepai, Barasa dianggapnya telah
menggelamkan suaminya – Ndeba - dari garis po’anakia’a (kebangsawanan) di Uepai.

Waktu itu, menjelang penentuan posisi kepala onder distrik Uepai menyusul bubarnya
sistem pemerintahan swapraja di tanah air, Barasa mengajak Hasani menemui Bupati Sultra di
Kendari untuk memperjuangkan Rende agar bisa menduduki posisi prestisius itu. Dari seorang
sepupunya di Kendari, Duhuria mendengar kabar bahwa keduanya, Barasa dan Hasani, telah
mengarang cerita di depan Bupati dengan mengatakan Ndeba, yang sebelumnya telah dipastikan
akan menduduki posisi itu, seolah tidak memiliki darah anakia, tidak memiliki pengaruh di Uepai, dan
sedang jatuh sakit. Fitnah itu yang lalu membuat Ndeba tersingkir, dan sebaliknya, menjadikan
Rende sebagai kepala onder distrik Uepai. Padahal, darah Bunduhama lebih ‘biru’ ketimbang darah
anak Hasani itu.

Merasa sakit dengan peristiwa itu, setahun berikutnya, Duhuti memutuskan untuk
menyuruh anak sulungnya, Undo, agar menceraikan istrinya – Janah, yang kebetulan adalah putri
tertua Barasa dan kakak kandung Wesalo. Dan sempat merasa terpukul, Ndeba memilih jalur agama
untuk melupakan peristiwa itu. Ia lalu belajar kepada Mahadi, guru mengaji di surau uepai ketika itu.

Rasa sakit karena pernah dikhianati Barasa - mantan besannya sendiri, kali ini kambung lagi.
Duhuti terus membisu di kamar, hingga seminggu kemudian jatuh sakit. Mendengar itu, Mbege
yang sudah seminggu meninggalkan rumah karena takut kena marah ibunya dan memilih berdiam di
rumah rekannya di Wawotobi, terpaksa harus kembali ke rumah untuk melihat kondisi ibunya.

Ia terhenyuh dan terhempas rasa bersalah yang menjadi-jadi saat melihat ibunya terbaring
sakit dengan wajah yang lusuh dan pucat di kamar tidur. Melihatnya sedang memejamkan mata,
Mbege mendekat dan menyentuh wajah yang semakin berkerut dan menua itu sembari kemudian
merapikan rambut putih yang berantakan di atas kepala. Air mata Mbege berangsur titik, dan :
“Ohh.. inaaaa, maafkan saya..”. Mbege tak sanggup menahan tangis. Ia lalu mendekap dan
merapatkan pipi ke dada ibunya sambil tersedu.

15 menit berlalu ibunya masih terlelap, Mbege melangkah ke ruang tengah untuk menemui
ayahnya yang tengah sibuk mengatur persyaratan adat untuk di bawah ke acara peohala besok pagi
di Lambuya. Meski masih agak ragu, ia memberanikan diri berbicara, sekedar untuk meluruskan
masalah yang sebenarnya. “Amaa..”, ucapnya hati-hati disamping ayahnya yang sedang merapikan
bungkusan sarung dan beberapa ikat uang rupiah pecahan sepuluh rupiah. “Sebenarnya saya dan
Wesalo tidak sampai berbuat zina. Kami hanya tak bisa mengendalikan diri hingga hanya sempat
berpelukan dan berciuman sedikit. Sampai disitu saja. Tidak sampai berhubungan kelamin...”,
tambahnya blak-blakan.

Ndeba terdiam, dahinya sedikit berkerut . “Ohh begitu. Lalu..?”. Ndeba tertarik menyimak.

Mbege lalu menceritakan semuanya kejadian itu apa adanya, termasuk kenapa ia tiba-tiba
harus ke rumah Barasa siang itu. “Saya hanya merasa iba melihat ayah Wesalo. Makanya saya ke
Lambuya untuk mencari tahu siapa pelakunya. Meski ternyata, ehh saya malah dijebak..”,
tambahnya.

Mendengar itu, Ndeba agak heran, kenapa mebege harus ke Lambuya untuk mencaritau
pelaku guna-guna itu. Kenapa bukan ke tempat lain.

“Begini ama...”, terjebak penjelasannya sendiri, Mbege buru-buru memotong. Kali ini ia
terpaksa berbohong untuk tidak memperpanjang masalah. “Menurut osando yang sempat diajak
bicara oleh amano i Suha, orang yang mengirim doti itu adalah seorang wanita yang tinggal di
Lambuya. Waktu ke Lambuya, tidak sengaja, saya ketemu i Salo di tengah jalan dan lalu mengajak
saya ke rumahnya. ..”.

Ndeba mengangguk paham, merasa pertanyaannya terjawab. Namun ia masih ingin


diyakinkan lagi soal pengakuan Mbege yang pertama. “Jadi, benarkah kamu tidak sempat
berhubungan kelamin dengan gadis itu..”, tanya Ndeba, serius.

“Benar ama. Sumpah demi Allah. Kami hanya berciuman...”, tegas Mbege meyakinkan.

Sampai disitu Ndeba manggut-manggut, percaya pada kata-kata anaknya. “Tapiii, hmm..
Sudahlah. Semuanya sudah terlanjur. Biarlah kita rugi sedikit. Besok saya tetap akan ke Lambuya
menyelesaikan adat peohala-mu...”, kata Ndeba, juga tak ingin memperpanjang masalah dengan
keluarga Barasa.

Esok sore Mbege tak ikut ayahnya ke Lambuya. Ia meminta izin ke ayahnya untuk pergi ke
Kapoiala menjemput Mahadi. “Yah, siapatau paitua itu bisa mengobati i~ina..”, katanya yang
langsung diiyakan ayahnya. Kebetulan juga, selain berasa kangen karena lama tak bersua Mahadi,
Ndeba memang tak ingin lagi istrinya kembali menggantungkan penyakitnya pada para sando kambo
(dukun kampung) seperti yang sudah-sudah. Ia ingin istrinya bisa mendekatkan diri kepada Allah
dan menyadari tujuan hidup yang sebenarnya. Ia yakin, hanya dengan cara itu istrinya bisa kembali
pulih dari penyakit hati yang kini dideritanya. “Cocokmi Mbege. Panggilkanmi kita itu orang tua.
Saya yakin, dia bisa menyadarkan ina-mu..”, ucapnya.

Se-jam setelah melepas rombongan ayahnya ke Lambuya, pukul 09 pagi Mbege kembali
mengayuh sepedanya menuju Kapoiala. Sebelumnya, ia sempat mengecek kerudung berwarna
kuning dan beberapa gelang plastik pesanan Suri tempo hari yang masih terbungkus rapi di tas
jinjingnya.

Menempuh perjalanan panjang ke Kapoiala kali ini, wajah dua wanita cantik itu silih berganti
hadir membayangi pikiran Mbege yang masih kalut. Ia kadang mengutuk dirinya yang tak sempat
bisa membahagiakan ibunya dan Wesuha, hanya karena ia telat membangun perasaan cinta yang
sama. Padahal apa yang kurang dari gadis cantik berdarah anakia dambaan ibunya itu. Juga
terhadap Wesalo. Ia terus menyesali pertemuan singkatnya dengan gadis ayu yang membuat gairah
cintanya sempat bersemi, meski hanya sesaat itu. Andai kemarin ibunya setuju, ia mungkin takkan
menolak opsi pertama Barasa yang menginginkannya menikahi Wesalo.

Terus melamun di atas sepeda, Mbege tak sadar telah melewati jembatan kayu Amesiu dan
sejam lebih kemudian tiba di Besulutu. Ia mampir melepas dahaga sejenak di gubuk bambu milik
seorang warga. Beberapa biji durian tampak tergantung di dinding depan gubuk itu. Dari dalam
gubuk, Mbege mendengar suara seseorang sedang menawar harga durian. Ia menguping dan tak
lama lalu memastikan: “ Rumba ternyata..”, bisiknya.

Sempat terlibat perkelahian di pesta tongauna waktu itu, keduanya sama sekali tak
menyimpan dendam ketika sesaat kemudian saling menyapa. Sepeninggal Wesuha, Rumba tak
punya alasan lagi untuk membenci Mbege. Apalagi Mbege sendiri. Ia memang sejak awal tak pernah
menganggap Rumba sebagai saingannya.

Sembari berbasa-basi, kedua pemuda anakia itu menyantap durian di atas potongan ranting
ketapang, tepat dibawah pohon sukun. Tegakkan pepohonan lain yang rindang dan berdaun lebat
membuat suasana di sekitar mereka cukup senjuk dan asri. Suasana sepi juga terasa. Di badan jalan
tanah tak jauh di depan mereka, hanya ada beberapa warga kampung mengenakan boru yang
melintas berjalan kaki, meski sesekali juga terlihat satu dua orang melintas dengan menaiki kuda dan
sepeda. Satu dua truk dan bus panama tua peninggalan jepang jurusan Kendari - Kolaka yang
biasanya melintas, kini hampir tiga jam tak terlihat.

Mbege dan Rumba kali ini tengah dirundung perasaan yang sama. Kepergian Wesuha
membuat mereka sedih dan tak tak lagi se-gesit seperti kemarin-kemarin. Cukup lama ngobrol dan
saling melepas canda, Rumba tiba-tiba bertanya agak serius. “Oya Mbege, saya dengar kamu ada
masalah sedikit di Lambuya. Betulkah itu..”, ungkapnya.

Mendengar pertanyaan itu Mbege terdiam sejenak. Sedikit kaget karena berita itu rupanya
sudah merebak kemana-mana, bahkan hingga ke telinga orang seperti Rumba. Ini yang memang ia
khawatirkan beberapa hari belakangan, diketahui dan jadi bahan gunjingan orang-orang. Apalagi,
betapa ia sangat malu kalau berita itu sampai ke telinga Buduhama di Tongauna atau ke orang-
orang di Kapoiala. Tapi di depan Rumba ia berusaha tak gugup.

“Iya betul. Tapi sepertinya saya dijebak. Saya dan Wesalo hanya berciuman. Tidak sampai
berhubungan badan. Tapi, tiba-tiba saja Bapaknya i Salo muncul menuduh saya sudah melakukan
mensetubuhi anaknya...”, jelasnya datar.

Memandangnya sepele, mendengar itu Rumba hanya senyum kecil. Kejadian seperti itu
bukan lagi masalah besar buatnya. Hampir tiap minggu ia mendengarnya terjadi di kampung-
kampung.

“Ohhh..biasalah itu banggona. Kita kan laki-laki normal. Tapi oya, apami lagi tuntutannya itu
orang tua. Bapaknya i Salo maksud saya..”. Rumba masih terus menyantap durian. Rambutnya yang
berbelah tengah kadang terseka angin dari sela dedaunan.

“Dia paksa saya mengaku telah mensetubuhi anaknya, lalu memberi saya dua pilihan.
Mengawini anaknya, atau membayar peohala...”, ungkap Mbege.

“Hmm.. Lalu..”, kejar Rumba, sambil menyeka baju coklatnya yang terpercik sedikit serpihan
daging durian.

“Yah, saya mengaku saja. Dari pada panjang masalahnya. Tapi i-ina tidak mau kalau saya
mengawini i Salo. Dia bersedia membayar peohala berapa saja asal jangan kawin dengan anaknya i
Barasa itu..”, sambung Mbege lagi.

Beban pikiran Mbege sesaat sempat berkurang karena keputusannya tak mengawini Wesalo
justru dianggap tepat oleh Rumba. “Untung saja kamu tidak mengawininya..”, kata Rumba, yang
lalu membuat Mbege terhenyak.

“Ohh... kenapa. Memangnya ada apa..?”. Mbege penasaran

‘“Sebelum ketemu kamu, i Salo pernah menjadi pacar saya. Kami sempat berhubungan intim
berkali-kali sampai dia hamil. Hanya terpaksa saya harus memaksanya menggugurkan
kandungan..”, ungkap Rumba jujur. “Tapi bukan i Salo yang saya tidak suka, melainkan
keluarganya. Terutama kakaknya itu, i Hindu..”.

Mbege bertambah penasaran setelah Rumba menyebut nama Hindu, kakak Wesalo yang
sempat membuatnya penasaran berat karena bisa menebak maksudnya sewaktu ke Lambuya tempo
hari, padahal ia belum pernah cerita ke orang lain selain kepada Wesalo.

“Hindu. Dia kenapa.. ?“ Mbege berusaha mengejar.

“Hindu itu jahat, sama seperti ama-nya. Dia suka iri hati sama orang. Kalau benci sama
orang, dia minta tolong sama ama-nya untuk mengirim doti ke orang itu..”.

Sampai disitu Mbege tercenung, menelisik kaitan peristiwa antara cerita Rumba barusan
dengan apa yang telah dilaluinya. Ia baru tahu kalau Wesalo pernah menggugurkan kandungan
karena dihamili Rumba, sebagaimana ia juga baru mendengar cerita tentang Hindu yang jahat. Lalu,
mungkinkah Hindu ada hubungannya dengan kematian Wesuha, itu yang sedang dikejarnya. Tapi ia
tak mau Rembu tahi apa yang sedang terbetik dipikirkannya soal penyebab kematian Wesuha.

Melihat Mbege tiba-tiba membisu, Rumba balik bertanya. “Ada apa Mbege. Apa kamu
tersinggung dengan cerita saya tadi.....”.

Mbege buru-buru memotong. “Ohh tidak banggona. Saya malah bersyukur karena tidak lagi
terlalu menyesali kejadian itu..”, katanya.

Dua puluh menit berlalu, keduanya lalu saling berpamitan untuk meneruskan perjalanan.
Rumba mengayuh sepedanya ke arah Abuki, Mbege meneruskan perjalanan menuju Kapoiala.

Usai mendaki gunung disela hutan lebat lalonona yang berkelok-kelok, menjelang pukul 2
siang, Mbege telah sampai di jalan menurun menuju pohara. Merasa tak ada keperluan ke Kendari,
kali ini Mbege memutuskan mengambil jalur memotong lewat sungai Konaweeha. Usai santap siang
dan menitip sepeda di pemilik warung pokea dekat tambatan perahu, Mbege menaiki perahu
sewaan dekat jembatan kayu yang lalu membawanya menyusuri perut sungai yang membentang
lebar ke arah muara.

Melintasi perut sungai besar yang membelah kampung demi kampung di siang itu, Mbege
merasa jauh lebih nyaman. Wajahnya yang cerah kadang terseka percikan air sungai nan jernih dari
sisi kiri kanan perahu. Pepohonan bakau nan rindang di sebelah kiri kanan sungai membuat terik
matahari di sore itu tak terasa menyengat, hingga tanpa terasa, pukul 5 lewat sedikit, perahu
dayung yang membawanya melintasi sungai Konaweeha telah mendekati kampung Kapoiala. Di
kejauhan, ia sempat menikmati semburat matahari petang yang memberkas diantara gubuk-gubuk
kayu dan bambu berbentuk panggung yang berjejer agak berjauhan diantara pepohonan rindang
buah langsat, sirsak, nangka, ketapang, kemiri dan lainnya. Kampung itu di masa silam adalah
tempat berlabuh pasukan laut kerajaan Konawe pimpinan Haribau yang bergelar kapita bondoala.
Dari sini pula Haribau mengangkat sauh pasukan laut Konawe saat hendak berlayar ke laut lepas
melewati muara sampara.

Suasana sepi di kampung tua itu sudah terasa saat Mbege menyentuh bibir sungai di
tambatan perahu dan melangkah menuju ke rumah Mahadi di pinggir kali kecil Tabakidoe. Tak ada
sesiapa di rumah panggung itu saat ia mengetuk pintu, kecuali ibu Maesara yang menyambutnya
dengan riang. Di petang itu, Mahadi mengajak Suri dan Wanara berjama’ah magrib di masjid.
Mbege gembira diberitahu Maesara soal kepulangan kedua putrinya dari Makassar dua hari lalu.

Selepas isya, mahadi dan kedua putrinya kembali ke rumah. Seperti biasa, setiap melihat
Mbege muncul, seisi rumah bak kedatangan tamu agung dari tanah rantau. Semuanya senang dan
ceria. Selain santun dan ramah, Mbege di mata mereka adalah pemuda tampan yang mapan dan
berdarah biru. Malam itu Mbege sedang makan ketika ketiganya muncul.

Usai merapikan sajadah dan membuka songkok hitamnya, Mahadi bergabung ke meja
makan. Suri ternyata sudah duluan. Masih mengenakan mukena, Suri sudah memuat nasi dan
kabengga rebus di piringnya di samping Mbege. “Hmm..Suriuu..”, ujar Maesara melihat putrinya
mengambil sepotong kambatu di piring Mbege. Mbege hanya tersenyum melihat sikap Suri yang
manja. Wanara juga sesekali menegur adiknya.
Meski bersahaja dan remang karena hanya disinari lampu kaleng, kehadiran Mbege
membuat suasana makan malam di rumah itu berubah ceria. Usai menanyai Wanara dan Suri soal
keadaan Makassar dan sejauh dimana pelajaran kursus menjahit yang diikuti Suri, giliran Mbege
yang ditanyai soal Uepai dan keadaan orang tuanya. Terakhir, ia ditanyai Suri soal pesanannya
tempo hari. “Oya ndukaaka. Manami kerudung warna kuning dan gelang yang ndukaaka bilang mau
belikan tempo hari..”, kata Suri sembari menuang air minum ke dalam gelas di depan Mbege.
Terbesit seberkas cahaya redup yang kadang tertirai bayangan ibu dan kakaknya yang duduk
membelakangi lampu, rona kecantikan di wajah adik kWanara ini masih terasa ketika dilirik Mbege
yang sempat mencuri pandang beberapa kali.

“Oh iya. Itu ada di dalam tas. Sudah sebulan saya menyimpannya...”, ucap Mbege yang lalu
membuat Suri penasaran, ingin segera mencobanya. Namun, “ya sudah, kerudung dan gelang itu
nanti besok saja kamu ambil...”, tukas Mahadi melihat anaknya terburu-buru menghabiskan
makanan.

Esok pagi, usai menyerahkan kerudung kuning dan gelang itu kepada Suri, Mbege ke teras
rumah menemani Mahadi mengobrol. Kali ini Mbege nekad menceritakan semua kejadian yang
menimpanya kepada Mahadi, termasuk kejadian di Lambuya yang membuat ibunya jatuh sakit.
“Saya sudah banyak dosa paitua. Selain sudah mendekati zina, saya juga telah membuat i-ina sakit.
Itu semua kesalahan saya paitua..”, ungkap Mbege jujur. Namun, setelah menimbang-nimbang,
Mahadi justru menganggap Mbege telah melakukan hal yang benar, meski, pada soal Wesalo yang
hampir saja disetubuhi Mbege, ia sempat dibuat tercenung. “Oh begitu. Tapi syukurlah. Allah masih
menolong hingga anakku tak terperosok jauh ke dalam zina besar...”, jelasnya.

Mahadi juga menjelaskan sedikit soal doti yang sempat ditanyakan Mbege. Katanya, “odoti
itu ada. Dia sejenis sihir yang memanfaatkan jin kafir atau setan untuk merusak orang. Melalui cara-
cara yang diajarkan setan, seseorang bisa mengirim doti kepada orang lain yang sedang lengah,
atau sedang tidak dalam keadaan percaya kepada Allah...”.

Mbege lalu menanyakan bagaimana cara menangkalnya bila tiba-tiba ada seseorang yang
akan merusaknya dengan doti. Mahadi memberi penjelasan umum : “setan takkan berdaya
menghadapi orang-orang yang beriman...”, katanya, lalu menjanjikan akan mengajarkan beberapa
bacaan khusus kepada Mbege.

Terakhir soal permintaan Mbege yang menginginkannya ke Uepai untuk mengobati ibunya,
Mahadi mengiyakan, namun meminta waktu nanti besok. “Siang ini bapak masih harus ke sawah
untuk menutup pintu air karena padi sudah mulai berisi..”, katanya sambil menyilahkan Mbege
meneguk kopi dan mencicipi beberapa potong kue ranggina yang sejak subuh sudah disiapkan Suri.

Sering mendengar Mahadi menceritakan kondisi sawahnya, kali ini Mbege tertarik untuk
ikut ke sawah, sekaligus untuk menghilangkan stres. Selain itu, ia juga ingin melihat kondisi sawah
pasang surut di Kapoiala dengan sawah bentuk sawah tadah hujan di kebunnya di rawua. Mahadi
mengiyakan. “Besok insyaAllah kita naik perahu Lambo saja ke Pohara. Nanti disana bapak
menunggu oto untuk menumpang ke Uepai..”, kata Mahadi, lalu menyuruh Mbege siap-siap ke
sawah. Namun, langkah Mbege sempat tertahan. Suri tiba-tiba muncul di teras dengan rambut yang
masih terurai basah dan meminta ke ayahnya untuk ikut ke Uepai besok. “Ama, saya ikut ke Uepai
besok iye..”, pintanya lembut, sempat menguping obrolan mereka sejak tadi. Mahadi mengangkat
bahu dan menyerahkan keputusannya kepada Mbege. “Yah terserah ndukaakamu. Kalau dia setuju,
boleh juga. Apalagi, Kamu kan belum pernah kasana...”, katanya sambil melangkah masuk
mengganti pakaian.

Mbege terkesima setelah sesaat menyimak. Pagi ini ia seolah baru menyadari keadaan yang
sebenarnya setelah lama diacuhkannya. Putri kedua Mahadi yang sering berlalu begitu saja di
depannya, ternyata sangat mempesona. Bibir merah merekah di wajah secerah mentari pagi yang
berhias rambut hitam bergelombang hingga ke bawah bahu itu membuatnya sempat tertegun. Tapi
ia tak bisa memandang cukup lama. Sinar mata yang berbinar jernih dibawah alis hitam itu
membuatnya tertunduk. Ia hanya bisa merasakan keindahan aura gadis bertubuh tinggi semampai
itu di dalam hati, meski kemudian ia harus berkata jujur : “masyaAllah, kamu cantik skali nduhai...”.

Menumpang perahu kecil, pukul 8 pagi itu Mbege mengekor di belakang Mahadi ke
seberang sungai. Tiba di persawahan setengah jam kemudian, Mbege tak langsung menuju rumah
kebun mengikuti Mahadi. Langkahnya tertahan sejenak melihat hamparan padi yang mulai
menguning. “Luar biasa..”, bisiknya, berdetak kagum usai melihat gugusan padi yang membentang
luas hingga 100 meter ke sisi kiri kanan pematang. Tak ada bentangan rumpun padi yang dilihatnya
rusak, kecuali hanya pada satu dari puluhan petak sawah yang ada. Ia tertegun, karena selain hanya
di satu petak itu, hamparan padi pada semua petak tak ada yang cacat. Semuanya tersusun rapi,
meski kemudian ia tak melihat ada pagar pelindung di sekeliling sawah. “Ini agak unik. Sawah yang
membentang luas ini tak memiliki pagar.”, pikirnya. Ia lalu melangkah ke dekat kanal kali buatan bak
saluran irigasi kecil yang membatasi lokasi sawah milik Mahadi dan milik warga lain. Ia kembali
tertegun. Hamparan sawah milik warga lain di sebelah kanal itu memiliki pagar keliling dari
reranting bakau dan pelepah batang sagu. Anehnya, di hamparan sawah sebelah itu, justru banyak
rumpun padi yang terlihat rusak pada hampir semua petak. Lama memperhatikan, ia bisa
memastikan. Rumpun padi yang rusak itu ternyata bekas serangan hama tikus dan babi. Sebagiannya
juga ada yang terlihat bekas serangan hama penggerek batang. Ia merasa ada yang aneh disini.

Mbege lalu menanyakan hal itu ke Mahadi yang baru kembali dari tempat penutupan pintu
air di dekat bibir sungai. Dari keadaan aneh yang ditanyakannya, ia kembali mendapat pencerahan
baru di pagi menjelang siang hari ini.

“Anakku..”, kata Mahadi di rumah kebun saat menjawab rasa penasaran Mbege. “Allah
tidak menciptakan hama dan penyakit tanaman itu hanya untuk mengganggu dengan tanpa
memberinya makanan. Dia juga menciptakan mereka sebagai makhluk biasa yang memiliki naluri
untuk mempertahankan hidup seperti halnya manusia. Oleh karena itu, kita tak boleh sama sekali
menutup pintu makanan buat mereka. Itu keliru. Kita harus tetap membukanya, meski harus tetap
pada batas-batas yang tidak sampai merugikan kita sendiri. Untuk itulah anakku, di sawah ini bapak
hanya menyediakan mereka satu petak untuk dimakan. Selebihnya adalah untuk kita...”.

Siang itu, usai mengobrol, Mbege dan Mahadi menikmati makanan sinonggi dengan ura
mbea (udang bakau) yang disiapkan anak penjaga kebun. Usai santap siang menyusul matahari yang
berangsur terik, Mbege meminta izin untuk berbaring. Sedangkan Mahadi, seperti kebiasaannya
sejak kecil, ia tak pernah mengenal tidur siang. Ia melanjutkan pekerjaannya memeriksa keadaan
sawah meski tertisik terik matahari. Menjelang petang, keduanya kembali menyeberangi sungai
menuju pulang.
Di pagi buta esok harinya, Mahadi sudah menunggu Mbege dan Suri di meja makan untuk
sarapan. Mbege muncul menyusul, sedangkan Suri masih di kamar berdandan. Pukul 7, ketiganya
sudah di teras rumah, siap untuk berangkat. Pagi itu Mbege kembali mengenakan setelan khasnya,
memakai katun model safari berkantung dua yang dimasukkan ke dalam celana panjang yang
membesar di bagian bawah pinggang hingga ke lutut, dan seteusnya mengecil sampai ke tumit.
Mahadi juga tetap mengenakan songkok hitamnya dengan gamis abuabu yang menjulur menutupi
lilitan atas sarung lippa sabbe dibawahnya. Sebuah lipatan sorban putih juga melilit di lehernya
sembari memegang manik-manik. Sedangkan Suri mengenakan baju kancing bermotif bunga dan
berlengan panjang dengan kerudung kuning pemberian Mbege di kepalanya.

Dilepas Maesara dan Wanara, ketiganya menuju tambatan perahu dan berangkat ke pohara
menyusuri sungai Konaweeha dengan perahu lambo. Perjalanan ke pohara itu menempuh waktu
hampir 4 jam, karena, meski digerakkan oleh empat orang pendayung, laju perahu lambo
berkapasitas 3 ton itu agak lambat karena harus melawan arus.

Ketiganya tiba di pelabuhan pohara pukul 11.30. Di warung makan dekat tambatan perahu
tempat Mbege menitip sepedanya, ketiganya berbincang sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.
Mbege meminta Mahadi dan Suri untuk menumpang bus panama yang diperkirakannya akan
melintas sejam lagi dari arah Kendari. Ia sendiri akan lebih dulu jalan karena harus mengayuh sepeda
melewati gunung di hutan Lalonona. “Saya akan menunggu bus yang paitua dan Suri tumpangi
setelah pendakian di Wawolemo, karena tak ada lagi pendakian setelah itu hingga ke ameroro.
Kalau bus-nya penuh, Suri bisa ikut saya membonceng di sepeda..”, jelas Mbege di samping Suri yang
tengah menikmati burasa dan sate pokea.

Ketiganya sepakat. Mbege lalu menarik sepedanya di belakang Suri yang baru saja
melambaikan tangan dan berucap “hati-hati di jalan ndukaaka..”.

Meleset sedikit dari perkiraan Mbege, bus panama itu baru tiba dari arah Kendari sejam
lebih. Melihatnya sudah berada di seberang sungai usai meniti jembatan kayu, Suri memegang
lengan ayahnya naik ke atas bus tua yang sudah sesak dipenuhi penungpang itu. Mahadi terpaksa
duduk di lantai bus di tengah, tepat di dekat kaki Suri yang duduk memangku di paha seorang
wanita setengah baya. Keduanya pun pasrah mengikuti goyangan bus yang berjalan lambat bak
kura-kura melintasi jalan tanah yang berkelok-kelok dan kadang berlubang.

Menjelang pukul 2.30, Mbege sudah memarkir sepedanya di kampung Wawolemo untuk
menunggu bus jurusan Kendari – Kolaka tadi muncul. Saat berjalan mendekat, bus tumpangan itu
dilihatnya penuh. Ia menahannya dan memberi isyarat ke Suri agar turun, sembari kemudian
meminta tolong ke sopir untuk menitip paitua agar nanti disinggahkan di Uepai. Mbege lalu
meneruskan mengayuh sepeda dengan membonceng Suri di belakang bus yang dibiarkannya
melesat lebih dulu.

Meski pikirannya masih sedikit resah bila teringat ibunya yang sedang terbaring sakit, kali ini
Mbege cukup menikmati perjalanan. Ia merasa perjalanannya kali ini lebih nyaman dibanding
kemarin-kemarin. Sebab, selain berhasil meminta Mahadi untuk membesuk ibunya, ia juga bisa lebih
dekat dengan gadis cantik yang baru saja membuatnya terkesima. Sesekali ia bercanda dan
menceritakan masa lalu kampung-kampung yang mereka lewati. “Pondidaha ini..”, katanya di depan
Suri usai melewati jembatan kayu di Amesiu, “dulunya adalah tempat tinggal Sulemandara. yang
berasal dari Puosu. Kakek saranani - pejabat Sulemandara - yang bernama Latalambe, sengaja
memindahkan tempat kediaman Sulemandara itu ke sini karena tak ingin Maranay dari Abuki yang
bergelar inea sinumo itu, mawarisi tahta mokole sepeninggal Lakidende.”.

Sejam lebih ngobrol di atas sepeda melewati jalan tanah yang sepi, tak terasa keduanya
sudah melintas di Wonggeduku dan tak lama lagi sampai ke Wawotobi. Sempat melihat rumah
panggung kecil di sebelah jalan dekat gugusan pepohonan langsat dan durian, Mbege nyeletuk :
“Kampung ini dulunya adalah tempat kediaman Kotubitara, ketua pengadilan adat kerajaan
Konawe..”.

Di Wawotobi, keduanya mampir di warung kecil milik seorang warga selayar, tempat dimana
Mbege biasa mampir acapkali melintas. Ia memesan air putih buat Suri yang kelihatan lelah. Ia
sendiri memesan kopi panas dan beberapa potong kue bagea. Suri hanya terdiam saat ia menyeka
peluh dan sedikit debu di wajah melankolis itu. Melirik Suri tengah memperhatikan sebuah rumah
panggung cukup besar yang agak menjorok ke pinggir hutan dari tepi jalan, ia menjelaskan. “ Rumah
itu milik kepala distrik Wawotobi yang baru dibangun dua tahun lalu setelah peristiwa pembakaran
kampung oleh gerombolan DI/TII. Kepala distrik Wawotobi membawahi kepala onder-distrik
Lambuya, Uepai, Tongauna, Abuki, Latoma, Unaaha dan Lasolo. Dulunya, kampung Wawotobi ini
tak dikenal. Di masa mokole Lakidende, yang dikenal justru adalah Tusawuta, tempat kediaman
menteri pertanian kerajaan Konawe. Itu disebelah sana..”, ungkapnya sembari menunjuk ke arah
kampung yang baru saja mereka lewati.

Melirik jam tangan di lengan Suri yang sudah menunjukkan pukul 4, Mbege mengajak putri
Mahadi itu melanjutkan perjalanan. Namun, belum lagi sempat menarik sepedanya, Mbege agak
terkejut. Klepak klepak klepak, suara kaki kuda sekonyong-konyong terdengar mendekatinya. Ia
memelotot mencaritahu. “Ohh, rupanya Hindu dan Wesalo...”, bisiknya setelah memastikan kedua
putri Barasa itu tengah melintas dengan gerobak bendi dari arah Wonggeduku. “oooo Mbege.
Perempuan siapa lagi itu yang kamu bawa. Dasar laki-laki murahan...”, teriak Hindu tiba-tiba sambil
menghentakkan cemeti di punggung kudanya agak keras dan terus melesat ke arah Unaaha.

Mbege sempat gugup saat ditanyai Suri siapa perempuan bermulut kasar itu. Tapi ia
kemudian bisa mengatasinya. “Namanya Hindu. Dia itu ingin sekali saya menikah dengan adiknya,
itu tadi yang duduk disebelahnya. Tapi saya dan i-ina tidak mau..”, jelas Mbege, lalu kembali
membonceng Suri ke arah Unaaha.

Melintasi padang alang-alang nan luas di kampung Unaaha, Suri agak kedinginan terseka
angin sore. Mbege melambatkan roda sepeda saat melewati dusun Toriki. Sempat menoleh ke
belakang melihat Suri tengah memperhatikan beberapa gubuk kecil di sela hamparan alang-alang,
Mbege menjelaskan. “Gubuk-gubuk itu milik orang-orang Latoma yang pindah kesini karena
kampung mereka juga dibakar gerombolan DI/TII lima tahun lalu..”.

Mbege juga menjelaskan kuburan tua di jalan kecil ke arah kiri yang sempat ditanyakan Suri.
“Disitu tempat mokole Lakidende dan permaisurinya berkubur seratus tahun lalu. Banyak yang
datang bertapa disitu..”, katanya saat melintas di dusun Tobeu. “Dan oya, itu disana ada rumah
kepala Tobeu, ama-nya i Laloasa, teman saya, hanya dia lebih mudah sedikit..”, tambahnya dengan
menunjuk ke sebuah rumah panggung sederhana yang agak menjorok ke utan semak.
Matahari sore yang berangsur merah membuat wajah Suri yang berlindung di bawah
kerudung kuning itu ikut memerah. Ia mengagumi fisik Mbege yang tak juga lelah memboncengnya.
Dan ingin terus mendengar suara Mbege, ia kembali bertanya. “Kalau kampung Unaaha yang luas ini
bagaimana ceritanya tempo dulu ndukaaka..”, ucapnya sambil memegang pinggul Mbege untuk
memperbaiki posisi duduknya. Mbege tetap setia melayaninya. “Dulu kampung ini bernama
Laroni’i..”, jelas Mbege. “..Di sebelah kanan sana, ada kampung tua bernama inolobunggadue.
Disanalah lokasi istana sekaligus pusat pemerintahan kerajaan Konawe setelah pindah dari
kampung olo-oloho..”. tambahnya lagi, kemudian menjelaskan gambaran peristiwa serangan wabah
penyakit yang pernah menghabisi orang Tolaki di masa pasca mokole Tebawo yang sebelumnya
mendiami istana olo-oloho.

Dari unaaha, keduanya berbelok ke kiri menyeberangi sungai Konaweeha dengan pincara,
lalu sesaat kemudian tiba di rumah Uepai. Mbege mengajak Suri naik ke rumah panggung dan
menyilahkannya istrahat sebelum bersih-bersih ke tempat mandi di belakang rumah. Di ruang tamu
Mahadi tampak sedang sandaran di kursi rotan sambil meneguk kopi panas ditemani Ndeba. Mbege
bergegas ke ruang tengah dan melihat kondisi ibunya yang masih berbaring dan ternyata masih tak
sadarkan diri. Ia kembali lemas merasakan tubuh ibunya yang semakin lemah dan kurus.

Selepas shalat magrib berjama’ah yang dipimpin Mahadi, ketiganya - Mbege, Suri dan
Mahadi, disilahkan Ndeba ke bagian belakang untuk makan malam. Usai santai sesaat sesudah
makan, keempatnya kembali ke atas tikar sorume menyelesaikan shalat Isya. Setelah itu, Ndeba
meminta Mahadi untuk mulai mengobati istrinya. Mbege dan Suri memilih mengobrol di ruang
tamu.

Meski ada Mahadi dan juga puterinya yang baru pertama kalinya muncul ke Uepai, suasana
rumah Ndeba malam itu agak senyap. Tak ada cengkerama yang lepas, apalagi canda tawa.
Semuanya agak tegang, menunggu hasil kerja Mahadi yang tengah duduk bertafakkur di dekat
Duhuti. Tapi, meski membuat Duhuti sempat terjaga dan mendengar petuah-petuah agama yang
meluncur dari mulut Mahadi, malam itu belum ada hasil apa-apa. Duhuti kembali memejamkan
mata.

Pukul 3 dini hari, hanya ditemani lampu kaleng, Mahadi terbangun dari tidur untuk
mendirikan shalat tahajud, tak jauh dari tempat Duhuti berbaring. Memecah kesunyian malam, ia
mencoba merobek dinding langit, memanjatkan doa untuk kesembuhan istri anak gurunya. Dari
balik cahaya lampu kaleng yang temaram, bibir Mahadi di atas janggut putih itu tampak komat kamit
membaca do’a. “Ya Allah, bila hidup di dunia ini masih lebih baik bagi Duhuti, sembuhkanlah dia
dalam pengabdian kepada-Mu. Tapi bila hidup di sisi-Mu akan lebih baik baginya, maka panggillah
dia dalam keadaan Islam dengan mudah..”, pintanya antara lain dalam bahasa arab yang fasih dan
khusyu.

Muncul dari mulut seorang hamba yang khusyu dengan rambut yang memutih dalam
keta’atan, do’a Mahadi di malam buta itu sepertinya terjabah. Usai memimpin shalat subuh
berjama’ah di depan Ndeba, Mbege dan Suri, Mahadi kembali mendekati tubuh Duhuti yang masih
memejamkan mata. Dan tak lama usai wajahnya dibasuh tangan Mahadi, Duhuti tiba-tiba membuka
mata. Tangannya perlahan bergerak. Pandangannya sekonyong-konyong berkedip melihat suasana
di kanan kirinya. Tak lama kemudian, dari bibirnya yang memucat, Duhuti menyebut satu nama :
“Ndeba...”.
Mendengar namanya disebut, Ndeba langsung mendekat sembari memegang erat tangan
istrinya. “Mana i Mbege...’, ucap Duhuti lagi dengan suara yang mengecil dan berserak basah.
“Ini..”, sambung Ndeba, lalu memanggil Mbege mendekati ibunya. Kembali tak tahan menahan air
mata, Mbege pun terisak tangis di atas tubuh ibunya yang didekapnya erat-erat. “Inaaaa, maafkan
saya..”, desahnya di sela air mata yang terus bersimbah.

Beberapa saat didekap anaknya, bola mata Duhuti ikut basah terlinang air mata. Tangannya
perlahan menyentuh kepala Mbege, lalu berbisik kecil : “Sudahlah anakku. Semuanya sudah terjadi.
I-ina sudah maafkan kamu..”.

Terus berlinang air mata hingga beberapa saat, perasaan Mbege berangsur lega usai
mendengar kata-kata maaf itu meluncur dari bibir ibunya.

Pagi itu suasana di rumah Ndeba mendadak lega. Wajah orang seisi rumah pun berangsur
ceria menyusul Duhuti yang peralahan mulai bisa menggerak-gerakkan tangan dan kepalanya, meski
masih harus berbaring di atas tikar. Suri meminta diri membersihkan tubuh Duhuti yang sudah agak
amis itu dengan kain basah bercampur sedikit sabun mandi, lalu menyekanya dengan air. Usai
mengganti pakaian, ia juga menyisir rambut Duhuti yang berantakan.

Mbege sempat tertegun melihat Suri terus melayani ibunya hingga sore dan malam hari.
Sesekali ia melihat Suri sibuk melayani obrolan kecil sambil menyandarkan ibunya ke dinding papan
untuk menyuapinya. Ia bahkan terhenyuh saat melihat Suri mengajari ibunya shalat sambil
berbaring.

Di luar rumah, wajah Ndeba kelihatan cerah menemani Mahadi mengobrol, meski wajah
Mahadi sendiri tak begitu tampak ceria. Mahadi sebenarnya merasakan sebuah ganjalan di hatinya.
Semalam ia bermimpi aneh. Ia melihat Duhuti berhasil menyeberangi sebuah bentangan sungai, tapi
kemudian menceburkan diri kembali ke dalam air, lalu berenang jauh hingga tak kembali-kembali.

Mendapat isyarat mimpi itu, Mahadi lebih banyak diam. Ia tak tega menceritakannya karena
bisa merusak kebahagiaan se-isi rumah itu seketika. Ia hanya berdoa semoga Ndeba, putranya dan
keluarga besar Duhuti, diberi Allah kekuatan lahir batin untuk menghadapi segala kemungkinan yang
bisa saja terjadi.

Ganjalan di hati Mahadi itu ternyata tak meleset. Pukul 2 malam esoknya, Duhuti tiba-tiba
membangunkan Suri yang tengah berbaring di sebelahnya. “Nak.. nak. Tolong tinggikan kepala i~ina
dan panggilkan i Mbege dan ama-nya kesini...”, bisiknya tertatih ke telinga Suri. Tak lagi menanyai
maksudnya, Suri langsung mengambil bantal di dekatnya dan menambahkan susunan bantal ke
bawah kepala Duhuti hingga tampak meninggi. Setelah itu ia bergegas ke kamar tidur
membangunkan Ndeba dan Mbege. Mendengar suara rada berisik, Mahadi ikut bangun dan
melangkah mendekati Duhuti yang telah diapit suami dan anaknya.

“Ndeba..”, bisik Duhuti berdesah sambil memegang erat tangan suaminya. Bola matanya
tampak berkaca-kaca. “Maafkan atas dosa-dosa saya selama ini. Saya terlalu keras sama kamu dan
anakmu. Saya juga terlalu mencintai dunia. Saya titipkan i Mbege kepadamu. Biarlah dia
menentukan jalan hidupnya sendiri...”.
Mendengar ucapan bak kata-kata perpisahan itu, kontan semuanya tersentak kaget, karena
baru saja mengaggap Duhuti sudah mulai pulih dari penyakitnya. Mbege sempat meminta ibunya
agar tak lagi mengucapkan kata-kata itu, tapi : “Mbege. Saya sudah tidak bisa bertahan...”, Ibunya
memotong. “Walaupun sangat singkat, beberapa hari ini i Suri sudah mengajari saya banyak hal.
Saya sudah bertobat anakku, dan sekarang saya sudah siap untuk kembali..”, tambahnya, lalu
meminta mendekat Suri dan duduk di dekat Mbege di sampingnya. Tak terasa, titik demi titik air
mata pun mulai membasahi wajah Ndeba, Mbege dan Suri. Sementara Mahadi yang duduk agak ke
belakang, wajahnya tetap tenang memegang tasbih sambil sesekali mengangkat kedua tangannya.

Tak berapa lama, tangan Duhuti perlahan bergerak menarik tangan Suri dan Mbege
sekaligus, lalu meletakkannya ke atas dadanya. “Ndeba..”, sambung Duhuria sambil melihat ke arah
Ndeba. Kali ini suaranya semakin mengecil. “Saya minta kamu mengurus mereka..”, tambahnya
lagi, lalu sesaat kemudian : “Asyahadu alla Ilaaha illaLLAH, wa’asyhadu anna Muhammadar
RasuuuluLLAH..”, Duhuria menghembuskan nafasnya yang terakhir pada usia 61 tahun.

Anda mungkin juga menyukai