Anda di halaman 1dari 7

Bagian pertama

Tak seperti biasa, hingga pukul setengah enam sore, perahu batang milik ayahnya belum juga
muncul dari rimbunan bakau di ujung kali Tabakidoe, anak sungai Konaweeha. Sambil sesekali melirik ke
ke arah Suri, adiknya, yang tengah mengipas-ngipas bara sabuk kelapa tak jauh dari tangga naik di
bawah rumah, dari teras depan Wanara terus melempar pandangan jauh ke ujung kali. Rona matahari
sore hampir sirna dari sela dedaunan bakau yang berbaris rapi di sisi kiri kanan kali, tapi ayahnya belum
juga nongol. Ia pun bergegas menuruni tangga dan melangkah pas di bibir kali yang hanya berjarak 30
meter. Hanya ada dua perahu kecil milik tetangga disitu. Ia mulai gelisah.

Wanara kembali naik ke rumah yang sudah gelap dan menyalakan lampu kaleng. Suasana kebun
palawija di sela pepohonan langsat, durian dan tetanaman semak di sekitar rumah sudah mulai gelap.
Tak berapa lama, bedug margrib sudah berbunyi di kejauhan menyusul suara jangkrik yang mulai
bernyanyi. Seperti biasa, usai magrib, keheningan suasana di tepi kali kecil Tabakidoe itu mulai terasa.
“Huh, kemanakah dia pergi itu orang tua teluli. ..”, keluh Wanara di depan Suri dan ibunya – Maesara -
yang tengah memasang mukena. “Eh, kenapami juga kamu tidak mau ambil pusing ..”, sergahnya
menyambung ke arah Suri sembari melangkah ke dekat sajadah ibunya yang baru saja dilentangkan di
atas tikar daun rumbia. Lantai papan rumah susun berdiding papan itu sempat terdengar klepek-klepek
tertindih langkah kaki Wanara yang hilir mudik menggerutu ke seisi rumah.

Sore hingga malam hari saat itu, Mahadi, nama ayah Wanara, memang tak pulang hingga pukul
8 malam. Ia ternyata sibuk mencari kayu bayam miliknya yang tenggelam ke dasar sungai Konaweeha.
Hingga malam tiba, orang tua berusia 60-an tahun itu terpaksa turun berendam di sungai sambil
sesekali menyelam di sekitar lokasi sawah pasang surut miliknya. Kayu bayam itu tenggelam pukul 4 sore
dari perahu batang milik Mahadi yang tiba-tiba terbalik di tengah badan sungai karena kelebihan beban.

Karena sudah malam, saat pulang Mahadi tak melabuhkan perahunya di kali kecil Tabakidoe,
melainkan langsung ke lokasi tambatan perahu milik warga kampung pas di bibir sungai Konaweeha. Di
tempat itu, seorang warga yang melihat orang tua berjanggut putih itu muncul gemetaran, langsung
memboyongnya ke rumahnya yang berjarak sekitar 150 meter.

“Bodoh betul. I~ama dari manakah sampai basah kuyup di tengah malam begini..”, sergah
Wanara mempelototi ayahnya yang tiba-tiba muncul lusuh digotong dua orang ke rumah. Wanita
berusia 29 tahun itu juga melihat wajah ayahnya yang memucat karena kedinginan. Tapi, sembari
membiarkan tubuhnya dikeringkan dan dibungkus sarung oleh Suri, orang tua sepuh berdarah bugis
Bone itu tak mengambil pusing mendengar ocehan anak keduanya itu yang terus melahirkan kekesalan.
Sejam kemudian, usai menyantap makan malam yang disiapkan Suri, ia beranjak ke kamar tidur
memasang kelambu dan merebahkan diri ke atas ranjang besi tua.
Esok paginya, berasa masih tak enak badan, Mahadi tak langsung bergegas ke pinggir kali untuk
mendayung perahu ke sawah seberang seperti hari-hari biasa. Ia memilih membersihkan gulma di
kebun samping rumah. Suasana pagi itu cukup cerah. Dedaunan masih basah hingga pukul 8.30 pagi.
Anak-anak ayam berlarian mengikuti inangnya di kolong rumah untuk berebut sisa butiran gabah di
dekat alu, tempat menumbuk padi. Tak jauh dari rumah, beberapa ekor itik bercengkrama di sela ilalang
palm dan bakau yang memagari tepian kali yang menjorok ke darat di dekat pohon asam, tak jauh dari
tangga rumah bagian dapur. Orang-orang se-rumah sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ibu
Maesara beranjak mencari kerang pokea ke tengah kampung di pinggir sungai Konaweeha. Rinda, si
anak bungsu berusia 16-an tahun, terlihat bermain kengkeng di bawah pohon asam yang akarnya
menjulur hingga ke kali. Suri sibuk merebus air, nasi dan daun kacang di depan tungku perapian
bersama kakaknya - Wanara. Seorang lagi, Mbege, pemuda 23-an tahun asal Uepai itu memilih
mendekati Mahadi yang tengah membungkuk dengan aritnya.

Mbege sudah dua hari bertamu di kampung kapoiala dan menginap di rumah Mahadi.
Setiapkali ke kampung ini dengan sepeda kumbangnya, anak muda berperawakan tinggi dan selalu
berpakaian rapi itu lebih memilih menginap di rumah tua milik mertua sepupunya, karena selain seisi
rumah sudah dianggapnya keluarga, ia juga sudah menganggap Mahadi sebagai orang tua sekaligus
guru spiritual tempatnya berdiskusi. Mbege di mata orang-orang sekampung adalah pemuda yang cukup
mapan dan berasal dari keluarga bangsawan Uepai. Ia bersepupu sekali dengan Birahama, suami Bunga,
putri pertama Mahadi dari istri pertama.

Mahadi sendiri di mata Mbege adalah seorang guru agama sepuh yang sealiran dengannya.
Sebelum akhirnya menikahi Maesara, anak mantan toonomotu’o (kepala kampung) Kapoiala itu, dan
menetap di Kapoiala sejak 25 tahun silam, Mahadi adalah seorang guru mengaji asal Bone yang
berkeliling mengajarkan Islam dari kampung ke kampung di daerah Kolaka hingga ke Uepai. Saat
pertama kali ke Kapoiala, atas izin toono motuo setempat, Mahadi membuka sawah pasang surut di
kawasan hutan makau di tepi sungai Konaweeha bagian timur yang tepat berhadapan dengan kampung
Kapoiala. Sejak berabad silam, kawasan bakau itu tak pernah dijamah, apalagi dirombak oleh penduduk
kampung untuk sesuatu keperluan. Ketika pertama kali menebang pepohonan bakau di kawasan itu
seorang diri untuk membuat pematang sawah, beberapa warga Kapoiala sempat bergumam : “orang tua
itu sudah Mololawu”. Maksudnya sudah gila. Sebab, kawasan itu sejak dahulu dianggap keramat dan
dijaga mahkluk halus bernama onitu wualae, setan bakau. Di kawasan rawa air tawar itu juga sering
muncul bokeo (buaya) mengapung di dekat akar-akar bakau yang menjulang tinggi. Tapi, berbekal
keyakinan yang kuat dan pengetahuan bersawah dari Bone, Mahadi menguras keringat selama
bertahun-tahun hingga akhirnya berhasil membuka beberapa bidang sawah pasang surut untuk
ditanami padi gogo ranca, yang akhirnya juga diikuti oleh warga setempat.

Oleh sebagian besar warga Kapoiala, Mahadi malah dianggap pandita yang berilmu putih. Sejak
kejadian tempo hari yang menggegerkan warga kampung, Mahadi mulai disegani. Di suatu hari
menjelang magrib, saat hendak berwudhu di bibir sungai dekat pematang sawah, seeokor buaya putih
tiba-tiba mengapung dan bergerak perlahan ke arah Mahadi. Melihat punggung buaya yang terus
bergerak maju bak lunas perahu terbawa arus, beberapa warga kampung yang kebetulan muncul
hendak menemui Mahadi di gubuknya, tiba-tiba berteriak : ‘Bokeooooooo paituaaaa. Munduuuur…”.
Namun, hingga kira-kira tinggal berjarak dua meter dari mulut buaya, Mahadi yang tengah berwudhu
tetap tak bergeming. Ia hanya terlihat menengadahkan wajah ke atas sambil mengangkat kedua tangan.
Orang-orang tadi mendadak panik dan bergegas turun ke bibir sungai untuk menarik tangan Mahadi.
Tapi Mahadi hanya berbalik sesaat untuk memberi isyarat agar mereka tetap ditempat. Sesaat
kemudian, Mahadi malah melangkah ke depan untuk mendekati mulut Buaya. Dan, seolah hendak
mengusap jidat buaya itu, Mahadi berucap : ‘Assalaamu alaikum…”. Tak berapa lama, buaya tadi
perlahan mundur, dan lalu berbalik arah di tempat lain.

Sayangnya, tak semua warga Kapoiala mengakui kesaktian Mahadi usai mendengar peristiwa itu.
Sahaba, dukun kampung yang juga disegani karena dikenal dekat dengan haji sawu-sawu, seorang
pandita keturunan bangsawan Uepai yang masih termasuk paman Mbege, malah hanya meng-‘ahhh’
ketika mendengar cerita orang-orang se-kampung ihwal peristiwa buaya tadi. ‘Ahh, itu hanya kebetulan
saja karena buayanya sedang tidak lapar…”, katanya.

Mbege tahu persis suasana kebatinan orang-orang Kapoiala waktu itu. Sekelompok orang lebih
menokohkan Sahaba karena menganggapnya too~no mondoriako (orang berilmu hitam), namun
kelompok lain lebih menyukai Mahadi karena dianggap berilmu agama. Mbege sendiri lebih menyukai
Mahadi karena faham agama mantan guru Uepai itu dianggapnya mirip dengan faham keIslaman yang ia
terima saat masih menjadi anggota gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar di belantara Sulawesi
Selatan dua tahun silam.

Kali ini kekaguman Mbege kepada Mahadi bertambah. Semalam ia hanya membisu mendengar
seisi rumah gelisah karena Mahadi terlambat pulang. Meski penasaran berat, ia tak mau ikut campur
karena takut terkena semprot Wanara yang dikenalnya cerewet. Tapi pagi ini ia ingin sekali mengorek
informasi langsung dari Mahadi. “Maaf paitua. Tadi malam paitua terlambat pulang. Saya liat paitua
waktu tiba di rumah sudah basah kuyup. Ada apa sebenarnya. .”, ungkapnya mengeluarkan rasa
penasaran di belakang Mahadi yang tengah menyabit rumput dengan arit tuanya. Orang tua yang tak
banyak bicara itu tak merespon. Mbege malah disuruhnya mengumpul rerumput yang telah rebah untuk
dibawah ke dekat pagar pelebah batang sagu. Mbege makin penasaran. Namun tak lama berselang,
“mari kita naik cerita ke rumah..’. Mbege malah diajak naik ke teras rumah untuk bercerita sambil
menikmati suguhan kopi panas dan pisang rebus yang sudah disiapkan Suri.

Momen seperti ini yang sering ditunggu-tunggu Mbege dan yang sejak setahun terakhir
membuatnya ketagihan bertandang ke rumah tinggi di mulut kali kecil Tabakidoe itu. Berdiskusi dengan
seorang tua yang sepuh, itu yang membuatnya betah. Apalagi sambil menikmati lukisan kali kecil
berpagar semak palm dan akar-akar bakau menjulang di samping rumah. Juga ada itik bermain air disisi
perahu yang tak mengeluh tertisik teratai-teratai putih yang indah karena tak tak pernah terusik tangan
jahil. ‘Perahu itu koq hanya dua, perahu paitua sendiri ditambat kemana…”, gumam Mbege
mengumpan Mahadi bercerita usai melempar pandangan ke pinggir kali.

“Semalam perahu bapak tambat ke pinggir sungai di kampung. Karena lorong kali Tabakidoe
terlalu gelap, sudah malam sih…”, tukas Mahadi mulai bercerita sembari memperbaiki dudukan
songkok hitam yang menutupi uban di kepalanya dan lipatan sarung yang tertindih saat duduk di kursi
rotan.

“Memangnya semalam paitua kemana sampai terlambat pulang..”, umpan Mbege lagi.

“Kayu bayam yang bapak muat di perahu kemarin sore tenggelam. Saya terpaksa harus mencari
kesana kemari, sampai harus menyelam. Kayu itu penting untuk mengganti tiang rumah ini yang sudah
mulai lapuk…”.

“Jadi, paitua berendam sampai malam…?”

“Iya anakku. Bapak malah sempat menyelam di dekat akar-akar bakau yang menjulur hingga ke
dalam sungai…”.

“oya, bukankah disitu banyak buaya paitua…”.

“Iya, bapak tau anakku..”.

“Lalu. Kenapa paitua tidd….”.

“Ehem..ehem..”. Orang tua berwajah teduh itu berbatuk kecil sembari member isyarat diam
pada Mbege.

“Bapak tahu itu berbahaya anakku, malah bisa berarti bunuh diri. Tapi bapak sudah terlanjur
berniat untuk mengambil kayu, bukan untuk mengganggu buaya..”

“Iya paitua, tapi…..”.

“Iya, bapak mengerti.., lanjut Mahadi. “Saat ingin mengambil kayu yang tersangkut di akar
bakau sekitar setengah meter dari permukaan air, bapak melihat ada buaya disitu. Tapi dia hanya
terdiam melihat bapak mengambil kayu itu. Yah, tentu dengan ucapan Bismillah…”.

“hmm.. lalu..”, sambung Mbege.

“Ya, bapak langsung menaikkan kayu tadi ke atas perahu, dan membawanya pulang. Saat
hendak pulang, bapak masih sempat memberi salam kepada buaya tadi..”.

Sampai disitu Mahadi membisu. Ia sudah mengerti kenapa Mahadi terlambat pulang semalam.
Meski, barusan membuatnya tak habis pikir ditambah mendadak merasa kagum. ‘Ini pasti sudah campur
baca-baca’, pikirnya.

“Anakku..”, sambung Mahadi. “Allah sudah mengatur fungsi setiap mahkluk-Nya dalam hidup
ini. Masing-masing sudah punya bagian dan takaran yang telah terbagi habis sedari awal, asalkan
makhluk-makhluk itu tidak saling menganggu dan tidak saling merampas. Sebagai Wanara, kita tak
boleh semena-mena mengambil hak makhluk lainnya. Sebaliknya, kita tak perlu takut mengambil hak-
hak kita dari bumi ciptaan Allah ini asalkan itu memang hak kita…”.
Hingga sekitar sejam lebih berselang, Mahadi terus memberi petuah kepada Mbege soal hidup
dan kehidupan, juga soal jodoh dan kematian. Bahkan banyak hal dari pahit getir dan pengalaman hidup
pribadinya, juga diceritakannya kepada Mbege, termasuk soal kenapa ia memilih kampung Kapoiala dan
membangun rumah di pinggir kali kecil Tabakidoe ini sebagai pelabuhan terakhir di hari tuanya.
“Kampung ini menyimpan banyak kenangan indah buat bapak, termasuk kenangan saat bertemu ibunya
Wanara 30 tahun lalu. Disini bapak menemukan ketenangan. Tak banyak orang yang bicara soal
po’anakia’a (kebangsawanan), soal kekuasaan dan soal materi di kampung ini, seperti yang sering
terdengar di kampung anakku…”, terangnya menyinggung pengalaman masa lalunya bertandang ke
beberapa kampung di wilayah asaki, tongauna dan abuki. Ia sedikit trauma dengan perlakuan sebagian
warga di kampung-kampung itu yang kurang menghargai guru mengaji. Orang lebih mendengar ocehan
para anakia ketimbang nasihat para penyiar Islam. Para dukun bertopeng Islam yang menyukai hal-hal
mistik dan bisa menunjukkan kesaktian tertentu, itu yang disegani. Tapi ia juga maklum, pengaruh
ajaran hindu di bekas kerajaan Konawe itu masih kuat. “Tapi, ya sudahlah. Itu tugas generasi kalian
anakku, meluruskan yang masih bengkok…”, sambungnya.

Mbege dibuat tertegun cukup lama mendengar cerita Mahadi. Paparan kisah pengalaman hidup
orang tua itu membuatnya terhenyuh, termasuk soal cerita po’anakia’a yang dikampungnya justru
menjadi topik pembicaraan orang sehari-hari. Ia sendiri sejak lama tidak menyukainya. Kadang
telinganya sumpek mendengar cerita orang-orang tentang siapa sebenarnya yang paling berhak disebut
turunan asli kapita anamolepo di uepai dan turunan inowa di Asaki, juga tentang siapa yang paling
berdarah anakia keturunan Ponggawa di Tongauna atau keturunan Maranay di Abuki. Tapi ia tak bisa lari
dari keadaan itu karena ia sendiri berada dalam lingkaran keluarga yang dikenal berdarah anakia di
Uepai, Tongauna dan Abuki.

Pagi itu Mbege merasa mendapat banyak pelajaran baru dan penyegar jiwa, meski di akhir
cerita, ada hal yang membuat jiwanya tiba-tiba sedikit terguncang.

“Dan oya anakku..”, kata Mahadi sebelum mengakhiri cerita. Kali ini wajah Mbege lebih serius.
“..Anakku masih muda. Bila suatu saat anakku menjadi seorang perantau seperti bapak, janganlah
sekali-sekali anakku meninggalkan shalat, dan jangan pula sekali-sekali menumpahkan air mata seorang
perempuan …”.

Kalimat terakhir itu yang membuat dada Mbege agak berdetak. Tentang air mata wanita. Ia
mengerutkan kening. Dadanya terasa berdetak. Ada rasa bersalah yang berangsur hadir membelit
perasaannya. Namun, tak mau ketahuan, ia hanya mematung dan bersikap seolah tak ada apa-apa di
belakang Mahadi yang, usai menutup cerita, beranjak melihat-lihat ke bawah kolong rumah. Pikiran
Mbege menerawang jauh ke beberapa wajah wanita yang pernah, dan bahkan saat ini sedang
dibuatnya menangis. Di Lambuya ada waipode (gadis) keturunan bangsawan Asaki bernama Wesalo
yang tergila-gila padanya, tapi ia urung melanjutkan hubungan karena ibunya tak setuju. Di Uepai, ia
pernah dekat dengan seorang bunga kampung bernama Ruha, tapi lagi-lagi ibunya tak setuju karena
gadis hitam manis itu tak punya darah anakia. Dua tahun terakhir, ibunya sangat berambisi
menjodohkannya dengan Wesuha, gadis anakia keturunan Ponggawa Tongauna, tapi kali ini yang kurang
sreg adalah ayahnya, ditambah ia sendiri yang memang tak punya perasaan cinta pada gadis berwarna
kulit langsat itu. Juga ada dua gadis waipode di abuki yang sering berkirim surat padanya, tapi ia tetap
urung menerima cinta mereka karena alasan masih ingin bersekolah. Pastinya, para wanita itu hanya
beberapa contoh dari cukup banyak wanita yang pernah dibuatnya terluka, bahkan hingga menangis.
“Ya Allah, astagfirullaahal ‘azhim..”, desahnya perlahan sambil menarik nafas panjang.

Usai beberapa menit terbawa rasa bersalah, lamunan Mbege terantuk oleh suara wanita yang
tiba-tiba muncul dari dalam. “Ndukaaka, kopinya mau ditambah-kah ..”. Suara lembut itu ternyata Suri,
putri kedua Mahadi. “Oh tidak nduhai, tidak usah. Sudah cukupmi hae …’, jawab Mbege dengan senyum
yang tanggung, sedikit cuek. Gadis belia berusia 19-an tahun itu lalu menuruni tangga dan berjalan
menuju tambatan perahu di tengah kampung. “Ama, saya cari i ina ke pinggir sungai dulu iye…”,
katanya sebelum beranjak pergi.

Masih terbawa perasaan bersalah, Mbege diajak Mahadi ke dalam rumah untuk mendengarkan
siaran radio. Seminggu terakhir, Mahadi terus mengikuti berita politik di radio-transistor tua-nya,
terutama terkait kegiatan Partai Komunitas Indonesia (PKI) yang semakin aktif dalam hiruk-pikuk
perpolitikan nasional di sekitar bung Kartno.

Malamnya, Mahadi meminta tolong ke Mbege untuk menemani Wanara dan Suri menghadiri
acara pesta perkawinan di rumah salah seorang keluarga istrinya. Di rumah pesta itu, Mbege lebih
banyak diam. Sikapnya tetap acuh tak acuh di tengah keramaian orang-orang yang berjubel di bawah
rumah pesta beratap daun rumbia dan hanya diterangi 4 buah lampu petromaks itu. Duduk di jejeran
bangku kayu bagian depan, ia hanya sesekali tersenyum melihat orang-orang yang lewat dan menyalami
Suri dan Wanara disampingnya.

Di acara Lulo yang digelar sesudah pesta, perhatiannya hanya sempat tertuju ke wajah Suri yang
terus berkerut saat digandeng Duma - anak Sahaba - disebelahnya. Suri dilihatnya selalu memalingkan
muka acapkali putra seorang tokoh masyarakat Kapoiala itu mencoba menoleh dan berbisik ke
telinganya. Merasa dicuekkin hingga ke putaran kedua, Duma melepas tangan Suri dan mundur ke
belakang. Suri kemudian memanggil Mbege untuk masuk mengandeng tangannya. Keduanya lalu
mengikuti langkah lulo bersama orang-orang diiringi irama gong yang terus mengalun hingga pukul 10
malam. Saat molulo, keduanya sering terlihat berbisik secara bergantian di samping Wanara yang ikut
digandeng seorang pemuda disebelahnya. Seperti biasa, ikut molulo di saat-saat seperti itu, Suri selalu
tampak anggun. Bulu matanya yang lentik membuat senyumannya makin indah dimata orang-orang
yang terus memperhatikannya. Dimata orang-orang se-kampung, putri ketiga Mahadi berusia18-an
tahun itu memang adalah bunga desa. Salin cantik, Suri juga dianggap sosok gadis yang ideal karena
sering terlihat menenteng Qur’an menemani ayahnya ke-Surau.

Malam itu Duma kembali ingin mendekati Suri. Tapi suri lagi-lagi menunjukkan sikap acuh tak
acuh. Ia tak suka dengan kelakuan Duma yang suka minum pongasi. Sebaliknya, ia sebenarnya sangat
mengidolakan Mbege. Hanya, mungkin karena menganggapnya seperti adik sendiri, putra kedua Ndeba
itu terus menunjukkan sikap cuek kepadanya.

Menjelang pukul 10, acara lulo malam itu mendadak kacau karena Duma lagi-lagi membuat
gara-gara di tengah pesta. Tak jauh dari pelupuk mata Suri dan Mbege, Duma tiba-tiba memegang leher
seseorang dan menendangnya. Seisi pesta pun bubar menyusul perkelahian kecil yang terjadi dengan
melibatkan beberapa orang pemuda yang ternyata sedang mabuk. Sesaat kemudian Mbege mengajak
Suri dan Wanara pulang ke rumah. “Kerjanya memang mabuk dan bikin gara-gara terus. Apalagi kalau
ada inggo’o Suri. Dia tambah makan puji..”, sesal Wanara ke Suri dan Mbege di tengah jalan pulang.

Anda mungkin juga menyukai