Anda di halaman 1dari 10

Enam bulan sudah Mbege memimpin onder-distrik Uepai, Barasa dan keluarganya kian

merasa terpukul. Selain mendengar banyak cerita jelek, Barasa juga merasa semakin terkucil di
Lambuya, lebih-lebih di Uepai. Nyaris tak ada lagi yang menaruh hormat, apalagi menjadikannya
orang tua untuk meminta saran atau arahan. Hasani, sepupu sekali yang juga mantan kongsinya
ketika menyingkirkan Ndeba dari posisi kepala onder distrik Uepai, malah ikut menjauh. Ayah Rende
ini mulai menyadari kesalahannya tempo hari. Ia berusaha cuci tangan dan terkesan tak mau
reputasinya di hari tua ikut jatuh bersama Barasa yang sering didengarnya dicerita tidak baik oleh
orang-orang. “Ah dia memang jahat. Biar dia rasa sekarang...”, katanya malah saat mendengar
orang-rang mencibir Barasa di didepannya.

Berbeda dengan Hindu, putri Barasa, yang saat menjadi kepala onderdistrik tak sempat
berbuat apa-apa itu, dan bahkan hanya menonjol-nonjolkan kebangsawanannya, Mbege justru
banyak menunjukkan hal baru yang tak pernah dikerjakan oleh pendahulunya dan bahkan oleh para
kepala onderdistrik lain di tanah Konawe. Ia tak berusaha memperkaya diri dan keluarganya dengan
memperluas klaim tanah potiso, atau menonjol-nonjolkan kebangsawanan dan ingin selalu disanjung
seperti yang sering menyangkiti rekan-rekannya sesama kepala onderdistrik yang rata-rata seumur
dengan ayahnya. Ia sadar dirinya masih terlalu muda untuk dituakan, bahkan dalam banyak
kesempatan, ia lebih suka merendah dan menempatkan diri sebagai seorang anak ketimbang
sebagai kepala onderdistrik. Sikap seperti itu yang justru membuat namanya harum di mana-mana.
Menjadi kepala onderdistrik termuda di tanah Konawe, ia justru bisa menjadi orang tua yang baik
bagi semua orang, terutama dalam membina hubungan dengan para toono-motu’o yang memimpin
kampung-kampung se-Uepai.

Perhimpitan kepentingan yang tajam seperti yang sering terjadi dalam perebutan posisi
tono-motu’o, berhasil diredamnya dengan mengusulkan pembentukan kampung-kampung baru
untuk menambah jumlah toono motu’o. Tudaone dipecahnya menjadi tiga kampung, yakni kampung
Tawanga, Sanggona dan Tudaone itu sendiri. Kebetulan, di dua kampung baru Tawanga dan
Sanggona itu banyak dihuni orang-orang Tolaki pendatang dari tanah Mekongga. Demikian pula,
melihat sebagian wilayah kampung Uepai banyak dihuni oleh orang-orang Tolaki asal kampung
Ameroro di tanah Mekongga, ia lalu memecah kampung Uepai dengan membentuk kampung baru
bernama Ameroro. Kebetulan, rumah Mbege sendiri berada di wilayah kampung baru Ameroro itu.
Lalu, di lokasi pemukiman orang-orang Rawua di Uepai yang kampungnya dibakar gerombolan DI/TII
lima tahun silam, ia membentuk kampung baru dengan nama Rawua.

Terobosan Mbege itu banyak dicontoh oleh para kepala onderdistrik lain. Hampir semua
wilayah onderdistrik di tanah Konawe seolah berlomba membentuk kampung baru di wilayah
masing-masing. Di Tongauna, Buduhama membentuk kampung baru di wilayah bagian utara dengan
memberinya nama Sanuanggambo dan Waworoda. Di Abuki, Marhali membentuk kampung baru di
bagian barat dengan memberinya nama Alosika dan Lasada. Di wilayah onderdistrik lain juga begitu,
hingga memasuki tahun 1962, jumlah kampung di tanah Konawe telah mencapai ratusan.

Merasa dirinya terus menjadi buah bibir di Uepai dan sekitarnya, Mbege bukannya merasa
besar kepala. Ia malah mulai dijangkiti perasaan jenuh. Di tengah kesibukannya, ia sempat beberapa
kali berniat mundur dengan alasan hendak bersekolah di Kendari. Tapi istrinya, Suri, selalu
memberinya motivasi untuk menghabiskan masa jabatannya yang tinggal enam bulan lagi. “Sabarlah
ndukaaka. Kan tinggal enam bulan lagi. Habis dari sini nanti, kita bisa tinggal di Kendari untuk
ndukaaka lanjutkan sekolah. Apalagi, sekarang kan saya sedang hamil...”, bujuk Suri suatu hari
melihat suaminya lelah dan merasa jenuh menjalani rutinitas sehari-hari. Saat itu usia kandungan
Suri sudah memasuki empat bulan.

Selain Suri, ada Rumba – rekannya – yang selalu memberinya warna lain di tengah
rutinitasnya mengurusi segala tetek-bengek masalah sehari-hari, mulai dari soal bagaimana
mengendalikan para toono-motuo di setiap kampung, soal kawin-mawin dan warisan, soal pesta,
soal pembagian tanah dan kebun, dan lain-lain. Rumba sering mengajaknya refresing ke Abuki dan
ke rumah Buduhama di Tongauna untuk mosonggi kadue (daging anoa). Di acara refresing seperti
itu, Rumba pernah curhat soal Rinda. “Hmm.. ternyata anak itu jinak-jinak merpati die..”, keluh
Rumba suatu ketika. Pasalnya, hingga pertemuannya yang ketiga kali dengan Rinda, ia belum juga
bisa menaklukkan hati gadis manja 16-an tahun itu. Dari caranya bersikap, Rinda memang
memberinya harapan, tapi belum sekalipun ia mengatakan cinta secara langsung. Sementara, bagi
Mbege sendiri, meski dalam enam bulan terakhir, ia sudah tiga kali mendatangkan Rinda dari
Makassar untuk khusus mempertemukannya dengan Rumba di Uepai, ia merasa pekerjaan
rumahnya itu belum selesai. Ia belum berhasil menyatukan keduanya. Padahal, bagaimana pun, ia
masih berutang budi pada Rumba.

Di tengah usahanya menyatukan Rumba dan Rinda, di hari-hari berikutnya, Mbege malah
mulai menghadapi masalah sendiri. Ia tiba-tiba sering menghayalkan saat-saat bercinta dengan
Wesalo. Meski tidak sampai berbuat zina besar, saat bercinta yang hanya pernah berlangsung
sesaat itu, mendadak sering hadir mengganggu pikirannya. Seolah ada bisikan yang sangat kuat
mempengaruhinya dari dalam untuk mengulangnya. Wajah, bibir dan tubuh Wesalo pun sering hadir
memberinya fantasi. Tegasnya, ia tiba-tiba selalu ingin bertemu dengan wanita yang sesungguhnya
sangat dibencinya itu.

“Saya juga heran banggona. Apami lagi yang kena saya ini. Kenapami saya tiba-tiba selalu
ingat itu i Wesalo. Padahal, setengah mati saya benci dia..”, curhatnya suatu ketika ke Rumba
setelah merasa tak lagi bisa menyembunyikannya karena makin hari ia merasa makin tersiksa.
Sempat kaget dan merasa geli beberapa saat, mendengar itu Rumba menunjukkan gelat curiga. “ Itu
pasti polemore. Uhh, cepatmi cari orang tua yang pintar untuk kasih tawar..”, tukasnya serius.
Dalam keseharian orang Tolaki, polemore mirip dengan santet, guna-guna atau ajian pengasih yang
sengaja dikirim ke seseorang untuk membuat orang itu jatuh cinta pada orang tertentu.

Sesaat, Mbege merasa kecurigaan rekannya itu masuk akal. Sebab, bagaimana bisa ia jatuh
hati pada wanita yang sangat dibencinya. Lagian, ia sudah punya istri yang lebih cantik dan baik hati.
Namun, pikiran sehat itu hanya berlangsung sesaat, terutama ketika sedang di depan Rumba dan –
tentu saja - istrinya. Di belakang, logika dan akal sehatnya seolah tak mampu menaklukan perasaan
itu. Semakin hari, ia semakin terhempas perasaan rindu, bahkan seperti ingin gila bila tak segera
menemui perempuan itu.

Merasa tak tahan, suatu hari ia nekad menemui Wesalo di Unaaha. Ketika itu, dari seorang
pemilik pincara di penyeberangan Sungai di Rahabangga, ia mendapat informasi bahwa hampir
setiap sabtu pagi Wesalo lewat di tempat itu untuk membesuk kakaknya yang tengah ditahan polisi
di Wawotobi. Saat sabtu depannya tiba, pukul 8 pagi hari ia sudah mengayuh sepedanya menuju
Unaaha. Tak sampai sejam menunggu di dekat belokan tajam, tepat dibawah pohon beringin,
Wesalo sudah dilihatnya muncul mengendari sepeda. Melihat tak ada siapa-siapa disekitarnya, ia
langsung berdiri dan menahan gerak maju sepeda Wesalo. Adik Hindu yang pagi itu mengenakan
celana panjang katun pun berhenti dan duluan menyapanya. “Eh inggomiu kapala. Kenapami pagi-
pagi ada disini. Ada apa gerangan..”, ucap Wesalo usai menghentikan sepeda, tak menyangka
kepala onderdistrik Uepai itu tiba-tiba menghadangnya.

“Tidakji. Saya hanya ingin cerita-cerita...”, jawab Mbege sambil kemudian membantu
menarik dan memarkir sepeda Wesalo ke pinggir jalan.

“Ohhh... saya kira ada yang penting...”, sambung Wesalo, lalu melangkah ke dekat sepeda
Mbege.

Agak grogi dan gugup, Mbege mulai berbasa-basi, bak tak sengaja lewat di tempat itu. Di
tengah obrolan, ia sempat menampik arah bicara Wesalo yang nyerempet ke peristiwa peohala
tempo hari, terutama soal penolakannya untuk memilih opsi kawin. “Sudahlah, itu semua sudah
berlalu nduhai. Kita mulai saja dengan hal-hal yang baru...”, tukasnya, mencoba menawarkan
peluang baru untuk bisa lebih dekat.

Duduk berdampingan di atas sepotong kayu, keduanya terus berbincang bak sepasang
kekasih yang baru saja ketemu setelah sekian lama terpisah. Makin lama, posisi duduk keduanya
makin dekat. Wesalo mulai termakan kata-kata Mbege yang terus mengobral rayuan. Ia mulai
membuka diri untuk memulai hubungan baru. “Apa ndukaaka tidak takut sama istri di rumah...”,
tanya Wesalo usai mendengar Mbege berulang-kali mencoba meyakinkannya untuk lebih serius
menjadi kekasihnya. “Tidakji nduhai. Semuanya kan bisa kita atur..”, jawab Mbege tetap berusaha
meyakinkan. Keduanya lalu berpisah setelah membuat janji untuk bertemu lagi dua hari kemudian.

Dengan perasaan berbunga-bunga, Wesalo melanjutkan perjalanannya ke Wawotobi. Di


kantor polisi, ia menemui Hindu di ruang pembesuk. “Tadi saya ketemu Mbege di Unaaha...”,
ucapnya usai menyodorkan rantang berisi makanan ke kakaknya. “Dia agak berubah. Tadi malah dia
yang rayu saya...”, tambahnya. Seolah sudah mengetahui Mbege pasti menemui adiknya, Hindu
tak kaget mendengar cerita Wesalo. Di wajahnya yang agak kurus malah terselip senyuman kecil.
“Baguslah kalau begitu. Berarti rencana kita sudah mulai jalan...”, tukasnya yang lalu membuat
Wesalo terhenyak, tak mengerti maksud kakaknya. “Maksud ndukaaka...”. Wesalo mengerutkan
kening.

“Oh tidak. Maksudku, kamu orang sudah bisa pacaran lagi...”, potong Hindu seketika,
berusaha berkelit. Wesalo lagi-lagi bertanya apa maksud Hindu mengeluarkan ucapan seperti itu,
tapi Hindu terus berkelit dan lalu mengalihkan pembicaraan. “Oya, kapan lagi kamu orang
ketemu...”, tambah Hindu sambil mencicipi nasi dan kambatu di rantang almunium itu.

Dua puluh hari melewati masa tahanan, Hindu seolah tak pernah menyisir rambutnya. Air
mukanya yang lusuh malah terkesan menyimpan dendam yang dalam. Ia memang sedang
merencanakan sesuatu. Diam-diam ia sudah menyuruh Mburi, sepupu sekalinya yang sempat datang
membesuknya minggu lalu, untuk pergi ke Kolaka menemui osando yang tempo hari telah
membantunya mengirim doti ke Wesuha. Tanpa diketahui Wesalo, osando itu dimintanya mengirim
polemore ke Mbege agar bisa jatuh hati pada adiknya. Dan rupanya, mendengar kabar Wesalo
barusan, ia merasa polemore itu berhasil menaklukan Mbege. Tapi ia tak ingin Wesalo tahu apa yang
sedang direncanakannya kemudian.
Sepulang dari membesuk Hindu, giliran Wesalo yang kembali kasmaran. Perasaan cintanya
yang sejak lama telah bersemi ke Mbege kembali kambu hingga membuatnya tak peduli dengan apa
maksud dibalik kata-kata Hindu. Ia kembali bertemu Mbege di rumah neneknya di Puriala dua hari
kemudian. Di rumah itu ia makin hanyut dalam rayuan seroang kepala onderdistrik muda yang
tampan, hingga nyaris menyerahkan kehormatannya untuk melayani gairah Mbege. Untung saja di
pertemuan kedua itu, kakeknya yang mengenal baik Mbege, tiba-tiba muncul mencegah keduanya
berbuat mesum.

Hari-hari berikutnya keduanya bak merasa gila bila tak bertemu. Hampir setiap tiga hari
mereka pun mengulangi pertemuan di tempat-tempat yang sepi, bahkan di gubuk-gubuk bambu di
tengah hutan. Dan meski semakin jauh, Mbege dan wesalo tetap merasa yakin bila hubungan
mereka tak diketahui seorang pun. Padahal, tak sadar, hubungan mereka sejak awal sudah diketahui
Hindu dan Mburi.

Hindu telah menyuruh mburi untuk terus membuntuti kemana Mbege dan wesalo pergi.
Dalam beberapa kali pertemuan, mburi bahkan sempat mengintip mereka sedang berdua dan
bermesraan. Dan seperti pesan Hindu, Mburi lalu menyebar cerita perselingkuhan itu ke orang-
orang, termasuk di Uepai. Cerita pun terus merebak seketika, hingga suatu hari sampai ke telinga
Suri dan Ndeba.

“Ya Allah. Astagrifullah. Betulkah itu...”, hentak Suri tiba-tiba saat mendengar kabar busuk
itu. Mulanya ia sama sekali tidak percaya, tapi setelah hampir semua orang menceritakan hal yang
sama, ditambah sikap Mbege tiga minggu terakhir yang dirasakannya sangat dingin dan terus
melamun, ia mulai curiga. “Jangan-jangan beritu itu benar..”, bisiknya. Ia yang tengah mengandung
anak Mbege empat bulan itu lalu meminta pandangan ke Ndeba – mertuanya – dan juga ke Rumba
dan Buduhama. Tak ingin mendengar berita sepihak, Ndeba memanggil Mbege untuk meminta
penjelasan.

Nyaris saja jantung Suri serasa copot mendengar suaminya tak menyangkal ketika menjawab
pertanyaan ayahnya soal hubungan dekatnya dengan Wesalo. “Iye ama, berita itu benar. Saya
memang dekat dengan anaknya i Barasa itu..”, tukas Mbege jujur yang lalu membuat Suri nyaris
terjatuh bak mendengar langit pecah.

“Tapi demi Allah, saya tidak tahu kenapa ini bisa menimpa saya. Saya sama sekali tidak
berdaya...”, jelas Mbege sambil menunduk. Mendengar pengakuan jujur suaminya, Suri berdiri
meninggalkan ruang tengah dan bergegas menghempaskan diri ke atas ranjang di kamar tidur. Ia
pun menangis tersedu di pangkuan Rinda yang baru datang tiga hari lalu dari Makassar. Ia tak
menyangka cobaan itu datang justru disaat ia kandungannya sedang membesar.

Di depan Ayahnya, Buduhama dan Rumba yang sesaat hanya bisa saling berpandangan,
Mbege terus menunduk di meja makan. Dihempas perasaan bersalah dan malu yang meluap-luap,
lidahnya bak terkunci, tak bisa berkata apa-apa. Tak berapa lama, Buduhama angkat bicara. “ Ini pasti
polemore. Hmmm, keluarga Barasa itu memang tidak ada tobat-tobatnya...”, ucapnya ketus yang
langsung diiyakan Rumba. “Betul inggomiu. Ini polemore. Ini harus dikasih tawar..”.

“Tapi bagaimana caranya...”, sambung Ndeba, ikut membenarkan kecurigaan itu.


“Kalau saya punya saran begini anakku...”, Buduhama melihat ke arah Mbege. “Coba temui
itu anaknya i Barasa sekali lagi. Coba paksa dia mengaku, kenapa dia mengirim polemore sama
kamu..”, ucapnya, bak sedang mencoba langkah pertama. “kalau dia mengaku, cepat suruh dia
menawarkannya. Kalau tidak, beritahu saya. Ada orangtua di Tongauna yang tahu caranya
menawarkan polemore...”, tambahnya lagi, yakin.

Ikut diiyakan ayahnya dan Rumba, saran Buduhama itu diterima baik Mbege. Tak lama
menunda waktu, pukul 2 siang hari itu Mbege kembali mencari jalan untuk bertemu Wesalo di
rumah neneknya di Puriala. Sebelumnya, ia sempat meminta ayahnya dan Rinda untuk
menenangkan Suri. Sore harinya, sambil menunggu Mbege pulang, Rumba memanfaatkan
kesempatan untuk kembali mendekati Rinda. “Sabarlah nduhai. Ini cobaan pertama buat
ndukaakamu...”, ucapnya, mencoba menarik perhatian Rinda yang sedang membisu di ruang tamu
usai ikut menenangkan kakaknya di kamar tidur.

“Oh iye ndukaaka. Ini semua cobaan...”, jawab Rinda agak tersipu sembari menyilahkan
Rumba duduk di kursi rotan di depannya. “Ternyata disini ada pale itu yang namanya polemore diy
ndukaaka. Orang bisa jatuh cinta karena didoti. Bisa pale seperti itu...”, selorohnya lepas sambil
melirik sejenak ke wajah Rumba yang – mendengar kata-kata itu – mendadak mengerutkan kening.

“Maksud nduhai...”, kejar Rumba.

“Tidakji. Ih ngerinyami. Sombasangia. Saya tidak mau jatuh cinta sama orang karena
dikasih polemore. Cinta apami namanya itu.”. Rinda lagi-lagi membuat Rumba penasaran dan
sedikit gugup. Rumba tetap mencoba mengejar arah pembicaraan Rinda, tapi keburu dihentikan.
“Oh iya, ndukaaka minum kopi toh. Sebentar, saya ke belakang dulu...”, ujar Rinda sambil berdiri
melangkah ke dapur. Rumba terdiam, bingung membaca maksud gadis manja itu. Tapi ia sempat
senang melihat Rinda ternyata masih mengenakan gelang koila yang tempo hari diberikannya itu.

“Tapi saya tidak bilang ndukaaka kasih saya polemore tooh...”, sambung Rinda tiba-tiba
beberapa saat kemudian usai kembali dari dapur membawa secangkir kopi. Mendengar itu Rumba
tersentak. Secepat itu ia membaca maksud kata-kata Rinda tadi. “Berarti selama ini Rinda
memendam perasaan cinta, sama seperti dirinya..”, pikirnya seketika, tapi ia tidak langsung
menanggapi. Iya masih menunggu kata-kata yang lebih tegas, meski secepat itu jantungnya mulai
berdetak.

“Ndukaaka...”, sambung Rinda lagi. “Sejujurnya, saya ingin mendengar ndukaaka


mengatakannya lebih dulu. Nanti setelah itu, saya juga akan mengatakannya...”. Kali ini Rinda tak
kelihatan berbasa-basi. Meski rambut lurusnya yang dicacing dua bak anak gadis 12-an tahun, sore
ini ia berbicara bak lebih dewasa dari biasanya. Tapi Rumba masih saja berusaha meyakinkan dirinya.

“Mengatakan apa nduhai...”, kejar Rumba lagi.

“Hmmm...ndukaaka deh. Pura-pura teyus. Katakanlah apa yang sedang ndukaaka rasakan
terhadap saya...”, tukas Rinda mulai ketus melihat Rumba masih berputar-putar. Kalimat terakhir
itu kontan membuat jantung Rumba berdebar. Tak pernah menduga sebelumnya, kali ini justru ia
yang ditantang untuk mengungkapkan isi hatinya lebih dulu, sesuatu yang tak kunjung sempat
diutarakannya. Selama ini ia masih ragu mengatakannya melihat sikap jinak-jinak merpati yang
ditunjukkan Rinda. Ia juga takut dianggap bertepuk sebelah tangan bila ternyata Rinda tak se-
perasaan dengan dia. Tapi kali ini ia sudah sudah mantap untuk mengutarakannya.

“Sejujurnya, saya sayang hae kamu nduhai. Demi Allah, saya cinta kamu Rinda... ”, tukasnya
pun mantap. Bak gayung bersambut, kalimat itu dijawab Rinda dengan mantap pula : “ Perasaan
ndukaaka sama dengan perasaan saya...”. Sampai disitu, keduanya hanya bisa sejenak saling
menatap, lalu membisu beberapa saat. Tak ada suara meluncur dari bibir keduanya setelah itu selain
langkah kaki Rinda yang tiba-tiba beranjak meninggalkan Rumba sendirian terhempas perasaan
berbunga-bunga di ruang tamu.

Beberapa bulan Rinda memang sengaja membuat perasaan Rumba tergantung. Ia ingin
Rumba seperti iparnya – Mbege – yang hampir tak pernah meninggalkan shalat. Pesan mendiang
ayahnya masih selalu terngiang ditelinganya. Katanya, carilah calon suami yang baik-baik, yang tekun
mengerjakan shalat. Waktu tiba dari Makassar tiga hari lalu, Suri sempat bercerita kalau Rumba saat
ini sudah shalat, meski sekali-sekali kadang putus. Ia juga dibisik Suri kemarin bahwa Rumba sangat
serius sama dirinya.

Kali ini, meski baru saja mengutarakan perasaan cintanya ke Rumba, ia merasa masih harus
menunda menikmati perasaan berbunga-bunga itu hingga masalah yang dihadapi kakaknya selesai.
Ia pun ikut menunggu berita dari Mbege sambil tetap berusaha menghibur kakaknya.

Di Puriala, pas lepas magrib, Mbege kembali bertemu Wesalo di rumah panggung sederhana
itu. Sesuai saran Buduhama, usai sejenak berbasa-basi, ia langsung menodong Wesalo dengan
pertanyaan yang lalu membuat adik Hindu itu sempat bingung.

“Nduhai. Jujur, saya cinta sama kamu. Tapi, betulkah tidak ada dusta diantara kita..”, kata
Mbege serius.

“Hah..ndusta apami lagi kasian itu ndukaaka...”.

“Maksud saya. Jangan sampai kamu kirim o pole sama saya. Kenapami saya seperti mau gila
kalau tidak ketemu kamu...”, tandas Mbege lagi.

Mendengar itu, Wesalo kontan bereaksi, tersinggung berat. “Astaga, jadi selama ini kamu
anggap saya ini apa. Ya Tuhaaan...”. Nada suara Wesalo mendadak naik. Wajahnya secepat itu
memerah. “Teganya kamu menuduh saya yang bukan-bukan. Memangnya saya ini lonte...”,
tugasnya gusar. Mbege terdiam. Meski ia sadar kata-kata itu menyakitkan, tapi ia sudah terlanjur
nekad mengatakannya. “Baiklah kalau begitu. Sekarang tinggalkan rumah ini...”, tambah Wesalo
lantang. Tapi Mbege tetap membisu hingga, beberapa saat kemudian, Wesalo bergegas masuk ke
ruang tengah dan mengisak tangis.

Sepuluh menit berlalu sambil menangis tersedu, perhatian Wesalo mendadak tertuju ke
arah dapur. Ia menghentikan tangis saat tiba-tiba melihat punggung seseorang terburu-buru
melangkah keluar lewat pintu belakang. Ia bergegas hendak mengejar, tapi keburu dicegat neneknya
yang muncul dengan memegang baki yang mengalas segelas kopi. “Itu tadi i mburi...”, tugas sang
nenek sambil berlalu ke ruang tamu. Ia terdiam menunggu neneknya kembali muncul. Sesaat
kemudian, “Pue, apa perlunya itu i mburi kesini...”, ucapnya mencegat perempuan baya 60-an tahun
itu setelah kembali dari ruang tamu. “Oh tidakji. Dia hanya jalan-jalan katanya...”, jawab neneknya
agak kaku sambil menunduk. Melihat sikap neneknya yang tak biasa, Wesalo mencium gelagat yang
mencurigakan dari kemunculan mburi yang tiba-tiba. Seketika itu pula ingatannya tertuju pada kata-
kata kakaknya tempo hari di kantor polisi Wawotobi yang sempat terpeleset nyeletuk : “ Baguslah
kalau begitu. Berarti rencana kita sudah mulai jalan..”. Kebetulan, ia tahu persis, selain dirinya,
mburi adalah orang yang paling sering datang menemui Hindu di sel tahanan.

Merasa curiga, ia mengambil lampu minyak dan melangkah ke dapur untuk mencaritau apa
yang sedang terjadi. Lalu, “Hmm ini apa diy”, bisiknya melihat sebuah saset plastik dengan tutup
yang sudah terbuka tergeletak di atas meja kayu, tepat di depan jejeran gelas. “Astaga..”, ia
tersentak kaget setelah memeriksa sisa butiran mirip gula di saset plastik itu yang ternyata racun
temik. Tak bertanya ke neneknya lagi, ia langsung bergegas ke ruang tamu. Melihat Mbege masih
duduk mematung dan belum menyentuh gelas berisi kopi di ruang tamu itu, ia merasa lega, tapi
tetap menunjukkan kekesalannya. Ia ikut mematung di kursi rotan dekat jendela sambil
memperhatikan gelas kopi di depannya.

Tak berapa lama, Mbege tiba-tiba hendak meneguk kopi itu, namun langsung dicegat
Wesalo. “jangan, kamu jangan minum kopi ini..”, tukasnya ketus. Wajahnya kelihatan sendu dan
lembab terseka sisa air mata.

“Ohh..kenapa..”, tanya Mbege.

Tiga menit berselang, sambil membiarkan matanya berkaca-kaca dan bibirnya yang
berangsur getir, Wesalo mendadak lirih mengeluarkan kata-kata sendu yang membuat Mbege
sempat tersentuh, namun yang ternyata menjadi kalimat terakhir Wesalo. “Mbege. Sejujurnya saya
sangat mencintai kamu. Hampir seluruh umurku saya habiskan hanya untuk berharap suatu waktu
kelak saya bisa memiliki kamu seutuhnya. Sayangnya, harapan itu tak pernah bisa saya raih. Kamu
tidak pernah mencintai saya...”.

Tak menyadari apa yang sedang terjadi, Mbege tak berusaha menahan tangan Wesalo yang,
usai mengatakan beberapa patah kata tadi, tiba-tiba nekad meneguk segelas kopi berisi racun temik
di depan hidung Mbege. Dan hanya berselang semenit, sekujuh tubuh gadis ayu itu pun tiba-tiba
kejang menyusul wajahnya yang membiru dan nafasnya yang tersungut-sungut. Sempat panik dan
berteriak meminta tolong, Mbege tak bisa berbuat apa-apa setelah beberapa menit kemudian
melihat tubuh Wesalo itu akhirnya terbujur kaku.

Menyusul beberapa tetangga dekat yang berkelebat muncul mendengar teriakan dari
dalam, Mbege berlari ke dapur mencari orang tua yang tadi mengantarkannya kopi. Lalu, “ Kamu,
kamu membunuh dia. Kamu meracuni dia...”, tohoknya langsung ke nenek Wesalo itu yang tak
sempat meninggalkan rumah karena ikut panik.

Esoknya, peristiwa mengenaskan itu pun menggemparkan se-isi Lambuya dan Uepai. Rumor
itu pun merebak. Mbege dituding telah meracuni Wesalo. Rumor ini membuat Keluarga besar
Barasa geram dan tak mau tahu duduk persoalan yang sebenarnya. Keadaan menjadi panas.
Dengan menghunus ta’awu, beberapa pemuda asal Lambuya berkeliaran mencari Mbege kemana-
mana, termasuk ke rumah Ndeba di Ameroro. Untungnya, sejak semalam Mbege sudah
mengamankan diri ke polsek Wawotobi bersama nenek Wesalo. Adik Hindu itu pun dimakamkan di
tengah suasana keluarga yang memanas.
Nama besar Mbege seketika itu ikut ambruk. Namanya yang tadinya harum, mendadak
busuk di mata kebanyakan orang di Lambuya. Selain membunuh, ia juga digosipkan telah
berselingkuh dengan anak gadis orang. Hari-hari berikutnya ia terus dicibir dan dimaki seisi
kampung. Di rumah, Suri dihempas tekanan batin yang cukup berat acapkali mendengar kelakuan
suaminya dibicarakan orang-orang. Ia terus menitikkan air mata setiap meraba perutnya yang makin
membesar. “Ya Allah, dosa apa yang telah kami perbuat hingga cobaan ini begitu berat ..”, desahnya
suatu malam usai tahajud. Untungnya, selain Rinda, juga ada ibunya – Maesara – yang tetap setia
menemaninya dan selalu menguatkan jiwanya untuk menghadapi ujian itu. “Sabar iyo anakku.
Percayapi, ini tidak akan lama. Saya tidak percaya orang sebaik suamimu akan membunuh orang ..”,
ucap Maesara selalu disamping Suri. Demikian juga kata Ndeba, Buduhama dan Rumba setiapkali
bersama-sama membicarakan persoalan itu dihadapan Suri.

Anggapan Maesara itu ternyata benar. Hanya sekitar dua minggu prahara itu menghempas,
situasi di Uepai dan Lambuya mendadak berubah. Tiga orang polisi tiba-tiba datang secara terpisah
ke rumah Barasa dan ke rumah Ndeba untuk mengklarifikasi kejadian yang sebenarnya. Mbege sama
sekali tidak bersalah. Yang meracuni Wesalo adalah neneknya sendiri yang diperalat Mburi, orang
suruhan Hindu, ungkap polisi di depan orang-orang yang ikut mendengarkan mereka di rumah
Barasa.

Keadaan secepat itu pun terbalik. Usai diklarifikasi polisi, orang-orang yang tadinya
menuduh dan mencerca Mbege, justru berbalik menyudutkan Barasa. Ayah Hindu ini dianggap
sebagai orang tua yang tidak bertanggungjawab karena membiarkan kebusukan anak sulungnya
membunuh adiknya sendiri. Berita itu terus menyebar dari mulut ke mulut ke berbagai kampung
hingga, hanya butuh waktu dua hari, nama baik Mbege berangsur pulih.

Sempat dua minggu lebih mengamankan diri di Kantor polisi, Mbege kembali ke rumah
dengan perasaan lega. Ia mendekap dan mencium istrinya yang sempat menyambutnya di depan
pintu dengan mata berkaca-kaca. “Maafkan saya Suri. Semua ini adalah kesalahan saya..”, ucapnya
sambil menyeka beberapa titik air mata di wajah istrinya yang mulai cerah setelah beberapa hari
lusuh.

Lulus menghadapi prahara itu, Mbege tak sertamerta kembali menjalankan tugasnya seperti
biasa sebagai kepala onderdistrik. Meski berhasil melewatinya, prahara itu membuat jiwanya sangat
terguncang. Ia merasa perlu waktu cukup lama untuk memulihkannya. Hari-hari berikutnya, ia lebih
banyak menghabiskan waktu di rumah bersama istri dan mertuanya. Selain itu, di rumah ia sering
mengobrol lama dengan Rumba yang makin sering muncul menemui Rinda.

Memanfaatkan waktu istrahat yang panjang, ia berniat menuntaskan utang budinya ke


Rumba. Suatu hari ia menganjak Rumba berbicara serius di ruang tamu. “Kali ini saya mau tanya
kamu banggona. Apakah kamu betul-betul cinta sama i Rinda...”, ucapnya serius. Ia menanyakan
hal itu karena kemarin ia baru saja diberitahu Suri soal kesiapan Rinda menerima lamaran Rumba.

“Iye banggona. Saya serius. Saya cinta sama dia. Dan kalau orangtua Rinda sudah diizinkan,
saya ingin melamar secepatnya..”, jawab Rumba mantap. Mendengar pernyataan serius itu, ia
menyilahkan Rumba menemui orangtuanya untuk meminta restu dan menyiapkan segala
sesuatunya untuk melamar Rinda. “Kalau begitu, atas nama keluarga, saya akan menunggu kamu
datang bersama orang tua untuk melamar Rinda..”, tandas Mbege.
Ternyata telah menyiapkan diri sejak dua minggu lalu, Rumba tak butuh waktu lama untuk
menindaklanjuti hasil pembicaraannya dengan Mbege. Hanya seminggu setelah itu, melalui
beberapa utusan adat yang datang menemui orang tua Rinda di Ameroro, Rumba pun naik
melamar.

Rumba kemudian menikahi Rinda hanya berselang dua minggu setelah proses pelamaran itu
dalam sebuah pesta pernikahan yang sangat meriah di Ameroro. Mbege pun merasa lega setelah
berhasil membuat rekannya bahagia disamping Rinda.

Sesudahnya, Mbege kembali aktif menyelesaikan sisa masa jabatannya yang tinggal empat
bulan lebih. Kurun waktu ini dilaluinya dengan sikap yang lebih dewasa ditengah orang-orang yang
semakin menghormatinya. Peristiwa kedekatannya dengan Wesalo yang berakhir tragis tempo hari
justru membuka mata orang-orang untuk melihat betapa Mbege telah ditolong Tuhan untuk tidak
jatuh ke pangkuan putri seorang tokoh masyarakat yang bejat.

Seminggu sebelum mengakhiri masa jabatannya, wajah Mbege kembali terseka airmata
bahagia melihat putra pertamanya lahir dengan sempurna. Di acara aqiqah yang digelar seminggu
kemudian bertepatan dengan akhir masa jabatannya, di depan para anakia dan tonomotuo asal
Uepai, Lambuya, Tongauna dan Abuki, ia mengumumkan nama putranya : Randa.

Anda mungkin juga menyukai