Anda di halaman 1dari 12

Pesan Ibu

Penulis yang lahir di Padang, 5 April 1974. Ia kuliah jurusan Pendidikan


Bahasa Indonesia di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, ia juga sudah menulis
di koran-koran Aceh dilanjutkan di Kota kelahirannya Padang. Menulis yang
terkuasai, barang kali telah menjadi karakter penulis seorang Farizal Sikumbang.
Ini terlihat jelas dalam cerpen-cerpennya.

Salah satu cerpennya adalah yang berjudul Tali Darah Ibu. Dalam cerpen
ini pengarang menceritakan tokoh Aku yang memiliki sifat sabar dan penyayang.
Ibunya sendiri sangat menyayangi tokoh aku namun ini bertentangan dengan Ayah
dan kedua adik tirinya yang sangat membenci tokoh aku, tetapi tokoh aku sangat
sabar menghadapi situasi ini.

Cerpen Tali Darah Ibu ini memiliki jalan cerita yang cukup bagus, terlihat
dari segi bahasanya yang mudah dicerna dan dipahami. Cerpen ini cocok dibaca di
kalangan pelajar karena memiliki nilai moral yang baik. Namun ketidakadaan gaya
Bahasa atau majas menjadi salah satu kekurangan dari cerpen ini sehingga kita
sebagai pembaca kurang menikmati estetika dari cerpen ini

Cerpen yang bertemakan kekeluargaan ini menggambarkan karakter dari


tokoh Aku dan sikap keluarga terhadap tokoh Aku. Tokoh Aku memiliki sifat
penyabar yang bisa dijadikan teladan. Seperti pada kutipan :

Kehadiran dua adikku membuat ayah memang tidak peduli lagi kepadaku. Sikap
ayah sangat berubah setelah kehadiran mereka. Tidak jarang ayah lebih
mendahulukan mereka daripada aku. Jika ayah membeli makanan ringan, misalnya,
ayah tak pernah memberikannya kepadaku. Ayah juga hanya mengajak dua adikku
ke pantai pada hari Minggu. Aku merasa bahwa ayah benar-benar mengucilkanku
dari dua adikku. Dan perlakuan ayah itu membuat aku begitu sedih. Dalam
kesedihan, aku melamun. Dan berpikir mengapa ayah berubah.

“Ibu harap kamu jangan bersedih jika ayahmu kurang memperhatikanmu,”


kuingat kata ibu dulu.

Aku tidak menyahut kata-kata ibu itu selain dua mataku semakin berair. Lalu ibu
menghapus air mataku dengan tangannya. Pada masa itu, aku sudah duduk di kelas
VI sekolah dasar.
Ibu sangat menyayangi tokoh Aku, seperti pada kutipan :

Ibu tidak suka jika ayah memarahiku. Apalagi jika ibu melihat ayah
menarik kupingku hingga aku menangis.

“Jangan pernah kau mengasari anakku,” kuingat ibu bersuara keras kepada
ayah suatu malam yang berhujan.

Mungkin ibu sudah tidak tahan melihat saya dikucilkan oleh ayah dan dua adikku.
Sebab, suatu hari ibu begitu marahnya kepada ayah.

“Jika kau tidak suka pada Dika, bagiku tak ada masalah. Tapi, yang tidak
saya suka jika kau menghasut adik-adiknya untuk membencinya.”

Ayah dan kedua adik tirinya sangat membenci tokoh Aku, seperti pada
kutipan :

Namun, apa yang kualami pada hari-hari berikutnya tetap tidak pernah berubah,
ayah masih saja mengasihi dua adikku dan mengesampingkanku. Dua adikku juga
mulai tidak suka kepadaku. Mereka sering menghindar dan ibarat tidak
menganggap lagi aku sebagai kakaknya.

“Kata ayah, uda bukan abang kandung kami, jadi jangan coba-coba
melarang-larang kami, ya,” kata itu diucapkan Samsir ketika aku pernah
melarangnya bermain di pantai pada sore hari.

“Iya, ayah bilang begitu. Nanti kami lapor ayah baru tahu,” si kecil ikut pula
menimpalinya dikala itu.

Alur dalam cerpen Tali Darah Ibu menggunakan alur mundur karena
menceritakan tentang pesan-pesan Ibunya sebelum meninggal.

Sudut pandang dalam cerpen ini menggunakan sudut pandang orang


pertama tunggal. Dalam cerpen ini tokoh Aku sebagai fokus dalam cerita sehingga
karakter atau sikap dari orang lain kurang begitu banyak diceritakan seperti pada
kutipan :

Namun, apa yang kualami pada hari-hari berikutnya tetap tidak pernah berubah,
ayah masih saja menyayangi dua adikku dan mengesampingkanku. Dua adikku
juga mulai tidak suka kepadaku. Mereka sering menghindar dan seperti tidak
menganggap lagi aku sebagai kakaknya.

“Kata ayah, uda bukan kakak kandung kami, jadi jangan coba-coba
melarang-larang kami, ya,” kata itu diucapkan Samsir ketika aku pernah
melarangnya bermain di pantai pada sore hari.
“Iya, ayah bilang begitu. Nanti kami lapor ayah baru tahu,” si kecil ikut
pula menimpalinya saat itu.

Saat itu, aku benar-benar bersedih. Mereka tidak menyukaiku dan tidak
menghormatiku. Padahal, aku sangat menyayangi mereka.

Mungkin ibu sudah tidak tahan melihat aku dikucilkan oleh ayah dan dua adikku.
Sebab, suatu hari ibu begitu marahnya kepada ayah.

“Jika kamu tidak suka pada Dika, bagiku tak ada masalah. Tapi, yang tidak
aku suka jika kamu menghasut adik-adiknya untuk membencinya.”

Disini pengarang hanya menceritakan sikap dan perasaan yang dialami


tokoh Aku, dan ini juga yang menjadi kelemahan sudut pandang orang pertama
tunggal dalam setiap karya sastra.

Nilai moral yang terkandung dalam cerpen ini yaitu tentang sifat penyabar
yang dimiliki tokoh Aku walaupun dia tidak disukai Ayah dan kedua adik tirinya.

Konflik dalam cerpen Tali Darah Ibu ini digambarkan semenjak adik tiri
kedua dari tokoh Aku ini hadir, sang Ibu marah karena Ayahnya tidak
mempedulikannya lagi dan tidak memiliki sikap adil kepada tokoh Aku, lalu
Ayahnya pergi dari rumah dan tidak pernah kembali meninggalkan Anak dan
Istrinya seperti pada kutipan :

Aku tidak mendengar ayah menyahut kata-kata ibu di malam itu. Aku begitu
bersyukur karena ayah diam saja sehingga tidak terjadi pertengkaran. Tapi,
paginya, sesuatu yang mengejutkanku terjadi juga. Ayah pergi membawa
pakaiannya yang cukup banyak. Bagiku tak lazim jika ayah pergi ke laut dengan
membawa pakaian begitu banyak.

Kuingat ayah membawa satu tas pakaian ditambah dua bungkus plastik berukuran
besar dengan pakaiannya yang berantakan. Pasti sesuatu terjadi pada ayah. Dan
kecurigaanku semakin bertambah ketika ibu berujar di depan pintu rumah dengan
nada marah, “Pergilah jika itu maumu, dan kupastikan aku bisa membesarkan anak-
anakku.”

Lalu ayah terus berlalu tanpa melihat ke belakang. Dia hanya sejenak melihatku.
Pagi itu hanya ada aku dan ibu. Dua adikku masih tertidur pulas di kamar.

Satu minggu setelah kepergian ayah, ibu kembali berjualan nasi pagi di rumah
kami. Seperti beberapa tahun yang lalu, para pelanggan ibu kebanyakan dari pelaut
dan pedagang ikan. Rumah kami kembali riuh oleh suara dan tawa para lelaki.
Sesekali, mereka mencandai ibu. Mencubit lengan ibu.
Latar/setting dari cerpen ini seperti di sebuah tempat yang dekat dengan
pantai. Terlihat ketika Ibu berjualan, para pelanggan Ibu kebanyakan dari pelaut
dan pedagang ikan.

Secara keseluruhan cerpen Tali Darah Ibu karya Farizal Sikumbang ini
sudah cukup bagus dan sangat mudah dipahami oleh siapapun yang membaca
cerpen ini. Meskipun terdapat sedikit kekurangan di cerpen ini, namun dapat
dipastikan tidak akan mengurangi minat pembacanya.
Tali Darah Ibu
Sebelum meninggal, ibu kerap berpesan agar aku selalu menjaga hubungan baik

dengan semua saudara tiriku. Dan setiap ibu menyampaikan pesannya itu, aku

selalu menganggukkan kepala sebagai tanda mengiyakan kata ibu.

Tapi aku tidak tahu, apakah ibu juga pernah menyampaikannya kepada masing-
masing saudara tiriku perihal pesan itu. Sebab, setahuku, ibu tidak pernah
mengucapkan pesan itu di depan kami.

Ibu memiliki anak tiga. Aku yang tertua dari dua saudaraku yang berbeda ayah itu.
Kata ibu, ayahku adalah seorang pelaut. Kata ibu lagi, ayah juga pemabuk dan suka
main judi. Ayah pergi meninggalkan ibu di saat aku baru berusia lima tahun. Kabar
yang ibu dapatkan selanjutnya dari pelaut lainya adalah bahwa ayahku telah kawin
lagi dengan seorang janda muda di pulau seberang.

Aku sendiri luput mengingat wajah ayahku sendiri serupa apa. Usiaku terlalu kecil
untuk mampu mengingat kenangan bersama ayah. Apalagi memang ayah kuingat
jarang pulang. Di dalam rumah kami yang sederhana, tak satu pun terpajang foto
ayahku. Sampai usiaku dewasa, di rumah itu, yang terpajang hanya tiga bingkai
foto, yang pertama foto ibu, lalu foto aku dan dua saudaraku dengan latar halaman
rumah, dan yang ketiga foto ayah tiriku.

Di masa sepeninggal ayah, ibu mengurusiku seorang diri. Untuk mencukupi


kebutuhan ekonomi, ibu berjualan sarapan pagi di depan rumah kami. Para
pelanggan ibu kebanyakan para lelaki yang bekerja sebagai pelaut dan penjual ikan.
Bila pagi hari, aku sering kali mendengar para lelaki tertawa-tawa di kedai ibu
dengan maksud yang tidak kupahami. Sebagian lagi berbicara dengan intonasi
tinggi bila mereka berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Terkadang bila
dagangan ibu telah habis, beberapa pelaut bermain batu domino di kedai ibu.

Aku cukup terhibur dengan kehadiran para pelanggan ibu yang mayoritas kaum
laki-laki itu. Tidak hanya candaan yang mereka berikan. Aku pun sering diberikan
permen atau makanan ringan untuk seusiaku. Yang paling sering memberikan aku
permen adalah Uda Bahar.

Uda Bahar orangnya baik. Bila ada yang mengusili hingga aku menangis, ia akan
memarahi orang itu dan lantas menggendong tubuhku, lalu diberikannya aku pada
ibu. Pada masa-masa itu, dari semua para pelanggan ibu, hanya Uda Bahar yang
sangat memperhatikanku.

Aku ingat, ketika duduk di kelas 1 sekolah dasar, ibu menikah dengan Uda Bahar.
Ada pesta pernikahan. Ibu dan Uda Bahar duduk di pelaminan, sedangkan aku tidak
pernah beranjak duduk pula di samping ibu. Ibu sering kali tersenyum kepada para
tamu yang hadir pada pesta pernikahan di rumah kami. Aku yakin ibu sangat senang
sekali saat itu.

Aku pun sangat bahagia dan senang pada pernikahan ibu. Sejak kehadiran Uda
Bahar, suasana rumah kami menjadi riang. Malam hari menjadi ceria.

Malam hari juga tidak lagi menjadi kecemasan ibu karena lingkungan rumah yang
sunyi.

Aku pun merasa terlindungi dengan kehadiran Uda Bahar di rumah. Bukan hanya
merasa terlindungi, melainkan aku juga seperti menemukan tempat mengadu. Di
kampung yang terletak di pesisir pantai itu, sering kali kawan-kawanku mengejek
karena aku tak punya ayah. Dan sejak kehadiran Uda Bahar, tak satu pun dari
mereka yang berani lagi mengejekku.

Aku merasa begitu beruntung karena ibu telah menikah lagi. Sebab, dengan begitu,
aku memiliki seorang ayah. Namun, harus kuakui, pada mulanya aku terkadang
masih begitu canggung bila memanggil Uda Bahar dengan panggilan ayah. Namun,
Uda Bahar dengan sabar menyuruhku agar belajar terus memanggilnya dengan
sebutan ayah.
“Ya, anak kecil, mulai sekarang kamu harus terus membiasakan diri agar
memanggil ayah, ya,” kata Uda Bahar kepadaku, waktu itu.

Dan kuingat ibu tersenyum melihat kegugupanku. Dan tidak lama kemudian
kepalanya mengangguk-angguk kepadaku.

Di hari-hari berikutnya, aku terkadang masih salah juga memanggilnya dengan


sebutan ayah. Sering aku memanggilnya dengan sebutan Uda Bahar. Berulang kali
pula ibu dan Uda Bahar kembali menasihatiku. Dan sampai satu bulan kemudian
aku baru mahir memanggilnya dengan ayah.

Satu tahun kemudian, ibu melahirkan adikku yang pertama. Ia berjenis kelamin
laki-laki. Kulitnya hitam. Rambutnya hitan. Ia mirip wajah ayah. Dan ayah
memberinya nama Samsir.

Ibu dan ayah sangat senang karena kehadiran Samsir. Ibu sangat telaten
merawatnya. Ayahku sangat perhatian sekali pada adikku. Jika adikku menangis,
ayah akan dengan cepat menyuruh ibu agar menyusuinya. Atau ayah akan
memarahi ibu jika adikku terus menangis.

Ketika adikku itu telah berumur tiga tahun, ia sering kali membuat ibu berada dalam
masalah. Sering ia terjatuh di rumah karena kenakalannya Memecahkan perabotan
rumah. Dan ibu sering jadi sebabnya karena dianggap lalai menjaga adikku itu.
Tidak hanya ibu, aku pun mulai jadi sasaran ayah jika ia menangis sehabis bermain
denganku.

Kehadiran adikku semakin lama membuat ibu dan ayah mulai sering bertengkar.
Ibu tidak suka jika ayah memarahiku. Apalagi jika ibu melihat ayah menarik
kupingku hingga aku menangis.

“Jangan pernah kau mengasari anakku,” kuingat ibu bersuara keras kepada ayah
suatu malam yang herhujan.
“Kenapa memangnya? Aku yang memberi makannya. Sudah pantas ia kumarahi
jika ia menjengkelkanku.”

“Tanpa kamu beri, aku tetap bisa memberi makannya. Kamu harus tahu itu,” kata
ibu dengan suara yang semakin tinggi.

“Maksudmu apa?”

“Maksudku, jika kamu ingin pergi, aku tetap bisa memberi makan anakku. Paham?”

Peristiwa itu adalah pertengkaran ayah dan ibu yang terakhir setelah adikku yang
kedua lahir. Adikku yang kedua perempuan. Ayah memberinya nama Diva. Sama
seperti kelahiran adikku yang pertama, ibu dan ayah juga sangat senang pada
kehadiran adikku ini.

Namun, kebahagiaan di rumah kami kurasakan tidak berlangsung lama.


Pertengkaran-pertengkaran antara ibu dan ayah mulai kembali terjadi. Pemicunya
karena ayah sering kali menganggap ibu tidak mampu mengurus dua adikku. Dan
juga tentang ayah yang sering membedakan aku dengan dua adikku.

Kehadiran dua adikku membuat ayah memang tidak peduli lagi kepadaku. Sikap
ayah sangat berubah setelah kehadiran mereka. Tidak jarang ayah lebih
mendahulukan mereka daripada aku. Jika ayah membeli makanan ringan, misalnya,
ayah tak pernah memberikannya kepadaku. Ayah juga hanya mengajak dua adikku
ke pantai pada hari Minggu. Aku merasa bahwa ayah benar-benar mengucilkanku
dari dua adikku. Dan perlakuan ayah itu membuat aku begitu sedih.

Dalam kesedihan, aku melamun. Dan berpikir mengapa ayah berubah.

“Ibu harap kamu jangan bersedih jika ayahmu kurang memperhatikanmu,” kuingat
kata ibu dulu.
Aku tidak menyahut kata-kata ibu itu selain dua mataku semakin berair. Lalu ibu
menghapus air mataku dengan tangannya. Pada masa itu, aku sudah duduk di kelas
VI sekolah dasar.

Namun, apa yang kualami pada hari-hari berikutnya tetap tidak pernah berubah,
ayah masih saja menyayangi dua adikku dan mengesampingkanku. Dua adikku
juga mulai tidak suka kepadaku. Mereka sering menghindar dan seperti tidak
menganggap lagi aku sebagai kakaknya.

“Kata ayah, uda bukan kakak kandung kami, jadi jangan coba-coba melarang-
larang kami, ya,” kata itu diucapkan Samsir ketika aku pernah melarangnya
bermain di pantai pada sore hari.

“Iya, ayah bilang begitu. Nanti kami lapor ayah baru tahu,” si kecil ikut pula
menimpalinya saat itu.

Saat itu, aku benar-benar bersedih. Mereka tidak menyukaiku dan tidak
menghormatiku. Padahal, aku sangat menyayangi mereka.

Mungkin ibu sudah tidak tahan melihat aku dikucilkan oleh ayah dan dua adikku.
Sebab, suatu hari ibu begitu marahnya kepada ayah.

“Jika kamu tidak suka pada Dika, bagiku tak ada masalah. Tapi, yang tidak aku
suka jika kamu menghasut adik-adiknya untuk membencinya.”

Aku tidak mendengar ayah menyahut kata-kata ibu di malam itu. Aku begitu
bersyukur karena ayah diam saja sehingga tidak terjadi pertengkaran. Tapi,
paginya, sesuatu yang mengejutkanku terjadi juga. Ayah pergi membawa
pakaiannya yang cukup banyak. Bagiku tak lazim jika ayah pergi ke laut dengan
membawa pakaian begitu banyak.
Kuingat ayah membawa satu tas pakaian ditambah dua bungkus plastik berukuran
besar dengan pakaiannya yang berantakan. Pasti sesuatu terjadi pada ayah. Dan
kecurigaanku semakin bertambah ketika ibu berujar di depan pintu rumah dengan
nada marah, “Pergilah jika itu maumu, dan kupastikan aku bisa membesarkan anak-
anakku.”

Lalu ayah terus berlalu tanpa melihat ke belakang. Dia hanya sejenak melihatku.
Pagi itu hanya ada aku dan ibu. Dua adikku masih tertidur pulas di kamar.

Satu minggu setelah kepergian ayah, ibu kembali berjualan nasi pagi di rumah
kami. Seperti beberapa tahun yang lalu, para pelanggan ibu kebanyakan dari pelaut
dan pedagang ikan. Rumah kami kembali riuh oleh suara dan tawa para lelaki.
Sesekali, mereka mencandai ibu. Mencubit lengan ibu.

Lalu, apakah dua adikku menyayangiku setelah ayah pergi dan tidak pernah
pulang? Bagiku sungguh celaka, ketidakpulangan ayah menurut adikku adalah
karena aku. Samsir dan Diva terus membenciku sampai ia remaja. Ibu berulang kali
pula menghiburku dengan mengatakan bahwa mereka masih remaja dan belum
berpikir dewasa. Namun, aku sungguh tidak tahan hidup dalam pusaran kebencian
dua saudaraku itu. Aku sering bersedih. Aku sering menangis.

Ibu meninggal pada suatu pagi. Sebelumnva, ia hanya bisa terbaring dengan tubuh
agak panas. Dua adikku menyalahkanku kenapa ibu bisa sakit dan meninggal. Aku
sungguh marah dan sedih pada mereka. Tapi, kesedihan lebih kuat bergayut di
hatiku.

Dua minggu setelah ibu dimakamkan, aku pergi meninggalkan rumah. Seperti
kebanyakan lelaki di kampungku, aku berpikir pilihan merantau adalah solusi
mengatasi masalah. Rantau bagiku adalah pilihan. Dan aku memilih merantau. Dan
di rantau ini, kata-kata ibu sering kali terngiang di telingaku, “Kamu harus terus
menjaga hubungan baik dengan saudaramu, Nak.”
“Ah, ibu.”

Anda mungkin juga menyukai