Anda di halaman 1dari 8

Seorang Ibu yang Menunggu

Aku tentu senang mendengar kabar itu. Berharap ia akan kembali menjadi
sosok Wo Limah yang dulu, yang sehari-hari selalu riang dan suka melucu.

Ia adalah saudara kandung satu-satunya ibuku. Bernama Muslimah, tapi sejak kecil aku sudah
terbiasa memanggilnya Wo Limah. Usianya kini sudah lebih dari enam puluh tujuh tahun—jika
aku tak salah menghitung. Namun, selain mengubah warna rambut dan mengisutkan kulit
tubuhnya, angka-angka itu tak banyak berpengaruh padanya.

Lihatlah, sampai hari ini ia masih tangkas membersihkan sekeliling rumah papannya setiap pagi.
Menyapu, menyiangi rumput-rumput liar, menyirami tanam-tanaman, semua ia lakukan dengan
penuh semangat. Bahkan sesekali ia masih nekat mencari kayu bakar di hutan-hutan sekitar
kampung.

Aku tak pernah bisa mencegahnya—tak pernah berhasil, lebih tepatnya. Setiap kali kuminta ia
berhenti, mengingatkan soal tubuhnya yang tak boleh lagi diforsir, ia selalu berkelit dengan
mengatakan bahwa tubuhnya justru akan terasa sakit-sakit bila tidak dibawa bekerja. Maka yang
bisa kulakukan hanyalah membantunya sesering yang aku bisa.
Sejak kecil, aku memang sudah sangat dekat dengan Wo Limah. Ia sudah seperti ibu kedua
bagiku. Sejak aku berusia dua tahun, bila hendak pergi bekerja, kedua orang tuaku selalu
menitipkan aku kepadanya. Itulah kenapa kami jadi begitu dekat, sehingga nyaris tak ada hari
yang bisa kulewatkan tanpa keinginan berkunjung ke rumahnya.

Rumah papan Wo Limah berdiri tak berapa jauh dari rumahku. Hanya beberapa belas meter
dengan aneka pokok buah memagarinya. Di sana, Wo Limah tinggal bertiga dengan suaminya,
Wo Kahar, dan anak semata wayang mereka, Bang Samsul. Tapi itu dulu. Ya, duluuu sekali,
sebelum peristiwa nahas itu terjadi. Kini Wo Limah hanya tinggal seorang.

Peristiwa nahas yang kumaksud adalah kecelakaan tabrak lari yang menimpa Wo Kahar suatu
pagi. Usiaku sembilan tahun waktu itu dan aku masih ingat betul, selepas kecelakaan itu, Wo
Kahar terbujur koma tiga hari dan tak pernah bangkit lagi. Ia berpulang dalam
ketidaksadarannya. Kami semua terpukul. Terutama Wo Limah dan Bang Samsul.

Perlu kalian ketahui bahwa sebelum kejadian itu, Wo Limah sekeluarga mungkin adalah
keluarga paling bahagia di kampung kami, meski kehidupan mereka terbilang paling
sederhana. Aku berani berkata begitu karena aku melihat sendiri bagaimana anak-
beranak itu beraktivitas sehari-hari. Mereka selalu beraktivitas dengan penuh semangat,
senang membagi senyum dan mudah melepas tawa.

Namun, selepas kejadian itu, semuanya berubah. Kebahagiaan seperti perlahan menyingkir dari
kehidupan mereka, dan akhirnya benar-benar sirna tatkala setahun kemudian, Bang Samsul yang
waktu itu sudah berusia dua puluh, memutuskan pergi merantau ke Malaysia bersama beberapa
temannya.

Setiap hari selepas hari itu adalah hari kesedihan bagi Wo Limah. Sering kupergoki ia duduk
melamun di dekat sumur di belakang rumahnya, dengan pipi basah yang akan segera ia hapus
begitu menyadari kedatanganku. Walau saat itu usiaku baru sepuluh, aku cukup bisa merasakan
apa yang Makwo[1]-ku itu rasakan.

Saat itu, kupikir Wo Limah bersedih hanya karena kepergian Bang Samsul. Belakangan barulah
kuketahui bahwa ada hal lain yang, meski ia tak mengatakannya secara langsung, kuyakin
merupakan alasan utama di balik kesedihannya yang berkepanjangan.

***

Tiga tahun setelah kepergian Bang Samsul, aku tamat SD dan lanjut ke Tsanawiyah di sebuah
pondok pesantren. Itu membuatku tak bisa lagi mengunjungi Wo Limah seperti biasa. Selain
memang karena jauh—sekitar lima puluh kilometer dari kampungku, aku juga mesti mukim di
pesantren. Kendati begitu, kabar tentang Wo Limah masih terus kudengar dari ayah dan ibuku
yang rutin berkunjung setiap awal bulan.

Tak banyak yang berubah dari Makwo-ku itu pada triwulan pertama kepergianku. Ia masih
sering melamun seperti saat kutinggalkan. Kabar perubahan itu baru kuterima pada akhir
triwulan kedua. Kata Ibu, Wo Limah sudah berangsur mau bekerja. Macam-macam yang ia
kerjakan. Mulai dari menyisik kulit gaharu, mendulang emas, menjual kayu bakar, hingga
menyadap karet.

Aku tentu senang mendengar kabar itu. Berharap ia akan kembali menjadi sosok Wo Limah yang
dulu, yang sehari-hari selalu riang dan suka melucu.

Selain kabar tentang Wo Limah, adakalanya ayah-ibuku juga membawa kabar tentang Bang
Samsul. Abang sepupuku itu, kalian tahu, sejak berangkat ke Malaysia, jarang sekali memberi
kabar. Aku tahu itu bukan keinginannya. Pada masa itu, komunikasi jarak jauh—apalagi
antarnegara—belumlah semudah sekarang. Telepon genggam memang sudah mulai ramai
dipasarkan, tapi belum banyak yang mampu atau merasa perlu untuk membelinya. Bahkan
seingatku, di kampung kami pada waktu itu belum ada seorang pun yang punya.

Kabar pertama dari Bang Samsul kami terima setelah dua atau tiga pekan ia pergi. Katanya, ia
sudah sampai Malaysia dan mendapat pekerjaan sebagai buruh di sebuah perkebunan kelapa
sawit. Karena tempat kerjanya terpencil dan biaya interlokal sangat mahal, ia tak bisa sering-
sering menelepon. Hanya bisa menelepon paling tidak setiap lima atau enam bulan sekali.

Kabar itu kami terima dari salah seorang anak buah Haji Muhyidin. Pada masa itu, Haji
Muhyidin, juragan sembako yang kaya raya itu, adalah satu-satunya orang di daerah kami yang
punya telepon. Ia memanfaatkannya dengan membuka wartel di rumahnya. Orang-orang daerah
kami yang merantau ke Malaysia atau ke mana saja, jika ingin memberi kabar kepada sanak
famili di kampung, pastilah melalui teleponnya.

Beberapa keluarga sudah punya jadwal tersendiri terkait kapan anggota keluarga mereka di
rantau akan menelepon, sehingga ketika benda ajaib itu berdering, mereka langsung yang akan
menerimanya. Adapun Bang Samsul pada waktu itu, karena ia baru pertama kali menelepon,
jadilah yang menerimanya bukan salah satu dari kami.

***

Hari berganti hari, bulan bertukar bulan, tahun demi tahun berlalu. Pertengahan 2007, bertepatan
dengan enam tahun Bang Samsul di rantau, aku menyelesaikan Tsanawiyah dan lanjut ke Aliyah
di pesantren yang sama.

Pada tahun itu, beberapa orang di kampung kami sudah mulai memiliki telepon genggam.
Termasuk ayahku. Dan atas desakan Ayah, Bang Samsul di seberang sana akhirnya juga ikut
membeli benda ajaib tersebut. Sejak saat itu, kabar darinya mulai rutin kami terima. Paling tidak
sekali dalam sebulan. Seringnya dalam rupa pesan singkat.

Semua masih berjalan normal—bahkan cenderung membaik dengan perubahan-perubahan Wo


Limah—hingga Bang Samsul tiba-tiba berhenti memberi kabar. Berhenti begitu saja tanpa
penjelasan. Itu terjadi saat aku kelas dua Aliah. Berkali-kali ayahku mencoba menghubungi
nomornya, tapi tak pernah lagi tersambung. Beberapa temannya yang dulu pergi bersamanya,
ketika Ayah hubungi, mengaku sudah lama tak melihatnya. Kemana abang sepupuku itu pergi,
tak seorang pun yang tahu.
Bulan-bulan berikutnya, kabar gembira itu tak kunjung datang. Malah kata Ibu, Wo Limah
kembali lagi ke kebiasaan lamanya: melamun di dekat sumur di belakang rumahnya. Itu jelas
kabar buruk.

***

Pertengahan 2010, setelah tamat Aliyah, aku mendapat beasiswa untuk lanjut kuliah di sebuah
kampus di kota provinsi. Lagi-lagi karena alasan jarak, dan juga karena sudah menjadi syarat
bagi para penerima beasiswa untuk tinggal di asrama yang sudah disediakan pihak kampus, maka
kembali aku terpisah dengan kedua orang tuaku dan Wo Limah, untuk beberapa tahun lamanya.

Tentu aku bisa pulang di saat-saat libur semester. Tapi aku lebih memilih memanfaatkannya
untuk bekerja. Penerima beasiswa hanya mendapat fasilitas asrama di dua tahun pertama mereka
kuliah. Selebihnya mesti mencari tempat tinggal sendiri. Itu artinya aku perlu uang untuk biaya
sewa kontrakan—jaga-jaga kalau tak berhasil menemukan masjid yang butuh marbut—dan
tambahan kebutuhan sehari-hari.

Semasa kuliah, bila menghubungi kedua orang tuaku di kampung—aku sudah punya telepon
genggam waktu itu—selalu kusempatkan menanyai kabar Wo Limah. Beberapa kali kami
sempat bicara dan suatu kali, Makwo-ku itu memberitahuku bahwa ia dan suaminya dahulu
pernah berjanji akan menguliahkan Bang Samsul hingga menjadi sarjana. Ia sangat menyesal
karena tak mampu menepati janji itu setelah kepergian sang suami. Ia mengaku, setiap hari
dihantui rasa bersalah kepada almarhum. Dan rasa bersalah itu kian mendalam sejak kabar dari
sang anak tak kunjung datang.

Saat itu aku hanya bisa memintanya untuk terus bersabar dan tak henti mendoakan kebaikan bagi
Bang Samsul.

***

Tahun 2014 akhir, bertepatan dengan tiga belas tahun Bang Samsul pergi dan lima tahun tanpa
kabar, aku resmi menjadi sarjana. Aku pulang dan terkejut mendapati perubahan Wo Limah yang
drastis. Ibu memang sudah memberitahuku sebelumnya, tapi melihatnya sendiri tak urung
membuatku takjub.

Wo Limah, yang saat itu sudah berusia enam puluh tiga tahun, tak lagi suka melamun. Sehari-
hari ia habiskan waktunya dengan melakukan hal-hal yang jauh lebih bermanfaat, seperti
membersihkan sekeliling rumah papannya setiap pagi, atau merawat sayur-mayurnya, atau
mencari kayu bakar di hutan-hutan sekitar kampung. Yang paling menyenangkan tentu adalah
kembalinya sosok Wo Limah yang dulu, yang pernah mengisi dan mengindahkan masa kecilku.

Aku bersyukur, benar-benar bersyukur akhirnya Wo Limah bisa terbebas dari kesedihan yang
bertahun-tahun membelenggunya. Kabar yang tak kunjung datang dari Bang Samsul mungkin
telah menyadarkannya bahwa memang sudah saatnya ia merelakan putranya itu. Aku tahu itu
berat. Orang tua mana yang sanggup kehilangan anak semata wayang. Tak jelas pula hidup-
matinya. Tapi Wo Limah berhasil.
Ya, setidaknya begitulah yang kupikirkan dan kupercayai selama ini, hingga pembicaraan
singkat kami pagi tadi mengubah semuanya, membuatku kembali mempertanyakan apa yang
selama dua tahun terakhir kuyakini sebagai kebenaran.

Pagi tadi, sembari membantunya menyapu dedaun kering yang rontok dari pokok-pokok duku
dan rambutan di sekitar rumahnya akibat hujan badai semalam, aku iseng bertanya, ”Kenapo[2]
rajin nian bersih-bersih, Wo?”

Dan dengan entengnya Wo Limah menjawab, ”Yo biar bersihlah, Ham. Biar kalau
abangmu balek[3] hari ini, rumah sudah enak dipandang.”

Bungo, 12 April 2020

Catatan:

[1] Makwo : bahasa Jambi, artinya panggilan kepada kakak perempuan dari ayah atau ibu.

[2] Knapo : Kenapa.

[3] Balek : Pulang

****

https://www.kompas.id/baca/cerpen-hiburan/2020/12/10/seorang-
ibu-yang-menunggu

PUISI : Kartini Masa Kini


Seorang malaikat baru saja melewati ku di sekolah
Menjalani hari dengan begitu ceria
Keluh kesah tak pernah terbesit melewati telingaku
Bersikap kasar layaknya bidadari

Namun, suatu ketika..


Kabar terdengar sampai ke telingaku
Sosok Kartini masa kini yang bersemangat
Nyatanya menyimpan banyak kepedihan

Sesosok yang Kartini masa kini yang hebat


Menjalani hari dengan senyuman
Bersikap baik baik saja
Seolah tak ada yang terjadi

Suatu hari di taman sekolah


Dengan derasnya hujan
Terlihat perempuan yang menangis
Tepat saat mentari terbenam

Aku bertanya tanya?


Hal apa yang ia alami?
Sampai ia menutupi tangisnya
Di kala derasnya hujan

Hari berikutnya datang ke sekolah


Dengan rawut muka ceria
Dengan membawa sejuta cerita
Dan sejuta senyuman
PANTUN :
Bakar kayu pake api

Malemnya makan makan

Kamu punya banyak mimpi

Kenapa ga coba bikin jadi kenyataan

Jalan jalan ke kantin

Pulang pulang bawa pelana

Jangan karna perempuan kita jadi diremehin


Banyak kok yang sukses di luar sana

Punya temen tukang ngeles

Nongkrong doang kerjaannya

katanya mau sukses


Tapi kok gak ada usahanya

Pagi pagi belajar bela diri

Sorenya makan ikan asin

Kalo bisa sendiri


Kenapa harus ngandelin orang lain

Anda mungkin juga menyukai