Anda di halaman 1dari 5

Cerpen 1

Kupu-Kupu di Pusara Ibu

Oleh: Fanny J Poyk 
Kompas, 27 September 2020

Ketika berkunjung ke makam ibu, ada seekor kupu-kupu bertengger tepat di atas
pusaranya. Warna kupu-kupu itu kuning bercampur ungu dengan garis-garis
hitam kebiruan di setiap pinggirannya. Ukuran kupu-kupu itu hampir setelapak
tanganku, ia terlihat sangat cantik, diam di tempat dan tidak terusik dengan
kedatanganku. Melihat kehadiran kupu-kupu yang menawan itu, tiba-tiba aku
teringat akan ucapan ibuku setahun sebelum ia meninggal. Katanya, “Jika kau
menemui kupu-kupu di pusara Ibu, jangan kau usir. Biarkan dia bertengger di
sana sebab itu aku.”

Sesungguhnya ketika aku mendengar ucapan ibu, aku hanya menganggapnya sebagai
perkataan orang tua yang terbang melayang ke mana-mana, kata-katanya seperti khayalan
manusia usia lanjut yang tengah merasakan ketidaknyamanan di tubuh rentanya. Kala itu ibu
sedang menderita rasa sakit karena penyakit diabetes. Ucapan tentang kupu-kupu
dikatakannya hampir setiap Minggu.
“Ingat ya Nak, biarkan kupu-kupu berterbangan di makam Ibu nanti. Itu Ibu, Ibu
sedang menunggu kalian datang menengok Ibu. Jangan kalian usir.” katanya dengan suara
parau.
Beberapa bulan kemudian Ibu tiada. Ia tak sanggup lagi berperang melawan penyakit
diabetes yang sudah merambat ke ginjal hingga jantungnya. Seminggu sekali ibu cuci darah.
Kembali sebelum ia menutup mata, ibu berpesan, “Jika kau rindu, Ibu akan menjadi kupu-
kupu dan menunggu kalian di pusara Ibu.”
Setahun setelah itu, aku dan dua saudaraku telah melupakan pesan ibu. Satu adik dan
satu kakakku telah kembali ke kota tempat mereka tinggal. Adikku yang perempuan bahkan
dibawa suaminya ke Camarillo, California, Amerika Serikat. Suaminya memang asli dari
sana. Sedang kakak perempuanku tinggal di sebuah kota di Jawa Tengah bersama suami dan
dua anak mereka. Tinggal aku si tengah yang kebetulan satu-satunya anak laki-laki ibu dan
ayahku yang menempati rumah peninggalan mereka.
Di usiaku yang ke 30 tahun, aku memilih untuk tidak menikah. Pekerjaanku di sebuah
jasa tabungan uang virtual yang mengharuskan aku menatap komputer sejak pukul sembilan
pagi hingga dua belas malam, membuat aku kehilangan ruang untuk bersosialisasi.
Teman-temanku menjauh satu-persatu, mereka menduga aku telah direnggut oleh
cengkeraman kapitalis hingga ke titik yang paling dasar, mereka beranggapan aku seperti
zombie yang berjalan sesuai kendali tanpa bisa mereguk kebebasan pribadi sebagai manusia
yang merdeka.  Aku mengakui hal itu sekaligus menyadari bahwa diriku telah menjadi
manusia paling tak berdaya yang kalah oleh situasi, terlebih lagi di masa pandemi Covid-19
yang sekarang kian ganas menerjang kekebalan tubuh manusia.
Andai ibuku tidak datang di mimpiku dengan pesannya yang masih sama tentang
kupu-kupu yang bertengger di batu nisannya, mungkin aku tetap bergelut dengan pekerjaan
yang kata temanku benar; memperkaya sang kapitalis bersama tujuh turunannya.
Mimpi tentang ibu dan kupu-kupu semalam, aku bagai melihat kemarahan ibu ketika
aku tidak membuat PR yang diberikan guruku saat SD. “Datanglah, Nak. Masak sejak Ibu
dikubur, kau tidak pernah melihat Ibu. Kau, adikmu dan kakakmu bagai melempar batu ke
dalam tanah, lalu menguruknya dan melupakan kisah tentang Ibu. Kau tengok juga makam
Ayahmu. Kau jangan seperti manusia tak berbudaya yang banyak terdapat di era milenial ini,
menganggap setelah kami tiada, tamat sudah cerita tentang kami. Jika kau melihat kupu-kupu
di batu nisanku, itu Ibu. Aku selalu menunggumu di sana dengan warna sayap yang berubah-
ubah.”
Dan aku terbangun dari tidurku. Peluh membasahi sekujur tubuhku. Ibu yang datang
dalam mimpiku, bagai menyengat dan mengingatkan seluruh kenangan tentangnya. Setelah
sepuluh tahun ayah meninggal, ibu tetap sendiri, ia tidak mau menikah lagi. Ayah yang pergi
meninggalkan tiga anak, tanpa pensiun juga tabungan itu, menyerahkan tanggungjawabnya
pada perempuan yang kala itu memasuki usia empat puluh tahun, ibuku.
Kisah perjuangan ibu untuk menyekolahkan dan memberikan makan kami, barangkali
sama heroiknya dengan kisah para ibu yang ditinggalkan suami tanpa bekal apapun. Ibu
selalu bilang kalau ia beruntung ditinggalkan sebuah rumah sederhana seluas 100 meter
persegi yang lokasinya di tengah keramaian kota.
“Dari berdagang kue-kue dan makanan inilah, akhirnya kalian bisa tamat kuliah dan
memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan kalian.” katanya selalu dengan gurat
wajah lelah.
Kala itu, diabetes keparat mulai meminang dan menggerogoti tubuh ibu, lalu
perempuan yang mulai memasuki usia setengah abad itu, menyimpan rasa sakitnya sendirian.
Dia tidak mau kami bersedih dan panik apabila melihat dia berjalan sempoyongan dan lelah
karena gula darahnya sedang tinggi atau turun.
“Ibu lelah, Ibu istirahat sejenak, jika ada pembeli, tolong kau layani dulu. Nak, kau
tahu kan harga-harganya, semua catatan harga ada di bawah etalase tempat kue-kue itu
diletakkan.” katanya.
Dunia bermain dan ego seorang anak yang membuncah penuh rasa kesal tatkala ibu
meminta bantuan kami untuk mencuci perabotan usai ia membuat kue-kue dagangannya,
membuat ibu tidak mau lagi memaksakan kehendaknya dengan menyuruh kami untuk
sekadar melayani pembeli. Semua dikerjakannya sendiri tanpa keluh juga kernyit di dahi.
Tak pernah terpikirkan olehku, kakak dan adikku bahwa hasil dari semua dagangannya itu
untuk makan kami juga membiayai pendidikan kami. Kami melenggang dengan tuntutan
yang kian bertambah hari lepas hari.
Aku sempat marah ketika seorang rentenir berdalih bank keliling datang menagih
utang pada ibu. Suara si rentenir yang menggelegar di siang hari yang panas itu, membuatku
geram, bukan pada si rentenir, akan tetapi pada ibuku yang duduk diam tak berdaya tatkala si
rentenir memakinya sebagai manula tukang berutang yang tidak tahu diri. Ibu hanya diam
dengan air mata berlinang di pipi yang dengan cepat dihapusnya. Ia juga tak bersuara tatkala
aku ikut memarahinya sembari berkata, “Kan Ibu sudah jualan, ngapain juga ngutang di bank
keliling!”
Isak ibuku kudengar di malam hari ketika rasa linu di persendian kakinya menjalar
hingga ke pinggang. Aku tetap diam, menganggapnya itu hanya penyakit tua biasa. Tatkala ia
memberikan amplop putih untuk membayar uang semesteran kuliahku, lama baru kutahu
kalau uang itu dipinjam ibu dari rentenir bank keliling. Ia membayar cicilannya dengan susah
payah dan air mata yang selalu dihapusnya diam-diam ketika makian si rentenir
memborbardir perasaannya. Aku baru tahu ketika ibu tiada dan sang rentenir menuturkan
semua kisah tentangnya.
“Ibumu orang yang baik. Dia mempertaruhkan harga dirinya untuk membayar semua
utangnya padaku. Uang itu bukan ia gunakan untuk kesenangan pribadinya, tapi untuk
membayar uang semesteran kuliahmu.” kata si rentenir bank keliling di pemakaman ibu kala
ia meninggalkan dunia yang fana ini.
Aku menangis dan menyesali semua yang pernah kulakukan padanya. Tapi terlambat,
ibu sudah tiada.
Hari ini, kulihat kupu-kupu itu telah berubah warna. Ada warna merah jambu berbalut
biru muda dengan garis keemasan di tepi tiap sayapnya. Aku tersentak, itu warna kesukaan
ibuku. Betapa aku ini anak yang tak tahu diri, bahkan warna kesayangan ibuku pun aku tak
tahu jika si kupu-kupu tidak memperlihatkannya.
Ketika aku duduk di sisi makam sembari mencabut rumput-rumput liar yang mulai
tumbuh di sana, kupu-kupu itu hinggap di bahuku. Cukup lama dia berada di sana. Sebelum
aku meninggalkan makam ibu, kupu-kupu itu terbang mengelilingiku tiga kali. Saat aku
beranjak, kukatakan padanya, “Ibu, aku akan sering-sering menengokmu, berbahagialah kau
di tempatmu yang baru.”
Kemudian kupu-kupu itu lenyap, aku yakin itu ibuku.
Cerpen 2
Bila Jumin Tersenyum

Oleh Zelfeni Wimra


Koran Tempo, 27 Januari 2008

Dulu, kalau sedang tertawa, Jumin bin Kahwaini tidak pandai menyembunyikan air
matanya, sehingga tak seorang pun tahu apakah ia sedang menangis atau tertawa. Sekarang
tidak begitu lagi.
Bibirnya yang tampak selalu berminyak itu kini mirip kulit pisang sarai, coklat dan
basah. Bila sedang berhati gembira, ia hanya mengulum senyum. Seolah kedua sudut
bibirnya ditarik ke kiri dan ke kanan. Amat jarang ia tertawa dengan membuka mulut dan
mengeluarkan suara bahak yang berderai dengan mata berair-air.
Apalagi ketika ia sedang memberikan khotbah atau ceramah di mesjid dan surau.
Jumin tampak sangat hati-hati sekali mengeluarkan kata-kata dan menjaga garis bibirnya
sedemikian rupa. Sekalipun jamaah terpingkal-pingkal mendengar ceramahnya yang lucu, ia
tetap tersenyum simpul.
Di hadapan jamaah, ia pernah mengaku kalau ia kini sudah tidak benar lagi dalam
melafazkan ayat-ayat Tuhan atau sabda Nabi. Ia minta maaf. Sama sekali tidak ada niatnya
untuk salahsalah dalam pembacaan tersebut. Lagi pula, tidak ada maksudnya untuk
memajang wajah penuh wibawa yang cuma tersenyum simpul.
Singkat kata, Jumin kini kurang bahagia dengan air mukanya. Semua itu karena gigi-
giginya sudah tanggal. Jamaah sepertinya mengerti keadaan Jumin ini. Salah seorang jamaah
yang bersimpati, diam-diam mengajak jamaah yang lain beriur. Uang yang terkumpul akan
disumbangkan pada Jumin agar ia dapat membeli gigi palsu. Kalau Jumin sudah bergigi lagi,
pengucapannya tentu tidak akan bermasalah. Penyampaian ceramah atau khutbahnya tentu
pula akan jernih dan mudah dipahami sebagaimana sedia kala. Jamaah yang seorang itu tidak
mau disebutkan namanya. Berbuat baik dengan menyebut-nyebut diri sendiri dalam
pengajian yang sering disampaikan Jumin disebut ria, dan ibadah orang ria tidak diterima.
Bahkan mereka akan ditempatkan pula di neraka. Ini tertanam dalam sanubari jamaah.
Uang sumbangan untuk Jumin pun terkumpul. Jamaah sepakat memberikan uang itu
langsung kepadanya. Terserah dia mau membeli gigi palsu yang mahal, yang sedang, atau
yang murah. Harga gigi palsu yang mahal, kalau membeli ke tukang gigi yang sampai
berjualan ke kampung mereka, sekitar satu juta dua ratus ribu rupiah.
Yang sedang, delapan ratus ribu. Dan yang termurah, sekitar lima ratus ribu. Jamaah
berhasil mengumpulkan uang sumbangan sebanyak empat ratus lima puluh ribu rupiah.
Jumlah yang lumayan besar. Bahwa jamaah yang rata-rata petani mampu mengumpulkan
uang sebanyak itu, sungguh luar biasa. Sumbangan untuk gotongroyong perbaikan jalan ke
mesjid saja jarang yang dapat sebesar itu.
Wibawa Jumin bin Kahwaini di kampung kecil itu memang sangat besar. Suatu kali,
misalnya, Jumin akan memanen padinya. Jalan ke sawahnya mesti melewati beberapa rumah
penduduk. Sepanjang jalan, orang yang dijumpainya akan bertanya, akan ke mana ia dan
istrinya. Tentu saja Jumin menjawab, ia akan memanen padi. Tanpa Jumin sangka, orang-
orang yang dijumpainya di jalan tersebut memberitahu kepada warga masyarakat yang lain
kalau guru mengaji mereka akan memanen padi. Langsung saja, orang-orang berdatangan
membantunya. Sedianya Jumin akan menghabiskan waktu paling tidak dua hari untuk
memanen padi. Dengan bantuan itu, tidak sampai setengah hari padinya sudah selesai
dipanen bahkan sudah diangkut pula sampai ke rumahnya.
Wibawa itu pula barangkali yang menggerakkan hati masyarakat untuk membantunya
membelikannya gigi palsu. Mengapa tidak. Anak-anak kampung rata-rata belajar mengaji
pada Jumin.
Maka malam itu beberapa orang jamaah mendatangi rumah Jumin. Uang sejumlah
empat ratus lima puluh ribu rupiah pun mereka serahkan padanya. Akan tetapi, siapa bisa
mengira, keesokan harinya, Jumin nyaris tidak bisa lagi tersenyum. Nurni, anak gadisnya
pulang dari kota tempat ia kuliah. Kepulangan ini terkait dengan jatuh tempo pembayaran
uang kuliahnya.
Untuk membayar uang semester Nurni tahun lalu, Jumin menjual kambing.
Rencananya, untuk semester sekarang Jumin memperkirakan cabe rawit yang ia tanam
bersama istrinya sudah panen. Tetapi, cuaca yang belakangan ini tak menentu (tak jelas lagi
apa musim panas atau musim hujan) membuat tanaman cabe rawitnya rusak. Daun-daunnya
keriting dan buahnya mudah rontok. Di tempat tidurnya Jumin bin Kahwaini terpana. Ia usap
liur yang leleh di sudut bibirnya. Dagunya seakan tertikam sampai ke pangkal lehernya. Uang
yang dikumpulkannya bulan-bulan terakhir cuma sekitar dua ratus ribu. Sementara Nurni
butuh uang enam ratus ribu. Empat ratus ribu untuk uang semester dan dua ratus ribu untuk
belanja bulanan.
Memang ada uang pemberian jamaah sebanyak empat ratus lima puluh ribu lagi. Tapi,
itu pemberian jamaah untuk pembeli gigi palsu. Jumin memanggil Mina, istrinya.
”Mina, apa sebaiknya aku tidak usah membeli gigi palsu dulu. Uang pemberian
jamaah ini kita berikan saja pada Nurni.”
“Terserah Tuan saja. Tapi apa kata jamaah nanti?”
Tidak ada pendapat yang jelas dari istrinya. Jumin makin tertunduk mencoba memutar
otaknya untuk mencapai putusan. Teringat lagi betapa setiap kali ceramah di surau-surau
selalu ia tegaskan pada jamaah kalau menuntut ilmu itu wajib hukumnya baik laki-laki atau
perempuan. Menuntut ilmu itu tidak mengenal waktu, dari buaian sampai ke liang lahat.
Menuntut ilmu itu tidak mengenal ruang. Tuntutlah ia sekalipun ke negeri Cina.
Jumin tiba-tiba tersenyum. Bibir coklat dan basahnya kembali seperti ditarik ke kiri
dan ke kanan. Ia dapat keputusan. Kebutuhan kuliah Nurni lebih penting dari kebutuhannya
akan gigi palsu. Berminggu-minggu kemudian, Jumin bin Kahwaini tetap mengisi ceramah di
surau-surau. Namun ketika memberikan ceramah di surau jamaah yang menyumbangkan
uang pembeli gigi palsu untuknya, Jumin sangat gentar. Sebisa mungkin, ia berusaha tetap
tersenyum dan tampil seperti biasanya. Tapi, sungguh, ia tidak bisa menatap mata jamaah
yang memberinya sumbangan itu. Berpasang-pasang mata tersebut jelas menyimpan tanya,
kenapa ia masih belum juga membeli gigi palsu.

Anda mungkin juga menyukai