Kakakku sulung sudah berkeluarga sejak aku masih duduk di SD. Dia bekerja sebagai sopir. Kuliahnya
terhenti sebelum tahun pertama selesai. Kakak kedua perempuan lebih berhasil menjadi penjual makanan
matangan. Suaminya adalah tukang becak. Setelah selesai shalat asar, setiap sore dia menyorong
gerobak ke pinggir jalan, ditinggal di sana. Lalu iparku balik lagi sambil mengusung dadangan bersama
istrinya. Dengan cara demikian, sekarang dua anak mereka bersekolah di akademi akuntansi dan
informatika, yang seorang di kelas tertinggi SMA. Saudara kandung yang tepat di atasku tidak lulus
SMP, bekerja di bengkel. Bisa dikatakan hidupnya berhasil karena mampu membeli tiga kendaraan yang
disewakan sebagai angkutan. Kadang terdengar berita dia ditipu sopir yang dipekerjakannya. Tapi di
depan keluarga, dia tampak tenang saja, selalu mampu mengatasi semua kesulitannya.
Aku sendiri, mungkin karena aku anak perempuan bungsu, maka aku lebih senang bermain dengan limbah
apa pun yang terdapat di lantai di ruangan menjahit dan menggunting aneka bahan. Ketika duduk di taman
kanak-kanak, aku memberikan sebuah bantalan tempat mencocok jarum berbentuk ikan kepada ibuku. Itu
adalah hadiah ulang tahunnya. Sampai sekarang, benda tersebut masih digunakan, mendapat tempat di
kotak jahitan ibu kami. Untuk seterusnya, sekolahku aman-aman saja hingga aku mampu menyelesaikan
kuliah dan menggondol gelar sarjana ekonomi. Aku sadar bahwa keluargaku sangat bangga dengan
pencapaian gelarku tersebut. Apa lagi di masa itu belum marak didesuskan orang tentang pembelian
ijazah ataupun gelar.
Setelah berunding sekeluarga, kami empat bersaudara dikirim ke seluruh penjuru Tanah Air untuk
mencari kemungkinan pengembangan, baik kemitraan ataupun kerja sama di bidang niaga kerajinan.
Masing-masing diberi sejumlah uang, dan kami disuruh memilih sendiri ke mana tujuan kami. Setiap hari
Kamis harus mencatat semua pengeluaran secara teliti. Seorang dari kami yang dianggap paling berhasil
akan menerima tanggung jawab tiga toko bersama atelir pengrajinnya sekalian.
Ternyata kakak-kakakku tidak menggerutu menerima tugas itu. Mereka mempunyai hubungan atau teman
bekas sekolah yang tersebar di berbagai kota Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Bahkan kakakku
perempuan, yang kelihatannya tidak keluar dari lingkungannya, langsung berkata akan ke Bandar
Lampung, mencari kemungkinan kerja sama dengan sebuah toko di sana. Rupanya hanya diriku yang
bingung ke mana harus pergi. Aku tidak begitu pandai bergaul. Bekas teman-teman sekolah atau kuliah
tidak ada yang bisa kuandalkan. Selain yang tinggal sekota, tidak kuketahui di mana mereka lainnya
menetap.
Setelah berpuasa dan berdoa menuruti ajaran orangtua, aku menetapkan tujuan: Bali. Orangtuaku hanya
diam mendengar itu. Kakak-kakakku tertawa atau tersenyum tanpa kuketahui apa maknanya. Di waktu
itu, pariwisata baru sayup-sayup menunjukkan pengembangannya. Walaupun di Bali dibikin aneka
kerajinan sebagai benda kenang-kenangan, apa salahnya jika kami kirim pula hasil dari Bantul. Siapa tahu
dengan keberuntungan dan nasib baik, aku akan menemukan mitra sejajar yang bisa diajak bekerja sama
dalam hal pemasaran produk kami.
Wahyu Ilahi ternyata tidak dapat diabaikan. Aku kembali dari perjalananku dua pekan kemudian bersama
seorang pemuda. Juga kemungkinan dapat mengirim ratusan mungkin ribuan benda dagangan ke berbagai
kios dan toko di Pantai Kuta serta sebuah toko eksklusif di Ubud. Setelah masa tunangan beberapa
bulan, aku dinikahi seorang anak pemilik sebuah restoran di Sanur. Menurut adat, lebih dulu aku diangkat
menjadi anak oleh seorang pegawai rumah makan itu yang berkasta sudra supaya dapat kawin dengan
upacara Hindu Bali.
Kulewati berbagai cobaan yang menggoyahkan keteguhan batinku. Terus terang, gelombang dan alun yang
melanda bahtera kehidupanku nyaris meluluhlantakkan ketegaranku. Aku mensyukuri kebebasan ibuku
sebagai perempuan Jawa dalam mengatur rutinitas keseharian, namun tidak membosankan. Yang
dinamakan aturan ini-itu sehubungan dengan tradisi Jawa tidak terlalu mengekang atau menyita waktu.
Terjun bebas tanpa paksaan ke lingkungan tradisi dan rutinitas sehari-hari di Bali, aku hampir kehabisan
napas karena kekurangan waktu ataupun ruang gerak. Semua serba upacara. Semua serba penyiapan
sesaji. Memang benar aku belajar banyak. Aku menyukai serba-neka ajaran menganyam serta mendekor
sesaji. Tapi, aku tidak kuasa hadir di dunia ini hanya untuk melakukan hal-hal tersebut. Tekanan lebihlebih datang dari mertuaku perempuan. Dia menginginkan aku mengganti kedudukannya kelak sebagai
tetua wanita dalam keluarga. Padahal ada dua menantu perempuan lain. Semua impitan keharusan untuk
melaksanakan upacara itu membenihkan kerikil-kerikil di dada, hingga pada akhirnya membentuk satu
bongkahan yang mengimpit pernapasanku. Untunglah aku masih sadar bahwa aku sedang melayang-layang
di ambang stres. Lalu kuputuskan untuk bertindak demi kesehatan rohani dan keutuhan kepribadianku
sendiri.
Aku purik 2). Satu anak perempuan yang sudah sekolah kutinggal, seorang balita dan bayi kubawa. Satu
bulan penuh aku berkeras-kepala tidak pulang ke rumah tanggaku.
Akhirnya, suami menjemput dan berkata bahwa ibunya menyetujui semua keinginanku untuk kurang
berperan sebagai penyelenggara aneka keperluan tradisi dan upacara. Kukatakan bahwa tidak ada
gunanya sekolahku bertahun-tahun jika akhirnya harus hanya mengurusi upacara-upacara yang
sebenarnya dapat diserahkan kepada orang lain. Bukannya aku merendahkan ritual tersebut! Waktuku
memang untuk keluarga, namun aku juga mempunyai tanggung jawab perusahaan yang di masa itu sudah
diserahkan total kepadaku oleh orangtua dan kakak-kakakku. Setiap akhir tahun, mereka tinggal
menerima bagian keuntungannya saja.
Pengalaman itu bisa dikatakan ringan jika didengar. Tapi bagi yang menjalani, merupakan tahun-tahun
penuh tekanan. Sebab, yang disebut upacara di Bali nyaris terjadi setiap hari setiap saat. Sedangkan
perempuan adalah tiang utama bagi pelaksanaan tradisi karena merekalah yang menyiapkan serba
uborampe 2)-nya.
Kini di usia yang mendekati enam puluh tahun, aku mendapat ajaran lain, yaitu bagaimana mengendalikan
perasaan sebagai seorang nenek. Aku tidak dihadapkan kepada cucuku, melainkan kepada ibu si cucu itu.
Anak terkejut. Mentalku tidak siap untuk itu. Di sekolah dan perguruan tinggi aku tidak pernah
mendapat pelajaran bagaimana menjadi seorang nenek.
Anak sulungku yang biasanya tidak membantah atau mengguruiku di waktu-waktu sebelumnya, kini
setelah tinggal di rumahnya sendiri, dapat dikatakan dia menggelincir lepas dari sela-sela jari tanganku.
Sewaktu dia melahirkan, aku diminta datang untuk menemani di klinik, lalu mendampingi sebagai ibu baru
di rumahnya. Karena suaminya orang Jawa, selamatan yang kujalankan adalah brokohan. Secara
sederhana, kami mengirim nasi beserta sayuran bumbu urap 3) dengan kerupuk dan gereh 4) layur ke
lingkungan tetangga maupun teman dekat.
Selama selapan 5) bisa dikatakan beberapa kali aku mondar-mandir memantau keadaan anakku dan
bayinya. Tak tersirat gejala-gejala kepemilikannya yang ekstrem mengenai anaknya. Tiga bulan kemudian
mereka berangkat ke Australia di mana si suami akan meneruskan belajar. Di waktu itu pun, belum
terlihat tanda-tanda kebengisan anak sulungku terhadapku.
Aku percaya bahwa mempunyai cucu adalah impian semua nenek sedunia. Setelah begitu lama tidak
menggendong atau menimang bahkan memandikan bayi, tentu saja aku ingin sekali melakukannya. Apalagi
cucuku sendiri, manusia mungil yang keluar dari rongga perut anakku perempuan yang dulu pada waktunya
juga keluar dari badanku.
Keesokan hari dari kedatanganku, setelah mendapat berbagai indoktrinasi mengenai aturan dalam
rumahnya, aku mendapat teguran lagi,
Kalau mengeringkan badan Puspa tidak begitu, Bu. Mana, biar aku saja! Ibu kan sudah memandikan! Biar
sekarang kutangani. dengan gerakan setengah merebut, anakku mendesakku ke samping.
Aku diam, mencari kesibukan dengan membenahi barang-barang, ke kamar mandi akan membuang air dari
wadah.
Sudah biarkan, Bu! Biar kukerjakan nanti! Ibu tidak tahu tempat benda-benda! dari jauh anakku
berseru menggangguku dengan perintah-nya.
Sewaktu tiba saat menyuapi si bayi, aku tidak mau mengalah. Sebagaimana tadi dia merebut kain handuk
dari tanganku, aku setengah memaksa mengambil mangkuk makanan cucuku. Bayi usia delapan bulan sudah
diberi makanan agak ketat. Tidak seperti ibunya yang dulu kuberi makan pisang dicampur nasi lembek,
cucuku diberi makanan spesial untuk bayi yang dijual di toko-toko tertentu.
Didudukkan yang tegak lho, Bu. Jangan sembarangan menyuapinya! Nanti dia tersedak!
Nyaris kujawab: aku suda berpengalaman menyuap bayi-bayi lain, termasuk kamu. Tapi aku berhasil
mendinginkan kuping, berusaha mengabaikan si ibu sekaligus anak yang maunya sok paling tahu itu.
Selesai memberi makan, ketika ibunya mandi, kumanfaatkan waktu bersama cucuku sebaik mungkin.
Untuk mengeluarkan udara dari perutnya, dia kudekap ke arah bahu dalam posisi tegak. Aku berjalan ke
sana kemari, singgah ke depan jendela besar yang memantulkan bayangan kami berdua di kacanya.
Walaupun yang tampak hanya bayangan punggung si bayi dan wajahku, aku puas melihat diriku memeluk
cucu. Kuajak dia berbicara, kuayun-ayunkan tubuhku. Dan sewaktu sendawa sudah keluar, kugendong dia
dengan cara semestinya, melekat di dada menghadap ke depan sambil kami berpandangan. Aku terus
mengucapkan kata-kata apa saja agar dia mendengar suaraku, agar menerka nadaku bahwa aku ingin
bersahabat dengan dia.
Karena menerima sambutan anakku yang tidak menyenangkan itu, aku ingin mempersingkat kunjunganku.
Di saat aku sedang menimbang-nimbang keputusanku, adikku menelepon memberi tahu bahwa ibu kami
masuk rumah sakit. Ini adalah yang kedua kalinya selama sebulan ibu harus diopname. Jadi aku akan
segera pulang.
Barangkali memang harus demikian. Setiap orangtua menganggap dirinya yang paling tahu, yang paling
kuasa menentukan segalanya, padahal kenyataannya masih ada yang lebih kuasa lagi, yaitu Tuhan. Jika
sekarang anakku mengira dia berhak melarangku berbuat sesuatu terhadap anaknya, cucuku, mungkin dia
benar. Lingkungannya telah menempanya bersikap begitu. Aku hanya seorang nenek, sedangkan dia
adalah ibu bagi anaknya.
Pengalaman ini harus kucermati sebagai satu pelajaran guna menyambut kelahiran cucu-cucuku lainnya.
Untuk kesekian kalinya kunyatakan bahwa belajar tidak ada batasan waktu dan usia.
1) segan
2) istri pulang ke rumah orangtua, tidak mau kembali sebelum suami datang dan berunding hingga
mencapai satu kesepakatan.
3) pernik-pernik keperluan
4) ikan asing
5) 40 hari
4) Latar / Setting :