Anda di halaman 1dari 258

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/321996261

Perencanaan Penggunaan Lahan

Book · January 2017

CITATIONS READS

0 325

1 author:

Santun R.P. Sitorus


Bogor Agricultural University
42 PUBLICATIONS   22 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

the DGHE, Ministry of Research, Technology and Higher Education, Republic of Indonesia for financial support under the BPPS program
(2604.E4.4/2012) and doctoral research grant (CN: 431.UN.6.3.1/ PL/2016). View project

Land Use Change and Prediction View project

All content following this page was uploaded by Santun R.P. Sitorus on 22 December 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PERENCANAAN
PENGGUNAAN
LAHAN
PERENCANAAN
PENGGUNAAN
LAHAN
Santun R.P. Sitorus

Penerbit IPB Press


IPB Science Techno Park,
Kota Bogor - Indonesia

C1/11.2016
Judul Buku:
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN
Penulis:
Santun R.P. Sitorus
Editor:
Rifat Y.Y. Maromon
Yoni Elviandri
Desain Sampul dan Penata Isi:
Rifat Y.Y. Maromon
M Ade Nurdiansyah
Korektor:
Atika Mayang Sari
Jumlah Halaman:
243+14 Halaman Romawi
Edisi/Cetakan:
Cetakan Pertama, November 2016

PT Penerbit IPB Press


Anggota IKAPI
IPB Science Techno Park
Jl. Taman Kencana No. 3, Bogor 16128
Telp. 0251 - 8355 158 E-mail: ipbpress@ymail.com

ISBN: 978-979-493-000-0

Dicetak oleh IPB Press Printing, Bogor - Indonesia


Isi di Luar Tanggung Jawab Percetakan

© 2016, HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit
SAMBUTAN
Rektor Institut Pertanian Bogor

Lahan merupakan sumberdaya alam yang memiliki fungsi sangat luas dalam
memenuhi kebutuhan manusia. Sifat, karakteristik dan kualitas sumberdaya
lahan merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam proses perencanaan
penggunaan lahan. Perencanaan Pengggunaan Lahan saat ini mendapat perhatian
utama akibat semakin langkanya ketersediaan lahan dan banyaknya dorongan
konversi lahan pertanian ke non-pertanian di berbagai wilayah, baik di wilayah
perdesaan, di wilayah perkotaan di Indonesia, maupun diberbagai negara di
dunia.
Perencanaan penggunaan lahan dapat memberikan informasi tentang
lahan yang berpotensi dikembangkan untuk berbagai penggunaan berdasarkan
telaahan ilmiah dengan mempertimbangkan pengalokasian ruang pada Rencana
Tata Ruang Wilayah mulai dari tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota,
baik di kawasan perdesaan maupun perkotaan. Rencana Pengggunaan Lahan dan
Rencana Tata Ruang Wilayah dapat digunakan sebagai pedoman dalam optimasi
penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang wilayah secara berkelanjutan.
Kami sangat mendukung Penulis, Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus
yang telah menyusun buku Perencanaan Penggunaan Lahan ini. Dukungan
dan kerjasama dari berbagai pakar lainnya khususnya di bidang Perencanaan
Pertanian, Perencanaan Pengembangan Wilayah, Perencanaan Wilayah Kota
dan Perdesaan, Perencanaan Tata Ruang dan Pengelolaan Lingkungan sangat
diperlukan untuk meningkatkan ketepatan penggunaan lahan untuk berbagai
bidang dan kegiatan usaha ekonomi. Akhirnya, kami berharap semoga gagasan
dan hasil jerih payah seorang Guru Besar kami ini dapat diterima, dimanfaatkan,
dan disebarluaskan serta mendapat dukungan dari semua lapisan masyarakat dan
pihak yang berkepentingan.
Bogor, November 2016
Rektor Institut Pertanian

Prof. Dr. Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc.


vi | Perencanaan Penggunaan Lahan

KATA PENGANTAR
Buku ini disusun berdasarkan materi kuliah Perencanaan Penggunaan Lahan
di Sekolah Pascasarjana dan Perencanaan Tata Ruang dan Penatagunaan Lahan
Program Pendidikan Sarjana di Fakultas Pertanian IPB, dimaksudkan sebagai
suatu sumber informasi dalam memahami berbagai aspek yang berkaitan dengan
penggunaan lahan dan perencanaan penggunaan lahan.
Buku ini paling tidak mempunyai lima tujuan utama yaitu : (1) memberikan
gambaran yang menyeluruh tentang berbagai aspek penggunaan lahan dan
konversi lahan, (2) memperkenalkan konsep dan pendekatan dalam inventarisasi
berbagai bentuk penggunaan lahan; (3) memperkenalkan prinsip-prinsip dasar
dalam perencanaan penggunaan lahan agar lahan dapat dimanfaatkan secara
efisien dan berkesinambungan, (4) memperkenalkan berbagai aspek peraturan
perundangan terkait dengan penggunaan lahan dan (5) memperkenalkan
manfaat rencana penggunaan lahan untuk berbagai keperluan dan perencanaan
penggunaan lahan di beberapa negara.
Buku ini merupakan Edisi Pertama dan direncanakan secara bertahap akan
terus dilengkapi dan disempurnakan, baik dari segi isi maupun penyajiannya.
Oleh sebab itu, saran dan kritik membangun dari pemakai sangat diharapkan.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan dorongan moril kepada penulis hingga tersusunnya
buku ini. Kepada Saudari Dian Ayu Ira Puspita, SE yang telah meluangkan waktu
mengetik naskah awal buku ini disampaikan penghargaan dan terima kasih.
Demikian juga kepada saudari Nia Audiah dan Tuti Yuneliah yang melakukan
penyempurnaan naskah akhir serta saudara Rifat Y. Y. Maromon, ST yang
melakukan lay out naskah ini disampaikan penghargaan dan terima kasih.
Semoga buku ini dapat mencapai sasarannya sekaligus dapat membantu
praktisi dalam menyusun rencana penggunaan lahan wilayah dan mahasiswa
untuk mempelajari materi kuliah Perencanaan Penggunaan Lahan di Sekolah
Pascasarjana IPB dan Perencanaan Tata Ruang dan Penatagunaan Lahan di
Program Pendidikan Sarjana di Fakultas Pertanian IPB.

Bogor, November 2016

Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus


DAFTAR ISI

SAMBUTAN.............................................................................................. v
KATA PENGANTAR............................................................................... vi
DAFTAR ISI............................................................................................ vii
DAFTAR TABEL...................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.1 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Pembangunan
Berkelanjutan....................................................................................... 2
1.2 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Tujuan
Pembangunan....................................................................................... 5
1.3 Penggunaan Lahan dan Kepemilikan Lahan-Dua Aspek
Penting untuk Pembangunan................................................................ 6

BAB II PENGGUNAAN LAHAN........................................................... 13


2.1 Pengertian Ruang Lingkup.................................................................. 13
2.2 Tipe Penggunaan Lahan...................................................................... 19
. 2.2.1 Tipe Penggunaan Lahan Pertanian............................................ 22
. 2.2.2 Tipe Penggunaan Lahan Non Pertanian.................................... 29

BAB III SURVEI PENGGUNAAN LAHAN........................................... 31


3.1 Survei Penggunaan Lahan di Inggris.................................................... 32
3.2 Survei Penggunaan Lahan di Amerika Serikat..................................... 39
3.3 Survei Penggunaan Lahan di India...................................................... 41
3.4 Survei Penggunaan Lahan di Indonesia............................................... 45
viii | Perencanaan Penggunaan Lahan

BAB IV TEKNIK SURVEI DAN MODEL SISTEM


INFORMASI PENGGUNAAN LAHAN.......................................59
4.1 Teknik Survei Penggunaan Lahan.......................................................... 59
4.2 Model Sistem Informasi Penggunaan Lahan........................................... 62

BAB V PERMASALAHAN DALAM PENGGUNAAN LAHAN................. 67


5.1 Permasalahan Umum Penggunaan Lahan............................................... 67
BAB VI KONVERSI LAHAN PERTANIAN DAN MULTIFUNGSI
LAHAN PERTANIAN.................................................................... 75
6.1 Konversi Lahan Pertanian...................................................................... 75
6.2 Intensitas dan Laju Konversi Lahan Pertanian........................................ 79
6.3 Multifungsi Lahan Pertanian.................................................................. 82
6.4 Multifungsi Lahan Pertanian Terhadap Lingkungan Biofisik................. 88
6.5 Lahan Sawah sebagai Penghasil Besar dan Proses Konversinya................ 97
6.6 Faktor–faktor Pendorong Konversi Lahan Pertanian............................ 103
6.7 Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan dan Konversi Lahan Pertanian........... 105
6.8 Fenomena Konversi Lahan dan Kerugian yang Ditimbulkannya.......... 107
6.9 Pengaruh dan Keterkaitan Konversi Lahan Pertanian Terhadap
Multifungsi Pertanian.......................................................................... 108
6.10 Faktor-faktor yang Mempengaruhi kebijakan Pengendalian
Konversi Lahan.................................................................................... 110
6.11 Aspek Hukum, Upaya Pengendalian, dan Permasalahan...................... 112
6.12 Peranan Pemerintah dan Strategi Pengendalian Konversi Lahan
untuk Mempertahankan Multifungsi Pertanian................................... 115
BAB VII PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN............................. 125
7.1 Definisi dan Tujuan.............................................................................. 125
7.2 Fungsi dan Ruang Lingkup................................................................... 130
7.3 Perencanaan Penggunaan Lahan dan Pembangunan............................. 138
7.4 Survei Tanah untuk Keperluan Perencanaan....................................... 147
Daftar Gambar | ix

7.5. Landasan Hukum dan Perundang-undangan tentang Tanah


dan Penggunaan Lahan di Indonesia.............................................. 150
BAB VIII PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN
UNTUK BERBAGAI KEPERLUAN..................................... 157
8.1 Perencanaan Penggunaan Lahan dalam Pembangunan
Pertanian......................................................................................... 157
8.2 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Transmigrasi...................... 166
8.3 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Penyusunan Rencana
Tata Ruang dan Pengembangan Wilayah........................................ 178
8.4 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Pengelolaan Sumber
Daya Alam Berkelanjutan................................................................ 181
8.5 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Perlindungan
Keanekaragaman Hayati.................................................................. 183
8.6 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Taman Nasional dan
Zona Penyangga.............................................................................. 184
8.7 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Ketahanan Pangan............. 186
8.8 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Manajemen Resiko
. Bencana.......................................................................................... 188
8.9 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Adaptasi dan Mitigasi
Perubahan Iklim.............................................................................. 190
8.10 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Pencegahan. Perencanaan Penggunaan Lah
dan Penyelesaian Konflik................................................................ 192
8.11 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Kelola Lahan yang. Perencanaan Penggun
Bertanggung Jawab......................................................................... 193
x | Perencanaan Penggunaan Lahan

BAB IX PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN BER-


KELANJUTAN DAN CONTOH PERENCANAAN
DI BEBERAPA NEGARA . ...........................................................197
9.1 Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan....................................197
9.2 Perencanaan Penggunaan Lahan di Asia Tenggara................................204
9.3 Perencanaan Penggunaan Lahan di RRT...............................................209
9.4 Perencanaan Penggunaan Lahan di Afrika Barat....................................210
9.5 Perencanaan Penggunaan Lahan di Afrika Selatan.................................212
9.6 Perencanaan Penggunaan Lahan di Amerika Latin................................213
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................215
INDEKS SUBYEK......................................................................................227
INDEKS OBYEK........................................................................................234
RIWAYAT HIDUP PENULIS....................................................................243
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Survei Penggunaan Lahan di Inggris Tahun 1931–1938............ 34


Tabel 2 Tipe Usaha Tani di Inggris Raya................................................ 37
Tabel 3 Klasifikasi Penggunaan Lahan Pedesaan pada Berbagai
Tingkat Skala............................................................................. 46
Tabel 4 Konversi Pembukaan Baru sawah di Indonesia Periode Tahun
1981–2002................................................................................ 81
Tabel 5 Neraca Lahan Sawah di Indonesia Periode 1981–1999.............. 86
Tabel 6 Luas Areal Sawah (ha) yang telah Dikonversi Menjadi
Non-sawah antara Tahun 2000–2002 di Empat Provinsi........... 87
Tabel 7 Rata-rata Erosi pada Berbagai Penggunaan Lahan di DAS
Citarum..................................................................................... 94
Tabel 8 Produksi dan Ketersediaan Beras, Tahun 1990–2001................. 99
Tabel 9 Estimasi Kehilangan Produksi Beras Akibat Konversi Lahan
Sawah....................................................................................... 103
Tabel 10 Luas Sawah dan Rencana Alih Fungsi menurut RTRW.............105
Tabel 11 Biaya Pengganti untuk Fungsi Pengendali Banjir (FPB)
Lahan Non-Sawah di DAS Citarum........................................ 106
Tabel 12 Perubahan dalam Pendapatan Perencanaan Penggunaan
Lahan di Brazil......................................................................... 146
xii | Perencanaan Penggunaan Lahan

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Skema Klasifikasi Penggunaan Lahan di India............................. 42


Gambar 2 Model Sistem Informasi Penggunaan Lahan Umum.................... 63
Gambar 3 Zonasi Tata Ruang Dampak atau Reaksi Terhadap
Perubahan Penggunaan Lahan.................................................... 70
Gambar 4 Perkembangan Lahan Pertanian dan Lahan Terlantar di
Indonesia Tahun 1986–2002...................................................... 85
Gambar 5 Perkembangan Luas Lahan Sawah di Indonesia Tahun
1963–2003................................................................................. 86
Gambar 6 Daya Air Sangga Potensial........................................................... 93
Gambar 7 Potensi Peningkatan Erosi (ribu ton) dan Sedimentasi (ribu ton)
Akibat Konversi Lahan Sawah (ha) Berlanjut di Sub DAS
Citarik......................................................................................... 95
Gambar 8 Potensi Biaya Mitigasi Erosi, Sedimen dan Kesuburan Tanah
yang Diperlukan Akibat Konversi Lahan Sawah di Sub DAS
Cítarik......................................................................................... 95
Gambar 9 Bagan Keterkaitan Kelompok Faktor yang Mempengaruhi
Konversi Lahan Pertanian......................................................... 117
Gambar 10 Hubungan antara Lima Geometri dalam Penggunaan Lahan............... 134
Gambar 11 Perencanaan Penggunaan Lahan dalam Perjalanan Waktu......... 144
Gambar 12 Mekanisme dan Prosedur Kerja dalam Penetapan Sebidang
Lahan untuk Keperluan Suatu Proyek Pembangunan
Ditinjau dari Segi Perundang-Undangan................................... 155
Daftar Gambar | xiii

Gambar 13 Rangkaian Kegiatan dalam Perencanaan Pembangunan........158


Gambar 14 Proses Perencanaan Penggunaan Lahan, Perencanaan Tata
Ruang dan Pengembangan Wilayah.....................................179
Gambar 15 Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan....................200
Gambar 16 Hubungan antara Ketiga Tingkat (level) Perencanaan
Penggunaan Lahan...............................................................204
BAB I
PENDAHULUAN

Pertambahan jumlah penduduk, peningkatan kualitas hidup, dan kesejahteraan


masyarakat berimplikasi terhadap meningkatnya berbagai kebutuhan dan fasilitas
yang semuanya membutuhkan lahan. Sementara itu, jumlah lahan relatif tetap
sehingga sering menimbulkan permasalahan dalam penggunaan lahan wilayah
perdesaan dan kota. Pada saat jumlah penduduk masih relatif sedikit, penggunaan
lahan untuk berbagai keperluan masih bisa dilakukan secara sederhana dengan
memilih lahan-lahan yang sesuai untuk suatu penggunaan tertentu yang
dibutuhkan. Sebaliknya, pada saat jumlah penduduk banyak dengan beragam
kebutuhan sesuai dengan tuntutan zaman, pengalokasian lahan sudah tidak
memungkinkan lagi dilakukan secara tradisional sehingga perlu dilakukan secara
rasional melalui kegiatan evaluasi sumberdaya lahan dan dilanjutkan dengan
perencanaan penggunaan lahan. Hal ini penting agar lahan yang jumlahnya
terbatas dapat dioptimalkan penggunaannya melalui cara yang rasional, paling
sesuai dengan sifat dan karakteristik utama lahan tersebut dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Pengalokasian lahan (ruang) selain mempertimbangkan
kesesuaian lahan dan ketersediaan lahan juga merupakan seni (arts) untuk bisa
memenuhi berbagai jenis kebutuhan pemangku kepentingan (stakeholders), baik
pemerintah, masyarakat maupun kalangan pengusaha / swasta.
Evaluasi sumberdaya lahan dapat memberikan informasi tentang lahan-lahan
yang berpotensi untuk pengembangan, yang selanjutnya dapat digunakan dalam
menyusun rencana penggunaan lahan. Hasil evaluasi lahan ini sangat dibutuhkan
sebagai landasan ilmiah dalam pengalokasian ruang pada Rencana Tata Ruang
Wilayah mulai dari tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota, baik di
kawasan perdesaan maupun perkotaan. Dengan demikian, akurasi Rencana Tata
Ruang Wilayah yang disusun akan tinggi dan dapat digunakan sebagai pedoman
dalam pemanfaatan ruang dan penggunaan lahan wilayah secara optimum dan
berkelanjutan.
2 | Perencanaan Penggunaan Lahan

1.1 Perencanaan Penggunaan Lahan Untuk


Pembangunan Berkelanjutan
Berbagai tantangan yang dihadapi wilayah perdesaan di negara berkembang
saat ini antara lain adalah mewujudkan ketahanan pangan, mitigasi dan adaptasi
terhadap perubahan iklim, melindungi keanekaragaman hayati sementara pada
saat yang sama juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi, melindungì orang-
orang dari bencana alam, mencegah, dan menyelesaikan konflik lahan serta
pembangunan lingkungan. Perencanaan penggunaan lahan merupakan salah
satu alat yang dapat membantu, karena berfokus pada pengalokasian lahan di
masa depan dan penggunaan sumberdaya oleh semua pemangku kepentingan.
Semua aktivitas manusia membutuhkan tempat untuk direalisasikan. Sementara
permintaan terhadap lahan meningkat namun ketersediaannya tetap. Oleh
karena itu, lahan menjadi semakin langka. Hasilnya adalah meningkatnya
jumlah konflik lahan dan tingkat kekerasan dari konflik ini. Jika pada tahap awal
konsensus tentang penggunaan lahan dapat disepakati oleh semua pihak yang
bertikai dan dìsetujui oleh lembaga resmi yang bertanggung jawab dan mengikat
secara hukum, maka konflik dapat dihindari atau diselesaikan.
Pada saat ini, penìngkatan pertumbuhan penduduk yang terus-menerus,
perubahan iklim, erosi dan penggurunan serta peningkatan urbanisasi
memberikan tekanan pada lahan yang subur dan sumberdaya alam lainnya. Pada
saat yang sama persaingan untuk mendapatkan daerah pertanian yang terbatas
ketersediaannya semakin meningkat, karena peningkatan permintaan pangan,
pakan ternak, bahan baku dan biomassa untuk keperluan industri serta energi
di pasar nasional dan internasional. Meningkatnya penjualan lahan dan sewa
lahan di negara-negara berkembang menggambarkan bahwa persaingan global
untuk sumberdaya lahan yang langka telah rnemperoleh dimensi baru. Negara-
negara maju dan investor swasta dari negara maju dan negara industri mulai
menguasai lahan pertanian yang luas (umumnya dengan akses ke sumberdaya
air yang cukup) di negara-negara berkembang melalui pembelian atau sewa
jangka panjang untuk areal budidaya tanaman pangan, tanaman industri, agro-
fuel atau tanaman perkebunan untuk diekspor. Secara umum, investasi besar
dalam industri, pertambangan, agro-industri, perumahan dan lain-lain demi
meningkatkan GDPs menciptakan tekanan ke penggunaan lahan pedesaan
sehingga mengarah ke konversi penggunaan lahan tradisional yang tidak dapat
balik (irreversible). Selain itu, investasi dana di lahan pertanian telah menjadi
Bab 1 Pendahuluan | 3

pilihan saat ini di pasar keuangan, sehingga meningkatkan nilai lahan. Lahan
merupakan sumberdaya yang langka, sehingga pada saat ini menjadi sebuah
usaha investasi baru yang menjanjikan.
Perencanaan penggunaan lahan telah terbukti dapat membantu menemukan
keseimbangan antara kepentingan semua pemangku kepentingan. Beberapa
contoh penggunaan lahan yang menyebabkan persaingan dan konflik antara
lain adalah: 1. Penggunaan lahan pertanian dibandingkan dengan industri,
penggunaan komersial dan perumahan; 2. Perlindungan lingkungan terhadap
produksi pertanian; 3. Pertambangan dibandingkan dengan penggunaan lahan
lainnya; 4. Budidaya tanaman agro fuel terhadap produksi pangan; 5. Produksi
bahan baku untuk produksi industri dan pembangunan ekonomi misalnya
perkebunan karet sebagai prasyarat untuk industri otomotif versus perlindungan
alam dan keberkelanjutan ekologis (misalnya pencegahan deforestasi untuk
mengurangi emisi REDD); 6. Intensifikasi pertanian tanaman pangan untuk
ekspor dibandingkan pertanian subsisten dan penggunaan lahan yang luas untuk
menjamin keamanan pangan (sering menentang hak atas lahan secara formal yang
ditentukan oleh negara dan informal lokal melegitimasi hak ulayat termasuk akses
terhadap air, hutan dan sumberdaya lainnya); 7. Perluasan daerah pemukiman,
pertanian dan infrastruktur di daerah beresiko terhadap pencegahan bencana
(konstruksi baru sering meningkatkan resiko, misalnya dengan penimbunan
yang memblokir daerah aliran air atau daerah banjir); 8. Persaingan antara
pemukim lama dan pendatang baru yang harus meninggalkan daerah asalnya
akibat kerusuhan, perubahan iklim atau bencana alam.
Perkembangan global saat ini telah rnenyebabkan terjadinya peningkatan
jumlah konflik atas lahan, perubahan penggunaan lahan, dan peningkatan
adaptasi terhadap perubahan iklim, namun disisi yang lain juga meningkatkan
pendapatan. Hal ini membutuhkan modifikasi peran perencanaan penggunaan
lahan. Perencanaan penggunaan lahan telah menjadi prasyarat utama untuk
setiap pembangunan yang bertujuan untuk keberlanjutan ekologi, ekonomi,
dan sosial. Untuk memenuhi tantangan ini, perencanaan penggunaan lahan
perlu melengkapi isinya dengan perubahan penggunaan lahan saat ini dan
menyesuaikan metode yang digunakan.
Perencanaan penggunaan lahan menyajikan pendekatan pembangunan yang
memberikan kontribusi untuk pencegahan konflik penggunaan lahan, adaptasi
penggunaan lahan dengan kondisi fisik dan ekologi, perlindungan lahan sebagai
4 | Perencanaan Penggunaan Lahan

sumberdaya alam, penggunaan lahan yang berkelanjutan dan penggunaan lahan


yang seimbang yang memenuhi semua persyaratan ekologi, ekonomi dan sosial.
Perencanaan penggunaan lahan menciptakan prakondisi yang diperlukan untuk
mencapai jenis penggunaan lahan yang ramah lingkungan, berkeadilan sosial
dan ekonomis. Hal demikian mengaktifkan proses sosial dalam pengambilan
keputusan dan membangun konsensus mengenai pemanfaatan dan perlindungan
lahan pribadi, komunal atau area publik. Inti dari perencanaan penggunaan lahan
adalah keseimbangan dalam berbagai penggunaan lahan oleh semua stakeholder
(pengguna dan mereka yang terkena dampak dari perubahan penggunaan lahan)
secara berkelanjutan. Rencana penggunaan lahan perlu diadaptasi dengan sistem
informasi lokal yang menyedíakan informasi mengenai ketersediaan lahan, hak
atas lahan dan penggunaan lahan. Hal ini dapat menciptakan transparansi dan
transparansí ini merupakan dasar penting bagi semua perencanaan lebih lanjut
dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab terhadap penggunaan
lahan.
Perencanaan penggunaan lahan dapat berkontribusi untuk menghindari
pengalihgunaan kepemilikan lahan (kadang-kadang disebut pengambil alihan
lahan) sebagai akibat dari investasi langsung oleh negara asing, investor swasta,
negara maju dan negara-negara industri baru di negara-negara berkembang, yang
akan menguasai lahan (sumberdaya air atau sumberdaya lainnya) melalui sewa
jangka panjang atau pembelian. Meskipun investasi ini dapat membuka lapangan
kerja baru, peningkatan infrastruktur dan teknologi modern, namun juga dapat
menyebabkan penguasaan lahan oleh pihak asing, kerawanan pangan lokal,
kerusakan lingkungan, dan migrasi penduduk dari desa ke kota.
Istilah pengambil alihan lahan secara eksplisit digunakan untuk kasus-kasus
di mana penduduk lokal kehilangan akses terhadap lahan. Oleh karena itu, sejauh
ini tidak semua investasi asing dapat langsung disebut sebagai pengambil alihan
lahan. Masalah kunci dari pengambil alihan lahan adalah tidak adanya partisipasi
lokal secara langsung dalam identifikasi area untuk investasi asing serta kurangnya
pengakuan hak atas kepemilikan lahan lokal oleh pemerintah pusat yang menjual
atau menyewakan lahan yang secara resmi dîsebut sebagai lahan negara. Rencana
penggunaan lahan lokal yang telah disusun secara partisipatif serta perjanjian
lokal yang diakui secara resmi meningkatkan keamanan penduduk lokal dari
pengambil alihan lahan oleh negara. Perencanaan penggunaan lahan juga dapat
digunakan sebagai platform untuk menyelesaikan konflik lahan yang terjadi dan
pembebasan lahan skala besar. Dalam hal ini, badan-badan administratif lokal
Bab 1 Pendahuluan | 5

dan perwakilan dari pemerintah pusat atau daerah dapat mengundang investor
asing untuk menegosiasikan penggunaan lahan secara bersama di daerah masing-
masing. Pemerintah pusat dan daerah dapat memainkan peran sebagai mediator
dan/atau memberikan dukungan kepada masyarakat setempat dalam negosiasi
dengan pihak investor tersebut.

1.2 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Tujuan


Pembangunan
Tujuan pembangunan yang paling relevan untuk perencanaan penggunaan
lahan saat ini adalah Millenium Development Goals (MDGs), konvensì
internasional tentang perlindungan iklim, keanekaragaman hayati, dan memerangi
penggurunan serta perjanjian internasional seperti pada Agenda 21. Agenda 21
yang dihasilkan dari Konferensi PBB tentang lingkungan dan pembangunan
(UNCED) pada tahun 1992 di Rio de Janeiro adalah dokumen internasional
pertama yang menyoroti pentingnya perencanaan penggunaan lahan untuk
pembangunan berkelanjutan. Meskipun Deklarasi Rio itu tidak mengikat secara
hukum, Agenda 21 telah diadopsi oleh banyak negara dan disesuaikan dengan
konteks khusus (pada tingkat nasional, regional/provinsi, dan lokal/kabupaten/
kota). Agenda 21 telah memberikan dorongan penting untuk perencanaan
penggunaan lahan karena fokus pada perencanaan partisipatif dan aksi di tingkat
lokal untuk mencapai pembangunan berkelanjutan
Agenda 21 merupakan konvensi yang mengikat secara hukum pada
perlindungan iklim, keanekaragaman hayati dan memerangi penggurunan.
Sementara itu, konvensi memerangi penggurunan secara eksplisit menyebabkan
pengelolaan lahan sebagai instrumen kunci untuk mencapai tujuan perencanaan
penggunaan lahan juga memiliki potensi untuk berkontribusi pada tujuan dari
dua konvensi lainnya. Perencanaan penggunaan lahan dapat berkontribusi pada
mitigasi perubahan iklim dengan mengidentifikasï area untuk perlindungan hutan
atau penghijauan serta adaptasi terhadap perubahan iklim dengan mengidentifikasi
daerah berisiko atau daerah baru yang cocok untuk produksi pertanian.
Perencanaan penggunaan lahan juga dapat berkontribusi untuk perlindungan
keanekaragaman hayati, misalnya melalui zonasi kawasan lindung.
Millenium Development Goals (MDGs) terdiri dari delapan tujuan yang harus
dicapai pada tahun 2015. Perencanaan penggunaan lahan dapat berkontribusi
6 | Perencanaan Penggunaan Lahan

untuk setidaknya tiga dari tujuan tersebut, yaitu: Tujuan 1: Memberantas


kemiskinan dan kelaparan. Perencanaan penggunaan lahan dapat berkontribusi
untuk memberantas kelaparan dengan memastikan bahwa lahan yang disediakan
cukup untuk produksi pangan. Tujuan 3: Mendorong kesetaraan gender
dan pemberdayaan perempuan. Perencanaan penggunaan lahan partisipatif
menawarkan kesempatan yang baìk untuk melibatkan perempuan dalam
perencanaan dan pengambilan keputusan, memberdayakan mereka untuk
rnengambil alih tanggung jawab dalam masyarakat dan menunjukkan bahwa ini
merupakan kontribusi yang efektif untuk pembangunan berkelanjutan. Tujuan 7:
Memastikan kelestarian lingkungan. Perencanaan penggunaan lahan adalah alat
yang sempurna untuk menyeimbangkan antara penggunaan lahan yang berbeda
dan konservasi, serta menjamin perlindungan dan rehabilitasi sumberdaya
lingkungan. Dalam perkembangan selanjutnya karena MDGs tahun 2015
sudah berakhir kemudian diganti dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development Goals /SDGs ).

1.3 Penggunaan Lahan dan Kepemilikan Lahan –


Dua Aspek Penting untuk Pembangunan
Lahan memiliki fungsi yang berbeda yang dapat berubah dari waktu
ke waktu. Orang yang berbeda mungkin lebih suka fungsi yang berbeda dan
mempertimbangkan peran lahan yang berbeda. Fungsi dasar lahan dapat diringkas
sebagai berikut (FAO/UNEP 1999):
1) Lahan merupakan gudang dari mineral dan bahan baku untuk digunakan
manusia;
2) Lahan adalah obyek dari penggunaan pertanian dan industri makanan, serat,
bahan bakar dan bahan biotik lainnya dapat diproduksi dan pusat komersial
dibangun (faktor produksi);
3) Lahan menyediakan ruang untuk pemukiman, infrastruktur sosial, teknik
dan rekreasi;
4) Lahan adalah buffer atau filter untuk polutan kimia dan gas rumah kaca;
5) Lahan menyediakan air permukaan;
6) Lahan menyediakan habitat bagi tanaman, hewan dan mikro - organisme;
7) Lahan merupakan dasar bagi mata pencaharian dan keamanan (tempat
Bab 1 Pendahuluan | 7

tinggal);
8) Lahan adalah sumber air bagi keluarga rumah tangga dan basis identitas
sosial;
9) Lahan adalah tempat keturunan dan memiliki makna spiritual/agama;
10) Lahan adalah penyimpanan bukti dan catatan sejarah atau pra-sejarah (fosil,
bukti iklim masa lalu, sisa-sisa arkeologi, dan lain-lain);
11) Lahan sebagai prasyarat untuk mewujudkan kebebasan individu;
12) Lahan adalah obyek investasi dan spekulasi;
13) Lahan adalah obyek yang harus dikenakan pajak;
14) Lahan adalah basis dari kekuasaan dan ketergantungan.
Fungsì-fungsi yang berbeda juga dapat tumpang tindih dan perlu
dipertimbangkan ketika mendefinisikan penggunaan lahan. Namun, beberapa
fungsi dapat menghìlangkan satu sama lain sementara yang lainnya memerlukan
fungsi lainnya. Jika lahan digunakan untuk mengekstrak mineral atau bahan
baku, habitat biologi umumnya rusak. Jika lahan digunakan untuk pertanian,
industri atau digunakan untuk komersial, maka lahan tambahan diperlukan
untuk infrastrukur jalan.
Konflik lahan mudah timbul karena kepentingan yang berbeda. Prioritas
individu mengenai fungsi lahan yang dimanfaatkan penggembang dan petani
sering memiliki kepentingan yang berbeda dan bersaing atas lahan sawah yang
subur. Di Indonesia, kegiatan tambang sering mengganggu penggunaan lahan
lainnya, seperti pertanian, hutan lindung, dan permukiman. Di Asia termasuk
Indonesia, pertumbuhan yang cepat dari kota-kota mempengaruhi daerah
pertanian di sekitarnya. Di wilayah Amazon, peternakan baru dan kawasan
permukiman yang terus berkembang telah merusak hutan hujan tropis. Di
banyak negara berkembang, pertanian komersial skala besar yang berorientasi
ekspor telah menggusur pertanian subsisten. Selain itu, rencana sektor yang
berbeda juga sering bertentangan satu sama lain. Perencanaan penggunaan lahan
partisipatif dapat digunakan untuk menengahi kepentingan antara kelompok
penggunaan lahan yang berbeda dan untuk membantu mengidentifikasi
kesepakatan penggunaan lahan.
Penggunaan lahan sering sejalan dengan kepemilikan lahan. Fungsi yang
berbeda dari penggunaan lahan dapat menyiratkan pemilik dan/atau pengguna
8 | Perencanaan Penggunaan Lahan

yang berbeda. Perubahan penggunaan lahan dapat mengakibatkan perpindahan


pengguna lahan saat ini. Kasus ini terjadi misalnya, ketika sebuah daerah yang
luas dikategorikan sebagai lahan pertanian komersial, yang sebelumnya digunakan
dan dimiliki oleh penduduk setempat dan lahan tersebut kemudian disewakan
kepada orang asing (investor nasional maupun asing).
Justifikasi dari sistem penguasaan lahan yang berbeda adalah alasan lain
mengapa penggunaan lahan dan kepemilikan lahan mempunyai keterkaitan
yang erat. Berhubung pluralisme hukum dan pengakuan yang rendah terhadap
hak atas lahan setempat, individu atau kelompok yang berbeda dapat mengklaim
kepemilikan atau penggunaan hak-hak atas lahan yang sama. Dengan demikian
status kepemilikan perlu dipertimbangkan sebagai bagian integral dari analisis
situasi dan pengambilan keputusan penggunaan lahan di masa depan. Beberapa
bentuk status kepemilikan adalah sebagai berikut :
• Kepemilikan Negara: Hak kekayaan dipegang oleh negara melalui beberapa
otoritas di sektor publik, tetapi sebagian dapat ditransfer ke individu
(misalnya dengan konsesi);
• Kepemilikan Pribadi: Hak kekayaan dipegang oleh individu atau badan
hukum tetapi sebagian dapat dibatasi oleh negara;
• Kepemilikan Komunal: Hak kekayaan dimiliki oleh masyarakat. Anggota
dapat menggunakan kepemilikan komunal berdasarkan pada aturan
dan prosedur yang ketat sedangkan yang non-anggota tidak dapat
menggunakan.
• Kepemilikan Akses Terbuka: Hak milik tidak ditegaskan dan Akses tidak
diatur. Banyak lahan negara yang diperlakukan sebagai akses terbuka karena
tidak adanya atau kurangnya aturan.
Di Indonesia bentuk bentuk hak kepemilikan atas tanah diatur dalam UU
No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yaitu 1, Hak
Milik, 2. Hak guna-usaha, 3. Hak guna-bangunan, 4. Hak Pakai, 5. Hak sewa,
6. Hak membuka tanah, 7. Hak memungut hasil hutan dan 8. Hak-hak lain
yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan
undang-undang dan hak-hak lain yang sifatnya sementara.
Selain itu, sebagian besar orang telah membedakan antara tiga jenis
kepemilikan (property rezim) yaitu: swasta, publik (nasional, provinsi atau
kabupaten/kota) dan milik umum atau kolektif-kepemílikan, namun sering tidak
Bab 1 Pendahuluan | 9

didefinisikan secara jelas. Hal ini terkadang disebabkan oleh adanya tumpang
tindih atau bertentangan dengan sìstem kepemilikan lahan. Kepemilikan lahan
mengacu pada yurisdiksi atau peraturan (adat, feodal, sosialis, dan lain-lain) yang
mendefinisikan hak/status kepemilikan yang ada dalam sistem yang diberikan.
Masalah timbul ketika dua atau lebih sistem digunakan berdampingan (legal
pluralisme). Hal ini dapat terjadi misalnya ketika sistem kepemilikan lahan
(tenurial) berbasis ekonomi pasar yang didefinisikan oleh hukum nasional tidak
mengakui aturan adat yang mengatur akses dan penggunaan lahan. Sementara
penduduk lokal lebih memilih untuk terus menerapkan sistem kepemilikan
mereka sendiri dan mengabaikan hukum yang formal.
Dibeberapa wilayah dapat terjadi negara mempertimbangkan lahan sebagai
lahan negara dan mengalokasikannya dalam bentuk sewa atau konsesi kepada
investor swasta, sementara masyarakat setempat menganggap lahan yang sama
sebagai hutan masyarakat yang semua penduduk dapat menggunakannya untuk
mengumpulkan kayu bakar, tanaman obat-obatan, produk non-kayu dan
lain-lain (semua yang diperlukan untuk kelangsungan hidup mereka). Sistem
kepemilikan menurut hukum adat dianggap tidak resmi, hanya karena tidak
mencerminkan undang-undang yang formal sehingga sering membuatnya tidak
sah. Sebaliknya, adat dan sistem penguasaan lahan informal lainnya sering tidak
mengindahkan legitimasi yang lebih tinggi atau sistem formal. Hal ini dalam
kenyataannya diberbagai wilayah cenderung akan berubah karena meningkatnya
penyalahgunaan wewenang oleh kepala adat. Secara tradisional dan menurut
aturan, adat bertanggung jawab atas hak alokasi lahan kepada anggota kelompok
saja. Sementara itu, banyak dari mereka sekarang menganggap mereka adalah
permilik penuh lahan dengan hak untuk menjualnya kepada orang asing. Bagi
perempuan dan petani miskin, sistem kepemilikan lahan secara hukum adat
menjadi semakin tidak dapat diandalkan. Hal ini berlaku terutama di daerah-
daerah di mana nilai lahan tinggi dan/atau terjadi peningkatan nilai lahan seperti
pada lahan yang subur dan lahan di daerah pinggiran kota.
Di daerah perdesaan terpencil, lahan kadang-kadang dianggap memiliki
akses tidak terbatas. Oleh karena itu, bisa digunakan oleh siapa saja secara gratis
dan sering lahan ini secara de facto mempunyai akses terbuka Pada kenyataannya,
lahan-lahan tersebut pada umumnya adalah milik negara. Masyarakat lokal
mungkin tidak mengetahui/menyadari bahwa lahan tersebut adalah lahan
negara sehingga lahan tersebut dikuasai oleh masyarakat lokal atau akses terbuka.
Oleh karena itu, menjadi penting bahwa negara dan masyarakat setempat perlu
10 | Perencanaan Penggunaan Lahan

bertanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya alam. Jika negara ingin tetap
bertanggungjawab atas pengelolaan lahan negara atau hutan negara, maka negara
harus memenuhi tugasnya dalam bentuk regulasi yang berkelanjutan, persediaan
dan pendaftaran yang transparan. Jika negara tidak memiliki kapasitas untuk hal
tersebut, pengelolaan sumberdaya alam ada baiknya didesentralisasikan sebagian
kepada masyarakat lokal untuk dikelola secara bersama-sama. Pengalaman
selama ini telah membuktikan bahwa kepemilikan kolektif dan pengelolaan
sumberdaya alam oleh masyarakat lokal memberikan kontribusi signifikan
terhadap pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan.
Mengingat berbagai hal di atas maka sangat penting untuk menganalisìs
pengaturan kepemilikan lahan formal dan informal ketika membahas dan
mendefinisikan penggunaan lahan terutama karena penggunaan lahan dapat
dipakai untuk penentuan siapa yang akan menggunakan lahan. Pengaturan
tersebut dapat berdampak pada akses masyarakat terhadap lahan. Perencanaan
penggunaan lahan yang berkelanjutan tidak dapat digunakan untuk mencabut
hak legitimasi seseorang untuk mengakses lahannya dan/atau pemangku
kepentingan lainnya yang memiliki hak sebelumnya (misalnya petani kecil/
penduduk lokal atau etnis minoritas setempat). Perencanaan penggunaan
lahan dengan partisipasi yang transparan dalam pengambilan keputusan dapat
menjadi alat untuk mencapai jaminan kepemilikan lahan bagi seluruh pemangku
kepentingan, termasuk kelompok marginal.
Terlepas dari kepemilikan lahan, kepemilikan sumberdaya alam lainnya
juga perlu dipertimbangkan dalam perencanaan penggunaan lahan. Hak atas air
memainkan peran penting dalam perencanaan penggunaan lahan. Ketersediaan
air menentukan kemungkinan penggunaan lahan. Sebaliknya, penentuan
penggunaan lahan tertentu dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas air atau
dapat membatasi akses ke sana. Akses masyarakat lokal terhadap hutan dan hasil
hutan juga dapat dipengaruhi oleh perencanaan penggunaan lahan dan secara
tidak sengaja bisa dapat menyebabkan berkurangnya mata pencaharian mereka.
Isu kepemilikan lahan dan sumberdaya yang perlu diperhatikan atau ditangani
selama perencanaan penggunaan lahan antara lain adalah: a). Transparansi pada
semua hak atas lahan formal dan ínformal, primer, dan sekunder dan batas-
batasnya; b). Transparansi pada semua hak formal dan informal, primer dan
sekunder atas sumberdaya alam lainnya selain lahan; c). Analisis dampak yang
diramalkan atas lahan dan sumberdaya alam berdasarkan penggunaan lahan
Bab 1 Pendahuluan | 11

saat ini dan akses terhadap lahan-lahan/sumberdaya dari wilayah tetangga;


d). Penyusunan peraturan tentang penggunaan dan akses terhadap lahan dan
sumberdaya alam lainnya; e). Demarkasi batas-batas administratif; f). Keadilan
dan prosedur yang transparan untuk pembebasan lahan dan kompensasi yang
memadai.
Penguasaan lahan dan sumberdaya alam lainnya banyak dibahas dalam
perencanaan penggunaan lahan. Kadang-kadang perencanaan penggunaan lahan
saat ini disertai dengan perumusan aturan tentang penggunaan, pengelolaan dan
akses terhadap lahan, air dan sumberdaya alam lainnya. Dalam kasus lain, seluruh
proses perencanaan penggunaan lahan difokuskan pada penggunaan lahan dan
sumberdaya alam lainnya.
Berdasarkan uraian terdahulu dapat diringkaskan bahwa inti dari perencanaan
penggunaan lahan adalah keseimbangan bersama dalam penggunaan lahan oleh
semua pemangku kepentingan (stakeholder) sehingga dapat tercapai keberlanjutan
pembangunan yang ideal. Hal ini membuat perencanaan penggunaan lahan
merupakan prasyarat utama untuk setiap pembangunan yang bertujuan untuk
keberkelanjutan ekologi, ekonomi dan sosial. Perencanaan penggunaan lahan
dapat berkontribusi untuk mencapai tujuan pembangunan terkait dengan
berbagai aspek penting seperti ketahanan pangan, mitigasi dan adaptasi terhadap
perubahan iklim, melindungi keanekaragaman hayati, pertumbuhan ekonomi
dan melindungi orang dari bencana alam. Penggunaan lahan berkaitan erat
dengan kepemilikan lahan dan perencanaan penggunaan lahan dapat menentukan
jenis penggunaan lahan yang paling sesuai secara berkelanjutan. Di sisi lain
status kepemilikan lahan (milik pribadi, publik atau umum) juga mempunyai
pengaruh terhadap lahan yang digunakan. Oleh karena itu, penggunaan lahan
sekarang (eksisting) dan sumberdaya alam lainnya seperti air, hutan dan mineral
secara berkelanjutan perlu mendapat perhatian dan ditelaah dalam perencanaan
penggunaan lahan dimasa yang akan datang.
BAB II
PENGGUNAAN LAHAN

2.1 Pengertian dan Ruang Lingkup


Penggunaan lahan (landuse) adalah merupakan setiap bentuk campur tangan
manusia terhadap sumberdaya lahan, baik yang sifatnya menetap (permanen)
atau merupakan daur (cyclic), yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhannya,
baik kebendaan maupun kejiwaan (spiritual) atau kedua-duanya (Vink 1975).
Penggunaan lahan (landuse) adalah penggunaan utama dan kedua (apabila
merupakan penggunaan berganda) dari sebidang lahan seperti lahan pertanian,
lahan hutan, padang rumput, dan sebagainya. Jadi, lebih merupakan tingkat
pemanfaatan oleh masyarakat. Dari pengertian ini dapat segera dilihat bahwa
penggunaan lahan berhubungan erat dengan aktivitas manusia dan sumberdaya
lahan.
Penggunaan lahan merupakan hasil dari upaya manusia yang sifatnya
terus menerus dalam memenuhi kebutuhannya terhadap sumberdaya lahan
yang tersedia. Oleh karena itu, penggunaan lahan sifatnya dinamis, mengikuti
perkembangan kehidupan manusia dan budayanya.
Dari berbagai sumberdaya alam, beberapa diantaranya misalnya iklim, tidak
dapat segera dipengaruhi oleh campur tangan manusia, sehingga cenderung
sifatnya lebih stabil. Sumberdaya alam lainnya, seperti tanah, air dan vegetasi
segera dapat dipengaruhi oleh campur tangan manusia, sehingga cenderung
bersifat mudah berubah atau tidak stabil. Laju pembangunan yang pesat di segala
bidang dalam dekade terakhir ini sangat mempengaruhi terhadap penggunaan
lahan di Indonesia.
Informasi tentang penggunaan lahan terutama yang menyangkut jenis
dan intensitasnya diperlukan dalam penilaian potensi suatu lahan. Di sebagian
besar pedesaan yang berpenduduk padat di Indonesia dan Asia pada umumnya
telah menunjukkan terganggunya keseimbangan antara manusia dan lahan atau
sumberdaya lingkungannya. Berbagai fakta tentang ketidakseimbangan ini antara
lain terlihat dari kejadian-kejadian seperti kehilangan kesuburan tanah, erosi,
banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Peningkatan
laju pertambahan penduduk di kawasan ini, yang bermukim dan hidup dari
sumberdaya lahan yang tetap (fixed), menuntut adanya peningkatan secara terus
menerus jumlah produksi bahan makanan dan bobot nutrisi (nutrition density)
per satuan areal lahan. Hal ini turut mendorong petani untuk menerapkan
berbagai teknik budidaya secara intensif yang memindahkan kesuburan tanah
dalam jumlah lebih besar dalam bentuk hasil panenan, dalam upaya menghasilkan
lebih banyak bahan makanan atau sumber karbohidrat lainnya yang dapat lebih
beradaptasi pada tanah dengan tingkat kesuburan yang lebih rendah.
Pada sebagian besar lahan-lahan yang tidak diusahakan di Asia
keseimbangannya juga telah hilang atau berada dalam keadaan yang tidak
seimbang antara penggunaan yang benar dan penggunaan yang tidak tepat/ salah
(misuse) atau penggunaan yang berlebihan (overuse). Penebangan hutan yang
berlebihan dari vegetasi klimaks tidak hanya mengakibatkan kerusakan permanen
pada sumberdaya kayu, tetapi juga kehilangan kemampuannya untuk menyimpan
air yang berasal dari air hujan untuk keperluan berbagai penggunaan di bagian
bawah daerah tangkapan hujan (catchment area) tersebut (Whyte 1976).
Pembangunan dalam suatu Negara akan berpengaruh terhadap pola
penggunaan lahannya. Bahkan pada masyarakat maju dimana stabilitas baru
telah dicapai menuju suatu lingkungan yang lebih baik, upaya perubahan
dalam penggunaan lahan sering sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, dalam
membicarakan penggunaan lahan, dua hal selalu dipertimbangkan yaitu keadaan
penggunaan lahan sekarang (present landuse) dan penggunaan lahan potensial
(potential landuse). Kedua hal atau keterangan tentang keadaan penggunaan
lahan ini merupakan pokok perhatian dalam kegiatan evaluasi lahan dalam upaya
menyusun perencanaan penggunaan lahan yang rasional.
Penggunaan lahan sekarang pada dasarnya merupakan hasil dari berbagai
faktor penyebab, sebagian besar diantaranya berhubungan langsung dengan
keadaan dan jumlah sumberdaya lahan yang tersedia, dan sebagian lainnya
berhubungan dengan keadaan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat dari
Bab II Penggunaan Lahan | 15

masa yang lampau serta perkembangannya hingga sekarang. Oleh karena


itu, sangat jarang penggunaan lahan sekarang merupakan hasil pengaruh-
mempengaruhi (interplay) antara keadaan sekarang sumberdaya lahan dan
keadaan masyarakatnya.
Penggunaan lahan potensial tidak selalu sama dengan penggunaan lahan
sekarang, malahan sering berbeda dari penggunaan lahan yang sedang diusahakan.
Oleh karena itu, dalam perencanaan penggunaan lahan yang rasional, setiap
bidang lahan perlu diuji kesesuaiannya dengan berbagai tipe penggunaan lahan,
sehingga dapat diketahui berbagai alternatif tipe penggunaan lahan yang paling
sesuai menurut keadaan potensi fisik lahan tersebut.
Perencanaan pembangunan suatu bangsa pada umumnya membutuhkan
data statistik yang cukup memadai tentang berbagai sendi kehidupan, mencakup
segala aspek penting dari sumberdaya alam dan kehidupan sosial ekonominya,
sehingga dapat membantu dalam pengambilan keputusan, baik oleh pemerintah
maupun perusahaan perorangan. Hal ini juga berlaku dalam kaitannya dengan
lahan. Sejak Perang Dunia II, data lahan telah dianggap sebagai data penting dalam
perencanaan kota, perencanaan jalan raya, perencanaan jaringan transportasi dan
perencanaan pengembangan wilayah pada umumnya. Setiap rencana kota dan
wilayah yang menyeluruh mengikutsertakan data tentang penggunaan lahan
sekarang dan proyeksi penggunaan lahan pada masa mendatang.
Manfaat data atau peta penggunaan lahan tergantung dari lembaga atau
badan yang memesan dan menggunakannya. Pada umumnya badan-badan
pemerintah dan perusahaan perkebunanlah yang paling umum melakukan
survei penggunaan lahan dan yang menggunakannya. Menurut McIntyre (1972)
pemerintah dalam menaruh perhatian pada penggunaan lahan, mempunyai dua
tujuan utama. Pertama, untuk dapat memperoleh penilaian terinci sumberdaya
lahan sebagai dasar pengambilan keputusan-keputusan atau kebijakan yang
menyangkut sumberdaya tersebut. Kedua, untuk presentasi ringkasan keterangan
tentang sumberdaya lahan wilayah bagi keperluan pendidikan secara luas,
misalnya dalam bentuk atlas atau peta nasional atau provinsi dalam skala kecil.
Dalam penggunaan data lahan, berbagai masalah sering timbul terutama
disebabkan adanya perbedaan dalam konsep dan definisi yang digunakan.
Clawson dan Stewart (1965) mengidentifikasi sembilan konsep atau ide pokok
16 | Perencanaan Penggunaan Lahan

tentang lahan sebagai berikut:


1. Lokasi, atau hubungan antara sebidang lahan tertentu terhadap kutub,
ekuator, dan lautan atau benua utama. Lokasi ini merupakan dasar bagi
semua data lainnya tentang lahan, karena merupakan satu aspek yang tidak
dapat berubah dari sebidang lahan. Apabila lokasi dari sebidang lahan
diidentifikasikan secara tepat, maka berbagai data dari berbagai sumber yang
menguraikan lahan tersebut dapat diasosiasikan dengan lokasi tersebut.
2. Aktifitas pada lahan. Hal ini menyangkut penggunaan sebidang lahan
untuk berbagai keperluan. Lahan dapat digunakan misalnya untuk tanaman
pangan, perkebunan, pabrik, pemukiman, lapangan permainan, pusat
perdagangan, rekreasi, dan sebagainya.
3. Kualitas lahan alami. Kualitas lahan alami dalam pengertian ini termasuk
sifat-sifat pada permukaan dan lapisan bawah (subsurface), serta vegetasi
penutupnya. Dikenal banyak sekali kualitas lahan yang dapat dideskripsikan
atau diukur dan banyak nilai (grades atau degrees) dari masing-masing kualitas
tersebut. Pada keadaan tertentu atau untuk aktivitas tertentu, sejumlah
kualitas atau nilai dapat merupakan kritikal, yang lain hanya penting, sedang
yang lain lagi hampir tidak berarti. Secara praktis, adalah tidak mungkin
diharapkan atau kecil kemungkinan untuk mengukur semua kualitas lahan
alami pada setiap bidang lahan untuk dapat mengerti keseluruhan data yang
dikumpulkan.
4. Perbaikan pada lahan. Perbaikan pada lahan dapat berupa pendataran
(levelling), penimbunan (filling), pembuatan drainase atau perubahan-
perubahan lainnya pada lahan yang sifatnya tetap pada periode yang lama.
Pada kenyataannya tindakan perbaikan lahan erat kaitannya dengan aktivitas
pada butir 2 terdahulu. Untuk menghuni sebidang lahan dibutuhkan rumah
atau pemondokan. Demikian juga untuk perdagangan dibutuhkan kompleks
pertokoan dan sebagainya.
5. Intensitas penggunaan lahan. Hal ini menunjukkan jumlah aktivitas yang
dilakukan per satuan luasan. Dalam hal ini dikenal berbagai istilah seperti
lahan bera (idle), lahan pertanian intensif, dan sebagainya.
6. Penyakapan lahan (land tenure). Hal ini meliputi pemilikan lahan,
penggarapan lahan dan hubungan antara pemilik dan penggarap. Berbagai
bentuk penyakapan lahan dikenal di Indonesia, dimana bentuk-bentuk
Bab II Penggunaan Lahan | 17

ini sering mempengaruhi terhadap aktivitas pada lahan dan pada akhirnya
dapat mempengaruhi jenis penyakapan (tenure) yang paling tepat. Sejumlah
bentuk penyakapan dikenal dan umum digunakan dalam pertanian,
sedangkan bentuk lainnya digunakan di daerah permukiman perkotaan atau
di daerah perdagangan perkotaan (commercial areas), dan sebagainya.
7. Harga lahan, aktivitas dan kredit yang digunakan pada lahan. Berbagai
hal ini merupakan keterangan yang penting bagi ahli ekonomi seperti harga
lahan, frekuensi penjualan dan cara atau kondisi penjualan, dan bentuk
kredit yang digunakan. Sering jenis aktivitas pada lahan dapat meningkatkan
pendapatan bagi pemakai dan pemiliknya, yang akhirnya juga mempengaruhi
terhadap nilai dan harga lahan tersebut. Program dan perencanaan masa
depan atau harapan-harapan tentang aktivitas pada masa yang akan datang
pada sebidang lahan juga turut mempengaruhi terhadap harga lahan.
8. Interrelasi dalam penggunaan diantara bidang lahan yang berbeda. Di
alam, tidak ada sebidang lahan pun yang betul-betul berdiri sendiri. Faktor
luar (externalities) dari sebidang lahan umumnya mempengaruhi terhadap
aktivitas pada lahan tersebut melebihi pengaruh faktor dalam (internalities).
Dalam kehidupan ini, misalnya, kita tinggal, bekerja, berbelanja dan
bermain pada berbagai bidang lahan yang berbeda, banyak diantaranya
digunakan secara bersama-sama dengan orang lain. Interrelasi yang banyak
dan kompleks diantara bidang lahan yang berbeda tersebut memungkinkan
dilakukan hanya dengan metode transportasi barang dan orang, dan dengan
metode pertukaran pemikiran (exchanging ideas). Adanya sarana transportasi
(access) dari sebidang lahan ke bidang lahan lainnya dapat mempengaruhi
terhadap aktifitas pada lahan tersebut dan juga terhadap nilainya.
9. Interrelasi antara aktivitas pada lahan dan aktivitas sosial dan ekonomi
lainnya. Termasuk dalam hal ini antara lain pekerjaan, pendapatan, investasi
dan data lainnya.
Penggunaan lahan dapat dikelompokkan menurut berbagai cara. Secara
umum penggunaan lahan dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok yaitu: (1)
penggunaan lahan pedesaan dalam arti yang luas, termasuk pertanian, kehutanan,
cagar alam dan tempat-tempat rekreasi, (2) penggunaan lahan perkotaan dan
industri, termasuk kota, kompleks industri, jalan raya, dan pertambangan.
Dari kedua pengelompokan di atas, maka dalam uraian berikut ini, penekanan
pembahasan akan lebih berat pada penggunaan lahan pedesaan terutama dalam
18 | Perencanaan Penggunaan Lahan

kaitannya dengan penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian dalam arti yang
luas.
Penggunaan lahan perkotaan dapat dikelompokkan kedalam dua golongan
besar yaitu: penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non-pertanian
(Sitorus 2004a). Penggunaan lahan non-pertanian dapat dibedakan kedalam
penggunaan lahan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi, pertambangan,
dan sebagainya. Penggunaan lahan pertanian dibedakan dalam garis besar ke
dalam macam penggunaan lahan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditas
yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut, seperti
penggunaan lahan tegalan, sawah, kebun kopi, padang rumput, hutan produksi,
hutan lindung, padang alang-alang, dan sebagainya (Arsyad 2010).
Barlowe (1986) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi
dan faktor institusi (kelembagaan). Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian
dari sifat fisik seperti keadaan biologi, tanah, air, iklim, tumbuh tumbuhan, hewan
dan kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan,
keadaan pasar dan transportasi. Faktor institusi (kelembagaan) dicirikan oleh
hukum pertanahan, keadaan politik dan keadaan sosial ekonomi.
Selain itu, menurut Barlowe (1986) pertambahan jumlah penduduk
menuntut pertambahan terhadap makanan dan kebutuhan lain yang dapat
dihasilkan oleh sumberdaya lahan. Permintaan terhadap hasil-hasil pertanian
meningkat dengan adanya pertambahan penduduk, demikian juga permintaan
terhadap hasil non-pertanian. Pertambahan penduduk dan peningkatan
kebutuhan material, cenderung menyebabkan persaingan dan konflik diantara
pengguna lahan. Adanya persaingan tidak jarang menimbulkan pelanggaran
batas-batas penggunaan lahan, khususnya lahan pertanian yang digunakan untuk
usaha non-pertanian.
Pertambahan penduduk yang pesat dan peningkatan kesejahteraan
penduduk mengakibatkan peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman,
pertanian, industri, dan rekreasi. Keadaan tersebut menyebabkan perubahan
penggunaan lahan yang sering kurang mengikuti kaidah konservasi alam (Arifin
2002). Perubahan atau perkembangan pola penggunaan lahan dipengaruhi oleh
dua faktor utama yaitu faktor alami dan faktor manusia. Faktor alami antara lain:
tanah, air, iklim, pola musiman, landform, erosi dan kemiringan lereng. Faktor
manusia berpengaruh lebih dominan dibandingkan faktor alami dan dipengaruhi
Bab II Penggunaan Lahan | 19

oleh keadaan sosial ekonomi dan pengaruh dari luar, seperti kebijakan nasional
dan internasional (Sitorus 2004a).
Saefulhakim et al. (2000) mengemukakan bahwa pemahaman akan
perubahan penggunaan lahan pada dasarnya dapat didekati dari struktur utama
yang berkaitan langsung dengan perubahan penggunaan lahan. Secara umum
struktur yang berkaitan langsung dengan perubahan penggunaan lahan tersebut
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu (1) struktur permintaan, (2) struktur penawaran,
(3) struktur penguasaan teknologi yang berdampak pada produktivitas
sumberdaya lahan. Pemahaman ketiga struktur utama yang berkaitan langsung
dengan perubahan penggunaan lahan tersebut merupakan syarat yang diperlukan
untuk dapat memodelkan perubahan penggunaan lahan secara utuh. Permintaan
akan lahan dalam aktivitas masyarakat antara lain untuk menunjang ketersediaan
pangan, sandang, papan, amenity, dan fasilitas kehidupan dasar lain dalam
kuantitas, kualitas dan tingkat keragaman tertentu.
Kebutuhan akan lahan meningkat dari waktu ke waktu dipicu oleh
pertumbuhan penduduk, perkembangan struktur dan perekonomian masyarakat
sebagai konsekuensi logis dari hasil pembangunan. Perubahan penggunaan
lahan dapat mengacu pada 2 (dua) hal yang berbeda, yaitu: pada penggunaan
lahan sebelumnya, atau rencana ruang yang ada. Perubahan yang mengacu
pada penggunaan lahan sebelumnya adalah suatu penggunaan baru atas lahan
yang berbeda dengan penggunaan lahan sebelumnya. Perubahan yang mengacu
pada rencana tata ruang adalah penggunaan baru atas tanah (lahan) yang tidak
sesuai dengan yang ditentukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah
disahkan (Permendagri No.4/1996 tentang Pedoman Perubahan Pemanfaatan
Lahan Kota). Yunus (2000) menyatakan bahwa selain faktor ekonomi yang
menjadi penentu penggunaan lahan, masih ada faktor-faktor lain yang juga
mempengaruhi penggunaan lahan, seperti faktor sosial dan politik, tetapi faktor
ekonomi masih merupakan faktor yang dominan dan tidak dapat diabaikan
dalam setiap analisis penggunaan lahan

2.2 Tipe Penggunaan Lahan


Dalam bentuknya yang paling sederhana tipe penggunaan lahan (TPL)
didasarkan atas jenis tanaman yang diusahakan. Akan tetapi berhubung jenis
tanaman yang sama dapat diusahakan dengan berbagai bentuk pengelolaan yang
berbeda (intensif atau ekstensif), dan bentuk pengelolaan yang sama (misalnya
20 | Perencanaan Penggunaan Lahan

berpengairan teknis, pertanian campuran) dapat digunakan untuk jenis tanaman


yang berbeda, maka pendekatan dalam penentuan tipe penggunaan lahan
dengan hanya berdasarkan jenis tanaman atau bentuk pengelolaan secara sendiri-
sendiri dianggap kurang sempurna. Untuk karakterisasi penggunaan lahan, baik
sistem pengelolaan maupun jenis tanaman yang diusahakan kedua-duanya sama
pentingnya.
Tipe penggunaan lahan dapat ditetapkan pada berbagai tingkat generalisasi,
tergantung pada skala survei dan tahapan dalam prosedur perencanaan. Selama
pre-proyek, alternatif tipe penggunaan lahan menggambarkan perbedaan secara
umum dalam penggunaan lahan (misalnya, pertanian tadah hujan, pertanian
beririgasi, hortikultur, hutan, padang rumput, dan sebagainya). Pada tahapan
tinjau dan terutama tahap rinci/ detail berikutnya, definisi yang digunakan akan
lebih terinci dengan mengikutsertakan keterangan tentang jenis tanaman yang
diusahakan, teknik budidaya atau bercocok tanam yang digunakan dan dugaan
masukan penting yang akan diberikan dalam hubungannya dengan pengelolaan
lahan dan usahatani.
Semua tipe penggunaan lahan pada dasarnya dapat dicirikan dengan catatan
tentang berbagai keterangan berikut: (1) tujuan penggunaan lahan, (2) jenis
tanaman atau ternak, (3) modal yang diinvestasikan untuk keperluan jangka
pendek dan jangka menengah, (5) masukan tahunan yang diperlukan untuk
pemeliharaan dan produksi, (6) hubungan atau struktur sosial, ekonomi, budaya
dan kelembagaan dimana penggunaan lahan tersebut dilakukan (Vink 1975).
Secara keseluruhan, keenam keterangan tersebut sama pentingnya dan semuanya
harus digunakan dalam mencirikan setiap Tipe Penggunaan Lahan.
Tujuan penggunaan lahan biasanya merupakan keterangan yang pertama
sekali diuraikan. Penggunaan lahan pedesaan secara umum dapat dikelompokkan
ke dalam dua kelompok, yaitu: (1) penggunaan lahan pertanian, dan (2)
penggunaan lahan bukan-pertanian (non-agricultural land use). Tujuan utama
penggunaan lahan pertanian adalah untuk memperoleh bahan makanan atau
keperluan lainnya dari hasil tanaman pertanian atau hasil ternak. Penggunaan
lahan bukan-pertanian bertujuan untuk memperoleh sesuatu yang diperlukan,
dapat berupa benda (material) atau keperluan lainnya, misalnya untuk keperluan
rekreasi. Berbagai contoh penggunaan lahan bukan-pertanian adalah lahan sebagai
sumber bahan bangunan seperti sumber pasir atau batuan, lahan pertambangan,
Bab II Penggunaan Lahan | 21

areal industri, cagar alam, rekreasi, bangunan, sarana jalan, olahraga, dan
sebagainya.
Meskipun nampaknya ada pemisahan tersebut, pada kenyataannya banyak
di antara jenis penggunaan lahan yang sebenarnya ditujukan untuk satu tujuan
utama pada kenyataannya juga melayani keperluan lainnya. Sebagai contoh,
pembukaan jalan pada umumnya ditujukan untuk membuka areal baru dari
keterisolasian dalam upaya pembangunan ekonomi daerah yang bersangkutan.
Akan tetapi sering juga sekaligus berfungsi untuk keperluan lainnya, misalnya
sebagai alat komunikasi untuk berbagai aspek budaya lainnya dan/atau untuk
keperluan rekreasi. Hal yang sama terjadi pada areal-areal perkebunan dengan
berbagai tanaman tahunan terutama teh dan karet. Walaupun sebenarnya
ditujukan untuk memperoleh produksi kedua komoditas tersebut, pada
kenyataannya juga dapat berfungsi untuk konservasi tanah di daerah-daerah
berlereng, terutama apabila disertai dengan tanaman penutup tanah dari jenis
legum.
Dalam suatu kondisi sosial, ekonomi, budaya dan kelembagaan, setiap
sistem penggunaan lahan harus menghasilkan sesuatu barang, yang dapat berupa
barang nyata atau benda, ataupun bukan benda atau barang tidak nyata yang
berfungsi dalam menentramkan kejiwaan, misalnya rekreasi. Dalam hal ini
kelihatan dengan jelas batas antara sistem pertanian biasa dan sistem penggunaan
lahan pedesaan lainnya. Sistem pertanian biasa akan selalu dapat dinyatakan
dengan jelas dalam satuan produksi serta dapat ditentukan, baik masukan (input)
maupun hasil (output). Sistem penggunaan lahan bukan-pertanian selalu dapat
dinyatakan atau ditentukan dalam istilah yang berbeda-beda. Dalam uraian
berikutnya perhatian terutama difokuskan pada tipe penggunaan lahan pertanian.
Tipe pengggunaan lahan bukan-pertanian yang berhubungan dengan pertanian,
juga akan disinggung secara sepintas.
Berbagai sifat lainnya seperti yang dikemukakan terdahulu yaitu modal
yang diinvestasikan untuk keperluan jangka menengah, jangka sedang dan
jangka pendek, dan masukan tahunan untuk pemeliharaan dan produksi. Baik
tipe penggunaan lahan pertanian maupun bukan-pertanian dapat ditentukan
dengan menggunakan terminologi ini, karena secara bersama-sama, sifat-sifat ini
menunjukkan masukan yang diperlukan untuk tiap jenis penggunaan lahan.
Investasi modal jangka panjang dalam hal ini termasuk jalan, bangunan
serta saluran-saluran drainase, irigasi, bangunan pencegah banjir dan bangunan
konservasi. Banyak diantara modal jangka panjang ini sifatnya berwawasan wilayah
22 | Perencanaan Penggunaan Lahan

sehingga dapat dikatakan menjadi bagian dari lahan itu sendiri. Bangunan yang
sama dapat digunakan baik untuk keperluan pertanian ataupun untuk keperluan
bukan-pertanian.
Investasi modal jangka pendek dan jangka menengah meliputi mesin-mesin
pertanian ataupun bangunan-bangunan kecil yang sejak awal lebih berhubungan
langsung terhadap tipe penggunaan lahan tertentu. Masukan tahunan dalam
bentuk tenaga kerja dan bahan yang diperlukan untuk pemeliharan dan produksi
dapat digunakan membedakan individu tipe penggunaan lahan.

2.2.1 Tipe Penggunaan Lahan Pertanian


Tipe penggunaan lahan pertanian dalam pengertian yang luas termasuk
kehutanan dan padang rumput. Menurut Vink (1975), tujuh faktor berikut ini
sangat bermanfaat untuk mencirikan tipe penggunaan lahan pertanian yaitu: 1)
ciri sosial dalam pengertian luas, 2) sistem infrastruktur, 3) hasil, 4) masukan
awal (modal jangka-panjang, biaya pembangunan), 5) masukan tahunan (modal
jangka-pendek), 6) intensitas tenaga kerja (labor intensity), 7) sumber, jenis dan
intensitas tenaga usahatani (farm power). Berikut ini akan diuraikan secara ringkas
ketujuh faktor tersebut.

Ciri Sosial
Berbagai ciri sosial yang mempunyai pengaruh besar terhadap tipe
penggunaan lahan dan pada tingkat pengelolaan dalam tipe tertentu adalah:
sistem penyakapan lahan (land tenure); sistem sosial dan administrasi lainnya
yang berhubungan langsung pada penggunaan lahan (misalnya sistem warisan,
sistem subak di Bali); ukuran usahatani; dan tingkat pembangunan budaya.
Ukuran usahatani dalam keadaan tertentu mencirikan tipe penggunaan
lahan. Sebagai contoh, produksi gabah/padi di sebagian kawasan Asia Tenggara
umumnya dilakukan pada areal usahatani yang relatif sempit (sekitar satu
hektar atau kurang) terdiri dari tipe penggunaan lahan yang cukup berbeda
dari produksi beras kelas menengah di daerah-daerah Asia Barat dan Eropah
Selatan, dan produksi beras yang sepenuhnya menggunakan mekanisasi pada
areal usahatani dengan luas areal ratusan hektar pada bagian lain dunia, seperti
Amerika Serikat.
Contoh lainnya adalah dengan membandingkan produksi lateks atau karet
dan teh pada usahatani keluarga dari penduduk setempat (merupakan plasma
Bab II Penggunaan Lahan | 23

dalam model PIR-Perkebunan atau PIR-BUN) dengan perusahaan perkebunan,


baik yang dikelola negara atau swasta, yang umumnya dengan areal cukup luas
(merupakan inti dalam model PIR-BUN).
Tingkat perkembangan kebudayaan petani secara umum juga mempengaruhi
tipe penggunaan lahan. Tingkat perkembangan kebudayaan ini dapat
dikelompokkan secara garis besar, misalnya antara petani yang buta huruf dengan
yang melek huruf atau yang bisa membaca dan menulis, sehingga dapat menyerap
keterangan-keterangan yang tersedia tentang metode penggunaan lahan yang
tepat. Kesemuanya ini dapat mempengaruhi terhadap tingkat pengelolaan yang
dilakukan dalam tipe penggunaan lahan.
Tingkat pengelolaan merupakan tindakan pengelolaan yang dilakukan
petani atau kelompok petani di suatu wilayah. Tiga contoh pengelompokan
tingkat pengelolaan berturut-turut adalah : (1) Soil Survey Staff (1951) terdiri
dari: buruk (tingkat 1), rata-rata atau sedang (tingkat 2), dan maju (tingkat 3);
(2) Young (1973) mengelompokkan ke dalam pengelolaan biasa (tingkat 1),
pengelolaan maju (tingkat 2) dan pengelolaan optimum (tingkat 3); dan (3)
Young dan Goldsmith (1977) berupa tingkat pengelolaan tradisional, sederhana
dan maju. Apabila memungkinkan, sebaiknya pengelompokan secara luas ini
digantikan dengan keterangan tentang jumlah masukan yang diberikan, termasuk
cara dan waktu pemberiannya.

Sistem Infrastruktur
Sistem infrastruktur mempunyai dampak yang cukup besar terhadap
penggunaan lahan tanpa secara jelas dapat digunakan sebagai kriteria dalam
menentukan tipe penggunaan lahan. Misalnya, jalan dan sistem komunikasi
lainnya, meskipun tidak mempunyai hubungan langsung dengan tipe
penggunaan lahan, tetapi dengan adanya jalan dan sarana komunikasi lainnya
akan memberikan fasilitas yang lebih baik dalam pengangkutan hasil-hasil
pertanian dari daerah tersebut.
Sistem infrastruktur lainnya seperti saluran irigasi, tanggul, dam dan
sebagainya yang mempunyai pengaruh langsung terhadap pengelolaan air dapat
berpengaruh langsung terhadap beberapa tipe penggunaan lahan dan dapat
digunakan sebagai sifat penentu dalam menentukan tipe tertentu. Pembangunan
sistem saluran drainase di daerah pasang surut yang sering tergenang air misalnya
memberikan kemungkinan terhadap pelaksanaan sistem penggunaan lahan
intensif untuk produksi hasil pertanian. Demikian juga halnya sistem infrastruktur
sangat penting dalam usaha pertanian beririgasi. Ketersediaan sistem irigasi teknis
24 | Perencanaan Penggunaan Lahan

dipadukan dengan sistem drainase yang sesuai merupakan faktor penentu utama
terhadap bentuk tipe penggunaan lahan di sebagian besar wilayah tropis Asia dan
Asia Barat, termasuk di Indonesia.

Hasil
Hasil pada umumnya merupakan faktor utama yang digunakan untuk
mencirikan tipe-tipe penggunaan lahan. Meskipun demikian, sering hasil
harus dikombinasikan dengan faktor-faktor lain dalam membedakan tipe-tipe
penggunaan lahan. Seperti telah dikemukakan terdahulu, tipe penggunaan
lahan yang menghasilkan jenis produksi atau tanaman yang sama sering berbeda
dalam semua aspek-aspek lainnya, seperti terlihat pada contoh perbedaan antara
usahatani petani atau perkebunan rakyat dengan perkebunan besar, meskipun
menghasilkan jenis komoditas perkebunan yang sama.

Masukan Awal
Masukan awal untuk tipe penggunaan lahan pertanian memegang peranan
penting dalam pengembangan lahan (land development). Biaya atau modal sebagai
investasi jangka panjang dapat sepenuhnya menentukan terhadap kelayakan suatu
proyek. Hal ini terutama penting dalam proyek-proyek baru yang memerlukan
sejumlah bangunan atau konstruksi. Pada sistem pertanian yang telah berkembang
dimana telah tersedia sebelumnya investasi infrastruktur, hal ini mungkin kurang
berpengaruh atau kurang menentukan karena biaya bangunan-bangunan tersebut
telah dilunasi dan dianggap telah merupakan bagian dari sumberdaya lahan itu
sendiri, serta diperlakukan demikian.
Kebutuhan untuk pemeliharaan secara teratur berbagai konstruksi tersebut
merupakan suatu keharusan, biasanya dipenuhi melalui masukan tahunan yang
dapat berupa tenaga kerja, bahan-bahan dan mesin-mesin. Sebagai tambahan
pada bangunan-bangunan infrastruktur, investasi modal dalam banyak tipe
penggunaan lahan biasanya termasuk bangunan-bangunan usahatani, berbagai
macam pagar, bangunan-bangunan konservasi seperti teras dan investasi
pembuatan saluran drainase. Semua hal ini dapat dipertimbangkan sebagai sifat-
sifat penciri untuk tipe penggunaan lahan.

Masukan Tahunan
Masukan tahunan berupa modal jangka pendek hampir selalu merupakan
Bab II Penggunaan Lahan | 25

faktor penting untuk mencirikan tipe penggunaan lahan. Masukan berupa


bibit atau benih, pupuk dan pestisida merupakan variabel penting, terutama
dalam hubungan dengan keadaan sumberdaya lahan yang tersedia. Kombinasi
penggunaan pupuk dan pestisida sering bukan hanya menunjukkan perubahan-
perubahan yang cukup banyak dalam pola penggunaan lahan secara keseluruhan
yang pada akhirnya menghasilkan tipe penggunaan lahan yang sama sekali
berbeda.
Masukan tahunan dalam satu tipe penggunaan lahan dapat beragam,
tergantung dari keadaan lahan. Demikian juga masukan tahunan dapat beragam
pada tanah yang berbeda dalam tipe penggunaan lahan yang sama, karena adanya
perbedaan-perbedaan, misalnya mudah atau tidaknya masukan tersebut hilang
karena bahaya erosi. Masukan tahunan berupa air irigasi sangat tergantung dari
kebutuhan air tanaman pada suatu keadaan tertentu. Hal ini erat kaitannya dengan
perbedaan jumlah kebutuhan air yang diperlukan pada setiap fase pertumbuhan
tanaman.

Intensitas Tenaga Kerja


Intensitas tenaga kerja (labor intensity) yang umumnya dinyatakan dalam
jumlah jam kerja laki-laki per hektar per tahun merupakan faktor lainnya yang
dapat digunakan untuk mencirikan tipe-tipe penggunaan lahan yang berbeda.
Angka rata-rata ini merupakan ukuran kasar, karena hal ini sangat tergantung
pada keadaan sosio-ekonomi, jenis tanaman, ukuran usahatani, dan masukan
lainnya. Intensitas tenaga kerja yang tinggi dijumpai dalam sistem hortikultura
yang canggih dalam sistem usahatani dengan menggunakan mekanisasi.
Untuk mencirikan tipe penggunaan lahan dirasakan kurang memuaskan tanpa
memberikan atau mengikutsertakan sejumlah data tentang intensitas tenaga kerja.
Akan tetapi tidaklah memungkinkan untuk dapat memberikan data yang tepat
tentang intensitas tenaga kerja dalam tiap penggunaan lahan tanpa mempelajari
secara seksama pengelolaan usahatani.
Oleh karena itu, untuk keperluan demikian perhitungan intensitas tenaga
kerja biasanya dilakukan secara sederhana yaitu dengan menghitung jumlah
orang yang bekerja pada suatu usahatani dinyatakan dalam orang per hektar.
Banyak tipe penggunaan lahan karena adanya sifat musiman dari tanaman
yang diusahakan, juga dicirikan dengan kebutuhan tenaga kerja yang tinggi
secara musiman. Sebagai contoh untuk panen padi, mengolah tanah sawah, dan
26 | Perencanaan Penggunaan Lahan

sebagainya diperlukan jumlah tenaga kerja yang relatif besar. Untuk keperluan
demikian, biasanya diatasi dengan cara bekerjasama dengan tetangga, atau
menyewa tenaga kerja yang tersedia di pedesaan (datang dari tempat lain) secara
musiman.

Sumber, jenis, dan intensitas tenaga usahatani


Sumber tenaga usahatani dapat menunjukkan perangkat peralatan pertanian
yang digunakan serta tingkat masukan modal tahunan dalam usahatani. Rangkaian
peralatan pertanian tersebut dapat menunjukkan kombinasi tindakan pengelolaan
usahatani yang digunakan pada tipe penggunaan lahan. Sumber tenaga untuk
usahatani paling tidak dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok, yaitu:
(1) traktor beroda empat, (2) mesin-mesin beroda dua dan beroda satu, (3) tenaga
ternak, dan (4) tenaga manusia. Tenaga manusia telah digolongkan terdahulu
sebagai tenaga kerja, tetapi disini diartikan sebagai petunjuk bahwa tidak ada
sumber tenaga lain yang digunakan dalam tipe penggunaan lahan tertentu di luar
tenaga manusia. Penggunaan tenaga manusia juga diartikan hanya menggunakan
seperangkat peralatan tangan sederhana seperti cangkul, babat, dan sebagainya.
Tipologi umum penggunaan lahan pertanian telah dicoba disusun secara
sistematis oleh Kostrowicky (1972 dalam Vink, 1975), dalam upaya untuk
memberikan tipologi penggunaan lahan dunia sebagai kelanjutan dari survei
penggunaan lahan dunia yang dilakukan sebelumnya. Dalam penyusunan tipologi
umum penggunaan lahan pertanian dunia, 20 variabel digunakan yang dapat
digolongkan ke dalam tiga kelompok ciri yaitu: (1) ciri pemilikan dan sosial, (2)
ciri organisasi dan teknis, dan (3) ciri produksi. Keduapuluh variabel tersebut
berturut-turut adalah: 1) ciri pemilikan dan sosial: sistem pemilikan lahan,
ukuran usahatani rata-rata; 2. Ciri organisasi dan teknis: masukan tenaga kerja,
masukan tenaga ternak, masukan tenaga mekanik, pupuk organik, pupuk kimia,
besarnya (extent) irigasi, sistem irigasi, sistem penggunaan lahan, sistem pergiliran
tanaman, intensitas pertanaman atau intensitas penggunaan lahan, sistem
pertanaman (cropping system), sistem pembiakan ternak (livestock breeding); 3.
Ciri produksi: produktivitas lahan, produktivitas tenaga kerja, tingkat dan derajat
komersialisasi (level and degree of commercialization), persentase perbandingan
produksi ternak terhadap tanaman dalam produksi kotor (gross production), dan
persentase perbandingan produksi ternak terhadap tanaman dalam produksi
komersial. Masing-masing variabel ini terdiri dari lima kelas atau simbol.
Bab II Penggunaan Lahan | 27

Tipe penggunaan lahan pertanian dunia yang dihasilkan dicirikan dengan


rumus dimana dari berbagai kelas variabel tersebut akan menghasilkan tipe
penggunaan lahan yang berbeda. Dalam hubungan ini 33 tipe model telah
dikembangkan yang dikelompokkan kedalam sejumlah tipe utama. Masing-
masing tipe utama mempunyai beberapa sub-tipe. Adapun tipe utama tersebut
adalah sebagai berikut:
I. Pertanian primitif
1. Pertanian berpindah-pindah
2. Penggembalaan ternak berpindah-pindah (nomadic herdings)
II. Pertanian tradisional
3. Pertanian yang diberakan
4. Pertanian campuran ekstensif secara berkesinambungan
5. Pertanian tidak beririgasi, dengan tenaga kerja intensif
6. Pertanian beririgasi, dengan tenaga kerja intensif
7. Pertanian tanaman semi-komersial, beririgasi, tenaga kerja intensif
8. Pertanian tanaman semi-komersial, tidak beririgasi, tenaga kerja
intensif
9. Pertanian tanaman semi-komersial, intensif rendah
10. Pertanian semi-komersial, intensif rendah, ukuran besar
III. Pertanian berorientasi pasar
11. Pertanian campuran
12. Pertanian intensif yang didominasi oleh buah-buahan dan/atau
tanaman kebun (market gardening)
13. Pertanian khusus yang didominasi dengan pembiakan ternak,
ukuran besar
14. Perkebunan
15. Pertanian khusus beririgasi
16. Pertanian khusus tanaman biji-bijian (grain crops) berukuran besar
17. Peternakan khusus ukuran besar (grazing atau ranching)
28 | Perencanaan Penggunaan Lahan

IV. Pertanian maju (socialized agriculture)


18. Pertanian campuran
19. Pertanian khusus buah-buahan dan/atau sayur-sayuran
20. Pertanian khusus tanaman industri
21. Pertanian khusus tanaman bijii-bijian
22. Peternakan atau penggembalaan khusus (specialized grazing)
23. Pertanian tanaman tidak-beririgasi, tenaga kerja intensif
24. Pertanian tanaman beririgasi, tenaga kerja intensif
Selain dari tipologi penggunaan lahan yang dikemukakan oleh Kostrowicky
tersebut, Beek dan Bennema (1972) juga mengembangkan suatu sistem tipe
penggunaan lahan, terutama untuk digunakan dalam evaluasi lahan. Sistem ini
lebih menitikberatkan pada jenis produksi dan pada jenis dan jumlah masukan
yang diberikan, serta kurang pada aspek-aspek sosio-ekonomi. Sistem ini belum
dikembangkan untuk menjangkau semua kemungkinan penggunaan lahan di
dunia. Walaupun demikian, Beek dan Bennema (1972) telah menyusun suatu
tabel contoh tipe penggunaan lahan yang secara internasional dikenal dalam
hubungannya dengan faktor penentu yang dikemukakan terdahulu yaitu hasil,
modal, tenaga usahatani, tenaga kerja, ciri sosial, dan infrastruktur.
Kedua sistem ini (Kostrowicky, serta Beek dan Bennema) pada kenyataannya
telah memberikan sumbangan yang cukup penting dalam upaya pengembangan
pendekatan yang lebih sistematik dalam mempelajari bentuk-bentuk penggunaan
lahan. Pengembangan tipologi penggunaan lahan cukup penting untuk dapat
memahami berbagai sistem yang digunakan dewasa ini serta untuk keperluan
evaluasi lahan dalam upaya pengembangan sumberdaya lahan.
Mengikuti perkembangan di atas, di Indonesia juga telah dupayakan untuk
menyusun tipe penggunaan lahan. Di antara sekian banyak Tipe Penggunaan
Lahan (TPL) yang mungkin terdapat, Soepraptohardjo dan Robinson (1975)
mengemukakan sebelas Tipe Penggunaan Lahan yang paling umum digunakan
di Indonesia sebagai berikut:
TPL-1 : Padi sawah terus menerus
TPL-2 : Padi sawah dengan tanaman palawija
TPL-3 : Tanaman palawija
Bab II Penggunaan Lahan | 29

TPL-4 : Tanaman perkebunan, dataran rendah


TPL-5 : Tanaman perkebunan, dataran tinggi
TPL-6 : Padi sawah dengan tanaman makanan ternak (forage crops)
TPL-7 : Tanaman makanan ternak terus menerus
TPL-8 : Tanaman sayur-sayuran terus menerus
TPL-9 : Karet
TPL-10 : Hutan produksi
TPL-11 : Hutan Lindung
Kesebelas Tipe Penggunaan Lahan yang dikemukakan ini diharapkan
merupakan dasar untuk pemilihan tipe lainnya yang diperlukan. Demikian juga
penggantian jenis tanaman dalam setiap Tipe Penggunaan Lahan yang terdiri
dari sistem pertanaman berganda (multiple cropping systems) dapat dilakukan
dengan mempertimbangkan kebutuhan atau persyaratan tumbuh tanaman.
Dalam perkembangannya, dalam empat dekade terakhir ini beberapa TPL
berkembang cukup pesat di Indonesia diantaranya TPL: Kelapa Sawit dan TPL:
Hutan Tanaman Industri. Kedua TPL ini perlu ditambahkan pada TPL yang
dikemukakan Soepraptohardjo dan Robinson (1975) tersebut.
Hingga sekarang ini tidak ada satupun diantara sistem klasifikasi Tipe
Penggunaan Lahan yang dianggap baku dan diterima secara internasional. Akan
tetapi beberapa Tipe Penggunaan Lahan dalam pengertian luas telah diterima
dan digunakan secara meluas. Beberapa diantaranya adalah: usahatani lahan
kering, pertanian beririgasi, hortikultura, usahatani campuran, dan padat rumput
(grazing).

2.2.2 Tipe Penggunaan Lahan Non-Pertanian


Tipe penggunaan lahan non-pertanian pada dasarnya meliputi tipe
penggunaan lahan diluar kegiatan pertanian yang telah diuraikan dalam Bab 2.2.1.,
termasuk di antaranya penggunaan lahan untuk bangunan, jalan, perumahan,
industri, perkotaan, rekreasi, cagar alam, dan lain sebagainya. Bertitik tolak dari
cakupan di atas, penggunaan lahan non-pertanian meliputi berbagai aktivitas
dengan berbagai jenis intensitas mulai dari intensitas tinggi hingga rendah dari
berbagai masukan termasuk tenaga kerja, dan modal yang digunakan.
Seperti telah dikemukakan terdahulu, karena adanya saling pengaruh-
mempengaruhi antara penggunaan lahan pertanian dengan penggunaan non-
30 | Perencanaan Penggunaan Lahan

pertanian, maka pada kesempatan ini akan diuraikan secara ringkas beberapa
bentuk penggunaan lahan non-pertanian, terutama ditinjau dari hubungannya
dan pengaruhnya pada penggunaan lahan pertanian. Beberapa diantaranya
yang penting adalah: penggunaan lahan perkotaan, penggunaan lahan kawasan
industri, sistem jaringan jalan, daerah rekreasi dan daerah konservasi atau cagar
alam.
Penggunaan lahan perkotaan dan kawasan industri serta sistem jaringan jalan
pada dasarnya berpengaruh terhadap nilai ekonomi penggunaan lahan pertanian.
Hal ini sesuai dengan prinsip yang dikemukakan oleh von Thunen, yang
menguraikan berbagai jenis penggunaan lahan pertanian yang dikelompokkan
dalam bentuk lingkaran mengelilingi kota (Chisholm 1968). Adanya penggunaan
lahan perkotaan dan industri umumnya meningkatkan taraf hidup dan nilai jual
lahan pertanian di sekitarnya. Akan tetapi sering juga menimbulkan berbagai
permasalahan sebagai akibat adanya pencemaran udara dan air pada areal
pertanian. Demikian juga halnya dengan kehadiran sistem jaringan jalan di
areal pertanian. Pembangunan jalan negara, terutama jalan tol atau jalan bebas
hambatan sering mengganggu bahkan merusak terhadap sistem jalan dan saluran
irigasi yang telah ada di daerah pertanian atau pedesaan. Bahkan kadang-kadang
dapat menyebabkan terputusnya saluran irigasi dan terputusnya hubungan antara
petani dengan lahan pertaniannya, sehingga jarak tempuh yang diperlukan untuk
mencapainya menjadi jauh lebih lama.
Penggunaan lahan untuk keperluan rekreasi dan/atau cagar alam pada
umumnya berhubungan erat dengan penggunaan lahan pertanian, karena
biasanya berhubungan dengan penggunaan lahan di daerah pedesaan. Dalam
beberapa hal memang penggunaan lahan untuk keperluan rekreasi lebih
mengarah ke perkotaan, mengingat fasilitas ini biasanya banyak dimanfaatkan
oleh penduduk kota. Cagar alam sering dapat dimanfaatkan untuk keperluan
rekreasi, sejauh tidak mengganggu terhadap lahan atau bentang lahan (landscape),
serta flora dan fauna yang sedang dilindungi. Berbagai bentuk konservasi alam
sering berpengaruh langsung terhadap lahan pertanian. Konservasi vegetasi hutan
sebagai hutan lindung misalnya, sangat diperlukan untuk pengaturan sistem tata
air pada areal pertanian yang ada di bagian hilirnya.
BAB III
SURVEI PENGGUNAAN LAHAN

Survei penggunaan lahan adalah survei atau studi yang digunakan untuk
mencatat berbagai aspek penggunaan lahan yang terdapat pada saat survei
dilakukan. Oleh karena itu, survei penggunaan lahan merupakan survei
penggunaan lahan sekarang (present landuse surveys) (Vink 1975). Akan tetapi
sering juga pengertian survei penggunaan lahan ini diartikan lebih luas lagi
yang dapat mencakup baik survei dan studi penggunaan lahan sekarang
maupun potensi penggunaan lahan dimasa mendatang (Robertson dan Stoner
1970).
Survei penggunaan lahan sekarang diperlukan dalam perencanaan
pembangunan karena dua alasan utama: (1) untuk dapat menunjukkan
berbagai jenis penggunaan lahan yang ada di lapangan beserta lokasi masing-
masing, serta memberikan perkiraan keadaan atau situasi sekarang, sering
dalam istilah produksi atau nilai (value); (2) untuk memperoleh pengertian
tentang penggunaan sekarang (present usage) lahan dalam arti yang luas sebagai
titik tolak untuk memutuskan kemungkinan-kemungkinan mengadakan
perubahan, penyempurnaan, pengembangan atau konservasi penggunaan
lahan tersebut.
Survei penggunaan lahan sekarang merupakan kegiatan yang relatif
sederhana dan dapat dilakukan sebagai pekerjaan tersendiri. Akan tetapi survei
potensi penggunaan lahan membutuhkan kegiatan yang lebih kompleks dan
harus merupakan bagian dari studi yang lebih luas. Meskipun seolah-olah
terdapat pemisahan pada kedua kegiatan survei ini, pada kenyataannya
survei dan studi tentang potensi penggunaan lahan juga mempertimbangkan
keadaan penggunaan lahan sekarang.
Survei penggunaan lahan sekarang ditujukan untuk mengumpulkan
data tentang penggunaan lahan sekarang termasuk berbagai jenis tanaman
dalam kaitannya dengan penyebaran spasialnya. Survei potensi penggunaan
32 | Perencanaan Penggunaan Lahan

lahan lebih kompleks dalam tujuan dan implementasinya. Hampir semua survei
potensi penggunaan lahan membutuhkan hasil survei tanah atau lahan sebagai
dasar dalam tahapan pertama evaluasi sumberdaya lahan. Selanjutnya, dalam
tahapan berikutnya evaluasi potensi lahan dilakukan dengan menggunakan
klasifikasi kemampuan atau kesesuaian lahan. Berbagai metode atau teknik
evaluasi sumberdaya lahan ini telah dibahas secara menyeluruh dalam berbagai
buku teks dan dapat dilihat antara lain dalam Sitorus (2004b).
Survei penggunaan lahan merupakan langkah penting dalam perencanaan
pengembangan lahan (land development planning). Dalam pelaksanaannya, survei
penggunaan lahan banyak dibantu oleh perkembangan metode-metode survei
modern, terutama penggunaan foto udara dan citra penginderaan jauh lainnya
seperti citra satelit. Dengan mengetahui semua aspek tentang keadaan sekarang,
maka perencanaan pengembangan lebih lanjut diharapkan dapat disusun dengan
baik. Keputusan-keputusan yang menyangkut perubahan dalam penggunaan
lahan sebaiknya dilakukan hanya setelah segala aspek yang berkaitan dengan
penggunaan lahan sekarang dipelajari dan diteliti secara seksama termasuk
kondisi sosial-ekonomi, budaya dan ekologik.
Permasalahan yang sering timbul dalam survei penggunaan lahan adalah
dalam penyusunan klasifikasi penggunaan lahan. McIntyre (1972) telah
mengidentifikasi permasalahan tersebut, seperti pengelompokan kegiatan
penggunaan lahan ke dalam kategori-kategori untuk dapat memberikan ringkasan
yang mudah digunakan, dan penentuan kategori-kategori dominan dalam kasus
di mana dua atau lebih kategori ditemukan.
Dalam pelaksanaan survei penggunaan lahan berbagai keragaman atau variasi
sering ditemukan. Hal ini terutama disebabkan perbedaan dalam tujuan survei
serta tempat atau negara dimana survei tersebut dilakukan. Berikut ini akan
diuraikan pelaksanaan survei penggunaan lahan di beberapa negara termasuk
Indonesia.

3.1 Survei Penggunaan Lahan di Inggris


Survei penggunaan lahan di Inggris dimulai pada tahun 1930 yang dilakukan
oleh Dudley Stamp. Tujuan utama survei pada saat itu adalah mengumpulkan
dan memetakan data penggunaan lahan untuk dapat memperoleh pengetahuan
yang lebih baik tentang geografi Inggris Raya. Menjelang akhir tahun 1934,
Bab III Survei Penggunaan Lahan | 33

hampir sembilan puluh persen dari pekerjaan lapang telah diselesaikan. Pada
permulaan perang Dunia Kedua, semua pekerjaan lapang telah diselesaikan dan
sebagian besar pekerjaan penggambaran atau kartografik dengan skala 1 : 63.360
(1 inci = 1 mil) telah selesai dikerjakan.
Adanya kebutuhan untuk memanfaatkan lahan yang dapat digarap (arable
land) untuk produksi bahan makanan selama perang, secara kebetulan telah
memberikan kesempatan pelaksanaan secara meluas survei penggunaan lahan.
Keadaan ini menyebabkan survei penggunaan lahan yang semula dianggap lebih
merupakan kegiatan latihan ilmiah berubah menjadi alat yang secara praktis dapat
digunakan oleh Komite Pangan Perang (County War Agricultural Committees)
dan departemen-departemen lainnya dalam perencanaan penyediaan pangan dan
keperluan lainnya.
Selama perang sebanyak 8.000 lembar peta telah digunakan untuk keperluan
praktis, belum terhitung penggunaan peta yang telah diterbitkan sebelumnya.
Secara berangsur-angsur pekerjaan survei penggunaan lahan menjadi semakin
diarahkan untuk penilaian produktivitas, kesuburan, dan klasifikasi lahan, sesuai
dengan keperluan Departemen Pertanian.
Selanjutnya dengan semakin pentingnya data dasar untuk perencanaan
kota dan pedesaan, maka dilakukan pengumpulan data dasar tentang tanah
dan bentang lahan. Data ini kemudian diintegrasikan ke dalam klasifikasi lahan
Inggris Raya. Untuk dapat lebih memahaminya, maka beberapa aspek dari
klasifikasi lahan tersebut diuraikan berikut ini.
Klasifikasi lahan pertama kali dikembangkan berdasarkan pengetahuan
tentang sumberdaya lahan yang sebagian besar dikumpulkan oleh ahli geografi.
Sistem ini merupakan dasar dalam tahapan pertama perencanaan penggunaan
lahan pada periode setelah perang di Inggris. Survei yang demikian sangat
dibutuhkan pada saat itu, karena organisasi atau badan survei yang bergerak
dalam mempelajari sumberdaya lahan belum berkembang dengan baik atau
sifatnya hanya berupa latihan ilmiah dalam mempelajari tanah sebagai fenomena
alami.
Keberhasilan survei penggunaan lahan yang dilakukan oleh Stamp tersebut,
selain ditentukan oleh kemampuan dan talenta yang dimiliki Stamp itu sendiri
dan kelompok kecil ilmuwan yang membantunya, juga terletak pada sejumlah
besar pekerja sukarelawan, banyak diantaranya adalah anak-anak sekolah.
34 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Dalam pelaksanaan survei tersebut, mereka diberikan petunjuk berupa leaflet


dengan legenda sederhana beserta penjelasan yang cukup jelas dan sederhana
tentang bagaimana menggunakan legenda dan bagaimana menghasilkan lembar
peta lapangan. Petunjuk tersebut juga disertai dengan contoh peta yang telah
diselesaikan. Catatan penting pada klasifikasi yang terdapat pada leaflet petunjuk
tersebut tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Survei penggunaan lahan di Inggris tahun 1931 – 1938


No. Catatan-Catatan pada Klasifikasi
1 Hutan dan lahan hutan biasanya ditandai pada peta enam-inci, tetapi
semua areal harus diperiksa. Untuk memasukkan areal yang baru
ditanami perlu dilakukan secara hati-hati. Apabila hal-hal tersebut
telah dilakukan, lahan hutan diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Hutan tinggi, pepohonan besar, cukup dekat untuk dapat


menyentuh tajuknya (crowns); juga sebutkan apakah pohon-pohon
termasuk konifera, Deciduous atau campuran.

b. Coppice, atau Coppice dengan ukuran tertentu (standard), lahan


hutan yang ditebang setiap beberapa tahun untuk pagar, tiang, dan
lain-lain.

c. Belukar (shrub), setiap perdu atau pohon yang tidak cocok untuk
ditebang

d. Hutan, ditebang dan tidak ditanami kembali. Hal ini membutuhkan


catatan tentang sifat atau keadaan sekarang.

Catatan juga harus dibuat bagi setiap hutan atau lahan hutan yang
tidak diperuntukkan sebagai penghasil kayu, seperti untuk hiasan
(Ornamental), untuk batas areal rumah (screening houses) dan kebun,
dan lain-lain. Dalam prakteknya, cara yang paling sederhana dalam
memetakan hutan atau lahan hutan pada peta lapang adalah sebagai
berikut: setiap hutan diberi tanda dengan huruf F; kemudian bedakan
sifat-sifatnya menurut klasifikasi diatas sebagai Fa, Fb, Fc, Fd.
Bab III Survei Penggunaan Lahan | 35

Tabel 1 Survei penggunaan lahan di Inggris tahun 1931 – 1938 (lanjutan)


No. Catatan-Catatan pada Klasifikasi
Kemudian bedakan konifera (c) deciduous (d), atau campuran (m),
sehingga dikenal Fac, Fbd, Fbm, dan seterusnya. Setiap lahan hutan
yang tidak diperuntukkan sebagai penghasil kayu dapat ditunjukkan
dengan menggaris bawahi simbol, seperti Fad. Kadang-kadang juga
dikemukakan dalam tanda kurung, jenis pohon utama, misalnya (oak),
(beech) dan lain-lain. Penanaman pohon untuk produksi kayu harus
diberi tanda Fa, dengan catatan ”penanaman” (plantation).
2 Padang Penggembalaan (meadow) dan rumput permanen, dalam hal
ini tidak termasuk rumput yang dirotasikan dengan tanaman
3 Lahan dapat ditanami (arable) atau lahan diolah (tilled). Dalam hal
ini termasuk rumput rotasi dan lahan bera (fallow land). Rumput
rotasi sering ditunjukkan dengan proporsi terbesar dari clover. Pada
saat sekarang dengan banyaknya lahan yang semula merupakan lahan
ditanami, lalu dikonversikan menjadi rumput permanen, sehingga
dapat memberikan keragu-raguan tentang apakah termasuk lahan
dapat ditanami atau padang penggembalaan. Dalam kasus seperti itu,
keterangan tambahan seharusnya diperoleh dari petani. Hal tambahan
yang mudah dicatat dan dapat ditambahkan pada peta adalah jenis
tanaman yang ditanam pada saat survei dilakukan. Kebun pasar (Market
Garden) adalah merupakan lahan dapat ditanami; karena merupakan
bentuk khusus pertanian maka harus diberi tanda A. Apabila cukup
jelas bahwa areal tersebut adalah kebun pasar maka harus diberi tanda
A (M.G).
4 Heatland, Moorland. Padang rumput perbukitan biasa dan kasar
(commons and rough Hill Pasture). Tipe lahan ini biasanya telah dibedakan
pada peta enam-inci. Areal rawa dan payau sering digunakan sebagai
Padang rumput kasar (rouge pasture) sehingga harus dimasukkan dalam
kelompok ini. Sangat disarankan untuk membuat catatan khusus pada
setiap lahan apabila terdapat keragu-raguan dalam penggunaannya.
36 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Tabel 1 Survei penggunaan lahan di Inggris tahun 1931 – 1938 (lanjutan)


No. Catatan-Catatan pada Klasifikasi
5 Kebun, Allotments, kebun buah-buahan, pembibitan dan lain-lain.
Rumah dengan kebun yang cukup luas untuk ditanami sayur-sayuran
atau bunga-bungaan harus diberi tanda G (kebun), karena areal tersebut
produktif. Akan tetapi, pekarangan (backyards) dan areal lainnya yang
secara pertanian tidak produktif, diberi tanda W. Allotments melulu
merupakan kebun yang terpisah atau mempunyai jarak dari rumah.
Kebun buah-buahan (Orchards) biasanya telah dibedakan pada peta
(tetapi harus diperiksa), dan diberi tanda G. Pada beberapa kebun buah-
buahan, selain ditanami pohon buah-buahan, tanah juga digunakan
untuk padang rumput (grazing) atau untuk pertanian. Pada kasus
demikian, yaitu apabila digunakan untuk buah-buahan dan padang
rumput, mereka harus diberi tanda G(M), atau apabila digunakan
untuk buah-buahan dan tanaman bawah (ground crops) diberi tanda
G(A). Tambahan perkataan “kebun buah-buahan” sangat bermanfaat.

6 Lapangan golf kadang-kadang dapat digunakan untuk rumput makan


ternak (grazing), dan merupakan padang rumput permanen (M). Yang
lain merupakan heathland dan moorland (H). Lahan-lahan demikian
juga diberi tanda dengan kata “padang golf ”. Lapangan untuk olah
raga pada umumnya merupakan padang rumput, akan tetapi apabila
semata-mata digunakan untuk keperluan olah raga, maka harus khusus
dibedakan, misalnya dengan tanda M (olah raga). Usaha peternakan
(poultry farm) umumnya terdapat pada lahan penggembalaan (meadow
land). Catatan khusus perlu diberikan pada usaha peternakan ini.
Bangunan baru, jalan, dan sebagainya, yang dibuat sejak peta dicetak
sejauh mungkin harus diskets pada peta. Pada areal bangunan baru,
tidak perlu setiap rumah diberi tanda, tetapi cukup ditunjukkan dengan
rencana umum jalan dan pengelompokan rumah. Pada kompleks
perumahan yang belum selesai dibangun, perkiraan batas areal perlu
dibuat. Apabila seluruh areal diberi tanda sebagai “kompleks bangunan”
(building estate), perlu diberi catatan tentang tingkat penyelesaiannya,
apakah belum dikembangkan atau sebagian telah dibangun (bangunan
yang tersebar) atau telah dibangun seluruhnya.
Sumber: Stamp (1950) dalam Vink (1975)
Bab III Survei Penggunaan Lahan | 37

Selama survei tersebut dilakukan, banyak data lainnya tentang penggunaan


lahan di Inggris telah dikumpulkan atau disintesakan, terutama uraian atau
deskripsi lahan padang rumput (grass land) dan lokasinya serta data statistik
pembiakan sapi. Selain itu Stamp juga mendiskusikan tentang tipe usahatani.
Berbagai tipe usahatani yang dikemukakan oleh Stamp tertera pada Tabel 2.

Tabel 2 Tipe usaha tani di Inggris Raya


I Di Inggris dan Wales
Tipe-tipe Padang rumput (pasture)
a. Dominan sapi perah (predominantly dairying)

b. Sapi perah ditambah dengan kegiatan perusahaan lainnya

c. Padang rumput (grazing) dan sapi perah

d. Peternakan (rearing) yang dilengkapi dengan beberapa perusahaan


peternakan (livestock Enterprise)

e. Terutama untuk peternakan dan padang rumput untuk domba


Tipe peralihan (intermédiate)
f. Usahatani campuran dengan pabrik susu yang besar (substantial
dairying side)

g. Usahatani campuran dengan penekanan pada segi peternakan dan


makanan ternak (substantial rearing or feeding side)

h. Usahatani campuran umum (general mixed farming)

i. Jagung, domba dan sapi perah

j. Usahatani dengan gandum dan sapi

k. Tipe peralihan lainnya, dengan buah-buahan, sayur-sayuran atau hops

Tipe dapat ditanami (arable)


38 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Tabel 2. Tipe Usaha Tani di Inggris Raya (lanjutan)


I Di Inggris dan Wales
l. Usahatani campuran berdasarkan produksi tanaman pertanian umum

m. Terutama usahatani jagung dan domba

n. Usahatani jagung dan domba, ditambah dengan tanaman semusim


(cash crop)

o. Terutama usahatani semusim

p. Kebun pasar (market gardening)

q. Tipe usahatani tanaman pertanian umum (arable)


Lain-lain (bukan tipe)
r. Lahan yang nilai pertaniannya kecil

s. Rawa-rawa (marshes)

t. Berbagai usahatani pada tanah campuran (mixed soils), atau yang tidak
di klasifikasikan
II Di Skotlandia

Pertanian umum (arable) dengan makanan ternak (livestock feeding)

Peternakan dengan tanaman pertanian umum

Sapi perah (dairying)

Padang rumput dibukit untuk domba

Crofting

Kentang (early potatoes)

Buah-buahan lunak (soft-fruit)

Timothy hay untuk dijual


Sumber : Stamp (1950) dalam Vink (1975)
Bab III Survei Penggunaan Lahan | 39

3.2 Survei Penggunaan Lahan di Amerika Serikat


Survei penggunaan lahan di Amerika Serikat terutama ditujukan untuk
memperoleh Statistik Penggunaan Lahan yang diperlukan dalam berbagai
pekerjaan perencanaan. Sudah sejak lama dirasakan bahwa kurangnya
keseragaman dalam pengumpulan keterangan tentang penggunaan lahan
menyebabkan kesukaran dalam membandingkan antara satu tempat dengan
tempat lain dan antara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya. Hal tersebut
juga telah menyebabkan terjadinya pengulangan (duplikasi) pekerjaan di banyak
kota. Dengan meningkatnya perhatian dalam perencanaan dan penelitian
perkotaan dan tersedianya dana yang dialokasikan untuk pekerjaan inventarisasi
penggunaan lahan, maka timbul keinginan untuk mengadakan penyeragaman
dalam pengumpulan data penggunaan lahan.
Pada tahun 1962 Administrasi Pembaharuan Kota (Urban Renewal
Administration) bekerjasama dengan Biro Jalan Umum (Bureau of Public Roads)
dengan bantuan teknik dari perusahaan konsultan Barton-Aschman Associates,
mulai meneliti akan kemungkinan penggunaan klasifikasi penggunaan lahan yang
seragam dan berlaku umum serta sistem pemberian kode (coding). Melalui berbagai
penyempurnaan, akhirnya pada tahun 1965 telah tersusun dan diterbitkan satu
buku pegangan pencatatan penggunaan lahan yang dibakukan dan diberi judul
Standard Land Use coding Manual (Urban Renewal Administration and Bureau
of Public Roads 1965).
Buku panduan ini dalam mengidentifikasikan penggunaan lahan
menggunakan sistem kategori, yang juga dapat diberi kode secara numerik ke
dalam sistem empat-digit dari deskripsi utama. Sistem pemberian kode dan
kategori bersifat fleksibel, sehingga dapat digunakan untuk keperluan yang sangat
detail atau dapat dipadatkan dalam bagian-bagian yang berbeda, dan satuan-
satuannya dapat digabungkan kembali apabila diperlukan untuk keperluan
lainnya.
Sistem pemberian kode dalam buku panduan ini menggunakan sembilan
kelas utama penggunaan lahan, dimana kelas-kelas ini dipertimbangkan sangat
bermanfaat untuk kisaran yang luas dari studi-studi perencanaan. Kategori yang
digunakan pada tingkat satu-digit adalah sebagai berikut:
40 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Kode Kategori
1 Tempat tinggal (residential)
2 dan 3 Pabrik (manufacturing)
4 Transportasi, komunikasi dan utilitas (utilities)
5 Perdagangan (trade)
6 Pelayanan (services)
7 Budaya, pertunjukan, dan rekreasi
8 Produksi dan ekstraksi sumberdaya
9 Lahan yang belum dikembangkan dan areal air
Akan tetapi penekanannya bukanlah pada struktur klasifikasi, melainkan
pada identifikasi mendetail aktivitas yang ditunjukkan pada tingkat empat-
digit. Secara keseluruhan dalam panduan ini terdapat 9 kategori satu-digit, 67
kategori dua-digit, 294 kategori tiga-digit, dan 772 kategori empat-digit. Apabila
diperlukan, kode-kode pada tingkatan dua, tiga dan empat-digit dapat diperluas.
Kategori empat-digit merupakan yang paling detail, dan merupakan tingkatan
detail yang direkomendasikan untuk pemberian kode keterangan dasar yang
dikumpulkan melalui pengamatan lapangan atau sumber-sumber kedua lainnya.
Makin sedikit digit yang digunakan, berarti kategori tersebut menjadi lebih
umum atau generalis sifatnya.
Untuk dapat memungkinkan identifikasi mendetail di bawah satu klasifikasi
dan pada waktu yang bersamaan ringkasan identifikasi di bawah klasifikasi
lainnya, hanya 1 hingga 9 sub-kategori digunakan pada setiap sub-klasifikasi.
Buku panduan ini mempunyai masalah dalam penempatan lahan bera (idle land).
Kode terpisah, 9100 digunakan untuk mengidentifikasikan lahan yang belum
dikembangkan atau apabila dulunya telah dikembangkan, tetapi sekarang tidak
digunakan (vacant and unused).
Lebih separuh dari keseluruhan buku panduan tersebut digunakan untuk
daftar mendetail dari kategori-kategori satu-, dua-, tiga-, dan empat-digit.
Meskipun demikian, yang terakhir tidak didefinisikan secara khusus, meskipun
catatan kaki (footnotes) digunakan apabila artinya tidak begitu jelas. Perlu
dijelaskan bahwa tidaklah mungkin untuk meringkaskan keseluruhan kode-kode
secara terinci dalam uraian ini, sehingga bagi pembaca yang berminat mengetahui
lebih lanjut disarankan untuk membaca dan mempelajari sendiri buku panduan
tersebut.
Bab III Survei Penggunaan Lahan | 41

Selain itu, Buku Panduan ini juga mengemukakan sistem pemberian kode
berupa tiga lampiran pendek, yaitu: (1) sistem pemberian kode (coding) untuk
mengidentifikasi kepemilikan (ownership) yang menempatkan semua pemilikan
pribadi (private ownership) ke dalam kategori tunggal; (2) sistem pemberian kode
untuk mengidentifikasi jenis usahatani dan penggunaan usahatani (farm uses);
dan (3) sistem pemberian kode untuk mengidentifikasi tipe bangunan (types of
structures) yang berisikan satuan-satuan keluarga atau rumah tangga (households).
Masing-masing hal ini diuraikan cukup singkat dengan mempertimbangkan
ruang lingrkup bahan-bahan yang dibicarakan.
Meskipun Buku Panduan ini merupakan panduan klasifikasi penggunaan
lahan yang hampir sempurna, beberapa permasalahan masih terdapat dalam
penggunaannya untuk dapat mencakup semua keadaan penggunaan lahan di
Amerika Serikat (Clawson dan Stewart 1965). Sistem pemberian kode penggunaan
lahan terutama dikembangkan untuk penggunaan dalam perencanaan areal
perkotaan sehingga banyak dari kode dan kategori khusus diperuntukkan
terutama pada keadaan penggunaan lahan perkotaan. Misalnya, dalam kelompok
yang luas jalan dengan kode 45, terdapat tujuh kategori perkotaan khusus (jenis
jalan yang berbeda), satu kategori khusus antar-kota, tetapi semua jalan lainnya
dikelompokkan di bawah kelompok jalan lainnya. Demikian juga perlu kiranya
penyempurnaan atau elaborasi tentang pertanian atau usahatani. Untuk taman
(parks) dan areal rekreasi juga diperlukan penambahan beberapa kategori dan
definisinya.

3.3 Survei Penggunaan Lahan di India


Survei penggunaan lahan di India dilakukan dengan menggunakan klasifikasi
penggunaan lahan yang dikemukakan oleh Tomar dan Maslekar (1974). Berbagai
definisi penggunaan lahan yang digunakan dalam sistem klasifikasi penggunaan
lahan ini bersumber dari survei hutan oleh Dinas Kehutanan Amerika Serikat
dengan berbagai modifikasi sesuai dengan keadaan di India. Adapun skema sistem
klasifikasi tersebut tertera pada Gambar 1. Berbagai kelas penggunaan lahan dan
definisi yang digunakan dalam sistem tersebut akan dikemukakan berikut ini.
Areal lahan merupakan areal lahan kering dan lahan yang sementara atau
sebagian ditutupi salju, air seperti rawa pasang surut dan dataran banjir sungai;
sungai dan saluran yang lebarnya kurang dari 120 meter; dan danau, waduk dan
kolam yang luasnya kurang dari 10 hektar (Adapun batasan-batasan minimum
42 | Perencanaan Penggunaan Lahan

untuk lebar dan luas diatas dipertimbangkan untuk skala kecil fotoudara (1 :
40.000 – 1 : 60.000). Untuk skala foto sedang dan besar (lebih dari 1 : 40.000)
batasan-batasan di atas dapat dikurangi sesuai keperluan. Luas minimum yang
dapat dibatasi pada foto udara dan peta berturut-turut adalah 0,5 cm2 dan 2
mm).

Gambar 1 Skema klasifikasi penggunaan lahan di Indonesia

Lahan hutan yaitu semua lahan dengan penutupan hutan (termasuk bambu
alam, palem, dan belukar) dan permukaan lahan yang tidak digunakan untuk
keperluan lain di luar kehutanan.
Luasan minimum lebih dari 2 hektar, termasuk:
a. Hutan untuk umum atau milik pribadi termasuk usahatani hutan
b. Semua pertanaman termasuk satu daur pertanaman (one rotation plantations),
terutama digunakan untuk keperluan kehutanan.
c. Areal yang sementara tidak mempunyai pohon karena penebangan pohon,
regenerasi atau pembakaran.
d. Jalan hutan, pembibitan, sungai, saluran dan lapangan terbuka kecil
lainnya.
Bab III Survei Penggunaan Lahan | 43

e. Perladangan dengan pohon-pohon yang tumbuh kembali pada lokasi yang


ditinggalkan.
f. Hutan rusak dan hutan belukar serta padang rumput yang disertai pohon-
pohon kerdil tersebar.
g. Areal yang ditumbuhi pohon dalam barisan dan jalur (strip) (sepanjang
jalan, saluran dan sungai serta yang bertujuan untuk pelindung angin), yang
lebarnya 120m atau lebih. Tidak termasuk ke dalamnya:
1. Kelompok pohon yang terisolasi, kurang dari 2 hektar
2. Taman kota, kebun raya dan kebun-kebun atau lapangan rumput
lainnya
3. Barisan pohon-pohon sepanjang jalan, saluran, sungai, yang lebarnya
rata-rata kurang dari 120 m.
Perkebunan non-kehutanan merupakan perkebunan yang keperluannya
non-kehutanan, baik sebagai lahan hutan atau lahan non-hutan, oleh departemen
kehutanan, badan-badan perseorangan atau umum lainnya, terutama untuk
menghasilkan tanaman-tanaman komersial seperti kelapa, karet, jambu monyet,
teh, kopi, sisal, nenas, dan sebagainya. Perkebunan bukan-kehutanan semacam
ini dapat dibedakan dari perkebunan kehutanan (forestry plantations) berdasarkan
kekhususannya dalam pola, tekstur, lokasi dan asosiasinya dalam foto udara.
Lahan non-hutan merupakan lahan yang tidak termasuk ke dalam lahan hutan
atau perkebunan non-kehutanan, meliputi lahan yang tidak pernah digunakan
sebagai hutan dan lahan yang dulunya hutan tetapi kemudian dikembangkan
untuk penggunaan non-hutan seperti tanaman (crops), padang rumput maju
(improved pastures), tempat permukiman, lokasi industri, pertambangan, waduk,
taman kota, atau hutan yang dirusak bencana alam seperti longsor, banjir dan
perubahan dalam aliran sungai, dan lain-lain. Juga termasuk jalan, sungai, dan
lain-lain.
Berbagai jenis penggunaan lahan yang tergolong lahan non-hutan adalah:
1. Pertanian: merupakan lahan yang digunakan terutama untuk keperluan
pertanian termasuk hortikultura dan lahan bera, dengan atau tanpa pohon
yang tumbuh tersebar, meliputi:
a. Pertanaman sekarang (current cultivation): merupakan areal yang
sedang diolah, seperti terlihat dari tanaman, pembumbunan, irigasi dan
44 | Perencanaan Penggunaan Lahan

kegiatan pengolahan tanah. Di India digolongkan ke dalam dua


kelompok yaitu penanaman di bukit dan penanaman di dataran.
b. Hortikultura: termasuk semua kebun buah-buahan dan kelompok
tanaman lainnya yang dipelihara untuk menghasilkan buah-buahan,
nut dan bunga-bungaan.
c. Lahan penggembalaan: merupakan areal yang berhubungan dengan
pertanian, sebagian besar dijumpai di sekitar tempat permukiman
untuk ternak-ternak sapi.
d. Lahan pohon pertanian (agricultural tree land): merupakan lahan
yang sesekali ditanami, mempunyai pohon-pohon yang tersebar
seperti mangga, palem, dan sebagainya dan dipelihara untuk keperluan
penggunaan penduduk setempat, misalnya kayu bakar, pagar atau
peteduh.
e. Lahan bera: merupakan lahan pertanian yang secara teratur diberakan
untuk jangka waktu tertentu sebagai bagian dari tindakan pengelolaan.
2. Permukiman: merupakan areal yang digunakan untuk tempat permukiman
dan keperluan industri, baik sipil maupun militer, meliputi desa, kota, pabrik,
pertambangan dan pengembangan pertahanan (defence establishment).
3. Pengangkutan dan komunikasi: termasuk areal untuk bandar udara, jalan
kereta api dan jalan raya. Tempat-tempat ini pada umumnya digambarkan
dalam peta dasar.
4. Tanah buangan (waste land): merupakan areal yang tererosi, terpotong
atau parit-parit lebar karena erosi (gullies), biasanya tanpa ada pohon atau
belukar yang tumbuh, dijumpai terutama di sepanjang sungai atau bagian
lereng bawah dari bukit.
5. Daerah tergenang air: meliputi areal yang tergenang air karena banjir,
muka air tanah yang tinggi dan drainase yang buruk sehingga tidak cocok
untuk pertanian atau kehutanan.
6. Gurun pasir: meliputi lahan yang ditutupi pasir dan tidak digunakan untuk
pertanian ataupun kehutanan. Juga termasuk dalam kelompok ini pasir
pantai.
7. Lahan terlantar (idle and barren lands): merupakan lahan yang tidak
digunakan untuk pertanian atau kehutanan karena keadaan tanah, iklim,
dan biotik yang kurang baik. Pertumbuhan vegetasi dibatasi oleh tidak
Bab III Survei Penggunaan Lahan | 45

adanya tanah atau air seperti pada areal-areal berbatu dan batuan induk yang
muncul di permukaan, lereng terjal, dan tebing curam.
8. Longsoran (landslide): merupakan lahan yang terbuka karena adanya
longsoran di daerah perbukitan. Penumpukan batu-batuan (debris) sering
terlihat pada lereng bawah.
9. Areal ditutupi salju: merupakan areal yang secara permanen ditutupi salju
seperti di Himalaya. Daerah-daerah yang secara musiman ditutupi salju,
tidak termasuk ke dalam kategori ini.
10. Lahan non-hutan lainnya: meliputi lahan yang tidak termasuk ke dalam
salah satu jenis atau kelompok lahan non-hutan di atas.

3.4 Survei Penggunaan Lahan di Indonesia


Di Indonesia, survei penggunaan lahan secara sistematis baru dilaksanakan
di sekitar awal tahun 1969, walaupun sebenarnya upaya untuk menciptakan
teknik survei pernah dilakukan oleh Unger di sekitar tahun 1950 (Silalahi dan
Sweken 1984). Teknik survei yang dikemukakan Unger pada waktu itu dinilai
terlalu terinci dan ruwet sehingga sulit untuk dapat dilaksanakan. Hal ini dapat
terlihat antara lain dari jumlah kelas yang sangat besar. Sebagai contoh, untuk
kelas penggunaan lahan diusulkan 37 kelas; vegetasi dan perkebunan 40 kelas;
perhubungan 30 kelas; medan (terrain) 16 kelas, serta banyak lagi penggolongan-
penggolongan di bidang yang lain. Pada saat itu sulit dibayangkan untuk dapat
dilaksanakan, terutama mengingat ketersediaan peta dasar dengan skala besar
sangat terbatas atau tidak tersedia sama sekali.
Survei penggunaan lahan di Indonesia sebagian besar dilaksanakan oleh
Direktorat Tata Guna Tanah (TGT), Direktorat Jenderal Agraria, Departemen
Dalam Negeri. Dalam pelaksanaan survei penggunaan lahan, Direktorat TGT
menyusun suatu sistem klasifikasi penggunaan lahan (istilah tata guna tanah
untuk landuse digunakan oleh direktorat TGT) yang cukup sederhana, praktis,
konsisten, tidak menimbulkan penafsiran ganda dan dapat mencerminkan pola
penggunaan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Dalam pelaksanaan survei penggunaan lahan, Direktorat TGT
mengelompokkan penggunaan lahan ke dalam dua kelompok yaitu: (1)
penggunaan lahan pedusunan atau wilayah pedesaan, dan (2) penggunaan lahan
kota atau wilayah perkotaan. Survei penggunaan lahan pedusunan meliputi
46 | Perencanaan Penggunaan Lahan

berbagai hal seperti perkampungan, persawahan, pertanian lahan kering


semusim, perkebunan, kebun campuran, hutan, kolam/tambak, tanah tandus,
padang, perairan darat, dan lain-lain. Survei penggunaan lahan wilayah perkotaan
meliputi 12 jenis kegiatan pemetaan yaitu (1) penggunaan tanah, (2) status
tanah, (3) harga tanah, (4) Kualitas Bangunan, (5) Kerapatan Bangunan, (6)
Umur dan Tingkat Bangunan, (7) Administrasi, (8) Jaringan jalan, (9) Saluran
Pembuangan dan Kebersihan Kota, (10) Fasilitas Listrik, (11) Fasilitas telepon,
dan (12) Fasilitas Air Minum. Uraian dan penjelasan terinci tentang survei dan
pemetaan penggunaan lahan kota ini dapat dilihat dalam publikasi Tata Cara
Kerja, Buku 1 yang diterbitkan oleh Direktorat Tata Guna Tanah (Anonimous
1983a).
Dalam uraian berikut ini, perhatian lebih ditujukan pada survei penggunaan
lahan pedusunan atau wilayah pedesaan. Petunjuk dan sistem klasifikasi
penggunaan lahan pedesaan pada berbagai tingkat skala yang digunakan Direktorat
Tata Guna Tanah, tertera pada Tabel 3 Penjelasan singkat dari masing-masing
jenis penggunaan lahan yang digunakan oleh Direktorat Tata Guna Tanah,
Departemen Dalam Negeri (Anonimous 1983a) adalah sebagai berikut:

Tabel 3 Klasifikasi penggunaan lahan pedesaan pada berbagai tingkat skala


Skala Jenis penggunaan lahan
1: 1. Perkampungan
200.000
2. Persawahan
3. Pertanian kering semusim + perkebunan + kebun
campur
4. Hutan
5. Padang + Tanah tandus
6. Perairan darat + kolam
7. Lain-lain
1: 1. Perkampungan: (a) Kampung, (b) Kuburan, dan (c)
100.000 Emplasemen

1 : 50.000
2. Persawahan: (a) sawah dua kali padi setahun atau
lebih, (b) sawah satu kali padi setahun + palawija, (c)
sawah satu kali padi setahun, dan (d) sawah ditanami
tebu/tembakau/rosela/sayur-sayuran
Bab III Survei Penggunaan Lahan | 47

Tabel 3 Klasifikasi penggunaan lahan pedesaan pada berbagai tingkat skala


(lanjutan)
Skala Jenis penggunaan lahan
3. Pertanian kering semusim tegalan,ladang,
sayuran,bunga-bungaan
4. Perkebunan: (a) campuran, (b) Kopi, (c) dan jenis
lain
5. Kebun campuran: (a) campuran, dan (b) buah-
buahan
6. Hutan: (a) Lebat, (b) Belukar, (c) Sejenis, (d) Rawa
7. Kolam/Tambak
8. Tanah Tandus: (a) Tanah Tandus, (b) Tanah Rusak
9. Padang: (a) Padang rerumputan, (b) Padang semak
10. Perairan Darat:

(a) Danau/Situ, (b) Rawa, (c) Waduk


1 : 25.000 1. Perkampungan

1 : 12.500 1a. Kampung

1b1. Kuburan Nyata

1b2. Kuburan Tak Nyata

1c1.Emplasemen menetap

1c2.Emplasemen sementara
48 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Tabel 3 Klasifikasi penggunaan lahan pedesaan pada berbagai tingkat skala


(lanjutan)
Skala Jenis penggunaan lahan
2. Persawahan

2a1.Sawah 3x padi setahun

2a2.Sawah 2x padi setahun

2b1.Sawah 2x padi setahun+palawija (jenis palawija


dinyatakan)

2b2.Sawah 1x padi setahun+palawija (jenis palawija


dinyatakan)

2c1.Sawah 1x padi setahun, berupa sawah tadahan

2c2.Sawah 1x padi setahun, berupa sawah rawa

2d1.Sawah ditanami tebu

2d2.Sawah ditanami tembakau

2d3.Sawah ditanami rosela


3. Pertanian lahan Kering Semusim

3a.Tegalan, dengan jenis tanaman

3b1.Ladang digarap 0-1 tahun, dengan jenis tanaman

3b2.Ladang digarap 0-3 tahun, dengan jenis tanaman

3c.Sayuran dengan jenis tanaman

3d.Bunga-bungaan dengan jenis tanaman


4. Perkebunan

4a1. Karet sudah berproduksi

4a2.Karet belum berproduksi

dst. Menurut jenis tanaman dengan perincian sudah/


belum berproduksi
Bab III Survei Penggunaan Lahan | 49

Tabel 3 Klasifikasi penggunaan lahan pedesaan pada berbagai tingkat skala


(lanjutan)
Skala Jenis penggunaan lahan
5. Kebun campuran

5a1.Campuran, sudah berproduksi

5a2.Campuran, belum berproduksi

5b1.Buah-buahan, sudah berproduksi

5b2.Buah-buahan belum berproduksi


6. Hutan

6a.Hutan Lebat, dengan jenis kayu utama

6b1.Hutan Belukar Alami

6b2.Hutan Belukar Buatan, dengan jenis kayu

6c1.Hutan Sejenis Alami, dengan jenis kayu

6c2.Hutan Sejenis Buatan, dengan jenis kayu

6d.Hutan Rawa, dengan jenis kayu utama


7. Kolam/Tambak

7a.Kolam Air Tawar

7b.Tambak

7c.Kolam Penggaraman
50 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Tabel 3 Klasifikasi penggunaan lahan pedesaan pada berbagai tingkat skala


(lanjutan)
Skala Jenis penggunaan lahan
8. Tanah Tandus

8a1. Tanah tandus, berbatu-batu

8a2.Tanah Tandus, lahar

8a3.Tanah Tandus, pasir

8b1.Tanah Rusak, tererosi-berat

8b2.Tanah Rusak, terintrusi air-asin

8b3.Tanah Rusak, bekas penambangan

8b4.Tanah Rusak, bekas penggalian


Padang

9a1. Padang rumput

9a2.Padang Alang-alang

9b1.Padang semak

9b2.Padang Sabana (savannah)

9. 9b3.Padang Bencah
Perairan Darat:

10. 10.(a) Danau/Situ, 10.(b) Rawa, 10(c) Waduk


Bab III Survei Penggunaan Lahan | 51

Tabel 3 Klasifikasi penggunaan lahan pedesaan pada berbagai tingkat skala


(lanjutan)
Skala Jenis penggunaan lahan
1:
5.000

1:
2.500 1. Perkampungan

1a1.Perumahan permanen

1a2.Perumahan semi Permanen

1a3.Perumahan Darurat

1b1.Kuburan Islam

1b2.Kuburan Kristen

1b3.Kuburan Cina

1b4.Kuburan Keramat/tempat kramat

1c1.Emplasemen menetap

1c2.Emplasemen sementara
52 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Tabel 3 Klasifikasi penggunaan lahan pedesaan pada berbagai tingkat skala


(lanjutan)
Skala Jenis penggunan lahan
2. Persawahan
2a1.Sawah 3x padi setahun
2a2.Sawah 2x padi setahun
2b1.Sawah 2x padi + 2x palawija setahun
2b2.Sawah 2x padi + 1x palawija setahun
2b3.Sawah 1x padi + 2x palawija setahun
2b4.Sawah 1x padi + 1x palawija setahun
2c1.Sawah 1x padi setahun, berupa sawah tadahan
2c2.Sawah 1x padi setahun, berupa sawah rawa
2d1.Sawah 2x padi setahun, tetapi ditanami tebu/
tembakau/rosela
2d2.Sawah 1x padi setahun, tetapi ditanami tebu/
tembakau/rosela
2d3.Sawah ditanami tebu/ tembakau/ rosela dan tidak
pernah ditanami padi

3. Pertanian lahan Kering Semusim


3a.Tegalan, dengan jenis tanaman
3b1.Ladang digarap 0-1tahun, dengan jenis tanaman
3b2.Ladang digarap 1-3 tahun, dengan jenis tanaman
3c.Sayuran dengan jenis tanaman
3d.Bunga-bungaan, dengan jenis tanaman

4. Perkebunan
4a1.Karet sudah berproduksi
4a2.Karet belum berproduksi
dst. Menurut jenis tanaman dengan perincian sudah/
belum berproduksi

5. Kebun Campuran
5a1.Campuran, sudah berproduksi
5a2.Campuran, belum berproduksi
5b1.Buah-buahan, sudah berproduksi
5b2.Buah-
Bab III Survei Penggunaan Lahan | 53

Tabel 3 Klasifikasi penggunaan lahan pedesaan pada berbagai tingkat skala


(lanjutan)
Skala Jenis penggunan lahan
6. Hutan
6a.Hutan lebat, dengan jenis kayu utama
6b1.Hutan Belukar Alami
6b2.Hutan Belukar Buatan, dengan jenis kayu
6c1.Hutan Sejenis Alami, dengan jenis kayu
6c2.Hutan Sejenis Buatan, dengan jenis kayu
6d.Hutan Rawa, dengan jenis kayu utama

Sumber: Anonimous (1983a)

1. Perkampungan
Kampung adalah kelompok bangunan tempat tinggal penduduk yang
dimaksudkan untuk dimukimi menetap. Sifat menetap tersebut dinyatakan
oleh salah satu atau lebih dari 3 hal berikut:
a. Kampung. Pengakuan Penduduk: Jika sudah diberi nama tetap.
Dalam hal ini termasuk embrio kampung dengan nama babakan,
umbul, talang, taratak, dan lain-lain. Kampung dapat dilihat dari
kondisi bangunan dan intensitas hunian.
Kondisi Bangunan: Jika konstruksinya dibuat untuk dapat dimukimi
lebih dari 3 tahun. Intensitas hunian: Jika selama lebih dari 3 tahun
dihuni setiap tahun sedikitnya selama 6 bulan kumulatif. Dalam hal
perkampungan yang rumah-rumahnya berpencar, maka pada skala
1:100.000 dan 1:50.000 dipetakan berikut pekarangannya dengan
syarat bahwa tiap satuan tidak lebih dari 0,25 ha. Misalnya wilayah
seluas 25 ha (=1 cm2 di peta) yang berisi 10 rumah jangan dinyatakan
sebagai blok kampung seluas 1 cm2 di peta.
Untuk keperluan pemetaan penggunaan lahan pada skala besar,
dasar penilaian perumahan dalam kampung adalah kombinasi dari
3 bagian utama bangunan yaitu Lantai-Dinding-Atap yang masing-
masing bisa permanen atau darurat. Penetapannya adalah sebagai
berikut:
54 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Lantai Permanen : Bersemen, kayu kuat


(selain jenisnya awet juga
dikerjakan rapi sehingga
tak bercelah)
Lantai Darurat : Tanah,Gubuk (bisa
berupa: bambu, kayu,
sembarang)
Dinding Permanen : Bersemen, kayu kuat
Dinding Darurat : Gubuk, tanah
(termasuk Batako bukan-
semen)
Atap permanen : Genteng, seng, asbes,
sirap
Atap Darurat : Nipah, jerami, ijuk,
plastik
Kombinasinya adalah sebagai berikut:
Rumah Permanen Ketiga bagian
: bangunan permanen
Rumah semi Permanen Salah satu bagian
: bangunan darurat
Rumah Darurat Dua atau tiga bagian
: bangunan darurat
b. Kuburan, adalah tanah areal pekuburan, baik yang jelas terlihat adanya
batu nisan atau gundukan maupun yang karena tuanya hanya berupa
pepohonan beringin yang hanya dapat kita ketahui dengan menanyakan
kepada penduduk. Disebut Kuburan Nyata apabila pekuburan nyata
kelihatan dengan adanya batu nisan dan atau gundukan. Kuburan
Tak Nyata apabila pekuburan tidak nyata fisiknya dan hanya dapat
diketahui dari penduduk.
c. Emplasemen, adalah komplek bangunan yang utamanya dimaksudkan
sebagai tempat perusahaan (seperti pabrik, kilang, stasiun, dan
sebagainya). Dalam memetakannya termasuk barak pekerja, perumahan
staf, fasilitas sekolah-sekolah, dan lain-lain untuk karyawan perusahaan
jika semuanya dalam satu kompleks. Emplasemen Menetap merupakan
emplasemen yang sifatnya menetap, biasanya sifat kegiatannya
eksploitasi. Emplasemen sementara merupakan emplasemen yang
Bab III Survei Penggunaan Lahan | 55

sifatnya sementara, misalnya selama berlangsungnya kegiatan proyek


atau yang memang dimaksudkan berpindah-pindah karena sifat
kegiatannya eksplorasi.
2. Persawahan, adalah areal pertanian tanah basah atau sering digenangi air.
Fisiknya nampak seperti apa yang lazim di Indonesia dikenal sebagai tanah
sawah, serta periodik atau terus menerus ditanami padi. Termasuk dalam
hal ini sawah-sawah yang ditanami tebu, tembakau, rosela, sayur-sayuran.
Tambahan penjelasan lebih lanjut untuk keperluan klasifikasi penggunaan
lahan untuk skala 1:25.000 dan 1:12.500 adalah sebagai berikut:
a. Termasuk di dalamnya sawah 5x padi selama 2 tahun berturut-turut
b. Termasuk di dalamnya sawah 3x padi selama 2 tahun berturut-turut.
3. Pertanian lahan Kering Semusim, adalah areal pertanian yang tidak pernah
diairi dan hanya ditanami dengan jenis tanaman berumur pendek; tanaman
keras yang mungkin ada hanya terbatas pada pematang-pematang.
a. Tegalan, ialah yang penggarapannya permanen
b. Ladang, ialah yang setelah digarap 3 tahun atau kurang kemudian
ditinggalkan. Tanaman palawija atau padi .
c. Sayuran, ialah yang melulu ditanami sayur-mayur
d. Bunga-bungaan, adalah yang melulu ditanami dengan berbagai jenis
bunga.
Pada tegalan dan ladang, jika ada padi harus dinyatakan sebagai jenis
pertama. Kemudian diikuti jenis-jenis lainnya sesuai urutan dominasinya.
Pada sayuran dan bunga-bungaan, jenis tanaman dinyatakan berturut-
turut sesuai urutan dominasinya.
4. Perkebunan adalah areal yang ditanami jenis tanaman keras atau tanaman
tahunan dan jenis tanamannya hanya satu, cara pengambilan hasilnya
adalah bukan dengan menebang pohon. Dengan demikian, apa yang sering
dinyatakan di Riau, Papua, Papua Barat, dan Maluku sebagai ”Perkebunan
Sagu” sebetulnya adalah ”Hutan Sejenis” (dalam skala lebih detil sebagai
”Hutan sejenis Buatan”). Perkebunan dinyatakan ‘sudah berproduksi’
apabila paling sedikit 50% dari tanamannya telah berproduksi.
5. Kebun Campuran, adalah areal yang ditanami rupa-rupa jenis tanaman
keras atau kombinasi tanaman keras dan tanaman semusim, dengan tidak
jelas jenis mana yang dominan. Berdasarkan definisi kebun campuran
56 | Perencanaan Penggunaan Lahan

tersebut, maka areal pertanaman buah-buahan yang melulu dari jenis-jenis


tanaman semusim (seperti nenas, semangka, dan lain-lain) mesti dinyatakan
sebagai tegalan. Kebun campuran dinyatakan sudah berproduksi apabila
paling sedikit 50% dari jenis-jenis tanaman kerasnya secara kumulatif telah
berproduksi.
6. Hutan
a. Hutan Lebat, ialah areal hutan yang ditumbuhi berbagai jenis
pepohonan besar dengan tingkat pertumbuhan yang maksimum,
tetumbuhan semaknya biasanya jarang.
b. Hutan Belukar, ialah areal hutan alam yang ditumbuhi berbagai
jenis pepohonan yang terutama berbatang kecil. Mungkin merupakan
hutan muda bekas ladang atau merupakan sisa dari hutan lebat yang
pepohonan besarnya telah diambil. Mungkin juga pertumbuhan
pepohonannya sudah maksimum tetapi dari jenis-jenis yang berbatang
kecil sebangsa perdu.
c. Hutan sejenis, ialah areal hutan alam atau buatan yang ditumbuhi
pepohonan dengan didominasi oleh satu jenis saja tanpa memandang
tingkat pertumbuhannya. Kriteria dominasi ialah 75% dan lebih.
d. Hutan rawa, ialah hutan lebat yang berawa-rawa, permukaan tanahnya
secara kumulatif tergenang selama 6 bulan atau lebih dalam setahun
dan pada waktu penggenangan surut tanah selalu jenuh air.
Jenis Kayu Utama Hutan lebat, sedikitnya 3 jenis, dinyatakan sesuai
urutan dominasinya. Jenis Kayu Utama Hutan Rawa, sedikitnya 2 jenis,
dinyatakan sesuai urutan dominasinya. Jenis kayu hutan sejenis mesti
hanya 1 jenis. Oleh sebab itu areal reboisasi yang jenis kayunya lebih
dari 1 jenis tanpa ada yang menonjol, pada umumnya akan dinyatakan
sebagai Hutan Belukar Buatan karena biasanya tidak mencapai kriteria
Hutan Lebat. Jenis Rotan dan Akaran tidak termasuk jenis Kayu
Hutan.
7. Kolam, ialah penggunaan-penggunaan berupa kolam ikan air tawar, tambak
dan kolam penggaraman.
8. Tanah tandus, ialah areal yang tidak digarap oleh karena fisiknya yang jelek
atau menjadi jelek setelah digarap, biasanya langka tanaman. Suatu areal
disebut sebagai Tanah Tandus, jika dari semula tidak pernah digarap seperti
Bab III Survei Penggunaan Lahan | 57

areal berbatu-batu, tanah lahar, tanah pasir; disebut sebagai tanah rusak
jika sebelumnya pernah digarap dan kemudian ditinggal seperti areal tererosi
berat, bekas galian, bekas sawah rawa yang menjadi asin atau padat.
9. Padang, ialah areal terbuka karena hanya ditumbuhi tanaman rendah dari
jenis rumput dan semak rendah. Disebut sebagai padang rerumputan, jika
terutama ditumbuhi jenis-jenis rumput, dapat berupa rumput jenis yang
besar (tinggi) seperti alang-alang, gelagah, dan dapat berupa jenis yang kecil
(rendah); Disebut padang semak, jika terutama ditumbuhi jenis semak-
semak atau jika penampakan dari semak-semak lebih menonjol dibandingkan
rerumputannya. Untuk keperluan pemetaan penggunaan lahan pada skala
1:25.000 dan 1:12.500 digunakan batasan-batasan sebagai berikut:
a1. Jika terutama ditumbuhi jenis rumput kecil (rendah)
a2. Jika terutama ditumbuhi jenis rumput besar (tinggi), seperti alang-
alang, dan sebagainya.
b1. Jika terutama ditumbuhi semak-semak
b2. Jika selain adanya jenis rerumputan dan semak juga setempat diselingi
oleh adanya tanaman lebih tinggi dari jenis pepohonan kecil atau palma,
biasanya satu-dua atau tidak mengelompok.
b3. Jika penampakan rumput dan semak berbaur dengan genangan-
genangan kecil ditumbuhi rumput rawa dan terdapat sepanjang tahun.
10. Perairan Darat
a. Danau/Situ, ialah areal dengan penggenangan permanen yang dalam,
terjadi secara alami
b. Rawa, ialah areal dengan penggenangan permanen yang dangkal
tetapi belum cukup dangkal untuk dapat ditumbuhi tumbuhan besar,
sehingga umumnya hanya ditumbuhi rerumputan rawa.
c. Waduk, ialah danau yang terjadi karena adanya pembendunggan
buatan manusia.
11. Penggunaan Lain, ialah sesuatu areal yang tidak dapat digolongkan ke
dalam salah satu dari golongan (1) s/d (10) tersebut di atas, misalnya: Tanah
baru dibuka, atau hutan yang baru ditebang.
BAB IV
TEKNIK SURVEI DAN
MODEL SISTEM INFORMASI
PENGGUNAAN LAHAN

4.1 Teknik Survei Penggunaan Lahan


Survei penggunaan lahan yang telah dibicarakan sebelumnya pada dasarnya
dilakukan dengan melalui penjelajahan di lapang, dengan atau tanpa bantuan
foto udara. Kemajuan teknologi dalam bidang foto udara dan penginderaan jauh
pada umumnya dalam empat dekade terakhir ini, membuka kesempatan bagi
penggunaan teknik penginderaan jauh tersebut dalam survei penggunaan lahan.
Dalam waktu yang relatif bersamaan juga telah terjadi penyempurnaan metode-
metode dalam pencatatan, penyimpanan dan pengolahan data, dan dengan
kehadiran komputer memungkinkan untuk menangani keterangan-keterangan
yang diperoleh dari survei penggunaan lahan secara lebih cepat, lebih ekonomis
dengan tingkat ketelitian yang lebih besar. Demikian juga terjadi perkembangan
dalam metode-metode statistik sehingga dapat digunakan untuk mengolah data
lebih baik sesuai dengan keperluannya.
Untuk tidak mengacaukan dalam pembicaraan berikut ini, pengertian tentang
istilah teknik dibedakan dari istilah metodologi. Metodologi lebih menunjukkan
kerangka analisis (framework of analysis), dan merupakan garis besar urut-urutan
tahapan (an outline of the sequence of steps) dari penelitian yang sedang dikerjakan.
Metodologi umumnya mencakup pengorganisasian dan pengumpulan data,
peralatan analisis, dan proses yang berhubungan dengan penggunaan hasil analisis
untuk menjawab masalah pendahuluan studi tersebut. Teknik merupakan istilah
yang lebih khusus yang berhubungan dengan alat tertentu yang digunakan
dalam analisis. Teknik survei mutakhir yang dimaksudkan dalam hal ini
adalah pemanfaatan berbagai teknik modern, termasuk teknik foto udara dan
penginderaan jauh lainnya, teknik pengumpulan, penyimpanan dan pengolahan
60 | Perencanaan Penggunaan Lahan

data dengan berbagai analisis statistik yang canggih dengan menggunakan


komputer dalam keseluruhan metodologi survei penggunaan lahan. Dalam
survei penggunaan lahan, teknik-teknik mutakhir ini telah digunakan dalam
mempelajari penggunaan lahan dalam periode sejarah dan prasejarah, dan juga
dalam mempelajari penggunaan lahan sekarang dan sumberdaya lahan (Vink
1975). Dua hal yang terakhir ini digunakan sebagai dasar untuk menentukan
bagaimana lahan dapat digunakan pada masa mendatang.
Jenis keterangan yang dapat diperoleh dari foto udara tergantung dari skala
dan kualitas foto udara serta keterampilan dan pengalaman dari si penginterpretasi.
Untuk keperluan klasifikasi penggunaan lahan secara luas, skala foto udara
sedang sampai kecil dianggap cukup baik dan ekonomis. Dalam melakukan
survei sumberdaya di berbagai daerah di India berbagai kelas penggunaan lahan
seperti terlihat pada Tabel 4 dapat dikenal atau diidentifikasikan pada foto udara
hitam putih (Tomar dan Maslekar 1974). Pengalaman Tomar dan Maslekar di
wilayah Ghats Barat (Kerala) menunjukkan bahwa mereka agak kesulitan dalam
memisahkan areal tanaman hutan muda berumur kurang dari 4 tahun dari areal-
areal padang rumput, belukar atau tanaman ubikayu. Tanaman padi dataran tinggi
dan ubikayu yang umumnya ditanami secara bersama-sama dengan tanaman
kehutanan di Kerala mengakibatkan kesukaran dalam menentukan apakah areal
tersebut termasuk pertanian, lahan belukar atau kehutanan. Sebaliknya, mereka
tidak menjumpai adanya kesulitan dalam pengidentifikasian penggunaan lahan
dalam kategori yang luas serta pada pola penggunaan lahan yang tidak kompleks.
Pada daerah-daerah yang banyak ditanami dengan tanaman pertanian seperti
ubikayu, jagung, dan padi secara bersama-sama dengan tanaman kehutanan atau
tanaman perkebunan yang diusahakan secara berdekatan dengan areal hutan,
maka penentuan kelas penggunaan lahan secara tepat mengalami beberapa
kesukaran. Permasalahan ini hanya dapat diatasi dengan lebih sering melakukan
pemeriksaan lapangan disertai penggunaan foto udara terbaru berkualitas baik
yang pengambilannya dilakukan akhir-akhir ini.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, tujuan dari survei penggunaan lahan
konvensional pada umumnya adalah untuk dapat mengetahui atau menduga
proporsi dari lahan yang digunakan untuk berbagai penggunaan yang telah
ditetapkan, serta untuk mengetahui penyebaran berbagai kelas penggunaan lahan.
Tujuan-tujuan ini akan dapat segera dicapai dengan bantuan atau penggunaan
foto udara dan citra penginderaan jauh lainnya beserta interpretasinya. Proporsi
berbagai kelas penggunaan lahan dapat diduga dengan jalan mengukur intersection
Bab IV Teknik Survei dan Model Sistem Informasi Penggunaan Lahan | 61

garis-garis transek dengan kelas-kelas yang telah ditetapkan. Penghitungan luas


masing-masing daerah yang sebenarnya dapat diukur dengan menarik batas-batas
dari berbagai kelas dan mengukurnya dengan planimeter atau lebih ekonomis
dengan scanning elektronik.
Penarikan contoh pada foto udara, atau garis atau titik pada individu foto
dapat dilakukan secara sistematis. Akan tetapi apabila ketelitian (precision)
pendugaan akan dihitung, anasir acak dibutuhkan dalam proses penarikan
contoh. Selanjutnya, perhitungan jumlah contoh yang dibutuhkan dalam
berbagai tahapan dapat merupakan upaya yang sahih hanya apabila dilakukan
pengacakan (random).
Identifikasi kelas penggunaan lahan jarang dapat dibatasi hanya semata-mata
dengan penggunaan foto udara atau citra satelit. Pada umumnya dibutuhkan
pemeriksaan/ pengacakan melalui survei lapang, paling tidak pada titik-titik atau
garis-garis yang diidentifikasikan untuk mengkonfirmasikan bahwa penggunaan
lahan telah ditetapkan secara benar. Data yang diperoleh melalui survei langsung
di lapang memberikan tambahan sumber keterangan yang dapat digunakan
untuk menyempurnakan atau mengoreksi pendugaan yang dilakukan terdahulu
dari foto udara atau citra satelit. Dalam sebagian terbesar survei, koreksi yang
demikian dilakukan dengan penyesuaian statistik yang relatif kasar. Akan tetapi
apabila diperlukan ada juga metode-metode yang lebih teliti yang dapat digunakan
untuk menyempurnakan ketelitian pendugaan tersebut.
Suatu hal penting dari survei penggunaan lahan konvensional adalah
keterangan-keterangan yang dikumpulkan hanya dapat dihubungkan dengan
keadaan pada saat keterangan tersebut dikumpulkan. Oleh karena itu,
dengan definisi tersebut, dapat terjadi bahwa sebagian besar hasil survei telah
kadaluwarsa (out of date) ketika survei selesai dilakukan. Survei untuk daerah
yang luas membutuhkan waktu tahunan dalam penyelesaiannya, yang mungkin
sebetulnya sudah tidak dipakai lagi menjelang saat dikeluarkannya laporan dan
peta. Penggunaan metode-metode statistik dapat mengurangi jumlah contoh
yang diperlukan. Demikian juga penggunaan metode-metode pengolahan data
elektronik dapat mempercepat penyajian hasil survei. Lebih jauh lagi dengan
bantuan penggunaan metode statistik yang lebih maju dan analisis menggunakan
komputer, keterangan dapat segera diperoleh dan langsung dapat digunakan,
serta mampu diproyeksikan untuk keadaan masa mendatang.
62 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Penggunaan teknik kuantitatif dalam survei penggunaan lahan telah


didiskusikan secara menyeluruh dalam Zonn (1981). Dalam uraiannya
dikemukakan secara garis besar beberapa teknik kuantitatif dasar terutama
statistik deskriptif yang dapat digunakan dalam analisis data penggunaan lahan.

4.2 Model Sistem Informasi Penggunaan Lahan


Model sistem informasi penggunaan lahan menunjukkan kisaran (range)
dan macam (type) penggunaan lahan dan data yang dibutuhkan agar dapat
menganalisis berbagai permasalahan dalam penggunaan lahan. Dalam hubungan
ini Aldrich (1981) mengemukakan model sistem informasi penggunaan lahan
umum seperti tertera pada Gambar 2. Setiap lokasi (site) atau sebidang lahan
memberikan empat perangkat (subsets) informasi yaitu (1) lahan itu sendiri, (2)
kemampuannya, (3) penggunaan sekarang, dan (4) penutupan lahan (resulting
land cover).
Lahan dalam hal ini merupakan totalitas sifat-sifat alami dari permukaan
ataupun lapisan bawah dari suatu lokasi tertentu sehingga merupakan bahan
mentah (raw material) dari suatu lokasi tertentu tersebut. Sifat-sifat ini meliputi
tipe dan sifat tanah, lereng, iklim, geologi, hidrologi, dan biologi.
Kemampuan lahan. Bahan mentah lahan tersebut dievaluasi melalui
saringan kultural atau budaya (cultural filters) termasuk titik pandangan, sikap
(attitudes), nilai (values), interpretasi, kebiasaan, moral, dan etika. Atas dasar
fenomena secara kultural tersebut, dibentuk persepsi tertentu kemampuan lahan.
Persepsi ini dapat secara sadar dan terstruktur (structured) atau secara tidak sadar
dan tidak terstruktur dan berbias.
Bab IV Teknik Survei dan Model Sistem Informasi Penggunaan Lahan | 63

Gambar 2 Model sistem informasi penggunaan lahan umum (Dari Aldrich


1981)

Beberapa faktor kemampuan lahan tertentu pada kenyataannya tidak


dihasilkan melalui evaluasi perseptif (perceptive). Hal ini terdiri dari produktivitas
bawaan (inherent productivity) secara alami di mana terdapat tumbuhan (flora) dan
hewan (fauna) tanpa ada campur tangan manusia, serta atas dasar kemampuan
genetik dan sifat-sifat alami lahan itu sendiri. Secara bersama-sama kedua hal ini
membentuk potensi kemampuan lahan yang ada pada lokasi tersebut (Aldrich
1981).
Data yang berhubungan dengan kemampuan lahan dapat dikelompokkan
ke dalam enam kategori umum sebagai berikut: (1) kemampuan beradaptasi
lahan (adaptability of land), sebagai contoh, untuk tanaman tertentu dan kegiatan
pertanian; (2) produktivitas lahan (productivity of land), termasuk hasil dalam
rupiah, jumlah (volume) atau jumlah tanaman atau jumlah dan jenis kegiatan
yang berbeda; (3) bahaya areal (hazards of the area), termasuk semua jenis bahaya-
bahaya alami, ekonomik dan sosial; (4) teknologi tersedia, yang menentukan
64 | Perencanaan Penggunaan Lahan

terhadap kisaran kemungkinan untuk penggunaan lahan pada suatu lokasi


tertentu; (5) kelayakan penggunaan lahan (feasibility of land use), karena keragaman
dalam teknologi, kebijakan pemerintah, dan keadaan alami dari lokasi; dan (6)
kemampuan yang dikelaskan (classified capability), termasuk evaluasi perseptif
sifat-sifat tanah, iklim, biotik atau genetik, fisiografik dan kultural/budaya.
Penilaian kemampuan lahan dapat dilakukan melalui proses formal atau
informal. Dalam proses formal, potensi atau kemampuan sebidang lahan
ditentukan melalui sistem klasifikasi yang dibakukan yang menilai kegunaan atau
nilai dari lokasi tertentu untuk penggunaan khusus. Berbagai sistem klasifikasi
lahan yang berorientasi pada kemampuan lahan pertanian telah dikemukakan.
Beberapa di antaranya telah ditelaah dan didiskusikan oleh Sitorus (2004c).
Dalam menilai kemampuan lahan suatu areal, Direktorat Tata Guna Tanah,
Departemen Dalam Negeri menggunakan delapan faktor penilai yaitu: (1)
Lereng, (2) kedalaman efektif, (3) Tekstur, (4) Drainase, (5) Erosi, (6) Gambut,
(7) Tutupan batuan, dan (8) Kegaraman. Untuk keperluan penilaian kemampuan
pada tingkat skala peta yang besar (1:10.000 dan 1:5.000), selain faktor-faktor di
atas juga digunakan satu faktor tambahan yaitu kemasaman tanah (Anonimous
1983a).
Proses penilaian kemampuan lahan secara informal biasanya dilakukan
dengan menggunakan sistem rating yang dikembangkan (established rating
systems). Sebagai contoh, apabila seseorang ingin mendirikan atau membuka
sebuah restoran atau toko buku atau salon kecantikan, maka dia pertama sekali
memilih lokasi yang tepat guna (an appropriate site) berdasarkan atas persepsinya
terhadap faktor-faktor lokasi yang penting dalam keberhasilan usaha tersebut.
Refleksi ini mungkin juga timbul pada tingkat setengah sadar, dan bagi individu
yang terlibat, lokasi tersebut dapat dinilai dan dirasakan tepat atau salah untuk
jenis usaha tersebut.
Penggunaan lahan. Berbagai keterangan atau data dibutuhkan dalam
kaitannya dengan inventarisasi penggunaan lahan sekarang, termasuk lokasi,
keterjangkauan, pemilikan, zonasi (zoning), kebijakan pemerintah, dan persepsi
penduduk. Berbagai aspek yang berkaitan dengan data sosial-ekonomi seperti
nilai, sewa lahan, pajak, biaya pengangkutan, biaya sosial, biaya modal, dan
sikap, penting diketahui sebelum memilih penggunaan lahan tertentu dan dalam
perubahan dari satu bentuk penggunaan lahan ke bentuk penggunaan lahan yang
lain. Demikian juga keterangan-keterangan tentang penggunaan lahan terdahulu
Bab IV Teknik Survei dan Model Sistem Informasi Penggunaan Lahan | 65

juga penting dalam dinamika penggunaan lahan. Kecepatan perubahan, jenis


perubahan dan alasan-alasan terhadap dilakukannya modifikasi penggunaan
lahan dapat merupakan masukan terhadap pemahaman permasalahan dan issue
yang dihadapkan kepada penganalisis penggunaan lahan.
Dalam pemilihan sistem klasifikasi penggunaan lahan formal, satu teknik
adalah menentukan kisaran penggunaan yang ada di suatu areal dan kemudian
membagi-baginya sesuai dengan keperluan studi. Sistem seperti ini mempunyai
keuntungan karena dapat disesuaikan menurut kebutuhan pada studi tertentu.
Sebagai contoh adalah Survei Penggunaan Tanah Pedusunan oleh Direktorat
TGT di Indonesia, survei penggunaan lahan di Inggris Raya, survei penggunaan
lahan di pedesaan di Puerto Rico dan klasifikasi otorita lembah Tennesse (TVA).
Masing-masing sistem ini berbeda, sesuai dengan perbedaan dalam kepentingan
(purposes) dan skala, meskipun sistem-sistem tersebut mempunyai kesamaan
dalam dasar-dasarnya. Klasifikasi lainnya yang meliputi baik klasifikasi penutupan
lahan secara kasar (crude land cover classification) maupun penggunaan lahan telah
dikembangkan oleh Survei Geologi Amerika Serikat pada tahun 1976. Klasifikasi
ini khusus dirancang untuk penggunaan Citra LANDSAT (satelit bumi) skala-
kecil. Sistem klasifikasi ini mempunyai banyak tingkatan (multiple level) satuan
kemampuan untuk penggunaan lahan perkotaan dan perdesaan serta penutupan
lahan.
Penutupan Lahan. Komponen utama keempat dari model sistem informasi
penggunaan lahan adalah penutupan lahan (lihat Gambar 2). Penutupan lahan
merupakan hasil akhir dari penggunaan lahan. Penutupan lahan meliputi bukan
hanya bangunan dan penutupan vegetasi atau modifikasi yang dibuat langsung
oleh manusia, akan tetapi juga hasil-hasil proses-proses alami yang terjadi tanpa
interaksi manusia. Dalam model sistem pada Gambar 2. hal ini ditunjukkan dengan
garis-panah yang memanjang dari lahan ke penutupan lahan dan juga garis panah
dari penggunaan lahan ke penutupan lahan. Garis panah yang diarahkan dari
penutupan lahan ke lahan menggambarkan komponen-komponen penutupan
lahan yang mewakili bahan mentah (raw materials) dan yang kemudian menjadi
bagian dari lahan kembali.
Penutupan lahan dapat merupakan ekspresi yang dapat kelihatan (visible
expression) dari aktivitas manusia dan hasil proses-proses alami. Data penutupan
lahan dapat digolongkan ke dalam tiga kelas umum yaitu: (1) meliputi bangunan-
bangunan untuk melayani aktivitas manusia seperti keadaannya, modifikasi,
66 | Perencanaan Penggunaan Lahan

deskripsi dan ketahanan (persistence); (2) terdiri dari fenomena biotik, termasuk
vegetasi alami dan kehidupan binatang seperti deskripsinya, ada atau tidaknya
keadaan serial atau klimaks, perubahan-perubahan dan laju perubahan. Kategori
biotik mungkin juga meliputi tanaman-tanaman pertanian dan ternak, atau
setiap perubahan penutupan lainnya sebagai hasil dari keputusan penggunaan
lahan; dan (3) kelompok data yang lebih umum dan meliputi setiap tipe atau
jenis pembangunan.
BAB V
PERMASALAHAN
DALAM PENGGUNAAN LAHAN

5.1 Permasalahan Umum Penggunaan Lahan


Berbagai areal di dunia termasuk di Indonesia menghadapi permasalahan,
baik secara langsung ataupun tidak langsung berhubungan dengan cara lahan
tersebut digunakan. Dengan bertitik tolak dari keadaan di Malaysia misalnya,
Kadir (1976) mengelompokkan permasalahan penggunaan lahan ke dalam tiga
kelompok yaitu (1) permasalahan sebagai hasil buatan manusia (man-made), (2)
masalah karena keadaan alam, dan (3) masalah yang timbul karena sifat-sifat
tanah asli.
Rekomendasi atau saran pemecahan terhadap berbagai permasalahan
penggunaan lahan ini sering menimbulkan perselisihan (conflict) diantara
kelompok penduduk dalam areal atau diantara pengambil keputusan (misalnya
antar Departemen atau badan-badan lainnya). Perbedaan pendapat sering
terjadi pada saat perencanaan perubahan penggunaan lahan yang secara drastis
dilakukan. Sebaliknya, pada areal yang lebih mapan dengan pola penggunaan
lahan yang tetap selama bertahun-tahun pada umumnya permasalahan ataupun
perselisihan yang timbul relatif sedikit.
Permasalahan penggunaan lahan pada dasarnya merupakan hasil dari
berbagai faktor yang kompleks. Lounsbury (1981) mengemukakan empat faktor
atau keadaan penting yang sering menimbulkan permasalahan dalam penggunaan
lahan yaitu: (1) perubahan dalam jumlah dan penyebaran penduduk dalam
suatu wilayah terutama sebagai hasil dari pertambahan penduduk yang cepat
atau migrasi; (2) perbedaan dalam nilai (values), sikap (attitudes) dan persepsi
(perceptions) penduduk setempat atau penduduk daerah yang berdekatan; (3)
68 | Perencanaan Penggunaan Lahan

pengembangan lahan (land development) yang tidak disesuaikan (unsuited) pada


sifat-sifat alami lahan; (4) ciri (nature) dan tipe pengawasan dan perencanaan
penggunaan lahan (land use controls and planning).
Secara umum Isa (1985) mengemukakan permasalahan dalam penggunaan
lahan itu sendiri disebabkan eksistensi tanah selain sebagai benda fisik alami
yang berkaitan dengan produksi tanaman, juga sebagai benda politik yang
apabila timbul permasalahan diatasnya harus diselesaikan dengan peraturan
perundangan, serta sebagai benda ekonomi yang haknya dapat diperjualbelikan,
diwariskan ataupun dihibahkan. Keseluruhan faktor-faktor diatas berinterrelasi
dan perubahan dalam satu faktor mengakibatkan perubahan pada faktor lainnya.
Beberapa faktor hanya mempengaruhi terhadap areal lokal, sedangkan faktor yang
lain dapat berpengaruh terhadap tingkat wilayah atau nasional. Permasalahan
dan kericuhan sering timbul di masyarakat sebagai akibat dari kenyataan bahwa
lahan itu juga berfungsi sebagai benda politik dan benda ekonomi tersebut.
Permasalahan penggunaan lahan sering berhubungan dengan perubahan
penduduk terutama dengan laju pertambahan penduduk dan penyebaran yang
tidak merata. Peningkatan dalam jumlah dan perpindahan penduduk dari satu
wilayah ke wilayah lain menyebabkan peningkatan jumlah penduduk yang sangat
besar di suatu wilayah tertentu dibandingkan dengan laju peningkatan rata-rata
secara nasional. Fenomena ini sangat jelas terlihat di daerah perkotaan, sehingga
mempunyai dampak terhadap meningkatnya permasalahan dalam penyediaan
lahan untuk permukiman, kemacetan lalu lintas dan kehilangan lahan-lahan
pertanian sebagai akibat pengalihgunaan lahan pertanian ke penggunaan bukan-
pertanian. Perubahan dalam perbandingan atau nisbah penduduk perkotaan/
pedesaan terutama merupakan hasil dari revolusi industri dan kemajuan teknologi.
Perbaikan dalam sanitasi dan kesehatan membuat lingkungan kehidupan menjadi
lebih terjamin dan terpelihara. Penggunaan teknologi maju dalam peningkatan
produksi pertanian seperti pemupukan, hibridisasi, penggunaan mesin-mesin,
menghasilkan peningkatan produksi pertanian per satuan luas, dan mengurangi
kebutuhan tenaga kerja di bidang pertanian. Perubahan yang demikian
menyebabkan banyaknya tenaga kerja (penduduk) berpindah dari pedesaan ke
kota untuk mencari lapangan kerja baru. Keseluruhan hal ini dan perubahan
dalam penyebaran penduduk telah menghasilkan perubahan dalam penggunaan
lahan.
Bab V Permasalahan dalam Penggunaan Lahan | 69

Budaya masyarakat akan berpengaruh langsung terhadap cara penggunaan


sumberdaya lahan. Perubahan nilai dan sikap mempengaruhi terhadap
pola penggunaan lahan terutama: (1) apabila kepentingan diletakkan pada
pertumbuhan ekonomi, (2) kemampuan dan keinginan (willingness) untuk
berganti tempat kerja atau tempat tinggal; (3) keengganan pada pembangunan
dan penggunaan angkutan umum, dan (4) keinginan untuk tinggal/kehidupan
di alam terbuka (open space living).
Pertumbuhan ekonomi telah lama dikenal sebagai tolok ukur kemajuan
pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten / kota, dan perorangan. Pertumbuhan
ekonomi menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan berbagai sumberdaya,
termasuk sumberdaya lahan. Perubahan dalam penggunaan lahan merupakan
suatu keharusan untuk dapat menyediakan lebih banyak energi dan ruang
atau tempat (space) untuk perluasan industri, pemukiman/perumahan, daerah
perdagangan, dan sistem transportasi.
Perubahan dalam status ekonomi seseorang sering mengakibatkan perubahan
lokasi tempat tinggal. Sebagian penduduk yang meningkat kemampuan
ekonominya berupaya untuk dapat tinggal di daerah-daerah perumahan yang
teratur yang umumnya dibangun di daerah-daerah pinggiran kota (suburb).
Hal ini menyebabkan perubahan dalam penggunaan lahan, sehingga sering
menimbulkan perselisihan atau perbedaan pendapat tentang bagaimana lahan
seharusnya digunakan atau pola penggunaannya tidak sesuai dengan pola
penggunaan lahan yang rasional yang mempertimbangkan kelestarian fungsi
lingkungan. Sebagai contoh, terlihat dalam pembangunan yang tidak terkendali
selama beberapa dekade terakhir ini di sekitar kawasan pariwisata Puncak dan
wilayah jalur jalan Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur yang akhir-akhir ini dianggap
sudah sedemikian membahayakan terhadap tata lingkungan di sekitarnya. Untuk
menata kembali daerah ini pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden
No. 48 tahun 1983 (Keppres No. 48/1983), tentang penanganan khusus penataan
ruang serta penertiban dan pengendalian pembangunan di kawasan tersebut.
Dengan penataan kembali penggunaan lahan di kawasan ini diharapkan fungsi
lingkungan dapat dilestarikan, terutama yang berkaitan dengan pengaturan tata
air atau fungsi hidrologis kawasan tersebut. Hal ini penting dalam hubungannya
dengan pengaturan fluktuasi debit air sungai-sungai sepanjang tahun dari sungai-
sungai yang berhulu di kawasan ini serta bermuara di pantai utara pulau Jawa
di sekitar Ibukota Jakarta Raya yang padat penduduknya. Dengan demikian,
70 | Perencanaan Penggunaan Lahan

areal pertanian dan permukiman yang berada di sepanjang daerah aliran sungai
tersebut dapat terhindar dari bahaya banjir di musim hujan dan kekeringan di
musim kemarau.
Persepsi dari setiap orang atau kelompok terhadap permasalahan penggunaan
lahan sering berbeda-beda dan kadang-kadang dapat berbeda dari kenyataan.
Persepsi dalam kaitannya dengan perubahan penggunaan lahan dapat ditunjukkan
dalam zonasi tata ruang (spatial zone) seperti terlihat pada Gambar 3. Perubahan
penggunaan lahan yang secara langsung mempengaruhi lingkungan-lingkungan
alami, sosial dan ekonomi dari suatu lokasi (dalam hal ini lokasi X). Daerah yang
mempunyai dampak langsung ini luasannya dapat beragam dari beberapa petak
lahan/blok hingga beberapa kilometer bujur sangkar.

Gambar 3 Zonasi tata ruang dampak atau reaksi terhadap perubahan penggunaan
lahan (Dari Lounsbury 1981)

Diantara hasil-hasil lainnya, dampak langsung juga dapat terlihat pada


perubahan dalam susunan secara alami (natural setting), kebisingan lalu lintas,
kerapatan atau komposisi penduduk dan nilai properti (property values). Sebagai
contoh adalah pembangunan daerah industri atau perdagangan di-atau dekat
daerah permukiman. Dalam kasus ini, untuk masing-masing perorangan atau
kelompok, perubahan penggunaan lahan mempunyai pengaruh nyata pada
lokasi dan umumnya menghasilkan berbagai reaksi atau aksi sebagai pernyataan
atau unjuk rasa setuju atau tidak setuju.
Bab V Permasalahan dalam Penggunaan Lahan | 71

Di sekeliling areal yang mempunyai dampak langsung tersebut (areal 1),


areal dengan ukuran yang tidak tertentu (indefinite size) dapat dijumpai dimana
perubahan penggunaan lahan tidak mempengaruhi langsung lokasi X, tetapi secara
tidak langsung dapat mempengaruhi lingkungan yang berdekatan di sekitarnya
(areal 2). Peningkatan lalu-lintas atau kerapatan penduduk disertai dengan
perubahan penggunaan lahan di areal 2 tidak akan langsung berpengaruh terhadap
lokasi X, tetapi mempunyai dampak tidak langsung yang mungkin menyebabkan
penduduk di lokasi X akan mengalami gangguan atau ketidaktenteraman,
misalnya dalam bepergian ke daerah lain atau perubahan dapat menyebabkan
pengunjung yang terlalu padat pada pusat perbelanjaan atau jumlah murid-
murid terlalu banyak untuk ke sekolah dan sebagainya. Pada daerah belakang
dari daerah yang mempunyai dampak langsung atau tidak langsung, perubahan
dalam penggunaan lahan saja tidak mempunyai pengaruh pada lokasi Y (areal
3). Akan tetapi, perubahan penggunaan lahan di areal 3 dapat menyebabkan
reaksi berdasarkan atas prinsip-prinsip, nilai atau emosi. Adanya daerah-daerah
hutan atau rimba, tempat-tempat penting bagi masyarakat lokal setempat, lokasi
keagamaan atau tempat bersejarah, monumen, dan sejenisnya dapat menimbulkan
reaksi yang demikian. Areal ini (areal 3) dapat berupa provinsi, negara, benua
atau dunia tergantung dari minat/perhatian dan perspektif dari perseorangan
atau kelompok tersebut.
Permasalahan dalam penggunaan lahan dapat merupakan akibat langsung
dari penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan keadaan dan potensi lingkungan
alami lahan tersebut. Dalam beberapa kasus tertentu, kesalahan dalam
pengambilan keputusan sebagai akibat dari kesalahan penilaian yang didasarkan
atas data yang tidak lengkap tidak segera dapat terlihat dalam kurun waktu yang
singkat, misalnya beberapa tahun. Pengaruh negatifnya kadang-kadang baru
terasa setelah puluhan tahun kemudian.
Berbagai faktor yang dianggap penting terhadap kesesuaian suatu lokasi
untuk penggunaan lahan tertentu dapat meliputi: (1) kemiringan lereng, (2)
susunan batuan induk, (3) komposisi kimia tanah dan batuan induk, (4) sifat
pemadatan tanah, (5) porositas dan permeabilitas tanah dan batuan di bawahnya,
(6) kelarutan batuan induk, (7) kedalaman permukaan air tanah, dan (8) stabilitas
vulkanik dan tektonik.
Menanggulangi berbagai permasalahan yang berhubungan dengan kerusakan
tanah akibat dari salah penggunaan secara teknis akan dapat diatasi walaupun
disadari bahwa pekerjaan ini cukup kompleks sehingga perlu penanganan
72 | Perencanaan Penggunaan Lahan

interdisiplin dan menyeluruh. Demikian juga halnya menanggulangi permasalahan


penggunaan lahan dari segi hukum terutama di masyarakat Indonesia dewasa
ini tidak kurang peliknya. Hal ini terutama karena masalahnya itu sendiri sangat
dinamis sehingga berbagai upaya yang dilakukan sering kalah cepat untuk bisa
mengikuti dinamika tersebut.
Isa (1985) mengelompokkan lima sumber permasalahan lahan yang dapat
mengakibatkan gangguan terhadap lingkungan hidup dan kekacauan di bidang
penguasaan lahan: (1) karena sejarah; (2) karena keadaan sosial ekonomi; (3)
karena sosial budaya; (4) karena langkah-langkah politik; dan (5) karena institusi
tradisional. Dalam hal ini pengertian permasalahan dikaitkan atau identik
dengan penyimpangan dari tolok ukur yang masih berlaku dan digunakan seperti
tertuang dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
Permasalahan tanah yang berpangkal dari sejarah telah dibahas oleh
Isa (1985). Berbagai bentuk penguasaan tanah telah diperkenalkan pada saat
Belanda datang ke Indonesia kurang lebih 350 tahun yang lalu, sehingga terjadi
perubahan yang mendasar dalam penguasaan tanah. Tanah yang semula dikuasai
secara bersama-sama oleh penduduk sebagai tanah marga, tanah ulayat dan
sebagainya, secara berangsur-angsur berubah menjadi bentuk penguasaan secara
pribadi sehingga pengertian hak milik menjadi kuat. Pada saat itu juga timbul
dualisme dalam penguasaan tanah di Indonesia, yaitu Hak Barat dan Hak Adat
(hak tanah cara pribumi). Dengan kemerdekaan Indonesia, maka penguasaan
tanah atas Hak Barat (seperti erfpach, eigendom) menjadi goyah dan hingga
kini menjadi sumber utama permasalahan tanah di Indonesia, antara lain karena
secara fisik diterlantarkan, subyek haknya tidak kembali, surat-suratnya tidak
ada, dan lain sebagainya.
Dalam upaya menyelesaikan tanah-tanah yang menjadi permasalahan karena
perkembangan sejarah tersebut, Isa (1985) mengidentifikasi banyak hambatan
yang harus diatasi, baik yang sifatnya politis (misalnya pendapat yang keliru
bahwa UUPA merupakan produk atau hasil PKI), teknis berupa kurangnya
kemampuan baik personil, peralatan, dan dana dari instansi yang menangani
bidang pertanahan dengan besarnya pekerjaan dan permasalahan yang dihadapi,
maupun sifatnya pribadi termasuk sikap yang terlalu subyektif dari pribadi
pejabat dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul.
Permasalahan tanah yang berpangkal dari keadaan sosial ekonomi timbul
sejalan dengan perkembangan penduduk, baik dalam jumlah maupun dalam
tingkat kehidupan yang makin meningkat dan kompleks. Petani secara turun
Bab V Permasalahan dalam Penggunaan Lahan | 73

temurun telah mengusahakan lahan yang relatif subur, sehingga permukiman


dan jumlah penduduk yang terbanyak terdapat diatas lahan yang subur tersebut.
Peningkatan dalam pembangunan terutama prasarana dan sarana pelayanan
masyarakat menuntut adanya pembangunan diatas lahan subur tersebut. Berbagai
dampak penggunaan lahan subur ini terhadap produksi pertanian walaupun
telah diketahui, sering tidak dapat dihindari. Dengan demikian lahan subur yang
terbatas jumlahnya dan areal pemilikan petani yang relatif kecil tersebut bertambah
lama bertambah sempit. Demikian juga penguasaan lahan sempit oleh sejumlah
besar penduduk mengakibatkan musyawarah ganti-rugi berkepanjangan, karena
sering harga yang ditawarkan kepada pemilik dipandang terlalu rendah. Hal ini
sering menimbulkan kelambatan dalam pembebasan tanah bagi proyek-proyek
pembangunan.
Permasalahan tanah yang berpangkal dari sosial budaya terutama
berhubungan dengan keadaan penduduk yang sebagian besar sebagai petani
kecil. Sebagai petani kecil, ada yang bertani secara menetap seperti di Pulau
Jawa pada umumnya, dan ada pula yang bertani secara berpindah-pindah.
Kebiasaan penduduk ini, terutama perladangan berpindah-pindah (misalnya di
sebagian besar Papua dan Papua Barat) selain merusak sumberdaya lahan itu
sendiri, juga sering menyulitkan dalam pemanfaatan tanah bekas perladangan
berpindah tersebut untuk keperluan pembangunan. Hal ini terutama karena
ketidakjelasan dalam batas-batas penguasaan tanah serta subyek hukumnya,
sehingga secara teknis menyulitkan dalam penyelesaian ganti ruginya. Selain itu,
pada daerah-daerah tertentu (misalnya Badui di Banten, Jawa Barat dan kubu, di
Jambi) tidak terbuka untuk menerima teknik-teknik baru dalam mengusahakan
areal pertaniannya. Mereka tetap berladang atau menanam padi di lahan kering
berlereng sesuai dengan budaya yang diwarisi secara turun temurun.
Permasalahan tanah sebagai akibat langkah-langkah politik dapat
terlihat dari kebijakan perundang-undangan yang ada. Masing-masing undang-
undang mempunyai kepentingan yang saling berbeda dan kadang-kadang
bertentangan satu dengan lainnya. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan
yang memperlambat proses pembangunan. Sebagai contoh, sejak UU 5 – 1960
diundangkan, menyusul pula sederetan undang-undang lain seperti UU 5 – 67,
UU 11 – 67, UU 3 – 72, UU 11 – 74, UU 4 – 82, UU 5 – 84, yang semuanya
dikeluarkan karena memang dirasakan ada kebutuhannya. Permasalahannya
adalah setiap undang-undang tersebut langsung ikut mengatur sebidang tanah
yang seharusnya sudah diatur oleh UU 5 – 1960 (UUPA).
74 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Permasalahan tanah sebagai akibat dari institusi tradisional di masyarakat


terutama berkaitan dengan pengaturan tanah secara turun temurun yang sering
tidak tertulis sehingga batas-batasannya sering tidak jelas seperti misalnya tanah
wakaf mesjid, tempat ibadah, tanah druwe pura, tanah pangonan di desa dan
lain-lain. Permasalahan sering timbul misalnya karena tanah wakaf dijadikan
milik pribadi, tanah desa atau pangonan secara berangsur-angsur hilang tanpa
bekas ataupun penggunaan tanah yang dikuasai bersama (secara patriarkhat atau
matriarkhat) untuk pelaksanaan pembangunan fasilitas umum.
Berbagai permasalahan yang timbul sebagai akibat dari berbagai faktor di atas
biasanya dapat diselesaikan yang walaupun kadang-kadang membutuhkan waktu
yang cukup lama, kadang-kadang tidak dapat tuntas secara keseluruhan. Berbagai
langkah dapat ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan dalam bidang
pertanahan. Isa (1985) menyarankan empat langkah yang bisa ditempuh sebagai
berikut: (1) pendekatan pribadi; (2) musyawarah terutama melalui keterbukaan
pihak yang bermasalah, (3) mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru dalam
bentuk undang-undang, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan lain-lain.
Misalnya UU 51 – 1960, tentang larangan bagi setiap pihak untuk menggunakan
tanah tanpa seizin yang berhak; Inpres 1 – 1976, tentang sinkronisasi di bidang
pertanahan untuk secara bersama-sama memecahkan masalah pertanahan yang
ada, di bawah pimpinan kepala daerah; (4) mengumpulkan data baru. Apapun
cara dan usul yang disarankan untuk ditempuh, pada kenyataannya sikap saling
menahan diri dari dorongan keinginan dari pihak-pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikannya secara tuntas merupakan faktor penting dalam keberhasilan
upaya penyelesaian berbagai permasalahan di bidang pertanahan.
Perencanaan dan pengawasan penggunaan lahan merupakan hal penting
dalam memecahkan permasalahan penggunaan lahan. Pertanyaan yang sering
timbul adalah siapa sebenarnya yang berkewajiban atau bertanggungjawab
dalam perencanaan dan pengawasan penggunaan lahan tersebut di Indonesia?
Jawabannya mungkin tidak sederhana, tetapi paling tidak dapat dicatat bahwa
Direktorat Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri dan sekarang Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan salah
satu instansi pemerintah yang diberi tugas dalam menginventarisasi, memberi
informasi, dan merencanakan penggunaan lahan pada waktu yang akan datang
serta memberi izin penggunaan lahan di Indonesia.
BAB VI
KONVERSI LAHAN PERTANIAN DAN
MULTIFUNGSI LAHAN PERTANIAN

6.1 Konversi Lahan Pertanian


Perkembangan suatu wilayah akan berdampak pada meningkatnya tekanan
terhadap lahan dan konversi lahan sebagai akibat peningkatan jumlah penduduk,
aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat. Sementara itu, fungsi lahan pertanian
luas, baik secara ekonomi, sosial maupun lingkungan, sehingga konversi lahan
pertanian dapat menimbulkan dampak negatif yang luas pula. Misalnya,
berkurangnya lahan garapan petani, hilangnya lapangan pekerjaan petani,
hilangnya aktivitas sosial masyarakat petani, berkurangnya produksi pertanian,
khususnya tanaman pangan terhadap ketahanan pangan lokal maupun regional
(provinsi atau kabupaten /kota). Oleh karena itu, dampak negatif tersebut
seyogyanya dapat diupayakan diminimalkan agar lahan dapat memberikan
manfaat yang optimal dan berkelanjutan dalam menunjang peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan ketahanan pangan nasional.
Masalah alih fungsi atau konversi lahan pertanian menjadi lahan non-
pertanian selalu menjadi isu hangat dalam upaya meningkatkan pangan nasional.
Berbagai penelitian dan kajian tentang konversi lahan telah banyak dilakukan
dalam dekade-dekade terakhir ini (lihat antara lain Rosnila et al. 2005; Sitorus et
al. 2009; Sitorus et al. 2011a; Sitorus et al. 2011b; Sitorus et al. 2012a; Sitorus
et al. 2012b; Sitorus et al. 2012c; Sitorus et al. 2015). Konversi lahan pertanian,
khususnya lahan sawah telah terjadi pengurangan dalam rentang waktu 1999-
2002, dengan laju tahunan konversi lahan baru 110.000 hektar. Pada periode
2002–2006 laju konversi meningkat menjadi 145.000 hektar per tahun dan
terus meningkat sehingga pada rentang periode 2007–2010. Di Jawa saja laju
konversi rata-rata 200.000 hektar per tahun. Menurut data BPS antara tahun
76 | Perencanaan Penggunaan Lahan

1981–1999 di Jawa terjadi pengurangan luas lahan sawah sebesar 483.831 hektar
dan terjadi kenaikan yang tajam pada dekade berikutnya. Jika kondisi ini terus
berlangsung, upaya pemerintah untuk peningkatan ketahanan pangan dan
pemenuhan pangan dapat terganggu.
Dibandingkan dengan gangguan produksi lain seperti peningkatan serangan
hama/penyakit dan kekeringan, konversi lahan sawah merupakan ancaman
yang lebih serius terhadap ketahanan pangan (Irawan 2002). Hal ini dapat
terjadi karena dua fàktor yaitu: (1). Proses konversi lahan relatif sulit dihindari
karena merupakan suatu proses alami yang terkait dengan kelangkaan lahan,
pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk, dan (2). Dampak konversi
lahan sawah terhadap penurunan produksi padi cenderung bersifat permanen
karena lahan sawah yang sudah dikonversi ke penggunaan non-pertanian seperti
pembangunan jalan, kawasan industri dan kompleks perumahan tidak akan
pernah berubah kembali menjadi lahan sawah. Dampak konversi lahan sawah
seperti ini menyebabkan peluang produksi padi yang hilang akibat konversi
tidak hanya dirasakan pada saat kejadian konversi, tetapi juga pada tahun-tahun
berikutnya atau dampak tersebut bersifat kumulatif .
Selain berdampak pada pengurangan produksi padi melalui penurunan
luas panen, konversi lahan sawah dapat menimbulkan dampak negatif secara
ekonomis, sosial, dan lingkungan dalam konteks yang lebih luas. Hal ini karena
keberadaan lahan sawah dan aktivitas usahatani yang dilakukan petani, secara
langsung maupun tidak langsung, sebenarnya memiliki fungsi ekonomi, sosial
dan lingkungan yang cukup luas (Munasinghe 1992; Callaghan 1992; Kenkyu
1996). Fungsi-fungsi tersebut akan hilang jika lahan sawah dikonversi ke
penggunaan non-pertanian seperti pembangunan kompleks perumahan. Salah
satu fungsi ekonomi lahan sawah adalah sebagai penghasil padi dan sumber
pendapatan rumah tangga pedesaan. Fungsi secara sosial dapat dilihat dari
berkurangnya kegiatan usahatani padi (lapangan kerja) yang dilakukan pada
lahan sawah. Secara lingkungan berkaitan dengan biodiversity yang terdapat pada
lahan sawah, berkurangnya kemampuan lahan dalam menahan limpahan aliran
permukaan yang dapat menimbulkan banjir dan seterusnya.
Berbagai peraturan yang berkaitan dengan upaya pengendalian konversi
lahan pertanian sebenarnya telah diterbitkan pemerintah. Secara umum
peraturan-peraturan tersebut terkait dengan tiga aspek konversi lahan yaitu: (1)
Jenis lahan pertanian yang dilarang dikonversi ke penggunaan non-pertanian,
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 77

(2) Pengaturan lokasi lahan pertanian yang dilarang dikonversi ke penggunaan


non-pertanian, dan (3) Prosedur legal yang harus ditempuh untuk melakukan
konversi lahan pertanian.
Berbagai peraturan tersebut pada kenyataannya belum efektif untuk
mengendalikan konversi lahan yang terus terjadi. Hal ini dapat dilihat dari
berbagai kasus konversi lahan di berbagai wilayah terutama pada wilayah dengan
perkembangan wilayah yang tinggi. Demikian pula berbagai kasus konversi lahan
di Jawa yang banyak melibatkan lahan sawah, yang notabene dilarang dikonversi ke
penggunaan non-pertanian (UU LP2B), menunjukkan bahwa upaya pemerintah
untuk mengendalikan konversi lahan pertanian belum dapat diimplementasikan
secara optimal. Dalam kaitan ini perlu dilakukan suatu kajian yang bersifat
menyeluruh tentang konversi lahan sawah terkait dengan kebijakan pemerintah
dalam pengendalian konversi lahan sawah.
Oleh sebab itu, upaya untuk mempertahankan produksi beras dengan
mengendalikan konversi lahan sangat diperlukan, terutama di pulau Jawa yang saat
ini masih berperan sebagai penopang pangan nasional. Saat ini laju pertumbuhan
produksi padi semakin lambat sehingga masalah pengadaan pangan, khususnya
beras cenderung meningkat. Demikian juga laju pertumbuhan produktivitas
usahatani padi yang merupakan sumber utama bagi peningkatan produksi padi
mengalami penurunan (0,21 persen per tahun). Dengan laju pertumbuhan
produktivitas yang sangat kecil tersebut maka peningkatan produksi padi tidak
lagi sebanding dengan laju pertumbuhan kebutuhan beras yang besarnya sekitar
2–3 persen per tahun sehingga hanya mungkin dicapai melalui peningkatan luas
panen padi. Peningkatan luas panen padi dapat dilakukan melalui peningkatan
intensitas penanaman, pencetakan sawah baru, dan pembangunan jaringan
irigasi.
Untuk mendorong peningkatan produksi padi pemerintah sebenarnya telah
mengupayakan pencetakan sawah irigasi. Namun, pengembangan yang dilakukan
umumnya di luar jawa dan sebenarnya kurang menguntungkan karena terdapat
kendala biofisik lahan dan sosial yang relatif besar. Selain itu, biaya pencetakan
sawah yang tinggi dan anggaran pemerintah untuk pertanian yang semakin
terbatas diantaranya berdampak pada mengecilnya alokasi anggaran untuk
kegiatan pencetakan sawah baru.
Whermann (2011) mengungkapkan bahwa salah satu kelemahan dalam
perencanaan penggunaan lahan sehingga kurang efektif diantaranya adalah
aspek kebijakan (politik) tidak menjadi pertimbangan. Hal ini berperan dalam
78 | Perencanaan Penggunaan Lahan

terjadinya konversi lahan pertanian ke non-pertanian. Oleh karena itu, dalam


rangka mendukung peningkatan ketahanan pangan dan pembangunan pedesaan
maka upaya pengendalian konversi lahan pertanian perlu lebih ditingkatkan.
Menurut Rustiadi (2001), proses alih fungsi lahan pada dasarnya merupakan
suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi
perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang.
Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya: (1) pertumbuhan
aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya permintaan
kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak dari peningkatan jumlah
penduduk dan kebutuhan per kapita, (2) adanya pergeseran kontribusi sektor-
sektor pembangunan dari sektor-sektor primer, khususnya dari sektor sektor
pertanian dan pengolahan sumberdaya alam ke aktivitas sektor-sektor sekunder
(manufaktur) dan tersier (jasa).
Proses peralihan fungsi lahan dapat dipandang sebagai pergeseran dinamika
alokasi dan distribusi sumberdaya menuju keseimbangan baru yang lebih optimal.
Namun sering terjadi berbagai distorsi yang menyebabkan alokasi pemanfaatan
lahan berlangsung menjadi tidak efisien. Proses alih fungsi lahan pada umumnya
didahului oleh adanya proses alih penguasaan lahan. Dalam kenyataannya, di
balik proses alih fungsi lahan umumnya terdapat proses memburuknya struktur
penguasaan sumberdaya lahan (Rustiadi et al. 2003).
Menurut Kustiwan (1997) fenomena konversi lahan pertanian ke
penggunaan non-pertanian dapat dijelaskan dalam konteks ekonomika lahan,
dimana interaksi antara permintaan dan penawaran lahan akan mengarah pada
aktifitas yang paling menguntungkan sehingga konversi lahan pertanian ke
penggunaan non-pertanian tidak dapat dihindari. Secara keseluruhan aktivitas
kehidupan cenderung menuju sistem pemanfaatan sumberdaya alam dengan
kapasitas daya dukung yang semakin menurun. Sementara itu, permintaan
akan sumberdaya terus meningkat akibat tekanan pertambahan penduduk dan
peningkatan konsumsi per kapita.
Salah satu penyebab mendasar terjadinya konversi lahan pertanian
tersebut adalah rendahnya penghargaan masyarakat terhadap sektor pertanian.
Penghargaan pada sektor pertanian baru sebatas penghasil pangan, sedangkan
multifungsi lahan pertanian untuk berbagai aspek seperti lingkungan, ekonomi,
dan sosial-budaya masih belum dipertimbangkan. Perubahan aIih fungsi
lahan pertanian tersebut lebih banyak didorong oleh orientasi ekonomi yang
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 79

mementingkan keuntungan jangka pendek, tanpa memperhitungkan manfaat


yang hilang akibat berkurang atau hilangnya fungsi lingkungan lahan pertanian.
Meluasnya konversi lahan pertanian produktif dalam beberapa dekade terakhir
merupakan satu bukti diabaikannya atau tidak dipahaminya multifungsi lahan
pertanian, sehingga dampaknya dapat mengancam ketahanan pangan nasional
dan juga menurunkan kualitas lingkungan.
Konversi lahan terdiri atas dua kelompok yaitu (1.) konversi lahan yang
bersifat musiman atau temporer dan (2.) konversi lahan yang bersifat permanen.
Konversi lahan yang bersifat musiman yaitu perubahan penggunaan lahan dalam
waktu satu tahun terjadi perubahan penggunaan lahan dua kali atau lebih yang
disebabkan karena menyesuaikan faktor musim. Penggunaan lahan musiman
biasa terjadi pada lahan pertanian tanaman pangan yang juga sering disebut rotasi
tanaman. Sebagai contoh, lahan sawah pada musim penghujan digunakan untuk
tanaman padi sawah dan pada musim kemarau untuk tanaman palawija. Konversi
lahan musiman ini tidak hanya karena faktor musim saja, tetapi faktor kehendak
manusia juga turut menentukan. Konversi lahan yang bersifat permanen, yaitu
perubahan penggunaan lahan dalam periode waktu yang relatif lama. Konversi
lahan yang bersifat permanen ini dapat disebabkan karena faktor perubahan
alam, atau karena faktor kehendak manusianya sendiri.

6.2 Intensitas dan Laju Konversi Lahan Pertanian


Pada kondisi normal (tanpa krisis ekonomi-politik), konversi lahan pertanian
bisa cukup besar dan cenderung meningkat pesat seiring dengan perkembangan
perekonomian dan pertambahan penduduk (Simatupang dan Irawan 2003).
Sebagian besar alih fungsi lahan pertanian adalah untuk pemukiman, industri
dan jalan raya, yang ketiganya ditentukan oleh pertambahan penduduk dan
pembangunan ekonomi. Dengan demikian, konversi lahan pertanian merupakan
fenomena permanen yang terus menjadi ancaman serius terhadap upaya
memantapkan ketahanan pangan nasional, meningkatkan kesejahteraan petani
serta pengentasan kemiskinan di pedesaan.
Konversi lahan sawah menjadi lahan pemukiman dan industri merupakan
masalah nasional yang memberikan berbagai dampak, terutama terhadap
ketahanan pangan, berkurangnya kesempatan kerja di bidang pertanian, dan
terhadap lingkungan. Sebagai ilustrasi, antara tahun 1981 dan 1999, sekitar satu
juta hektar lahan sawah di Jawa (mencapai 30% total luas sawah di Jawa) dan
80 | Perencanaan Penggunaan Lahan

sekitar 0,6 juta hektar lahan sawah di luar Jawa (sekitar 17% total luas sawah di luar
Jawa) telah mengalami konversi lahan (Agus dan Irawan 2004). Konversi lahan
pertanian menjadi non-pertanian cenderung meningkat dan tidak membedakan
apakah lahan pertanian tersebut mempunyai produktivitas tinggi atau rendah.
Agus et al. (2001) melaporkan bahwa penyebab tingginya tingkat konversi
lahan sawah adalah karena rendahnya tingkat keuntungan bertani padi sawah,
tidak dipatuhinya peraturan tata ruang (lemahnya penegakan hukum tentang
tata ruang), keinginan mendapatkan keuntungan jangka pendek dari pengalih-
gunaan lahan sawah, dan rendahnýa koordinasi antar lembaga dan departemen
terkait dalam perencanaan penggunaan lahan.
Proses konversi lahan saat ini berlangsung cenderung tidak terkendali,
terutama terhadap lahan sawah beririgasi di Jawa dan sekitar kota-kota
besar di luar Jawa. Konversi lahan akan terus berlangsung sebagai dampak
dari berbagai kegiatan pembangunan yang memerlukan lahan seperti
sektor industri, transportasi, pendidikan, dan pemukiman (Adimihardja
2006). Lebih lanjut Winoto (2005) menyatakan bahwa ancaman
konversi lahan sawah ke depan sangat besar, yaitu mengancam sekitar
42,4% luas lahan sawah beririgasi di Indonesia, seperti tergambarkan dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemerintah Kabupaten. Salah
satu penyebabnya adalah adanya kepentingan Pemerintah daerah untuk
mengumpulkan dana berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang diupayakan
antara lain dengan cara meningkatkan nilai ekonomi lahan pertanian sehingga
konversi lahan pertanian kepenggunaan non-pertanian seperti untuk industri
atau pemukiman dianggap akan lebih menguntungkan.
Konversi lahan pertanian menjadi penggunaan non-pertanian cenderung
meningkat pesat seiring dengan pertumbuhan perekonomian dan pertambahan
penduduk. Berdasarkan data statistik pada periode tahun 1981–1999 telah terjadi
konversi lahan sawah sebesar 90.417 ha/tahun. Pada periode yang sama terjadi
pencetakan sawah baru seluas 178.954 ha/tahun sehingga terjadi penambahan
luas sawah 88.536 ha/tahun. Kemudian pada tiga tahun berikutnya laju konversi
lahan sawah tidak terkendali sehingga konversi lahan sawah pada periode tersebut
mencapai 187.720 ha/tahun, sedangkan pencetakan sawah baru hanya 46.434
ha/tahun. Konversi lahan sawah pada periode 1999–2002 tersebut sebagian besar
(70,3%) terjadi di luar Pulau Jawa dan sisanya (29,7%) di Pulau Jawa. (Diolah
dari BPS, 1981–2000). Fenomena tersebut menunjukkan adanya percepatan laju
konversi lahan sawah dan hilangnya berbagai manfaat atau fungsi lahan sawah
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 81

yang sudah dikembangkan. Secara keseluruhan pada periode 1981–2002 tersebut


pencetakan sawah baru mencapai 3,4 juta ha, tetapi kemudian dikonversi lagi
sebanyak 2,2 juta ha (65%) (Tabel 4).

Tabel 4 Konversi pembukaan baru sawah di Indonesia periode tahun 1981–


2002
Konversi Pembukaan baru Neraca
Wilayah (ha/ (ha/
(ha) (ha) (ha)
tahun) tahun)
Periode Tahun 1981-1999
Jawa 1.002.055 55.669 518.224 28.791 -483.831
Luar Jawa 625.459 34.748 2.702.939 150.163 +20.77.480
Indonesia 1.627.514 90.417 3.221.163 178.954 1.593.649
Periode Tahun 1999-2000
Jawa 167.150 55.717 18.024 6.008 -149.126
Luar Jawa 396.009 132.003 121.278 40.426 -273.731
Indonesia 563.159 187.720 139.302 46.434 -423.857
Sumber: diolah dari BPS (1981-2002)

Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik tahun 2004, diperoleh besaran
laju alih fungsi lahan pertanian dari lahan sawah ke non-sawah sebesar 187.720
ha per tahun, dengan rincian alih fungsi ke non-pertanian sebesar 110.164 ha per
tahun dan alih fungsi ke bentuk pertanian lainnya sebesar 77.556 ha per tahun
(BPS 2005). Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Adimihardja et al. (
2009). Pada periode 1981–1999, di Indonesia telah terjadi konversi lahan sawah
seluas 1.627.514 ha, sekitar 1 juta ha di antaranya terjadi di Jawa. Selama kurun
waktu tersebut dilakukan pula pencetakan sawah baru seluas 518.224 ha di Jawa
dan 2.702.939 ha di luar Jawa. Pada periode 1997–2003, yang merupakan masa
krisis multi dimensi, penyusutan lahan sawah di Jawa masih terus terjadi, yaitu
seluas 146.042 ha di Jawa Barat dan Banten, 115.276 ha di Jawa Tengah, dan
12.691 ha di Jawa Timur.
82 | Perencanaan Penggunaan Lahan

6.3 Multifungsi Lahan Pertanian


Istilah multifungsi pertanian mulai muncul di dunia internasional pada
awal tahun 1992, di Rio Earth Summit (De Vries 2000). Istilah multifungsi
pertanian dengan cepat berkembang digunakan dalam berbagai diskusi
mengenai masalah lingkungan, pertanian dan perdagangan internasional.
Pendukung multifungsi di bidang pertanian umumnya menunjukkan manfaat
lain selain penghasil pangan atau serat yang bisa berasal dari pertanian. Manfaat
tersebut sering kurang/tidak dihargai di pasar dan jenisnya bervariasi serta sangat
tergantung pada kondisi pertanian itu sendiri. Manfaat ini biasanya mencakup
kontribusi terhadap kepentingan masyarakat pedesaan melalui pemeliharaan
pertanian keluarga, kesempatan kerja di pedesaan dan warisan budaya, biologis,
keanekaragaman hayati, rekreasi dan pariwisata, kesehatan air tanah, bioenergi,
lansekap, pangan yang berkualitas dan aman, serta habitat bagi hewan-hewan
tertentu. Pemahaman yang komprehensif terhadap multifungsi lahan pertanian
sangat diperlukan agar kecenderungan under valued terhadap sumberdaya lahan
pertanian tersebut dapat dihindarkan (Bappenas 2006).
Sebagai penyokong utama kehidupan, lahan pertanian perlu dilihat dalam
dimensi yang lebih luas, yaitu tidak hanya semata-mata sebagai penghasil produk
jasa pertanian yang tampak nyata dan dapat dipasarkan, tetapi juga sebagai
penghasil jasa yang tidak tampak nyata. Kebanyakan dari jasa tersebut tidak/
belum diperhitungkan dalam sistem pasar yang ada sekarang. Berbagai jasa atau
fungsi positif yang disumbangkan oleh pertanian dikenal dengan multifungsi
pertanian (OECD 2001).
Konsep multifungsi pertanian penting artinya dalam rangka mereposisikan
peran sektor pertanian pada kedudukan yang semestinya, artinya memperhitungkan
nilai berbagai jasa pertanian dan biaya untuk menghasilkan jasa tersebut yang
dewasa ini masih berada di luar perhitungan ekonomi dan kebijakan. Tidak
diperhitungkannya multifungsi pertanian menyebabkan sektor pertanian mudah
dikalahkan oleh sektor lain, seperti sektor industri dan pemukiman.
Multifungsi lahan pertanian adalah berbagai fungsi lahan pertanian bagi
lingkungan, baik yang dapat dinilai secara langsung melalui mekanisme pasar
dan produksi atau jasa yang dihasilkannya maupun yang tidak secara langsung
dapat dinilai berupa kegunaan yang bersifat fungsional bagi lingkungan, termasuk
aspek lingkungan biofisik, sosial-ekonomi, maupun budaya. Multifungsi lahan
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 83

pertanian terhadap lingkungan biofisik, antara lain sebagai pengendali atau


pencegah banjir, erosi, dan sedimentasi, pemasok sumber air tanah, penyerap
sampah organik, dan pelestari keanekaragaman hayati (Yoshida 2001; Badan
Litbang Pertanian 2006). Keberlanjutan multidimensi penggunaan lahan untuk
sawah di Karawang Jawa Barat misalnya, telah diteliti oleh Widiatmaka et al.
(2015). Sebagai gambaran pentingnya multifungsi lahan sawah sebagai pencegah
banjir, Irawan (2007) melaporkan terjadinya sedimentasi di Sub DAS Citarik
Jawa Barat sebesar 20.937 ton/tahun akibat konversi lahan sawah seluas 921,9
ha/tahun.
Manfaat fungsi lingkungan lahan pertanian tersebut mempunyai ciri sebagai
public goods, yakni dapat dinikmati oleh setiap orang tanpa harus membayar,
sehingga pengambil manfaat dari hasil multifungsi tersebut kurang atau tidak
menyadari telah memperoleh manfaat lain dari keberadaan lahan pertanian.
Pendekatan multifungsi pertanian bukan hanya menilai manfaat hasil-hasil
pertanian secara finansial jangka pendek, tetapi juga menilai jasa lingkungan
pertanian dan manfaatnya dalam jangka panjang. Hasil penelitian di Jepang
menunjukkan bahwa nilai manfaat jasa lingkungan lahan pertanian dapat
dijadikan instrumen kebijakan untuk mempertahankan lahan pertanian. Fungsi
lahan pertanian, baik sawah maupun lahan kering, yang akhir-akhir ini banyak
mendapat perhatian internasional adalah kemampuannya untuk pencegahan
banjir, konservasi sumberdaya air, pencegahan terjadinya longsor dan daya
tariknya untuk kegiatan rekreasi (Yoshida 2001).
Indonesia dihadapkan pada dilema, di satu sisi perlu meningkatkan produksi
pertanian untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk yang berkisar
pada angka 1.6% per tahun, namun di sisi lain sebagian lahan pertanian perlu
dikonversi menjadi lahan non-pertanian. Dengan demikian, ketergantungan
terhadap produksi pertanian impor semakin tinggi. Tingginya ketergantungan
terhadap negara lain memposisikan Indonesia pada keadaan yang rentan pangan.
Rentan pangan sewaktu-waktu dapat berkembang menjadi krisis pangan yang
pada gilirannya bisa berdampak pada krisis sosial politik. Pasokan pangan
dari negara lain sewaktu-waktu dapat mengalami gangguan karena berbagai
sebab, termasuk memburuknya hubungan bilateral dengan negara pengekspor,
suasana perang, atau bencana alam. Dengan demikian langkah yang paling bijak
untuk mempertahankan ketahanan pangan Indonesia adalah dengan menekan
serendah mungkin ketergantungan terhadap bahan pangan impor. Untuk itu
produksi pangan Indonesia harus meningkat secara proporsional sejalan dengan
peningkatan kebutuhan.
84 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Sektor pertanian saat ini secara perhitungan ekonomi kalah bersaing dengan
sektor lainnya karena rendahnya insentif sosial dan ekonomi untuk bertani.
Seperti diketahui, selain rata-rata petani merupakan lapisan masyarakat miskin,
juga status sebagai petani tidak dianggap sebagai status yang membanggakan. Hal
ini berakibat pada meluasnya konversi lahan, terutama pada areal pertanian yang
berdekatan dengan kawasan perkotaan dan kawasan industri.
Menurut Syaukat dan Agus (2004), adanya gejala penurunan produksi
pertanian, khususnya beras, dan konversi lahan-lahan pertanian menjadi non-
pertanian menimbulkan lima pertanyaan penting yaitu: 1. Seberapa signifikankah
konversi lahan pertanian di Indonesia?; 2. Di mana dan seberapa luas konversi
lahan terjadi?; 3.Bagaimanakah proses konversi lahan pertanian terjadi?; 4.
Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi petani melakukan konversi lahan
pertanian? ; 5.Bagaimana upaya pencegahan konversi lahan pertanian? Melalui
kegiatan facts finding Kelompok Kerja Konversi dan Pengembangan Lahan
Pertanian berusaha mencari jawaban terhadap permasalahan-permasalahan
di atas. Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan untuk menggali pendapat dan
pandangan para stakeholders dalam menyikapi konversi lahan-lahan pertanian
di wilayahnya. Hasil kegiatan facts finding oleh Syaukat dan Agus (2004) yang
dilaksanakan di empat provinsi di Jawa dan luar Jawa yang diperkirakan banyak
mengalami konversi lahan-lahan pertanian ke non-pertanian, yaitu Jawa Tengah,
Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan akan dikemukakan secara
ringkas berikut ini:

Perkembangan Luas Lahan Pertanian


Dari berbagai jenis penggunaan lahan terlihat bahwa lahan perkebunan
mengalami perkembangan luas yang paling pesat yaitu dari 8,8 juta ha pada
tahun 1986 meningkat menjadi 20 juta ha pada tahun 2001 (Gambar 4). Lahan
sawah tidak banyak mengalami perubahan luas yaitu berkisar pada angka 7,8
juta ha, namun lahan sawah banyak mengalami konversi dan pencetakan. Lahan
kering (tegalan) mengalami sedikit kenaikan dari 11,3 juta ha pada tahun 1986
menjadi 13,2 juta ha pada tahun 2001. Lahan terlantar (di antaranya termasuk
semak belukar dan alang-alang) mengalami fluktuasi luas antara 6,9 dan 9,7 juta
ha dalam kurun waktu antara tahun 1982 sampai 2001.
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 85

.
Gambar 4 Perkembangan Lahan Pertanian dan Lahan Terlantar di Indonesia
Tahun 1986–2002.
Sumber: Syaukat dan Agus 2004. Diolah dari data BPS (1986 – 2002)

Gambar 5 menyajikan perkembangan luas lahan sawah dan tahun


1963 sampai 2003. Pulau Jawa mempunyai luas lahan sawah terluas, namun
pertambahan luas lahan sawah di Jawa hanya signifikan antara tahun 1963
sampai 1983 yaitu dari 2,5 juta ha menjadi 3,5 juta ha. Dari tahun 1983 sampai
2003 hampir tidak terjadi pertambahan luas lahan sawah di Jawa. Pertambahan
luas lahan sawah lebih banyak terjadi di luar pulau Jawa, terutama di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara.
Pada periode tahun 1981 sampai 1999 di pulau Jawa dilakukan pencetakan
lahan sawah baru seluas 0,52 juta ha, akan tetapi dalam kurun waktu yang sama
terjadi konversi lahan sawah ke penggunaan non- pertanian seluas 1 juta ha
(Tabel 5). Di luar pulau Jawa juga terjadi konversi lahan sawah ke penggunaan
lahan lainnya seluas 0,62 juta ha, namun pencetakan sawah dilakukan pada lahan
seluas 2,7 juta ha sehingga secara keseluruhan terjadi pertambahan lahan sawah
seluas 2 juta ha. Untuk gabungan Jawa dan luar Jawa, jumlah luas lahan yang
dikonversi adalah 1,6 juta ha dan pencetakan lahan sawah adalah sekitar 3,2 juta
ha, sehingga neraca pertambahan luas lahan sawah dalam periode tersebut adalah
sebesar 1,6 juta ha. (Irawan et al. 2001)
86 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Tabel 5 Neraca lahan sawah di Indonesia Periode 1981–1999


Konversi Penambahan Neraca
Wilayah
(ha) % (ha) % (ha)
Jawa -1.002.055 62 518.224 16 -483.831
Luar Jawa 625.459 38 2.702.939 84 +20.77.480
Indonesia -1.627.514 100 3.221.163 100 +1.593.649
Sumber: Irawan et al. (2001) mengutip dari data yang diterbitkan BPS (1981–2000)

Gambar 5 Perkembangan Luas Lahan Sawah di Indonesia dari Tahun 1963–


2003

Sumber: Syaukat dan Agus 2004

Luas lahan sawah yang telah dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian


di empat provinsi yang diteliti cukup bervariasi. Selama periode 2000–2002, luas
lahan sawah yang dikonversi berkisar antara 17.672 ha (Jawa Tengah) hingga
77.638 ha (Jawa Timur) (Tabel 6).
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 87

Tabel 6 Luas areal sawah (ha) yang telah dikonversi menjadi non-sawah antara
tahun 2000–2002 di empat provinsi

Sumber: Syaukat dan Agus (2004)

Berdasarkan Tabel 6 tampak bahwa peruntukan konversi lahan sawah adalah


untuk lahan pertanian non-sawah, perumahan, industri, perusahaan/perkotaan
dan lainnya. Peruntukan terbesar alih fungsi lahan sawah berbeda antar provinsi.
Di JawaTimur, sebagian besar konversi lahan sawah untuk pembangunan
perumahan (88.1%), di JawaTengah dan Sulawesi Selatan untuk lahan pertanian
non-sawah (56.2% dan 55.3%), sedangkan di Sumatera Utara untuk lainnya
(52.0%).
Konversi lahan tersebut telah mengurangi tingkat produksi padi di masing-
masing provinsi. Apabila diasumsikan bahwa tingkat produktivitas padi di empat
provinsi tersebut rata-rata 4 ton per ha, maka tingkat penurunan produksi padi
akibat konversi lahan sawah seluas 178.500 ha di keempat provinsi tersebut
mencapai 714.000 ton gabah selama dua tahun, atau rata-rata sebesar 357.000
ton gabah per tahun. (Syaukat dan Agus 2004).
Lahan merupakan sumberdaya alam yang memiliki fungsi sangat luas dalam
memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Dari sisi ekonomi, lahan merupakan
input tetap yang utama bagi berbagai kegiatan produksi komoditas pertanian
dan non- pertanian (Simatupang dan Irawan 2003). Pada umumnya permintaan
komoditas pertanian terutama komoditas pangan kurang elastis terhadap
pendapatan dibandingkan permintaan komoditas non-pertanian. Konsekuensinya
adalah pembangunan ekonomi yang membawa pada peningkatan pendapatan
cenderung menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan diluar
pertanian dengan laju yang lebih cepat dibandingkan kenaikan permintaan
lahan untuk kegiatan pertanian. Pakpahan dan Anwar (1989) melaporkan
88 | Perencanaan Penggunaan Lahan

bahwa konversi lahan pertanian berkorelasi positif dengan pertumbuhan


ekonomi, kepadatan penduduk, dan laju pertumbuhan ekonomi di daerah yang
bersangkutan.
Dorongan-dorongan bagi terjadinya konversi lahan pertanian ke non-
pertanian tidak sepenuhnya bersifat alamiah, tetapi ada juga yang secara langsung
atau tidak langsung dihasilkan oleh proses kebijakan pemerintah (Anwar
dan Pakpahan 1990; Winoto 1995). Menurut Anwar (1995), dalam proses
konversi lahan telah terjadi asimetris informasi harga tanah. Artinya bahwa
harga pasar belum mencerminkan nilai sebenarnya dari harga lahan pertanian.
Menurut Nasoetion dan Winoto (1996), kegagalan mekanisme pasar dalam
mengalokasikan lahan secara optimal disebabkan faktor-faktor rent lainnya dan
keberadaan lahan pertanian yang memiliki fungsi sosial, kenyamanan, konservasi
tanah dan air, sehingga fungsi penyedìaan pangan bagi generasi selanjutnya
menjadi terabaikan.
Pengetahuan masyarakat Indonesia tentang multifungsi lahan pertanian masih
rendah (Adimihardja 2006). Pandangan masyarakat umum yang kurang benar
terhadap pertanian merupakan salah satu sebab rendahnya penghargaan terhadap
pertanian. Hal ini menyebabkan pandangan terhadap konversi lahan pertanian pun
kurang proporsional. Banyak pihak menganggap konversi lahan pertanian sebagai
hal biasa, bukan sebagai proses hilangnya multi fungsi pertanian. Hal lain yang
mendorong konversi lahan pertanian adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat
pedesaan yang memerlukan pendapatan segera untuk memenuhi kebutuhan
keluarga sehari-hari. Selain itu, gencarnya pembangunan sektor non-pertanian
dalam memperoleh lahan yang siap pakai turut mendorong percepatan proses
konversi lahan pertanian. Kebutuhan tersebut pada umumnya dipenuhi dari
lahan pertanian beririgasi.

6.4 Multifungsi Lahan Pertanian Terhadap


Lingkungan Biofisik
Lahan pertanian yang merupakan faktor utama sistem produksi pertanian
belum terpelihara dan terjamin kelestariannya dengan baik. Apabila produksi
pertanian diharapkan mampu mengimbangi kebutuhan penduduk yang terus
meningkat maka seharusnya luas dan produktivitas lahan pertanian juga perlu
terus ditingkatkan. Namun, kenyataan menunjukkan hal yang berbeda. Lahan
sawah yang diandalkan sebagai penghasil bahan pangan utama cenderung
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 89

menurun luas bakunya akibat konversi ke non-pertanian. Pertanian lahan kering,


walaupun konversinya tidak secepat lahan sawah, dalam beberapa dasawarsa
terakhir terus mengalami degradasi oleh proses erosi, longsor, pencemaran,
kebakaran, dan sebagainya (Adimihardja 2006).
Menurut data Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat
tahun 2001, lahan di Jawa yang sesuai untuk pertanian mencapai 10.179.561
ha,dan yang telah digunakan 9.570.562 ha, sehingga seharusnya masih ada tersedia
sekitar 600 ribu ha untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian. Namun, di
lapangan lahan yang sesuai tersebut perlu di inventarisasi secara cermat, karena
banyak yang telah digunakan untuk berbagai kepentingan. Ironisnya, sering
budidaya pertanian tanaman pangan terpaksa menggunakan lahan yang tidak
sesuai untuk pertanian. Di beberapa wilayah terdapat lahan terlantar dalam
luasan kecil-kecil, yang secara teknis dapat digunakan untuk pertanian, namun
terkendala masalah kepemilikan lahan yang tidak jelas.
Fungsi utama lahan pertanian adalah untuk mendukung pengembangan
produksi pangan, pada umumnya, khususnya padi dan palawija. Namun justifikasi
tentang perlunya pengendalian konversi lahan pertanian ke non-pertanian harus
berbasis pada pemahaman bahwa lahan pertanian mempunyai multifungsi atau
manfaat ganda (Irawan 2005). Berbagai klasifikasi manfaat yang dapat diperoleh
masyarakat dari keberadaan lahan pertanian telah dikemukakan antara lain oleh
Callaghan (1992), Munasinghe (1992) dan Kenkyu (1998). Secara holistik,
manfaat tersebut terdiri dari dua kategori yaitu: (1) nilai penggunaan (use values),
dan (2) manfaat bawaan (non use values). Nilai penggunaan dapat juga disebut
sebagai personal use values. Manfaat ini dihasilkan dari kegiatan eksploitasi atau
kegiatan usahatani yang dilakukan pada sumberdaya lahan pertanian tersebut.
Manfaat bawaan juga disebut sebagai intrinsic values, yaitu berbagai manfaat yang
tercipta dengan sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan
eksploitasi yang dilakukan oleh pemilik lahan pertanian. Manfaat bawaan
mencakup kontribusinya dalam mempertahankan keanekaragaman hayati,
sebagai wahana pendidikan, dan sebagainya.
Nilai penggunaan lahan dapat dibedakan atas dua kategori, yaitu manfaat
langsung (direct use values) dan manfaat tidak langsung (indirect use values).
Manfaat langsung mencakup dua jenis manfaat, yaitu : (1) Manfaat yang nilainya
dapat diukur dengan harga pasar atau marketed output, yaitu berbagai jenis
barang yang nilainya dapat terukur secara empirik dan diekspresikan dalam harga
90 | Perencanaan Penggunaan Lahan

output, misalnya berbagai produk yang dihasilkan dari kegiatan usahatani. Jenis
manfaat ini bersifat individual, berarti manfaat yang diperoleh secara legal hanya
dapat dinikmati oleh para pemilik lahan. (2) Manfaat yang nilainya tidak dapat
diukur dengan harga pasar (unpriced benefit). Jenis manfaat ini tidak hanya dapat
dinikmati oleh pemilik lahan tetapi juga dapat dinikmati oleh masyarakat luas,
misalnya tersedianya pangan, wahana rekreasi, dan penciptaan lapangan kerja di
pedesaan (Irawan 2005).
Manfaat tidak langsung dari keberadaan lahan pertanian umumnya terkait
dengan aspek lingkungan. Yoshida (1994) dan Kenkyu (1998) mengemukakan
bahwa keberadaan lahan pertanian dari aspek lingkungan memberikan lima jenis
manfaat, yaitu: kontribusinya dalam mencegah banjir, pengendali keseimbangan
tata air, mencegah terjadinya erosi, mengurangi pencemaran lingkungan yang
berasal dari limbah rumah tangga dan rnencegah pencemaran udara yang berasal
dari gas buangan. Seluruh jenis manfaat tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat
umum dengan cakupan wilayah yang lebih luas, karena masalah lingkungan yang
ditimbulkan dapat bersifat lintas daerah.
Bukti lain dari pengetahuan masyarakat Indonesia tentang multifungsi
pertanian pada umumnya masih rendah adalah hasil penelitian Irawan et al. (2002)
di DAS Citarum (Jawa Barat) dan DAS Kaligarang (Jawa Tengah). Masyarakat
setempat baru mengenal 4 jenis fungsi lahan pertanian, yaitu: (1) penghasil
produk pertanian, (2) pemelihara pasokan air tanah, (3) pengendali banjir, dan 4)
penyedia lapangan kerja. Padahal fungsi lahan pertanian bagi manusia jauh lebih
banyak, seperti dirumuskan oleh Negara-negara yang tergabung dalam Organisasi
Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan/OECD (2003) yaitu: penghasil produk
pertanian, berperan dalam mitigasi banjir, pengendali erosi tanah, pemelihara
pasokan air tanah, penambat gas karbon atau gas rumah kaca, penyegar udara,
pendaur ulang sampah organik, dan pemelihara keanekaragaman hayati. Di
Korea Selatan, Eom dan Kang dalam Agus dan Husen (2005) mengidentifikasi
30 jenis fungsi lahan pertanian yang bermanfaat bagi masyarakat umum sehingga
perlu terus dilestarikan.
Isu multifungsi pertanian sudah mulai banyak diperhatikan dan dibicarakan
di Indonesia, namun masih terbatas sebagai wacana di kalangan terbatas, seperti
para ilmuwan, peneliti, perguruan tinggi, dan pengamat pertanian. Tampaknya
para pengambil kebijakan di tingkat pusat maupun daerah belum banyak
mempertimbangkan manfaat multifungsi tersebut dalam menetapkan kebijakan
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 91

pembangunan. Demikian juga masyarakat umum masih kurang peduli terhadap


kenyataan adanya multifungsi lahan pertanian, yang seyogianya dijadikan bahan
pertimbangan dalam menilai lahan pertanian. Kedepan, nampaknya masih perlu
advokasi lebih lanjut tentang pentingnya multifungsi tersebut dalam kehidupan,
karena tidak bijaksana apabila mengabaikannya. Sejalan dengan itu, dari sudut
pandang penelitian, juga perlu diteliti berbagai jenis fungsi yang dimiliki berbagai
tipe lahan pertanian seperti sawah irigasi dan tadah hujan, pertanian tanaman
pangan lahan kering, pertanian rawa, dan perkebunan.
Metode yang konvensional dalam menilai fungsi lahan pertanian adalah
dengan mengukur hasil gabah dan jerami (serat) yang dihasilkannya untuk satu
satuan luas dan satuan waktu tertentu. Selain berfungsi sebagai penghasil gabah
dan jerami yang mudah dikenali (tangible) tersebut, lahan sawah mempunyai
fungsi yang lebih luas, diantaranya menjaga ketahanan pangan, menjaga kestabilan
fungsi hidrologis daerah aliran sungai (DAS), menurunkan erosi, menyerap
tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik pedesaan (rural amenity),
dan mempertahankan nilai-nilai sosial budaya pedesaan. Fungsi selain penghasil
gabah dan jerami ini tidak bisa dipasarkan (non-marketable) dan pada umumnya
tidak mudah dikenali (intangible). Penilaiannya biasanya dilakukan dengan
metode kualitatif dan metode valuasi ekonomi tidak langsung (indirect valuation
methods) seperti replacement cost method (RCM), contingent valuation method
(CVM), dan travel cost method (TCM). Dengan RCM, fungsi lahan pertanian
dinilai berdasarkan biaya pembuatan alat dan sarana untuk mengembalikan suatu
fungsi pertanian. Misalnya, fungsi lahan sawah sebagai pengendali banjir ditaksir
dengan biaya pembuatan dan pemeliharaan dam pengendali banjir. CVM adalah
penilaian kesediaan masyarakat menyumbang untuk mempertahankan atau
mengembalikan berbagai fungsi lahan pertanian. TCM adalah penilaian biaya
transport dan akomodasi yang dikeluarkan untuk suatu obyek agrowisata (Agus
et al. 2004).
Lahan pertanian selain berfungsi sebagai penghasil produk pertanian juga
memiliki fungsi lingkungan (mitigasi banjir, pengendali erosi tanah, konservasi
air tanah, penambat karbon atau gas rumah kaca, penyegar udara, pendaur
ulang sampah organik, pemelihara ke aneka ragaman hayati), pemelihara
tradisi, budaya, dan kehidupan pedesaan, penyedia lapangan kerja, serta basis
bagi ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi (Agus dan Husen 2005).
Hamparan sawah dapat dilihat sebagai kumpulan kolam-kolam alami atau dam-
dam kecil penampung air hujan sebelum mengalir secara perlahan kebadan-badan
92 | Perencanaan Penggunaan Lahan

air (sungai, danau). Di daerah dengan tingkat curah hujan tinggi, fungsi sawah
ini menjadi sangat penting karena mampu mencegah atau mengurangi terjadinya
debit air maksimum penyebab banjir di bagian hilir suatu kawasan DAS.
Tingkat erosi berbagai tipe penggunaan lahan berbeda-beda. Sistem
pertanian berbasis tanaman pohon-pohonan dan adanya serasah yang menutupi
permukaan tanah memiliki tingkat erosi yang lebih rendah dibandingkan sistem
pertanian tanaman semusim. Lahan sawah mempunyai proses erosi yang unik.
Teras sawah dengan galengan atau pematang berfungsi menahan air dalam
petakan. Genangan air berfungsi melindungi permukaan tanah sawah dari
pukulan air hujan. Keindahan panorama alam pedesaan dengan hamparan lahan
pertanian berwarna-warni mempunyai daya tarik bagi penduduk yang jenuh
dengan suasana perkotaan. Untuk menikmati keasrian alam pedesaan, penduduk
perkotaan bersedia mengeluarkan dana untuk transportasi, penginapan dan
konsumsi di pedesaan.
Selain indah dan asri, lingkungan lahan pertanian, terutama yang terdiri
atas berbagai sistem penggunaan lahan, juga menjadi habitat bagi berbagai
mamalia, serangga, binatang kecil, mikroflora, dan fauna karena lingkungan
pertanian rnenyediakan makanan yang berlimpah bagi perkembang- biakannya.
Fungsi konservasi sumberdaya hayati yang diberikan lahan pertanian ini menjadi
penopang keberlanjutan ekosistem yang harmonis bagi generasi selanjutnya.

6.4.1 Fungsi Mengendalikan Banjir


Pengendalian banjir lahan pertanian adalah kemampuan lahan pertanian
untuk menahan air hujan sementara waktu selama dan sesaat setelah hujan
terjadi. Air hujan yang jatuh ke lahan pertanian akan ditahan oleh kanopi atau
tajuk tanaman (daun, ranting, dan pohon), tergenang di permukaan tanah, dan/
atau diserap oleh tanah melalui pori-pori tanah sehingga hanya sebagian kecil
saja dari air hujan tersebut yang akan menjadí air aliran permukaan (run-off).
Sebalíknya, jika air hujan jatuh ke permukaan lahan pada permukiman, kawasan
industri, jalan dan jembatan maka sebagian besar air hujan tersebut akan segera
menjadi air aliran permukaan. Kemampuan lahan pertanian untuk menahan,
menyerap dan menampung air hujan tersebut adalah daya sangga air atau water
retention capacity (Yosida 2001; Agus et al. 2004; Irawan. 2007).
Daya sangga air hujan dari beberapa penggunaan lahan beragam (Gambar 6).
Hasil kajian Tala’ohu et al. (2003) menunjukkan lahan hutan mempunyai daya
sangga air paling tinggi (15,1 cm), kemudian lahan perkebunan (11,4 –12,5 cm),
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 93

kebun campuran(11,5 cm), lahan tegalan (4,8 cm) dan kawasan terbangun (2,0
cm). Apabila terjadi konversi lahan sawah menjadi tegaÍan akan mengakibatkan
hilangnya kemampuan mitigasi banjir lahan pertanian setara dengan jumlah air
yang dapat ditampung setinggi 9,0 cm (13,8 cm – 4,8 cm x 10.000 m2) atau 900
m3/ha. Sebagai contoh, apabila konversi lahan sawah tersebut menjadi kawasan
terbangun, terutama permukiman dan daerah industrí maka kemampuan
mitigasi banjír lahan pertanian yang hilang setara dengan jumlah air yang dapat
ditampung setinggi 11,8 cm atau 1.180 m3/ha (13,8 cm – 2,0 cm x 10.000
m2). Konversi lahan tegalan menjadi kawasan terbangun akan menghilangkan
kemampuan mitigasi banjir lahan pertanian setara dengan 280 m3/ha.

Gambar 6 Daya Sangga air potensial (kapasitas untuk menahan air sementara
sebelum terjadinya run off dari beberapa sistem penggunaan lahan
(Tala’ohu et al. 2003)

Multifungsi lahan sawah ditinjau dan aspek daya sangga air dipengaruhi
oleh: 1) keberadaan sawah dalam hamparan daerah aliran sungai, 2) luas lahan
sawah dalam suatu daerah aliran sungai, dan 3) dimensi lahan sawah (luas,tinggi
pematang, dan tinggi air dalam petakan) (Tala’ohu et al. 2003).

6.4.2 Fungsi Mengendalikan Erosi Tanah


Dalam budidaya tanaman, dilakukan pemeliharaan tanggul dan pemberian
bahan organik ke dalam tanah. Hal ini akan mengakibatkan kecenderungan
peningkatan nilai bulk density tanah, sehingga akan berdampak terhadap
94 | Perencanaan Penggunaan Lahan

penurunan kehilangan tanah akibat erosi air dan angin. Hal ini berarti, erosi tanah
dapat dicegah melalui kegiatan budidaya di lahan pertanian (Yoshida 2001).
Erosi tanah pada berbagai bentuk penggunaan lahan di DAS Citarum telah
diteliti oleh Sutono et al. (2003). Erosi pada lahan sawah relatif kecil (0,33 ton/
ha/ tahun), sedangkan erosi pada tegalan yang umumnya berupa usahatani
tanaman pangan semusim, kebun campuran dan semak belukar berturut-turut
sebesar 22,02; 8,40 dan 1,12 ton/ha/tahun (Tabel 7). Lahan sawah yang berubah
menjadi kebun campuran dapat meningkatkan erosi sebesar 6–10 ton/ha/tahun.
Di beberapa tempat,erosi sebanyak itu masih dalam ambang batas erosi yang
dapat dibiarkan. Lahan hutan yang berubah menjadi lahan kébun campuran,
sawah, dan tegalan menyebabkan terjadi peningkatan besar erosi.

Tabel 7 Rata-rata erosi pada berbagai penggunaan lahan di DAS Citarum

Sumber : Sutono et al.(2003)

Penelitian Irawan (2007) di Sub DAS Citarik menunjukkan bahwa erosi


tanah dan sedimentasi pada badan air terus meningkat sejalan dengan laju
konversi lahan sawah yang tidak terkendalikan (Gambar 7). Apabila konversi
lahan sawah tersebut dibiarkan berlanjut setiap tahun dengan laju yang konstan
maka biaya mitigasi erosi, sedimentasi dan kesuburan tanah yang diperlukan
setiap tahunnya juga akan meningkat (Gambar 8).
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 95

Gambar 7 Potensi penìngkatan erosi (ribu ton) dan sedimentasi (ribu ton) akibat
konversi lahan sawah (ha) berlanjut di Sub DAS Citarik (Irawan
2007)

Gambar 8 Potensi biaya mitigasi erosi, sedimen dan kesuburan tanah yang diperlukan
akibat konversi lahan sawah di sub DAS Cítarik (Irawan 2007)

Untuk mengetahui sejauh mana lahan sawah dapat menguntungkan jika


tetap dipertahankan, dapat dihitung biaya pengganti (replacement cost) yang
harus dikeluarkan untuk membuat bendungan jika sawah berubah menjadi
penggunaan lainnya. Bendungan tersebut berfungsi untuk menampung air
bukan untuk menampung sedimen, tetapi karena terjadi erosi dan sedimentasi
maka volume air berkurang. Sutono et al. (2003) menghitung biaya pengganti
96 | Perencanaan Penggunaan Lahan

yang harus dikeluarkan pada tahun 2000 di DAS Citarum adalah sebesar Rp.
18,6 milyar rupiah dan akan bertambah sebesar Rp 28,3juta/tahun sampai tahun
2025. Peningkatan biaya pengganti ini sejalan dengan berkurangnya lahan sawah
sebesar 6% per tahun sejak tahun 2000.

6.4.3 Fungsi Konservasi Sumberdaya Air


Salah satu fungsi lahan sawah adalah kemampuannya untuk mempreservasi
air (air yang sudah digunakan pada sawah dapat didaur ulang secara alami).
Perkiraan jumlah air yang dipreservasi didasarkan pada neraca air yang ada pada
sistem sawah. Lahan sawah menerima air dalam bentuk hujan serta air irigasi,
selanjutnya air yang keluar berbentuk aliran perrnukaan (run off), penguapan
dan evapotranspirasi, serta perkolasi. Air aliran permukaan dan aliran bawah
permukaan (sub-surface flow) sebagian akan mencapai sungai serta bendungan
dan dapat digunakan kembali untuk irigasi. Demikian pula air perkolasi mengisi
kembali air tanah dan air tanah ini selanjutnya dapat digunakan untuk berbagai
keperluan.
Berdasarkan pengamatan neraca air oleh Watung et al. (2003) di sub
DAS Citarum, diperkirakan sebesar 56% dari input (air irigasi dan hujan)
akan terinfiltrasi ke dalam tanah. Dari jumlah air yang terinfiltrasi tersebut
akan berperkolasi ke dalam tanah, kemudian sebágian besar (75%) mengalir
kembali ke sungai dan sisanya sekitar 25% akan berperkolasi menjadi air tanah.
Watung et al.(2003) juga melaporkan bahwa lahan sawah di DAS Citarum dapat
mempreservasi air tanah sebesar 169.937.254 m3 /tahun. Selanjutnya nilai air
yang dapat dipreservasi tersebut dengan menggunakan metode replacement cost
setara dengan US$ 5.098.000 untuk sebagian air yang digunakan kembali untuk
irigasi dan US$ 8.744.700/tahun bila 87 juta m3 air tersebut (yang mengisi air
tanah) digunakan kembali untuk air minum.

6.4.4 Fungsi Sebagai Pendaur Ulang Limbah Organik


Mikroorganisme pada tanah-tanah pertanian menggunakan bahan organik
sebagai sumber makanan, dan akan merubah bentuk bahan organik menjadi
bahan mineral tanah yang dapat digunakan secara langsung oleh tanaman.
Limbah organik seperti residu makanan dan limbah manusia dapat dikembalikan
ke lapangan sebagai kompos. Selanjutnya bahan tersebut akan diuraikan menjadi
unsur hara dalam tanah dan digunakan oleh tanaman. Dalam hal ini, lahan
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 97

pertanian yang diusahakan menerima limbah-limbah organik sehingga dapat


mengurangi biaya pengelolaan (Yoshida 2001).
Perubahan penggunaan lahan sawah menjadi non-sawah terutama untuk
permukiman, industri, perkantoran, pasar, dan lainnya akan menghasilkan
limbah sebesar 64,11t/ha/tahun. Nilai lingkungan yang hilang akibat konversi
lahan sawah untuk penggunaan di luar pertanian, terutama untuk perumahan,
industri, perkantoran, pasar dan lainnya di luar pertanian adalah sebesar US$
69,7 juta/tahun atau sekitar US$ 443,14/ha /tahun (Nasoetion et al. 2003). Nilai
sebesar tersebut tidak akan hilang apabila lahan sawah tidak dikonversi untuk
penggunaan non-sawah atau non- pertanian lainnya.

6.5 Lahan Sawah sebagai Penghasil Beras dan Proses


Konversinya
6.5.1 Lahan Sawah sebagai Penghasil Beras
Dalam hal produksi beras, lahan sawah memiliki peran yang sangat penting,
karena dari total produksi nasional sekitar 51 juta ton, sekitar 95% diantaranya
dihasilkan dari lahan sawah, dan sisanya dihasilkan dari lahan kering. Dewasa
ini tingkat produksi padi sedang mengalami stagnasi, yang di khawatirkan
dapat mempengaruhi ketahanan pangan nasional. Tabel 9 menunjukkan bahwa
peningkatan produksi gabah kering giling (GKG) antara tahun 1990 sampai
2001 hanya sekitar 1%. Akan tetapi peningkatan tersebut umumnya hanya terjadi
antara tahun 1990 sampai 1996, sedangkan antara tahun 1996 sampai 2001
terjadi penurunan produksi sekitar 0,22%. Disisi lain, volume impor cenderung
meningkat dari waktu ke waktu, apalagi bila ada masalah kekeringan, banjir dan
sebagainya. Impor yang sangat tinggi terjadi pada tahun 1998 sebesar 6 juta ton
dan tahun 1999 sebesar 4,2 juta ton. Tingginya impor pada tahun 1998 diduga
disebabkan karena tahun 1997 merupakan tahun El Nino sehingga cadangan
beras nasional menurun.
Terjadinya stagnasi produksi disebabkan paling tidak oleh dua faktor
yaitu: (1) pelandaian (leveling off) hasil (produktivitas) padi nasional, dan (2)
pengalihfungsian (konversi) lahan-lahan pertanian ke non-pertanian. Data pada
Tabel 8 menunjukkan bahwa produksi beras dalam negeri yang masih kurang dari
jumlah yang dibutuhkan mengakibatkan peningkatan ketergantungan Indonesia
terhadap beras impor. Walaupun beras merupakan komoditas yang sangat
98 | Perencanaan Penggunaan Lahan

strategis, namun ironisnya karena belum sejalan dan belum konsistennya berbagai
lembaga pemerintah dalam menjalankan kebijakan yang berkenaan dengan
perijinan konversi lahan dan perencanaan penggunaan lahan, mengakibatkan
larangan yang dikeluarkan oleh suatu lembaga untuk konversi masih dapat
dilanggar oleh instansi/lembaga lain.
Departemen Pertanian misalnya, sejauh ini perhatiannya lebih ditujukan
pada pencetakan sawah baru dan intensifikasi, tetapi sedikit sekali perhatian
tentang usaha pengendalian konversi lahan sawah produktif karena (mungkin)
berada di luar mandatnya. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional sering melihat aspek
ekonomi jangka pendek dalam pertimbangan tata ruang dan konversi lahan
sawah. Sawah dianggap tidak ekonomis, karena tidak langsung mendatangkan
pendapatan asli daerah (PAD), dan tidak mempunyai keuntungan kompetitif
dibandingkan sektor industri dan perumahan sehingga konversi lahan sawah
ke penggunaan lain dianggap sebagai proses pembangunan yang tidak perlu
dikhawatirkan. Dampak jangka panjang seperti meningkatnya ketergantungan
terhadap beras impor dan dampak lingkungan karena konversi lahan sawah
sering masih kurang dipertimbangkan.
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 99

Tabel 8 Produksi dan ketersediaan beras, tahun 1990–2001

Sumber : BPS (1990-2001) : Deptan (2002, data produksi padi tahun 1990 dan 2001
disesuaikan)

6.5.2 Proses konversi lahan sawah


Konversi lahan sawah dapat terjadi dalam berbagai proses sebagai berikut:
1. Lahan-lahan sawah umumnya tidak dikonversikan secara langsung
menjadi lahan non-pertanian (misalnya untuk perumahan, industri, atau
lainnya), akan tetapi dilakukan secara bertahap. Pertama, masyarakat
(petani, pengembang) mengalihkan air irigasi, misalnya dengan
menutup sebagian saluran air masuk atau mengalihkannya ketempat
100 | Perencanaan Penggunaan Lahan

lain, sehingga lahan-lahan sawah tersebut mengalami kekeringan. Lahan


yang telah mulai mengering tersebut biasanya dibiarkan untuk beberapa
lama, baru kemudian dilakukan konversi lahan sawah menjadi lahan non-
pertanian. Hal ini dilakukan terutama oleh pengembang untuk mengakali
adanya aturan yang me!arang untuk mengkonversi lahan sawah, apalagi
lahan sawah beririgasi teknis. Dengan melakukan proses pengeringan
tersebut, status lahan sawah beririgasi berubah menjadi lahan sawah non-
irigasi, sehingga lebih mudah diperoleh perijinan untuk dikonversikan.
2. Di daerah-daerah dekat perkotaan, lahan-lahan pertanian terdesak oleh
berbagai penggunaan lahan non-pertanian. Lahan-lahan ini umumnya
sudah dikuasai oleh cukong tanah atau oleh oknum-oknum bermodal kuat.
Sawah-sawah disekitar daerah perkotaan tersebut umumnya sengaja tidak
diusahakan dan dikeringkan, sehingga bisa dikonversikan untuk penggunaan
non-pertanian. Para oknum ini mendapatkan keuntungan yang besar dari
adanya perbedaan harga beli dan harga jual lahan.
Secara umum konversi lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk
yaitu konversi lahan secara massal yang umumnya dilakukan oleh pengembang
dan konversi lahan secara sporadik yang dilakukan petani secara individu. Kedua
bentuk konversi ini mempunyai dampak yang sama, diantaranya terputusnya
saluran irigasi dan kemungkinan besar terjadinya pencemaran pada lahan sawah,
terutama pada lahan sawah yang berdekatan dengan kawasan industri.

6.5.3 Faktor penyebab terjadinya konversi lahan sawah


Beberapa faktor penyebab terjadinya konversi lahan sawah adalah sebagai
berikut (Syaukat dan Agus 2004);
1. Faktor Kependudukan. Peningkatan jumlah penduduk yang cepat telah
meningkatkan permintaan lahan untuk perumahan, fasilitas bisnis,
perkantoran,industri, dan fasilitas umum lainnya.
2. Faktor ekonomi. Alasan ekonomi pengalihan lahan pertanian menjadi
lahan non-pertanian umumnya disebabkan karena tingginya tingkat
keuntungan (land rent atau rentabilitas lahan) yang diperoleh sektor non-
pertanian dan rendahnya land rent dari sektor pertanian. Berhubung
tingkat keuntungan yang diperoleh dari penggunaan non-pertanian
(perumahan, perkantoran, industri dan lainnya) tersebut lebih besar,
maka petani (pemilik lahan) tertarik untuk mengalihkan lahannya
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 101

dari lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian. Di lain pihak, tingkat


keuntungan usahatani relatif rendah, sehingga konversi lahan tidak dapat
dicegah. Land rent merupakan kontribusi faktor produksi lahan untuk setiap
aktivitas yang dilaksanakan diatasnya. Land rent merupakan selisih antara
total penerimaan dengan total pengeluaran faktor-faktor produksi, kecuali
lahan.
3. Rendahnya insentif untuk berusahatani. Insentif yang rendah tersebut
disebabkan oleh sering terganggunya pasokan saprodi ke berbagai daerah,
tingginya harga saprodi relatif terhadap harga jual gabah, dan rendah serta
berfluktuasinya harga gabah. Adanya beras impor dengan harga yang lebih
rendah merupakan salah satu penyebab utama rendahnya harga beras dalam
negeri.
4. Faktor sosial budaya yang dominan sejauh ini adalah keberadaan hukum
waris yang menyebabkan terfragmentasinya sawah, sehingga kurang
ekonomis untuk diusahakan. Selain itu, rendahnya minat pemuda bekerja
di sektor pertanian, karena petani dianggap sebagai lapisan masyarakat yang
rendah status sosialnya telah mendorong petani untuk menjual sawahnya
dan menggunakan dana yang diperoleh untuk modal usaha lain di luar
kegiatan pertanian.
5. Adanya sawah terisolasi atau kejepit yakni sawah-sawah yang tidak terlalu
luas karena daerah sekitarnya sudah beralih fungsi menjadi perumahan atau
kawasan industri, sehingga petani pada lahan tersebut mengalami kesulitan
untuk mendapatkan air, tenaga kerja dan sarana produksi lainnya. Hal ini
memaksa mereka untuk mengalihkan atau menjual lahan sawah tersebut.
6. Faktor kebutuhan. Petani menjual sawahnya karena didesak oleh kebutuhan
modal usaha atau keperluan keluarga lainnya seperti biaya pendidikan,
mencari pekerjaan non- pertanian, pernikahan anak atau lainnya.
7. Pembangunan real estate. Pembangunan real estate dan kawasan industri
memerlukan lahan yang luas, yang umumnya tidak terlalu jauh dari
perkotaan. Lahan-lahan yang digunakan pada umumnya sebagian besar
berasal dari lahan sawah.
8. Penyalahgunaan kepentingan. Atas nama kepentingan umum, lahan-lahan
sawah beririgasi teknis sering dikonversi ke penggunaan lain, tanpa ada sanksi
yang jelas. Misalnya, lahan-lahan sawah beririgasi teknis oleh pemerintah
daerah setempat (kabupaten/kota) dikonversikan menjadi pasar, terminal,
jalan raya, perkantoran, dan fasilitas umum lainnya.
102 | Perencanaan Penggunaan Lahan

9. Otonomi daerah yang mengutamakan pembangunan pada sektor


yang menjanjikan keuntungan jangka pendek yang lebih tinggi guna
meningkatkan pendapatan asli daerah, tanpa memperhatikan kepentingan
jangka panjang dan kepentingan nasional yang penting bagi masyarakat
secara keseluruhan.
10. Rusaknya lingkungan sawah sekitar pantai, sehingga mengakibatkan
terjadinya intrusi (penyusupan) air laut ke daratan. Kondisi ini berpotensi
merusak kualitas lahan, sehingga dapat merusak tanaman pangan (padi)
yang diusahakan.
Konversi lahan sawah yang terjadi di Indonesia tidak lepas dari interaksi
penawaran dan permintaan sumberdaya lahan. Menurut Barlowe (1986), faktor-
faktor yang mempengaruhi penawaran lahan diantaranya adalah : (1) karakteristik fisik
alamiah, (2) faktor ekonomi, (3) faktor teknologi, dan (4) faktor kelembagaan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan adalah: (1) populasi penduduk,
(2) perkembangan teknologi, (3) kebiasaan dan tradisi, (4) pendidikan dan
kebudayaan, (5) pendapatan dan pengeluaran, (6) selera dan tujuan, serta (7)
perubahan sikap dan nilai-nilai yang disebabkan oleh perkembangan usia.
Hasil penelitian Solihah (2002) menunjukkan bahwa peubah yang
berpengaruh positif terhadap penurunan luas lahan sawah adalah: (1) jumlah
penduduk, (2) panjang jalan kabupaten, dan (3) jumlah sarana pendidikan,
sedangkan yang berpengaruh negatif terhadap penurunan luas lahan sawah
adalah produktivitas tanaman padi sawah. Pesatnya pertambahan penduduk,
otomatis membutuhkan tempat pemukiman, sarana dan prasarana perhubungan
(aksesibilitas jalan), lapangan pekerjaan dan lain-lain yang secara langsung atau
tidak langsung akan mengurangi luas lahan sawah. Demikian juga halnya dengan
sarana pendidikan (sekolah) sebagai salah satu kebutuhan utama akan semakin
meningkat jumlahnya seiring dengan pesatnya laju pertumbuhan jumlah
penduduk.
Hasil-hasil facts finding konversi lahan sawah dan dampaknya terhadap
produksi beras dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 menunjukkan terjadinya
defisit luas lahan sawah di Pulau Jawa sebagai akibat dari konversi lahan (Syaukat
dan Agus 2004). Dampak langsung daripada konversi lahan sawah adalah terjadi
kehilangan produksi beras, yang secara kumulatif jumlahnya semakin besar.
Menurut Syaukat dan Agus (2004) penurunan produksi padi akibat konversi lahan
sawah seluas 178.500 ha di keempat provinsi yang dikunjungi mencapai 714.000
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 103

ton gabah selama dua tahun atau rata-rata sebesar 357.000 ton gabah per tahun.
Sebagai gambaran pada Tabel 7 disampaikan estimasi kehilangan produksi beras
yang diakibatkan oleh adanya konversi lahan sawah ke penggunaan non-sawah di
empat provinsi di Pulau Jawa pada periode 1990–1996 (Kasiran 1999).
Dari Tabel 9 terlihat bahwa kehilangan produksi beras akibat adanya konversi
lahan sawah terbesar sebesar 99.808 ton terjadi di Jawa Timur pada tahun (1995)
diikuti di Jawa Barat sebesar 83.092 ton gabah kering giling (GKG). Untuk Pulau
Jawa banyaknya produksi beras yang hilang pada tahun 1995 sekitar 192.543 ton
GKG atau sekitar 125.153 ton setara beras. Suatu angka kehilangan yang cukup
besar, sehingga perlu mendapat perhatian yang serius.

Tabel 9 Estimasi kehilangan produksi beras akibat konversi lahan sawah


Rata- Produksi
Kurunrata Luas Rata-rata yang
Intensitas
Provinsi Penyusutan Produksi Hilang/
Waktu Panen
Lahan(ha/ (Ku/ha) th (ton
th) GKG)
Jawa Barat 1992–1996 9.124.25 1,66 54,86 83.092,35
Jawa Tengah 1992–1996 733.00 1,51 52,70 5.836,38
D.I. Yogya 1990–1995 397.50 1,60*) 59,85*) 3.806,46
Jawa Timur 1995 13.507.00 1,32 55,98 99.808,08
*) Angka Daerah
Sumber: Kasiran (1999)

6.6 Faktor-Faktor Pendorong Konversi Lahan


Pertanian
Meningkatnya pertambahan jumlah penduduk dan dinamika kebutuhan
pembangunan di setiap daerah secara langsung atau tidak langsung mendorong
terjadinya peningkatan perubahan penggunaan lahan-lahan pertanian, khususnya
sawah. Selain itu, lahan sawah itu sendiri memiliki masalah, yaitu tingkat
produktivitas yang mendekati levelling off sehingga ada tendensi total produksi
relatif stagnan jika tidak diimbangi dengan penerapan teknologi (Widiatmaka et
al. 2015).
104 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Konversi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian sangatlah sulit


dihindari (Sumaryanto et al. 2001; Simatupang dan Irawan 2003), terutama
pada daerah-daerah di pulau Jawa di mana kelangkaan lahannya semakin tinggi
Pedesaan berkembang pesat mengikuti perkembangan perkotaan dan menjadi
daerah industri, sehingga kebutuhan lahan untuk industri, perumahan dan sarana
publik yang menghasilkan keuntungan ekonomi lebih tinggi per satuan lahan
mengalami peningkatan dan diikuti dengan kenaikan harga lahan pertanian
yang akhirnya meningkatkan opportunity cost sektor pertanian. Faktor ekonomi
itulah yang seringkali menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke
penggunaan non-pertanian (Simatupang dan Irawan 2003). Hal ini dicerminkan
dari nilai land rent lahan untuk penggunaan pertanian yang sangat rendah
dibandingkan penggunaan untuk kegiatan non-pertanian yaitu sekitar 1: 500
untuk kawasan industri dan 1: 622 untuk kawasan perumahan (Nasoetion dan
Winoto 1996).
Dengan nilai land rent kegiatan pertanian yang rendah maka secara logis
pertumbuhan ekonomi akan mendorong terjadinya alokasi lahan ke sektor
ekonomi lain dan menimbulkan konversi lahan pertanian. Konversi lahan pertanian
tersebut umumnya cenderung terjadi pada lahan pertanian berproduktivitas
tinggi seperti lahan sawah beririgasi. Menurut Irawan (2001 dalam Simatupang
dan Irawan 2003), dua faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah: 1)
ketersediaan infrastruktur ekonomi merupakan faktor positif dominan yang
berpengaruh terhadap preferensi investor dalam memilih lokasi lahan yang akan
dibangun untuk kegiatan non-pertanian; 2) perlindungan pemerintah terhadap
lahan pertanian produktif relatif lemah. Berdasarkan data yang disampaikan
Isa (2006), secara sistematis pemerintah daerah melalui Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten/Kota akan merencanakan alih fungsi lahan sawah irigasi
menjadi peruntukan lain dan terjadi di ketujuh pulau besar di Indonesia. Seluas
±3 juta ha dari total luas lahan sawah yaitu ±7,3 juta ha (42,4% dari luas lahan
sawah irigasi) direncanakan akan diubah peruntukannya (Tabel 10).
Menurut Simatupang dan Irawan (2003) proses konversi lahan pertanian
terjadi antara lain: (1) konversi lahan pertanian merupakan suatu proses yang
tidak mungkin dihindari selama pembangunan masih berlangsung dan jumlah
penduduk terus meningkat, utamanya di daerah dengan kelangkaan lahan tinggi,
(2) jika alokasi lahan sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar maka lahan
pertanian produktif akan semakin berkurang akibat konversi lahan, dan (3)
konversi lahan pertanian merupakan suatu proses yang bersifat menular, artinya
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 105

sekali konversi lahan terjadi di suatu lokasi maka akan terjadi konversi lahan yang
lain di lokasi sekitarnya. Kegagalan mekanisme pasar dalam mengalokasikan lahan
secara optimal disebabkan faktor-faktor rent lainnya dan keberadaan multifungsi
lahan pertanian berupa fungsi-fungsi lahan pertanian lainnya terabaikan, seperti
fungsi sosial, fungsi kenyamanan, fungsi konservasi tanah dan air, dan fungsi
penyediaan pangan bagi generasi selanjutnya.

Tabel 10 Luas sawah dan rencana alih fungsi menurut RTRW

Sumber: Isa (2006)

6.7 Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan dan Konversi


Lahan Pertanian
Apabila lahan sawah yang ada diasumsikan hilang fungsinya sebagai penyangga
air hujan-aliran permukaan, maka besarnya biaya pengganti (replacement cost) yang
harus dikeluarkan untuk membangun dan memelihara dam guna menampung
volume air yang semestinya dapat ditampung sementara di lahan sawah adalah
US$ 4.970 juta/tahun (Tabel 11). Hal ini berarti bahwa apabila lahan sawah
yang ada tidak mengalami perubahan atau alih fungsi, maka dapat menghemat
biaya pembangunan fasilitas penampungan air sementara seperti: dam, situ, dan
lain-lain sebesar ± US$ 4.970 juta setiap tahunnya (Tala’ohu et al. 2003). Oleh
sebab itu, eksistensi lahan sawah yang ada perlu dipertahankan, baik untuk fungsi
reservoir air hujan dan aliran permukaan, pengendali erosi tanah, maupun sebagai
stabilisasi ketahanan pangan, dan berbagai fungsi sosial, ekonomi serta budaya
lainnya.
106 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Tabel 11 Biaya pengganti untuk fungsi pengendali banjir (FPB) lahan non-
sawah di DAS Citarum (Tala’ohu et al. 2003)

Lahan pertanian selain berfungsi sebagai penghasil komoditas pertanian


juga menghasilkan jasa lingkungan. Irawan (2007) menyimpulkan dari hasil
kajiannya bahwa nilai jasa Iingkungan lahan sawah dan lahan kering berturut-
turut sebesar 85,4% dan 72,1% dari nilai ekonomi totalnya. Hal ini menunjukkan
sistem usahatani lahan sawah menghasilkan jasa Iingkungan yang jauh lebih
tinggi dari pada nilai padi yang dihasilkannya. Konversi lahan sawah akan lebih
banyak mendatangkan kerugian dalam bentuk hilangnya berbagai manfaat jasa
lingkungan daripada biaya untuk mengelolanya. Oleh karena itu, konversi lahan
pertanian untuk pembangunan sarana dan prasarana sebaiknya memprioritaskan
menggunakan lahan kering daripada lahan sawah. Lahan sawah sebagai lahan
pertanian penghasil pangan lebih mampu mengendalikan erosi dibandingkan
dengan lahan kering. Berdasarkan pendugaan erosi, potensi erosi lahan sawah
lebih rendah (0,3–1,5 t/ha/tahun) dibandingkan dengan lahan kering (5,7–16,5t/
ha/tahun)
Secara umum, aspek multifungsi lahan pertanian yang diketahui oleh
masyarakat adalah sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan, dan
sumber air tanah dengan persentase pengetahuan berturut-turut sebesar 57%,
47%, dan 34% (Irawan et al. 2006). Sementara itu, aspek multifungsi lahan
pertanian sebagai penyedia jasa lingkungan seperti pengendali banjir, pengendali
erosi dan sedimen, penyimpan air tanah, dan penyerap limbah organik masih
kurang dikenal. Penerapan nilai jasa lingkungan sebagai faktor penentu harga
lahan perlu disosialisasikan terlebih dahulu secara intensif kepada masyarakat.
Selain itu, pemerintah perlu secara konsisten mempertimbangkannya pada setiap
penyusunan kebijakan dalam rangka mengendalikan konversi lahan pertanian
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 107

untuk penggunaan non-pertanian. Selain melalui undang-ùndang No. 41/2009


tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, pemerintah juga
dapat menetapkan biaya konversi (harga) lahan dengan mempertimbangkan
nilai-nilai ekonomi dan fungsi lingkungan biofisik lahan sawah/pertanian tersebut
untuk menaikkan biaya konversi menjadi lebih tinggi. Apabila nilai konversi
menjadi tinggi, diharapkan dapat mencegah konversi lahan pertanian menjadi
penggunaan non-pertanian.

6.8 Fenomena Konversi Lahan dan Kerugian yang


Ditimbulkannya
Pesatnya pertumbuhan pembangunan disegala bidang terutama di Jawa
telah berpengaruh terhadap perkembangan sektor pertanian. Dampak langsung
terhadap sektor pertanian adalah adanya konversi lahan pertanian termasuk
sawah menjadi non-pertanian atau non-sawah. Hal ini disebabkan semakin
meningkatnya kebutuhan lahan untuk berbagai kegiatan sektor-sektor non-
pertanian. Disisi lain Jawa merupakan sentra produksi beras nasional. Dengan
demikian banyaknya lahan sawah yang terkonversi akan berpengaruh buruk
terhadap produksi beras nasional. Beras merupakan komoditas yang bernilai
strategis dan berdimensi sangat luas serta kompleks. Kerawanan pangan akan
menimbulkan kerawanan pada bidang sosial, politik, dan keamanan. Oleh karena
itu, pemerintah berupaya keras untuk mempertahankan swasembada pangan.
Fenomena konversi lahan sawah banyak terjadi di Jawa, terutama di
wilayah-wilayah pusat pertumbuhan ekonomi seperti Jabodetabek, dan Gerbang
kertasusila. Banyaknya lahan sawah yang beralih fungsi di Jawa mengakibatkan
luas baku sawah semakin menyusut. Hal ini sangat disayangkan mengingat lahan
sawah di Jawa sangat subur dan sangat sesuai untuk budidaya pertanian tanaman
pangan, sehingga Pulau Jawa menjadi lumbung pangan di Indonesia.
Kerugian yang ditimbulkan akibat konversi lahan sawah ke penggunaan
non-pertanian antara lain adalah:

1. Berkurangnya produksi beras per tahun, dan kehilangan produksi beras


ini secara kumulatif dapat berdampak besar terhadap pengadaan pangan
nasional.
2. Hilangnya pendapatan dari usahatani, kesempatan kerja, pendapatan
buruhtani, pendapatan dari sektor penggilingan dan pendapatan usaha
traktor.
108 | Perencanaan Penggunaan Lahan

3. Hilangnya manfaat investasi yang besar dari pembangunan waduk


dan jaringan irigasi, karena untuk membangun sawah beririgasi baru
membutuhkan investasi Rp4,9 juta/ha dihitung atas dasar harga konstan
tahun 1989 (Sumaryanto et al. 1994).
Perkembangan luas lahan pertanian yang dikemukakan terdahulu,
menunjukkan selama periode 1981–1999 terjadi defisit sebesar 483.831 ha
di Pulau Jawa, surplus +2.077.480 ha di luar Jawa dan keseluruhan Indonesia
surplus +1.593.649 ha. Di empat propinsi yang distudi (Jateng, Jatim, Sumut,
Sulsel) penurunan luas lahan sawah akibat konversi mengakibatkan penurunan
produksi hingga mencapai 714.000 ton gabah selama 2 tahun. (Syaukat dan
Agus 2004).

6.9 Pengaruh dan Keterkaitan Konversi Lahan


Pertanian Terhadap Multifungsi Pertanian
Konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian berdampak negatif terhadap
multifungsi lahan pertanian antara lain penurunan kapasitas produksi pertanian,
penurunan daya serap tenaga kerja pertanian, hilangnya investasi pertanian dan
meningkatnya masalah sosial dan lingkungan (Simatupang dan Irawan 2003).
Semakin tinggi produktivitas lahan sawah yang terkonversi, semakin tinggi pula
kerugian yang terjadi. Berdasarkan data empiris selama ini, kerugian itu berupa
hilangnya kesempatan untuk memproduksi padi antara 4,5–12,5 t/ha/tahun,
tergantung pada kualitas lahan sawah yang bersangkutan. Dampak alih fungsi
lahan sawah ke penggunaan non-pertanian menyangkut dimensi yang sangat luas
dari pada sekedar turunnya produksi pertanian saja, karena terkait dengan aspek-
aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat. Arah
perubahan ini secara langsung atau tidak tangsung akan berdampak terhadap
pergeseran kondisi ekonomi, tata ruang pertanian, serta prioritas-prioritas
pembangunan pertanian wilayah dan nasional (Winoto 1995; Nasoetion dan
Winoto 1996).
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, penurunan produksi yang
disebabkan oleh konversi lahan berbeda dengan penurunan produksi akibat
serangan hama, penyakit, kekeringan ataupun banjir. Berkurangnya produksi
padi akibat konversi lahan sawah adalah bersifat permanen. Hampir tidak pernah
dijumpai bahwa lahan sawah yang telah beralih fungsi menjadi non-sawah (apalagi
untuk peruntukan non-pertanian) kemudian berubah kembali menjadi sawah.
Fenomena demikian mempunyai implikasi yang serius terhadap perhitungan
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 109

dampak negatif konversi lahan sawah terhadap produksi pangan. Seperti


diketahui mayoritas pelaku usahatani padi adalah masyarakat pedesaan berikut
segala atributnya (miskin, berpendidikan rendah, lahan usahataninya sempit).
Fakta dan tendensi menunjukkan kecenderungan semakin kecilnya rata-rata luas
sawah garapan tak dapat dicegah, terutama dipedesaan dengan agroekosistem
sawah, proses itu berjalan sangat cepat. Disektor pertanian, khususnya tanaman
pangan, usahatani padi merupakan aktivitas ekonomi yang banyak rnenyediakan
lapangan kerja. Oleh sebab, itu konversi lahan sawah bukan hanya menyebabkan
hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan petani penggarap tetapi juga buruh
tani.
Dampak negatif lain akibat konversi lahan sawah merupakan akibat lanjutan
dari rusaknya ekosistem sawah. Sampai saat ini memang belum ada suatu
penelitian yang secara komprehensif mengkaji persoalan ini. Untuk wilayah
tropis maka fungsi sawah pada musim penghujan bukan sekedar lahan yang
digunakan untuk budidaya padi, tetapi juga merupakan hamparan yang efektif
untuk menampung kelebihan air limpasan. Secara teknis, areal pesawahan telah
dikembangkan sedemikian rupa sehingga sebagian dari air limpasan tertampung
di areal persawahan dengan tinggi genangan yang tidak berdampak negatif
terhadap pertumbuhan tanaman padi.
Dari sudut pandang sosial ekonomi, konversi lahan sawah yang terjadi pada
suatu hamparan yang cukup luas dan masif dengan sendirinya akan mengubah
struktur kesempatan kerja dan pendapatan komunitas setempat. Sebagian dari
mereka justru mengalami perbaikan kesejahteraan, terutama bagi pemilik lahan
yang sejak semula merupakan bagian dari lapisan atas penduduk setempat.
Untuk golongan bawah (terutama buruh tani dan petani gurem) yang terjadi
adalah sebaliknya. Sebagian besar dari mereka tidak dapat secara otomatis beralih
pekerjaan/usaha ke sektor non-pertanian sehingga yang terjadi kemudian adalah
kondisi semakin sempitnya peluang usaha yang mereka hadapi. Pada saat yang
sama, terjadi pula perubahan budaya dari masyarakat agraris ke budaya urban yang
dapat mengakibatkan meningkatnya kriminalitas. Berhubung kriminalitas pada
hakekatnya juga merupakan biaya sosial yang harus ditanggung oleh komunitas
yang bersangkutan, maka hal itu berarti net social benefit turun.
Multifungsi pertanian di Indonesia saat ini sedang mengalami degradasi,
sejalan dengan menurunnya kualitas dan kuantitas lahan pertanian. Proses
degradasi multifungsi lahan yang paling signifikan adalah konversi lahan
pertanian, karena proses ini menghilangkan semua fungsi pertanian bersamaan
dengan beralihnya fungsi lahan pertanian itu sendiri (Adimihardja 2006).
110 | Perencanaan Penggunaan Lahan

6.10 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebijakan


Pengendalian Konversi Lahan
Menurut Dunn (2003) kebijakan publik (public policy) adalah pola
ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung,
termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak yang dibuat oleh badan
atau kantor pemerintah. Pelaksanaan kebijakan publik dalam Iingkungannya
juga perlu didasarkan atas empat prinsip organisasi yang harus dijalankan oleh
organisasi pemerintah yaitu: the purpose served, the process employed, the persons or
things deal with, and the area covered.
Berdasarkan pemikiran para ahIi seperti diungkapkan di atas, maka dapat
disarikan bahwa dari sudut pandang organisasi, kebijakan publik mengandung
empat unsur yaitu (1) Adanya keputusan-keputusan, (2) Lembaga yang berwenang
atau pemerintah, (3) Yang dilaksanakan untuk tujuan tertentu, dan (4) Melibatkan
banyak pihak pada cakupan area tertentu. Dalam kaitan ini belum ditegaskan
secara eksplisit untuk kepentingan siapa kebijakan tersebut dirumuskan. Namun,
karena pemerintah sebagai pelaksana kebijakan publik merupakan lembaga yang
dipercaya oleh masyarakat untuk mewujudkan berbagai aspirasi masyarakat. maka
kebijakan publik haruslah dirumuskan untuk kepentingan masyarakat luas atau
publik. Kegiatan pemerintah haruslah dilaksanakan dengan berorientasi pada
kepentingan masyarakat untuk dapat memenuhi fungsinya dalam menyediakan
jasa-jasa bagi masyarakat yang tidak dapat diprivatisasikan atau belum dapat
dihasilkan oleh masyarakat sendiri.
Kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian yang diwujudkan dalam
berbagai peraturan yang berkaitan dengan konversi lahan pada dasarnya dapat
digolongkan sebagai kebijakan publik, karena dirumuskan oleh lembaga yang
memiliki kewenangan yang sah atau pemerintah, ditujukan untuk kepentingan
masyarakat luas atau publik. Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya,
masalah konversi lahan pertanian pada dasarnya bersumber dari adanya konflik
kepentingan antara investor pelaku konversi lahan, masyarakat desa yang
mengandalkan sumber pendapatannya pada kegiatan pertanian, dan masyarakat
luas yang mengandalkan lahan pertanian terutama lahan sawah sebagai sumber
bahan pangan pokok. Dalam hal ini konflik kepentingan yang muncul di
masyarakat luas tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa melibatkan campur
tangan pemerintah dalam pengaturan (regulasi) pemanfaatan sumberdaya lahan,
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 111

baik untuk pembangunan sektor pertanian maupun sektor ekonomi lainnya.


Pengaturan (regulasi) tersebut dilakukan melalui kebijakan pemerintah terkait
konversi lahan.
Sehubungan dengan pelaksanaan kebijakan publik, Hoogerwerf (1983)
mengemukakan bahwa kegagalan pelaksanaan suatu kebijakan publik dapat
disebabkan oleh hal-hal yang menyangkut isu kebijakan itu sendiri, keterbatasan
informasi yang dimiliki para pelaksana kebijakan, dukungan publik yang lemah
dan keterbatasan potensi yang dimiliki oleh para pelaksana kebijakan. Edwards
(1980) mengemukakan bahwa terdapat 4 faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
kebijakan publik yaitu: (1) komunikasi (communication), (2) sumberdaya
(resources), (3) sikap (dispositions) dan (4) struktur birokrasi (bureaucratic structure).
Dunn (2003) berpendapat bahwa ada tiga elemen yang membentuk sistem
kebijakan yaitu pelaku kebijakan, kebijakan publik dan lingkungan kebijakan.
lnteraksi diantara ketiga elemen tersebut akan menentukan kinerja dari suatu
kebijakan yang merupakan output dari proses pelaksanaan kebijakan. Berdasarkan
hal tersebut maka pelaksanaan kebijakan publik juga akan dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan kebijakan.
Pelaksanaan kebijakan pengendalian konversi lahan merupakan faktor yang
sangat mempengaruhi keadaan konversi lahan. Pembuatan kebijakan merupakan
suatu proses politik yang sedikitnya melibatkan tiga tahapan secara berurutan dan
bersifat iteratif yaitu: formulasi kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan evaluasi
kebijakan. Dari ketiga tahapan tersebut pelaksanaan kebijakan merupakan tahap
yang paling penting (Henry 1989 ; Dunn 2003)
Meskipun perumusan kebijakan sudah mempertimbangkan segala hal,
tetapi proses pelaksanaan kebijakan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik secara
langsung maupun tidak langsung dan salah satu faktor penting yang berpengaruh
adalah faktor pelaksana kebijakan itu sendiri (Hoogerwerf 1983; Dunn 2003).
Pelaksana kebijakan yang memiliki kemampuan dan apresiasi tinggi terhadap
pekerjaan, yang didukung dengan informasi yang memadai sebagai pedoman
pelaksanaan kebijakan dapat menjamin proses pelaksanaan kebijakan (Henry
1989 ;Hoogerwerf 1983).
112 | Perencanaan Penggunaan Lahan

6.11 Aspek Hukum, Upaya Pengendalian, dan


Permasalahannya
Konversi lahan terjadi akibat lemahnya sistem peraturan perundang-
undangan dan lemahnya penegakan hukum dari peraturan-peraturan yang
ada (Syaukat dan Agus 2004), Fenomena konversi lahan pertanian, khususnya
lahan sawah sebenarnya sudah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah,
terbukti dengan telah diterbitkannya berbagai kebijakan yang intinya melarang
pengalihgunaan lahan pertanian, khususnya sawah beririgasi teknis untuk
penggunaan non-pertanian. Kebijakan pemerintah tersebut antara lain tertuang
dalam:
1. Keppres RI No. 33 Tahun 1990, yang memuat tentang pemberian ijin
penggunaan tanah untuk industri yang tidak boleh mengurangi areal tanah
pertanian.
2. Surat Meneg/Ka. BPN tanggal 15 Juni 1994 No. 410-1851 perihal
Pencegahan Perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk
Penggunaan non- Pertanian melalui penyusunan RTR, yang ditujukan
Kepada Gubernur KDH Tk. I, Bupati/Walikota KDH Tk. II seluruh
Indonesia.
3. Surat Meneg/Ka. BPN tanggal 15 Juni 1994 No. 410-1850, perihal
Perubahan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan
non-pertanian.
4. Dan lain-lain surat Meneg/Ka. BPN, Surat Meneg. Perencanaan
Pembangunan/Ketua Bappenas selaku Ketua BKTRN, yang isinya senada.
Akan tetapi implementasi dari kebijakan-kebijakan tersebut di atas di
lapangan belum sepenuhnya efektif, karena pada kenyataannya konversi lahan
sawah masih tetap berlangsung walaupun kebijakan tersebut sudah diterbitkan
dan ditindaklanjuti oleh Pemda. Hal ini terjadi karena banyaknya masalah, baik
yang bersifat teknis maupun non-teknis, dalam pelaksanaan pencegahan konversi
lahan sawah di lapangan.Permasalahan tersebut antara lain adalah:
1. Pengambil keputusan di daerah mengenai boleh tidaknya lahan pertanian
(sawah) dikonversikan adalah Pemda (Kepala Daerah). Dalam prakteknya
Pemda sering dihadapkan pada pilihan yang sulit (dilematis) antara
mempertahankan swasembada pangan (beras) atau menarik investor untuk
mengembangkan ekonomi daerah yang akan menunjang peningkatan
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 113

pendapatan asli daerah. Mempertahankan swasembada beras, berarti


Pemda harus mempertahankan lahan sawahnya untuk tidak dikonversikan
ke penggunaan non-sawah. Konsekuensinya, investor akan membatalkan
investasinya karena tidak memperoleh ijin penggunaan lahan. Menarik
investor sebanyak-banyaknya berarti merelakan sebagian lahan sawahnya
untuk dikonversikan, karena umumnya investor cenderung memilih lokasi
usahanya di lahan pertanian termasuk sawah. Hal ini kemungkinan karena
harga lahan sawah lebih murah dibandingkan lahan kering, terdapat dalam
satu hamparan yang luas, dan memiliki aksesibilitas yang baik (tersedia
prasarana jalan) serta daya dukung yang baik seperti sumber air, dan lain-
lain. Seringkali Pemda memilih menarik investor karena dapat membantu
mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah, menciptakan lapangan kerja,
dan meningkatkan pendapatan asli daerah. Suatu pilihan yang rasional.
Konsekuensi lain adalah terjadinya inkonsistensi dalam implementasi
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
2. Ketidakseragaman pengertian mengenai sawah beririgasi teknis di lapangan
diantara berbagai instansi terkait, sehingga Pemda (BPN) kesulitan untuk
menentukan sawah tersebut dapat dikonversikan atau tidak. Di lapangan
banyak lahan yang menurut Direktorat Irigasi adalah lahan sawah beririgasi
teknis, namun kenyataannya lahan tersebut berupa lahan kering atau bahkan
sudah berubah menjadi non-sawah.
3. Banyaknya masyarakat atau petani yang mengkonversi lahan sawahnya tanpa
mengajukan ijin perubahan penggunaan lahan terlebih dahulu. Meskipun
luasannya kecil-kecil, tetapi jumlahnya banyak. Dalam hal ini BPN tidak
dapat berbuat banyak karena keterbatasannya.
4. Belum terintegrasinya secara baik berbagai instansi terkait yang menangani
masalah konversi lahan pertanian tersebut. Hal ini terlihat dari belum adanya
data yang memadai, kalaupun ada angkanya sering tidak konsisten.
5. Adanya proyek dari Pusat yang berskala nasional seperti proyek penyulingan
minyak di Situbondo Jawa Timur. Menghadapi proyek yang semacam ini
umumnya Pemda tidak dapat berbuat banyak kecuali memberikan ijin.
Terkait upaya mengendalikan konversi lahan sawah, Syaukat dan Agus
(2004) secara jelas telah menyebut hal-hal apa yang perlu dilakukan kedepan.
Seperti diketahui konversi lahan sawah di Jawa yang berlangsung terus menerus
secara kumulatif jumlahnya semakin banyak. Hal ini akan mengakibatkan luas
114 | Perencanaan Penggunaan Lahan

lahan sawah semakin menyusut, dan jumlah produksi beras yang hilang akan
semakin besar (pada tahun 1995 untuk Jawa dan Bali mencapai sekitar 130 ribu
ton). Keadaan semacam ini apabila tidak ada penanganan yang serius dikemudian
hari dapat mengancam usaha-usaha mempertahankan swasembada pangan (beras)
nasional. Selain itu, penanganan masalah konversi lahan sawah terkesan belum
terkoordinasi dengan baik. Hal ini tercermin dari adanya data yang angkanya
tidak konsisten diantara berbagai instansi yang menangani pendokumentasian
data. Masing-masing instansi dalam menginventarisasi data masih berdasarkan
pada kepentingan sektoral, bukan kepentingan nasional. Akibatnya data yang
tersedia tidak seragam dan tidak baku, padahal di lain pihak data tersebut harus
valid.
Usaha pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah belum efektif karena
banyaknya permasalahan lapangan, baik yang bersifat teknis maupun non teknis
serta adanya kepentingan berbagai pihak yang kadang-kadang saling bertentangan.
Konversi lahan sawah harus dikendalikan dan kalau memungkinkan dicegah
karena apabila berlangsung terus dapat mengancam swasembada beras. Untuk
itu harus ada komitmen dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, bahwa
swasembada beras adalah segala-galanya, sehingga apapun resikonya sawah yang
ada terutama yang beririgasi teknis perlu dipertahankan keberadaannya dengan
sungguh-sungguh. Data laju konversi lahan sawah yang valid sangat diperlukan
bagi perencanaan produksi pangan. Oleh sebab itu, perlu ada koordinasi
pendokumentasian data yang baik, dibuat suatu format data yang seragam
sehingga hanya ada satu sistem pelaporan/ pendokumentasian data. Hal ini dapat
dikoordinasikan oleh Pemda/Bappeda masing-masing daerah.
Konversi lahan sawah di lapangan nampaknya sangat sulit untuk dihindari.
Oleh karena itu, perlu adanya solusi sebagai berikut:
1. Perlu dilakukan pengendalian yang sungguh-sungguh agar laju konversi
dapat diminimalkan.
2. Perlu dibuka lahan sawah baru di luar Jawa, untuk mengganti lahan sawah
yang telah beralih fungsi di Jawa.
3. Meningkatkan produktivitas lahan melalui peningkatan kualitas lahan agar
intensitas tanam dapat ditingkatkan dan teknologi budidaya yang mampu
meningkatkan produksi dapat diterapkan.
4. Mengingat masalah konversi lahan sawah menyangkut kepentingan berbagai
pihak maka penanganannya perlu dilakukan secara terintegrasi.
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 115

Dalam upaya pengendalian konversi lahan pertanian, Isa (2004)


mengemukakan 3 (tiga) strategi yaitu : (1). Memperkecil peluang terjadinya
konversi; (2). Mengendalikan kegiatan konversi lahan dan (3). Menggunakan
instrumen pengendalian konversi lahan, baik instrumen yuridis maupun
non-yuridis. Sementara itu Adimiharja (2004) menambahkan bahwa upaya
pengendalian dapat dilakukan melalui peningkatan pemahaman masyarakat akan
pentingnya lahan pertanian, penegakan peraturan pengendalian konversi lahan
dan pemberian insentif bagi petani yang tetap memelihara lahan pertaniannya.
Pasandaran (2006) mengemukakan 3 (tiga) alternatif untuk mengendalikan
konversi lahan sawah irigasi dalam suatu DAS : (1). Kebijakan pengendalian
melalui otoritas sentral yaitu suatu keputusan politik yang mengambil alih
atau membatasi kebebasan dalam mengakses sumberdaya dalam suatu wilayah;
(2). Kebijakan yang bertujuan memberikan insentif kepada pemilik sawah
beririgasi, baik individual maupun kolektif, karena posisinya yang strategis dalam
menjalankan fungsi produksi, konservasi dan warisan nilai-nilai budaya; (3).
Penguatan kemampuan kolektif masyarakat tani dalam mengelola sumberdaya
lahan dan air.

6.12 Peranan Pemerintah dan Strategi Pengendalian


Konversi Lahan untuk Mempertahankan
Multifungsi Pertanian
Proses konversi lahan pertanian pada umumnya berlangsung melalui dua
tahapan, yaitu pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada non-petani yang
kemudian diikuti dengan pemanfaatan lahan pertanian tersebut untuk kegiatan
diluar pertanian. Oleh karena itu, penanganan masalah konversi lahan pertanian
sebenarnya dapat ditempuh melalui tiga pendekatan, yaitu: (1) mengendalikan
pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada non- petani melalui pemberian
insentif ekonomi kepada petani, (2) mencegah alih fungsi lahan melalui penetapan
lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan (3) menanggulangi dampak negatif
yang ditimbulkan oleh konversi lahan melalui pencetakan sawah baru dan
pembangunan jaringan irigasi (Simatupang dan Irawan 2003).
Mempertahankan pertanian dengan multifungsinya merupakan hal yang
sangat penting dalam pembangunan pertanian. Adimihardja (2006) menyatakan
bahwa strategi utama untuk mempertahankan multifungsi pertanian di Indonesia
adalah: (1) meningkatkan citra pertanian dan masyarakat tani, (2) mengubah
116 | Perencanaan Penggunaan Lahan

kebijakan produk pertanian harga murah, (3) meningkatkan apresiasi terhadap


multifungsi pertanian, (4) meningkatkan upaya konservasi lahan pertanian, dan
(5) operasionalisasi penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Konversi lahan sawah merupakan persoalan yang dilematis. Sebagian
dari konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian merupakan kejadian
yang sulit dihindarkan, misalnya untuk memenuhi kebutuhan lahan untuk
pemukiman. Dalam konteks seperti ini, laju konversi lahan sawah dapat
dikurangi secara tidak langsung melalui kebijakan dan implementasi pelaksanaan
tata ruang yang dilandasi visi jangka panjang yang intinya adalah bahwa zonasi
dalam penataan ruang harus secara cermat mempertimbangkan arah perubahan
struktur perekonomian, pertumbuhan penduduk dan perubahan sosial budaya.
Konversi lahan pertanian cenderung meningkat pesat dan tidak terkendali,
terutama terhadap lahan sawah irigasi sebagai akibat dari perkembangan
perekonomian dan pertambahan penduduk. Hal ini berdampak pada penurunan
kapasitas produksi pertanian, penurunan daya serap tenaga kerja pertanian,
hilangnya investasi pertanian serta meningkatnya masalah sosial dan lingkungan.
Strategi pengendalian untuk mempertahankan multifungsi pertanian di Indonesia
adalah meningkatkan citra pertanian dan masyarakat tani, mengubah kebijakan
produk pertanian harga murah dan meningkatkan apresiasi terhadap multifungsi
pertanian.
Konversi lahan pertanian terutama di daerah dengan kelangkaan lahan
tinggi merupakan fenomena ekonomi dan sosial yang sulit dihindari selama
tekanan terhadap lahan terus meningkat akibat peningkatan jumlah penduduk
dan pertumbuhan ekonomi masih terus berlangsung. Sementara itu, karena
keberadaan lahan pertanian memiliki manfaat yang sangat luas secara ekonomi,
sosial dan lingkungan, maka konversi lahan pertanian dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap berbagai aspek pembangunan. Dampak negatif tersebut
seyogyanya dapat diupayakan seminimal mungkin agar kegiatan pembangunan
dapat tetap berlangsung tanpa menimbulkan dampak negatif yang signifikan
akibat proses konversi lahan pertanian. Dalam kaitan inilah pemerintah seharusnya
dapat mengambil peran melalui pengaturan proses konversi lahan pertanian yang
tepat ditempuh dengan mengimplementasikan berbagai kebijakan hukum yang
berkaitan dengan konversi lahan pertanian.
Proses konversi lahan pertanian yang terjadi di setiap daerah (provinsi,
kabupaten/kota, kecamátan) secara umum melibatkan tiga stakeholders utama
yaitu: (1) Investor atau pelaku lain yang melakukan konversi lahan, (2)
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 117

Pemerintah yang berperan sebagai pengendali konversi lahan, dan (3) Petani
pemilik lahan pertanian. Interaksi diantara ketiganya akan menentukan keadaan
konversi lahan pertanian di setiap daerah yang dapat diekspresikan dalam besaran
konversi lahan, jenis lahan pertanian yang dikonversi dan potensi dampak yang
ditimbulkan secara ekonomi, sosiàl dan lingkungan (Gambar 9).

Gambar 9 Bagan keterkaitan kelompok faktor yang mempengaruhi konversi


lahan pertanian (Irawan 2008, dimodifikasi)

Dari sisi fenomena ekonomi, potensi atau peluang terjadinya konversi lahan
pertanian di suatu daerah ditentukan oleh dorongan penawaran lahan pertanian
oleh petani dan dorongan permintaan lahan pertanian untuk dikonversi oleh
investor. Hal ini dapat dilihat dari nilai sewa lahan karena penggunaan lahan
sawah dibandingkan dengan penggunaan non sawah, yaitu 1:622 untuk
pemukiman, 1:500 untuk industri, dan 1:14 untuk kawasan pariwisata (Nasution
dan Winoto 1996). Kedua dorongan penawaran dan permintaan lahan tersebut
118 | Perencanaan Penggunaan Lahan

akan dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah. Kebijakan


ekonomi yang bias pada sektor non-pertanian dan kurang memihak pada
sektor pertanian akan memperbesar dorongan penawaran lahan oleh petani dan
dorongan permintaan lahan oleh investor pelaku konversi lahan. Demikian pula
kebijakan regional yang telah memetakan suatu wilayah pembangunan sebagai
daerah kawasan industri akan memperbesar peluang terjadinya konversi lahan di
wilayah tersebut. Pakpahan dan Anwar (1989) mengungkapkan bahwa konversi
lahan mencakup berbagai aspek yang sangat luas seperti fisik/teknis, sosial,
ekonomi, hukum, politik, dan lingkungan.
Dorongan penawaran lahan oleh petani dipengaruhi oleh berbagai faktor
internal yang dihadapi petani seperti status kepemilikan lahan, pemilikan lahan
yang sempit, keuntungan usahatani yang rendah, produktivitas usahatani yang
rendah, kesempatan kerja non-pertanian yang terbatas, status pemilikan lahan
yang tidak jelas, pajak lahan yang tinggi, dan lain sebagainya (Pakpahan dan
Anwar 1989). Dorongan permintaan lahan oleh investor dapat dipengaruhi oleh
tingginya permintaan produksi non-pertanian, adanya berbagai fasilitas ekonomi
yang disediakan pemerintah dan sebagainya. Akibatnya aspek lahan diserahkan
pada mekanisme pasar, sehingga terdapat tekanan perubahan penggunaan lahan
dari yang intensitasnya lebih rendah ke aktivitas lain yang lebih produktif.
Konversi lahan pertanian dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial dan ekonomi
yang dapat memperbesar peluang terjadinya konversi lahan melalui dorongan
penawaran lahan oleh petani dan dorongan permintaan lahan untuk kegiatan
non-pertanian (Hakim 1989; Pakpahan dan Anwar 1989; Syaukat et al 1995;
Nasoetion dan Winoto 1996; Kustiawan 1997; Irawan et al 2000). Namun
demikian, faktor penawaran dan faktor permintaan lahan pertanian tersebut
berdampak terhadap penurunan kesejahteraan rumah tangga petani, penurunan
luas lahan pertanian dan penurunan produksi pertanian (Irawan 2005).
Fenomena ekonomi seperti diuraikan pada dasarnya sangat berpengaruh
terhadap potensi atau peluang terjadinya konversi lahan pertanian di setiap
daerah. Namun, seberapa besar konversi lahan pertanian yang benar-benar terjadi
di lapangan tidak hanya dipengaruhi oleh perilaku petani dan perilaku investor
tetapi juga dipengaruhi oleh perilaku birokrasi dalam mengimplementasikan
berbagai kebijakan hukum yang berkaitan dengan konversi lahan pertanian. Hal
ini karena secara legal prosedur konversi lahan pertanian sebenarnya telah diatur
dalam berbagai peraturan tentang konversi lahan yang diterbitkan pemerintah.
Dalam kaitan ini pelaksanaan kebijakan yang paling penting adalah di tingkat
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 119

pernerintah daerah mengingat pada pemberlakuan otonomi daerah (UU


No. 32 Tahun 2004) menjadikan pemerintah Kabupaten dan Kota memiliki
kemandirian yang luas dalam merumuskan kebijakan pembangunan di daerah
masing-masing.
Pelaksanaan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan konversi lahan
seyogyanya tidak hanya mampu mengendalikan besaran konversi lahan atau luas
lahan yang dikonversi tetapi juga mampu mengarahkan lokasi sasaran konversi
lahan dan jenis lahan pertanian yang dikonversi. Ketiga aspek konversi lahan
tersebut (luas lahan, lokasi lahan, jenis lahan) perlu dipertimbangkan karena sangat
menentukan besarnya potensi dampak negatif konversi lahan secara ekonomi,
sosial dan lingkungan. Dalam kaitan ini Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
yang merupakan acuan dalam pelaksanaan pembangunan dapat digunakan
sebagai pegangan dalam mengendalikan lokasi konversi lahan. Sementara berbagai
peraturan pemerintah lainnya yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan dapat
digunakan sebagai instrumen kebijakan untuk mengendalikan jenis lahan dan
luas lahan pertanian yang akan dikonversi.
Dalam kaitannya dengan upaya pengendalian konversi lahan oleh
pemerintah, dua hal yang perlu ditelaah yaitu Pertama, sejauh mana kebijakan
pemerintah yang terkait dengan konversi lahan telah diimplementasikan oleh
pemerintah daerah. Kedua, sejauh mana pelaksanaan kebijakan pemerintah
tersebut mampu mengendalikan konversi lahan secara efektif dan efisien. Efektif
dalam pengertian pelaksanaan kebijakan pemerintah tersebut mampu menekan
luas lahan pertanian yang dikonversi, sedangkan efisien memiliki makna bahwa
konversi lahan yang diijinkan memiliki potensi dampak negatif relatif kecil secara
ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Berdasarkan rangkaian faktor determinan konversi lahan yang diperlihatkan
dalam Gambar 9 terdahulu, dapat diungkapkan bahwa luas konversi lahan yang
kecil di suatu wilayah pemerintahan (kabupaten/kota, kecamatan) dan memiliki
potensi dampak negatif yang kecil tidak selalu mencerminkan bahwa kebijakan
pemerintah yang terkait telah diimplementasikan secara efektif dan efisien di
daerah tersebut. Apabila potensi konversi lahan di daerah tersebut memang
sangat kecil (misalnya karena investor tidak tertarik melakukan investasi di daerah
tersebut) maka sangat mungkin konversi lahan yang terjadi di daerah tersebut
sangat terbatas, bahkan mungkin sama sekali tidak terjadi konversi lahan,
120 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Sebaliknya, suatu wilayah yang memiliki luas konversi lahan yang relatif
tinggi belum tentu menunjukkan pemerintah daerah bersangkutan belum
mengimplementasikan berbagai kebijakan pemerintah untuk mengendalikan
konversi lahan. Sebagai contoh secara nasional atau secara regional (Provinsi,
Kabupaten/Kota) wilayah tersebut memang telah ditetapkan sebagai kawasan
industri, kawasan pemukiman, atau kawasan kegiatan non- pertanian lainnya
sehingga terpaksa harus menggunakan lahan-lahan pertanian yang ada.
Berdasarkan hal tersebut maka keadaan konversi lahan di suatu wilayah yang
dapat diaggap sebagai output dari pelaksanaan kebijakan pemerintah yang terkait
dengan pengendalian konversi lahan, haruslah diukur secara relatif dengan
potensi konversi lahan di daerah yang bersangkutan.
Dari proses pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan pemerintah pada
dasarnya hanya merupakan salah satu tahapan. Dunn (2003) mengemukakan
bahwa: Proses pembuatan kebijakan adalah aktivitas politik yang divisualisasikan
sebagai serangkaian tahapan yang saling bergantung menurut waktu dengan
pentahapan kegiatan sebagai berikut (1) Penyusunan agenda kebijakan; (2)
Formulasi kebijakan; (3)Adopsi kebijakan; (4) Pelaksanaan kebijakan; (5)
Penilaian kebijakan. Dalam proses pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan
merupakan tahapan yang paling penting.
Pada tahap pelaksanaan kebijakan perlu dilakukan kegiatan pemantauan atau
monitoring untuk menghasilkan informasi mengenai sebab dan konsekuensi dari
kebijakan yang telah ditempuh. Melalui pemantauan juga dapat diidentifikasi
hambatan dan rintangan yang dihadapi dalam mengimplementasikan suatu
kebijakan, menilai tingkat kepatuhan pelaksanaan kebijakan dan mengidentifikasi
pihak-pihak yang bertanggungjawab pada setiap tahapan kebijakan.
Masalah konversi lahan terjadi akibat lemahnya sistem perundang-
undangan serta lemahnya penegakan hukum dan peraturan-peraturan yang ada.
Belum adanya kemauan politik (political will) dari pemerintah daerah (Provinsi
dan Kabupaten/Kota) untuk secara konsisten dan tegas membuat sekaligus
melaksanakan peraturan daerah yang terkait dengan konversi lahan maupun
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menyebabkan lemahnya kontrol
terhadap konversi lahan. Secara khusus aspek hukum yang berkaitan dengan
konversi lahan adalah sebagai berikut:
1. Kurang adanya keterkaitan antara Rencana Umum Tata Ruang (RUTR)
Nasional, RUTR Provinsi dan RUTR Kabupaten/Kota, sehingga tidak ada
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 121

konsistensi antara satu dengan lainnya. Seharusnya RUTRK mengacu pada


RUTRP, dan RUTRP mengacu pada RUTRN.
2. Dengan dìberlakukannya UU No. 22 tahun 1999, Perda Tata Ruang
berlaku efektif di setiap kabupaten/kota. Konversi dan pengembangan lahan
juga mestinya merujuk pada Perda Tata Ruang ini. Namun, pelaksanaan
Perda ini tidak efektif karena: (1) tidak dicantumkannya sanksi yang jelas
untuk setiap pelanggaran hukum; (2) walaupun wewenang tata ruang efektif
berada di tangan bupati/walikota, namun pada prakteknya intervensi pejabat
lebih atas sulit ditolak kendati tidak sesuai dengan peruntukan tata ruang;
(3) BPN — instansi yang paling menentukan dalam masalah konversi lahan
masih menginduk kepada pemerintah Pusat, sedangkan instansi lain seperti
Dinas Pertanian hanya memberikan pertimbangan apakah suatu areal lahan
dapat atau tidak dapat dikonversi. Akibatnya, keputusan konversi lahan
sering diputuskan oleh BPN sendiri, dan seringkali bertentangan dengan
kepentingan Dinas Pertanian.
3. Pengalihan lahan ini sebenarnya sudah dipantau oleh suatu tim tertentu,
namun tidak efektif (Kasus Jawa Timur):
a. Untuk lahan berukuran kecil (<5000 m2), konversi lahan dipantau
oleh Tim 9 yang anggotanya terdiri dan BPN, Dinas-dinas termasuk
Pengairan, dan Pemda (termasuk kepala desa). Jika Tim 9 telah
memberikan rekomendasi terhadap suatu konversi lahan tertentu, baru
BPN melakukan perubahan status lahan (misalnya dari lahan sawah
menjadi lahan kering atau perumahan).
b. Untuk lahan berukuran besar, konversi lahan dipantau oleh Tim
Rekomendasi Izin Lokasi yang diketuai oleh Bupati/Walikota. Bupati/
Walikota mengacu pada RUTRK dalam memberikan izin lokasi.
Namun dalam prakteknya RUTRK ini tidak efektif, mudah sekali
dirubah sesuai dengan kebutuhan. Disinyalir ada permainan dalam
pemberian izin lokasi ini, karena seringkali penggunaan lahan tidak
sesuai dengan RUTR-nya.
adanya updating data luas lahan pertanian diberbagai provinsi. Di tengah
banyaknya kasus konversi lahan pertanian ke non-pertanian,ada beberapa
kabupaten di Jatim yang menunjukkan peningkatan luas area lahan sawah (yaitu
Lumajang, Bondowoso, Nganjuk, Ngawi dan Pamekasan). Namun petugas yang
berwenang pun masih meragukan data tersebut, karena sesungguhnya tidak ada
pencetakan sawah baru di daerah tersebut. (Irawan et al. 2001)
122 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Dari uraian diatas, beberapa Kesimpulan dan Rekomendasi Terkait Konversi


Lahan Pertanian dan Pengendaliannya dapat dikemukakan sebagai berikut
(Syaukat dan Agus 2004) :
1. Konversi lahan-lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian dipengaruhi
oleh banyak faktor, baik faktor ekonomi, sosial, dan hukum seperti lemahnya
peraturan mengenai konversi lahan itu sendiri. Pencegahan konversi lahan
tidak akan berjalan efektif jika faktor-faktor tersebut tidak dibenahi secara
terintegrasi.
2. Kebijakan pengendalian konversi lahan sawah harus memadukan antara
penegakan hukum dengan upaya-upaya penìngkatan insentif dalam
berusahatani padi sawah. Pada tingkat harga pupuk dewasa ini dan harga
gabah yang tidak menentu, terlepas dari adanya harga dasar gabah, telah
menyebabkan aktivitas usahatani padi sawah memiliki nilai insentif yang
sangat rendah dan disinsentif yang sangat tinggi. Untuk itu pemerintah
perlu meningkatkan berbagai insentif untuk mempertahankan sawah dan
meningkatkan disinsentif untuk konversi, misalnya dengan penetapan
pajak yang sangat tinggi untuk konversi, termasuk pembebanan ganti rugi
investasi irigasi. Disinsentif untuk pencegahan konversi lahan sawah dapat
pula berupa peningkatan sanksi bagi yang melanggar ketentuan, baik aparat
yang melanggar maupun masyarakat.
3. Komitmen pemerintah, baik pusat maupun daerah dalam upaya peningkatan
produksi pertanian dan pendapatan masyarakat sangat diperlukan.
Kebijakan membiarkan petani sendirian dalam menghadapi pasar global
yang menyebabkan pemiskinan lebih lanjut adalah tìdaklah tepat.
4. Dalam upaya mencapai dan mempertahankan food security, terutama
untuk penyediaan beras nasional, diperlukan adanya terobosan baru dalam
penelitian untuk mendapatkan sistem usahatani yang memiliki produktivitas
tinggi seperti introduksi padi varietas baru (termasuk padi hibrida) namun
dengan teknologi pengelolaan hama penyakit dan teknologi pemupukan
yang ramah lingkungan (pemupukan berimbang dan efisien).
5. Perlu dilakukan inventarisasi lahan secara menyeluruh dan rutin sebagai
dasar bagi upaya-upaya pengendalian konversi dan pengembangan lahan
pertanian. Metode konvensional pengumpulan data statistik, untuk daerah
tertentu perlu dilengkapi dengan metode yang lebih objektif misalnya
menggunakan metode penginderaan jauh (remote sensing).
Bab VI Konversi Lahan Pertanian dan Multifungsi Lahan Pertanian | 123

6. Mekanisme Dana Alokasi Umum (DAU) seharusnya tidak hanya mengacu


pada potensi pendapatannya saja, tetapi juga mesti memperhatikan alokasi
sumberdaya alam (SDA) untuk keperluan-keperluan khusus tertentu, seperti
hutan, sawah, taman, dan lainnya. Dengan memperhatikan hal ini, maka
konsentrasi penguasa tidak semata-mata pada pencapaian pendapatan asli
daerah.
7. Perlunya pengaturan tentang lahan tidur agar tidak menjadi arena spekulasi.
Dalam hal ini, lahan tidur perlu dikenakan pajak (PBB) yang tinggi.
8. Adanya kompensasi (insentif) bagi daerah yang bisa mempertahankan atau
bahkan meningkatkan produksi pangan, sehingga berupaya mempertahankan
keberadaan lahan-lahan sawah di daerahnya.
9. Perlu adanya penyamaan persepsi diantara berbagai Instansi dan Dinas
yang terkait dengan masalah konversi lahan. Kondisi saat ini menunjukkan
adanya perbedaan persepsi di antara aparat di berbagai Instansi dan Dinas
dalam menyikapi konversi lahan, dan masing-masing berpedoman pada
kepentingannya. Masalah koordinasi menjadi penting untuk diperhatikan.
Selain itu, perlu dibentuk lembaga pengendalian konversi dan pengembangan
lahan pertanian dari tingkat nasional hingga tingkat kabupaten/kota.

BAB VII
PERENCANAAN PENGGUNAAN
LAHAN

7.1 Definisi dan Tujuan


Perencanaan penggunaan lahan merupakan proses inventarisasi dan
penilaian keadaan (status), potensi, dan pembatas-pembatas dari suatu daerah
tertentu dan sumberdayanya, yang berinteraksi dengan penduduk setempat
atau dengan orang yang menaruh perhatian terhadap daerah tersebut dalam
menentukan kebutuhan-kebutuhan mereka, keinginan dan aspirasinya untuk
masa mendatang (Soil Conservation Society of America 1982, hal. 88–89).
Perencanaan penggunaan lahan akan menghasilkan rencana penggunaan lahan.
Rencana penggunaan lahan (landuse plan) merupakan informasi komposit yang
terkoordinasi, ide, kebijakan (policy), program, dan aktivitas yang dihubungkan
dengan penggunaan lahan sekarang dan potensi penggunaan lahan dalam suatu
daerah, dan sering merupakan unsur penentu/ kunci dalam rencana keseluruhan
(comprehensive plan) daerah yang sedang dikembangkan untuk penggunaan
bagi keperluan umum dan keperluan perseorangan seperti perumahan, industri,
perdagangan, rekreasi dan aktivitas pertanian.
Pengertian yang sifatnya lebih praktis operasional dikemukakan oleh Sandy
(1984b) yang mengatakan bahwa perencanaan penggunaan lahan (landuse
planning) merupakan usaha untuk menata letak proyek-proyek pembangunan,
baik yang diprakarsai oleh pemerintah maupun yang tumbuh dari prakarsa dan
swadaya masyarakat sesuai dengan daftar skala prioritas sedemikian rupa sehingga
disatu pihak dapat tercapai tertib penggunaan lahan, sedangkan di pihak lain
tetap dihormati peraturan perundangan yang berlaku. Dari pengertian diatas
dapat diketahui bahwa cakupan perencanaan penggunaan lahan sangatlah luas.
Akan tetapi dalam uraian berikut ini ruang lingkupnya akan lebih dibatasi dan
126 | Perencanaan Penggunaan Lahan

penekanan dilakukan pada sebagian saja dari berbagai penggunaan lahan bagi
pembangunan pertanian secara luas yang didasarkan atas penilaian faktor-faktor
fisik lingkungan. Hal ini bukanlah berarti bahwa faktor sosial, ekonomi dan
politik tidak penting, tetapi semata-mata didasarkan atas konteks dan keperluan
penulisan buku ini.
Perencanaan penggunaan lahan dalam konteks kerjasama pembangunan
merupakan proses yang berulang-ulang, didasarkan pada dialog antara semua
pemangku kepentingan yang bertujuan untuk menentukan penggunaan lahan
yang berkelanjutan di daerah pedesaan. Hal ini juga menyiratkan inisiasi dan
pemantauan langkah-langkah untuk mewujudkan pemanfaatan lahan yang
disepakati (GTZ 1995).
Tujuan Perencanaan penggunaan lahan adalah menciptakan prakondisi yang
diperlukan untuk mencapai jenis penggunaan lahan yang ramah lingkungari,
berkeadilan sosial seperti yang diinginkan dan ekonomis. Hal demikian
mengaktifkan proses sosial pengambilan keputusan dan membangun konsensus
mengenai pemanfaatan dan perlindungan pribadi, komunal atau area publik
(GTZ 1995).
Definisi oleh FAO dan UNEP yang telah dipublikasikan pada tahun 1999
menunjukkan konsensus saat ini di antara organisasi-organisasi internasional
dalam hal perencanaan penggunaan lahan. Perencanaan penggunaan lahan
adalah prosedur yang sistematis dan berulang-ulang yang dilakukan dalam
rangka menciptakan lingkungan yang memungkinkan untuk pembangunan
berkelanjutan dari sumberdaya lahan untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan
masyarakat. Dalam hal ini menilai kondisi fisik, sosio-ekonomi, kelembagaan dan
hukum dan kendala sehubungan dengan penggunaan optimal dan berkelanjutan
dari sumberdaya lahan dan memberdayakan masyarakat untuk mambuat
keputusan tentang bagaimana mengalokasikan sumberdaya lahan tersebut (FAO/
UNEP 1999).
Perbedaan diantaranya kedua definisi terletak lebih pada fokus partisipasi
di satu sisi oleh GTZ lebih menekankan pada penilaian sistematis disisi lain
oleh FAO dan UNEP. Berdasarkan definisi dan tujuan yang disajikan di atas,
perencanaan penggunaan lahan perlu didasarkan pada prinsip-prinsip berikut
(GTZ 1995) :
1. Perencanaan penggunaan lahan bertujuan untuk keberlanjutan dan
menyeimbangkan kebutuhan sosial, ekonomi, dan lingkungan;
Bab VII Perencanaan Penggunaan Lahan | 127

2. Hasil perencanaan penggunaan lahan dalam rencana penggunaan lahan yang


mengikat secara hukum dan atau mengikat secara hukum aturan penggunaan
lahan. Pengakuan formal dari rencana penggunaan lahan atau aturan
penggunaan lahan sangat penting untuk pelaksanaannya. Jika tidak, pemain
kunci seperti Kementerian sektor atau investor swasta tidak menghormati
dan tidak mempertimbangkannya dalam berbagai kegiatannya.
3. Perencanaan penggunaan lahan diintegrasikan ke dalam lembaga - lembaga
negara yang memiliki mandat resmi untuk perencanaan antar sektor. Hal ini
dapat diwujudkan dengan cara yang berbeda. Perencanaan dapat dimulai dan
difasilitasi oleh badan administratif lokal. Perencanaan juga dapat dilakukan
oleh pemimpin lokal atau tradisional dan kemudian diformalkan melalui
penandatanganan oleh petugas regional/ kabupaten/ kota atau provinsi atau
nasional. Petugas dari tingkat yang lebih tinggi ini perlu terlibat dari sejak
tahap awal;
4. Perencanaan penggunaan lahan adalah dialog. Bagian utama dari setiap
perencanaan penggunaan lahan adalah inisialisasi dan proses komunikasi
yang memungkinkan semua pemangku kepentingan untuk mengekspresikan
kepentingan mereka dan memungkinkan mereka untuk menyetujui
penggunaan lahan di masa depan yang mempertimbangkan semua
stakeholders dengan cara yang adil dan memadai;
5. Perencanaan penggunaan lahan selain aspek hasil rencana juga termasuk
semua proses sehingga, mengharuskan semua kelompok pemangku
kepentingan terwakili: pengguna lokal langsung dan tidak langsung,
otoritas publik, investor swasta, LSM dan Ormas tergantung pada tingkat
di mana perencanaan penggunaan lahan dilakukan. Partisipasi pemangku
kepentingan dapat langsung atau tidak langsung;
6. Perencanaan penggunaan lahan didasarkan pada diferensiasi pemangku
kepentingan dan sensitivitas gender. Untuk mengidentifikasi semua pihak
terkait, analisis gender dibedakan dari semua aktor dan dilakukan di awal;
7. Perencanaan penggunaan lahan mempromosikan keterlibatan masyarakat.
Masyarakat harus secara aktif berpartisipasi dalam perencanaan penggunaan
lahan. Hasil perencanaan dan pelaksanaan langkah-langkah hanya dapat
berkelanjutan apabila rencana yang dibuat merupakan hasil dari perencanaan
bersama dengan masyarakat dan bukan berasal dari perencanaan top down.
128 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Oleh karena itu, perencanaan bukan hanya masalah bagi para ahli, tetapi
harus dilakukan bersama-sama dengan mereka yang terkena dampak atau
pengaruh rencana tersebut;
8. Perencanaan penggunaan lahan yang realistis dan berorientasi dengan kondisi
setempat. Isi dari suatu perencanaan penggunaan lahan harus disesuaikan
dengan kondisi setempat. Metode yang digunakan juga harus sesuai dengan
aspek teknis, kapasitas ekonomi dan organìsasi masyarakat setempat serta
proses administrasi;
9. Perencanaan penggunaan lahan didasarkan pada kejelasan metodologi untuk
menghindari pengumpulan data yang tidak perlu sehingga menghasilkan
tumpukan data yang tidak berguna;
10. Perencanaan penggunaan lahan dalam hal metodologi dan isi berbeda
misalnya dalam skala, spesifikasi, bentuk partisipasi (langsung dan tidak
langsung), dan teknologi di tingkat desa, tingkat kabupaten/ kota dan
provinsi;
11. Perencanaan penggunaan lahan perlu mempertimbangkan pengetahuan
lokal (local wisdom). Masyarakat pedesaan sering memiliki pengetahuan asli
kompleks lingkungan alam mereka. Mereka dapat memberikan kontribusi
informasi yang berharga, karena itu mereka harus dimobilisasi selama
perencanaan penggunaan lahan;
12. Perencanaan penggunaan lahan memperhitungkan strategi yang digunakan
secara tradisional untuk memecahkan masalah dan konflik. Masyarakat
perdesaan tradisional memiliki cara sendiri untuk rnendekati masalah
dan menyelesaikan konflik menyangkut penggunaan lahan. Dalam proses
perencanaan penggunaan lahan, mekanisme tersebut harus diakui,dipahami
dan diperhitungkan;
13. Perencanaan penggunaan lahan mengikuti ide subsidiaritas, yaitu semua
fungsi dari perencanaan sampai pengambilan keputusan, pelaksanaan
dan pemantauan ditugaskan ke tingkat terendah dari pemerintah (desa,
kecamatan, kabupaten/kota). Demikian juga agar pemerintah tanggap
terhadap kebutuhan warga dan memastikan kontrol yang efektif dari bawah
dapat berlangsung dengan baik;
14. Perencanaan penggunaan lahan mengintegrasikan aspek bottom-up dengan
aspek top-down (integrasi vertikal). Perencanaan penggunaan lahan perlu
untuk menggabungkan kebutuhan dan kepentingan lokal (desa, kecamatan,
Bab VII Perencanaan Penggunaan Lahan | 129

kabupaten/kota) dengan ketentuan yang dibuat pada tingkatan yang


lebih tinggi. Hal ini hanya dapat dicapai secara berkelanjutan apabila para
pemangku kepentingan dari semua tingkatan berpartisipasi dalam proses
dan langsung berbicara dan mendengarkan satu sama lain;
15. Perencanaan penggunaan lahan didasarkan pada kerjasama antar disiplin
dan membutuhkan koordinasi lintas sektor (integrasi horizontal). Fungsi
beragam dan (potensial) menggunakan lahan membuat perlu untuk
menerapkan pendekatan interdisipliner yang melibatkan semua sektor yang
memiliki kepentingan di daerah tersebut. Hal ini biasanya membutuhkan
proses yang lebih panjang dalam membangun institusi dan meningkatkan
kerjasama antara kementerian sektor dan instansi yang berbeda;
16. Perencanaan penggunaan lahan adalah proses menuju peningkatan
kapasitas stakeholders. Metode partisipatif digunakan dalam setiap tahapan
perencanaan penggunaan lahan mempromosikan kemampuan teknis dan
organisasi dari semua peserta. Dengan demikian meningkatkan kapasitas
mereka untuk merencanakan dan bertindak. Dalam jangka menengah
hal ini menyebabkan peningkatan kapasitas kelompok-kelompok lokal
atau pemerintahan setempat (seperti kota/kabupaten dan provinsi) untuk
menentukan nasib sendiri;
17. Perencanaan penggunaan lahan membutuhkan transparansi. Jika tidak ada
transparansi dalam pengambilan keputusan tentang penggunaan lahan di
masa depan, maka hal ini akan beresiko tinggi bahwa ada kemungkinan
beberapa orang akan kehilangan hak-hak mereka dan atau bahwa penggunaan
lahan di masa depan tidak akan berkelanjutan;
18. Perencanaan penggunaan lahan berorientasi pada masa depan (visioner).
Perencanaan penggunaan lahan tidak hanya tentang pemetaan penggunaan
lahan atau tutupan lahan saat ini. Perencanaan penggunaan lahan menentukan
bagaimana lahan akan digunakan dimasa depan. Hal ini ada kemungkinan
berbeda dari pemanfaatan lahan saat ini;
19. Perencanaan penggunaan lahan merupakan proses berulang-ulang
(iterasi). Perencanaan penggunaan lahan lebih dari penyusunan dokumen
perencanaan. Iterasi dilakukan meliputi baik prinsip maupun metode.
Perkembangan baru dan temuan secara khusus diamati dan dimasukkan ke
dalam proses perencanaan. Hal ini dapat menyebabkan revisi keputusan dan
pengulangan Iangkah-langkah yang telah diambil;
130 | Perencanaan Penggunaan Lahan

20. Perencanaan penggunaan lahan berorientasi pada implementasi.


Perencanaan penggunaan lahan perlu mempertimbangkan bagaimana
keputusan dinegosiasikan dan solusi yang diidentifikasi adalah untuk
dilaksanakan, atau tidak berakhir hanya dengan rencana penggunaan lahan.
Pelaksanaan atau implementasi rencana berperan penting dalam membangun
kepercayaan penduduk desa terhadap proses perencanaan dan terhadap hasil
perencanaaan;
21. Perencanaan penggunaan lahan terkait dengan perencanaan keuangan. Hal
ini sangat penting untuk diimplementasi. Perencanaan penggunaan lahan
perlu menyadari alokasi anggaran sektor dan siklus perencanaan keuangan
sektor di berbagai departemen atau kementerian (termasuk jadwal waktu
mereka).
22. Perencanaan penggunaan lahan berkaitan dengan ruang dan tempat
(orientasi spasial). Di sebagian besar negara banyak bentuk perencanaan
dan cukup banyak rencana yang ada. Banyak rencana pembangunan,
misalnya, menyatakan apa yang harus dikembangkan (terutama dalam
hal infrastruktur), tetapi tidak menunjukkan di mana akan dilakukan.
Perencanaan penggunaan lahan perlu fokus pada apa yang direncanakan dan
dimana atau hubungan spasialnya. Orientasi spasial perencanaan memastikan
distribusi optimum investasi dan penggunaan yang paling memadai dari
setiap tempat dan menghindari terjadinya konflik penggunaan lahan.

7.2. Fungsi dan Ruang Lingkup


Fungsi utama dari perencanaan penggunaan lahan adalah untuk
memberikan petunjuk atau pengarahan dalam proses pengambilan keputusan
tentang penggunaan lahan sehingga sumberdaya lahan dan lingkungan tersebut
ditempatkan pada penggunaan yang paling menguntungkan/efisien bagi
manusia, dan dalam waktu yang bersamaan juga mengkonservasikannya untuk
penggunaan pada masa mendatang (Dent 1978; Jones dan Davies 1978). Untuk
dapat mengerjakan hal ini, perencana harus dalam kedudukan membandingkan
beberapa macam penggunaan lahan yang berbeda untuk masing-masing tipe
lahan dalam kaitan dengan pengaruhnya pada lahan dan keuntungan-keuntungan
kepada pemakai lahan sebagai hasil dari implementasinya. Survei dan evaluasi
lahan yang menyeluruh diperlukan untuk memberikan informasi ini sehingga
sekaligus merupakan hal utama yang diperlukan dalam proses perencanaan
penggunaan lahan.
Bab VII Perencanaan Penggunaan Lahan | 131

Perencanaan penggunaan lahan (landuse planning) merupakan hal yang


penting dalam pemanfaatan sumberdaya lahan masa kini, dan terutama pada
masa yang akan datang. Pertambahan penduduk disertai dengan perkembangan
kota dan desa menyebabkan seluruh penggunaan lahan dan tanah menjadi lebih
bersaing secara ketat. Lahan pertanian yang subur akan mendapat ancaman dan
tekanan yang lebih besar dari pertumbuhan perkotaan dan perluasan fasilitas atau
sarana-prasarana untuk keperluan umum seperti perumahan, jalan raya, pasar,
pertokoan dan lapangan terbang.
Perencanaan itu sendiri dalam arti luas adalah merupakan proses yang
dilakukan secara sadar dan sistematis dari sejumlah kegiatan dalam memilih dan
mengembangkan tindakan yang paling baik untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam kaitan dengan pengertian ini Katz dalam Tjokroamidjojo (1979)
mengemukakan lima alasan perlunya melakukan perencanaan yaitu: (1) Dengan
adanya perencanaan diharapkan terdapat suatu pengarahan kegiatan, adanya
pedoman bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang ditujukan pada pencapaian
tujuan pembangunan; (2) Dengan perencanaan maka dilakukan suatu
peramalan (forecasting) terhadap berbagai hal dalam masa pelaksanaan yang akan
dilalui. Peramalan dilakukan mengenai potensi-potensi dan prospek-prospek
perkembangan, tetapi juga mengenai hambatan-hambatan dan resiko-resiko
yang mungkin dihadapi. Perencanaan mengusahakan supaya ketidakpastian
dapat dibatasi sesedikit mungkin; (3) Perencanaan memberikan kesempatan
untuk memilih berbagai alternatif tentang cara yang terbaik atau kesempatan
untuk memilih kombinasi cara yang terbaik; (4) Dengan perencanaan dilakukan
penyusunan skala prioritas. Memilih urutan-urutan dari segi pentingnya suatu
tujuan, sasaran maupun kegiatan usahanya; dan (5) Dengan adanya rencana
maka akan ada suatu alat pengukur atau patokan dalam melakukan pengawasan
dan evaluasi.
Perencanaan adakalanya dilakukan berdasarkan alasan supaya pelaksanaan
kegiatan tertentu dapat lebih beraturan serta supaya pemanfaatan rencana yang
disusun (misalnya rencana penggunaan lahan, tata ruang, dan sebagainya) dapat
berfungsi sepenuhnya dalam upaya untuk mencapai keseimbangan lingkungan
atau ekologis.
Secara garis besar dikenal lima urutan tahapan yang umum dilakukan
dalam setiap perencanaan: (1) pengumpulan data atau fakta yang diperlukan; (2)
penganalisisan fakta; (3) penyusunan keputusan; (4) pelaksanaan keputusan; (5)
penilaian hasil. Kelima tahapan umum ini juga merupakan tahapan utama dalam
kegiatan perencanaan penggunaan lahan.
132 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Esensi/intisari dari suatu perencanaan penggunaan lahan adalah


merencanakan penggunaan lahan lingkungan hidup manusia mulai dari skala
besar (lingkungan pekarangan) sampai dengan skala kecil (wilayah nasional dan
dunia). Tujuannya adalah penggunaan sumberdaya lahan secara intensif dan
efisien secara berkesinambungan. Inti dasar landasannya adalah kaidah-kaidah
fisik lahan dan kaidah-kaidah perilaku (behavioural) yang menerangkan pola
kegiatan manusia beserta motivasinya (sosial-ekonomi-budaya-politik).
Dalam kaitan dengan keperluan yang lebih operasional, Sandy (1984b)
mengemukakan tiga tujuan perencanaan penggunaan lahan: (1) mencegah
penggunaan lahan yang salah tempat, atau ingin menuju ke penggunaan lahan
yang optimal; (2) mencegah adanya salah urus, sehingga lahan rusak, atau menuju
ke penggunaan lahan yang berkesinambungan; dan (3) mencegah adanya tuna
kendali atau menuju ke arah penggunaan lahan yang senantiasa diserasikan oleh
adanya kendali.
Berbagai cara dikenal dalam penggunaan lahan yang secara luas dapat
dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu (1) penggunaan lahan pedesaan
(rural landuse), dalam pengertian yang luas termasuk pertanian, kehutanan,
konservasi satwa liar, serta pengembangan dan pengelolaan tempat rekreasi dan
sejenisnya; (2) penggunaan lahan perkotaan dan industri (urban and industrial
landuse), termasuk kota, desa, kompleks perindustrian, jalan raya, dan aktivitas
pertambangan. Dalam uraian ini, penggunaan lahan lebih dititikberatkan pada
penggunaan lahan pedesaan, dan lebih dikhususkan pada penggunaan lahan untuk
keperluan pertanian. Akan tetapi, mengingat hampir semua jenis penggunaan
lahan saling berinteraksi, maka pada bagian-bagian tertentu penggunaan lahan
untuk bukan-pertanian juga turut dibicarakan.
Perencanaan penggunaan lahan yang rasional sebenarnya merupakan upaya
untuk mengetahui dan memutuskan keadaan sebidang lahan termasuk ke dalam
kategori apa dan kemungkinan pemanfaatan terbaik apa yang dapat diusahakan
pada lahan tersebut. Apabila lahan telah dinilai dan dievaluasi secara tepat, dan
kebutuhan berbagai tanaman dan ternak telah diketahui, maka dapat diputuskan
tingkat kesesuaian sebidang lahan untuk pertanaman tertentu, atau macam
penggunaan lahan yang dapat dilakukan dan tindakan-tindakan konservasi tanah
dan air yang dibutuhkan agar usaha pertanian tersebut dapat berlangsung secara
berkesinambungan tanpa mengalami kerusakan tanah yang berarti. Pada tingkat
usahatani, perencanaan penggunaan lahan akan mengemukakan kemungkinan
Bab VII Perencanaan Penggunaan Lahan | 133

yang paling sesuai dari bentuk pertanian dan pola tanam yang cocok, ditinjau
dari keadaan lahan dan keberadaan si petani itu sendiri. Sebagai langkah terakhir
adalah merencanakan sistem pertanian yang paling sesuai dengan keadaan
lahan dalam kerangka pembatas ekonomik si pemakai lahan atau petani. Hal
ini mencakup tata ruang detail/terinci seperti penentuan letak lahan pertanian,
padang rumput, jalan, penyediaan air, saluran drainase, dan sebagainya.
Ada dua pertimbangan dasar dalam perencanaan penggunaan lahan yaitu
tujuan dari rencana dan cara untuk mencapai tujuan tersebut (King, 1978).
Kedua pertimbangan dasar ini pada kenyataannya sangat beragam dan tergantung
dari berbagai faktor yang saling berhubungan di daerah tersebut seperti keadaan
faktor fisik lingkungan, politik, sosial dan ekonomi serta waktu dan biaya.
Dalam upaya untuk menyederhanakan hubungan yang kompleks yang
terlibat dalam pengembangan penggunaan lahan melalui perencanaan, suatu
model yang sifatnya menyeluruh (comprehensive model) telah diperkenalkan oleh
Vink (1975). Model ini meliputi berbagai geometri (sub-model) yaitu merupakan
sub-sistem yang berbeda dari seluruh sistem pengembangan penggunaan lahan.
Hubungan secara skematis dari lima geometri (sub-model) dalam penggunaan
lahan yang dikemukakan Vink tersebut yaitu Geometri sumberdaya lahan,
Geometri kebutuhan manusia, Geometri degradasi lahan, Geometri Sumberdaya
bukan-lahan, dan Geometri Penggunaan Lahan seperti tertera pada Gambar 10.
Geometri sumberdaya lahan meliputi seluruh komponen sumberdaya
lahan beserta hubungan-hubungannya (interrelation-ships) dan perubahan-
perubahannya yang disebabkan aktivitas manusia.
Geometri kebutuhan manusia meliputi seluruh kebutuhan manusia yang
diharapkan diperoleh dari lahan dalam sistem penggunaan lahan pedesaan.
Kebutuhan manusia dapat digolongkan dalam berbagai tingkatan menurut
prioritasnya. Wiener (1972) mengidentifikasi empat tingkat kebutuhan manusia
sebagai berikut:
Tingkat 1: Metabolisme tubuh dan fikiran dari perorangan
Tingkat 2: Habitat fisik perorangan dan keluarga terdekatnya, tempat tinggal.
Tingkat 3: Habitat komunal: merupakan pelayanan penting yang diberikan di
dalam kerangka masyarakat (community framework)
Tingkat 4: Lingkungan yang lebih luas, seperti umumnya dipertimbangkan pada
negara-negara maju.
134 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Apabila tingkat 1, 2, dan 3 dari kebutuhan manusia tersebut yang akan


dipenuhi, maka penggunaan lahan lebih merupakan aktivitas ekonomik untuk
masyarakat secara keseluruhan dengan tujuan perencanaan pengembangan
(development planning) diarahkan untuk mencapai produksi yang lebih tinggi.
Apabila tingkat 1 dan 2 yang dominan, maka penekanannya adalah pada
produksi kotor (gross production) yang lebih tinggi dari makanan dan kebutuhan
pokok lainnya seperti pakaian, perumahan, bahan bakar, dan sebagainya. Dalam
kasus yang demikian geometri degradasi lahan, tergantung dari sifat atau
keadaan sumberdaya lahan dan cara menggunakannya, hanya dipertimbangkan
apabila kelanggengan produksi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut
terancam.

Gambar 10 Hubungan antara Lima Geometri dalam Penggunaan Lahan (Vink


1975)

Geometri sumberdaya bukan-lahan meliputi sumberdaya sosial,


kelembagaan dan finansial yang tersedia yang diperlukan untuk penggunaan
lahan dan untuk pengembangannya.
Geometri penggunaan lahan ditempatkan ditengah atau di pusat tekanan
yang disebabkan keempat geometri lainnya. Posisi atau keadaan sekarang juga
merupakan hasil sebagai refleksi dari keadaan terdahulu (sebelumnya) yang
dihasilkan dari hubungan-hubungan terdahulu diantara berbagai geometri
tersebut.
Perencanaan penggunaan lahan seharusnya selalu berwawasan lingkungan
(ecological basis) yaitu berdasarkan hubungan antara manusia dan lingkungannya.
Perencanaan penggunaan lahan mencoba mengupayakan keseimbangan antara
Bab VII Perencanaan Penggunaan Lahan | 135

stabilitas lingkungan dan mobilitas bebas manusia. Keadaan ini hanya dapat
dicapai atas dasar suatu sistem evaluasi lahan yang baik, yang harus dihubungkan
(interrelated) dengan berbagai aspek perencanaan lainnya.
Menurut Dent (1978) secara umum urutan dari proses perencanaan
penggunaan lahan terdiri dari 10 tahapan, meskipun pada kenyataannya terdapat
beberapa tumpang tindih diantara banyak tahapan tersebut: (1) pengenalan
(recognition) kebutuhan untuk perubahan; (2) identifikasi tujuan; (3) formulasi
usulan (proposal), meliputi berbagai pilihan bentuk penggunaan lahan dan
pengenalan kebutuhan utamanya; (4) pengenalan dan deliniasi berbagai tipe
lahan yang terdapat di daerah tersebut; (5) evaluasi dan pembandingan dari
masing-masing tipe lahan terhadap penggunaan yang berbeda tersebut; (6)
pemilihan (selection) penggunaan yang lebih disukai untuk masing-masing
tipe lahan; (7) rancangan proyek atau analisis terinci lainnya dari seperangkat
alternatif pilihan untuk masing-masing bagian-bagian yang berbeda dari areal
(dalam kasus tertentu, kegiatan ini dapat merupakan studi kelayakan atau
feasibility study); (8) keputusan untuk pelaksanaan; (9) pelaksanaan; dan (10)
pemantauan pelaksanaan. Survei tanah dan evaluasi lahan sebagai bagian dari
proses perencanaan penggunaan lahan berperanan sebagai bagian utama dalam
tahapan kegiatan 3, 4, dan 5.
Perencanaan penggunaan lahan didahului dengan pengenalan kebutuhan
untuk mengadakan perubahan penggunaan dari keadaan penggunaan lahan
sekarang, seperti pembangunan atau intensifikasi penggunaan-penggunaan
produktif misalnya rencana pembangunan pertanian, pembangunan irigasi,
perkebunan dan sebagainya. Kebutuhan untuk perubahan ini sebagian besar
ditentukan oleh geometri kebutuhan manusia.
Kegiatan pengenalan kebutuhan untuk perubahan, selanjutnya diikuti dengan
identifikasi tujuan dan formulasi usulan-usulan umum dan khusus. Identifikasi
tujuan meliputi pertimbangan hubungan-hubungan (interrelationship) antara
kelima geometri pengembangan lahan seperti yang dikemukakan pada Gambar
10 terdahulu.
Proses evaluasi itu sendiri meliputi uraian/deskripsi tentang kisaran
berbagai jenis penggunaan lahan yang memberikan harapan (promising) yang
mungkin telah ada di daerah penelitian, atau merupakan penggunaan baru yang
dipertimbangkan mempunyai potensi untuk diintroduksikan sesuai dengan
kondisi fisik dan sosial ekonomi daerah yang bersangkutan. Berbagai jenis
136 | Perencanaan Penggunaan Lahan

penggunaan ini kemudian dinilai dan dibandingkan dengan masing-masing tipe


lahan yang telah diidentifikasikan di daerah tersebut. Hasil ini digunakan untuk
menyusun rekomendasi alternatif penggunaan yang dapat digunakan dalam
pengambilan keputusan tentang macam penggunaan lahan yang lebih disukai
(prefered) untuk masing-masing bagian areal tersebut. Tahapan berikutnya pada
umumnya meliputi analisis yang lebih terinci dari penggunaan yang dipilih,
diikuti dengan implementasi dari proyek pembangunan atau bentuk perubahan
lainnya, dan pemantauan dari sistem-sistem yang dihasilkan.
Identifikasi tujuan dan formulasi usulan umum dan khusus merupakan
keputusan strategis yang disusun dari proses diatas tetapi dirangsang (stimulated)
oleh geometri kebutuhan manusia. Keputusan untuk meneruskan dengan tujuan
khusus atau usulan tetap sebagai keputusan dari proses diatas, harus dibuat sebagai
hasil diskusi yang terkoordinasi antara perencana dan mereka-mereka yang akan
terkena akibat dari tujuan khusus atau usulan tersebut.
Dalam program pembangunan pertanian masih sering terjadi pelaksanaan
yang dilakukan dengan pendekatan yang tidak terencana, yang secara tergesa-
gesa dimulai tanpa didahului dengan kegiatan survei, tanpa percobaan (plot
trials), dan tanpa pengumpulan data, atau tanpa pendekatan yang terencana dari
penggunaan lahan.
Seperti telah diuraikan terdahulu, dalam pendekatan yang terencana, tahapan
pertama dalam mengumpulkan keterangan tentang lahan adalah melaksanakan
survei tanah atau lahan dan mengukur ciri-ciri (properties) tanah atau lahan.
Data ini kemudian diolah dan dianalisis kedalam kelas tanah dan kelas/lahan
kemampuan atau kesesuaian lahan. Setelah itu, berbagai alternatif penggunaan
lahan akan dinilai dalam membuat keputusan-keputusan penggunaan lahan.
Selanjutnya menyusun rencana (plan), dan akhirnya menilai hasil untuk melihat
apakah tujuan yang telah digariskan pada kenyataannya dapat dicapai atau tidak.
Dalam hal ini perlu diingat bahwa melaksanakan rencana tidaklah otomatis
berarti tujuan dapat dicapai. Tahapan akhir berupa evaluasi atau penilaian
merupakan tahapan penting, karena pada tahapan inilah dapat diketahui apakah
ada faktor-faktor yang tidak diketahui atau tidak diperhitungkan sebelumnya
yang menghambat dalam pelaksanaan rencana tersebut.
Survei tanah dan evaluasi lahan merupakan kegiatan yang sangat penting
dalam perencanaan penggunaan lahan karena kegiatan ini dapat menjamin
terlaksananya pengumpulan data tanah atau lahan secara sistematik dan logik, serta
Bab VII Perencanaan Penggunaan Lahan | 137

dapat menuangkan hasilnya dalam bentuk yang mudah dimengerti dan berguna
bagi perencana. Akan tetapi perlu diingatkan bahwa hal yang dikemukakan
ini belumlah mencakup seluruh aspek yang berhubungan dengan penggunaan
lahan, karena masih ada faktor-faktor lain seperti faktor sosial, ekonomi, dan
politik yang juga harus diteliti dan dipertimbangkan. Perencanaan penggunaan
lahan itu sendiri merupakan suatu upaya yang sifatnya menyeluruh, mempunyai
kelenturan (flexible), merupakan proses yang berkesinambungan, terbuka untuk
adanya perubahan dan tidak terikat secara ketat terhadap rencana yang telah
ditetapkan (fixed plan) (Willatts 1951). Oleh karena itu tantangan yang cukup
besar akan selalu dihadapkan pada perencana dalam mempersiapkan perencanaan
pada masa mendatang.
Berbagai pertimbangan dalam perencanaan penggunaan lahan umumnya
berbeda-beda menurut keadaan suatu daerah atau Wilayah/ Negara dan tujuan
perencanaan itu sendiri. Di Inggris misalnya, dikenal empat prinsip pokok dalam
perencanaan penggunaan lahan (Willats 1951) :
Pertama, menghindari pengrusakan lahan-lahan pertanian yang baik.
Pemerintah memutuskan agar lahan-lahan yang baik tidak digunakan untuk
kegiatan bukan-pertanian, apabila masih tersedia lahan-lahan yang kurang baik.
Oleh karena itu, salah satu tujuan dari perencanaan penggunaan lahan adalah
untuk menjamin agar lahan-lahan pertanian sejauh mungkin dapat dipelihara dan
dilindungi. Hal ini bermula dari banyaknya areal lahan pertanian yang baik yang
dialihgunakan untuk keperluan bukan-pertanian, misalnya dialihgunakan untuk
keperluan bukan-pertanian seperti pembangunan lapangan terbang internasional
di Heathrow, London.
Kedua, pembangunan fisik kota (town) harus cukup dikontrol. Dalam hal
ini perencana dibutuhkan untuk mempersiapkan garis besar rencana untuk dapat
memenuhi kebutuhan dari daerahnya untuk tidak lebih jauh dari masa mendatang
yang dapat diketahui lebih dahulu (foreseeable future). Dengan suatu tingkat
kerapatan penduduk baku tertentu, dapat dengan jelas diketahui bahwa kunci
terhadap kebutuhan lahan perkotaan tergantung dari jumlah penduduk masa
mendatang. Dalam memilih areal untuk tujuan pengembangan, perencana dapat
dibantu dengan konsep pagar kota (urban fence) yang dikeluarkan oleh Bagian
Perencanaan Departemen Pertanian. Pagar (fence) merupakan areal di sekitar kota
termasuk areal-areal lahan yang belum diusahakan atau sangat sedikit digunakan
untuk kegiatan pertanian dan oleh Departemen Pertanian telah dinyatakan tidak
138 | Perencanaan Penggunaan Lahan

diminati untuk pertanian kecuali sebagai kebun. Prinsip dasar yang berhubungan
dengan perencanaan adalah bukan hanya mengusahakan agar kehilangan lahan
pertanian sesedikit mungkin, tetapi juga kebutuhan untuk menghindari tercerai-
berainya satuan-satuan lahan usaha tani akibat adanya pembangunan, misalnya
jalan tol.
Ketiga, ukuran permukiman (sizes of settlements) harus mempertimbangkan
berbagai faktor, termasuk kebutuhan untuk menghindari menyatunya inti kota
(urban nuclei) dan untuk memelihara/melindungi sabuk keliling (peripheral belts)
daerah-daerah pertanian terbuka. Hal ini seharusnya memberikan sumbangan
terhadap terpeliharanya kontak atau hubungan antara kota dan pedusunan /
pedesaan serta membantu menghindari jarak perjalanan harian penduduk
yang terlalu jauh ke- dan dari tempat pekerjaan. Dalam menentukan ukuran
permukiman, diinginkan agar disatu pihak dihindari ukuran yang terlalu besar
yang cenderung akan mengurangi rasa kesatuan dan kesadaran bermasyarakat
penduduk dan dipihak lain untuk menjamin persyaratan keseimbangan yang
baik antara pekerjaan dan pelayanan (service).
Keempat, adanya kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi untuk
suatu pedusunan (country town) terdiri dari pusat-pusat perdagangan, sosial,
budaya dan fasilitas pendidikan yang cukup. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan dalam konsep pengembangan wilayah pedesaan menggunakan
konsep Agropolitan (Friedmann dan Douglass 1978).

7.3 Perencanaan Penggunaan Lahan dan Pembangunan


Ada dua pendekatan untuk perencanaan penggunaan lahan yang diketahui.
Pendekatan yang pertama dan secara luas diterapkan adalah pendekatan
konvensional. Hal ini juga disebut sebagai cetak biru atau pendekatan institusional.
Proses perencanaan mengejar prosedur sistematìs klasik, survei teknis atas dasar
rencana yang dirancang secara terpusat oleh lembaga-lembaga pemerintah dan
dikerjakan secara rinci oleh staf professional untuk memenuhi tujuan yang
diputuskan terpusat. Pendekatan yang dilakukan cenderung kaku, top down
dan pendekatan yang dilakukan oleh pakar. Orang-orang sebagai pengguna dan
pengelola lahan tidak pernah dilibatkan dalam konsultasi dan menyampaikan
pendapat mereka. Mereka hanya dijadikan responden dalam survei sosial ekonomi
singkat melalui pengisian kuesioner dan tidak memainkan peran besar dalam
proses perencanaan penggunaan lahan. Kurangnya konsultasi telah menyebabkan
Bab VII Perencanaan Penggunaan Lahan | 139

pengucilan masyarakat lokal dan pengetahuan mereka tentang perencanaan yang


akan dilakukan. Hal ini menyebabkan perencanaan yang dihasilkan tidak sesuai
dengan kondisi masyarakat lokal sehingga rencana yang dibuat sering tidak dapat
dilaksanakan.
Pengakuan kelemahan dan pendekatan top-down konvensional telah
menyebabkan pengembangan pendekatan kedua yaitu perencanaan penggunaan
lahan partisipatif sebagai pendekatan alternatif. Perencanaan penggunaan lahan
partisipatif adalah berpusat pada orang, pendekatan bottom-up yang melibatkan
stakeholders dan mengakui perbedaan yang ada dari satu tempat ke tempat lain
sehubungan dengan kondisi sosial budaya, ekonomi, teknologi dan kondisi
lingkungan.

7.3.1 Tipe Perencanaan Penggunaan Lahan


Perencanan penggunaan lahan bersifat fleksibel dan adaptif dalam arti bahwa
metode yang digunakan dapat dimodifikasi agar sesuai dengan keadaan tertentu.
Hal ini berarti bahwa tidak ada pendekatan blueprint yang mendefinisikan langkah-
Iangkah, prosedur dan alat-alat yang diterapkan. Perencanaan penggunaan lahan
perlu dirancang sesuai dengan kebutuhan, tuntutan, kapasitas serta aturan dan
struktur kelembagaan setempat dan mengikuti prinsip-prinsip seperti yang
dikemukakan terdahulu. Perencanaan penggunaan lahan harus bisa mengambil
bentuk yang berbeda. Hal ini misalnya dengan menghasilkan rencana penggunaan
lahan yang sangat rinci, dalam perjanjian lokal tentang hak penggunaan lahan
(konvensi lokal) atau sketsa sederhana yang mendokumentasikan beberapa
fiturspasial dan rencana pembangunan daerah. Ada situasi di mana setìdaknya
dimasukkan beberapa aspek spasial ke dalam pendekatan perencanaan
pembangunan yang merupakan langkah besar ke depan. Bentuk-bentuk utama
dari perencanaan penggunaan lahan diuraikan berikut ini.

lntegrasi Partisipatif Perencanaan Penggunaan Lahan


Integrasi partisipatif perencanaan penggunaan lahan secara umum bertujuan
untuk memperkenalkan atau meningkatkan pendekatan perencanaan tata ruang
lengkap pada tingkat lokal. Bekerjasama dengan lembaga yang ada, seluruh
pendekatan darí persiapan, perencanaan dan evaluasi dirancang, diuji, terlembaga
dan dilakukan secara partisipatif
140 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Pengintegrasian Penataan Ruang dalam Perencanaan Pembangunan


yang ada
Ada situasi di mana lembaga-lembaga lokal tidak memiliki kapasitas untuk
memperkenalkan perencanaan penggunaan lahan yang kompleks. Dalam hal
ini, alternatif adalah hanya mencakup beberapa aspek spasial ke dalam kegiatan
perencanaan pembangunan. Jika selama ini perwakilan lokal hanya menyiapkan
daftar kebutuhan bagi pemerintah dan lembaga donor (kalau ada), pada saat
ini mereka bisa memetakan sesuai dengan keinginan mereka benar-benar ingin
perkembangan seperti ini (terutama infrastruktur). Jika hal ini dilakukan secara
partisipatif dan melibatkan diskusi pada infrastruktur yang sudah ada, dan
yang akan dibangun, hal ini merupakan peningkatan yang signifikan dalam
proses perencanaan. Sebagai contoh adalah perencanaan tata ruang dengan
mempertimbangkan tempat-tempat penting baru-baru ini diperkenalkan dalam
perencanaan pembangunan komunal di Merauke, Papua (Wattimena 2013)

Integrasi Perencanaan Tata Ruang dalam Perencanaan Pembangunan


di Mali.
The Programme d’Appui aux collectivités Territoriales (PACT) di Mali
mendukung proses desentralisasi terhadap perubahan fungsi kualifikasi kota
dan perdesaan oleh perwakilan lembaga lokal dan masyarakat sipil. Program
ini membantu kota yang dipilih untuk rnembuat sebuah sistem perencanaan
pembangunan sosio-ekonorni lokal yang transparan dan partisipatíf sesuai
dengan persyaratan nasional. Sejauh ini, aspek spasial telah ditinggalkan dalam
perencanaan pembangunan di Mali. Baru-baru ini, PACT mulai memperkenalkan
dimensi spasial dalam perencanaan pembangunan sosio-ekonomi lokal. Beberapa
peta tematik kota disusun menunjukkan lokasi infrastruktur teknis dan sosial di
kota. Berdasarkan peta ini, satu peta kota sangat sederhana disiapkan menunjukkan
semua desa disimbolkan dengan salib sederhana dan disertai dengan simbol-
simbol yang mewakili infrastruktur yang ada dalam kota berdasarkan citra satelit
yang tersedia dalam bentuk digital. Dalam kasus lain perencanaan disiapkan
dengan tangan berikut sketsa peta. Peta ini sekarang digunakan dalam proses
perencanaan selama diskusi tentang investasi yang diperlukan. Peta memfasilitasi
diskusi dan membuatnya lebih mudah bagi para pengambil keputusan untuk
mengidentifikasi apa yang dibutuhkan dan di mana diperlukan. Investasi
yang diperlukan dapat lebih diprioritaskan. Peta ini sangat bermanfaat untuk
masyarakat, dan dapat meningkatkan transparansi distribusi infrastruktur yang
Bab VII Perencanaan Penggunaan Lahan | 141

direncanakan antar desa dan merupakan dasar untuk pernbangunan yang lebih
seimbang untuk menghindari semua investasi dìtargetkan hanya untuk desa
utama saja.

Perjanjian Lokal
Perjanjian atau kesepakatan lokal (atau konvensi lokal) pemanfaatan dan
perlindungan sumberdaya alam yang mengatur penggunaan dan akses adalah
alat penting bagi manajemen desentralisasi sumberdaya alam. Perjanjian lokal
ini telah dipromosikan di Afrika Barat sejak tahun 1990-an. Perjanjian lokal ini
mencakup semua jenis peraturan formal atau informal antara semua pengguna
sumberdaya, yang dapat dìterapkan pada tingkat antar-desa atau komunal serta unit
pengelolaan tata ruang yang yang lebih luas. Tanggung jawab untuk penggunaan
sumberdaya milik bersama ditugaskan pada kelompok, dan pemerintah tidak lagi
mempengaruhinya secara langsung. Selain itu, perjanjian ini juga memungkinkan
kelompok untuk melaksanakan fungsi mereka, terutama mengenai hal-hal teknis
dan penegakan klaim hukum seperti sanksi atau pelanggaran terkait perjanjian.
Perjanjian lokal memilìki keuntungan sebagai berikut: 1. Dalam hal
perubahan organisasi dan politik: melalui desentralisasi pengelolaan sumber daya;
2. Dalam hal dampak ekonomi: melalui diversifikasi pendapatan dan munculnya
sektor baru yang terkait dengan eksploitasi sumberdaya alam yang berkelanjutan;
3. Dalam hal kohesi sosial: melalui pengembangan solusi konsensus; 4. Dalam
hal konservasi: melaluì konsiliasi atau kesepakatan antara eksploitasi dan
konservasi sumberdaya alam; 5.Keberhasilan dan kelangsungan hidup perjanjian
lokal didasarkan pada legitimasi internal mereka, tingkat partisipasi, pemerataan
solusi, legalitas peraturan, tingkat institusionalisasi, keberlanjutan ekologis dan
keuntungan ekonomi bagi penduduk lokal/setempat. Sebagai contoh adalah:
Perjanjian lokal di Mauritania. Tujuan: Kumpulan organisasi di daerah
Guidimakha dan Hodh El Gharbi yang mengimplementasikan perjanjian lokal
untuk pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan.
Pendekatan/Metodologi: Setelah proses konsultasi dengan semua pengguna
yang mengarah ke pembentukan perjanjian lokal (pengembangan aturan
manajemen kunci yang terkait dengan pengawasan dan pengumpulan fee), yang
disebut asosiasi pengguna hak secara resmi dengan manajemen mandat). Transfer
ini difasilitasi oleh Departemen kehutanan nasional dan undang-undang tentang
pengembalaan.
142 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Hasil dan dampaknya adalah: Pemerintah Mauritania telah mengalihkan


pengelolaan sumberdaya alam untuk 24 kelompok, yang diberi wewenang
untuk mengelola 6.315 km2 di daerah Guidimakha dan 4.201 km2 di daerah
Hodh El Gharbi. Sebagian besar dari mereka menutupi biaya pengawasan dan
penerimaan mereka (retribusi dan denda) dari tiga hasil hutan non-kayu penting
bagi perempuan dikembangkan menggunakan pengaturan khusus (arabic gum,
barnacles, baobab).Indeks tutupan vegetasi telah berkembang positif di zona yang
dikelola.
7.3.2.Perencanaan Penggunaan Lahan Dalam Kerjasama
Pembangunan
Dalam konteks kerjasama pembangunan, perencanaan penggunaan lahan
biasanya terhubung dengan prinsip-prinsip kerjasama pembangunan. Hal ini
dapat digambarkan melalui prinsip-prinsip yang tercantum dalam perjanjian
kerjasama.
Kepemilikan dalam konteks perencanaan penggunaan lahan mengacu pada
fakta bahwa kecuali dari tingkat pertanian individu, perencanaan teritorial selalu
merupakan tugas negara yang berdaulat . Hal ini harus mengikuti aturan dan
peraturan negara pada tingkat administratif yang berbeda. Selain itu hal yang
juga penting adalah melibatkan para pemangku kepentingan wilayah (penduduk
pedesaan,perusahaan swasta, LSM dll). Perencanaan penggunaan lahan bukan
hanya tugas para ahli atas nama pemerintah tetapi merupakan hasil dari negosiasi
antara berbagai pemangku kepentingan yang berbeda.
Keselarasan dalam konteks perencanaan penggunaan lahan menandakan
bahwa lembaga donor (penyandang dana) tidak akan menghasilkan rencana
penggunaan lahan untuk mereka sendiri, tetapi harus selalu selaras atau sejalan
dengan sistem perencanaan nasional.
Harmonisasi dalam konteks perencanaan penggunaan lahan berlaku
untuk fakta bahwa penggunaan lahan yang berbeda dan rencana yang didanai
oleh lembaga donor yang berbeda harus diselaraskan secara harmonis dalam
perencanaan penggunaan lahan.
Mengelola hasil dalam konteks perencanaan penggunaan lahan menandakan
bahwa rencana harus selalu berorientasi pada implementasi. Hal ini berarti
tidak ada gunanya menghasilkan dokumen perencanaan yang tidak akan
diterapkan setelah itu. Mengelola hasil juga berarti mempertimbangkan manfaat
jangka pendek dan jangka panjang perencanaan penggunaan lahan. Akhirnya,
Bab VII Perencanaan Penggunaan Lahan | 143

manajemen berbasis hasil menyiratkan partisipasi pengambilan keputusan oleh


semua pemangku kepentingan yang relevan dan pemantauan bersama dari hasil
rencana penggunaan lahan.
Akuntabilitas bersama dalam konteks perencanaan penggunaan lahan
akhirnya mengacu pada prediktabilitas dan transparansi kontribusi yang berbeda
untuk proses perencanaan dan pelaksanaan. Rencana harus dipublikasi, dibahas
dan dievaluasi di depan umum.
Selain lima prinsip agenda efektivitas bantuan, pengembangan kapasitas
perlu ditekankan dalam konteks ini karena merupakan masalah kerja sama
pembangunan. Perencanaan penggunaan lahan yang sukses tergantung pada
kapasitas di dalam negeri. Mengembangkan kapasitas ini adalah tugas inti dari
kerja sama pembangunan.
Dalam konteks kerjasama pembangunan, harus dimulai dari premis bahwa
mereka yang menerapkan perencanaan penggunaan lahan memiliki konsep
pembangunan dengan kendala dan tantangan yang berbeda. Umumnya, aspek
ini tidak dibahas dalam pekerjaan perencanaan penggunaan lahan. Meskipun
demikian harus ada pemahaman umum dari tujuan yang seharusnya dicapai
melalui perencanaan penggunaan lahan. Hal ini berguna untuk mengamati
bagaimana nilai-nilai yang sangat berbeda antar stakeholder dengan tujuan, serta
ide-ide dari sistem politik, sosial dan ekonomi dimana diharapkan tujuan tersebut
akan tercapai.
Sebagai instrumen, perencanaan penggunaan lahan itu sendiri tidak
terikat dengan nilai-nilai yang ditentukan. Dengan demikian, untuk mencapai
penggunaan lahan yang berkelanjutan, perencanaan harus didasarkan pada
nilai-nilai seperti keadilan, keberlanjutan dalam ekologi, ekonomi, sosial dan
politik dan perlindungan sumberdaya milik bersama (sumber daya alam, budaya
tradisional, dan lain-lain). Perencanaan penggunaan lahan dapat berkontribusi
terhadap keadilan melalui peningkatan praktek-praktek penggunaan lahan
berkelanjutan dari para petani miskin, terpinggirkan dan terabaikan. Hal ini juga
dapat berkontribusi melalui rekonsiliasi tujuan penggunaan lahan eksploitatif dan
protektif. Hal ini dapat berkontribusi perlindungan tertentu melalui penetapan
wilayah untuk konservasi alam atau hak atas lahan adat, dan lain-lain. Mengejar
nilai yang berbeda tidak selalu bebas dari konflik. Hal ini juga dapat membantu
menciptakan keadilan sosial untuk menyelesaikan permasalahan keluarga miskin
di sebuah lahan hutan yang belum dijelajahi, tetapi mungkin tidak berkelanjutan
dan menyebabkan konflik dengan penduduk pribumi.
144 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Perencanaan penggunaan lahan hanya merupakan sebuah alat. Alat ini


digunakan oleh berbagai pihak untuk pengembangan penggunaan lahan.
Perencanaan penggunaan lahan dapat membantu dalam berbagai hal dengan:
a) Menempatkan fokus pada hubungan spasial dan perbedaan karakteristik
lahan; b) Mengacu pada interaksi antara lingkungan alam dan tindakan budaya
manusia dalam dimensi ekonomi, sosial dan politik, konsekuensi dari tindakan
manusia dan hak-hak pemangku kepentingan yang berbeda untuk melaksanakan
berbagai bentuk penggunaan; c) memulai dari konsep tindakan sistematis dan
terkoordinasi.
Contoh berikut ini adalah pada perencanaan penggunaan lahan di
Tiongkok, yang menggaris bawahi pentingnya penerapan prinsip-prinsip yang
disebutkan di atas terkait efektivitas bantuan untuk perencanaan penggunaan
lahan: kepemilikan, keselarasan, harmonisasi, pengelolaan hasil dan tanggung
jawab bersama. Hal ini juga menyoroti pentingnya menghargai perbedaan yang
dikaitkan dengan nilai-nilai tertentu yang mengakibatkan sikap yang berbeda
terhadap prinsip-prinsip kunci seperti partisipasi dan transparansi.

7.3.3 Perencanaan Penggunaan Lahan Dalam Perjalanan


Waktu
Secara umum, sejarah perencanaan penggunaan lahan di negara berkembang
mengikuti proses tiga tahapan (Gambar 11), Rentang waktu di mana masing-
masing tahap mendominasi berbeda dari satu negara ke negara lain. Tahapan
tahapan ini tidak dipisahkan secara tegas. Umumnya, perencanaan penggunaan
lahan jenis tahap pertama berdampingan dengan perencanaan penggunaan lahan
dari jenis tahap kedua, dan seterusnya. Beberapa negara juga ada yang melewatkan
tahap tertentu. Pemisahan sejarah perencanaan penggunaan lahan menjadi
beberapa tahapan tidak mencerminkan proses universal yang dapat ditemukan
dengan cara yang sama di setiap negara atau tempat.

Gambar 11 Perencanaan penggunaan lahan dalam perjalanan waktu


Bab VII Perencanaan Penggunaan Lahan | 145

Tahap Pertama : Perencanaan Penggunaan Lahan Top-down oleh Para Ahli


Perencanaan.
Tahap pertama perencanaan penggunaan lahan ini merupakan pendekatan
top down perencanaan oleh para ahli. Pendekatan ini sangat ilmiah. Beberapa
langkah perencanaan diidentifikasi yang perlu dilakukan satu demi satu. Produk
akhir adalah dokumen tertulis beberapa ratus halaman, disertai dengan peta
yang sangat rinci. Elaborasi rencana penggunaan lahan tersebut umumnya
membutuhkan waktu beberapa tahun. Sebagian besar waktu digunakan untuk
penyelidikan dan validasi data. Sementara itu, rekomendasi untuk tindakan sering
tetap sangat umum dan kurang rinci. Dalam banyak kasus, rencana operasional
tidak termasuk atau tidak ada atau sangat sedikit perdebatan dan koordinasi
dengan pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya. Rencana Kementerian
sektor umumnya tidak dianggap dan tidak ada pertukaran atau perencanaan
bersama masyarakat dalam bentuk lokakarya. Demikian juga, ada kemungkinan
tidak ada hubungannya dengan perencanaan keuangan. Sebagian dari rencana ini
segera hilang atau tertumpuk di rak buku. Penggunaan praktis baru dikemudian
hari terutama yang memungkinkan analisis time-line perubahan penggunaan
lahan di daerah tertentu, karena peta menunjukkan bagaimana lahan digunakan
20 atau 30 tahun yang lalu.
Tahap Kedua: Perencanaan Penggunaan Lahan Partisipatif.
Pada awalnya, perencanaan penggunaan lahan partisipatif sering terbatas
pada latìhan khusus di desa-desa dan masyarakat yang dipilìh. Hal ini umumnya
dihubungkan dengan pengujian jangka pendek dan validasi praktik penggunaan
lahan yang inovatif. Berhubung kurang koordinasi antar pemangku kepentingan
dan kurang partìsipasi penduduk lokal dalam tahap sebelumnya, penekanan
sekarang memakai koordinasi antara pemangku kepentingan dan pengenalan
serta pengembangan lebih lanjut dari alat partisipatif, berupa Participatory Rural
Appraisal (PRA). Integrasi pemerintah daerah, penduduk lokal, kementerian, LSM
dan lain-lain menjadi praktek yang umum dilakukan. Secara lokal, hasil praktis
dapat dicapai dengan sangat baik, tetapi ada batasan untuk implementasinya dan
rencana penggunaan lahan lokal jarang diintegrasikan ke dalam perencanaan
penggunaan lahan pada tingkat yang lebih tinggi. Keadaan ini membaik setelah
pengenalan alat penginderaan jauh yang modern dan Sistem Informasi Geografis
(GIS).
146 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Tahap Ketiga: Perencanaan Penggunaan Lahan dimasukkan ke Dalam


Mekanisme Manajemen yang Ada.
Apabila proses partisipatif yang dilakukan, maka hal ini dilakukan dari awal
dengan pengulangan yang jelas dan perluasan strategi. Rencana penggunaan lahan
dibuat pada tingkat yang lebih tinggi termasuk pengalaman setempat (lokal) dan
koordinasi antar stakeholder serta debat publik. Koneksi mekanisme pendanaan
telah ditetapkan, termasuk pembayaran jasa lingkungan dan penggabungan
petani kecil dalam rantai nilai. Semakin banyak perencanaan penggunaan lahan
diintegrasikan ke dalam struktur manajemen yang ada, penggunaan lahan yang
lebih baik umumnya diatur oleh undang-undang. Di tahap akhir (fase ke-4),
sebagian besar rencana penggunaan lahan diatur oleh Undang Undang yang
membatasi intervensi perencanaan ruang. Kasus ini banyak terjadi di negara maju.
Tahap ketiga mungkin masih menjadi ideal, tetapi pemgembangan perencanaan
penggunaan lahan jelas menuju ke arah ini dan menjadi lebih dekat di beberapa
negara. Sebagai ilustrasi dikemukakan perubahan dalam tahapan perencanaan
penggunaan lahan Brazil seperti pada Tabel 12.

Tabel 12 Perubahan dalam tahapan perencanaan penggunaan lahan di Brazil


Bab VII Perencanaan Penggunaan Lahan | 147

7.4 Survei Tanah untuk Keperluan Perencanaan


Dalam memulai studi perencanaan, ahli bidang tanah dan lahan sedapat
mungkin memimpin dalam persiapan inventarisasi secara umum sumberdaya
lahan suatu wilayah. Pekerjaan inventarisasi tersebut didasarkan atas informasi-
informasi yang telah ada, bertujuan mengidentifikasikan areal-areal lahan yang
mempunyai potensi untuk dikembangkan dan menunjukkan prospek dari
pembangunan tersebut.
Pekerjaan inventarisasi dimulai dengan pengumpulan peta-peta topografi
dan citra penginderaan jauh (foto udara atau citra satelit). Kemudian, peta
penggunaan lahan sekarang diinterpretasi dan digambarkan bersama-sama dengan
ahli dari disiplin ilmu lainnya misalnya ahli Penginderaan Jauh (Remote Sensing).
Umumnya ahli tanah dan lahan akan bertindak sebagai penanggung jawab
utama dari aktivitas ini. Selain itu, ahli tanah dan lahan juga membuat berbagai
analisis tentang kondisi lahan untuk dapat menentukan arah pengembangan
lahan selanjutnya, menunjukkan faktor atau keadaan yang dapat menghambat
pembangunan dan upaya yang diperlukan untuk dapat mengeliminasi atau
mengurangi penghambat-penghambat tersebut. Salah satu ciri tanah yang penting
dalam hal ini adalah aspek mineralogi, terutama mineralogi liat karena ciri ini
akan dapat memberikan keterangan tentang potensi kesuburan alami tanah
serta berbagai sifat kimia tanah lainnya yang erat kaitannya bagi penggunaan
pertanian.
Atas dasar hasil inventarisasi tersebut, wilayah dibagi dalam satuan areal
lahan yang dapat dipertimbangkan seragam atau homogen dalam perencanaan.
Ahli bidang lahan dan tanah mempunyai tanggung jawab utama dalam proses
pembagian (disagregation) ini berdasarkan satuan tanah atau satuan lahan.
Berbagai kesimpulannya kemudian disintesiskan kedalam bentuk peta kesesuaian
lahan untuk tipe penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan. Dalam hal
ini perlu diadakan pembedaan antara klasifikasi kesesuaian untuk keadaan
sekarang dan untuk kondisi yang telah disempurnakan (improved conditions) atau
kesesuaian lahan potensial.
Hasil-hasil dari evaluasi sumberdaya lahan disajikan dalam bentuk laporan
dan tabel yang menunjukkan luasan dari masing-masing kelas atau sub-kelas
kesesuaian lahan. Disamping itu, juga sering diperlukan pengevaluasian tentang
dampak perubahan penggunaan lahan yang diusulkan pada lingkungan fisik di
sekitarnya.
148 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Peta-peta tanah dan interpretasinya yang terdapat dalam laporan survei


sangat berperan dalam proses perencanaan pendahuluan dan perencanaan
wilayah secara luas (Casson et al. 1973). Hasil survei tanah memberikan sejumlah
besar data yang sangat bernilai dalam perencanaan penggunaan lahan, karena
hasil survei ini memberikan data yang diperlukan untuk menentukan potensi
tanah bagi semua penggunaan. Hal ini merupakan prasyarat untuk perencanaan
penggunaan lahan (McCormack dan Bartelli 1977). Prosedur untuk menganalisis
data tanah bagi perencanaan penggunaan lahan wilayah telah dikemukakan
antara lain oleh Dumanski, et al. (1979). Di samping itu hasil survei tanah dan
klasifikasi kemampuan lahan atau kesesuaian lahan membantu perencana dalam
berbagai hal berikut: (1) dalam penilaian biaya relatif pengembangan lokasi-
lokasi pilihan; (2) dalam perencana penggunaan lahan dan struktur kota, dengan
memberikan bagian dari kerangka kerja menurut keadaan sebenarnya (faktual)
yang mana dapat menambah unsur stabilitas ekonomik pada pola penggunaan
lahan yang direncanakan; (3) dalam rehabilitasi lahan dengan membantu dalam
pemilihan lokasi dan mengusulkan metode reklamasi atau restorasi tanah; (4)
dalam perencanaan konservasi dan rekreasi, dengan memberikan keterangan
tentang sumberdaya lahan dan kapasitasnya untuk berbagai penggunaan;
(5) dalam penyediaan air dan drainase dengan mengantisipasi permasalahan
perkolasi, aliran permukaan dan pencemaran; dan (6) dalam pekerjaan-pekerjaan
pembangunan seperti pembangunan jalan dengan memberikan keterangan-
keterangan tentang stabilitas tanah, kemungkinan penurunan permukaan tanah,
dan sebagainya (Casson et al. 1973). Hal ini kurang lebih sejalan dengan pendapat
Dumanski, et al. (1979) yang mengatakan bahwa secara umum peranan data
fisik lahan dalam proses perencanaan adalah untuk mencatat faktor-faktor yang
sesuai bagi berbagai penggunaan yang mungkin dilakukan dan menginterpretasi
pengaruh dari penggunaan lahan tersebut terhadap lingkungan pada suatu areal
lahan tertentu.
Sejauh mana informasi survei tanah dan interpretasi peta tanah sangat
bermanfaat dalam perencanaan dapat dilihat dari contoh yang dikemukakan
oleh Doyle (1966) dan Wohletz (1968). Mereka memberikan ilustrasi berbagai
cara dimana peta tanah dan interpretasinya dapat digunakan untuk keperluan
perencanaan wilayah. Berikut ini akan dikemukakan contoh penggunaan peta
tanah dan interpretasinya dalam perencanaan penggunaan lahan di Florida Pusat
Bagian Timur (Doyle 1966):
Bab VII Perencanaan Penggunaan Lahan | 149

1. Memprediksi daerah perkembangan kota.


Menentukan arah dan luas perkembangan kota pada umumnya merupakan satu
masalah yang cukup membingungkan yang dihadapi perencana penggunaan
lahan, terutama apabila daerah yang direncanakan merupakan masyarakat
yang pertumbuhannya cepat yang tidak mempunyai batas fisik alami seperti
deretan pegunungan atau sungai yang luas. Apabila pola penggunaan lahan
yang ada sekarang ditumpangtindihkan dengan peta kesesuaian lahan,
maka akan mudah kelihatan hubungan antara pengembangan penggunaan
lahan yang ada dengan kesesuaian lahannya, sehingga dapat lebih mudah
mengarahkan perencanaan perkembangan kota berikutnya (Mc Cormack
dan Bartelli 1977). Dengan demikian perkembangan fisik kota yang pesat
pada pinggiran kota secara tidak terkendali seperti yang terjadi di pinggiran
kota metropolitan Jabodetabek dapat dihindari (Hidayat et al. 2013)
2. Mencadangkan daerah terbuka (open areas).
Hal ini perlu dilakukan dalam perencanaan pendahuluan yaitu untuk
mencadangkan daerah terbuka (open space) yang sesuai untuk generasi
berikutnya. Dalam hal ini peta tanah sangat membantu dalam menentukan
daerah-daerah terbuka serta dalam penetapan batas-batasnya. Di Indonesia,
luas ruang terbuka hijau (RTH) di sebagian besar kota sangat kurang
untuk memenuhi kebutuhan RTH sebesar 30 persen dari luas wilayahnya.
Pengadaannya menjadi sangat sulit dan mahal apabila RTH tidak
dicadangkan sebelumnya seperti yang terjadi dibeberapa kota di Indonesia
seperti Jakarta (Dinariana et al. 2009; Sitorus et al. 2011; Sitorus et al. 2012),
Cimahi (Sitorus et al. 2013), dan Kandangan (Hayati et al. 2013),
3. Mengidentifikasikan daerah-daerah pengisian air.
Dengan mengelompokkan asosiasi tanah seperti yang ditunjukkan pada peta
tanah menurut berbagai sifat hidrologiknya, daerah-daerah pengisian air
(water recharge) dan pelepasan air (water discharge) dapat diidentifikasikan
pada tahapan awal. Dinariana, et al. (2009;2010) telah menunjukkan
pengelolaan Ruang Terbuka Hijau menurut sifat hidrologik tanahnya
sebagai daerah pengisian air tanah di Wilayah DKI Jakarta.
4. Mengenal daerah-daerah yang berpotensi konflik dalam penggunaan.
Apabila daerah-daerah yang ada kemungkinan mempunyai potensi konflik
dalam penggunaan dapat diidentifikasikan menjelang pembangunan, maka
150 | Perencanaan Penggunaan Lahan

konflik yang demikian dapat dihindarkan atau paling tidak dapat diperkecil.
Konflik yang sering terjadi dalam penggunaan lahan misalnya apabila tanah-
tanah pertanian berkualitas tinggi tetapi juga ideal untuk dijadikan lokasi
proyek perumahan atau bangunan komersial.
5. Memperhalus kategori penggunaan lahan yang sifatnya luas.
Sering dalam perencanaan pendahuluan digunakan kategori-kategori
penggunaan lahan yang sifatnya luas, misalnya lahan pertanian dan lahan
bera bagi lahan-lahan yang tidak digunakan untuk perkotaan, konservasi
atau keperluan khusus lainnya. Dalam penghalusan hasil perencanaan
pendahuluan ke bentuk yang lebih terinci, kategori-kategori yang luas tersebut
dikelompokkan menjadi kelompok yang lebih kecil. Pengelompokkan lahan
pertanian misalnya dibagi lagi menjadi daerah pertanian kelas satu, kelas dua
dan seterusnya. Dalam pelaksanaan demikian, biasanya peta tanah dan hasil
evaluasi sumberdaya lahan sangat membantu sebagai sumber informasi.
Di Negeri Belanda, penggunaan survei tanah untuk berbagai keperluan
perencanaan telah diulas antara lain oleh Haans dan Westerveld (1970) dan
Davidson (1980). Di samping penggunaan untuk perencanaan pertanian seperti
untuk tanaman setahun, tanaman hortikultura, padang rumput dan keperluan
praktis tertentu lainnya, survei tanah juga digunakan untuk keperluan-keperluan
perencanaan pembangunan pedesaan dan pembangunan areal perkotaan. Dalam
perencanaan pembangunan, selain peta-peta kesesuaian lahan untuk keperluan
pertanian, juga disusun peta-peta yang menunjukkan kesesuaian lahan untuk
penggunaan bukan-pertanian, seperti untuk keperluan rekreasi, permukiman,
industri, dan pengembangan perkotaan.

7.5 Landasan Hukum dan Perundang-undangan


tentang Tanah dan Penggunaan lahan di
Indonesia
Setiap bidang lahan pada umumnya dilekati hak anggota masyarakat (bersifat
privat). Di pihak lain penggunaan lahan dalam proses pembangunan mempunyai
dua segi yaitu bersifat publik dan yang bersifat privat. Pembangunan yang bersifat
publik inilah yang terutama sering menimbulkan permasalahan karena harus
dilakukan dengan menggunakan lahan yang sifatnya privat tersebut. Untuk
melihat permasalahan ini ada baiknya secara sepintas ditinjau keadaan peraturan-
peraturan tentang pertanahan dan penatagunaan tanah yang ada di Indonesia.
Bab VII Perencanaan Penggunaan Lahan | 151

Pada tahun 1960, pemerintah Republik Indonesia untuk pertama kali berhasil
mengesahkan sebuah undang-undang nasional, sebagai pengganti undang-
undang kolonial yaitu undang-undang yang mengatur bidang pertanahan yang
lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang tertuang
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (Sandy 1984a).
Dalam kaitan dengan penggunaan lahan, Silalahi dan Sweken (1984)
mengemukakan pasal 14 dan 15 UUPA telah mengatur penggunaan lahan
melalui isi dari masing-masing pasal, seperti terlihat berikut ini.
Pasal 14 UUPA berbunyi:
1. Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat 2 dan 3, pasal
9 ayat 2 serta pasal 10 ayat 1 dan 2, Pemerintah dalam rangka sosialisme
Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan
dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya: (a) untuk keperluan negara; (b) untuk keperluan
peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa; (c) untuk keperluan pusat-pusat kehidupan
masyarakat, sosial kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan; (d) untuk
keperluan mengembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan
serta sejalan dengan itu; (e) untuk keperluan mengembangkan industri,
transmigrasi dan pertambangan.
2. Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat 1 pasal ini dan mengingat
peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur
persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa
untuk daerahnya sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
3. Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini berlaku
setelah mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden,
Daerah Tingkat II dari Gubernur/Kepala Daerah yang bersangkutan
dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang
bersangkutan.
Pasal 15 UUPA berbunyi:
Memelihara tanah termasuk menambah kesuburannya serta mencegah
kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang
mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak
yang ekonomis lemah.
152 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Dari isi kedua pasal UUPA diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
Pemerintah harus menyediakan tanah untuk seluruh aspek kegiatan masyarakat
untuk pembangunan. Demikian juga ditekankan bahwa dalam pemakaian tanah
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat perlu dijaga agar jangan sampai rusak.
Dengan demikian terlihat dengan jelas bahwa tujuan yang ingin dicapai
dalam usaha mengemban pasal 14 UUPA atau dalam perencanaan penggunaan
lahan adalah: (1) supaya lahan dapat memberikan sebesar-besar kemakmuran
kepada rakyat banyak; (2) tidak timbul kerusakan; dan (3) tidak melanggar
peraturan perundangan yang berlaku (Sandy 1984a).
Lahan dapat memberikan kemakmuran pada rakyat banyak melalui
kegiatan pembangunan yang ada diatasnya. Tanah (lahan) itu sendiri pada
kenyataannya mempunyai dua segi yaitu: (1) penguasaan (hukum) dan (2)
penggunaan (fisik). Seseorang hanya dapat dengan tenang menggunakan
sebidang lahan apabila yang bersangkutan menguasai lahan tersebut dalam salah
satu bentuk hak.
Pembangunan berarti penggunaan dan penguasaan lahan. Dengan demikian
dalam setiap pembangunan, semua pihak dituntut untuk menaati peraturan
perundangan terutama peraturan-peraturan yang menyangkut pertanahan seperti
(1) UUPA (UU No. 5 tahun 1960) dengan peraturan-peraturan pelaksanaannya;
(2) UUPPA (UU No. 5 tahun 1967) Kehutanan dan (3) UUPPT (UU No. 11
tahun 1967) Pertambangan (Sandy, 1984a).
Dalam kaitan dengan berbagai peraturan yang menyangkut pertanahan
maka Direktorat Tata Guna Tanah, Departemen Dalam Negeri telah menyusun
suatu prosedur kerja yang dapat digunakan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam
merumuskan kebijakan pembangunan bagi daerah masing-masing dengan tepat
seperti diuraikan berikut ini (Sandy, 1984a).
1. Proyek-proyek sektoral yang akan disalurkan ke daerah disalurkan lewat
Gubernur KDH (BAPPEDA) bukan lewat Kanwil.
2. Proyek-proyek daerah (regional) yang dilandasi kebijakan pembangunan
daerah, dinilai sesuai tidaknya dengan Inpres 9-73.
3. Hanya proyek-proyek yang sesuai dengan Inpres 9-73 yang bisa dinilai sama
dengan mempunyai DSPI, dan memungkinkan pemerintah, untuk apabila
perlu menggunakan UU 20-61, sehingga UUPA Ps. 16 dan UUPA Ps. 19
(PP. 10-61) dengan demikian dapat dinetralisasikan.
Bab VII Perencanaan Penggunaan Lahan | 153

4. Untuk bisa memenuhi UUPA Ps. 15 dan UU. 4-82, Direktorat Tata Guna
Tanah telah menyiapkan pula Pola Tata Guna Tanah. Pola Tata Guna
Tanah ini adalah rangka fisik medan, yang berfungsi sebagai alat untuk
mengarahkan atau mengendalikan letak proyek pembangunan supaya sesuai
dengan kemampuan fisik tanah, atau kalau letak proyek tidak bisa ditawar,
menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh proyek, demi kelestarian
tanah.
5. Sarana yang disediakan bagi Pemda antara lain ada yang merupakan alat
untuk mengendalikan pembangunan, baik pembangunan yang bersifat
publik ataupun privat.
6. Implikasi perencanaan penggunaan lahan adalah juga penggunaan lahan yang
terkendali. Hanya dengan kendali yang baik, usaha untuk tertib penggunaan
lahan serta lingkungan hidup bisa tercapai.
7. Salah satu sarana kendali adalah SK Mendagri No. 3-78 (tentang fatwa Tata
Guna Tanah).
Untuk dapat lebih memahami landasan hukum dan perundang-undangan
tentang tanah dan penggunaan lahan di Indonesia, disarankan untuk membaca
lebih lanjut UUPA (UU No. 5 tahun 1960), KEPPRES 44-45/74, UU. 5-74,
UU. 5-79, UU. 20-61, Inpres 9-73, UU. 5-67, UU. 11-67 dan UU. 4-82.
Penggunaan perundang-undangan di atas dalam kaitannya dengan penetapan
lahan untuk suatu proyek pembangunan pada periode pemerintahan Orde Baru
tertera pada Gambar 12..

Aspek Hukum dan lmplementasinya


Beberapa aspek hukum yang berkaitan dengan pertanahan telah dibuat
sedemikian rupa agar penggunaan lahan dapat lebih optimal, tertata dengan baik
dan efisien. Dasar kebijakan pertanahan adalah UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang
dijabarkan lebih lanjut dalam UU Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960.
UUPA pasal 14 menyebutkan dalam penjelasannya bahwa untuk mencapai apa
yang menjadi cita-cita Bangsa dan Negara dalam bidang pertanahan perlu adanya
rencana (planning) mengenai peruntukan, penggunaan, dan persediaan bumi,
air, ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara. Hal
ini berarti bahwa pemerintah daerah dapat mengatur persediaan, peruntukan
dan penggunaan lahan di wilayahnya sesuai dengan kondisi daerahnya masing-
masing.
154 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Lebih lanjut Undang-Undang No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang


dan Peraturan Pemerintah RI. No. 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah dan kemudian Undang-Undang tersebut diperbaharui dengan Undang-
Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan bahwa
penataan ruang diselenggarakan dengan berasaskan pada pemanfaatan ruang
bagi semua keperluan secara terpadu, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan,
keadilan dan perlindungan hukum. Nasoetion (2003) menyatakan bahwa selain
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan UUPA dan tata ruang,
pelaksanaan pengaturan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan lahan juga
perlu memperhatikan peraturan perundangan yang mengatur kegiatan sektoral
seperti kehutanan, pertambangan, perindustrian, Iingkungan hidup, transmigrasi,
peternakan, perumahan dan pemukiman, pariwisata, pertanian, pengairan dan
sebagainya.
Implementasi rencana tata ruang dapat dilakukan melalui mekanisme
perijinan dalam penggunaan lahan (Nasoetion 2003). Dalam pelaksanaan
pemberian ijin hingga penerbitan hak atas tanah harus menghormati hak atas
tanah yang sudah dimiliki masyarakat. Dengan demikian, upaya-upaya untuk
mewujudkan kondisi ideal dari sesuatu rencana tata ruang dengan kondisi faktual
penggunaan, potensi dan penguasaan tanah yang ada pada saat sekarang akan
memerlukan serangkaian tindakan-tindakan yang melibatkan kegiatan-kegiatan
pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah/lahan, pengurusan hak-hak atas
tanah, pengukuran dan pendaftaran tanah.
Bab VII Perencanaan Penggunaan Lahan | 155

Gambar 12 Mekanisme dan prosedur kerja dalam penetapan sebidang lahan


untuk keperluan suatu proyek pembangunan ditinjau dari segi
perundang-undangan (Sandy 1984a)
BAB VIII
PERENCANAAN PENGGUNAAN
LAHAN UNTUK BERBAGAI
KEPERLUAN

8.1 Perencanaan Penggunaan Lahan dalam Pembangunan


Pertanian
Perencanaan pembangunan pertanian pada umumnya didasarkan atas
berbagai pertimbangan. Keputusan dalam perencanaan tersebut biasanya
didasarkan atas empat faktor yaitu (1) pengalokasian sumberdaya untuk
keperluan pertanian dan non-pertanian; (2) pengalokasian berbagai masukan dan
kelembagaan (institution) di bidang pertanian; (3) pengalokasian dari berbagai
tanaman dalam wilayah (region), yang mana kedua-duanya tergantung dari
keadaan tanah, air dan manusia; dan (4) pengalokasian optimum dengan jalan
pemusatan masukan pada keadaan yang lebih responsif (formula pengalokasian
optimum sering berubah karena alasan sosial atau politik).
Perencanaan pembangunan pertanian merupakan suatu rangkaian kegiatan
dari sejumlah aktivitas yang satu sama yang lain saling berkaitan. Ringkasan dari
rangkaian (flow charts) kegiatan tersebut dapat dilihat pada Gambar 13. Pada
Gambar tersebut terlihat bahwa perencanaan pembangunan pertanian didahului
dengan adanya suatu kebijakan untuk pembangunan pertanian. Di Indonesia
pada era Orde Baru dapat berupa Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Kemudian dengan
diikuti penentuan lokasi, pengumpulan data melalui serangkaian kegiatan
survei sumberdaya alam, pertanian dan sosial-ekonomi. Dari keterangan yang
dikumpulkan ini dapat diidentifikasikan penggunaan lahan yang sesuai beserta
berbagai alternatif pembangunan. Pada akhirnya, setelah melalui proses
pengambilan keputusan akan ditetapkan rencana dan prioritas pembangunan.
158 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Gambar 13 Rangkaian kegiatan dalam perencanaan pembangunan pertanian


Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 159

Perencanaan penggunaan lahan pertanian merupakan bagian dari


perencanaan pembangunan pertanian. Dalam perencanaan penggunaan lahan
pertanian berbagai faktor, baik fisik lingkungan maupun sosial-ekonomi turut
dipertimbangkan. Dalam kaitan dengan fisik lingkungan, maka pekerjaan evaluasi
kesesuaian lahan sangat berperanan dalam memberikan berbagai alternatif
penggunaan. Masukan ini sangat penting dalam keseluruhan perencanaan
penggunaan lahan pertanian tersebut.
Beek dan Bennema (1972) mengemukakan tiga tahap (phases) dalam
model perencanaan: (1) tahap sebelum proyek (pre-project), (2) tahap tinjau
(reconnaissance) dan (3) tahap studi terinci (detailed studies). Berbagai data yang
berhubungan dengan penggunaan terbaik dari sumberdaya lahan pada suatu
kondisi sosio-ekonomik tertentu menjadi tersedia dengan tingkat ketepatan
dan keterincian yang lebih besar selama pelaksanaan masing-masing tahapan
tersebut.
Tiga pertanyaan pokok perlu dijawab selama perencanaan suatu proyek
yaitu: (1) Haruskah proyek pembangunan tersebut dilaksanakan atau tidak;
(2) Bagaimana kelayakannya; dan (3) Bagaimana seharusnya melaksanakannya.
Penekanan masing-masing pertanyaan ini akan berbeda-beda selama tahapan
perencanaan dan akan berpindah dari pertanyaan pertama ke pertanyaan terakhir
mengikuti tahapan perencanaan tersebut.
Pada tahapan pertama, dua pertanyaan pertama merupakan pertanyaan
penting untuk diperhatikan. Pada tahapan kedua, pertanyaan kedua yang sangat
penting. Dalam tahapan ketiga maka pertanyaan terakhir (ketiga) yang perlu
mendapat perhatian. Tahapan yang dikemukakan Beek dan Bennema ini pada
dasarnya ditujukan untuk perencanaan suatu areal yang relatif luas, dimana
berbagai bidang keahlian ikut dilibatkan. Dalam hal perencanaan areal yang
lebih kecil dan sederhana, tahap 2 dan 3 sering tidak dipisahkan tetapi dilakukan
secara bersama-sama.
Pada setiap tahapan pada dasarnya terdapat lima langkah (step), meskipun
berbeda dalam pelaksanaannya. Kelima langkah tersebut adalah: (1) persiapan;
(2) survei dan penelitian; (3) interpretasi; (4) klasifikasi lahan ekonomik, dan (5)
pelaporan (Beek dan Bennema 1972). Berikut ini akan diuraikan secara singkat
masing-masing tahapan perencanaan dan kelima langkah tersebut.
160 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Tahap sebelum proyek. Tahap ini terdiri dari studi orientasi yang sifatnya
eksploratif tentang komposisi sumberdaya lahan, kemungkinan digunakan
sebagai areal pertanian, ditambah berbagai aspek lainnya yang bermanfaat
dalam perencanaan pembangunan pertanian. Studi ini biasanya dikerjakan oleh
sekelompok kecil ahli yang akan mencoba mengumpulkan data serta melakukan
konsultasi dengan berbagai pihak dalam waktu yang relatif singkat untuk sampai
pada suatu kesimpulan. Pada tahapan ini biasanya digunakan klasifikasi kesesuaian
yang sifatnya luas (broad) yang dipadukan dengan keadaan sosio-ekonomik.
Dalam klasifikasi ini kesimpulan dan rekomendasi dari berbagai hasil studi para
ahli disintesiskan dan diintegrasikan. Alternatif pemecahan juga dikemukakan.
Klasifikasi lahan digunakan sebagai basis utama untuk kegiatan evaluasi
dan formulasi kembali dari tujuan semula perencanaan pembangunan yang
disimpulkan dari studi tersebut. Pada tahapan ini ada kemungkinan usulan
proyek dirubah atau dibatalkan sama sekali. Aktifitas dari berbagai bidang
keahlian untuk tahapan berikutnya direncanakan dan pelaksanaan secara
interdisiplin dikoordinasikan kedalam rencana pekerjaan. Apabila wilayah yang
akan direncanakan luas dan beragam, maka areal-areal utama yang mempunyai
potensi untuk dikembangkan lebih lanjut perlu diidentifikasikan. Wilayah-
wilayah ini akan mendapat prioritas dan perhatian khusus selama tahapan proyek
berikutnya.
Tahap tinjau. Pada tahap ini penekanan utama adalah inventarisasi
(inventory) dari areal. Oleh karena itu, jumlah ahli yang terlibat langsung akan
lebih besar daripada tahap sebelum proyek. Demikian juga waktu yang diperlukan
di lapang lebih lama untuk mengumpulkan data yang diperlukan yang lebih
terinci dari tahap sebelumnya.
Pada umumnya perencanaan proyek-proyek pembangunan dilaksanakan
dalam periode yang agak singkat. Untuk memperoleh data yang diperlukan
dibutuhkan penelitian setempat (lokal). Percobaan-percobaan jangka pendek
pada umumnya dapat dilakukan seperti pengukuran sifat-sifat tanah yang
berhubungan dengan kemungkinan irigasi, drainase, kesesuaian untuk berbagai
tanaman pertanian, dan sebagainya. Apabila percobaan lapang dan penelitian
dasar lainnya tidak memungkinkan untuk dilaksanakan dalam wilayah yang
sedang direncanakan tersebut, maka pada tahapan ini dibutuhkan sejumlah
ekstrapolasi dari hasil-hasil penelitian pada daerah lainnya yang mempunyai
kondisi yang hampir sama dengan kondisi lahan yang sedang diteliti.
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 161

Tahap tinjau ini akan menghasilkan formulasi garis besar (outline) rencana
pengembangan lahan. Kesimpulan yang diperoleh dari berbagai bidang
keahlian disintesiskan kedalam keseluruhan rencana penggunaan lahan yang
direkomendasikan. Pilihan dilakukan dari berbagai kemungkinan (alternatif)
yang ada. Integrasi rencana dalam kebijakan secara nasional atau wilayah sangat
penting untuk mencapai adanya sinkronisasi diantara target produksi yang
disusun menurut rencana pengembangan dan keadaan pemasaran nasional dan
internasional. Hal yang sama juga berlaku bagi data ekonomi-makro lainnya seperti
penyebaran tenaga kerja dan modal. Pada tahap ini juga dilakukan perencanaan
untuk tahap studi terinci berikutnya (tahap 3), termasuk didalamnya petunjuk
terhadap daerah-daerah yang berpotensi untuk dikembangkan, sekaligus untuk
diteliti lebih lanjut.
Tahap Studi Terinci. Dalam tahapan ini pertanyaan utama yang ingin
dijawab adalah hal-hal apa yang harus dikerjakan selama pelaksanaan program
(program effectuation). Untuk dapat menjawab pertanyaan ini diperlukan survei
dan studi terinci (detail). Survei dan studi ini sebaiknya dilakukan pada areal-
areal yang berpotensi (pilot areal) dan/atau areal yang lebih luas dimana akan
dilakukan penggunaan lahan yang lebih intensif.
Sebagai langkah terakhir pekerjaan pada tahap studi terinci ini adalah
penyelesaian rencana induk (master plan) dan tata ruang terinci dengan
mempertimbangkan semua pengalaman praktis yang diperoleh dari studi
terinci bersama-sama dengan kebutuhan investasi proyek pengembangan
lahan tersebut. Salah satu hasilnya adalah klasifikasi lahan untuk penggunaan
yang direkomendasikan dengan mempertimbangkan dan memadukan
antara kemungkinan secara teknik dengan kebutuhan untuk produksi dan
pengembangan, kebutuhan dan kelayakan sosial dan ekonomi, dan kelayakan
organisasi dan kelembagaan untuk merubah metode-metode produksi.
Laporan tahap studi terinci ini harus dalam bentuk yang dapat diterima
Bank untuk keperluan investasi. Oleh sebab itu, laporan harus secara lengkap
menunjukkan implikasi ekonomi dan finansial dari proyek. Dengan demikian,
maka selain dari klasifikasi lahan, juga perlu dilengkapi dengan perkiraan
keuntungan-keuntungan yang mungkin diperoleh dari lahan sebelum dan setelah
adanya proyek. Demikian juga biaya yang diperlukan dalam pengembangan dan
penggunaannya. Laporan Tahap Studi Terinci ini merupakan akhir dari proyek
pengembangan, tetapi tidak menutup terhadap kemungkinan adanya perubahan-
162 | Perencanaan Penggunaan Lahan

perubahan, misalnya setelah dievaluasi kembali oleh badan-badan atau lembaga


keuangan yang akan memberikan dana untuk keperluan proyek pembangunan
tersebut.
Setelah menguraikan tentang ketiga tahap dalam perencanaan, maka berikut
ini akan diuraikan secara singkat kelima langkah dalam masing-masing tahap
perencanaan pembangunan pertanian seperti yang dikemukakan oleh Beek dan
Bennema (1972). Penekanannya adalah pada survei sumberdaya lahan, pada
klasifikasi kesesuaian lahan dan pada hubungan aspek-aspek ini dengan aktivitas
lainnya dalam proyek.
Langkah 1. Persiapan. Kegiatan yang akan dilakukan pada masing-masing
tahap jelas memerlukan persiapan, misalnya penyusunan staff/personalia,
perlengkapan kantor, transportasi dan pengumpulan semua jenis bahan dan
data yang diperlukan. Satu hal yang tidak kalah pentingnya dalam hal ini adalah
pengadaan atau penyediaan foto udara/ citra penginderaan Jauh atau citra satelit
dan peta topografi. Apabila kedua hal ini belum tersedia atau apabila kualitasnya
tidak memenuhi persyaratan, maka harus diupayakan untuk membuat foto
udara/ citra satelit atau peta topografi yang baru. Untuk keberhasilan pelaksanaan,
tersedianya foto udara/ citra satelit dan peta topografi merupakan suatu keharusan
sebelum langkah berikutnya dimulai. Sering terjadi bahan-bahan tersebut baru
tersedia pada tahap paling akhir perencanaan sehingga bahan-bahan tersebut
menjadi kurang bermanfaat.
Dalam proyek pengembangan areal yang luas, citra satelit dapat digunakan
dan foto udara skala kecil dapat secara sangat efisien digunakan untuk pembuatan
peta topografi. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan
orthophoto. Peta-peta berskala 1:100.000 dan 1:50.000 dapat digunakan sebagai
peta dasar untuk tahap II dan tahap III. Penggunaan foto udara skala kecil sangat
mengurangi biaya persiapan pembuatan peta-peta topografi. Pengurangan ini
jauh lebih besar dari biaya tambahan yang dibutuhkan untuk memperoleh foto
udara skala kecil tersebut. Akan tetapi ada kesulitannya, karena banyak perusahaan
pada umumnya tidak dapat secara ekonomis menghasilkan foto udara pada skala
kecil ini.
Foto udara skala kecil, yang apabila diperlukan dapat juga diperbesar menjadi
skala 1:40.000 atau 1:50.000, juga berguna untuk keperluan interpretasi foto
udara daerah survei pada tahap 1 Sebelum Proyek. Untuk penyediaan foto-foto
bagi keperluan tahap 2 dan 3 berikutnya ada kemungkinan diperlukan program
penerbangan yang kedua kali.
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 163

Langkah 2. Survei dan Penelitian. Pada survei ini sering melibatkan berbagai
disiplin keahlian seperti keahlian dibidang sumberdaya alam, sosial-ekonomi,
sumberdaya manusia, fasilitas pertanian, dan sebagainya. Berbagai aspek penting
yang perlu diteliti dalam survei ini antara lain adalah sebagai berikut:
a. Sumberdaya alam, seperti keadaan tanah, topografi, vegetasi atau
penggunaan lahan eksisting, iklim, geologi, ketersediaan air
dipermukaan dan air bawah tanah, baik yang menyangkut jumlah
maupun kualitasnya.
b. Kondisi sosial-ekonomi, seperti status pemilikan lahan, pola produksi,
besar/ukuran usahatani, produktivitas lahan per hektar, jenis tanaman,
serta jumlah dan kualitas tanaman budidaya pertanian.
c. Sumberdaya manusia, termasuk kependudukan (demografi), pola sosial
dan budaya, tingkat pengetahuan keteknikan, ketersediaan tenaga kerja
dan alternatif kemungkinan tenaga kerja.
Dalam evaluasi lahan, survei tentang keadaan sosial-ekonomi, penyuluhan
pertanian (agricultural services) dan sumberdaya manusia harus diintegrasikan
dengan survei sumberdaya alam yang berorientasi pada evaluasi lahan dalam
upaya untuk mengetahui tipe penggunaan lahan yang sesuai. Juga diperlukan
integrasi diantara berbagai survei sumberdaya alam. Hal ini dapat dilakukan
dengan dua cara: (1) lahan dapat disurvei sebagai satuan yang terintegrasi
(misalnya menggunakan sistem lahan atau land system), atau (2) sebagai sintesis
dari berbagai survei sifat-sifat lahan yang dilakukan secara terpisah. Untuk
survei skala kecil, penggunaan satuan lahan terintegrasi dianggap lebih praktis,
sedangkan survei sifat-sifat lahan yang dilakukan secara terpisah (seperti survei
tanah, survei vegetasi, dan sebagainya), dapat lebih bermanfaat untuk survei
dengan skala yang lebih detail.
Pada umumnya survei dalam tahapan yang berbeda akan dilakukan pada
skala yang berbeda pula. Dalam Tahap Sebelum Proyek misalnya, survei skala
kecil (1:250.000–1:500.000) dianggap memadai. Selama tahap tinjau, skala
sedang (1:50.000–1:250.000) akan digunakan pada hampir seluruh areal. Selama
tahap akhir atau tahap studi terinci, umumnya digunakan skala besar (1:10.000–
1:50.000).
Survei skala kecil pada Tahap I akan dapat menyajikan keterangan yang
bersifat umum tentang kondisi lahan pada areal. Pada survei Tahap 2, informasi
yang terinci tentang areal yang termasuk dalam rencana pengembangan akan
164 | Perencanaan Penggunaan Lahan

dilengkapi. Pada survei Tahap 3, informasi yang lebih terinci akan dikumpulkan
termasuk studi areal percontohan (pilot areas), untuk memperoleh data dalam
hubungannya dengan penggunaan lahan khusus, misalnya untuk irigasi,
konservasi tanah, drainase dan sebagainya.
Survei sumberdaya alam dilakukan dengan bantuan interpretasi foto udara
atau citra satelit. Keadaan topografi lahan dan umumnya fisiografi areal dapat
dipelajari dan dibatasi dengan bantuan foto udara atau citra satelit. Interpretasi
foto udara atau citra satelit sangat membantu dalam survei-survei sumberdaya
pada Tahap 1 dan 2, dan ada kemungkinan juga membantu dalam pekerjaan
Tahap 3. Selama Tahap 3, data yang diperoleh pada survei sumberdaya alam
akan diinterpretasi untuk penetapan kelas kesesuaian lahan dari areal yang
bersangkutan.
Langkah 3. Interpretasi. Pada langkah ke 3 ini data yang dikumpulkan selama
langkah 2 diinterpretasikan menurut kelayakan teknik (technical feasibilities).
Hasil penemuan dan kesimpulan tentang berbagai sifat lahan diintegrasikan dan
difokuskan pada tipe penggunaan lahan yang mungkin dilakukan. Walaupun
langkah 2 survei dan penelitian dan langkah 3 interpretasi dipisahkan, hal ini
tidaklah berarti bahwa secara keseluruhan langkah 2 harus diselesaikan dulu
sebelum langkah 3 dimulai. Umumnya dijumpai adanya tumpang tindih waktu
diantara kedua langkah tersebut.
Interpretasi pada langkah 3 ini terdiri dari: (1) penetapan definisi tipe
penggunaan lahan yang sesuai, (2) klasifikasi kualitas lahan, (3) penentuan
kapasitas perbaikan/penyempurnaan, (4) klasifikasi kesesuaian lahan, (5)
pengembangan pengelolaan dan spesifikasi penyempurnaan.
Ide dasar pada metode evaluasi lahan adalah bahwa lahan harus dinilai hanya
berdasarkan nilainya untuk suatu penggunaan tertentu, karena tidak ada nilai
lahan yang sifatnya mutlak dan berlaku umum. Oleh karena itu, pada tahap-
tahap awal evaluasi lahan harus disertakan seleksi secara luas tipe-tipe penggunaan
lahan yang sesuai dengan keadaan fisik lingkungan, sosial-ekonomi, dan politik
dari areal yang bersangkutan.
Pada saat evaluasi lahan sedang berjalan dan banyak informasi menjadi
tersedia, tipe-tipe penggunaan lahan harus diperhalus dan dibuat sesesuai dan
sekhusus mungkin. Beberapa aspek yang penting untuk diuraikan/ditetapkan
dalam definisi tipe penggunaan lahan adalah: jenis produksi (tanaman), intensitas
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 165

tenaga kerja (bulan orang/ha), intensitas modal, tipe tenaga usahatani (TK/ha),
tingkat pengetahuan teknik, dan ukuran usahatani. Apabila dilihat dari berbagai
aspek tersebut dapat dimengerti bahwa definisi tipe-tipe penggunaan lahan
memerlukan dan memberikan kesempatan untuk melakukan kerjasama multi
disiplin dalam proyek perencanaan penggunaan lahan.
Data yang dikumpulkan selama survei digunakan untuk mengembangkan
kualitas utama lahan. Kualitas lahan yang demikian selalu berkaitan dengan
macam penggunaan lahan. Dalam konteks uraian ini kualitas lahan utama yang
berhubungan dengan penggunaan pertanian dalam arti luas akan merupakan
penekanan pembicaraan. Berbagai kualitas lahan telah dikenal. Kualitas lahan
ini dikelompokkan dalam hubungannya dengan jenis keperluan yang dilayani.
Sebagai contoh, kualitas lahan utama dalam hubungan dengan keperluannya
adalah: (1) untuk pertumbuhan tanaman: ketersediaan unsur hara, ketersediaan
air, energi radiasi (untuk fotosintesis); (2) untuk pertumbuhan ternak: nilai
gizi lahan padang rumput, ketersediaan air minum, tidak adanya penyakit-
penyakit endemik; (3) untuk ekstraksi hasil alam: adanya kayu-kayu bernilai,
adanya tanaman obat-obatan, keterjangkauan (accessibility); (4) untuk tindakan
pengelolaan dalam produksi tanaman dan ternak atau ekstraksi: kemungkinan
penggunaan peralatan mesin-mesin, ketahanan terhadap erosi. Uraian lebih
lanjut tentang berbagai hal ini dapat dilihat dalam Brinkman dan Smith (1973)
dan FAO (1976).
Kualitas lahan yang perlu dipelajari terdiri dari kualitas yang mempengaruhi
kelayakan dan penampilan (performance) secara umum dari tipe penggunaan
lahan yang dipertimbangkan. Disamping itu, juga penting prediksi potensi
hasil, baik sebelum ataupun sesudah perbaikan lahan. Prediksi hasil kadang-
kadang dapat dilakukan berdasarkan analisis data hasil dari tanaman yang telah
diusahakan. Jika tidak, maka prediksi hasil dilakukan atas dasar deduksi dari data
kualitatif keadaan lahan yang tersedia. Pada pelaksanaannya, sering prediksi hasil
dilakukan berdasarkan kombinasi dari kedua prosedur tersebut.
Langkah 4. Klasifikasi Lahan Ekonomik. Klasifikasi Lahan Ekonomik
merupakan klasifikasi kuantitatif satuan-satuan lahan atau tanah berdasarkan
analisis biaya dan keuntungan untuk tipe penggunaan lahan tertentu. Hal ini
dapat meliputi optimasi faktor-faktor produksi utama seperti ukuran/besar
usahatani, intensitas tenaga kerja, dan tingkat masukan modal. Kelas-kelas lahan
ekonomik ini tidak selalu harus sama dengan kelas-kelas kesesuaian lahan. Akan
166 | Perencanaan Penggunaan Lahan

tetapi, kelas-kelas kesesuaian lahan merupakan faktor penting dalam penetapan


kelas-kelas lahan ekonomik karena dapat memberikan data tentang pengelolaan
lahan, biaya perbaikan serta perkiraan keuntungan dalam bentuk hasil yang dapat
diharapkan. Perbedaan utama antara klasifikasi kesesuaian lahan dan klasifikasi
lahan ekonomik adalah klasifikasi kesesuaian lahan lebih merupakan suatu studi
perbandingan yang sistematik tentang prospek pengembangan dari berbagai
tipe penggunaan lahan pada suatu kondisi lahan tertentu; sedangkan klasifikasi
lahan ekonomik membicarakan hanya satu atau sejumlah kecil tipe penggunaan
lahan yang diharapkan dapat berhasil (promising) yang kemudian dianalisis secara
terinci nilai sosial-ekonominya dalam istilah-istilah finansial.
Langkah 5. Pelaporan. Dengan menggunakan bagan perencanaan
penggunaan lahan pertanian yang dikemukakan ini, dua laporan yaitu laporan
interim dan laporan akhir harus disusun. Laporan Interim dari Tahap I (sebelum
proyek) terutama membicarakan mengenai formulasi proyek perencanaan.
Laporan Interim Tahap II (Tahap Tinjau) akan mengemukakan garis besar
pertama rencana induk (the first outline of the masterplan), yang akan diperhalus
dan diselesaikan selama tahap III (Tahap Studi Terinci). Laporan akhir akan
merangkum keseluruhan hasil yang diperoleh pada tiap-tiap tahapan. Dengan
demikian laporan ini merupakan lanjutan dari laporan interim sebagai akhir
dari tiap tahapan perencanaan. Dalam laporan-laporan ini diharapkan dapat
terwujudkan integrasi secara menyeluruh dari berbagai disiplin yang berkontribusi
terhadap proyek perencanaan.

8.2 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk


Transmigrasi
Seperti diketahui program transmigrasi di Indonesia mempunyai lima
sasaran utama yaitu: (1) pemerataan penduduk di seluruh wilayah Indonesia
melalui usaha pemindahan penduduk dari daerah yang berpenduduk padat
seperti Jawa, Madura dan Bali ke daerah yang berpenduduk masih jarang;
(2) mengembangkan wilayah-wilayah potensial yang masih terbelakang
melalui pemaduan sumberdaya alami yang potensial didaerah tersebut dengan
sumberdaya manusia sehingga diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya; (3)
mempercepat tercapainya kehidupan yang layak bagi penduduk, baik penduduk
setempat maupun transmigran melalui peningkatan pendapatan yang lebih
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 167

besar dari kebutuhan-kebutuhannya hingga dapat mendorong perkembangan


permukiman lebih maju, dan pada akhirnya meningkatkan perekonomian
wilayah; (4) menciptakan keseimbangan pembangunan antar wilayah diseluruh
Indonesia; dan (5) meningkatkan ketahanan nasional.
Sasaran utama diatas tidak terlepas dari tujuan pelaksanaan transmigrasi
seperti telah digariskan dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 3 Tahun
1972 tentang ketransmigrasian dan di perbaharui dalam UURI No. 29 Tahun
2009, yaitu: (1) peningkatan taraf hidup, (2) pembinaan daerah, (3) keseimbangan
penyebaran penduduk, (4) pembangunan yang merata diseluruh Indonesia,
(5) pemanfaatan sumber-sumber alam dan tenaga manusia, (6) kesatuan dan
persatuan bangsa, dan (7) memperkuat pertahanan dan keamanan nasional.
Salah satu pekerjaan pokok yang perlu ditangani secara seksama dalam
pelaksanaan program transmigrasi adalah penyiapan lahan bagi permukiman
dan usahatani transmigran yang akan ditempatkan. Untuk terwujudnya hal ini
dengan baik perlu disusun suatu perencanaan yang menyeluruh beserta tahapan-
tahapan berdasarkan data kuantitatif maupun kualitatif yang dapat menunjang
penentuan calon permukiman transmigrasi. Penyiapan permukiman transmigrasi
dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan transmigran yang selain mempunyai
kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhannya sendiri secara langsung pada
permulaan penempatan, juga memiliki kemampuan untuk perkembangan pada
masa selanjutnya.
Untuk itu, sistem perencanaan dan pelaksanaan perlu dibina melalui
pemecahan masalah dasar dalam konsep pengembangan daerah transmigrasi
yang menyangkut konsep-konsep permukiman, potensi alami, manusia,
program-program daerah, maupun masalah hambatan-hambatan teknis, sosial
ekonomi dan sosial kultural. Suatu perencanaan pengembangan lahan (land
development planning) harus dapat memperhitungkan jumlah kepala keluarga
yang dapat ditampung, dengan memperhitungkan laju pertambahan penduduk
tiap tahunnya dan kemungkinan penerapan kemajuan teknologi melalui upaya
intensifikasi (Sutami 1980). Untuk dapat mewujudkan hal ini, di Indonesia
diperlukan suatu perencanaan penggunaan lahan yang khusus ditujukan bagi
program transmigrasi.
168 | Perencanaan Penggunaan Lahan

8.2.1 Perencanaan Permukiman Transmigrasi


Ditinjau dari tingkat masukan yang diberikan pada perencanaan permukiman
transmigrasi secara garis besar dikenal dua pendekatan yaitu menurut standar
rata-rata (SR) atau tolok rerata (average standard) dan menurut standar tidak
rata-rata (STR) atau tolok takrerata (beyond average standard). Standar rata-
rata atau tolok ukur rerata pada dasarnya berpangkal dari beberapa ketentuan
berikut: (1) kawasan pemukiman transmigrasi dipilih menurut pedoman pokok
kesesuaian alamiah lahan untuk diadaptasikan menjadi lahan usaha pertanian
tanaman pangan; (2) kesesuaian alamiah tersebut dimaksudkan untuk membatasi
kebutuhan akan masukan (input) teknologi khusus dan sekaligus untuk
menurunkan kemungkinan resiko sampai pada taraf yang masih dapat ditanggung
oleh petani kecil; (3) alternatif bentuk pertanian atau pola pemukiman dibatasi
oleh pertimbangan tentang kesegeraan pemapanan (establishment) masyarakat
tani subsisten (Anonimous 1983b; Team Fakultas Pertanian IPB 1983). Beberapa
contoh masukan Standar Rata-rata adalah pemberian pupuk, bibit dan pestisida
dalam jumlah tertentu yang diharapkan dapat memberikan hasil yang cukup
agar petani dapat hidup layak dan mempunyai kelebihan hasil yang cukup untuk
dijual (Anonimous 1983b).
Perencanaan melalui pendekatan standar rata-rata atau tolok rerata ini akan
dapat berhasil hanya apabila lahan berkemampuan alamiah memadai masih
cukup tersedia. Dengan peningkatan dalam pelaksanaan program transmigrasi
pada beberapa dekade yang lalu yang membutuhkan kawasan penempatan yang
semakin meluas, maka luas lahan yang memenuhi kriteria dengan pendekatan
standar rata-rata semakin berkurang, sehingga alternatif dengan pendekatan yang
kedua yaitu standar tidak rata-rata atau tolok takrerata perlu dilakukan. Dengan
penggunaan standar tidak rata-rata ini diharapkan akan lebih banyak lahan yang
dapat diikutsertakan dalam perencanaan pemukiman transmigrasi, sehingga daya
tampungnya juga akan lebih besar.
Pendekatan standar tidak rata-rata atau tolok tak rerata didasarkan atas
pertimbangan sebagai berikut: (1) kesesuaian lahan diciptakan dengan masukan
teknologi khusus, sehingga memenuhi persyaratan yang dikehendaki oleh bentuk
pemanfaatan lahan yang telah ditentukan terlebih dahulu (adaptasi ekosistem
alamiah menjadi ekosistem budidaya yang produktif) atau; (2) memilih bentuk
pemanfaatan lahan yang lebih mudah diadaptasikan pada keadaan alamiah lahan
yang ada, dengan tetap berpedoman pada pencapaian taraf produktifitas yang
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 169

memadai. Butir pertama menghendaki agar supaya alternatif masukan teknologi


diperluas, sehingga kalau perlu dapat saja menggunakan masukan teknologi
mahal atau rumit, asal imbangan antara masukan dan keluaran (output) masih
tetap menguntungkan. Ini berarti, bahwa nilai keluaran harus tinggi. Butir kedua
mengehendaki agar supaya alternatif bentuk pemanfaatan lahan dilonggarkan,
berarti meningkatkan keleluasaan memilih pola permukiman (Anonimous
1983b; Team Fakultas Pertanian IPB 1983). Beberapa contoh teknologi khusus
yang dapat dipertimbangkan sebagai masukan Standar Tidak Rata-rata adalah
pekerjaan pengairan dan drainase skala besar, dan tindakan konservasi tanah
yang rumit (Anonimous 1983b).
Empat Prinsip dalam Perencanaan Permukiman Transmigrasi :
Prinsip pertama dan yang utama yang harus digunakan dalam perencanaan
permukiman adalah bahwa lahan harus layak huni dan layak usaha dengan
pengertian sesuai untuk penggunaan yang sedang direncanakan, dengan
penekanan bagi penggunaan pertanian. Hal ini disebabkan karena permukiman
tersebut pada dasarnya diprioritaskan bagi permukiman pertanian (Kadarusno,
1980). Sebagai konsekuensinya adalah bahwa kerangka untuk keperluan
perencanaan haruslah berdasarkan hasil evaluasi berupa peta kesesuaian lahan
untuk pertanian. Perkembangan pola transmigrasi dengan diperkenalkannya
tujuh pola permukiman transmigrasi, maka selain pola transmigrasi dengan
usaha pokok tanaman pangan juga dikenal enam pola lainnya yaitu pola
transmigrasi dengan usaha pokok berturut-turut adalah tanaman tahunan/
perkebunan, peternakan, perikanan, perindustrian, agroforestry dan sapta marga
(Tim Biro Perencanaan Deptrans. et al. 1984). Hal ini mengakibatkan perlunya
dilakukan evaluasi kesesuaian untuk ketujuh pola permukiman transmigrasi
tersebut. Dengan demikian perencanaan bagi permukiman dapat didasarkan
pada hasil evaluasi tersebut. Dalam hal ini sudah barang tentu dengan tetap
mempertimbangkan faktor-faktor lainnya yang erat kaitannya dengan program
perencanaan pembangunan wilayah dan program pembangunan nasional secara
keseluruhan.
Prinsip kedua adalah pertimbangan lingkungan sosial penting dalam
perencanaan, karena jika perencanaan permukiman tidak memberikan kepada
para pemukim (transmigran) kesempatan membangun kehidupan sosial yang
layak, maka ada kemungkinan keberhasilannya menjadi lebih kecil. Oleh karena
itu, prinsip yang kedua ini bermaksud untuk menciptakan lingkungan sosial yang
170 | Perencanaan Penggunaan Lahan

dapat diterima pemukim, berupa penyediaan fasilitas untuk masyarakat dalam


bentuk yang tidak terlalu berbeda dengan keadaan mereka sebelumnya seperti
jarak antar rumah pemukim, lahan usaha dan pusat desa yang tidak terlalu jauh.
Prinsip ketiga yaitu harus tersedia lahan yang cocok untuk pengembangan
untuk masa yang akan datang dan sebaiknya sudah diukur sebelum penempatan
transmigran. Pengembangan ini dimaksudkan hanya untuk pengembangan yang
direncanakan sekarang, seperti pengembangan untuk kebun karet atau kelapa
sawit yang mana direncanakan akan dikembangkan selama tahun-tahun pertama
setelah penempatan. Dengan demikian prinsip ketiga ini tidaklah dimaksudkan
untuk mencadangkan lahan didalam pemukiman untuk menampung
pertambahan penduduk pada masa mendatang.
Prinsip yang keempat yaitu prasarana harus dapat melayani keperluan
pemukiman secara layak, efisien dalam penggunaan dan biayanya.
Pada dasarnya perencanaan untuk permukiman transmigrasi dilaksanakan
dengan menggunakan tiga tahapan (phase) proses penilaian yaitu: Tahap I berupa
pengembangan wilayah nasional berupa Wilayah Pengembangan Parsial (WPP) ;
Tahap II berupa perencanaan garis besar untuk Satuan Kawasan Pengembangan
(SKP), juga dikenal sebagai proses penyaringan; Tahap III berupa perencanaan
terinci untuk Satuan Pemukiman (SP) (Anonimous, 1983b). Dalam hubungannya
dengan kegiatan survei tanah, maka tahap I, II dan III ini berturut-turut dikaitkan
dengan survei tanah tingkat tinjau, semi-detail dan detail.
Tahap I. Pada tahap I dilakukan perencanaan wilayah secara umum
(perencanaan makro) untuk tujuan pengembangan nasional. Hal ini dilakukan
berdasarkan model tata ruang (spatial) yang disesuaikan dengan kondisi khusus
kepulauan Indonesia. Wilayah pengembangan dipusatkan pada pelabuhan,
yang terletak pada pantai yang menghadap ke Jakarta sebagai pusat daya tarik
negara. Sebagai dasar atau basis pengembangan wilayah akan diwujudkan dalam
organisasi tata ruang untuk tingkat Wilayah Pengembangan Parsial (WPP),
sedangkan basis pengembangan pertanian didasarkan atas hasil survei tinjau dan
akan diwujudkan dalam bentuk kelas kesesuaian lahan. Hasil penilaian pada
tahap I ini biasanya disajikan dalam bentuk peta berskala 1:250.000.
Tujuan diadakannya pekerjaan survei tinjau (Tahap I) ini adalah untuk
mengetahui dari sejak awal wilayah-wilayah yang mempunyai potensi untuk
dijadikan daerah permukiman transmigrasi sesuai dengan pola-pola permukiman
transmigrasi yang akan dikembangkan. Hasil dari pekerjaan ini diharapkan dapat
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 171

membatasi wilayah yang berpotensi baik bagi pola-pola permukiman transmigrasi


tersebut sekaligus dapat memberikan petunjuk pengkajian berikutnya (Tahap II)
terhadap wilayah itu.
Proses perencanaan makro ini terdiri dari enam kumpulan proses yaitu: (1)
Kumpulan Proses I: penempatan kriteria kebutuhan; (2) Kumpulan Proses II
(masukan utama): penetapan Struktur Pengembangan Wilayah (yang diinginkan),
sepanjang menyangkut produksi; (3) Kumpulan Proses III: perhitungan daya
tampung transmigran; (4) Kumpulan Proses IV: petunjuk kemungkinan
pengembangan; (5) Kumpulan Proses V: penyaringan tahap I: (6) Kumpulan
Proses VI: perumusan Rencana Umum Jangka Panjang (R20) (Mochtar 1980).
Masing-masing kumpulan proses saling berkaitan satu sama lain. Berbagai
keluaran (output) dari proses bagian yang satu dapat secara langsung menjadi
masukan bagi proses bagian berikutnya, dan demikian seterusnya.
Menurut jangka waktunya dikenal dua macam perencanaan: (1) perencanaan
wilayah jangka panjang atau dikenal sebagai R-20 atau R-25, yaitu merupakan
perencanaan pengembangan nasional untuk 20 tahun atau 25 tahun yang akan
datang; dan (2) program lima tahun atau dikenal sebagai R-5, yaitu pelaksanaan
koordinasi dari proyek-proyek untuk mencapai tujuan-tujuan jangka panjang.
Dalam perencanaan wilayah jangka panjang (R-20 atau R-25), sesuatu
kawasan dapat dipilih untuk calon permukiman transmigrasi apabila memenuhi
dua persyaratan berikut: (1) lokasi tersebut menunjang strategi pengembangan
nasional dengan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan; (2)
lokasi tersebut cukup mampu menyerap penduduk petani atau transmigran yang
diproyeksikan hingga kurun waktu 20 atau 25 tahun yang akan datang.
Dalam perencanaan jangka menengah (R-5), perencanaan memperhitungkan
baik untuk sasaran-sasaran jangka panjang maupun sasaran Rencana
Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang sedang berjalan. Sebagai contoh,
peningkatan hasil produksi tanaman pangan merupakan salah satu sasaran
program transmigrasi dalam REPELITA III. Oleh karena itu, pada REPELITA
III pembukaan lahan sawah dan tadah hujan untuk produksi tanaman pangan
merupakan prioritas utama, walaupun prioritas perkembangan berbagai pola
permukiman transmigrasi lainnya (seperti perkebunan, peternakan, perikanan,
industri dan perkembangan daerah perbatasan atau sapta marga) juga tidak
diabaikan.
172 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Prosedur dan proses perencanaan makro dan mikro untuk transmigrasi telah
banyak diuraikan antara lain dalam Mochtar (1980). Pedoman pengelompokan
dan kriteria kelas kesesuaian lahan tingkat tinjau bagi pola permukiman
transmigrasi untuk usaha pokok tanaman pangan kelompok padi sawah dan
kelompok padi gogo, jagung, sorgum dan berbagai usaha pokok lainnya dapat
dilihat pada kriteria kesesuaian lahan pola-pola permukiman transmigrasi dalam
rangka survei dan pemetaan tingkat tinjau sumberdaya lahan dan sumberdaya
alam lainnya oleh Tim Biro Perencanaan Deptrans Tim Pusat Penelitian Tanah,
Tim lembaga penelitian IPB dan Tim lembaga penelitian Unpad (1984).
Tahap II. Pada tahap II dilakukan penilaian kesesuaian suatu daerah
yang telah diidentifikasikan pada tahap I berpotensi untuk dikembangkan bagi
keperluan permukiman transmigrasi. Dengan demikian tahap II ini merupakan
lanjutan dari Tahap I, dan merupakan studi pendahuluan yang dilakukan melalui
suatu penelitian terpadu dari berbagai aspek sumberdaya lahan dan lingkungan
seperti bentuk lahan, tanah, vegetasi dan iklim, serta juga meneliti sikap penduduk
setempat terhadap pengembangan kawasan dan kepentingan kegiatan ekonomi di
daerah yang akan dikembangkan. Dengan demikian dapat lebih diketahui areal-
areal yang mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih lanjut. Studi pada
tahap II ini, dilakukan berdasarkan suatu survei tingkat semi-detail. Interpretasi
foto udara atau citra satelit berperan dalam menentukan satuan lahan (land units)
utama, yaitu satuan lahan yang secara jelas dapat dibedakan berdasarkan ciri-ciri
bentuk lahan, lereng, pola drainase, vegetasi dan penggunaan lahan (Anonimous
1983b).
Tahap II ini merupakan perencanaan yang lebih terinci dari Tahap I dan
hanya dilakukan bagi daerah yang berpotensi untuk dikembangkan yang telah
diidentifikasikan pada Tahap I. Oleh karena itu, dalam perencanaan Tahap II
ini dibutuhkan data yang lebih menyeluruh dan intensitas pengamatan yang
lebih banyak serta analisis yang lebih mendalam. Berbagai langkah yang perlu
dilakukan dalam perencanaan Tahap II ini adalah (1) menilai potensi daerah
melalui analisis kesesuaian lahan. Pekerjaan ini dilakukan melalui suatu survei
tanah atau lahan semi-detail; (2) menentukan alternatif teknik budidaya atau
tindakan pengelolaan yang diperlukan sesuai dengan potensi lahan tersebut; (3)
analisis ekonomi untuk menetapkan pola usahatani optimal; dan (4) penyusunan
tata ruang. Hasil penilaian tahap II ini biasanya disajikan dalam bentuk peta
berskala 1 : 50.000 sampai 1 : 100.000.
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 173

Tahap III. Pada tahap III penilaian dilakukan secara terinci dari apa
yang dilakukan pada Tahap II. Penilaian ini dilakukan pada Satuan Kawasan
Pengembangan (SKP) yang pada tahap II dinilai mempunyai potensi untuk
dikembangkan. Pada tahap III ini dibutuhkan serangkaian survei sumberdaya
lahan dan pemetaan topografi sehingga peta kesesuaian lahan secara terinci dapat
dihasilkan. Hasil ini akan merupakan data dasar utama dalam merencanakan
dan mempersiapkan rancangan Satuan Pemukiman (SP) meliputi tempat tinggal
atau rumah, lahan pertanian (lahan usaha) serta fasilitas umum lainnya seperti
sekolah, pasar, tempat peribadatan, jalan, pusat pemerintahan dan sebagainya.
Hasil tahap III ini akan disajikan dalam bentuk peta-peta dengan skala 1 : 5.000
hingga 1 : 20.000. Hasil tahap III ini dapat dikatakan lebih merupakan rencana
terinci tiap Satuan Permukiman, yang memuat perincian-perincian teknis
sehingga cukup untuk dipakai sebagai pedoman pelaksanaan. Pada dasarnya
setiap rencana Satuan Permukiman akan menunjukkan hal-hal berikut: (1) tata
ruang lahan perkampungan, (2) tata ruang lahan kegiatan usaha (pertanian,
perkebunan, peternakan, dsb) (3) struktur jaringan jalan, (4) penempatan
bangunan-bangunan umum, dan (5) penempatan lapangan-lapangan terbuka
dan areal cadangan untuk perkembangan pusat desa dan perlindungan alam
(Mochtar 1980).
Dalam perencanaan tata ruang dan tata letak lahan usahatani bagi
permukiman transmigrasi, Sostroatmodjo (1980) mengemukakan delapan hal
yang perlu dipertimbangkan sebelum perencanaan tata ruang dan tata letak
dimulai yaitu: (1) memilih dengan seksama jenis usahatani dan areal lahan
usahatani; (2) memilih dengan seksama masyarakat (transmigran) yang akan
ditempatkan; (3) meneliti dengan seksama lahan usahatani yang drainasenya baik;
(4) mengkaji dan menimbang produktivitas tanah setempat; (5) meneliti apakah
tanah sesuai dengan jenis usahatani yang akan diterapkan; (6) menetapkan jenis
bangunan/rumah dan tata-letak pengaturan bangunan-bangunan; (7) meneliti
kemungkinan tersedianya sumber air, baik untuk keperluan air minum maupun
air pengairan; dan (8) penelitian kembali tentang kondisi iklim setempat. Dari
kedelapan hal tersebut, selain butir (2) dan (6), keterangan yang diperlukan dapat
tersedia melalui hasil survei tanah dan evaluasi lahan pada tingkat detail. Uraian
lebih terinci tentang rancangan tata ruang dan tata letak lahan usahatani bagi
permukiman transmigrasi dapat dilihat antara lain dalam Sastroatmodjo (1980).
Perencanaan yang telah dikemukakan dalam Bab ini dapat dikatakan
merupakan pedoman umum dalam perencanaan penggunaan lahan. Perencanaan
penggunaan lahan untuk pertanian maupun untuk keperluan transmigrasi
174 | Perencanaan Penggunaan Lahan

sifatnya dinamis mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi. Dengan demikian


perencanaan operasional berupa pedoman atau manual senantiasa berubah
kearah penyempurnaan sesuai dengan keperluannya. Namun satu hal yang perlu
mendapat perhatian dalam perencanaan ini adalah agar aspek kelestarian fungsi
lingkungan selalu dijadikan sebagai pertimbangan utama, agar pemanfaatan
sumberdaya lahan tersebut dapat optimum serta berkesinambungan.

8.2.2. Suatu Pemikiran Tentang Konsep Penyelenggaraan


Transmigrasi ke depan
Seperti diketahui, sejak dilaksanakannya program transmigrasi telah
menunjukkan berbagai keberhasilan dalam peningkatan taraf hidup dan
kesejahteraan penduduk dan perkembangan wilayah-wilayah yang semula belum
dimanfaatkan. Selain keberhasilan tersebut, di beberapa lokasi dan wilayah
juga menunjukkan kekurang- berhasilan diakibatkan oleh berbagai masalah.
Dalam penyusunan konsep penyelenggaraan transmigrasi ke depan, seyogyanya
kedua hal ini, baik keberhasilan maupun kekurang-berhasilan dengan berbagai
permasalahannya perlu dipertimbangkan agar keberhasilan penyelenggaraan
transmigrasi ke depan dalam berbagai perubahan lingkungan strategisnya
dapat lebih ditingkatkan. Pemikiran ini disusun berdasarkan dua makalah yang
disampaikan penulis pada forum dan serasehan ketransmigrasian (Sitorus 2008;
2011).
Ada dua domain utama penyelenggaraan transmigrasi ke depan yaitu:
1. Membangun wilayah-wilayah yang belum dimanfaatkan atau belum
diusahakan (undeveloped region) menjadi wilayah-wilayah baru yang
produktif dan berkembang sesuai dengan potensi sumberdaya alam (lahan)
nya (agent of development). Kegiatan ini dalam perjalanannya akan dapat
membantu dalam mengembangkan dan memeratakan pembangunan
wilayah dari wilayah-wilayah yang perkembangannya kurang berimbang.
2. Meningkatkan kesejahteraan petani gurem dan buruh tani miskin melalui
pemberian dan penguasaan asset produksi berupa lahan (Sitorus 2008).
Dua aspek kegiatan di atas merupakan kegiatan yang belum ditangani secara
khusus oleh berbagai instansi teknis lainnya. Oleh sebab itu, menurut pandangan
saya program transmigrasi di Indonesia masih sangat relevan dan diperlukan.
Kedua domain utama tersebut akan mempunyai kegiatan dan sasaran pencapaian
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 175

yang berbeda, sehingga keberhasilan penyelenggaraan transmigrasi tidak lagi


dapat disusun dalam bentuk suatu kriteria keberhasilan untuk berbagai kegiatan
penyelenggaraan karena masing-masing penyelenggaraan mempunyai target dan
ukuran keberhasilan yang berbeda-beda.
Keberhasilan penyelenggaraan transmigrasi dapat dilihat dari sejauh mana
transmigran dapat mendayagunakan sumberdaya alam (lahan dan perairan) yang
diberikan untuk tujuan produktif sehingga pendapatan dan kesejahteraan rumah
tangga transmigran meningkat secara berkesinambungan. Dalam hubungan ini
maka ke depan penerapan pola pemukiman transmigrasi dengan usaha pokok
tertentu yang selama ini sangat ketat dan ditentukan terlebih dahulu sudah perlu
direlaksasi dengan penetapan pola usaha pokok (komoditas utama) yang akan
disesuaikan dengan potensi dan kesesuaian sumberdaya lahan serta kebutuhan
pasar lokal dan regional.
Penyelenggaraan transmigrasi ke depan seyogyanya didasarkan pada 5
prinsip yaitu: (1) Pengembangan sumberdaya lahan dan sumberdaya manusia;
(2) Pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan; (3) Pengembangan
kegiatan usaha berbasis rentang agribisnis; (4) Pengembangan partisipasi swasta,
koperasi dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN); dan (5) Pengembangan
wilayah terpadu (Sitorus 2011).
Perencanaan pengembangan sumberdaya lahan perlu didahului dengan
kegiatan survei dan evaluasi sumberdaya lahan sehingga rencana penggunaan
lahan wilayah dapat disusun setepat mungkin sesuai dengan kondisi fisik
wilayahnya. Ketidaktepatan kegiatan ini dapat berakibat fatal terhadap kegagalan
lokasi tersebut. Pengalaman operasional dan penelitian selama lebih dari tiga
dekade memberikan indikasi yang kuat bahwa pada hakekatnya ekosistem lahan
transmigrasi mampu mendukung sistem pertanian modern yang dinamik (lihat
antara lain: Sitorus dan Pribadi 2000; Sitorus et al. 2000a; Sitorus dan Susetio
2000; Sitorus 2002). Meskipun demikian, beberapa sifat dinamik ekosistem lahan
transmigrasi, terutama komponen tanah dan air perlu mendapat perhatian secara
seksama (Sitorus 1999). Hal pertama yang perlu mendapat perhatian terutama
di lahan basah adalah dinamika sifat-sifat kemasaman tanah dalam hubungannya
dengan pengelolaan air sedangkan di lahan kering kemasaman tanah, kesuburan
tanah dan kemiringan lereng. Secara lebih spesifik sifat-sifat kimia tanah yang
memerlukan pengelolaan terpadu adalah : (1) dinamika sifat-sifat kemasaman
tanah dalam hubungannya dengan pengelolaan regim air, (2) keragaman dan
dinamika kesuburan hara makro terutama nitrogen dan fosfor tanah (Sitorus et
176 | Perencanaan Penggunaan Lahan

al. 2000b; 2000c), dan (3) dinamika kesuburan hara mikro terutama Zn, Cu dan
Mo. Selain itu, pengelolaan sifat-sifat fisik tanah terutama yang berhubungan
dengan fenomena penurunan permukaan tanah (soil subsidence) perlu mendapat
perhatian (Sitorus et al. 1999).
Beberapa fungsi pengelolaan tanah dan air yang perlu mendapat perhatian
adalah: (1) pengelolaan tanah dan air haruslah merupakan suatu kesatuan
yang terintegrasi, (2) rencana pengelolaan tanah dan air harus mencakup
horison perencanaan sekurang-kurangnya jangka menengah (lima tahun),
(3) fungsi operasional pengelolaan harus selentur mungkin sehingga dapat
mengakomodasikan dinamika yang tidak terduga, dan keragaman dinamika antar
areal (Sitorus 2000), dan (4) fungsi operasional didasarkan pada pengelolaan
areal.
Terkait dengan sumberdaya manusia, di masa lalu perekrutan dan pemilihan
tenaga kerja pada proyek-proyek pembangunan transmigrasi kelihatannya
bersifat mekanistik dalam pengertian terlalu mengutamakan jumlah. Selain itu,
perekrutan tenaga kerja hanya mengutamakan tenaga kerja kurang terampil di
subsistem produksi saja. Di masa mendatang, perekrutan dan pengembangan
tenaga kerja seyogyanya bersifat fungsional. Perekrutan tenaga kerja tidak
melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi manajemen.
Pengembangan sistem pertanian yang berkelanjutan. Keberlanjutan suatu
sistem secara esensial mengandung tiga dimensi utama yaitu : (1) keberlanjutan
fisik-biologis, (2) keberlanjutan ekonomi, dan (3) keberlanjutan sosial-budaya.
Dalam hubungannya dengan dimensi keberlanjutan fisik-biologis, horison
perencanaan pembangunan transmigrasi haruslah mencakup horison waktu
tak terhingga. Keberlanjutan sistem alamiah yang bersifat dinamik merupakan
fenomena yang tidak dapat dipungkiri. Oleh sebab itu, perubahan ekosistem
alamiah lahan transmigrasi hanya dapat dilakukan jika perubahan tersebut
memberikan manfaat yang nyata pada kesejahteraan penduduk. Selain itu,
manajemen pembangunan transmigrasi sedapat mungkin harus menghindarkan
perubahan-perubahan yang bersifat tidak dapat balik (irreversible) dan perubahan-
perubahan yang mengancam biodiversity ekosistem alamiah.
Pengembangan kegiatan usaha berbasis rentang agribisnis. Sebagian
besar pembangunan transmigrasi di masa lalu didasarkan pada konsep yang
parsial dan terlalu mengutamakan sub-sistem produksi. Di masa mendatang,
dengan timbulnya peluang dan tantangan baru akibat globalisasi ekonomi dan
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 177

transformasi struktur perekonomian nasional, seyogyanya dalam pembangunan


kawasan transmigrasi, konsep agribisnis dapat diterapkan secara utuh. Rencana
dan pelaksanaan pembangunan transmigrasi seyogyanya mencakup ke lima
subsistem yaitu: (1) pengadaan faktor produksi, (2) produksi, (3) pasca panen,
(4) agroindustri, serta (5) distribusi dan pemasaran, dalam satu kemasan secara
terintegrasi. Walaupun dalam beberapa hal keseluruhan subsistem tersebut tidak
dapat dibangun secara serentak tetapi kegiatan investasi, baik oleh pemerintah
maupun swasta, seyogyanya dilaksanakan dengan prinsip : jika suatu subsistem
dikembangkan, terdapat jaminan bahwa subsistem lainnya tersedia dana
investasinya.
Pengembangan partisipasi swasta, koperasi dan BUMN. Deregulasi
kelembagaan yang mengarah pada iklim bisnis yang memungkinkan
berkembangnya mekanisme kompetisi yang sehat dan kerjasama yang saling
menguntungkan di antara pelaku-pelaku ekonomi merupakan salah satu syarat
keberhasilan pembangunan transmigrasi di masa mendatang. Kompetisi yang
sehat dan kerjasama yang saling menguntungkan dapat mendorong peningkatan
produktifitas dan efisiensi sistem ekonomi nasional. Peningkatan produktivitas
dan efisiensi merupakan kinerja utama yang sangat menentukan keberhasilan
Indonesia dalam era globalisasi ekonomi. Sebagian besar dari investasi
pembangunan transmigrasi di masa lalu dilaksanakan oleh pemerintah dengan
tujuan-tujuan yang bersifat umum. Di masa mendatang, dalam pembangunan
transmigrasi, partisipasi seluruh pelaku ekonomi, baik secara sendiri-sendiri
maupun secara bersama-sama, sangat dibutuhkan. Oleh sebab itu, kebijakan
dan strategi yang mengandung unsur-unsur insentif sangat dibutuhkan. Insentif
keterlibatan swasta, koperasi dan BUMN antara lain mencakup subsidi dalam
: (1) pengembangan infrastruktur, (2) jaminan harga sarana produksi, (3)
pengembangan kelembagaan, (4) jaminan harga produk, dan (5) keringanan
pajak.
Pengembangan wilayah terpadu. Unit pengembangan wilayah transmigrasi
dapat meliputi areal yang baru atau areal yang sudah pernah dibuka tetapi
membutuhkan pengembangan lebih lanjut. Pada setiap lokasi transmigrasi
dikembangkan satu komoditas unggulan (utama) dan beberapa komoditas
penunjang. Dalam beberapa hal, unit pengembangan agribisnis tidaklah
merupakan suatu areal yang kontinu, sehingga pengembangan suatu sistem
transportasi yang efisien dapat menjadikan areal tersebut menjadi suatu unit yang
efisien. Komoditas unggulan (utama) pada suatu unit pengembangan ditetapkan
178 | Perencanaan Penggunaan Lahan

berdasarkan asas keunggulan komparatif dan kompetitif. Komoditas penunjang


dikembangkan dengan tujuan: (1) memanfaatkan keragaman sumberdaya lahan,
(2) mengurangi resiko dan ketidak-tentuan bisnis, (3) memanfaatkan fluktuasi
penggunaan tenaga kerja ke arah yang lebih optimal, dan (4) memanfaatkan sifat
komplementer komoditas dalam pengembangan agroindustri.
Pengembangan wilayah transmigrasi perlu mempertimbangkan alternatif-
alternatif pengembangan sistem agribisnis yang mencakup kegiatan pengadaan
faktor produksi, produksi, pasca panen, agroindustri dan pemasaran seperti
dikemukakan terdahulu. Pembangunan infrastruktur wilayah perlu mengindahkan
jenis dan rentang agribisnis yang akan dikembangkan.
Unit pengembangan agribisnis perlu diintegrasikan dengan wilayah
sekelilingnya melalui : (1) pengembangan sistem transportasi dan telekomunikasi
yang fungsional, (2) inovasi kelembagaan yang secara efektif menjembatani
unit pengembangan agribisnis dengan masyarakat dan pasar sekelilingnya dan
(3) pengembangan pusat-pusat pelayanan dan pertumbuhan yang mempunyai
hirarki yang terintegrasi dengan pusat-pusat pelayanan dan pertumbuhan yang
telah ada. Jenis dan jumlah sarana pelayanan yang dibangun pada setiap pusat
pelayanan tergantung pada : (1) jenis komoditas, (2) rentang dan skala agribisnis
yang akan dikembangkan, dan (3) stadia perkembangan ekonomi wilayah, mulai
dari stadia pra-subsisten, subsisten, surplus pasar, agroindustri, industri sekunder
dan jasa.

8.3 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Penyusunan


Rencana Tata Ruang dan Pengembangan Wilayah
Penyusunan rencana penggunaan lahan didahului kegiatan survei atau
inventarisasi tanah atau lahan. Ada dua aspek penting yang perlu dianalisis
yaitu (1) kesesuaian lahan atau kemampuan lahan untuk mengetahui potensi
penggunaan untuk penggunaan yang sedang direncanakan; (2) ketersediaan
lahan atau aspek legalitas/hukum untuk mengetahui ketersediaan lahan untuk
penggunaan yang sedang direncanakan. Hal ini dapat diketahui dengan melihat
peta pola ruang (kawasan budidaya), peta status kawasan (APL atau kawasan
non hutan) dan ijin-ijin skala besar peruntukan untuk penggunaan lain di luar
dari yang direncanakan. Lahan yang tersedia inilah dievaluasi kesesuaiannya
sehingga diketahui lahan yang sesuai dan tersedia. Lahan yang sesuai dan tersedia
ini untuk berbagai kegiatan usaha ekonomi disarankan dialokasikan sebagai kawasan
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 179

budidaya dan yang kurang berpotensi dialokasikan sebagai kawasan lindung


pada pola ruang rencana tata ruang wilayah. Selanjutnya peta rencana tata ruang
ini dapat digunakan dalam penyusunan rencana pengembangan wilayah seperti
dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Proses perencanaan penggunaan lahan, perencanaan tata ruang dan


pengembangan wilayah

Pengembangan wilayah memiliki arti memperbaiki tingkat kehidupan


di wilayah yang ditentukan oleh sistem politik, administratif, kondisi alam,
budaya serta kebijakan pemerintahan daerah, sektor swasta dan masyarakat lokal,
regional dan nasional. Agar hal ini dapat terwujud, perlu ditingkatkan partisipasi
masyarakat dalam proses pembangunan.
Proses perencanaan partisipatif memainkan peran penting dalam
pengembangan wilayah. Perencanaan penggunaan lahan merupakan salah satu
alat yang digunakan untuk menegosiasikan kepentingan kelompok pengguna
yang berbeda dalam wilayah tertentu. Misalnya, kepentingan petani, peternak,
perusahaan pertambangan dan penduduk desa dan kota-kota kecil harus
dapat diakomodasi disuatu wilayah tertentu, namun juga perlu dialokasikan
untuk tempat rekreasi, daerah perlindungan alam dan keanekaragaman hayati.
Perencanaan penggunaan lahan, melibatkan pengguna yang berbeda dan
kelompok kepentingan secara aktif dapat membantu untuk mencapai kompromi
yang memungkinkan untuk pembangunan wilayah berkelanjutan dengan
memperhatikan kepentingan dari semua kelompok pengguna lahan yang ada.
Pengembangan wilayah memerlukan perencanaan penggunaan lahan
yang menggabungkan desa setempat dengan kecamatan, kabupaten/kota dan
mempertimbangkan perencanaan penggunaan lahan provinsi. Dalam hal
180 | Perencanaan Penggunaan Lahan

ini sangat diperlukan kerjasama horisontal dan vertikal serta integrasi proses
perencanaan penggunaan lahan dengan lembaga-lembaga negara yang secara
resmi bertugas untuk mengkoordinasikan proses dan berwenang untuk membuat
rencana penggunaan lahan final sebagai dokumen yang mengikat secara hukum.
Dalam prakteknya, perencanaan penggunaan lahan hanya dapat berhasil
jika konsensus atau kompromi yang kuat pada tujuan pengembangan lahan
dapat disepakati bersama Jalur untuk mencapai tujuan ini harus juga diputuskan
bersama-sama oleh kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda mulai
dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan nasional. Hal
ini mensyaratkan bahwa kepentingan kelompok seperti petani kecil (gurem),
penggembala atau pengrajin dihormati dalam cara yang sama seperti kepentingan
kelompok ekonomi kuat seperti perusahaan pengembang, perusahaan perkebunan,
HTI dan perusahaan pertambangan. Hal ini berarti bahwa proses perencanaan
penggunaan lahan harus mendapat dukungan kuat dari pengambil kebijakan
politik dan para ahli.
Perencanaan penggunaan lahan merupakan alat yang berharga untuk
mencapai pembangunan berkelanjutan di wilayah pedesaan, selama metode
rasional merupakan dasar untuk pengambilan keputusan pembangunan. Namun,
realitas menunjukkan bahwa kekuatan modal atau koneksi pribadi untuk
pengambil keputusan dapat membatalkan semua upaya perencanaan rasional dan
partisipatif jika kontrol demokratis lemah. Oleh karena itu, penguatan demokrasi
tidak hanya terbatas sebagai tindakan pengumpulan jumlah suara (vote) dalam
proses pemilihan kepala daerah atau Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi yang
lebih penting adalah partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan
dan pengendalian pelaksanaan keputusan sebagai dasar untuk menyusun
pengembangan wilayah serta kesuksesan perencanaan penggunaan lahan.
Pembagian sektoral lembaga (kementerian sektor misalnya) memberikan
pengaruh yang besar untuk pengembangan wilayah. Sebagai pendekatan spasial
membutuhkan keterlibatan dan kerjasama dari berbagai macam lembaga yang
aktif berperan dalam berbagai kegiatan pembangunan di daerah-daerah wilayah
pedesaan.
Perencanaan penggunaan lahan adalah alat yang ampuh untuk pengembangan
wilayah. Kerjasama teknis harus selalu memastikan bahwa alat ini digunakan
untuk pembangunan yang berkelanjutan dan berimbang. Tujuan pembangunan
harus disepakati oleh para pemangku kepentingan. Teknis kerjasama tidak
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 181

harus mencoba untuk mentransfer sepenuhnya ide-ide tradisional dan nilai-


nilai budaya sebagai patokan, tetapi berkonsentrasi mengakomodasi aspek-aspek
tersebut dalam kerangka keberlanjutan dalam proses perencanaan penggunaan
lahan wilayah.

8.4 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk


Pengelolaan Sumber Daya Alam
Berkelanjutan
Pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan adalah pengelolaan terpadu
sumberdaya alam yang mengakui nilai-nilai konservasi dan permanfaatan produktif
dan berupaya untuk mencapai keberlanjutan dalam semua jenis penggunaan
sumberdaya. Pengelolaan sumberdaya alam melibatkan penyelidikan tentang
bagaimana sumberdaya digunakan, apa yang mempengaruhinya dan bagaimana
dapat paling baik digunakan, dilindungi dan dilestarikan. Hal ini juga bertujuan
untuk meningkatkan cara orang dan organisasi berinteraksi dengan sumberdaya
alam untuk memastikan ketersediaan jangka panjangnya.Pelestarian lingkungan,
pengendalian erosi, memerangi penggurunan, pengelolaan daerah aliran sungai,
pengelolaan kawasan lindung, pengelolaan daerah penyangga, perlindungan
keanekaragaman hayati, kehutanan berkelanjutan, agro-forestry semua merupakan
bagian dari pengelolaan sumberdaya alam. Pengelolaan sumberdaya alam
bertujuan untuk memberikan kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan
menghadapinya sejumlah tantangan seperti ketidakpastian dalam penguasaan
lahan, kurangnya penegakan hukum, konflik penggunaan lahan, mengubah nilai
ekonomi sumberdaya alam, dan ekspansi pertanian.
Perencanaan penggunaan lahan (PPL) merupakan elemen kunci dari
pengelolaan sumberdaya alam yang efektif. PPL membantu untuk menentukan
penggunaan yang optimum untuk keseimbangan ekologi, ekonomi dan sosial,
sehingga mencegah konflik penggunaan lahan serta konflik sosial. Hal ini
juga dapat membantu untuk memperjelas isu hak penggunaan lahan dan jika
diintegrasikan ke dalam institusi dapat digunakan untuk meningkatkan upaya
penegakan hukum. Perencanaan penggunaan lahan merupakan aspek penting
dalam pengambilan keputusan untuk pengelolaan sumberdaya alam.
Perencanaan penggunaan lahan untuk pengelolaan sumberdaya alam
merupakan instrumen lengkap unsur-unsur meliputi pengumpulan informasi
(data spasial dan atribut), analisis data, prognosis dan pengembangan skenario,
182 | Perencanaan Penggunaan Lahan

perencanaan penggunaan lahan di masa depan, pengambilan keputusan politik,


transformasi rencana dan program menjadi undang-undang atau peraturan
perundangan lainnya, dan kontrol yang harus diterapkan pada tingkat atau skala
yang berbeda (nasional, provinsi, kabupaten/kota) dan adanya partisipasi secara
terintegrasi pada semua tingkatan.
Selama analisis situasi daerah-daerah dapat diidentifikasi lahan yang
terdegradasi dan perlu regenerasi atau secara ekologis sensitif (misalnya hutan
hujan) atau berharga (misalnya nilai konservasi tinggi daerah, daerah yang
menawarkan layanan ekosistem penting atau penting dalam hal keanekaragaman
hayati) dan harus dilindungi dari kerusakan atau konversi menjadi penggunaan
lainnya. Identifikasi “no-go area” dianjurkan dalam situasi tekanan komersial
tinggi. Ini adalah daerah dengan tingkat tinggi karbon, daerah disimpan di
mana konservasi keanekaragaman hayati dianggap penting atau sangat penting,
bagian di mana perubahan penggunaan lahan saat ini akan memiliki dampak
negatif pada kehidupan dan nilai-nilai budaya atau kerusakan jasa lingkungan
penting seperti air mengalir. “No-go area ‘ harus diidentifikasi, ditandai dan
dilindungi dari segala bentuk produksi (pertanian, agribisnis, produksi agro-fuel,
karet, kelapa sawit dan bahan baku lainnya dan lain-lain). Contoh lain adalah
identifikasi partisipatif, demarkasi dan perlindungan lahan adat masyarakat atau
daerah yang melestarikan jasa ekosistem dengan menggunakan sumberdaya
secara tradisional alami. Daerah-daerah penduduk lokal yang digunakan untuk
mempertahankan mata pencaharian mereka perlu diintegrasikan dalam rencana
penggunaan lahan wilayah.
Pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya alam sangat tergantung pada
perkembangan masa depan sektor produktif dan pasar sumberdaya alam. Oleh
karena itu, selama proses perencanaan perlu integrasi antara program publik dan
proyek-proyek yang mempromosikan pertanian (organik, agro-forestry) serta
kebutuhan penduduk setempat.
Pengalaman menunjukkan bahwa eksploitasi sumberdaya alam secara
berlebihan seperti penggundulan hutan hanya bisa dihentikan oleh pendekatan
terpadu, sistematis dan tata kelola sumberdaya alam. Salah satu elemen penting
untuk sukses adalah pembentukan jaminan kepemilikan lahan. Hal ini berarti
dibutuhkan kerjasama antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota.
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 183

8.5 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk


Perlindungan Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman di antara organisme hidup.
Istilah ini meliputi alam dan keanekaragaman hayati pertanian. Keanekaragaman
hayati pertanian berfungsi untuk mempromosikan keamanan pangan secara
umum, terutama di kalangan penduduk miskin di pedesaan. Hal ini sangat
diperlukan untuk adaptasi terhadap perubahan iklim di masa depan. Secara
keseluruhan, keanekaragaman hayati memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap peningkatan pendapatan di daerah pedesaan dan alam sebagai basis
sumberdaya untuk keanekaragaman produksi pertanian dan industri. Pembagian
manfaat keanekaragaman hayati harus tunduk pada peraturan internasional melalui
Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) dan Perjanjian lnternasional tentang
Tanaman Sumberdaya Genetik untuk Pangan dan Pertanian (ITPGRFA).
Penggunaan berkelanjutan dan perlindungan keanekaragaman hayati
merupakan komponen integral dari kesuksesan perencanaan penggunaan lahan.
Prinsip disini keanekaragaman hayati dipertimbangkan dan dihargai pentingnya
bersama-sama dengan penduduk setempat. Konflik kepentingan perlu diselesaikan
dengan lebih baik sehingga penerimaan sosial lebih besar. Pada saat yang sama,
mitra (misalnya sektor swasta) harus dimobilisasi sehingga dapat berperan dalam
melindungi keanekaragaman hayati. Melindungi keanekaragaman hayati tidak
berarti konsentrasi pada spesies individu, melainkan membentuk ekosistem
dan memberikan kontribusi untuk stabilitas atau ketahanan mereka. Hal ini
rnemerlukan pendekatan-pendekatan seperti yang dilakukan dalam perencanaan
penggunaan lahan. Misalnya, ekosistem air hitam di Kalimantan Tengah yang
kaya bakteri dapat saling berhubungan dalam jaringan yang dapat membantu
untuk menghindari pemiskinan genetik.
Menggunakan perencanaan penggunaan lahan sebagai alat untuk
melindungi keanekaragaman hayati juga membantu untuk mengidentifikasi
keanekaragaman hayati karena memungkinkan menciptakan konsensus
yang luas pada penggunaan lahan berkelanjutan dari sumberdaya alam yang
mengarah ke perlindungan keanekaragaman hayati. Hal ini penting mengingat
pendekatan ekosistem sering diabaikan dalam perencanaan penggunaan lahan
dan implementasinya. Sebaliknya, perhatian terpusat pada spesies individu. Hal
ini terjadi terutama ketika ada upaya bersamaan untuk menghasilkan pendapatan
dengan meningkatkan pemasaran spesies individu; Dampak dari pendekatan
184 | Perencanaan Penggunaan Lahan

ini terhadap keanekaragaman hayati (misalnya kurang keanekaragaman hayati)


jarang dipertimbangkan. Keanekaragaman hayati pertanian sangat penting bagi
kesejahteraan penduduk. Kemiskinan penduduk yang ada terutama dipedesaan
sering mengarah ke target kebutuhan jangka pendek penggunaan lahan yang
sifatnya ekstraktif.

8.6 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Taman


Nasional dan Pengelolaan Zona Penyangga
Taman Nasional dan pengelolaan zona penyangga (Buffer Zone Management)
perlu mempertimbangkan berbagai tujuan yang harus dipenuhi dan konflik
yang perlu dicegah. Penelitian pariwisata dan pelestarian ekosistem yang unik
dari satwa liar harus dicapai di daerah inti. Zona penyangga harus tunduk pada
perlindungan yang lebih rendah, karena kebutuhan untuk mengatasi tuntutan
petani subsisten lokal untuk produk hutan.Taman nasional dan pengelolaan daerah
penyangga memerlukan perencanaan jangka menengah dan jangka panjang. Hal
ini mencakup penggunaan sumberdaya dan manajemen rencana serta masalah
pendidikan untuk menyadarkan dan melatih orang serta meningkatkan mata
pencaharian mereka.
Perencanaan partisipatif penggunaan sumberdaya merupakan unsur penting
di zona penyangga taman nasional dan pengelolaannya. Penggunaan sumberdaya
perencanaan mencakup lebih dari satu aspek perencanaan penggunaan lahan,
misalnya termasuk akses dan penggunaan hasil hutan, air atau non-kayu.
Perencanaan penggunaan sumberdaya merupakan dasar/ landasan untuk
pengelolaan taman nasional dan pengelolaan daerah penyangga dengan
menetapkan apa jenis penggunaan yang diperbolehkan dan apa yang dilarang.
Proses perencanaan penggunaan sumberdaya perlu dilakukan secara partisipatif
melalui integrasi masyarakat setempat, yang memungkinkan para pemangku
kepentingan untuk menyumbangkan pengetahuan, berbagi pengalaman dan
bertukar pikiran untuk mengembangkan dan mengimplementasikan rencana
penggunaan sumberdaya dan untuk menyelesaikan berbagai konflik kepentingan.
Hasil perlu diimplementasikan ke dalam kebijakan taman nasional dan mengikat
secara hukum rencana penggunaan lahan serta rencana pengelolaan dan program
untuk menjamin pelaksanaannya. Rencana akhir yang menunjukkan penggunaan
yang diperbolehkan dan yang dilarang di masing-masing zona taman nasional
dan di zona penyangga, perlu dibuat dan tersedia untuk umum, baik masyarakat
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 185

setempat maupun sernua pemangku kepentingan lainnya. Melalui partisipasi


dalam perencanaan penggunaan lahan, perencanaan taman nasional dan zona
penyangga, penggunaan lahan yang adil dan berkelanjutan dapat dicapai, konflik
dapat dinegosiasikan, mata pencaharian dan konservasi dapat ditingkatkan.
Agar sukses dalam merencanakan penggunaan sumberdaya, perencanaan
perlu diakukan dengan baik dan kerjasama yang kuat dengan otoritas publik serta
harus mengikat secara hukum. Apabila penduduk lokal tidak diikutsertakan dan
tidak dihormati oleh semua permangku kepentingan, maka pelaksanaannya akan
mengalami berbagai hambatan sehingga tidak bisa ditegakkan. Langkah-langkah
penting dalam penyediaan informasi dan pengembangan kapasitas petani dan
masyarakat setempat adalah:
a. Mengintegrasikan perwakilan pemerintah daerah, LSM dan perusahaan
media cetak dan elektronik untuk memberitahu mereka tentang rencana,
tujuan dan hambatan;
b. Pelatihan petani dan penduduk setempat terkait Taman Nasional dan
Zona Penyangga dan layanan penyuluhan pertanian menerapkan metode
pendidikan orang dewasa dengan melibatkan mereka di tahap awal sehingga
menjadi alternatif penghasilan baru bagi mereka yang dihasilkan oleh
kegiatan pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan dan aspek konservasi.
Hal tersebut akan meningkatkan perhatian dan meningkatkan pengetahuan
mereka tentang cara untuk melestarikan alam dan kemungkinan sumber
pendapatan alternatif. Untuk mendukung hal ini, akses ke sarana keuangan
(misalnya dana bergulir) harus disediakan. Untuk itu beberapa hal berikut
ini perlu diperhatikan:
1. Keterlibatan para pengambil keputusan dan pemangku kepentingan;
2. Saling percaya;
3. Kerjasama dan kemauan untuk perubahan.
4. Membangun dirinya sebagai broker netral kepentingan;
5. Secara aktif melibatkan semua peserta yang bersangkutan;
6. Menginvestasikan sumberdaya yang cukup dalam pengembangan
kapasitas;
7. Mentransfer pengalaman di tingkat regional (provinsi, kabupaten/ kota
dan nasional).
186 | Perencanaan Penggunaan Lahan

8.7 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk


Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan terjadi ketika semua orang, setiap saat, memiliki akses fisik
dan ekonomi terhadap kecukupan pangan, keamanan dan bergizi yang memenuhi
kebutuhan makanan mereka dan preferensi makanan untuk hidup aktif dan
sehat (World Food Summit 1996). Keamanan Pangan mencakup empat dimensi
yaitu: (1) Ketersediaan pangan; (2) Akses terhadap pangan; (3) Pemanfaatan
yang aman dan sehat dari makanan; (4) Stabilitas ketersediaan pangan, akses
dan pemanfaatan. Perencanaan penggunaan lahan dapat memberikan kontribusi
untuk meningkatkan ketersediaan pangan dalam wilayah di tingkat kabupaten/
kota, provinsi atau nasional dalam beberapa cara:
1. Melalui perencanaan penggunaan lahan, lahan yang digunakan untuk
produksi pangan dapat dizonasi dan dilindungi dari kemungkinan konversi
menjadi lahan non-pertanian termasuk lahan terbangun. Misalnya, melalui
penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
2. Melalui integrasi aturan yang mengatur akses terhadap lahan dan keamanan
kepemilikan, produksi pangan dapat ditingkatkan. Petani akan berinvestasi
untuk memperbaiki lahan atau memulai budidaya komoditas yang lebih
mahal atau bernilai ekonomi tinggi yang memberikan hasil yang lebih tinggi
untuk jangka panjang;
3. Perencanaan penggunaan lahan dalam kombinasi dengan analisis pasar dan
perencanaan infrastruktur dapat meningkatkan akses terhadap pangan.
Selama analisis situasi daerah dengan keunggulan komparatif untuk
intensifikasi produksi pertanian perlu diidentifikasi (misalnya daerah beririgasi
potensial, daerah dengan kesuburan tanah yang tinggi dan daerah dengan akses
yang lebih baik untuk infrastruktur, jasa pertanian dan input lainnya). Selain itu,
semua daerah yang rawan erosi atau bencana alam perlu diidentifikasi dan perlu
disusun langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi. Juga semua bidang
perlu diidentifikasi yang terancam oleh salah penggunaan (misuse), penggunaan
berlebihan (overuse) atau kontaminasi, dan langkah-langkah untuk merehabilitasi
perlu dirumuskan.
Selanjutnya, perlindungan keanekaragaman hayati dapat diusulkan dan
skenario perkembangan masa depan dari perubahan kondisi iklim dapat dibuat
dan dibahas untuk menilai mana tanaman yang perlu diganti oleh perubahan
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 187

iklim/ musim atau daerah-daerah yang pertanian tidak lagi layak dan dapat
beralih ke pemeliharaan ternak atau penggunaan lahan lainnya. Selain itu,
selama analisis situasi pengetahuan tradisional pada produk pertanian dan
metode produksi serta pada pemeliharaan ternak dan produk non-kayu dapat
dimobilisasi dan ditingkatkan. Zonasi untuk penggunaan masa depan, lahan dan
air yang cukup harus disediakan untuk pertanian, produksi peternakan, hutan
kemasyarakatan, perikanan, kebun rumah dan efektif dilindungi dari konversi
menjadi lahan terbangun atau konsesi swasta. Selama tahap perencanaan, para
pemangku kepentingan perlu mendefinisikan peraturan (regulasi) penggunaan
lahan untuk sumberdaya umum dan pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Perencanaan penggunaan lahan dapat berkontribusi terutama untuk
ketahanan pangan, ketersediaan dan akses terhadap pangan. Di banyak daerah,
promosi pertanian serta dukungan produksi pertanian untuk pasar lokal melalui
perencanaan penggunaan lahan dapat berkontribusi terhadap ketahanan
pangan.
Petani kecil benar-benar memiliki peranan besar dalam meningkatkan
produktivitas pertanian dan produksi pangan selama krisis makanan tahun
2007–2008. Oleh sebab itu, perlu dukungan tambahan kepada petani untuk
memproduksi bahan pangan seperti pasar lokal, rekomendasi penyimpanan
makanan, pengolahan dan pemasaran, perbaikan infrastruktur transportasi, akses
ke benih dan kredit. Resiko utama bagi banyak petani kecil adalah ketidakamanan
hak kepemilikan lahan pertanian. Meskipun sebagian besar petani telah
melegitimasi hak sering didasarkan pada kepemilikan adat, masih sering terjadi
tidak diakui oleh negara yang menganggap lahan tersebut sebagai lahan negara.
Dalam pandangan dan tekanan komersial saat ini yang meningkat, jaminan
kepemilikan menjadi sangat penting untuk mencapai ketahanan pangan.
Perencanaan penggunaan lahan sebagai alat untuk mencapai ketahanan
pangan harus berjalan seiring dengan langkah-langkah untuk jaminan kepemilikan
lahan bagi petani kecil. Para investor swasta harus terlibat dalam perencanaan
penggunaan lahan partisipatif sehingga masyarakat lokal dapat mendiskusikan
lahan di masa depan menggunakan bersama-sama dengan mereka dan juga pihak
berwenang lainnya.
188 | Perencanaan Penggunaan Lahan

8.8 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk


Manajemen Resiko Bencana
Manajemen resiko bencana bertujuam untuk menghindari, mengurangi atau
mentransfer efek samping bahaya seperti badai, gempa bumi, banjir, kekeringan
atau bahaya longsor melalui berbagai kegiatan dan tindakan pencegahan, mitigasi
dan kesiapsiagaan. Strategi manajemen resiko bencana dan inisiatif didasarkan
pada penilaian resiko secara partisipatif dengan mempertimbangkan bahaya dan
kerentanan terhadap perubahan iklim atau degradasi lahan untuk membuat
masyarakat lebih tangguh. Manajemen resiko bencana meletakkan penekanan
pada pembangunan kapasitas di semua tingkatan: kabupaten/kota, provinsi dan
nasional.
Di daerah pedesaan khususnya, bencana alam memiliki dampak merugikan
pada usaha pertanian, pengembangan lahan dan sering mengakibatkan kehilangan
nyawa serta merusak investasi perkebunan. Perencanaan penggunaan lahan
merupakan instrumen yang sangat penting dalam manajemen resiko bencana.
Dengan menentukan penggunaan lahan, dapat mempengaruhi kedua kerentanan
penduduk lokal dan infrastruktur serta potensi bahaya, dan dapat digunakan
untuk meminimalkan resiko bencana.
Tujuan dari perencanaan penggunaan lahan untuk manajemen resiko
bencana adalah untuk mencapai pemanfaatan lahan dan sumberdaya alam
yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan lokal dan memperhitungkan
resiko bencana. Manajemen resiko bencana diintegrasikan dalam semua tahap
perencanaan penggunaan lahan melalui pengambilan keputusan, pelaksanaan,
dan pemantauan. Selain resiko yang ada, kecenderungan masa depan yang dipicu
oleh perubahan iklim perlu dipertimbangkan untuk mencapai keberlanjutan.
Manajemen resiko bencana dan perencanaan penggunaan lahan dapat
dikombinasikan setiap saat selama proses perencanaan atau pelaksanaan. Untuk
tujuan ini, hal-hal berikut perlu dimasukkan ke dalam perencanaan penggunaan
lahan:
1. Penilaian resiko (berdasarkan analisis kerentanan bahaya) harus diintegrasikan
dalam penilaian untuk perencanaan penggunaan lahan;
2. Pemetaan resiko harus menjadi bagian dari zonasi dan metode lain untuk
membangun skenario;
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 189

3. Langkah-langkah manajemen resiko bencana harus diintegrasikan dalam


rencana penggunaan lahan, misalnya pengenalan pertanian konservasi untuk
menghindari degradasi lahan;
4. Peraturan daerah untuk menegakkan kriteria dan keputusan penggunaan
lahan perlu secara eksplisit menyebutkan strategi manajemen resiko bencana
yang relevan dan kriteria;
5. Indikator manajemen resiko bencana perlu diintegrasikan dalam pemantauan
dan mekanisme evaluasi;
6. Manajemen resiko bencana harus dipertimbangkan dalam keterlibatan aktor
yang relevan dan mekanisme organisasi (misalnya partisipasi penduduk
beresiko dan pelaku manajemen resiko di tingkat lokal, kabupaten/kota,
provinsi dan nasional).
Perencanaan penggunaan lahan secara signifikan dapat berkontribusi untuk
mencegah bahaya baru, seperti lahan longsor dan banjir, yang sering disebabkan
oleh kesalahan penggunaan lahan. Perencanaan penggunaan lahan juga dapat
mengurangi kerentanan masyarakat dan infrastruktur dengan mengidentifikasi
lokasi yang aman untuk pemukiman, pembangunan berbagai fasilitas pelayanan
dengan menerapkan bangunan yang memiliki standart memadai. Dengan
demikian, penilaian dan pemetaan resiko bencana dalam perencanaan penggunaan
lahan dapat menyelamatkan nyawa manusia dan material serta mengurangi
kerugian ekonomi.
Kontribusi perencanaan penggunaan lahan untuk manajemen resiko
bencana terutama mengacu pada resiko pencegahan mitigasi. Perencanaan
penggunaan lahan tidak bias, bagaimanapun mengesampingkan semua jenis
resiko. Oleh karena itu, perlu dilakukan dan disosialisasikan pengenalan sistem
peringatan dini termasuk pengembangan teknis, identifikasi dari lembaga yang
bertanggungjawab, penentuan rantai peringatan dan definisi Prosedur Operasi
Standar (SOP), meliputi bencana berbagai kegiatan yang bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran dan pengembangan kapasitas.
Dalam rangka memberikan kontribusi terhadap manajemen resiko
bencana, perencanaan penggunaan lahan harus mempertimbangkan bahaya dan
konsekwensi dari pola penggunaan lahan yang ada untuk resiko bencana. Namun
kesadaran kebutuhan ini dan pengetahuan resiko bencana dan pengurangan resiko
190 | Perencanaan Penggunaan Lahan

sering belum ada bahkan di daerah yang sangat rentan bahaya. Oleh karena itu,
penting dilakukan kerjasama teknis untuk mengintegrasikan manajemen resiko
bencana dalam perencanaan penggunaan lahan.
Melalui manajemen resiko bencana, nyawa bisa diselamatkan, kerusakan
dan kerugian dapat dicegah, yang mana hal ini penting bagi pembangunan
berkelanjutan dan keamanan. Di wilayah-wilayah beresiko tinggi, pengelolaan
resiko bencana harus diintegrasikan ke dalam perencanaan penggunaan lahan.
Dalam rangka untuk mengidentifikasi bahaya dan kerentanan di tingkat lokal,
perencanaan penggunaan lahan di daerah perlu didasarkan pada analisis resiko
rinci dan peta, termasuk pemetaan resiko. Selain sebagai sarana untuk mencapai
integrasi manajemen resiko bencana ke dalam perencanaan penggunaan
lahan, checklist manajemen resiko bencana dapat diuraikan dan terintegrasi
menjadi pedoman perencanaan penggunaan lahan nasional untuk membantu
mengidentifikasi dan mempertimbangkan resiko bencana serta manajemen resiko
bencana dalam perencanaan penggunaan lahan.

8.9 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Adaptasi


dan Mitigasi Perubahan lklim
Respon manusia terhadap perubahan iklim global dan variabilitas iklim
dapat dicirikan dalam dua cara yaitu adaptasi dan mitigasi. Adaptasi melibatkan
mengembangkan cara untuk menghindari dampak negatif pada manusia, mata
pencaharian mereka, kegiatan ekonomi dan tempat-tempat dengan mengurangi
kerentanan mereka terhadap dampak perubahan iklim. Contoh adaptasi
termasuk mengubah spesifikasi bangunan, misalnya membuat konstruksi lebih
tahan terhadap badai, membangun infrastruktur untuk melindungi masyarakat
terhadap peningkatan banjir, relokasi bangunan ke tempat yang lebih tinggi
dan membuat perubahan dalam penggunaan lahan seperti beralih menanam
tanaman yang tahan kekeringan, atau mengganti pertanian intensif dengan
pertanian ekstensif. Mitigasi melibatkan usaha untuk memperlambat proses
perubahan iklim global dengan menurunkan tingkat gas rumah kaca di atmosfer.
Contohnya, termasuk mekanisme seperti mengurangi emisi dari deforestasi dan
degradasi hutan atau menanam pohon yang menyerap karbondioksida dari udara
dan menyimpannya didalam dahan atau di batang dan akarnya. Upaya global
untuk mitigasi merupakan prasyarat bagi pembangunan berkelanjutan.
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 191

Di banyak wilayah, khususnya di daerah yang semakin langka air dan daerah
pesisir, tekanan pada lahan akan meningkat melalui perubahan iklim. Mitigasi
dan adaptasi terhadap perubahan ikIim sangat penting bagi masyarakat rentan
untuk memastikan mata pencaharian mereka. Kemampuan masyarakat untuk
beradaptasi dan untuk mengurangi dampak perubahan iklim ditentukan oleh
taraf perkembangan, akses mereka terhadap sumberdaya, pengetahuan ilmiah dan
kapasitas teknis mereka. Oleh karena itu, kontribusi perencanaan penggunaan
lahan untuk adaptasi dan mitigasi untuk perubahan iklim adalah mengubah
Rencana Penggunaan Lahan untuk Adaptasi. Adaptasi terdiri dari menilai
kerentanan dan dampak yang terkait dengan perubahan iklim, mengidentifikasi
dan memprioritaskan pilihan adaptasi, sering dari perspektif lintas-sektoral, dan
mengatur pelaksanaan adaptasi. Dampak dari kebutuhan adaptasi sangat berbeda
dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Oleh karena itu, perencanaan penggunaan lahan
memiliki peran penting untuk bermain di adaptasi terhadap perubahan iklim.
Berdasarkan analisis data iklim yang diamati dan diproyeksikan, pemetaan
kerentanan dapat dimasukkan ke dalam fase analisis perencanaan penggunaan
lahan.Setelah zona rentan di identifikasi, alternatif dan pilihan-pilihan
adaptasi dapat dibahas bersama dan disetujui oleh seluruh stakeholder dengan
dukungan para ahli dari berbagai bidang seperti keteknikan, biologi, kehutanan
dan pertanian. Dengan mempertimbangkan perubahan iklim, perencanaan
penggunaan lahan dapat dibuat tangguh serta berkontribusi beradaptasi dengan
perubahan iklim. Hal ini memungkinkan spesifik adaptasi, misalnya dengan
menyesuaikan penilaian parameter seperti kesesuaian lahan untuk tujuan yang
berbeda.
Adaptasi perubahan iklim memerlukan peningkatan keterampilan ahli
perencanaan penggunaan lahan dan melibatkan aktor-aktor yang relevan dalam
proses. Seringkali, kebijakan nasional atau regional yang menyeluruh dan strategi
untuk adaptasi yang telah dikembangkan dengan baik dapat didukung oleh
perencanaan penggunaan lahan. Perencanaan penggunaan lahan dapat digunakan
untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan dengan membatasi perluasan
pertanian, konversi hutan untuk padang rumput, pembangunan infrastruktur,
penebangan yang merusak dan kebakaran. Perencanaan penggunaan lahan juga
dapat digunakan untuk mengidentifikasi area untuk penyerapan karbon (sebagai
jasa lingkungan dan petani bisa menerima pembayaran), misalnya melalui
aforestasi atau pengenalan agroforestry. Sebagai contoh adalah transformasi
monokultur kopi menjadi perkebunan kopi agroforestry di mana karbon dalam
192 | Perencanaan Penggunaan Lahan

biomassa dan sampah dapat dikalikan dengan 2,5 melalui perkebunan/budidaya


pohon rindang.
Mengintegrasikan mitigasi ke perencanaan menggunakan lahan atau
menerapkan perencanaan penggunaan lahan untuk mengurangi dampak
perubahan iklim mungkin tidak membutuhkan pengenalan alat-alat baru.
Perencanaan penggunaan lahan pada daerah deforestasi atau degradasi hutan
dapat diidentifikasi dan disusun skenario masa depan dan pemanfaatan secara
berkelanjutan. Perencanaan penggunaan lahan juga dapat berfungsi untuk
memantau realisasi perubahan penggunaan lahan. Oleh karena itu, pembahasan
kemungkinan mitigasi perubahan iklim bisa atau harus dimasukkan dalam setiap
kegiatan perencanaan penggunaan lahan.

8.10 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk


Pencegahan dan Penyelesaian Konflik
Penyebab konflik dan beberapa usaha untuk membangun hubungan baru dan
abadi antara kelompok-kelompok yang bermusuhan perlu diketahui dan didalami.
Pencegahan konflik bertujuan untuk mencegah dampak yang ditimbulkan sebagai
akibat konflik. Cukup sering konflik sosial dan sosio ekonomi terjadi sebagai akibat
ketidakstabilan sosial dan konflik atas akses terhadap lahan dan sumberdaya alam
lainnya. Beberapa kejadian seperti nasionalisasi lahan tradisional di bawah rezim
milik bersama, privatisasi yang ilegal atau tidak bertanggung jawab terhadap
alokasi lahan publik (misalnya untuk perusahaan asing), peningkatan kelangkaan
lahan karena lingkungan terdegradasi atau perubahan iklim dapat menyebabkan
konflik lahan yang sering menyamar sebagal konflik etnis atau politik. Ada
beberapa cara untuk mencegah dan menyelesaikan konflik tersebut. Cara khas
resolusi konflik adalah melalui fasilitasi, moderasi, konsultasi, konsiliasi, mediasi,
arbitrase dan ajudikasi oleh pengadilan, lembaga-lembaga politik, serta lembaga
adat dan agama. Dalam kasus konflik lahan, resolusi konflik perlu disertai dengan
pemberian lahan dan alat-alat manajemen, seperti perencanaan penggunaan
lahan.
Perencanaan penggunaan lahan merupakan instrumen kunci dalam
rekonsiliasi persaingan dalam lahan antara individu maupun kelompok,
antara desa yang berbeda dan pengguna yang berbeda serta antara pemegang
hak tradisional dan otoritas negara atau perusahaan swasta. Partisipasi dalam
perencanaan penggunaan lahan yang komprehensif dan panduan penggunaan
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 193

lahan di masa depan serta menghormati pengguna lahan yang ada merupakan
alat yang efektif untuk mencegah dan memecahkan konflik lahan.
Konflik lahan dapat dicegah jika semua pihak terkait yang terlibat dalam
lahan secara bersama-sama menggunakan hasil perencanaan penggunaan lahan.
Dalam kasus konflik yang ada, diskusi tentang lahan saat ini dan masa depan
menggunakan definisi bersama aturan penggunaan lahan dapat membantu
mengurangi atau bahkan menghentikan konflik penggunaan lahan. Hal ini dapat
dilakukan melalui penyusunan peta penggunaan lahan dan rencana penggunaan
lahan perjanjian lokal dengan penduduk setempat.
Pengalaman menunjukkan bahwa konflik lahan dan sumberdaya lainnya
dapat dikurangi secara signifikan oleh perjanjian lokal yang menetapkan
transparansi penggunaan lahan, memperkuat pendekatan konsensus dalam
masyarakat, meningkatkan rasa tanggung jawab, memperkenalkan denda dan
mengandalkan kontrol sosial. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk
menyelesaikan konflik lahan antara lain :
a. Rekomendasi perbaikan badan penyelesaian konflik dan mekanisme dengan
tujuan untuk membangun berbagai pilihan, termasuk penyelesaian sengketa
alternatif dalam hirarki yang jelas dan lembaga yang bebas dari kepentingan
dan korupsi;
b. Meningkatkan transparansi konflik lahan yang ada dan menciptakan
kesadaran dalam masyarakat pada tingkat dan bentuk konflik lahan yang
ada di wilayah mereka.
Tantangan utama untuk kerja sama teknis adalah meyakinkan semua pihak
yang konflik, termasuk pemangku kepentingan yang kuat (terutama dalam kasus
konflik asimetris) agar semua pihak bersedia menggunakan proses perencanaan
penggunaan lahan. Hal ini dapat membantu untuk mencegah atau menyelesaikan
konflik lahan.

8.11 Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Tata


Kelola Lahan yang Bertanggung Jawab
Tata kelola lahan menyangkut aturan, proses, dan struktur di mana
keputusan yang dibuat tentang akses terhadap lahan dan penggunaannya, cara di
mana keputusan diimplementasikan dan ditegakkan serta cara mengatasi konflik
kepentingan di lahan yang dikelola. Tata kelola lahan meliputi hukum, adat,
194 | Perencanaan Penggunaan Lahan

agama, aturan dan proses yang mengatur akses dari penggunaan lahan. Tata
kelola lahan yang lemah menimbulkan campur tangan negara, akuisisi lahan
skala besar dan sewa (sering mengabaikan hak-hak masyarakat lokal atas lahan)
dan korupsi administratif (misalnya alokasi ilegal izin bangunan karena suap).
Sejalan dengan itu, tata kelola lahan yang bertanggung jawab berarti bahwa semua
pengambilan keputusan penggunaan lahan serta penegakannya dan rekonsiliasi
konflik kepentingan dilakukan dengan cara yang adil dan transparan, yang
memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara berimbang dan untuk
menerima masukan yang memadai, sementara pada saat yang bersamaan dijamin
pengembangan lahan secara ekonomi, sosial dan lingkungan yang berkelanjutan
(FAO/UN-HABITAT 2009).
Tata kelola lahan yang bertanggung jawab ditandai dengan prinsip-prinsp
berikut: keadilan, akuntabilitas, transparansi, efektivitas, supremasi hukum,
kepastian hukum, keterlibatan masyarakat, keamanan dan keberlanjutan.
Kontribusi perencanaan penggunaan lahan untuk tata kelola lahan yang
bertanggung jawab adalah perencanaan penggunaan lahan yang efektif,
transparan dan partisipatif memberikan kontribusi terhadap panggunaan lahan
yang bertanggung jawab:
1. Partisipasi yang luas memungkinkan untuk masuknya kebutuhan masyarakat
saat ini dan masa depan dalam pengambilan keputusan penggunaan lahan;
2. Transparan dalam perencanaan penggunaan lahan akan mengurangi peluang
untuk korupsi administratif dan dengan demikian membatasi resiko bagi
masyarakat miskin pedesaan secara de facto kehilangan hak atas lahannya;
3. Perencanaan penggunaan lahan merupakan instrumen kunci untuk
mendamaikan berbagai kepentingan dalam penggunaan lahan, sehingga
mencegah konflik penggunaan lahan;
4. Perencanaan penggunaan lahan dapat membantu mengidentifikasi
penggunaan dan kepemilikan hak-hak masyarakat lokal atas lahan dan
mempersiapkan diri untuk pengakuan formal mereka (legalisasi);
5. Perencanaan penggunaan lahan dapat membantu untuk menghindari
tumpang tindih konsesi negara dengan lahan pertanian, padang rumput dan
hutan kemasyarakatan masyarakat lokal.
Bab VIII Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Berbagai Keperluan | 195

Perencanaan penggunaan lahan yang dilakukan bersama oleh semua


pemangku kepentingan yang relevan dan didukung oleh para ahli merupakan alat
yang ideal untuk memastikan bahwa pengambilan keputusan atas penggunaan
lahan (setidaknya sebagian akses terhadap lahan) serta penegakan dan rekonsiliasi
benturan kepentingan dilakukan dengan cara yang adil dan transparan. Hal ini
memungkinkan orang untuk berpartisipasi dan menerima bagian yang memadai
secara adil, sementara pada saat yang sama menjamin pengembangan lahan secara
ekonomi, sosial dan lingkungan yang berkelanjutan.
Pengenalan masing-masing perencanaan penggunaan lahan partisipatif
tergantung pada orang-orang yang benar-benar mendapatkan keuntungan.
Perencanaan penggunaan lahan sebagai alat atau kontribusi terhadap tata kelola
lahan yang baik. Oleh karena itu, hanya dapat berhasil diperkenalkan dan
diberikan negara jika ada kemauan politik untuk transparansi, akuntabilitas,
kesetaraan dan keadilan. Dengan kata lain pemerintah yang baik ada di antara
mereka yang sedang berkuasa.
Tantangan utama terletak pada pelaksanaan rencana penggunaan lahan yang
dikembangkan secara partisipatif. Di sejumlah negara, penggabungan rencana
penggunaan lahan ke lembaga dan mekanisme pengelolaannya juga masih tetap
merupakan tantangan. Pelembagaan dan implementasi memerlukan pendekatan
yang lebih holistik untuk lahan menggunakan perencanaan penggunaan lahan,
termasuk pengembangan kapasitas institusi yang bertanggung jawab atas
perencanaan dan pelaksanaan rencana penggunaan lahan dan pengendalian yang
menyertainya.
Meningkatnya kelangkaan lahan memerlukan perencanaan penggunaan
lahan untuk tujuan yang berbeda, semua bertujuan untuk mengoptimalkan
penggunaan lahan dan sumberdaya serta menghindari konflik penggunaan
lahan, erosi dan kerusakan tanah. Tujuan jangka panjang, jangka pendek, tujuan
ekologi, sosial, dan budaya harus seimbang. Perencanaan penggunaan lahan dapat
diterapkan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dalam wilayah tertentu
(pengembangan wilayah) atau secara khusus untuk menjamin perlindungan jasa
ekosistem, keanekaragaman hayati dan nilai-nilai konservasi tinggi (pengelolaan
sumberdaya alam, manajemen taman nasional, pengelolaan daerah penyangga).
Hal ini dapat membantu untuk mengurangi dampak perubahan iklim atau
beradaptasi, untuk mencegah bencana, untuk menjamin keamanan pangan,
untuk mengurangi dan meningkatkan tata kelola lahan. Pengalaman menunjukan
196 | Perencanaan Penggunaan Lahan

bahwa sebagian besar faktor penting dalam perencanaan penggunaan lahan


adalah peningkatan kesadaran, partisipasi masyarakat, pembangunan kapasitas,
kelembagaan, persetujuan formal dan status yang mengikat secara hukum
BAB IX
PERENCANAAN PENGGUNAAN
LAHAN BERKELANJUTAN DAN
CONTOH PERENCANAAN DI
BEBERAPA NEGARA

9.1 Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan


Perencanaan Penggunaan lahan dalam perspektif keberlanjutan mencakup
2 topik penting yaitu : 1. Perencanaan penggunaan lahan dan 2. Keberlanjutan.
Perencanaan penggunaan lahan terkait dengan perencanaan aktif dari lahan untuk
digunakan di masa mendatang untuk memenuhi kebutuhan manusia meliputi
kebutuhan makanan, tempat tinggal, lokasi industri, tempat untuk relaks dan
menikmati keindahan panorama alam/lanskap, tempat beternak dan melakukan
kegiatan budidaya pertanian dan lain sebagainya.
Menurut van Lier et al. (1994), ada 2 dimensi penting dari konsep
perencanaan penggunaan lahan: (1) Berhubungan dengan kajian dan kebijakan
yang utamanya bertujuan untuk memutuskan aktifitas apa yang akan dilakukan
dan di mana. Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan penggunaan lahan.
Sering disebut sebagai perencanaan fisik (physical planning) atau rencana
penggunaan lahan (land use plans ). Dalam rencana seperti ini, penggunaan lahan
dimasa depan dikelompokkan dan terbatas untuk areal tertentu untuk masing-
masing tipe penggunaan lahan. Terbatas dalam hal ini bisa juga mencakup skala
intensitas untuk tipe penggunaan lahan tertentu (misalnya; dalam usahatani)
atau ukuran dan jenis bangunan dan konstruksi bangunan lainnya (misalnya
198 | Perencanaan Penggunaan Lahan

kota baru, daerah industri atau prasarana). (2) Terkait dengan perubahan aktual
penggunaan lahan dan kondisi fisik untuk penggunaan lahan yang direncanakan.
Dalam banyak kasus, tipe penggunaan lahan ini mengikuti perencanaan fisik.
Hal ini dilakukan mengikuti penggunaan lahan yang direncanakan seperti
ditentukan dalam perencanaan fisik. Sebagai contoh: proyek-proyek realokasi
lahan atau konsolidasi lahan atau proyek rekonstruksi lahan.
Keberlanjutan (sustainability) menurut Brundtland Commission (1987)
adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk masa kini tanpa
mengabaikan kemampuan generasi masa mendatang untuk dapat memenuhi
kebutuhannya. Hal ini menekankan pada fakta penting bahwa pembangunan
harus dilaksanakan dengan cara dimana sumberdaya alam tidak dieksploitasi tetapi
digunakan dengan cara yang dapat menjamin penggunaan yang berkelanjutan di
masa mendatang. Hal inilah yang merupakan arah pembangunan berkelanjutan
yaitu proses perubahan dimana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi
pengembangan teknologi dan perubahan kelembagaan semuanya berada secara
harmoni.
Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa tanpa suatu kebijakan dan
perencanaan penggunaan lahan, terutama di kawasan pedesaan pada negara/
daerah yang berkembang pesat akan mengakibatkan terjadinya salah penggunaan
(misuse), penggunaan yang berlebihan (over use), kerusakan dan kehilangan
sistem alami. Berbagai permasalahan telah dijumpai terkait dengan erosi tanah,
degradasi tanah, pencemaran udara, air dan tanah, perubahan landsekap alami,
dan hilangnya ekosistem alami.
Beberapa kerusakan dan kehilangan terjadi pada faktor-faktor biotik, abiotik
dan antropogenik (manusia) adalah sebagai berikut :
Faktor abiotik: kerusakan yang paling penting adalah penggurunan/
desertifikasi, erosi tanah, pencemaran air, tanah dan udara.
Desertifikasi: merupakan hasil hubungan yang buruk antara manusia dan
lahan yang mendukung kehidupannya. Sekitar 20 juta ha lahan yang terdegradasi
mengarah pada kondisi dimana tidak ada lagi pertumbuhan/hasil tanaman
pertanian.
Erosi tanah merupakan contoh yang jelas kombinasi dari perencanaan yang
salah dengan pengelolaan lahan yang salah (mis management of the land). Penyebab
utamanya adalah salah pengelolaan antara lain melalui sistem pertanaman
(cropping system) yang salah.
Bab IX Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan dan Contoh Perencanaan
di Beberapa Negara |199

Pencemaran tanah dan Air. Pencemaran tanah dan air berhubungan dengan
perkembangan sosio-ekonomi masyarakat. Hal ini terkait dengan peningkatan
jumlah dan intensitas industri, sistem produksi pertanian dan kaitannya dengan
pola konsumsi, peningkatan jumlah unsur organik dan anorganik merupakan
bagian dari sistem tanah-air.
Pencemaran Udara. Peningkatan polusi udara telah mengakibatkan
beberapa fenomena dan yang sangat menonjol adalah hujan asam dan pengaruh
gas rumah kaca. Hujan asam telah mempengaruhi atau berdampak negatif
terhadap hutan, sungai, danau dan ekosistem.
Di Eropa, industri berat dan sistem usahatani intensif di Inggris dan Perancis
menyebabkan kerusakan pada danau dan hutan. Pencemaran udara tidak hanya
berpengaruh langsung terhadap ekosistem, hutan, dan sebagainya, tetapi juga
mempunyai pengaruh jangka panjang melalui perubahan iklim.
Terkait kerusakan biotik, bentuk yang umum adalah perubahan landskap
dan hilangnya kondisi alami. Perubahan dan kehilangan disebabkan oleh
perubahan metode berusahatani. Terkait dengan kebutuhan peningkatan
produksi dan penurunan biaya produksi, beberapa proses telah dilaksanakan
pada pertanian seperti memperbesar skala usaha, intensifikasi, mekanisasi, dan
pemberian bahan-bahan kimia. Hal ini mempunyai pengaruh negatif terhadap
landskap pada umumnya serta tumbuhan alami dan satwa liar.
Faktor Manusia (anthropogenic). Perpindahan penduduk dari pedesaan
mengakibatkan penurunan jumlah penduduk (outmigration) di perdesaan.
Keuntungan mengusahakan lahan usahatani terlalu rendah sehingga mengakibatkan
banyak kaum muda pedesaan meninggalkan desa mencari pekerjaan kemana saja.
Desa-desa kemudian menjadi terlalu kecil untuk dibangun toko, sekolah dan
sebagainya. Hal ini mempercepat proses penurunan perkembangan desa.
Penggunaan lahan berkelanjutan perlu didasarkan pada arti dan deskripsi/
uraian perencanaan penggunaan lahan dalam arti praktis sekarang dan pengertian
berkelanjutan dalam dua dimensi seperti diuraikan terdahulu. Perencanaan
penggunaan lahan perlu menggabungkan keberlanjutan, baik dalam kebijakan
maupun dalam implementasi: perencanaan fisik menetapkan tipe penggunaan
lahan dan lokasinya dan perencanaan untuk memperbaiki kondisi spasial/fisik
seperti diilustrasikan pada Gambar 15.
200 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Gambar 15 Perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan

Dalam hal ini perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan dapat


didefinisikan sebagai instrumen untuk menyusun kebijakan penggunaan lahan,
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut pada lokasi yang tepat dari
berbagai penggunaan lahan dan untuk memperbaiki kondisi spasial dan fisik
kawasan pedesaan untuk penggunaan lahan optimum dan proteksi sumberdaya
alam untuk jangka panjang, sementara itu juga memenuhi kebutuhan dan aspirasi
generasi sekarang.

Sistem Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Pembangunan


Perdesaan Berkelanjutan
Pembangunan perdesaan dilakukan baik di negara-negara berkembang
maupun di negara-negara maju. Penggunaan lahan perdesaan berbeda secara
mendasar dari perencanaan penggunaan lahan perkotaan. Perencanaan
Bab IX Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan dan Contoh Perencanaan
di Beberapa Negara |201

penggunaan lahan perkotaan diimplementasikan utamanya untuk permukiman,


areal komersial, industri, perkantoran. Perencanaan penggunaan lahan perdesaan
meliputi tidak hanya areal pemukiman tetapi juga lahan pertanian, hutan dan
bisa meliputi areal desa kecil hingga areal yang jauh lebih luas. Dalam hubungan
ini perlu dikembangkan metodologi perencanaan penggunaan lahan secara
sistematis menurut struktur hirarki areal perdesaan. Kitamura dan Kobayashi
(1994) mengusulkan ide teoritis sistem perencanaan penggunaan lahan sebagai
dasar pembangunan perdesaan berkelanjutan dalam kaitan dengan penyusunan
rencana penggunaan lahan untuk mengatasi (memecahkan) isu-isu lingkungan
dunia.
Ada empat aspek perbedaan perencanaan penggunaan lahan di kawasan
perdesaan dengan di kawasan perkotaan:
1. Luas areal untuk perencanaan regional (wilayah) dapat mulai dari beberapa
hektar dari satu desa hingga 100.000 ha atau lebih. Perencanaan penggunaan
lahan kawasan perdesaan pada umumnya meliputi luas areal kira-kira
sepuluh kali dari kawasan perkotaan. Skala minimum 1: 50.000 sampai 1:
10.000 peta kawasan perkotaan bahkan kadang-kadang diperlukan peta-
peta skala 1: 1.000 atau 1: 500. Untuk perencanaan penggunaan lahan
perdesaan, merupakan keharusan untuk menentukan skala peta yang sesuai
untuk penggunaan lahan, misalnya 1: 50.000 sampai 1 : 25.000. Apabila
suatu penggunaan lahan tidak dapat kelihatan pada peta dengan skala yang
tersedia, maka hal ini menjadi tidak berguna.
2. Kondisi lahan di kawasan perdesaan mencerminkan berbagai aspek yaitu
aspek kondisi alami, budaya dan prasarana. Oleh sebab itu, seluruh areal
yang direncanakan pertama-tama harus dievaluasi dalam berbagai aspek
yaitu: topografi, geologi, hidrologi, ekologi, budaya, dan sebagainya.
Berdasarkan hasil evaluasi menyeluruh berbagai aspek tersebut, perencana
perlu menggunakan metode perencanaan di mana kategori penggunaan
lahan seperti areal konservasi alam, lahan pertanian, kehutanan dan pada
waktu yang bersamaan ditentukan lokasi untuk pemukiman dan alinemen
jalan (line of the roads).
3. Kategori penggunaan lahan di kawasan perdesaan tidak hanya areal
pemukiman saja, tetapi juga areal-areal pertanian, kehutanan, konservasi
sumberdaya alam, dan wisata alam yang diperluas. Penggunaan lahan
perdesaan dengan masing-masing kategori mempunyai keperluannya
sendiri-sendiri. Misalnya, produksi pertanian atau nilai ekologi.
202 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Perencanaan penggunaan lahan perkotaan hanya mempunyai keperluan


yang sederhana yaitu membuat lingkungan kehidupan yang lebih baik
bagi warganya, sedangkan perencanaan penggunaan lahan perdesaan dapat
dikarakterisasikan sebagai keperluan berganda (multi purpose). Sebagai
contoh: dalam perencanaan penggunaan lahan perkotaan, luas (ukuran)
penggunaan lahan menurut kategori semata-mata ditentukan oleh populasi
(jumlah penduduk). Berbeda halnya dalam perencanaan penggunaan lahan
perdesaan, luas (ukuran) penggunaan lahan menurut kategori ditentukan
oleh populasi (jumlah penduduk) dan keseimbangan struktur pertanian dan
industri. Konservasi alam ditentukan dengan prinsip-prinsip ekologi. Hutan
buatan (hutan tanaman industri) ditentukan oleh keperluan produksi hutan.
Areal rekreasi ditentukan oleh hubungan antara jumlah populasi (penduduk)
dan struktur sosio-ekonomi wilayah.
4. Prinsip metode perencanaan juga berbeda. Prinsip perencanaan dalam
perencanaan perkotaan utamanya didasarkan atas prinsip-prinsip optimasi.
Akan tetapi, di perdesaan ditentukan oleh prinsip kecukupan (satisfactorily
principle) dengan kombinasi berbagai keperluan.

Sistem Hirarki Perencanaan Penggunaan Lahan


Menurut Kitamura dan Kobayashi (1994), skala peta harus dibuat sesuai
dengan perencanaan penggunaan lahan di kawasan perdesaan yaitu dengan
memilih skala sesuai dengan luasan areal perencanaan dan menyesuaikan
perencanaan penggunaan lahan menurut skala peta.
Ada 3 tingkat (level) klasifikasi penggunaan lahan:
1. Penggunaan lahan utama (major land use)
2. Penggunaan lahan menengah (middle land use)
3. Penggunaan lahan kecil (minor land use)
Penggunaan lahan distrik yang luas seperti kota besar dan wilayah provinsi
akan dinyatakan sebagai kawasan (region) seperti kawasan industri (industrial
region), kawasan kota (city region) disebut sebagai penggunaan lahan utama (major
land use). Penggunaan lahan kecil (minor land use) lahan dibagi atas petakan
(lot) demi petakan (lot). Penggunaan lahan menengah (middle land use) membagi
lahan atas areal (area) seperti areal pertanian, areal permukiman, areal kehutanan.
Mereka mengusulkan untuk mempertimbangkan penggunaan lahan dengan
Bab IX Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan dan Contoh Perencanaan
di Beberapa Negara |203

citra (image) yang berbeda dari penggunaan lahan utama hingga penggunaan
lahan kecil (minor) menurut besar atau luas areal perencanaan. Atas dasar hal-hal
tersebut di atas, perencanaan penggunaan lahan juga dibagi ke dalam 3 kategori
yaitu perencanaan penggunaan lahan utama (major), menengah (middle), dan
kecil (minor).
1. Perencanaan Penggunaan Lahan Utama (major land use planning)
• Unit evaluasi: kawasan (region)
• Skala peta: lebih kecil dari 1: 50.000
• Tema utama: terletak pada keputusan karakteristik wilayah untuk
penggunaan lahan
• Kebutuhan untuk penggunaan lahan utama ditentukan oleh berbagai
aktifitas manusia seperti industri, usahatani keluarga petani (household),
dan berbagai fasilitas.
2. Perencanaan Penggunaan Lahan Menengah (middle land use planning)
• Skala Unit evaluasi: areal (area)
• Peta: 1: 5.000 sampai 1: 10.000
• Mengikuti keperluan perencanaan yang ditentukan pada perencanaan
penggunaan lahan utama dan dapat dipertimbangkan sebagai
perencanaan penggunaan lahan untuk demarkasi (demarcation) di
antara areal.
• Areal yang digunakan bukan petakan (lot) demi petakan, tetapi kelompok
(group) petakan lahan dengan apa yang ada di lapangan termasuk jalan
dan saluran air.
3. Perencanaan Penggunaan Lahan Kecil (minor land use planning)
• Unit evaluasi: petakan (lot)
• Skala peta: 1: 500 sampai 1: 1.000
• Petakan (a lot) merupakan satuan lahan menurut kategori penggunaan
lahan dihubungkan dengan registrasi kepemilikan riel (kadaster). Akan
tetapi, satuan tidak selalu berupa petakan (lot) apabila petakan tersebut
tidak berhubungan langsung dengan kepemilikan lahan.
204 | Perencanaan Penggunaan Lahan

• Perencanaan penggunaan lahan kecil ini dapat digunakan sebagai kontrol


penggunaan lahan legal (zonasi). Rencana ini dapat mengklarifikasi
batas-batas petakan (borderlines of lots) dan kontrol cara penggunaan
lahan pada masing-masing petakan.
Ketiga tingkat perencanaan penggunaan lahan berhubungan erat satu
sama lain seperti terlihat pada Gambar 16.

Gambar 16 Hubungan antara ketiga tingkat (level) perencanaan penggunaan


lahan

Untuk mengetahui pelaksanaan perencanaan penggunaan lahan di berbagai


belahan dunia, berikut ini akan dikemukakan secara ringkas beberapa contoh
perencanaan penggunaan lahan di beberapa negara yaitu di Asia Tenggara,
Republik Rakyat Tiongkok, Afrika Barat, Afrika Selatan, dan Amerika Latin.

9.2 Perencanaan Penggunaan Lahan di Asia


Tenggara
Selama dua dekade terakhir, negara-negara di Asia Tenggara mengalami
pertumbuhan perkonomian yang cepat. Namun, peningkatan standar hidup
sebagian dibayangi oleh degradasi lingkungan yang serius. Tekanan di daratan,
terutama terhadap produksi beras dataran banjir yang paling berharga semakin
meningkat karena perluasan areal perumahan, industri, perkebunan atau
Bab IX Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan dan Contoh Perencanaan
di Beberapa Negara |205

konstruksi jalan. Pada saat yang sama, daerah hulu telah gundul dan banyak
daerah pedalaman pedesaan tertinggal dalam hal pengembangan dibandingkan
dengan wilayah pesisir yang lebih makmur. Hal ini akan mempercepat migrasi
dari desa ke kota. Kebutuhan untuk perencanaan yang lebih sistematis dan
terlembaga terhadap pemanfaatan lahan pada berbagai tingkat pemerintahan
sangat dirasakan dan kerangka kerja kelembagaan untuk pendekatan administrasi
regulasi perencanaan penggunaan lahan telah didirikan di banyak negara.
Negara-negara dengan sistem politik dan pengalaman sejarah yang berbeda
telah melakukan perubahan administratif yang luar biasa. Sistem administrasi yang
sangat terpusat telah melihat pelimpahan fungsi regulasi dan administrasi dari
tingkat nasional hingga tingkat pemerintah provinsi (regional) dan kabupaten/
kota (lokal) terrnasuk mandat dan tanggung jawab untuk merencanakan
penggunaan lahan lokal dan pengelolaan lahan. Pendekatan perencanaan tata
guna lahan teiah diprakarsai oleh LSM dan lembaga donor di banyak negara
di Asia Tenggara pada tahun 1980-an dan tahun 1990-an. Di antara lembaga-
lembaga tersebut, GTZ telah memainkan peran utama dalam proses ini. Awalnya,
perencanaan penggunaan lahan memiliki cakupan wilayah yang terbatas dan
terutama dilakukan dalam konteks proyek pengelolaan DAS.
Di wilayah Mekong Vietnam, awal pendekatan untuk perencanaan
penggunaan lahan memiliki banyak kesamaan di antara negara-negara yang
terletak di tepi pantai, tetapi dengan perkembangan waktu mengambil arah yang
berbeda. Perbedaan ini terutama disebabkan oleh berbagai tingkat desentralisasi
administrasi, tanggung jawab kelembagaan dan berbeda tujuan keseluruhan
untuk perencanaan penggunaan lahan.
Di Kamboja, perencanaan penggunaan lahan telah dibakukan dan
telah menjadi bagian integral dari sistem perencanaan secara keseluruhan. Di
Kamboja, Kelompok Dewan Rencana Pemanfaatan Lahan merupakan bagian
dari sistem perencanaan pembangunan yang terdesentralisasi dan di praktekkan
oleh Kelompok Dewan di seluruh bagian negara.
Di Thailand perencanaan penggunaan lahan dimulai pada tahun 1980
dengan fokus pada pengelolaan DAS dan pengurangan opium. Sejak saat itu
telah diperluas ke berbagai daerah pegunungan, khususnya di bagian barat negara,
tetapi tidak pernah menjadi prosedur dan peraturan yang dilembagakan. Elemen
perencanaan penggunaan lahan telah diperkenalkan dalam rencana wilayah
sungai yang lebih baru.
206 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Di Vietnam pemerintah mulai mengelaborasi dan secara teratur memperbarui


rencana induk penggunaan lahan untuk semua kabupaten dan provinsi sebagai
bagian dari pendekatan perencanaan pembangunan nasional. Dalam konteks
pengelolaan DAS lokal dan hutan kemasyarakatan, pendekatan yang lebih
partisipatif diperkenalkan di tingkat komunitas pada tahun 1990-an. Saat ini,
perencanaan penggunaan lahan lokal secara luas dilakukan di kawasan hutan dan
pegunungan, sedangkan rencana induk masih kurang memperhatikan hal ini.
Di Filipina pemerintah telah memberikan tanggung jawab kepada kota
(kabupaten) dan kepala pemerintah daerah dalam perencanaan penggunaan
lahan yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya. Kota-kota tersebut
harus menetapkan apa yang disebut Comprehensive Land Use Plans (CLUPs)
untuk wilayah mereka, yang membatasi zona penggunaan lahan khusus
untuk kehutanan, perlindungan lingkungan, produksi pertanian dan perluasan
pemukiman perkotaan. Rencana pembangunan sektor kehutanan, air dan
sanitasi atau reformasi lahan harus diselaraskan dan terintegrasi dengan rencana
penggunaan lahan umum yang komprehensif. Padahal sebelumnya alat-
alat modern teknis perencanaan penggunaan lahan seperti pemetaan digital,
penggunaan lahan berdasarkan foto udara dan citra satelit dan survei darat (GPS)
banyak digunakan terutama dikaitkan dengan proyek-proyek khusus dari dana
donor asing. Banyak pemda sekarang sudah mulai membangun kelembagaan
mereka sendiri. GIS dan unit pemetaan menghasilkan dan memelihara dokumen
perencanaan digital mereka sendiri atau menggunakan jasa perusahaan GIS.
Sebuah kendala utama untuk penggunaan alat-alat perencanaan penggunaan lahan
digital adalah kurangnya resolusi basis data digital yang lebih tinggi. Meskipun
kerangka kelembagaan telah ada dan beragam alat administratif dan hukum
banyak, rencana penggunaan lahan secara hukum telah gagal mempengaruhi
pola penggunaan lahan secara langsung dalam arah yang dituju. Masalah utama
biasanya adalah lemahnya implementasi dan penegakan hukum.
Tantangan utama dari perencanaan penggunaan lahan di wilayah tersebut
adalah:
1. Membina kemauan politik untuk mengembangkan sistem perencanaan
penggunaan lahan yang komphensif;
2. Memungkinkan dan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses
perencanaan penggunaan lahan;
Bab IX Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan dan Contoh Perencanaan
di Beberapa Negara |207

3. Mengintegrasikan perencanaan penggunaan lahan pendekatan partisipatif


ke dalam rencana induk tingkat pembangunan yang lebih tinggi;
4. Membuat standar, dilembagakan dan pendekatan peraturan perencanaan
penggunaan lahan untuk mencapai implementasi luas;
5. Mengatasi lemahnya implementasi dan penegakan hukum, misalnya
rencana undang-undang peningkatan kualitas penggunaan lahan termasuk
partisipasi yang lebih baik dan lebih luas dari pemangku kepentingan lokal
dalam memonitoring dan evaluasi rencana;
6. Mencapai kerja sama lintas batas yang efektif pada penggunaan lahan skala
besar dan isu-isu lingkungan untuk melindungi lingkungan, mencegah
bencana dan mencapai pemanfaatan secara berkelanjutan sumberdaya
alam.
Di Laos, perencanaan penggunaan lahan memiliki sejarah panjang.
Perencanaan penggunaan lahan telah dibakukan dan telah menjadi bagian
integral dari sistem perencanaan secara keseluruhan. Pada awal tahun 1990-an,
Pemerintah Laos memulai kampanye nasional Perencanaan Penggunaan Lahan/
Alokasi Lahan. Meskipun hasilnya dipertanyakan, perencanaan penggunaan lahan
dikenal dan diterima dan mencapai cakupan luas di daerah pedesaan. Baru-baru
ini, pendekatan telah dikembangkan lebih lanjut dan perencanaan penggunaan
lahan partisipatif di tingkat desa dan kelompok desa sekarang menjadi prosedur
standar dalam pengelolaan lahan.
Perencanaan penggunaan lahan di Republik Demokratik Rakyat Laos,
memfasilitasi investasi asing secara langsung dan tetap menghorrnati hak-hak lahan adat
petani. Di daerah pedesaan Laos, seluruh lahan secara resmi dianggap sebagai
lahan negara. Di lahan ini, bagaimanapun, penduduk lokal umumnya memegang
hak tradisional non-terdaftar. Pendaftaran lahan dan penerbitan sertifikat formal
masih sangat terbatas dan terutama difokuskan pada daerah perumahan dan
sawah. Selain itu, pembatasan desa atau komunal lahan sering tidak jelas dan
tidak selalu diakui secara resmi. Hal ini membuat sulit bagi pemerintah untuk
mengidentifikasi lahan untuk proyek-proyek investasi, terutama investasi asing
di sektor pertanian dan kehutanan. Hal ini terkait dengan melindungi akses akan
kepemilikan lahan untuk mengurangi resiko sengketa lahan yang sangat penting
bagi penduduk setempat untuk mengamankan mata pencaharian mereka dengan
praktek-praktek pertanian, koleksí produk hutan non-kayu atau pemanfaatan
hutan. Oleh karena itu, akuisisi lahan skala besar dan sewa lahan yang akan
menjadi masalah besar bagi pemerintah ditangani dengan cara yang berbeda.
208 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Jelaslah bahwa demarkasi desa, zonasi dan pendaftaran lahan individu dan
komunal pada saat ini memfasilitasi alokasi lahan untuk investasi dan membantu
untuk menghindari konflik atas lahan. Akibatnya hanya lahan yang diakui negara
saja yang bisa diserahkan kepada investor, terutama didaerah di mana penduduk
lokal telah menyatakan persetujuan mereka untuk pembangunan perkebunan.
Hal ini dilakukan dengan bentuk baru dari perencanaan penggunaan lahan
meliputi klarifikasi kepemilikan lahan. Menurut undang-undang baru-baru
ini, perencanaan penggunaan lahan dan zonasi merupakan prasyarat untuk
pendaftaran lahan dan sertifikasi di daerah pedesaan di Laos. Setiap wilayah desa
diklasifikasikan ke dalam berbagai zona penggunaan lahan oleh warga desa sendiri
dengan bantuan oleh teknisi. Sistem penguasaan yang diusulkan dari berbagai
zona penggunaan lahan kemudian dibedakan menjadi lahan individual, kolektif/
komunal atau negara.
Selain itu, batas demarkasi desa merupakan bagian integral dari perencanaan
penggunaan lahan di tingkat desa. Proses ini dimediasi oleh pejabat pemerintah
dan wakil-wakil desa-desa tetangga. Kemungkinan sengketa lahan antara desa-
desa tetangga yang demikian diselesaikan. Akibatnya, keseluruhan lahan desa
secara resmi diakui dan karenanya tidak akan dialokasikan untuk investor di
masa depan tanpa persetujuan dari penduduk desa masing-masing.
Masyarakat desa, secara individu pada saat ini dapat menjadi mitra bagi
investor melalui pengaturan leasing dan sebagai petani kontrak. Kerja sama ini dapat
rnemberìkan penghasilan tambahan bagi masyarakat di daerah pedesaan,asalkan
perjanjian kontrak yang disimpulkan jelas, saling menguntungkan dan dipatuhi.
(National Authority Land Use 2009, Stone 2004a; 2004b; Wehrmann 2011).
Meskipun kepemilikan lahan mendapatkan perhatian lebih pada saat ini
dibandingkan masa lalu, masih ada kebutuhan untuk lebíh mengintegrasikan
isu-isu kepemilikan lahan ke perencanaan penggunaan lahan. Hal ini menegaskan
perbedaan yang jelas antara kepemilikan lahan oleh negara, milik umum dan
pribadi serta penyediaan jaminan kepemilikan bagi semua pemangku kepentingan.
Hal ini melibatkan pendaftaran tanah dan sertifikasi atau pendekatan lain yang
dapat menjamin kepemilikan. Keamanan kepemilikan lahan adalah kepastian
bahwa hak-hak seseorang atas lahan akan diakui oleh orang lain dan dilindungi
(FAO 2002). Keamanan dapat berasal dari sumber formal dan mengambil
berbagai bentuk seperti sewa, kontrak sewa-menyewa, izin hunian, hak adat,
deklarasi pajak lahan, pernyataan politik atau penyediaan layanan publik (UN-
HABITAT 2004).
Bab IX Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan dan Contoh Perencanaan
di Beberapa Negara |209

Keamanan kepemilikan lahan umumnya membutuhkan beberapa jenis


administrasi perlahanan. Namun di sebagian besar negara, administrasi
perlahanan merupakan satu dirnensi yang berfokus pada pendaftaran dan
sertifikasi. Masalahnya adalah bahwa kapasitasnya sering lemah dan sistem
administrasi rentan terhadap korupsi. Oleh karena itu, pemerintahan yang
baik harus meningkatkan perhatian dalam hal masalah lahan. Prinsip seperti
transparansi, keadilan, keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, efektivitas,
efisiensi dan keberlanjutan semakin diterapkan dalam administrasi pengelolaan
lahan negara. Perumusan kebijakan perencanaan penggunaan lahan juga dapat
ditingkatkan dengan penerapan prinsip ini.

9.3 Perencanaan Penggunaan Lahan di Republik


Rakyat Tiongkok
Setelah pengenalan sistem tanggung jawab rumah tangga, yang memberikan
prinsip kebebasan untuk setiap petani dalam memilih tanaman yang di
budidayakan di lahannya mengakibatkan munculnya bahaya penggunaan lahan
yang tidak terkendali. Oleh karena itu, menjadi perlu untuk membuat sebuah
kerangka (framework) sistem perencanaan penggunaan lahan yang terintegrasi.
Menindak lanjuti hal tersebut, maka pada tahun 1987 didirikan The State Land
Administration (SLA). Sejak itu, SLA memiliki tugas untuk mengembangkan peta
perencanaan penggunaan lahan untuk masing-masing provinsi. Dalam prosedur
ini, SLA, badan-badan terkait lainnya dan pemerintah provinsi mengusulkan
persentase penggunaan lahan untuk pertanian, hutan, transportasi, kebun buah-
buahan,pelayanan air, perumahan, padang rumput dan industrì untuk setiap
provinsi dan usulan ini diserahkan kepada Dewan Negara. Selanjutnya, kuota
ini diserahkan ke Biro Pengelolaan Lahan Provinsi. Biro ini kemudian memberi
mandat kepada prefektur dan atau biro kabupaten untuk mengembangkan peta
penggunaan lahan (status quo) dan rencana penggunaan lahan di masa depan. Peta
ini biasanya dibuat dalam skala 1:10.000. Di daerah kaya di Tiongkok Timur
dan Tiongkok Selatan dilakukan dengan bantuan Sistem Informasi Geografi
(GIS). Rencana penggunaan Lahan perlu diperbaharui setiap tiga sampai lima
tahun. Meskipun SLA memenuhi tugas perencanaan, kerangka keseluruhan
perencanaan sering bertentangan dengan perencanaan kementerian teknis seperti
kehutanan, pertanian dan biro pengentasan kemiskinan yang juga melakukan
sendiri perencanaan penggunaan lahan untuk kebutuhan mereka.
210 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Pada tahun 1990-an, organisasi internasional memperkenalkan metode


perencanaan penggunaan lahan partisipatif kepada badan-badan yang
relevan,kadang-kadang dikombinasikan dengan penggunaan GIS. Saat ini,
perencanaan penggunaan lahan partisipatif merupakan bagian integral dari
setiap proyek internasional dan program di bidang pengelolaan sumberdaya alam
di Republik Rakyat Tiongkok, terutama untuk proyek skala besar. Seringkali,
setidaknya sebagian dari paket perencanaan partisipatif telah diambil alih oleh
institusi pemerintah yang menyadari bahwa ini bisa menjadi lebih efisien untuk
pelaksanaan program-program mereka. Apabila tidak ada kerjasama internasional,
bagaimanapun partisipasi publik tetap merupakan pengecualian. Bahkan hal
ini juga terjadi pada skala kerjasama internasional. Mereka yang melaksanakan
program-program di tingkat lokal mungkin tidak ingin adanya transparansi.
Sebagian yang lain menghargai perencanaan penggunaan lahan partisipatif yang
menyatakan mereka sekarang tahu arti demokrasi (GTZ, 2004; lihat 4.4 PLUP
di Tiongkok).

9.4 Perencanaan Penggunaan Lahan di Afrika Barat


Pada akhir tahun 1980-an, konsep yang sangat unik dan spesifik wilayah
tentang perencanaan penggunaan lahan muncul di negara-negara Afrika Barat
yang merupakan bekas koloni Perancis yang diberi nama The Gestjon des
Terroirs (GT). Keberhasilan konsep ini dibantu oleh fakta bahwa pada awalnya
dipromosikan oleh komitmen yang kuat dari sembilan negara anggota CILSS
(Permanent Interstates Committee for Drought Control in the Sahel). Semua
anggota jaringan regional telah mengalami dampak yang menghancurkan dari
siklus kekeringan berturut-turut yang terjadi pada akhir tahun 60-an sampai
tahun 80-an. Hal itu juga diakui secara luas bahwa administrasi negara dan
proyek- proyek klasik pembangunan pedesaan telah gagal untuk menghasilkan
hasil yang signifikan untuk memerangi penggurunan dan untuk meningkatkan
basis sumberdaya alam untuk kebutuhan penduduk.
Promosi pendekatan GT adalah upaya untuk mentransfer pengelolaan
sumberdaya alam dari tangan instansi pemerintah kepada masyarakat setempat
untuk memperkuat kapasitas masyarakat pedesaan untuk mengatasi dampak
dari krisis ekologi. Konsep GT difokuskan pada pengelolaan sumberdaya
alam dan perencanaan penggunaan lahan di tingkat desa atau komunitas, dan
keterkaitan tiga unsur kunci yaitu: (1) teknis: konservasi lahan dan air, hutan dan
Bab IX Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan dan Contoh Perencanaan
di Beberapa Negara |211

perlindungan padang rumput dan lain-lain, (2) Socio-economio/organizational:


partisipasi masyarakat, pembentukan badan pengelolaan lahan lokal; (3)
Hukum/kelembagaan: definisi dan penegakan aturan yang mengatur akses dan
penggunaan lahan, misalnya melalui kesepakatan lokal.
Pada tahun 90-an, Bank Dunia, UNDP, lembaga donor bilateral dan LSM
menganggap konsep GT sebagai salah satu jenis proyek yang paling menjanjikan
untuk mengurangi kemiskinan dan didukung dengan dana yang besar. Kerja
sama Teknis Jerman (GTZ atas nama BMZ) menjadi salah satu pemain utama
di lapangan, memberikan kontribusi besar terhadap kemajuan metodologi dan
penyebaran pendekatan geografis. Pada akhir tahun 90an, komite pengelolaan
lahan ribuan desa-desa di Afrika Barat telah menyusun rencana pengelolaan
lahan dan mulai mengimplementasikannya di lapangan. Namun, dampak spasial
keseluruhan pendekatan GT masih agak terbatas. Tingginya start-up biaya,
lambatnya prosedur partisipatif (tanpa menghasilkan manfaat langsung bagi
penduduk), serta kapasitas pelaksanaan yang terbatas dari masyarakat membuat
mustahil untuk mencapai tujuan peningkatan secara keseluruhan.dari sumberdaya
alam negara di masa mendatang. Selain itu, proyek GT cenderung bertindak
dengan kekosongan kelembagaan di luar negara, mengabaikan kebutuhan untuk
secara resmi dimasukkan dalam struktur administrasi negara. Baik desa sebagai
unit administratif maupun komite pengelolaan lahan desa sebagai organ eksekutif
yang memiliki status hukum, masih dirasakan kurangnya legitimasi kelembagaan
yang diperlukan untuk memenuhi misi mereka. Dengan semua kekurangan ini,
masyarakat internasional (GT) menyadari bahwa pengelolaan pada tingkat desa
bukanlah skala yang cocok untuk di intervensi.
Pada saat ini, masalah skala serta kekurangan kelembagaan mungkin
harus diatasi dalam perjalanan proses desentralisasi yang sedang berjalan di
sebagian besar negara bekas koloni Perancis di Afrika Barat. Pemerintah kota di
pedesaan menjadi badan-badan administratif lokal. Di semua negara perencanaan
pembangunan kota merupakan latihan yang diwajibkan, yang berfungsi sebagai
prasyarat untuk mendapatkan akses terhadap subsidi infrastruktur. Hal ini
memungkinkan untuk mengintegrasikan perencanaan penggunaan lahan sebagai
tugas pemerintah daerah. Pada saat yang sama wilayah membesar dan fungsi
baru dikaitkan dengan kota menawarkan kesempatan untuk meningkatkan
beberapa praktek yang baik dari pelajaran yang didapat selama fase GT di tingkat
desa serta memanfaatkan modal sumber daya manusia yang terakumulasi selama
periode itu.
212 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Berhubung kurangnya kapasitas teknis, keuangan dan masih terbatasnya


kekuasaan diskresi dari kota muda di Afrika Barat, tujuan dari perencanaan
penggunaan lahan menjadi kurang ambisius dan lebih realistis. Pendekatan GT
holistik di tingkat desa, yang meliputi seluruh ruang dan mengevaluasi semua
potensi, digantikan oleh pendekatan yang berfokus pada prioritas diartikulasikan
kelompok pengguna yang relevan dan masalah yang dipilih atau konflik
penggunaan lahan yang membutuhkan solusi. Dalam konteks ini, perjanjian
lokal saat ini menjadi salah satu yang paling populer, dalam bentuk yang paling
diadaptasi dari perencanaan penggunaan lahan di kota di Afrika Barat.
Namun, semua aktor yang bersangkutan mengakui bahwa perjanjian lokal
akan memiliki lebih dari nilai transisi, melayani untuk menjembatani kekosongan
hukum yang ada. Semua negara Afrika Barat masih kekurangan dalam transfer
kompetensi dan sumberdaya keuangan nyata terhadap badan-badan lokal yang
baru terpilih. Pelimpahan kekuasaan benar-benar menjadi kunci dari fungsi
seperti administrasi perlahanan dan pengelolaan sumberdaya alam. Tantangan
besar lainnya adalah pensejajaran sistem kepemilikan lahan dan hukum adat
menyebabkan beberapa alokasi lahan dan promosi peningkatan akuisisi lahan
skala besar dan sewa lahan.

9.5 Perencanaan Penggunaan Lahan di Afrika


Selatan
Ditandai dengan kepemilikan lahan dan akses terbatas terhadap lahan yang
menunjukkan kesenjangan sosial berdasarkan sejarah perampasan lahan selama era
kolonial dan distribusi lahan yang tidak merata. Oleh karena itu, lahan menjadi
sumber utama ketegangan dan mobilisasi politik. Status kepemilikan lahan
tunduk terhadap campuran kompleks yurisdiksi dengan sistem kepemilikan adat
komunal dan bentuk hukum dari kepemilikan pribadi di sebagian besar wilayah
negara ini. Sistem kepemilikan dualistik membagi sektor pertanian menjadi
hak milik peternakan komersial besar di bawah kepemilikan pribadi dan milik
umum tradisional di lahan komunal pada skala kecil digunakan untuk pertanian
penggembalaan tradisional dan pertanian subsisten. Kontrol dan pentingnya
otoritas tradisional dan pemimpin suku yang signifikan di wilayah tersebut harus
dipertimbangkan selama dialog terkait perencanaan penggunaan lahan di Afrika
bagian selatan.
Afrika Selatan dianggap sebagai salah satu daerah dengan potensi tertinggi
untuk produksi agro-fuel di dunia. Hal ini menarik investor asing, yang mencoba
Bab IX Perencanaan Penggunaan Lahan Berkelanjutan dan Contoh Perencanaan
di Beberapa Negara |213

untuk mengakses kepemilikan lahan yang luas, yang menciptakan konflik


terutama di daerah komunal. Untuk menghindari salah urus, perencanaan
penggunaan lahan diperlukan untuk mengatur agro-fuel dan produksi pabrik
skala besar lainnya.
Degradasi lahan merupakan masalah utama di kawasan tersebut dengan
tekanan yang besar terhadap lahan komunal. Degradasi yang terjadi, terutama
sebagai efek dari penggembalaan ternak yang berlebihan dan penebangan hutan,
yang menyebabkan erosi lahan dan penggurunan. Menyusutnya kawasan lindung
di wilayah ini sangat penting, menyebabkan fragmentasi habitat dan hilangnya
keanekaragaman hayati. Fragmentasi habitat menyebabkan meningkatnya konflik
manusia-satwa liar dengan migrasi hewan. Pendekatan umum untuk konservasi
pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat dan perencanaan lintas batas
dan konservasi juga relevan untuk transfer lintas batas air.
Pertambangan adalah isu penting lain di Afrika Selatan yang menciptakan
kebutuhan untuk perencanaan penggunaan lahan. Wilayah ini memiliki
sumberdaya mineral yang luas dan sebagian besar komoditi ekspornya adalah
bahan mineral. Pentingnya ekonomi dari sektor pertambangan membuatnya
menjadi prioritas penggunaan lahan, sedangkan penggunaan lahan yang lain
bersifat sekunder. Hal ini menyebabkan konflik penggunaan lahan. Petani harus
dimukimkan kembali, yang lainnya menemukan lahan mereka terkontaminasi.
Selain itu, pertambangan membutuhkan infrastruktur besar seperti jalan dan
pelabuhan yang sering mempengaruhi daerah pedesaan. Perencanaan penggunaan
lahan dapat membantu mengurangi konflik penggunaan lahan melalui
peningkatan transparansi dalam zonasi daerah pertambangan yang terkontaminasi
di satu sisi dan melalui artikulasi kepentingan masyarakat setempat di sisi lain.
Kesenjangan parah dalam kapasitas manusia dan kelembagaan pemerintahan
yang masih muda merupakan sebuah tantangan besar untuk manajemen dan
perencanaan penggunaan lahan. Konsekuensinya adalah kebijakan yang tidak
memadai terhadap lahan nasional, proses reformasi lahan berjalan lambat, belum
selesai atau tidak berhasil, tumpang tindih kelembagaan, kesenjangan dan strategi
sistem perencanaan penggunaan lahan yang kurang atau hilang.

9.6 Perencanaan Penggunaan Lahan di Amerika


Latin
Perencanaan Penggunaan Lahan di negara-negara Amerika Latin ditandai
dengan karakteristik distribusi yang tidak merata terhadap lahan, menjadi
214 | Perencanaan Penggunaan Lahan

properti yang besar bagi sebagian orang, luasan lahan peternakan yang sangat
kecil dan disisi lain banyak masyarakat yang tidak memiliki lahan. Pemilik
lahan swasta besar memiliki kebebasan sangat tinggi dalam penggunaan lahan.
Di negara-negara seperti Chili, perencanaan penggunaan lahan tidak dapat
menentukan penggunaan lahan yang berada di bawah kepemilikan pribadi tetapi
dibatasi untuk lahan publik, yang hanya merupakan bagian kecil dari keseluruhan
wilayah negara.
Amerika Latin dilengkapi dengan produk primer dan bahan baku yang
cukup. Mengingat daerah pedesaan yang luas sering berpenghuni, saat ini banyak
dari mereka yang diperlakukan sebagai daerah akses terbuka terkait eksploitasi
sumberdaya alam. Peraturan yang baik tidak ada atau tidak cukup dilaksanakan.
Hal ini sering dikaitkan dengan konflik kekerasan atas sumber daya tersebut.
Berhubung keterpencilan dari berbagai daerah dan kekerasan yang berlaku di sana,
produksi obat-obatan terlarang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat
dan salah satu faktor yang menentukan kehidupan mereka.
Wilayah Amerika Tengah dan pantai Pasifik Amerika Selatan terancam oleh
semua jenis bencana alam. Namun, pencegahan resiko bencana dan kesiapsiagaan
sejauh ini hampir tidak dimasukkan ke dalam perencanaan tata ruang formal.
Mengenai pengaturan politik dan kelembagaan, sebagian besar negara Amerika
Latin masih berjuang dengan menerapkan prosedur partisipatif, meskipun situasi
pemerintahan telah meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir
akibat desentralisasi yang luas. Pada saat ini perencanaan penggunaan lahan
sudah terintegrasi ke dalam aturan institusi negara. Oleh karena itu, tantangan
utama untuk perencanaan penggunaan lahan di wilayah ini adalah:
1. Mengikutsertakan secara bersama pemilik lahan besar (pertanian, tambang,
hutan) dan petani kecil (pemukim, adat dan lain-lain);
2. Bertindak di daerah konflik dan pasca konflik, dengan menggunakan
perencanaan penggunaan lahan untuk menyetujui bentuk-bentuk baru
untuk hidup berdampingan;
3. Beroperasi di lingkungan narkoba dan mengidentifikasi pilihan-pilihan
untuk pembangunan alternatif melalui perencanaan penggunaan lahan
partisipatif;
4. Mengintegrasikan pencegahan resiko bencana ke dalam perencanaan
penggunaan lahan.
DAFTAR PUSTAKA
Adimiharja A. 2004. Sistem Pengendalian Konversi Lahan Pertanian Secara
Komprehensip. Makalah disampaikan pada acara Pertemuan Round Table
II Pengendalian Konversi dan Pengembangan Lahan Pertanian. Jakarta 14
Desember 2004.
Adimihardja A. 2006. Strategi Mempertahankan Multifungsi Pertanian di
Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 25(3):99–105.
Agus F, U Kurnia, AR Nurmanaf (Eds). 2001. Proceedings, National Seminar on
The Multifunction of Paddy Fields. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat.
Agus F, Irawan. 2004. Alih Guna dan Aspek Lingkungan Lahan Sawah. Dalam
F. Agus, A. Adimihardja, S. Hardjowigeno, A.M. Fagi dan W. Hartatik
(EDS). Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaanya. Pusat Penerlitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Agus F, E Husen. 2005. Tinjauan Umum Multifungsi Pertanian. Dalam
E. Husen, A. Rachman, Irawan dan F. Agus (EDS). Prosiding Seminar
Nasional Multifungsi Pertanian dan Ketahanan Pangan. Pusat Penerlitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Agus F, Irawan. 2006. Agriculture Land Converrsion as a Threat to Food Security
and enviromental Quality. Prosiding Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian.
Badan Litbang Pertanian bekerjasama dengan MAFF (Ministry of
Agriculture, Foresty, Fishiries, Japan) dan Sekretariat ASEAN.
Aldrich FT. 1981. Land use data and their acquisition. In Lounsbury, J.F.,
Sommers, L.M. and Fernald, E.A. (Eds). Land Use. A Spatial Approach.
Kendall/Hunt Publ. Co. Dubuque, Iowa, USA, pp. 79–95.
Anwar A. 1995. Kebijaksanaan dan Instrumen Ekonomi dalam Upaya Pengendalian
Kerusakan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Disampaikan pada Temu
Pendapat tentang Pengembangan Kebijakan Ekonomi Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Meneg KLH, Jakarta, 11 Mei 1995.
Anonimous. 1983a. Tata Cara Kerja 1. Pedoman Pengukuran, Pemetaan dan
Penggambaran. Edisi Keempat. Direktorat Tata Guna Tanah, Direktorat
Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri
216 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Anonimous. 1983b. Rancangan Standar dan Kriteria Pola Permukiman


Transmigrasi dalam Pelita IV. Direktorat Bina Program, Direktorat
Jenderal Penyiapan Pemukiman. Departemen Transmigrasi. Jakarta..
Anwar A, A Pakpahan. 1990. The Problem of Sawah-Land Conversion to Non-
Agriculture Uses in Indonesia. Indonesian Jurnal of Tropical Aglriculture
1(2):101–108.
Arifin B. 2002. Tekanan Penduduk dan Degradasi Sumberdaya Alam di Tengah
Upaya Pemulihan Ekonomi. Dalam Krisnamurthi, B.,Susila, D.A.B,
Kriswantriyono, A. Prosiding Seminar Tekanan Penduduk, Degradasi
Lingkungan dan Ketahanan Pangan. Pusat Studi Pembangunan LP-IPB
dan Badan BIMAS Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian RI. hal.
23–51.
Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: Penerbit IPB Press.
[BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Nasional. 2006.
Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Direktorat Pangan dan
Pertanian. Jakarta.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2004. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik.
Jakarta.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 1981–2002. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik.
Jakarta.
Barlowe R. 1986. Land Resource Economics. The Economics of Real Estate.Fourth
Edition. Englewood clifffes, N.J. (USA) Prentice-Hall.
Beek KJ, Bennema J. 1972. Land Evaluation for Agricultural Land Use Planning.
An Ecological Methodology. Department of Soil Science and Geology.
Agicultural University. Wageningen, 72 p.
Brinkman R, Smyth AJ. Eds. 1973. Land Evaluation for rural purposes. Publication
17. International Institute for Land Reclamation and Improvement (ILRI),
Wageningen. 116 pp.
Callaghan JR. 1992. Land Use : The Interaction of Economics, Ecology and Hidrology.
Chapman & Hall. London.
Casson J, Hartnup R, Jarvis R. 1973. Soil Surveys for integrated land use planning.
Journ. Royal Town Planning Institute. 59(1):400–406.
Daftar Pustaka |217

Chisolm M. 1968. Rural Settlement and land use. An Essay in Location. Hutchinson
University Library. London. 183 pp
Clawson M, Stewart CL. 1965. Land Use Information. A Critical Survey of U.S.
Statistics Including Possibilities for Greater Uniformity. Resources for the
Future, Inc. Washington, D.C. 402 pp.
Davidson DA. 1980. Soils and Land Use Planning. Longman, London. 129 pp.
Dent FJ. 1978. Data requirements for land use planning with emphasis on
requirements for land evaluation studies. SIDA/FAO Seminar on Forest
Resource Appraisal in Forestry and Land-use Planning. New Delhi-Dehra
Dun. 57 pp.
De Vries B. 2000. Multifunctional Agriculture in the International Context : A
Review. http://www.landstewardshipproject.org /mba/MFAReview.pdf
(30 April 2001)
Dinariana D, Sitorus SRP, Tarigan SD, Nurisyah S, Hartrisari. 2009. Kebutuhan
Ruang Terbuka Hijau sebagai Daerah Resapan untuk Memenuhi
Kebutuhan Air Tanah Domestik (Studi Kasus di DKI Jakarta). Jurnal
Menara 7(2): 45–54.
Doyle RH. 1966. Soil Surveys and The Regional Land Use Plan. In Bartelli, D.J.,
et al (Eds.). Soil Surveys and Land Use Planning. Soil Sci. Soc. Amer. and
Amer. Soc. Agr. Madison, Wisconsin. pp. 8–14.
Drzeewieki W. 2008. Sustainable Land-Use Planning Support by GIS-Based
Evaluation of Landscape Functions and Potentials. The International Archives
of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences
Vol. XXXVII Part B7. Beijing. Pp.1497–1502.
Dumanski J. (Ed) 1978. Manual for describing soils in the field. Agriculture
Canada, Otawa.
Dunn WN. 2003. Analisa Kebijakan Publik. Darwin, M, penerjemah. Yogyakarta.
Hanindita Graha Widia. Terjemahan dari: Public Policy Analysis : An
Intriduction.
Edwards CG. 1980. Impementing Public Policy.Washington D.C. Congressional
Quarterly.
218 | Perencanaan Penggunaan Lahan

FAO. 1976. A framework for land evaluation. FAO Soils Bull. No.32. Rome. 72
pp; and ILRI Publication No. 22, Wageningen. 87 pp.
FAO/UNEP. 1995. Our Land Our Future - A new approach to land use planning
and management. Rome:FAO/UNEP. 48 pages.
FAO/UNEP. 1998. Negotiating a Sustainable Future for Land- Structural and
institutional guidelines for land resources managment in the 21st century.
Rome: FAO/UNEP. 61pages.
Friedmann J, Douglass M. 1978. Agropolitan Development: Towards A New
Strategy for Regional Planning in Asia. In LO, F.C. and Salih, K (Eds.)
Growth Pole Strategy and Regional Development Policy. Pergamon Press,
Oxford, New York. pp. 163–192.
GTZ 2004: Disaster Risk Management in Rural Areas of Latin America and the
Caribbean. Selected instruments.Eschborn.
GTZ 2004: Participatory Land Use Planning in PR China. Part I: PAAF Project
Introduction, Part II: Participatory Land Use Planning (DVD: video).
GTZ 2004: Risk Analysis – A Basis for Disaster Risk Management. Eschborn.www.
gtz.de/de/dokumente/en-risk-analysis-basis-for-disaster-risk-management.
pdf.
Haans JCFM, Westerveld GJW. 1970. The Application of Soil Survei in
Netherlands. Geoderma 4: 279–309.
Henry Nicholas. 1989. Public Administration and Public Affairs. Fourth edition
USA : Prentice-Hall.. International Editions.
Hoogrerweff. 1983. Over Heids Beleid, Ilmu pemerintahan ( terjemahan oleh :
R.L.L. Tobing). Jakarta: Elangga.
Irawan B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya
dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi 23 (1) : 1–18.
Irawan. 2007. Valuasi Ekonomi Lahan Pertanian, Pendekatan Nilai Manfaat
Multifungsi Lahan Sawah dan Lahan Kering (Studi Kasus di Sub DAS
Citarik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat). Disertasi. Sekolah Pascasarjana
IPB. Bogor.
Irawan B. 2008. Meningkatkan Efektifitas Kebijakan Konversi Lahan. Forum
Penelitian Agro Ekonomi 26 (2) : 116–131.
Daftar Pustaka |219

Irawan B, Purwoto A, Saleh C, Supriatna A, Kirom NA. 2000. Pengembangan


Model Kelembagaan Reservasi Lahan Pertanian. Laporan Hasil Penelitian.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Isa I. 2006. Alih Fungsi Lahan Pertanian. Makalah (Power poit) disampaikan pada
Seminar Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian, Departemen Pertanian.
Bogor, 27 Juni 2006.
Isa M. 1985. Masalah-masalah Pertanahan dan Pemecahan Dalam Pembangunan
di Indonesia. Pidato Pengarahan Direktur Jenderal Agraria, Departemen
Dalam Negeri pada Kongres Nasional ke IV HITI di Bogor. 14 hal.
Jones RGB, Davies K. 1978. Land Use Planning for Agriculture Development: A
Draft Methodology for use on LRD Projects. Miscellanesus Report 238.
Ministry of overseas Development. Land Resources Division. Surbiton,
Surrey, England. 97 pp.
Kadarusno. 1980. Pengembangan Daerah Transmigrasi Dalam Kaitannya
dengan Konsep Pengembangan Wilayah di Indonesia. Proceedings
Simposium Pendidikan Planologi. Thema: Prosedur dan Teknik Perencanaan
Pengembangan Wilayah. 21-23 Agustus 1980. Departemen Planologi,
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Bandung. Hal
89–114.
Kadir WM. 1976. Land Use Problem. Report on the International Workshop on
Energy, Resources and The Environment. 21 st. 23 rd Feb. 1975. Pulau
Pinang, Malaysia. Sponsored by The Malaysian Centre For Development
Studies, in association with The Mitre Corperation (USA). Pp. 93–98.
Kasiran. 1999. Konversi Lahan Sawah di Jawa. Jurnal ALAMI Jurnal Air, Lahan,
Lingkungan dan Mitigasi Bencana. 4 (1) : 62–66.
Kenkyu S. 1998. An Economic Evolution of External Economies From Agriculture
by the Replacement Cost Method. National Research Institute of Agriculture
Economics, MAFF. Japan.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 48 tahun 1983 tentang Penanganan
Khusus Penataan Ruang, Jakarta.
King KFS. 1978. Some Aspects of land use palanning. *8 th World Foresty
Congress. Jakarta
220 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Kitamura T, Kobayashi S. 1994. Systems of Land Use Planning for Sustainable


Rural Development. In Van Lier, H.N., Jaarsma, C.F., Jurgens,C.R. and
De Buck, A.J. (Editor). Sustainable Land Use Planning. Elsevier Amsterdam.
Pp. 317–324.
Kustiwan I. 1997. Konversi Lahan Pertanian di Pantai Utara Jawa. Majalah
Kajian Ekonomi dan Sosial Prisma 26 (1) : 15–31.
Lounsbury JF. 1981. The Nature of Land Use Problems in the United States. In
Lounsbury, JF., Sommers, L.M. and Fernald, E.A. (Eds.). Land Use. A
Spatial Approach. Kendall/Hunt Publ. Co., Dubuque, Iowa USA. Pp.
37–56.
McCormack DE, Bartelli LJ. 1977. Soils and land use-urban and suburban
development. Trans. Amer. Soc. Agric. Engr. Vol. 20:266–270+275.
McIntyre GN. 1972. Problems in Land Use Classification and Mapping. Cartography
7:137–142.
Mochtar R. 1980. Transmigrasi dalam kaitannya dengan konsep pengembangan
wilayah di Indonesia. Proceedings simposium Pendidikan Planologi. Thema:
Prosedur dan Teknik Perencanaan Pengembangan Wilayah. 21-23 Agustus
1980. Departemen Planologi, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Institut Teknologi Bandung, hal. 115–194.
Munasinghe M. 1992. Environmental Economics and Valuation in Depelopment
Decision Making. World Bank Environment Paper Number 51. The World
Bank. Washington D.C.
Nasoetion LI. 2003. Konversi Lahan Pertanian; Aspek Hukum dan
Implementasinya. Dalam U. Kurnia, F. Agus, D. Setyorini dan A. Setiyanto
(EDS). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Pertanian dan Ketahanan
Pangan. Pusat Penerlitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Nasoetion LI, J Winoto. 1996. Masalah alih Fungsi Lahan Pertanian dan
Dampaknya terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Dalam
Hermanto, dkk (EDS). Prosiding Lokakarya : Persaingan dalam Pemanfaatan
Sumber Daya Lahan dan Air. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian
dan Ford Fondation.
OECD (Orgaization of Economic Cooperation and Development). 2001.
Multifunctionnality: Towards an Analytical Framework. OECD. Paris.
159p.
Daftar Pustaka |221

Pakpahan A, Anwar A. 1989. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan


Sawah. Jurnal Agro Ekonomi 8(1): 62–74.
Pasandaran E. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah
Beririgasi di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan
Revitaliasasi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian. Bogor.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomer 4 Tahun 1996. Jakarta
Robertson VC, Stoner RF. 1970. Land Use Surveying: A case For Reducing The
Cost. In Cox, I.H. (Ed.). New Possibilities and Techniques for Land Use
and Related Surveys. With Special reference to the developing Countries.
Paper presented at an International Symposium, London 21-23 April 1970.
Geographical Publication Limited. Pp. 3–15.
Rosnila, Sitorus SRP, Rustiadi E. 2005. Perubahan Penggunaan Lahan dan
Pengaruhnya terhadap Keberadaan Situ. Forum Pasca sarjana 28(1):11–
23.
Rustiadi E. 2001. Analisis Fungsi Lahan Dalam Perspektif Lingkungan Perdesaan.
Makalah disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Kebijakan dan Strategi
Pengelolaan Kawasan Pedesaan di Cibogo. Bogor 10–11 Mei 2001.
Rustiadi E, S Saefulhakim, DR Panuju. 2003, Analisis Kecenderungan dan
Dampak Proses Suburbanisasi di Wilayah JABODETABEK : Suatu Upaya
Pengembangan Model Pembangunan Wilayah Metropolitan, Laporan Akhir
Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi. Dirjen Dikti.
Saefulhakim, Nasoetion LI. 1995. Kebijaksanaan Pengendalian Konservasi Sawah
Beririgasi Teknis. Makalah Seminar Pengembangan Sumberdaya Lahan.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. 26–27 Sept. 1995.
Sandy IM. 1984a. Tugas Pokok, Tujuan, Langkah Direktorat Tata Guna Tanah,
Direktorat Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri. Dalam Atlas
Penggunaan Tanah Republik Indonesia. Publikasi No. 333. Departemen
Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Agraria. hal. 4–6.
Sandy IM. 1984b. Land Use Planning. Direktorat Tata Guna Tanah, Direktorat
Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri. 18 Ha.
Sostroatmodjo P. 1980. Pembukaan Lahan dan Pengolahan Tanah. Lembaga
Penunjang Pembangunan Nasional (LEPPENAS). Jakarta 170 hal.
222 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Silalahi SB. 1985. Penggunaan Tanah Berencana (Land Use Planning). Bahan
Diskusi dalam Studi ilmiah tentang Agraria di Akademi Agraria Yogyakarta
30 Desember 1985. Direktorat Tata Guna Tanah. Direktorat Jenderal
Agraria Departemen Dalam Negeri. 24 Hal.
Silalahi, Sweken IP. 1984. Cara Pengumpulan Data dan Hasil yang telah dicapai.
Dalam Atlas Penggunaan Tanah Republik Indonesia. Publikasi No. 333.
Departemen Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Agraria. Hal. 7–16.
Simatupang P, B Irawan. 2003. Pengendalian Konversi Lahan Pertanian: Tinjauan
Ulang kebijakan Lahan Pertanian Abadi. Dalam U. Kurnia, F. Agus, D.
Setyorini dan A.Setiyanto (EDS). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi
Pertanian dan Ketahanan Pangan. Pusat Penerlitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat.
Sitorus SRP. 2000. Analisis Keragaman Lateral Sifat-sifat Tanah dalam Satuan
Peta Kesesuaian Lahan dan Implikasinya untuk Perencanaan Penggunaan
Pertanian. Jurnal AGRIVITA 22:68–76.
Sitorus SRP, Susetio AT. 2000. Analisis Produktivitas Lahan, Sifat Kimia Tanah,
Pengusahaan Lahan dan Pendapatan Transmigran Unit Permukiman
Transmigrasi Pola Tanaman Pangan Lahan Basah di Indonesia. Jurnal
AGRISTA 4 (2):144–161.
Sitorus SRP, Pribadi DO. 2000. Studi Alokasi Luasan Lahan dan Model Kegiatan
Usahatani di Daerah Transmigrasi. Jurnal Tanah Tropika 10:187–208.
Sitorus SRP, Pratiwi RA, Winoto J. 2000a. Analisis Keragaman Produktivitas dan
Pengusahaan Lahan serta Faktor-faktor Fisikososial yang Mempengaruhinya
di Unit Permukiman Transmigrasi Pola Tanaman Pangan Lahan Kering
di Indonesia. Jurnal AGRIVITA 22(2):77–91.
Sitorus SRP, Fibriyanti E, Panuju DR. 2000b. Analisis Keragaman Sifat Kimia
Tanah Dalam Satuan Kelas Kesesuaian Lahan dan Hubungannya dengan
Basis Komoditas Tanaman Pertanian. Jurnal AGRISTA 4 (1) : 64–76.
Sitorus SRP, Srihayati, Selari M, Subagyo H. 2000c. Pola Penyebaran Ketebalan
Gambut dan Sifat-sifat Tanah Antara Beberapa Sungai Utama Pada Areal
Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar, Propinsi Kalimantan
Tengah. Jurnal AGRISTA 4 (1):50–63.
Daftar Pustaka |223

Sitorus SRP. 2004a. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung: Penerbit TARSITO.


185 hal.
Sitorus SRP. 2004b. Konversi Lahan Sawah dan Usulan Pencegahannya. Makalah
Pembahasan pada Pertemuan Round Table II Pengendalian dan Konversi
dan Pengembangan Lahan Pertanian. Jakarta 14 Desember 2004.
Sitorus SRP, Putri R, Panuju DR. 2009. Analisis Konversi Lahan Pertanian di
Kabupaten Tangerang. Jurnal Tanah dan Lingkungan 11(2):41–48.
Sitorus SRP. 2010. Land Capability Elassification for Land Evaluation: a review,
Jurnal Sumberdaya Lahan 4 (2): 69–78.
Sitorus SRP, Mulyani M, Panuju DR. 2011a. Konversi Lahan Pertanian dan
Keterkaitannya dengan Kelas Kemampuan Lahan serta Hirarki Wilayah di
Kabupaten Bandung Barat. Jurnal Tanah dan Lingkungan, 13(2): 49–57.
Sitorus SRP, Aurelia W, Panuju DR. 2011b. Analisis Perubahan Luas Ruang
Terbuka Hijau dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya di Jakarta
selatan. Jurnal Lanskap Indonesia 3(1):15–20.
Sitorus SRP, Patria SID, Panuju DR. 2012a. Analisis Perubahan Penggunaan
Lahan Ruang Terbuka Hijau di Jakarta Timur. Jurnal Lanskap Indonesia
4(2):29–37.
Sitorus SRP, Leonataris C, Panuju DR. 2012b. Analisis Pola Perubahan
Penggunaan Lahan dan Perkembangan Wilayah di Kota Bekasi, Provinsi
Jawa Barat. Jurnal Tanah dan Lingkungan 14(1):21–28.
Sitorus SRP, Kurniawan T, Munibah K. 2015. Pemodelan Spasial Perubahan
Penggunaan Lahan Dalam Kaitannya Dengan Perencanaan Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Sukabumi. Prosiding Seminar Nasional Tata Ruang
dan Space. Denpasar, Bali 15 Oktober 2015. Hal 490–500.
Soepraptohardjo, Robinson GH. 1975. A Proposed Land Capability Appraisal
System for Agricultural Uses in Indonesia. Soil Research Institute, Bogor.
No. 9/1975. 31 pp.
Soil Conservation Society of America. 1982. Resource Conservation Glossary.
Third Ed. SCSA. Ankeny.IOWA. 193 pp.
Soil Survey Staff. 1951. Soil Survey Manual. United States Department of
Agriculture. Agriculture Handbook No. 18. Washington, D.C. 188 pp.
224 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Solihah N. 2002. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Sawah
Terhadap Pendapatan Petani di Kabupaten Bogor. Skripsi. Jurusan Ilmu-
ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor.
Sostroatmodjo P. 1980. Pembukaan Lahan dan Pengolahan Tanah. Lembaga
Penunjang Pembangunan Nasional (LEPPENAS).Jakarta 170 hal.
Sumaryanto, N Syafaat M, Ariani, Friyanto S. 1995. Analisis Kebijaksanaan
Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian, Pusat Penelitian
Ekonomi Pertanian bekerjasama dengan Proyek Pengembangan Penelitian
Pertanian Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Bogor.
Sutami. 1980. Ilmu Wilayah. Jakarta: Badan Penerbit Pekerjaan Umum. 289
hal.
Syaukat Y, Agus F. 2004. Fact Finding Konversi Sawah dan Usulan Pencegahan.
Makalah pada Pertemuan Round Table II Pengendalian dan Konversi dan
Pengembangan Lahan Pertanian. Jakarta 14 Desember 2004.
Tala’ohu SH, Sutono, Soelaeman Y. 2003. Peningkatan Produktivitas Lahan
Kering Masam melalui Penerapan Teknologi Konservasi Tanah dan Air.
Hlm 45-63 Dalam Prosiding Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah
Masam, Bandar Lampung, 29–30 September 2003. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor
Team Fakultas Pertanian IPB. 1983. Buku Panduan Perencanaan Tata ruang
Permukiman Transmigrasi Menurut Tolok Takrerata. Direktorat Tata Kota
dan Tata Daerah, Dit. Jen. Cipta Karya, Departemen P.U. Bekerjasama
dengan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Tim Biro Perencanaan Deptrans, Tim Pusat Penelitian Tanah, Tim Lembaga
Penelitian IPB, dan Tim Lembaga Penelitian UNPAD. 1984. Kriteria
kesesuaian lahan pola-pola pemukiman transmigrasi dalam rangka survei dan
pemetaan tingkat tinjau sumberdaya lahan dan sumberdaya alam lainnya.
Proyek Rancangan Rencana Pemukiman Transmigrasi, Biro Perencanaan,
Departemen Transmigrasi, Jakarta. 45 hal.
Tjokroamidjojo B. 1979. Perencanaan Pembangunan. Jakarta: Gunung Agung.
225 hal.
Daftar Pustaka |225

Tomar MS, Maslekar AR. 1974. Aerial photographs in landuse and forest surveys.
Jugal Kishore & Co. Dehra Dun. India. 210 pp.
Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Jakarta.
Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian,
Jakarta.
Van Lier HN, De Wrachien D. 2002. Land Use Planning : A Key to Sustainable
Development. Paper Presented in XXX International Symposium Actual
Tasks on Agricultural Engineering. Opatija, Croatia, 12–15 March 2002.
Vink APA. 1975. Land Use in Advancing Agriculture. Springer-Verlag, Berlin.
394 p.
Watimena MC. 2013. Perspektif Kearifan Tempat Penting Suku Malind sebagai
Arahan dalam Penyusunan Rencana Detil Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Marauke.[Tesis]. Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.
Watung RL, Tala’ohu SH, F Agus. 2003. Fungsi lahan sawah dalam preservasi
air. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi lahan pertanian.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Hal
149–157.
Wehrmann B. 2011. Land Use Planning Concept, Tools and Applications. GIZ
Land Policy and Management On Behalf of Federal Ministry of Economic
Cooperation and Development, Eschborn, Germany. 236 p.
Whyte RO. 1976. Land and Land Appraisal. dr. W. Junk, B.V. Publisher, The
Haque, 370 pp.
Widiatmaka, Munibah K, Santun SRP. 2015 Appraisal Keberlanjutan
Multidimensi Penggunaan Lahan untuk Sawah di Karawang – Jawa Barat.
Jurnal KAWISTARA 5(2): 113–130.
Wiener A. 1972. Water resources development and environmental management
in developing Countries. Transaction ITC-UNESCO Symposium on
Environmental Management and Integrated Surveys. Enschede.
Winoto J. 1995. Impacts of Urbanization on Agricultural Development in The
Northern Coastal Region of West Java. Michigan Satate University and
University Microfilm. Inc. USA.
226 | Perencanaan Penggunaan Lahan

Winoto J. 2005. Kebijakan Pengendalian Alih Fungsi Tanah Pertanian dan


Implementasinya. Seminar Sehari Penanganan Konversi Lahan dan
Pencapaian Lahan Pertanian Abadi. Departemen Pekerjaan Umum.
Wohletz LR. 1968. Interpretive soil maps for land-use planning. Trans. 9th Intern.
Congr. Soil Sci. Adelaide. Vol. IV:225–233.
Yoshida K. 1994. An Economic Evaluation Approach on Environmental Roles of
Agricultural and Rural Area in Japan. Ministry of Agricultural Forestry and
Fisheries. Japan.
Yoshida K. 2001. An An Economic Evaluation Approach on Environmental Roles
of Agricultural and Rural Area in Japan. Technical Bulletin 154. FFTC.
Taipei.
Young A, Goldsmith PF. 1977. Soil Survey and land evaluation in developing
countries: a case study in Malawi. Geog. Journ. 143:407–431.
Yunus HS. 2000. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zonn LE. 1981. Quantitative Techniques in Land Use Analysis. In Lounsbury,
J.F., Sommers, L.M. and Fernald, E.A. (Eds.). Land Use. A Spatial Approach.
Kendall/Hunt Publ. Co. Dubuque, Iowa, USA. Pp. 117–131.
INDEKS NAMA

A
Adimiharja A. 115
Agus F dan Irawan A. 80, 91, 92
Agus F, Kurnia U, Nurmanaf AR. 80
Agus F dan Husen E. 90, 91
Aldrich FT. 62, 63
Anonimous a. 46, 53, 64
Anonimous b. 168, 169, 170, 172
Anwar A. 88
Anwar dan Pakpahan 1990. 88, 118
Arsyad S. 18

B
BAPPENAS. 82
Barlowe R. 18, 102
Barzelay. 119
Brinkman R dan Smyth AJ. 165
Beek dan Bennema 1972. 28, 159, 162

C
Callaghan JR. 76, 89
Casson J, Hartnup R dan Jarvis R. 148
Chisholm M. 30
Clawson dan Stewart. 15, 41
228 | Perencanaan Penggunaan Lahan

D
Davidson DA. 150
De Vries B. 82
Dent 1978. 130, 135
Dinariana D, Sitorus SRP, Tarigan SD, Nurisyah S, Hartrisari. 149
Doyle RH. 148
Dumanski J. 148
Dunn WN. 110, 111, 120

E
Edwards, 1980. 111

F
FAO. 165, 208
FAO/UNEP. 6, 126
FAO/UN-HABITAT. 194
Friedmann J dan Douglass M. 138

G
GTZ. 126, 210, 211

H
Haans JCFM dan Westerveld GJW. 150
Henry N. 111
Hoogerwerf (1983).111
Indeks | 229

I
Irawan B. 76, 79, 80, 83, 86, 87, 89, 90, 92, 94, 95, 104, 106, 108, 115, 117
Irawan B, Purwoto A, Saleh C, Supriatna A, dan Kirom NA. 118, 121, 215
Isa M. 68, 72, 74, 104, 105, 115

J
Jones, R.G.B and Davies, K. 130

K
Kadarusno. 169
Kadir WM. 67
Kasiran. 103
Kenkyu S. 76, 89, 90
Keppres No. 48/1983. 69
King KFS. 133
Kitamura T dan Kobayashi.201, 202
Kustiwan I. 78

L
Lounsbury JF. 67, 70

M
Mahmudi 2002. 20
McCormack DE dan Bartelli LJ. 149
McIntyre GN. 15, 32
Mochtar 1980. 171, 172, 173
Munasinghe M. 76, 89
230 | Perencanaan Penggunaan Lahan

N
Nasoetion. 97, 154
Nasoetion dan Winoto. 88, 104, 108, 118

O
OECD. 82, 90
P
Pakpahan A dan Anwar A. 118
Panudju 2012. 86,112,113
Panjaitan 1999. 120
Pasandaran E. 115
Permendagri No.4/1996. 19

R
Robertson VC dan Stoner RF. 31
Rosnila, Sitorus SRP, dan Rustiadi E. 75
Rustiadi E. 78
Rustiadi E, Saefulhakim S, dan Panuju DR. 78
Ruswandi. 128

S
Sandi IM. 125, 132, 151, 152, 155
Saefulhakim dan Nasoetion LI. 19
Self (1972).119
Setiyanto et al. 2003 104
Silalahi dan Sweken IP. 45, 151
Simatupang P dan B Irawan. 79, 87, 104, 108, 115
Indeks | 231

Sitorus SRP. 18, 19, 32, 64, 175, 176


Sitorus SRP, dan Pribadi DO. 175
Sitorus SRP, dan Susetio AT. 175
Sitorus SRP, Putri R, Panuju DR. 2009. 75
Sitorus et al. 2011. 149
Sitorus SRP, Patria SID, Panuju DR. 192
Sitorus SRP, Mulyani M, Panuju DR. 192
Soepraptohardjo dan Robinson GH. 28, 29
Soil Survey Staff. 23
Soil Conservation s America. 125
Solihah N. 102
Sostroatmodjo P. 173
Stone 2004a; 2004b. 208
Sumaryanto, N Syafaat M, Ariani & Friyanto S. 104, 108
Sutami. 167
Syaukat W, dan Agus F. 84, 85, 86, 87, 100, 102, 108, 112, 113, 122
T
Tala’ohu SH, Sutono, dan Soelaeman Y. 92, 93, 105, 106
Team Fakultas Pertanian IPB.168, 169
Tim Biro Perencanaan Deptrans. 169
Tjokroamidjojo (1979). 131
Tomar MS, Maslekar AR. 41, 60

U
Undang-undang Nomer 5 tahun 1960. 8, 9, 151

V
Van Lier HN dan De Wrachien D. 197
Vink APA. 13, 20, 22, 26, 31, 36, 38, 60, 133, 134
232 | Perencanaan Penggunaan Lahan

W
Wattimena 2013. 140
Watimena MC. 140
Watung RL, Tala’ohu SH, dan Agus F. 96
Whermann B. 77
Whyte RO. 14
Widiatmaka et al. (2015). 83
Wiener A. 133
Willatts EC . 137
Winoto J. 80, 88, 104, 108, 117, 118

Y
Yoshida 1994. 90
Yoshida 2001. 83, 94, 97
Young A, dan Goldsmith PF. 23
Yunus HS.19

Z
Zonn LE. 62

INDEKS SUBJEK

A
access 17
adaptability of land 63
afrika barat 141, 204, 210, 211, 212
afrika selatan 204, 212, 213
agenda 5
Indeks | 233

agroforestry 161, 191


agrowisata 91
aktifitas pada lahan 16, 17
Allotments 36

amazon 7
amenity 19, 91
amerika latin 204, 213, 214
anthropogenic 199
arable land 33
asia 7, 14, 22, 24, 204, 205
asia tenggara 22, 204, 205

B
bahaya areal 63
bendungan 95, 96
bera 16, 35, 40, 43, 44, 150
bottom-up 128, 139

C
cagar alam 17, 21, 29, 30
catchment area 14
chili 214
citra landsat 65
citra penginderaan jauh 32, 60, 147, 162
commercial areas 17
contingent valuation method (CVM) 91
county war agricultural committees 33
234 | Perencanaan Penggunaan Lahan

cropping system 26
current cultivation 43
cyclic 13

D
danau/situ 47, 50, 57
DAS 83, 90, 91, 92, 94, 95, 96, 106, 115, 205, 216, 218
daur pertanaman 42
degrees 16
desertifikasi 198

E
ecological basis 134
el nino 97
emplasemen 46, 47, 51, 52
erosi 2, 14, 18, 25, 44, 64, 83, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 105, 106, 165,
181, 186, 198, 213
established rating systems 64
evaluasi sumberdaya lahan 1, 32, 147, 150, 175, 223
exchanging ideas 17
extent 26
externalities 17

F
facts finding 84, 102
farm power 22
farm uses 41
FAO/UNEP 6, 126
filipina 206
filling 16
Indeks | 235

fixed 14, 137


forestry plantations 43
forecasting 131
foto udara 32, 42, 43, 51, 60, 61, 147, 164, 172, 206

G
gabah 22, 87, 91, 97,101, 103, 108, 122
GBHN 157
GDPs 2
grain crops 27
grazing 27, 28, 29, 36, 37
gross production 26, 134
ground crops 36

gullies 44
gurun pasir 44

H
hak adat 72, 208
hak barat 72
harga lahan 17, 88, 104, 106, 107, 113
hazards of the area 63
hortikultura 21, 29, 43, 44, 150
households 41
hutan 3, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 14, 18, 20, 29, 30, 34
hutan lebat 49, 53, 56
hutan belukar 49, 49, 53, 56
hutan sejenis 49, 53, 55, 56
hutan rawa 49, 53, 56
236 | Perencanaan Penggunaan Lahan

I
idle 16, 40, 44
india 41, 44, 60, 225
inggris 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 65, 137, 199
infiltrasi 103
intensitas penggunaan lahan 16, 26
internalities 17
interpretasi 62, 148, 159, 162, 164, 172
interrelasi 17
interplay 15
intersection 60
intrinsic values 89

J
jerami 54, 91

K
kadaster 203
kamboja 205
kampung 46, 47, 53
keberlanjutan (sustainability) 198
kebun campur 46
kemampuan lahan 62, 63, 64, 76, 92, 148, 178, 223
kepemilikan akses terbuka 8
kepemilikan lahan 4, 6, 7, 8, 9, 10, 89, 118, 182, 187, 203, 207, 208, 209, 212
kepemilikan komunal 8
kepemilikan negara 8
kepemilikan pribadi 8
Indeks | 237

ketahanan pangan 83
kode (coding) 41
kolam 41, 46, 47, 49, 56, 91
komite pangan perang 33
konversi lahan pertanian 75, 91, 106
kuburan 46, 47, 51, 54
kualitas lahan alami 16

L
labor intensity 22, 25
ladang 47, 48, 52, 55, 56
lahan 65
lahan bera 16, 35, 40, 43, 44, 92, 94, 143
lahan hutan13, 34, 35, 42, 43, 94, 92, 143
lahan konvensional 60, 61
Lahan non hutan 43, 45
lahan pedesaan 2, 17, 20, 21, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 53, 132, 133
lahan terlantar 44, 84, 85, 89
lahan tradisional 2
lahan pertanian 2, 3, 8,
land development 68, 24
land development planning 32, 167
landform 18
land rent 100, 101, 104
landscape 30
landslide 45
land tenure 16, 22
landuse 13, 14, 31, 45, 125, 131, 132
238 | Perencanaan Penggunaan Lahan

landuse plan 125


land units 172
laos 207, 208
levelling 16, 103
livestock breeding 26
Longsoran 45
lokasi 16

M
market gardening 27, 28
MDGS 5, 6
Meadow 35, 36

misuse 14, 186, 198


migrasi 4, 67, 205, 213
mitigasi perubahan iklim 5, 192
multifungsi lahan pertanian 75
multiple cropping systems 29

N
no-go area 182
nomadic herdings 27
nutrition density 14

O
Overuse 14

P
PACT 140
padang 13, 18, 20, 36, 37, 38
padang penggembalaan 35
Indeks | 239

padang rerumputan 47, 57


padang semak 47, 50, 57
pagar kota (urban fence) 137
pemetaan 46
penyakapan penggunaan lahan 19
peramalan (forecasting) 131
peraturan dasar pokok-pokok agraria 8, 151, 229
perbaikan pada lahan 16
perencanaan penggunaan lahan 137-140
perkebunan 57
perkebunan sagu 55
permukiman 43
pertanaman sekarang 43
pertanian kering semusim 46, 47
persawahan 46, 48
peta enam-inci 34
PIR-BUN 23
planimeter 61
pola penggunaan lahan 18, 25, 60, 67, 69, 148, 149, 189
potential landuse 14
present landuse 14, 31
present landuse surveys 31

R
ranching 27
rawa 50
real estate 101
reconnaissance 159
240 | Perencanaan Penggunaan Lahan

remote Sensing 122, 147


REPELITA 157, 171
replacement cost 95, 96, 105
replacement cost method (RCM) 91, 219
RRT 230
run-off 92
rural amenity 91
rural landuse 132
RTRW 80, 105, 113, 119, 120
RUTRK 121

S
sawah 207, 122, 121
skotlandia 38
SDGs 6
SKP 170, 173
socialized agriculture 28
soil subsidence 176
spatial 170
spatial zone 70
specialized grazing 28
stakeholder 4, 11, 143, 146, 191
subsidiaritas 128
subsurface 16
suburb 69
Survei penggunaan lahan 31
Indeks | 241

T
tanah buangan 44
tanah tandus 46, 47, 50, 56
tata guna tanah 45, 153
TCM 91
tegalan 47, 48, 52, 55, 56, 84, 93, 94
thailand 205
tipe penggunaan lahan 15
top-down 128, 139, 145
travel cost method (TCM) 98

U
unpriced benefit 90
urban fence 137
UUPA 72, 72, 151, 152, 153, 154

V
visible expression 65
vietnam 205, 206

W
waduk 41, 43, 47, 50, 57, 108
wales 37, 38
waste land 44
water retention capacity 92
WPP 170

Z
zonasi tata ruang 70
RIWAYAT PENULIS

SANTUN RISMA PANDAPOTAN SITORUS lahir di Pe-


matang Siantar, Sumatera Utara pada tanggal 21 Juli
1949. Setelah lulus SMA Negeri I di Pematang Siantar,
belajar di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
pada tahun 1967 dan memperoleh gelar Sarjana Perta-
nian dengan predikat sangat memuaskan pada tahun
1972. Sejak itu menjadi staf pengajar pada Jurusan Ta-
nah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ta-
hun 1980–1981 mengikuti latihan dan memperoleh
sertifikat dalam bidang Penelitian Sumberdaya Alam dan Evaluasi Lahan pada
International Postgraduate Course yang diselenggarakan oleh University of Shef-
field-UNESCO di Sheffield, Inggris. Gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) dalam
bidang Evaluasi Sumberdaya Lahan diperolehnya dari University of Sheffield,
Inggris pada tahun 1984. Diangkat sebagai Guru Besar pada tahun 2001 dalam
bidang Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Buku Pertamanya
berjudul Evaluasi Sumberdaya Lahan diterbitkan Penerbit TARSITO Bandung
tahun 1985. Buku kedua berjudul Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelan-
jutan diterbitkan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Per-
tanian IPB Bogor tahun 2014. Buku dengan judul Perencanaan Penggunaan
Lahan ini merupakan Buku Ketiga. Beberapa manuskrip buku lainnya untuk
diterbitkan sedang dipersiapkan. Aktif mengikuti berbagai seminar, baik di da-
lam maupun di luar negeri. Berpengalaman dalam melakukan berbagai peneli-
tian, survei, dan perencanaan penggunaan lahan, perencanaan tata ruang, dan
perencanaan pembangunan desa (Satuan Permukiman) di sebagian besar Wilayah
kepulauan Indonesia dan di Spanyol Tenggara. Sejumlah artikel dan publikasi
ilmiah mengenai tanah, penggunaan lahan, ruang terbuka hijau dan pertanian
telah dipublikasikan dalam berbagai jurnal ilmiah nasional dan internasional
serta surat kabar nasional.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai