Anda di halaman 1dari 10

1

Judul: Rembulam Membelah Hati Oleh: St. Ida Noer Laili. Mahasiswi IDIA (Pondok
Pesantren Al-Amin Prenduan). Aktifis AJMI IDIA, Aktifis FLP Ranting Pondok pesantren
Semar Ragang

Sinopsis

Cerpen ini mengisahkan tentang seorang perempuan yang bernama Bela. Dia adalah
perempuan cantik, pintar dan juga sangat berbakti pada orang tua, Ia juga perempuan yang setia
dan tidak suka terpengaruh terhadap orang lain. Dia anak desa yang hidup makmur dengan hasil
tanaman-tanaman yang subur namun Suatu ketika keluarganya mengalami kerisis ekonomi
sehingga dia sempat vakum dalam belajarnya dan pergi keluar kota untuk mencari sebuah
pekerjaan.

Dia punya seorang kekasih bernama Ahfaz seorang mahasiswa UIN syarif Hidayatullah.
Bela sangat menyayanginya begitupun dengan Ahfaz. Ahfaz mau melakukan apapun demi
kebahagiaan kekasihnya, bahkan siap menanggung biaya hidup keluarga Bela jika ia mau, Namun
Bela sering menolak tawaran Ahfaz yang terlalu berlebihan menurutnya. Namun siapa yang
menduga ketika ternyata lebih dulu peria lain yang datang kerumah Bela untuk melamarnya dan
dia juga bukan peria biasa bahkan hidupnya bisa dikatakan lebih baik dari kekasihnya itu. siapakah
yang akan Bela pilih? Jawabannya ada dalam cerpen ini.. Rembulam Membelah Hati

Rembulam Membelah Hati

Desaku…

Padi ibuku,

Negeri kelahiranku demam panjang.

Hangus tanaman ibuku

Belum menuai pula kering

Apa hendak ditelan?

Apa hendak disuguhkan?


2

Tak tega melihat putih tangan diturunkan jadi beban

Bisu mereka lesu

Para petani yang ngus-ngusan beradu

Tanah gersang, cangkul budal.

Petani lengah ada sawah menjanggalkan.

Taman Bambu adalah desaku, desa para petani yang dulunya hidup makmur dengan
wilayah yang subur namun kini menjadi tandus, nasib buruk sedang menimpa. Musim kemarau
panjang membuat para masyarakat di desa hanya garuk-garuk kepala, ladang kering, bendungan
tidak bersumber, tanaman ludes. Ujian ini sangat berat membuat masyarakat desa banyak yang
merantau lebih-lebih ke Malaysia termasuk aku anak sekolah yang baru duduk dibangku kelas XII
(2 SMA?) SMA, aku telah memilih pergi dari desa melepaskan buku pena, seragam sekolah yang
biasanya kukenakan tiap hari pada jam 06:00. Aku pergi hanya untuk mencari nafkah buat ibu dan
bapak dan juga adik yang masih belita.

Sudah satu tahun lebih aku tinggal di kota Tangerang bersama teman-teman yang sama-
sama ditolak setiap kali melamar sebuah pekerjaan, aku Shilfie, Sofi, Bunga, Intan. Kami tinggal
disatu kos-kosan milik bibik mas Ahfaz kekasihku yang begitu sangat baik tanpa berbayar. Mas
Ahfaz yang telah meminta bibiknya untuk memberiku kos-kosan gratis, ia juga sangat peduli
tentang keadaan ekonomi keluargaku, seandainya aku terima dia siap mentransfer setiap satu bulan
2 juta ke ATM orang tuaku, namun aku menolaknya, dia belum jadi sipa-siapanya aku, dia hanya
pacarku jika putus dia sama seperti orang lain yang tak punya hubungan darah denganku, namun
hal itu tak pernah kuharapkan, cinta ini begitu besar tak akan pernah bisa dibasmi. Dia salah satu
mahasiwa UIN Syarif Hidayatullah dan dia kuliah sambil bekerja sebagai editor di printing besar
punya pamannya sendiri di Jakarta tak jauh dari tempatnya kuliah. Aku sangat berharap hubungan
kita sampai kejenjang selanjutnya.

Di kos-kosan ini kami sangat belajar hidup mandiri, apapun kita kerjakan sendiri termasuk
memasak, tak ada yang dapat memanjakan kami karena tak lagi dengan orang tua dan keluarga.
kami sama-sama belum lulus sekolah. Setelah selesai UAS kelas XI kami telah memutuskan untuk
mencari kerja keluar kota walaupun sebelumnya semua ini jauh dari antusias kami. Hanya karena
3

tidak tega melihat orang tua banting tulang bekerja ditengah terik matahari hanya untuk melunasi
SPP tiap semester apalagi saat ini keadaan kurang baik dan mengalamai kerisis ekonomi.

Hidup dikota ternyata tidak semudah yang sebelumnya kita pikirkan. Ditolak dari
perusahaan A-Z, justru ditawarin untuk bekerja sebagai tukang cuci, menyikat WC, dan baby
sister. Kita hanya geleng-geleng kepala ketik ada tante-tante yang menawarkan pekerjaan tersebut,
melihat umur kita yang masih remaja jelas kami merasa gengsi dengan pekerjaan tersebut, kita
mencari pekerjaan yang berprofesi sekalipun tidak tinggi tapi setandart setidaknya minimal kami
jadi kusir atau jaga toko besar. Namun itu tidaklah mudah. Hidup dikota tidak menguntungkan,
menjadi pengangguran tak lebih seperti gelandangan yang susah cari makan.

Sore itu tepat pada hari senin, kita nongkrong dipinggir jembatan, aku diposisi paling
tengah, Shilfie, Sofi disebelah kananku sedangkan Bunga dan Intan disebelah kiriku.

“aku dapat kabar baik loh” ujar Shilfie menghempas keheningan diantara kimi yang tadinya lagi
pada sibuk sendiri dengan sosial medianya masing-masing. Kami berempat terperangah kaget
mendengar ungakapan Shilfie.

“kabar baik apa?” Sofie lebih dulu bertanya. Sedangkan spontan dibenakku sudah muncul
bayangan bahwa sebentar lagi kami akan diterima disebuah perusahaan besar.

“semalam aku malming bersama Fina si anak saudagar kaya itu” lanjut Shilfi dengan wajah
sumringahnya.

“aku lewat didepan sebuah gedung yang besar, Fina sempat berbisik ditelingaku, kata dia kita tak
perlu lama-lama disini, cukup satu minggu bekerja disana kita sudah bisa bangun rumah mewah”
lanjut Shilfi

“Waw, yang benar itu? Coba saja kita ngelamar kerja disana” sahut Bunga seiring dengan
tangannya yang mengayun-ayun lututku dengan posisiku yang lagi jongkok.

“kamu gak bercandakan Sil?” Tanyaku penuh penasaran seraya tanganku mengepal tangannya.

“iya, aku tidak bercanda Bela, selagi kita mau menanggung resikonya” lirihnya dengan pelan
seraya menyoroti mataku..
4

“emang itu perusahaan apa? Milik siapa? Dan profesi kita sebagai apa?” tanyaku lebih penasaran
lagi.

“kita akan bekerja di bordil” jawabnya bikin kita berempat shock.

“dasar, kamu gila” ditampollah kepala Shilfi oleh si Bunga

“idemu ituloh terlalu kotor” celoteh Intan dengan ekspresi meringis.

“lantas mau bagaimana lagi, apakah kita akan pulang dengan tangan kosong?” Shilfi beranjak dari
tempat duduknya, berdiri pas didepan kita. Lalu disusul intan yang juga berdiri dan menatap tajam
mata Shilfi.

“sekalipun kita tidak lulus SMA tapi kita juga termasuk orang yang berpendidikan, hanya kurang
dua tahun kelulusan kita, kamu mau menyia-nyiakan orang tuamu yang telah menyekolahkan dari
SD, kamu mau membalas keringatnya dengan berakmu?” ujar intan dengan Gerang.

“sudah-sudah. Besok kita pulang sebelum bencana mengelabuhi kita” serpihku ditengah
kegerangan. Lalu aku dan Bungan juga berdiri

Nampak bunga mawar telah layu didepan pintu rumah kos-kosan tempat kami tinggal
karena kami yang sangat lalai menyiramnya tiap hari. Pagi ini tidak seperti biasanya, sepi tanpa
kicauan burung-burung seakan tidak ada yang menarik dipagi ini, yang nampak hanya mobil, bus
motor yang berlalu lalang di jalan raya . Mungkinkah jagad raya ini turuh sedih dengan nasib
kami?

Aku Sofi, Shilfi, Bunga dan Intan tengah memasukkan koper kedalam bus, kita benar-benar
telah memutuskan untuk pulang tanpa buah tangan. Malu tak perlu ditanya, pulang dengan wajah
yang semakin gelap. Wajah kita berubah derastis dari sebelumnya sewaktu kita di desa karena kita
yang jarang mandi lebih asik main hp dan jarang juga cuci muka hanya ketika akan melaksanakan
shalat saja.

Desaku dengan ladang panjang dan pohon bambu jadi selimutnya hingga desa itu terkenal
desa Taman Bambu sekalipun realitanya bukan sebuah taman. Masyarakat lebih banyak sibuk
dengan pekerjaannya masing-masing namun tidak ada yang lupa sosialisasi. Sesibuk apapun orang
desa namun tak pernah renggang dengan tetangga, tak lupa berbagi, susah senang bersama.
5

Nampak ibuku didepan pintu, ia tersenyum menyambutku dengan merentangkan


tangannya pertanda ia ingin segera memelukku. Ia tahu aku pulang Sofi sahabatku telah
mengirimnya pesan sewaktu kami di tengah jalan.. Bergegaslah aku berlabuh dalam dekapannya.
Sejuk kurasa, sudah satu tahun lamanya tak bertemu, dan setelah lima bulan aku sangat jarang
memberi kabar karena lima bulan yang lalu hpku telah kujual untuk biaya hidupku dikota
Tangerang namun hangus sampai sekarang belum ada uang untuk menggantinya dengan yang
baru.

“bapak mana bu?” tanyaku karena bapak tidak ikut menyambutku

“bapakmu di dalam nak” jawab ibu seraya menundukkan pandangannya

Tanpa banyak tanya segera aku bergegas masuk kedalam rumah, jantungku berdebar kencang,
pikiranku lagi tidak baik-baik saja. Aku yakin bapakku senang jika aku pulang karena dari awal
bapak sudah sering memintaku untuk pulang. Tapi kenapa dia tidak menyambutku, apa yang
terjadi?

“bapak” panggilku, namunn tidak ada jawaban

“Bapak”

“Bapak” berkali-kali kupanggil namun tetap saja tidak ada sahutan

“ibu, bapak mana?” tanyaku pada ibu dengan perasaan semakin was-was

“dikamar pojok nak” jawabnya seraya mengelus-elus punggungku

“bapak tidak kenapa-napa kan bu?” tanyaku diiringi kakiku yang terus melangkah menuju kamar
pojok. Ibu hanya diam tidak merespon membuat hatiku semakin negative thinking. Dadaku tambah
berdebar kencang ketika tanganku sudah menggenggam gagang pintu

“Assalamu’alaikum bapak” ku ucapkan salam terlebih dahulu sebelum kuputar gagang itu namun
tak juga ada jawaban lalu segera kuputar gagang pintu itu. Astaghfirullah, terbelalak mataku, air
matapun tak dapat kubendung mengelir sederas mungkin.

“bapak” teriakku seraya lari lalu memeluk tubuhnya yang bergelentang diatas ranjang. Aku
menangis tersedu-sedu memeluk bapakku yang semakin kurus. Bapak memandangiku dengan
mata sembabnya dan mulai mengelus lembut kepalaku dengan tangan yang gemetar susah
6

digerakkan namun bapakku memaksa untuk bisa melakukannya. Penyakit bapakku lagi kambuh.
Bapakku mengidap gangguan ataksia friedreich, penyakit bapak lumaian parah, tubuhnya susah
untuk digerakkan, otot-ototnya kaku. Bapakku menggunakan kateter urine dan kulihat ada ember
besar dibawah dipan kecil disamping ranjang bapak pertanda bahwa bapakku tidak mampu
berjalan ke kamar mandi, BAK, wudhu’ diatas dipan.

Betapa berdosanya aku, tak henti-hentinya air mataku menetes, ibuku tidak pernah
memberi tahu tentang ini. Dua bulan yang lalu terakhir aku menelvon bapak dan setelah itu ketika
aku dapat menghubunginya lewat warnet terdekat di Tangerang, ibu yang selalu menjawab dan
ketika kutanya bapak, ibu selalu beralasan bapak lagi sibuk.

“nak, bapak tidak pernah memintamu untuk bekerja. Bapak hanya ingin kamu melanjutkan
pendidikan” lirih bapak dengan bibir gemetar diiringi aliran air matanya. Air mataku pun semakin
menjadi.

“bapak, berapa tahun lamanya Bela selalu nyusahin bapak, bapak bekerja keras hanya untuk
nyekolahin Bela, sekarang sudah saatnya Bela mandiri dan cari uang sendiri. Izinkan Bela untuk
cari kerja”

“nak, bapak ingin hidupmu lebih beruntung dari pada bapak dan ibukmu” suara bapak sangat pelan
hingga kudekatkan telingaku disamping bahunya

“pantaskan juga dirimu untuk nak Hafidz” lanjut bapak membuatku kaget, spontan dibenakku
bertanya-tanya kenapa bisa bapak sampai tau prihal hafidz menyukaiku.

“dia laki-laki yang baik nak” sahut ibu seraya duduk disampingku sembari dengan lembut
tangannya mengusap air mataku.

“dua kali dia kesini untuk melamarmu namun bapakmu tidak memberi tahumu dan belum memberi
keputusan karena bapakmu masih memikirkan pendidikanmu, dan dua kali juga dia menjenguk
bapakmu selama beliau sakit” aku terkesima mendengar penjelasan ibu, Aku tidak menyangka dia
seserius itu padahal dia tidak kuladenin. Aku tidak pernah berpikir bahwa dia akan melamarku.

“ terakhir dia kesini dia minta izin untuk berangkat ke UNIDA Gontor, dia kuliah sambil nyantri”
aku jadi bingung mendengar apa yang disampaikan ibu dan bapakku. Hatiku menjerit “tidak”
Mereka tidak pernah tau bahwa aku sudah nyaman sama oranng lain.
7

Hafidz adalah kakak kelasku yang paling cerdas di kelasnya dari 45 siswa dan siswi. Dia
setiap semester selalu diperingkat satu tidak pernah ada yang bisa menjatuhkannya dan terbaik
pertama disekolah SMA Al-Munir, sekalipun aku belajar sampai jungkir balik tapi tetap saja aku
tidak bisa menyainginya, aku meraih nilai terbaik ke dua setelahnya se SMA. Dia laki-laki enceran
teman-teman bahkan kakak kelaspun banyak yang terkagum-kagum padanya. Dia putih, tinggi,
Hidungnnya mencuat kokoh seperti hidung-hidung keturunan Arab, matanya menawan, alisnya
lebat, nampak lesung pipi ketika ia tersenyum, perawakannya tinggi dan kurus. Perkasa aku
menilainya. Siapa yang tak terkagum-kagum pada peria yang berpewarakan sempurna, pintar, pula
kaya. Aku juga kagum padanya tapi bukan berarti cinta, aku sudah punya mas Ahfaz, sudah dua
tahun menjalin hubungan dengannya, dia laki-laki yang baik dan perhatian walaupun ia kalah
tampan dibandingkan Hafidz namun aku sudah sangat menyayanginya.

***

Hari rabu adalah hari pertamaku masuk sekolah, bapakku sempat berbisik semalam. Kata
bapak, bapak memasukkanku dihari rabu karena rabu itu penuh berkah, hari rabu adalah hari
diciptakannya cahaya, dengan harapan masa depanku secerah cahaya matahari yang menyinari
jagad raya. Seperti itulah penjelasan bapakku yang cerdik.

“Bela, tunggu” kudengar teriakan Faiq tetangga sebelah rumahku memanggil namaku usai
kupasang sepatu dan sudah siap angkat kaki dari depan rumah.

“ada apa Faiq?” tanyaku heran

“ini ada telfon dari Ahfaz, dia mau bicara katanya” katanya seraya menyodorkan handphonenya
ke arahku.

“Assalamu’alaikum” aku mulai dengan salam.

“wa’alaikumussalam” jawabnya dengan hembusan nafas panjang.

“lagi kecapean ya?” tanyaku hawatir

“enggak, justru aku tenang masih bisa bicara ama kamu bel” jawabnya

“ya iya lah pasti bisa, aku masih hidup mas” ujarku diiringi senyum bahagia mendengar
ungkapannya itu. Dia pun tertawa terbahak-bahak.
8

“apa benar hari ini kamu masuk sekolah lagi?” tanya dia lagi.

“iya mas, ini bela dah siap”

“iya sudah, mas senang dengarnya. Belajar yang rajin ya bel”

“iya mas, mas juga jaga diri disana”

“iya, Assalamu’alikum” dia menutup telfon lebih dulu sebelum kujawab salamnya.

***

Angin mengelus tubuhku dengan lembut, gemerlap bintang menyapa ma’rifat dengan
penuh keanggunan, bulanpun menyugingkan senyum yang lebar sangat mendukung keadaan hati
yang saat ini dilanda asmara menunggu kedatangan kekasih sang pujaan hati yang kucinta. Baru
saja Faiq memberi tahuku bahwa dia lagi berkunjung kerumah kakeknya yang ada didaerah Jawa
Timur. Dan Faiq juga memberi tahuku bahwa saat ini dia diperjalanan menuju istana kecilku yang
katanya sebentar lagi dia akan sampai

Tiba-tiba nampak juga batang hidungnya, dia mengenakan mobil Avanza, entahlah didalam ada
siapa saja. Segera dia menghampiriku dengan bingkisan besar ada dalam dekapannya. Entahlah
apa itu aku tidak paham juga.

“Happy birth day bidadariku yang telah kupelihara sepenuh hati” ucap ma Ahfaz dengan senyum
yang nampak begitu sangat tulus seraya menyodorkan bingkisan yang ia bawa. Aku begitu sangat
kagum, dia masih mengingat ulang tahunku sedangkan aku sendiri lupa, karena didesaku tidak
terlalu fanatik dengan hal itu. jarang di desaku merayakan hari ulang tahun. Biasanya hanya
dirayakan pada anak berusia dibawah empat tahun.

Aku dan mas Ahfaz tidak bisa ngobrol lama hanya sekitar 5-10 menit setelah itu mas Ahfaz
pamit pulang dengan menerbangkan senyum yang tidak bisa kulupa dalam ingatan. Setelah ia
melambaikan tangan akupun langsung masuk ke kamar dengan membawa bingkisan tersebut tak
lupa memelankan langkah kaki agar tidak terdengar pada ibuku yang belum selesai dzikiran
sehabis shalat isyak.

Pelan-pelan kutarik pita hitam bingkisan cantik itu dan sangat mengejutkan, boneka panda
cantik yang rasanya pas dipelukan dan berbulu halus, dan satu lagi ada box kecil didalamnya dan
9

setelah kubuka ternyata handphone bermerek hp. Aku senang dia memberiku hadiah handphone
sudah lima bulan aku sekolah kesusahan menghubungi teman-teman ketika ada tugas kelompok
namun disisi lain Aku merasa gak enak sendiri dengan pemberiannya yang terlalu besar bagiku.
Sedangkan aku hanya bisa memberi baju kapel dihari ulang tahunnya.

Dok, dok, dok.

Terdenagar pintu kamar diketuk dengan keras. Membuyarkan fokusku pada mas Ahfaz
yang sanagat indah dalam lamunan. Segera kumasukin pemberian mas Ahfaz ke dalam lemari.

“nak, ayo keluar ada tamu” suara ibu menyusul setelah ketukan itu

“iya bu. Siapa tamunya?” tanyaku denagn segera kulangkahkan kakiku mendekati pintu. Belum
sempat ibu menjawab pertanyaanku, gagang pintu sudah terbuka lebar mempersilahkan ibu masuk.

“siapa bu?” tanyaku lagi

“ibu mau bicara sebentar” ujar ibu seiring dengan langkah kakinya yang melangkah kearah
kasurku, ada rasa was-was dihati, hawatir ibu membuka lemari karena aku belum bisa
menceritakan tentang mas Ahfaz pada ibu. Ibu menidurkan adik diatas kasurku yang tadinya ia
gendong.

“nak, di bawah ada nak hafidz dan keluarganya, jelas kamu tahukan maksud kedatangannya yang
sempat tidak terjawab” jelas ibu membuat mataku terbelalak kaget mendengarnya, detak
jantungkupun sudah tidak normal lagi.

“cepat ganti baju, ibu tunggu di kamar bapak, bapak mau bicara sama kamu” lanjut ibu dan
bergegas keluar kamar. Aduh, air mataku tidak bisa terbendung lagi, yang nampak didepan mataku
saat ini hanyalah mas Ahfaz yang sudah banyak berkorban untukku. Apa hendak kukata pada
bapak dan ibuku.

Aku hapus air mataku, lalu bergegas ke kamar bapak. Ingin kujelaskan semuanya padanya.

Kulihat bapakku duduk diatas kasur menungguku dan menyambutku denagn senyuman.
Keadaanya suda lumaian membaik, bapak sudah bisa berjalan namun cuman didalam rumah saja
dan dibantu dengan tongkat.

“nak,nak Ahfaz datang” bapak mulai bicara


10

“bapak, bukannya bapak meminta Bela untuk melanjutkan pendidikan” tegasku

“dia akan menunggumu sampai lulus kuliah nak, dan bahkan ayahnya bersedia menanggung biaya
kulaihmu dimanapun kamu mau”

“apa bapak mau menukarku dengan hartanya?” tanyaku dengan isakan tangis dihadapan bapakku

“tidak seperti itu nak, kamu tahu sendiri bapak dulu petani yang sukses tapi sekarang lihatlah
keadaan bapak nak!” ujar bapak seiring dengan elusan tangannya dibahuku.

“dia kurang apa? Ganteng iya, baik iya, dan bapak tidak hawatir dengan urusan agamanya karena
dia adalah seorang santri” lanjut bapak

“bapak, sudah ada laki-laki yang Bela percaya dan dia juga laki-laki yang sangat baik”

“dia baik karena kamu cinta, itu namanya bucin nak, jangan karena kamu membucin lalu buta pada
yang lain yang jelas lebih baik, dan atas dukungan orang tua” ujar bapak dengan tatapan serius di
mataku.

“nak, ibu juga sangat tidak keberatan jika kamu sama Hafidz, ibu justru sangat tenang jika kamu
dengannya” lanjut ibu. Aku tak tahu apa hendak kukata karena aku lagi berhadapan dengan orang
tua yang mulia, mereka orang tuaku, aku tak berani membantahnya. Air mataku mengalir tiada
henti.

“apa yang kamu tangiskan, bukankah ini sebuah keberuntungan?” tanya bapak dengan pelan dan
halus, dan tangannya masih saja mengelus-elus pundakku. Aku sudah membisu tak dapat berkata-
kata lagi. Hanya suara tangisanku yang tersedu-sedu mengisi keheningan. Aku tidak bisa memaksa
bapak ibuku sependapat denganku. Aku tidak mau memperburuk keadaan bapakku hanya karena
egoisku sendiri.

Anda mungkin juga menyukai