Anda di halaman 1dari 3

Tini yang Bukan KARTINI

Tini tapi ia bukankah Kartini sang pahlawan nasional. Ia hanyalah seorang gadis sederhana
yang memiliki mimpi yang sangat tinggi. Tini ingin membahagiakan kedua orang tua dan juga
keluarganya. Ini bukanlah mimpi tak beralasan, ia adalah anak tertua dikeluarganya. Dialah yang
harus memutus kemiskinan dalam keluarganya.
Tak terasa saat ini sudah berada di titik akhir pendidikan SMA nya. Dengan pelan dan
perlahan Tini mengautarakan maksudnya kepada sang ayah. Sang ayah sangat bersemangat
mendengar maksud hati tini. Jauh di lubuk hatinya, ayah sangat bangga kepada tini. Selama di SMA
prestasi tini sangatlah bagus..nilai-nilai sekolahnya sangat baik. Ia selalu menduduki rangking teratas
diantara teman-temannya.
Namun ayah tak berani bermimpi terlalu jauh. Penyakit yang bersarang ditubuhnya ini telah
mengikis tenaganya. Ia tak mampu lagi menjadi tulang punggung keluarga. Ia hanya menghabiskan
waktu dirumah. Terkadang rasa iba selalu terbayang bila mengingat sang istri harus bekerja keras
demi ia dan keluarganya. Namun ia tak mau mematahkan semangat sang anak. Ia hanya
menyarankan agar berdiskusi dengan sang ibu.
Tini akhirnya mengutarakan niatnya kepada sang Ibu. meski dengan takut-takut, ia berhasil
meyakinkan sang ibu. Ibu mengiyakan niat tini.dengan catatan tini haus siap untuk hidup susah dan
seadanya
Saat tini sudah tercatat sebagai salah satu mahasiswa sebuah universitas terbaik di kotanya.
Ia bergabung lewat jalur penelusuran akademis. Tibalah episode sulit hadir padanya.
Rata-rata teman-temannya diantar oleh orang tuanya mencari tempat kost membeli barang-
barang peralatan kuliah serta barang-barang untuk memenuhi kamar kos namun tidak demikian
dengan Tini ia harus berjuang sendiri. Ia hanya menempati sepetak ruang gudang sebuah counter
handphone milik kenalan sang paman. Sang ibu tak mampu mengantar nya ke universitas dan
menyediakan fasilitas yang layak buat tini. Meski ia sangat menginginkan tini hidup lebih layak,
namun ia harus mengukur bayang dirinya. Ia tak mampu, dan tini harus mengerti
Sang ibu hanya menitipkan Tini kepada keluarga jauh yang tinggal di kota tersebut. ia
membawa barang seadanya dari kampung. Namun kesulitan tak menyurutkan langkah Tini
semangatnya tetap . Meski kondisinya tidak sama dengan teman-temannya ia tidak merasa rendah
diri ataupun kecewa.
Setiap kali libur semester tiba ia tak pernah pulang kampung ia memilih bekerja sebagai guru
privat dari rumah ke rumah. kalaupun ia pulang ke kampung, ia akan membantu ibunya mengurus
sepetak sawah di kampung. Ini ia lakukan karena sang ayah tak mampu lagi bekerja keras sang ayah
mengalami gagal ginjal yang mengharuskan beliau untuk tidak bekerja terlalu berat
Ketika ia terpaksa pulang kampung karena permintaan ibunya. Maka ia harus melewati
episode selanjutnya. ia tak pernah dibekali uang saku oleh sang ibu. ini bukan karena sang ibu pelit
ataupun ngirit tapi memang karena sang ibu tidak punya cukup uang untuk dibawa Tini. Uang yang
ia kumpulkan hanya cukup untuk makan dari hari ke hari.
Ibu hanya membekali Tini 50 buah telur itik dari hasil ternaknya. Untuk mendapatkan uang
saku bulanan, Tini harus menjual telur-telur tersebut kepada tukang bakso yang berada dekat di
universitasnya. Kondisi seperti ini terjadi hingga ia semester dua. Kondisi seperti ini terjadi hampir
dua tahun. Namun Tini tak pernah mengalah dengan keadaan. Ia tetap Bertahan
Memasuki tahun kedua pendidikannya, penyakit sang ayah tak mampu lagi bertahan. sang
ayah harus bolak-balik ke rumah sakit, gagal ginjal yang dideritanya tak lagi mampu diobati dengan
obat-obatan ataupun mantri kampung. Ayah Tini akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di
usia yang masih cukup muda, 43 tahun.
Kehilangan sang ayah menjadi luka mendalam bagi Tini. Sosok yang sangat ayah sangat ia
banggakan. Dari sang ayahlah semngatnya untuk menjadi sarjana selalu membuncah. Pendidikan
bagi sang ayah sangatlah penting. Sang ayahlah yang banyak mengajari tini tentang banyak hal.
Ketika tini bertanya, apa yang sangat ayah dambakan darinya. Sang ayah bertutur bahwa ia sangat
ingin menyaksikan tini dan ketiga adiknya menjadi sarjana
Setelah kepergian sang ayah, episode baru dalam hidup tini kembali muncul. Sang ibu harus
bekerja lebih keras lagi. Adik-adik tini harus makan sekaligus bersekolah. Sang ibu mengerjakan
semuanya sendirian. Akhirnya dengan berat hati sang ibu menceritakan kesusahannnya kepada tini.
Ia tak memiliki banyak pilihan ia hanya boleh meneruskan kuliah tapi sang adik berhenti sekolah
Dengan berat hati tini harus memilih, ia memilih untuk pulang kampung dan membantu
ibunya menyekolahkan adiknya dan menggarap sawah.
Meski dengan deraian air mata rekan-rekan kampusnya tapi ini tidak mengubah keadaan ini
tini harus pulang kampung kehidupan berkutat dengan tugas kuliah harus ia tinggalkan
Saat ini telah terhampar di hadapannya sepetak sawah yang menunggu sentuhan tangannya
dan ibu. Dengan langkah sederhana dan tenaga yang tidak seberapa akhirnya petakan tanah becek itu
telah menjadi hamparan padi menguning.
Tak hanya bercocok tanam padi, berbekal pengetahuan dari kampusnya Tini juga beternak
itik ia mengembangkan usaha peternak itik yang dikelola oleh ibunya. Banyak kesulitan yang ia temui
namun sang ibu selalu menguatkan. Ia lakukan segala hal agar usahanya berhasil ia mulai menjual
telur telur mulanya hanya ke pasar pasar dekat desanya kemudian mulai ke pasar yang ada di kota.
Berkat karakter jujur dan pekerja keras dari kedua orangtuanya inilah yang menjadikan modalnya
mengembangkan usaha. Sedikit demi sedikt usahanya mulai berkembang. Permintaan telur itiknya
semakin bertambah. Hingga akhirnya ia berhasil memiliki sepetak ruko yang dijadikan gudang
penampungan telur-telur itu.
Tak jarang ia mengalami kegagalan kemudian ia coba lagi jatuh ia bangun kembali dan
akhirnya tidak ada pilihan bagi semesta selain menjadikannya pemenang dalam pertarungan ini
Tini yang bukan lah Kartini pahlawan nasional itu kini telah menjadi seorang saudagar telur
itik terkenal di Kota itu. banyak sudah rintangan demi rintangan yang ia lalui ujian yang ia dapatkan
dalam kehidupannya menjadikannya lebih empati kepada sesama ia mulai memberdayakan ibu-ibu
desa untuk memelihara itik yang diperoleh.
Kini meski namanya bukan Sang Kartini pahlawan Nasional itu, tapi ia telah dikenal sebagai
Tini sang pahlawan keluarga. Habis sudah kegagalannya, kini tibalah ia memetik Terangnya hari-hari
Hai sahabat semua, namaku Lisna Junita. Kerap disapa Ummi
Lisna oleh teman-teman dan anak didikku. Saat ini aku berusia 34
tahun. Aku lahir pada tanggal 14 juni 1986 di Bengkulu.
Saat ini aku berdomisili di kota bengkulu. Aku adalah seorng
guru sekolah alam di kota bengkulu. Yaitu Sekolah Alam Bengkulu
mahira.
Aku adalah lulusan sarjana Fisika, Universitas Bengkulu. Aku
sangat hobi berpetualang dan mendaki.
Aku sudah mendaki gunung kerinci dan gunung semeru. Bagiku aktifitas mmendaki adalah
recharge energi baru bagiku.

Anda mungkin juga menyukai