Anda di halaman 1dari 11

PERJUANGAN ANAK TUKANG GULA MENDULANG JUARA

Jilbab putih menutupi wajah bundar, berkulit hitam manis, bertengger tahi lalat menghiasi pipinya yang lesung.
Dengan kepolosan dan keluguannya mewarnai keayuan Siti Saodah. Ia rajin serta disayang kawannya. Terlahir
dari seorang pedagang gula aren sebagai mata pencaharian pokok. Dari sanalah orangtuanya bisa membiayai
hidupnya yang kembang kempis. Mereka hidup dibawah garis kemiskinan, hanya sesekali bisa mengais
rezekinya.

Cidugaleun, kampung kelahirannya. Berada di bukit terjal di bawah kaki Galunggung, yang konon pernah
memuntahkan lahar bebatuan di tahun 1982. Konon pula butiran-butiran debunya sampai ke Benua Kanguru. Di
sekitar gubuknya dikelilingi pepohonan aren nan menjulang ke angkasa.

Kokokan ayam membangunkan dia beserta keluarganya yang terlelap dari tidurnya. Dia bergegas ke Pancuran
di belakang rumah untuk berwudhu dan mendekatkan diri kepada Alloh SWT, serta berdoa semoga diberikan
kemudahan dan kelancaran karena akan menghadapi Ujian Nasional. Tak lupa, dia selalu membuka buku-buku
pelajaran karena dikenal juga dia Si kutu buku. Siti pun menyiapkan sarapan pagi untuk mutiara yang paling ia
kagumi, yaitu kedua orangtuanya. Sementara, mereka mencetak gula aren untuk dijualnya.

Setelah sarapan pagi selesai, Siti berkata kepada kedua orangtuanya:


Ibu Bapak Alhamdulilah ya kita masih diberi rezeki oleh Alloh SWT.
Ia Nak, kita harus bersyukur kepada Alloh! karena Dia-Lah yang telah memberi rezeki kepada keluarga kecil kami
ini. Ujar Bapaknya
Kita harus berterima kasih kepada-Nya. Berdoa dan beribadah itu harus. Walaupun kita orang miskin, tetapi kita
tidak boleh lupa yang namanya bersyukur dan beribadah. Lanjut Ibunya
Iya, Bu Pak Siti tidak akan lupa untuk beribadah kok. Ujar Siti

Raja siang memancarkan sinarnya dari ufuk timur, diiringi gemuruh Curug Jajaway serta gemericik air yang turun
dan menetes dari sela sela jemari akar pohon beringin yang sudah berjenggot. Kicauan burung dan kelelawar
sahut menyahut bergelantungan menambah semangat langkah Siti Saodah besama kawannya menuju lautan
ilmu.

Suatu hari yang mendung, mereka menatap ke langit sembari berdoa karena turun hujan tak henti-henti bagaikan
diteng-tengkan dari langit, disertai angin kencang, kilatan petir menyilaukan mata. Itu terjadi semalam suntuk.

Menjelang subuh, suasana sepi orang-orang enggan keluar. Awan, kabut, memutih tak tembus pandang, suasana
dingin mencekam, pori-pori kulit berdiri merinding. Hati Siti Saodah mulai gundah gulana karena hari ini Ujian
Nasional akan berlangsung. Ayahnya pun ikut cemas, dua mengurungkan niat untuk mengais rezeki demi
anaknya.

Suasana alam tak bersahabat, dari kejauhan air bah terlihat melimpah, meninggi sepinggang orang dewasa,
ternyata jembatan Cekdam yang akan dilalui terendam. Bongkahan-bongkahan kayu yang muncul tenggelam,
beriring berjalan sekali-kali terantuk bebatuan, suara air deras membuat merinding orang yang melihat.

Tapi tidak!!! Bagi Siti Saodah dan bapaknya, air bah harus dilawan dengan hati yang tenang. Waktu terus
berjalan, jantung semakin berdetak Ujian Nasional pertama membayang-bayangi wajahnya. Dengan semangat
pantang menyerah digendongnyalah anaknya, Siti Saodah. Selangkah demi selangkah kakinya bergetar terseok-
seok air deras.
Bapaknya berkata Nak! Pegang erat-erat pundak Bapak!
Siti Iya, Pak. Siti berdoa semoga kita diselamatkan.

Kaki Siti pun tidak tinggal diam, sekali-kai diterjangnyalah bongkahan-bongkahan kayu yang menghalanginya.
Seraya mulut Siti terus tak henti-hentinya bergumam membacakan asma Alloh.

Perjuangan berat terasa ringan, itulah keluhan yang keluar dari mulut Bapaknya ketika sudah mendekati bibir
sungai.

Siti pun bergegas berjalan dengan setengah berlari menuju angdes disana sudah banyak penumpang berjubel.
Bahkan, anak laki-laki bergelayutan. Siti duduk dengan tidak nyaman, digeser-gesernyalah pantatnya ke badan
ibu-ibu gemuk yang akan berbelanja ke pasar. Sementara mata Siti Saodah terus menatap jarum jam yang terus
berputar. Hati kecilnya berbicara:
Ah Jangan-jangan aku kesiangan.

Hati gelisah, jantungnya semakin berdebar-debar. Pikirannya seolah olah sudah duduk di kursi menghadap soal
Bahasa Indonesia yang diUjiankan.
Neng SMP Neng? Pak sopir menegur Siti Saodah

Dia terperanjat dari pelamunan, dia lari terbahat-bahat. Ternyata, Pak Satpam begitu ramah menyapa dan
pengawas pun mempersilahkan masuk.

Siti pun memasuki ruangan dan siap melaksanakan Ujian Nasional. Dia mulai mengerjakan soal dengan baik dan
memperhatikan apa yang salah dari jawabannya. Dia tak menyangka bahwa soal-soal yang diujiankan sudah ia
pelajari sebelumnya.

Seperti biasanya, sepulang sekolah Siti selalu membantu kedua orangtuanya berjualan. Siti pun bergegas untuk
berjualan, langkah demi langkah ia menitihkan kaku, bersuarakan merdu. Bertedukan matahari yang begitu terik,
aspal sebagai pijakan pun begitu panas. Soalnya dua berjualan tepat pada pukul 13.30, tentu cuaca sangat
panas. Badannya bercucuran keringat dan ia pun mulai bersuara lantang.
Bu Gula Gula, Bu Gula Bu

Waktu pun semakin sore, gula habis semua. Dengan hati yang amat senang dia pun bergegas untuk pulang dan
memberikan semua hasil jualannya hari ini kepada ibunya.Disetiap hari-harinya dia selalu berdoa agar dia lulus
dengan nilai yang memuaskan dan dapat melanjutkan sekolahnya ke SMA, itu impiannya.

Tak lupa, Siti selalu mendoakan orangtuanya agar mereka senantiasa dalam keadaan sehat.Waktu bergulir
sangat cepat, tak terasa pengumuman kelulusan tiba. Siti merasa tegang, deg-degan, keringat dingin di
badannya, gemeteran sekujur tubuhnya, karena dia menunggu hasil kelulusan. Ketika ia melihat hasilnya,
Subhanalloh nilainya menjulang diatas bintang. Di samping itu, Siti dinobatkan sebagai siswi terbaik di SMP-
Nya.

Siti segera pulang membawa kabar bahagia itu untuk kedua orangtuannya. Siti sangat senang, dia telah berhasil
menghadapi ujiannya dengan lancar. Walau kadang ujian dari Alloh terus menghadang, tetapi dia sabar dan
ikhlas.
Sesampainya di rumah Siti berteriak
Ibu Bapak Siti lulusss. sambil keluar air mata yang mengalir membanjir

Siti langsung menghampiri Ibu dan Bapaknya ke dapur. Kedua orangtuanya kaget melihat Siti menangis. Dia pun
langsung merangkul kedua orangtuanya dengan penuh air mata kebahagiaan.
Ibu Bapak Alhamdulilah aku lulus. Ujar Siti
Iya, Ibu dan Bapakmu senang mendengarnya. Jawab Ibunya
Iya, usahaku selama ini tidak sia-sia. Ujar Siti
Iya Nak, kamu bangun setiap pagi, puasa, pasti kamu mempunyai maksud. Alloh mendengarkan doamu Nak.
Ujar Bapaknya
Iya Bu Pak, aky sangat bersyukur dan senang sekali. Ujar Siti

Setelah lulus, kini Siti tinggal melangkah ke SMA. Berkat ketekunan, keuletan dan semangat yang diperjuangkan.
Akhirnya Siti melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan hati yang senang Siti diterima di
SMA N 1 Sariwangi.
Memang Perjuangan bukan hanya persoalan berkorban jiwa dan raga untuk impian visi yang hendak dicapai. Dan
yakinlah Alloh SWT pasti menjaga hamba-hambanya yang memiliki kemauan keras untuk hidup.

NAMA : MUDIYAH LUBIS


ANAK PISANG

Tiada hari tanpa aroma pisang goreng di dapur emak. Itu yang Ana rasakan ketika terbangun dari tidurnya. Dan
aroma teh panas menyapa pagi Ana dengan kehangatan. Ia mengunyah pisang sembari sesekali meneguk teh
hangat buatan emak. Ana hanya tinggal berdua dengan ibunya yang biasa ia sebut dengan sebutan emak sebab
tahun lalu ayahnya meninggal dunia karena sakit. Untuk itu Ana harus menjual pisang goreng buatan emak untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan sekolahnya.

Seperti biasa Ana harus menitipkan sebagian barang dagangannya di kantin dan sebagiannya lagi ia jual kepada
teman-teman kelasnya. Ana adalah murid yang pandai di sekolah, predikat juara umum masih ada pada
genggamannya. Tidak hanya prestasi akademiknya yang menonjol prestasi non akademik pun ikut muncul
berdampingan mengiringi harinya. Ia sangat pandai membuat puisi dan cerpen karena itu menulis adalah hobinya
sejak kecil. Tiap tahunnya ia selalu mewakili sekolah mengikuti ajang lomba cipta puisi hingga ke tingkat Nasional.

Tetapi walau begitu tidak ada yang ingin berteman dengannya. Mereka semua malu berteman dengan Ana hanya
karena Ana seorang penjual pisang goreng keliling. Tiap hari cacian dan cibiran datang menghampiri tetapi
semangatnya mengalahkan emosinya. Kini Ana menyadari ia sudah duduk di bangku kelas XII SMA karena itu
Ana tidak terlalu memikirkan apa yang orang lain katakan tentangnya. Sikapnya memang cuek.. tetapi sebenarnya
dia memiliki hati nan lembut. Ibunya selalu mengajarkan untuk bersabar dan memaafkan kesalahan orang lain.

dasar anak tukang jual pisang!! Pergi lo.. dari kelas ini.. lo enggak pantes berada di sekolah ini. Sekolah ini hanya
untuk orang-orang high class kaya kita. Cibir tasya. Walau begitu Ana tetap tidak peduli ia tetap membaca
bukunya walau ribuan mulut memcaci. heh.. anak pisang!! Lo denger enggak sih? Enggak punya telinga? bentak
Tasya sembari melempar buku tebal ke arah muka Ana. Yap!! Hampir saja buku itu mengenai muka Ana, untung
saja seorang pria bertubuh tinggi menangkap buku yang hampir mengenai muka Ana. Apakah hanya orang-
orang high class yang boleh berada di sini? matanya menatap tajam mata Tasya dengan penuh emosi. Mulut
tasya mulai bergumam sembari memainkan pulpen. jawab!! Setidaknya dia berada di sekolah ini karena otaknya
bukan uangnya. Ujar pria jangkung dengan sinis.
Tasya hanya terdiam saat mendengar perkataan pria itu. terimakasih ucap Ana singkat sembari memegang
buku dan meninggalkan ruang kelas. Ia berjalan menuju kantin untuk mengambil hasil penjualan pisang hari ini.
pisangmu laku terjual dan kalau bisa besok bawa yang lebih banyak lagi Ana, ini uang penjualan pisang hari ini.
Ujar ibu kantin terima kasih banyak, bu. Ucap Ana.

Sepulang sekolah Ana di rumahnya sudah ada selembar surat yang menyatakan bahwa pihak penerbit tertarik
dengan naskah yang ia kirim tahun lalu. Dan akan menerbitkan novel Ana berjudul Tawa Mentari Pagi esok lusa.

Beberapa hari setelah penerbitan bukunya ia mendapat kabar bahwa novel ciptaannya laku terjual hingga ribuan.
Sore ini ia pergi ke kantor pos untuk mengambil uang hasil penjualan novelnya sebesar Rp. 35.000.000. emak
emak.. lihat ini mak. Teriak Ana dari ruang tamu. iya ada apa Ana? Uang sebanyak ini milik siapa Ana? tanya
emak dengan muka terkejut. ini hasil dari novel yang diterbitkan minggu lalu, Mak. Uangnya Ana akan gunain
untuk modal dagangan emak. Emak merasa sangat bahagia dan memeluk Ana dengan erat. Ana adalah anak
semata wayang hal itu tidak membuatnya menjadi anak yang manja. Ia juga pandai memanfaatkan kesempatan
luang yang ada.

Keesokan paginya di sekolah anak-anak ramai membicarakan novel terbitan terbaru. Mereka terkejut ternyata
penulis novel tersebut adalah Ana. Berbeda dengan Tasya ia tetap saja berlagak sombong. apaan sih.. baru juga
jadi penulis novel. Nih ya kalian liat nanti seorang Tasya akan menjadi artis besar. Dan kalian pasti akan mohon-
mohon minta foto. Kalo penulis doang sih.. ya lama-lama juga meredup. Ujar Tasya dengan nada sinisnya.
Mendengar ucapan Tasya, Ana hanya tersenyum. Rupanya buku tidak dapat terlepas dari tangannya. Bahkan
ketika teman-temannya makan di kantin ia lebih memilih pergi ke perpustakaan untuk membaca buku. Bagi Ana
pisang yang emak buat pagi hari itu sudah cukup mengisi perutnya yang kosong. Uang sakunya ia tabung untuk
kebutuhan lainnya.

Ana selamat ya kamu sudah berhasil menerbitkan novelmu, ibu suka sama karya satramu itu. Terus berkarya
Ana, tetapi ingat lusa sudah mulai UN jadi kamu harus terus belajar. Kata Bu Berta dengan penuh motivasi. siap
bu!! berlari ke ruang kelas. nih ya guys.. papah aku udah siapin guru privat terbaik di kota ini. Jadi kemungkinan
juara umum UN tahun ini akan Tasya genggam. sembari tertawa kegirangan. wah papah kamu hebat juga ya,
Sya. Puji Lina dan teman-teman yang lainnya. heh anak pisang!! Jangan harap predikat juara umum akan jatuh
ke tangan lo. Urusin aja tuh pisang lo.. biar gak basi. Ujar tasya, mau lo apa sih, Sya? ujar Raka. udah Raka
enggak ada gunanya ngeladenin orang kaya Tasya. Mending abaikan udah biasa juga kan dia ngomong gitu. Dan
itu enggak berpengaruh sama sekali. Jelas Ana

Di rumah ibunya membuka warung aneka pisang. Dan siang ini Ana menggantikan ibunya berjualan di warung
karena ibunya mendadak sakit. Sesibuk apapun Ana ia masih menyempatkan diri untuk belajar sambil berjualan.
Tidak ada rasa malu dalam dirinya karena ia tahu apa yang ia lakukan itu sangat bermanfaat. Malam harinya ia
tetap belajar karena Ujian Nasional akan berlangsung lusa. Ia tidak ingin mendapatkan nilai merah pada mata
pelajaran yang diujikan.

Saat ujian berlangsung Ana mengerjakan semua soal dengan tenang. Yang ada di pikirannya hanya lulus dengan
nilai yang memuaskan dan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan penidikannya. Ternyata mimpi tidak hanya
sekedar mimpi ketika kita berusaha mendapatkan dengan diiringi doa apapun bisa terjadi. Seperti yang terjadi
pada Ana pada saat kelulusan semua terjadi lebih dari mimpinya. Ia lulus dengan nilai tertinggi dan mendapatkan
beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di London. Semua terbukti ketika kita mampu melawan rasa gengsi
dalam diri. dan logika yang berhasil mengalahkan emosi mampu membantu mewujudkan.

NAMA : KHOIRUN NISA LUBIS


APAKAH SI MISKIN BERHAK

Namaku Ahmad, aku seorang Yatim piatu. Orangtuaku meninggal dunia karena kecelakaan, dan sekarang

aku hanya hidup sebatang kara di tempat yang mungkin tak asing lagi bagi kalian. Yaa.. aku hidup di bawah

kolong jembatan. Ini adalah kisah hidupku yang penuh perjuangan. Pagi itu aku bangun tepat jam 05.00 dan

seperti biasa aku tak pernah bangun terlambat. Dengan keadaanku yang serba kekurangan seperti ini tidak

menjadikan alasan bagiku untuk melupakan kewajibanku sebagai seorang muslim.

Aku selalu menyempatkan diri untuk sekedar menenangkan hati dan pikiran dengan salat lima waktu. Dan

aku selalu menjadikan waktu sebagai motivasiku. Pukul 06.00 aku selalu siap untuk berkeliling menyusuri

dinginnya lorong dan jalan raya untuk menjajakkan keripik singkong yang aku buat sendiri. Setiap pagi aku tak

pernah absen untuk mengunjungi rumah, toko atau tempat yang biasanya dengan setia membeli keripik singkong

buatanku.

Bahkan hingga siang berkeliling menjajakkan keripik, aku tidak peduli dengan teriknya matahari yang

menusuk ubun-ubun. Aku tidak pernah menyerah. Aku terus berjalan hanya demi mendapatkan sesuap nasi saja.

Entah kenapa ketika aku dipertemukan dengan kesulitan hidup, aku tidak pernah mengeluh dan selalu tersenyum

manis, seolah-olah tidak ada beban pada diriku ini. Aku hanya tidak ingin orang lain mengetahui sisi kelamku.

Biarlah mereka mengetahui sisi baikku saja.

Suatu hari seperti biasanya, aku menyusuri jalan raya dan lorong-lorong dengan penuh harapan dan

semangat yang menggebu-gebu. Dan tibalah aku pada tempat yang mungkin tak asing lagi bagi kalian, dan

mungkin tempat itu juga hampir kalian kunjungi setiap harinya. Ya.. itu adalah sebuah Sekolah, tepatnya SMA

BUDI LUHUR. Salah satu sekolah elit dan bermutu di kotaku. Aku selalu berdiri di depan pagar sekolah untuk

menunggu jam istirahat mereka. Waktu terus berjalan, dan alhamdulillah keripikku terjual habis.

Tanpa disadari hampir setiap hari aku selalu mengunjungi sekolah itu. Dan entah kenapa ketika aku melihat

anak-anak sebaya denganku yang dapat dengan mudahnya menikmati pendidikan tanpa beban. Aku selalu iri

dengan mereka. Bukankah aku dan mereka adalah sama-sama anak negeri ini? Memiliki keinginan, potensi dan

Hak yang sama? Akan tetapi kenapa hanya mereka saja yang mendapatkannya. Apakah Si anak Yatim Piatu

yang miskin ini tidak berhak mendapatkannya? Bukankah aku juga anak bangsa yang memiliki hak yang sama

seperti mereka?
Dan ketika aku berdiri di depan pagar sekolah, melihat mereka dengan seragam putih abu-abunya. Aku

menatap mereka dengan penuh mimpi dan berdoa dalam hati. Ya Allah Apakah hanya mereka si kaya saja

yang memiliki hak memperoleh pendidikan, dan apakah aku si miskin tidak memiliki hak seperti mereka, bukankah

aku juga anak bangsa. Bisakah aku seperti mereka ya Allah? Ya itulah doaku dalam hati.

NAMA : NUR ATIKAH


RODA KEHIDUPAN

Ibu, ini hasil ujianku. Jelek ya? Maafin aku ya Bu, gak bikin bahagia hari ini kata Rangga sedih.
Nak, kamu sudah berusaha. Jalan hidup tidak selalu lurus, ada kalanya kita berada di atas, ada juga kalanya kita
di bawah. Berusahalah untuk bertahan dan terus meningkat. Ibu bahagia kok asal kamu tidak menyerah untuk
berusaha Jawab Ibu dengan bijak.

Rangga, Ia adalah seorang anak kuli bangunan dan tukang cuci baju di kampungnya. Anak yang penuh
kesederhanaan ini tak pernah malu sekalipun menginjakkan kakinya di sekolah SMA yang notabene adalah
sekolah favorit di kotanya.
Rangga, selamat ya nak kamu dapat peringkat kesatu lagi. Pertahankan! ujar Bu Tri, wali kelasnya tersenyum
bangga.
Yang bener bu? Alhamdulillah, pasti Bu terima kasih sudah membantu ya Bu jawab Rangga selalu sopan.

Rangga hanya siswa yang bergantung pada beasiswa. Ia mampu ada di sekolah itu karena nilainya yang tak
pernah sanggup dikalahkan oleh temannya. Baginya, keterbatasan ekonomi bukanlah alasan utama untuk tidak
sekolah, dan berhenti berkarya. Ia mendapatkan beasiswa selama 3 tahun di bangku SMA karena nilainya yang
selalu ada dalam 5 besar paralel. Rangga berlari ke dalam rumah, Ia terlihat sangat gembira.

Ibu, alhamdulillah walaupun kemarin sempat jelek nilainya. Tapi, Allah masih kasih rezeki buat Rangga. Nih Bu,
Rangga peringkat kesatu lagi ujar Rangga menceritakan dan memberi lembaran hasil ujian kepada Ibunya yang
tengah mencuci baju di halaman belakang rumahnya. Ibu menghentikan pekerjaannya dan mengambil lembaran
itu.
Alhamdulillah nak, terima kasih ya kamu bisa berusaha untuk kelanjutan sekolahmu. Ibu minta maaf ya nak tidak
bisa memberi kamu barang-barang dan pendidikan yang layak untuk kamu. Ibu yakin, kamu akan jadi orang yang
sukses! Yang penting, kalau kamu sukses jangan pernah lupa kalau kamu pernah berada di bawah ya nak! Kata
Ibu sembari memeluk anaknya yang masih berseragam biru putih membawa hasil ujiannya.

Sebentar lagi adalah Ujian Nasional untuk siswa-siswi SMA. Rangga bersiap-siap untuk menghadapi Ujian
Nasional yang sangat menentukan masa depannya. Keterbatasan ekonomi membuat ia kesulitan membeli buku
pelajaran. Ia harus belajar di perpustakaan sekolah atau perpustakaan kota setiap harinya untuk meminjam buku.
Anak-anak, sudah tinggal 3 hari lagi kita menuju Ujian Nasional. Saat ini, kurangi bermain dan istirahatlah yang
cukup. Tidak usah terlalu banyak belajar nanti kalian malah kecapean ujar ibu Reni, kepala sekolah Rangga.

Rangga berada di dalam kebimbangan yang dia tidak tahu dengan siapa ia harus berkeluh kesah.
Ibu, saya bingung. Setelah SMA nanti saya akan jadi apa? Saya tidak punya biaya sedikitpun untuk kuliah, untuk
kehidupan sehari-hari saja belum mampu tercukupi. Kalau lulusan SMA paling bisa kerja apa sih, Bu? tanya
Rangga sembari curhat dengan Bu Reni.
Loh? Rangga sayang, kamu tidak boleh nyerah. Masuk universitas yang negeri nak. Di sana banyak sekali
program beasiswa. Kamu bukan orang bodoh, kamu sangat pintar. Banyak orang mencari kamu untuk sekolah di
sana, bukan menjadi lulusan SMA saja. Ibu janji, Ibu akan bantu kamu mencari informasi beasiswa di universitas
negeri Kata Bu Reni sambil tersenyum memberi dukungan pada Rangga.
Terima kasih Ibu, saya tidak akan pernah lupa dengan kebaikan Bu Reni selama ini ujar Rangga menangis
mencium tangan gurunya itu.

Rangga memang anak yang disayang oleh guru dan teman-temannya. Ia tidak hanya berprestasi dalam
pelajaran. Ia adalah ketua OSIS di SMA-nya. Ia juga memiliki prestasi di bidang Karya Ilmiah Remaja yang
berhasil ia menangkan dan mendapat penghargaan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Keaktifannya membantu ia untuk tetap bisa bersekolah.

Ujian Nasional pun berlangsung dalam 4 hari. Rangga menyelesaikannya dengan tenang. Ia sama sekali tidak
memiliki keraguan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan anak kelas IPA ini. Semua ia kerjakan dengan
sempurna. Apalagi Kimia, mata pelajaran yang Rangga sangat sukai. Tidak heran lagi, pengumuman telah tiba. Ia
menjadi peringkat kesatu di SMA-nya dan peringkat 3 di Kotanya. Kebanggaan yang luar biasa untuk kedua
orangtua dan sekolahnya, termasuk dirinya sendiri. Semua tidak membuat Rangga menjadi sombong, ia malah
menjadi semakin rendah hati.
Rangga, ada kabar bagus buat kamu, tadi ada surat dari Universitas Gajah Mada, kamu diminta untuk
melanjutkan perguruan tinggi di sana di Teknik Kimia, mendapat beasiswa total dan uang saku kalau kamu selalu
mempertahankan peringkatmu. Kamu harus menerima nak, ini rezekimu jangan disia-siakan Kata Ibu Reni
bangga.
Alhamdulillah Bu, saya pasti mau! Saya janji akan selalu meningkatkan prestasi saya. Saya akan lanjut di sana
Bu, universitas impian saya. Terima kasih banyak Ibu Jawab Rangga berulang kali berterima kasih.

Sahabat-sahabat Rangga sangat senang Rangga bisa melanjutkan sekolahnya. Orangtua Rangga menangis
tanpa henti melihat putra satu-satunya dapat tumbuh dewasa dengan usahanya sendiri. Rangga memang anak
yang rajin, ulet, dan rendah hati. Sifat yang membawa ia kepada kesuksesan. Awal dari kehidupan yang
sebenarnya, roda dalam kehidupan.

NAMA : RISKA NAULI


IZINKAN AKU TETAP SEKOLAH

Nanis merupakan anak bungsu dari pasangan keluarga miskin. Empat orang kakanya hanya mampu
menyelesaikan pendidikan sekolah dasar (SD), bahkan ibunya tak paham soal sekolah. Kalo bicara soal
pendidikan di keluarganya, yang paling tinggi adalah kakaknya yang nomor dua. Dia sempat merasakan duduk di
bangku SMP walau hanya satu semester, dan kemudian didepak lantaran tidak bisa membayar biaya sekolah.
Sebagai orang desa yang serba susah, mimpi Nanis tidak muluk-muluk. Dia hanya ingin bersekolah. Tidak
peduli sekolah apapun namanya. Waktu duduk di bangku sekolah SD, Nanis bersekolah di sekolah yang hanya
bersetatus terdaftar. Soal prestasi sekolahnya, jangan ditanya. Karena jika ditanya, itu hanya akan menjadi
pertanyaan yang tidak pernah terjawab sepanjang masa, dan akan menjadi rahasia yang tak terpecahkan, bahkan
dengan mengerahkan intelejen sekelas FBI sekalipun.
Gedung sekolah Nanis ketika itu lebih pantas dijadikan kadang kelinci, daripada kandang ayam. Tapi Nanis
tidak peduli. Buat Nanis, yang penting adalah status bersekolahnya, dan belajar dengan giat. Soal sarana dan
prasarana, itu urusan lain. Menurut Nanis, toh pada akhirnya yang dilihat hanya ijazah, dan kemampuannya saja,
tidak sampai gedung, pengajar, bocor atau tidak bocor sekolahnya. Walau orang miskin, Nanis memang terkenal
memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Hingga pada akhirnya, dengan menjunjung tinggi keyakinannya itu, Nanis
dapat menyelesaikan pendidikannya hingga lulus SMA.
Seperti kebanyakan siswa lainnya, Nanis pun galau ketika harus memilih bekerja atau kuliah. Jika kuliah,
kuliah jurusan apa, di mana, bagaimana memulainya, dan segudang pertanyaan lainnya. Pertanyaan tambahan
bagi Nanis adalah, biayanya dari mana, bagaimana cara daftaranya, dijemput atau tidak, dan beberapa
pertanyaan polos yang sulit dicerna oleh kebanyakan orang. Karena bagi kebanyakan orang, pertanyaan-
pertanyaan Nanis bukanlah pertanyaan yang wajib dijawab. Bahkan, jika diumpamakan sebuah ujian, pertanyaan
Nanis itu masuk kategori pertanyaan Bonus. Yang kalaupun salah menjawabnya, tetap dianggap benar oleh
pembuat pertanyaan.
Hingga suatu ketika, Nanis memberanikan diri menyampaikan kebingungan kepada Ibunya yang dianggap
dapat memberikan solusi.
Bu, Aku bingung, aku sudah lulus SMA keluh Nanis kepada ibunya.
Terus, apa masalahmu? Jawab ibunya.
Aku bingung harus kuliah atau bekerja lanjut Nanis ragu.
Kita ini orang miskin, bekerja lebih baik buatmu. Tidak ada kata kuliah, bisa lulus SMA saja, kau sudah banyak
bikin ibu susah.!! sahut ibunya sinis.
Nanis diam tanpa kata, karena menjawab pernyataan ibu, hanya akan mempersulit perjuangannya. Nanis tidak
menduga, ternyata mengeluh kepada ibunya jadi masalah baru. Sekarang tantangan Nanis bertambah, selain
kebingungannya memilih kerja atau kuliah, Nanis harus meyakinkan ibunya agar memberi restu untuk
melanjutkan kuliah.
Nanis tidak berani bercerita kepada Bapaknya tetang masalah yang sedang dialami, hal ini dilakukan oleh dia
bukan tanpa alasan. Mungkin karena sejak awal Nanis lahir, bapaknya memang sudah tidak berniat untuk
menyekolahkannya. Bagi bapaknya, menjadi kuli bangunan dari kampung ke kampung sudah cukup terhormat.
Itulah kalimat semboyan bapak Nanis sejak ibunya mengandung Nanis dan empat orang saudaranya.
Bapak Nanis sseorang kuli bangunan. Saat ini, sedang merantau menyelesaikan sebuah proyek gedung di
kota bersama teman satu desanya. Biasanya, bapak Nanis balik saat proyek selesai atau saat diberi kesempatan
libur oleh Mandor.
Malam hari setelah Nanis pulang dari mushalla usai menjalankan shalat Isya, dia mencoba menemui kakaknya
yang nomor tiga, namanya Intan. Intan adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga Nanis. Selain memiliki
sifat keibuan, Intan kadang bijak dalam memberi nasehat dan arahan.
Teh -teteh, sebutan kakak perempuan bagi orang sunda-, aku bingung keluh Nanis pada Intan.
Bingung kenapa kamu Nis? sahut Intan.
Teteh tahukan, aku baru saja dinyatakan lulus oleh sekolah lanjut Nanis.
Lalu, masalahmu apa? Tanya tetehnya kembali.
Aku ingin kuliah, tapi aku tak tahu bagaimana caranya. Aku tak tahu harus memulai dari mana. Kita tak punya
uang, uang pendaftaran, uang macam-macam, semua kita tidak punya. Parahnya lagi, Ibu malah menyuruhku
untuk memilih bekerja. Aku tak tau harus bekerja apa jawab Nanis panjang menjulang.
Nis, jika teteh harus menjawab jujur, mungkin mengeluh pada teteh juga akan menambah masalah buatmu.
Sahut Intan dengan nada lemah. Teteh tahu apa tentang sekolah lanjutnya dengan mata berkaca-kaca. Tapi,
rasanya, sebagai orang yang lebih tua, teteh tidak pantas membantah keinginanmu yang mulia itu lanjut Intan
menenangkan. Lalu.? Tanya nanis penasaran. Teteh mendukungmu Nis, nanti teteh bantu kamu meyakinkan
ibu tegas intan meyakinkan.
Nanis girang bukan kepalang, terima kasih Teh sahut Nanis dengan wajah gembira. Nanis beranjak ke
kamar, Nanis tidur pulas malam ini.
Soal urusan lobi melobi ibu, Intan memang jagonya. Mungkin karena mereka sama-sama perempuan,
sehingga tahu dari mana dia harus memulai sebuah pembicaraan dan meyakinkan.
Keesokan harinya, Intan menyiapkan amunisi, siap berperang, siap menyerang. Menunggu hari senja, Intan
bergegas, bertanya kepada teman-temannya, mengapa kita harus sekolah, bagaimana orang bisa sukses, dan
pertanyaan-pertanyaan lain yang sudah disiapkan. Semua jawaban direkam olehnya, dan akan dijadikan bahan
obrolan saat meyakinkan ibunya nanti malam. Hari kembali senja, perjuangan Intan dimulai.
Setelah shalat magrib, Intan mulai mendekati Ibunya. Muka ibu nampak sedang tidak sedap, Intan urung. Bada
Isya, muka ibu mulai cerah. Entah pembersih apa yang dipakai ibu Intan. Intan mendekat, sedikit pura-pura santai,
lalu intan menyapa.
Bu, aku lihat TV di rumah teman, banyak orang-orang sukses yang muncul disana Intan memulai
pembicaraan dengan ibunya.
Kenapa? Kamu ingin ibu belikan TV untuk kalian? Uang dari mana? Sahut ibu menebak maksud Intan.
Bukan Bu bantah Intan. Dari tayangan itu, mereka berjuang menjadi sukses dan mereka sekolah jelas Intan
dengan ragu.
Pasti mereka berasal dari orang kaya timpal ibu.
Betul bu sahut Intan. Tapi, yang paling penting, walau mereka kaya, mereka bersekolah sampai tinggi.
Sampai sarjana, malah di atasnya Intan mulai mengarah kepada pokok pembicaraan.
Ya, karena mereka kaya bantah ibunya.
kalau mereka saja yang sudah kaya mau sekolah, mengapa kita orang susah gak mau sekolah bu,
setidaknya, supaya kita lebih terhormat, sejajar dengan kebiasaan orang kaya, yaitu sekolah Intan mulai panas.
Bagaimana kita bisa sekolah, kalo kita gak punya uang buat bayarnya. Sekolah itu hanya miliki mereka yang
ber-uang. Orang susah kayak kita mana bisa Ibu terbakar.
Sekolah itu sebab bu, bukan akibat. Orang sekolah, berilmu, sukses, lalu jadi orang kaya. Bukan sebalikna.
Setelah kaya, mereka menyekolahkan anak dan keturunannya. Bukankah ibu dulu yang pernah bilang kepada
Intan waktu kecil soal itu.!? Intan mulai ngarang. Ibu mulai diam dan berpikir sejenak, bingung, karena ibu merasa
tidak pernah mengatakan hal itu sebelumnya. Tapi tetap meng-amini, lalu menyahut.
Tan, orangtua selalu berbicara idealis kepada anak-anaknya, walaupun sesuatu yang tidak mungkin
sekalipun dicapainya. Itu kewajiban orangtua. Kenyataanya, tidak semudah yang ada pada ucapan mereka.
Paham kau Tan..!? bentak ibunya.
Sudahlah, usiamu sudah cukup tua untuk sekolah, tidak pantas anak SMP seusia kamu kata ibu mulai
menutup pembicaraan.
bukan aku bu, tapi Nanis Intan memelas.
Pembicaraan mereka berlanjut dengan tensi yang lebih rendah. Intan mulai menjalan strategi memelas kepada
Ibunya, si Ibu mulai merendah. Bertahan di tengah gempuran sang anak. Berkali-kali Intan melakukan serangan,
tapi tetap dimentahkan. Pembicaraan terus berlangsung, hingga mereka tertidur.
Pagi buta Intan terbangun lebih dahulu dari ibunya. Intan bergegas, menjalankan shalat subuh, membersihkan
dapur, dan menyiapkan makanan seadanya. Tak lama kemudian ibu terbangun. Intan berharap ibu lupa dengan
perdebatan tadi malam. Walau ingat, Intan berharap ibu menyetujui niat Nanis untuk melanjutkan kuliah.
Waktu sudah menunjukan pukul 09.00 pagi, tidak ada pembicaraan yang berarti hari ini. Ibu malu menyapa,
Intan enggan memulai. Sementara Nanis, menjalankan aktifitas rutinnya, menyemai harapan.
Ibu mendekat pada Intan, dengan gerakan sedikit canggung, ibu menyapa.
Tan, kemana Nanis? Tanya ibu penuh basa-basi
Mungkin sedang keluar bersama teman-temannya bu jawab Intan dengan nada kikuk.
Jika Dia pulang nanti, bilang padanya
Bilang apa bu? potong Intan penasaran.
Ibu termenung dan terdiam sejenak. Sementara Intan menanti jawaban ibu dengan mata berbinar-binar.
Bapak minta Nanis menyusul ke kota, kontraktor tempat bapak bekerja membutuhkan kuli untuk percepatan
proyeknya. Tadi malam bapak menelepon lewat tetangga jawab ibu dengan muka penuh bersalah.
Intan terdiam, pikirannya melayang. Sang Negosiator handal ternyata harus bersimpuh mengakui kekalahan
yang tragis, kalah karena alasan kemiskinan. Negosiasi tadi malam berakhir, dan pemenang sudah diumumkan.
Hasilnya adalah Nanis menjadi Kuli.
Nanis belum tahu soal ini, karena hari ini Nanis sedang menemui guru-gurunya yang dianggap bisa membantu
meraih mimpinya itu.
Tapi palu sudah diketuk, sekuat apapun, hasil apapun yang nanis dapat, menjadi kuli adalah jawabannya.
Karena suara bapak adalah suara tuhan. Tidak ada yang bisa membantah keputusan tersebut. Ini adalah pukulan
hebat bagi Intan. Sementara Nanis masih tersenyum dikejauhan entah dimana. Dia belum tahu, bahwa kuli adalah
profesi dia selanjutnya. (Ceritanya bersambung

NAMA : NADIA AFRIYANI

Anda mungkin juga menyukai