Jepara
dan
Asa Aini
Printed by :
i
AINI DAN EKOSISTEM ANTI PENDIDIKAN DI JEPARA
1
bersama anak – anak nelayan dengan kondisi perekonomian
menengah kebawah. Bayu duduk di bangku kelas 3
sedangkan Kirana di kelas 5.
Bayu : “Jangan kau cipratkan air dan pasir bersamaan ke
wajah ku kakak” teriak Bayu kepadaku saat aku tak sengaja
mencipratinya air berpasir yang membuat kotor wajahnya.
Aku hanya tertawa dengan menerima balasan yang sama
darinya. Begitupun dengan Kirana semakin membabi buta
mencipratkan air kepadaku dan Bayu. Kami tertawa lepas
ditambah dengan indahnya gemulai ombak pantai dan
riuhnya burung camar.
Kami bahagia. Namun terkadang ditengah kebahagiaan
semu itu aku kerap bersedih dalam hati. Bagaimana nasib
adik – adikku nanti jika aku memaksakan keinginanku untuk
melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Sedangkan untuk
makan saja ayahku harus pulang petang mencari ikan dan
pergi ke tengkulak serta memastikan bahwa ikan
tangkapannya terjual semua. Ibuku adalah seorang ibu
rumah tangga yang tidak sempat berfikir bagaimana nasib
2
adik – adikku nanti jika aku memaksakan keinginanku untuk
melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Sedangkan untuk
makan saja ayahku harus pulang petang mencari ikan dan
pergi ke tengkulak serta memastikan bahwa ikan
tangkapannya terjual semua. Ibuku adalah seorang ibu
rumah tangga yang tidak sempat berfikir bagaimana nasib
pendidikan anak – anaknya karena sudah disibukkan dengan
pikiran bagaimana kami sekeluarga bisa makan setiap
harinya. Kami hidup di Jepara, sebuah surga pantai dengan
jumlah yang paling banyak di Pulau Jawa. Namun nyatanya
hidup kami tak seindah pantai – pantai itu. Adanya
manipulasi harga oleh para tengkulak dan pengepul
menjadikan ikan yang dijual oleh para nelayan tidak ada
harganya. Salah satunya adalah saudagar kaya bernama Pak
Kirno. Ia selalu memberikan harga yang sangat murah
kepada para nelayan yang menjual ikan di tempatnya. Yaitu
berkisar antara lima belas hingga dua puluh ribu per kilo.
Yang nantinya akan dijual kembali dengan harga dua kali
lipat lebih mahal yaitu berkisar antara harga tiga puluh
3
hingga empat puluh ribu per kilo.
Belum sempat aku terhanyut di dalam lamunanku,
terdengar suara ibu memanggil kami. “Sudah mau adzan ayo
pulang”.Bergegas kami menyudahi momen ciprat –
menciprati dan berlari menuju ibu untuk pulang.
Bayu dan Kirana berlomba lari menuju rumah dengan
bertaruh tempe yang sudah digoreng ibu. Siapa yang menang
akan mendapat tempe dari yang kalah. “Aku akan makan
dua tempe sore ini” teriak Kirana dengan kencang dan
berlari menuju rumah. Bayu yang tidak rela jika tempenya
akan berpindah pemilik dan jatuh ke piring Kirana. Ia berlari
kencang menyusul Kirana meraih penghargaan tempe yang
didambakannya. Aku dan ibu saling berpandangan dan
tersenyum satu sama lain. “Ada – ada saja tingkah mereka”
kata ibu sambil tertawa. Kamipun sejenak diam. “Ibu aku
ingin kuliah” kataku memecah keheningan diantara kami
berdua. “Kamu ini ngomong apa ?” jawab ibu agak bingung
mendengarnya. “Setelah SMA Aku ingin melanjutkan
sekolah ke perguruan tinggi dan menjadi sarjana.
4
Aku mau menjadi seorang ahli perikanan supaya bisa
membantu bapak menangkap ikan dengan alat besar”
jawabku polos. “Haduh nduk, jangan mengada – ngada.
Kamu tidak bisa seperti mereka” jawab ibu menegaskan.
“Kenapa ?” tanyaku ingin diyakinkan. “Ayah dan ibu
bekerja seribu tahaunpun tidak akan mampu
menyekolahkanmu hingga perguruan tinggi, jangankan
masuk perguruan tinggi. Lulus SMP saja ayah dan ibu sudah
hampir setengah mati mencari uangnya”. Aku terdiam.
“Aini, tanggungan ibu tidak hanya menyekolahkan kamu.
Tapi juga kedua adikmu. Jika ibu menyekolahkanmu masuk
SMA, tentu kedua adikmu harus keluar dari sekolah karena
ibu dan ayah tidak akan sanggup membayarnya”. Aku masih
belum bisa menjawab perkataan ibu. Aku hanya diam dan
tampaknya ibu tahu bahwa aku sedih mendengar
penjelasannya. “Sudahlah Aini, tidak perlu berpikir yang
jauh – jauh, yang penting perutmu terisi dan tidak kelaparan
seperti para pengemis di trotoar jalan sana” Bergegas ibu
menarik tanganku untuk berjalan lebih cepat
5
Aku mau menjadi seorang ahli perikanan supaya bisa
membantu bapak menangkap ikan dengan alat besar”
jawabku polos. “Haduh nduk, jangan mengada – ngada.
Kamu tidak bisa seperti mereka” jawab ibu menegaskan.
“Kenapa ?” tanyaku ingin diyakinkan. “Ayah dan ibu
bekerja seribu tahaunpun tidak akan mampu
menyekolahkanmu hingga perguruan tinggi, jangankan
masuk perguruan tinggi. Lulus SMP saja ayah dan ibu sudah
hampir setengah mati mencari uangnya”. Aku terdiam.
“Aini, tanggungan ibu tidak hanya menyekolahkan kamu.
Tapi juga kedua adikmu. Jika ibu menyekolahkanmu masuk
SMA, tentu kedua adikmu harus keluar dari sekolah karena
ibu dan ayah tidak akan sanggup membayarnya”. Aku masih
belum bisa menjawab perkataan ibu. Aku hanya diam dan
tampaknya ibu tahu bahwa aku sedih mendengar
penjelasannya. “Sudahlah Aini, tidak perlu berpikir yang
jauh – jauh, yang penting perutmu terisi dan tidak kelaparan
seperti para pengemis di trotoar jalan sana” Bergegas ibu
menarik tanganku untuk berjalan lebih cepat
6
menuju rumah. Aku sadar betul ibu hanya mengalihkan
pembicaraan dan enggan untuk diajak memikirkan hal – hal
yang berbau pendidikan untuk anak – anaknya.
---------------
Suara adzan magrib mulai terdengar, dan ayahku dengan
wajah cerianya pulang dengan membawa beberapa lembar
uang yang sekiranya cukup untuk membeli beras besok. Aku
hanya bisa tersenyum kecut karena memang masih
terpikirkan apa yang tadi sore ibu katakan. Kami makan
malam bersama dengan lauk – lauk yang memang tidak
pernah berubah dan itu – itu saja. Tempe, adalah makanan
khas dari keluarga kami. Nasi yang ditemani sayur kangkung
dan tempe goreng menjadi obat lapar bagi kami semua dari
hari ke hari. Karena kangkung dan tempe adalah makanan
yang murah dan terjangkau oleh kondisi perekonomian kami.
Bayu dan Kirana masih berebut tempe seperti yang mereka
sepakati tadi saat lomba lari. Ditengah kunyahannya, ayah
melihatku yang nampak murung. “Kamu kenapa cah ayu ?”
tanyanya sambil melihat kedua mataku. “kamu mau tempe
7
lagi ?, ini ambil punya ayah. lagipula ayah juga sudah
kenyang”. Sambungnya dengan santai, padahal aku sangat
yakin bahwasanya ayahku tidak pernah merasa kenyang,
karena nasi yang ia terima tidak sebanyak apa yang aku dan
kedua adik ku terima. “Tidak ayah, aku hanya sedang
memikirkan PR sekolah yang belum aku kerjakan” jawabku
berbohong karena tidak tega melihat wajah lelah ayahku
semakin bertambah lesu.
Makan bersama malam itu terasa sama sekali tidak
menyenangkan bagiku. Kepalaku terus memikirkan apakah
nasibku akan sama dengan anak – anak nelayan miskin
lainnya yang hanya bisa menempuh pendidikan hingga
bangku SMP. Lulus dan bersiap untuk dipinang oleh para
pemuda dari kampung lain adalah sebuah tradisi yang sudah
melekat di masyarakat Kalinyamatan. Maka tidak jarang
seorang gadis belia yang sudah bersuami dan menggendong
anak kesana kemari. Aku tidak ingin seperti mereka, aku
ingin menjadi seorang ahli perikanan untuk menghidupkan
perekonomian keluarga.
8
Tak banyak yang peduli dengan kondisi perekonomian
masyarakat Kalinyamatan. Sekalipun mereka peduli namun
tidak banyak yang bisa berbuat karena tidak memiliki
kekayaan, jabatan dan juga kekuasaan untuk melakukan
sebuah tindakan. Aku mengakhiri makan malam dengan
merebahkan diri diatas pembaringan. Tak seperti biasa, aku
yang sibuk dengan soal – soal matematika dan fisika
berganti dengan aku yang hanya melamun melihat bintang
melalui jendela di kamar sempitku. Aku menadahkan tangan
dan berdoa “ Tuhan beri jalan untuk ku”. Akupun terlelap
dengan mimpi – mimpi indahku menjadi seorang mahasiswa
tanpa ada kata tidak dan larangan untukku memimpikannya.
-------------=
Pagi itu aku masih berjalan gontai seperti semalam. Rasanya
tidak ada tulang di kedua kaki dan tanganku. Berkali – kali
aku menghela nafas selagi berjalan. Setibanya didepan
gerbang sekolah aku melihat Putri. Seorang anak saudagar
ikan kaya raya di kampungku. Ia diantar dengan sedan
mewah milik ayahnya.
9
Tak jarang ia menghabiskan puluhan ribu uang
sakunya untuk mentraktir teman – temannya di kantin.
“Andai aku seberuntung dia, memiliki orang tua yang kaya
raya. Pasti akan mudah baginya untuk melanjutkan
pendidikan setinggi mungkin dengan uang bapaknya”.
Akupun menyapa Putri “ Hai Putri “ iapun menyalami
ayahnya dan segera berjalan beriringan denganku. “Kamu
kenapa terlihat sedikit murung Aini ?” tanyanya kepadaku
penuh telisik. “ Aku hanya sedang memikirkan keinginanku
untuk kuliah” ia terdiam sejenak mendengar perkataanku
dan seketika ia tertawa. “kuliah ? kamu yakin mau kuliah ?
buat apa kuliah Aini, toh kamu nanti hanya akan memasak
didapur dan merawat anak dan suamimu. Kuliah hanya akan
membuang – buang waktu.” akupun kembali berfikir.
“Apakah memang aku ditakdirkan untuk menjadi sama
seperti mereka ?”Kulanjutkan langkah kakiku melihat
teman – teman perempuanku yang riang gembira bercerita
tentang siswa laki – laki yang mereka suka. “Sangat
membosankan” batinku.
10
Aku menghabiskan waktu pelajaranku dengan mengerjakan
latihan soal – soal matematika yang sudah diberikan Bu
Dami, guru matematika sekolahku. Banyak hal yang akun
suka soal hitung – menghitung yang tak jarang kesukaanku
terhadap hal tersebut mengantarkanku menjadi juara kelas
selama hampir 6 semester penuh di bangku SMA.
Dengan segala bentuk dorongan yang kuat untuk tidak
melanjutkan pendidikanku di bangku perkuliahan
membuatku menjadi goyah. Aku tidak siap melihat tangis
ayah ibuku karena harus berdarah – darah mencarikan biaya
untuk ku kuliah. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka
membiarkan ayah ibunya tertatih lemah tak berdaya hanya
karena menuruti egonya semata. Dan mungkin memang
benar, Tuhan menciptakanku menjadi perempuan layaknya
para perempuan di desaku.
11
“Beberapa orang memimpikan kesuksesannya, sementara
yang lainnya bangun setiap pagi untuk mewujudkan
mimpinya.”
- Wayne Huizenga
12
MENGUMPULKAN TEKAD
13
“ Apakah kamu sedang baik - baik saja Aini ?” Tanya Bu
Nur di ruang guru kepada Aini.
14
permasalahan yang kamu hadapi anak ku dan Ibu tidak akan
membiarkan kamu berjuang sendirian ” Bujuk Bu Nur
dengan sabar.
15
orangtua saya untuk menguliahkan saya lalu bagaimana
nasib sekolah adik - adik saya” Tambahnya.
16
Bu Nur mengangguk dan tersenyum.
17
akan mendapatkan hasil sesuai dengan yang ia harapkan.
Dengan sabar, Bu Nur memasukkan data - data Aini
kedalam sistem yang serba digital itu.
19
“Pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia,
karena dengan pendidikan, Anda dapat mengubah dunia.” –
Nelson Mandela
- Nelson Mandela
20
DIAMBILNYA TULANG PUNGUNG KELUARGA
Hari itu menjadi hari spesial bagi Aini, ia menjadi juara satu
dalam ujian nasional di sekolahnya. Ia lulus ujian dengan
nilai yang sangat memuaskan. Nilainya hampir sempurna. Ia
sangat bangga dengan perjuangannya.
22
menatapnya iba.
23
"Semua impian kita dapat menjadi kenyataan jika kita
memiliki keberanian untuk mengejarnya."
- WALT DISNEY
24
HARUS MENAHAN
27
"Tindakan adalah kunci dasar untuk kesuksesan."
- Pablo Picasso
28
KEMBALI MERAJUT ASA
Mahatma Ghandi
32
Rencana Tuhan yang Tidak Terduga
Selain anak yang rajin aini merupakan salah satu anak yang
pintar, hal tersebut dibuktikan dengan ia sering mengikuti
berbagai lomba untuk mewakili universitasnya. Pada suatu
hari aini ditunjuk untuk mengikuti lomba essay tingkat
nasional yang di selenggarakan di salah satu universitas di
kota Jakarta. Tanpa berfikir Panjang aini langsung
menerima tawaran tersebut, ia berfikir dengan mengikuti
lomba tersebut selain ia mendapatkan ilmu, aini juga
mandapatkan pengalaman yang berharga dan bisa jalan-
jalan ke kota Jakarta tanpa biaya sedikitpun, karena segala
keperluannya sudah di tanggung oleh pihak universitas. Dua
minggu berlalu tiba saatnya aini berangkat ke kota Jakarta
untuk mengikuti lomba tersebut. Dalam perjalanan aini
banyak mendapatkan pelajaran kehidupan dengan bertemu
orang-orang baru yang ia temui di sepanjang perjalanan.
Mulai dari bertemu dengan orang-orang yang memiliki
kekurangan ekonomi. Ketika aini melihat orang-orang
tersebut, aini teringat dengan kehidupannya terdahulu yang
serba kekurangan.
33
Aini juga sempat bertegur sapa dengan seorang penyapu
jalan. Dalam dialog tersebut ada haru yang terjadi
dikarenakan aini mengingat kehidupannya di masa lalu. Aini
juga memberikan semangat kepada orang tersebut, aini
berpesan untuk tidak boleh menyerah dalam menjalani
hidup. Tidak terasa aini telah sampai di kota Jakarta, itu
merupakan kesempatan pertamanya dapat menginjakkan
kaki di kota metropolitan Jakarta. Aini sangat Bahagia dan
semangat untuk mengikuti lomba essay tersebut. Semangat
dan kerja keras aini berbuah manis, ia dapat mendapat juara
pertama dalam perlombaan tersebut. Dengan prestasi yang
ia dapatkan aini menjadi mahasiswi yang sangat terkenal di
kalangan dosen, banyak dari mereka memberikan tawaran
untuk memperoleh beasiswa, oleh sebab itu aini
melanjutkan pendidikannya tanpa mengeluarkan uang
sedikitpun. Walaupun dalam memperoleh pendidikannya
aini tidak mengeluarkan uang, ia tidak berhenti bekerja di
bank swasta tersebut, oleh sebab itu dalam kesehariannya
aini harus membagi waktu untuk bekerja dan kuliah.
34
Dalam dunia perkuliahan pasti banyak rintangan dan
halangan yang di hadapi Tetapi dia tidak lalai dan dapat
menyelesaikan semunya dengan waktu yang di berikan.
Ketika aini sudah berada di penghujung ujian skripsi ia
melakukan ujian dengan semaksimal mungkin dan dapat
dilihat dari hasil yang ia peroleh bisa wisuda dengan gelar
cumclaude. Dikarenakan atas prestasi-prestasi yang ia
dapatkan aini mendapat kesempatan untuk melanjutkan
memperoleh gelar S2 nya di jepang.
35
"Ubah hidupmu hari ini. Jangan bertaruh pada masa depan,
bertindaklah sekarang tanpa menunda."
- Simone de Beauvoir
36
Novel ini menceritakan kisah perjuangan seorang anak gadis
dari keluarga nelayan sederhana di Jepara dalam
mewujudkan cita - citanya menjadi seorang sarjana
perikanan untuk memajukan masyarakat Jepara yang
mayoritas adalah nelayan. Harus merasakan kesedihannya
yang tidak hanya karena ekonomi keluarganya saja yang
serba pas - pasan, melainkan juga diambilnya tulang
punggung keluarga yaitu sang ayah tercinta.
Perjuangannya dalam memperoleh beasiswa untuk masuk
perguruan tinggi hancur karena salah satu penyokong
hidupnya sudah meninggalkan dirinya untuk selama -
lamanya. Ia harus mengubur keinginannya dan harus
menggantikan tugas ayahnya untuk memperjuangkan
pendidikan anak - anaknya. Ia tidak lagi bertekad untuk
mewujudkan cita - citanya. Namun Tuhan tidak membiarkan
umatnya larut dalam kesedihan. Ia diberikan banyak sekali
kemudahan dibalik setiap kesedihan yang dilaluinya. Simak
cerita Aini mewujudkan cita - citanya di dalam buku ini.
Happy Reading :)