Anda di halaman 1dari 3

Setitik Hikmah Dibalik Sendu

Oleh:Sarah Agnesia Sinaga

Horee.. Horee.. Horee...


Suara teriakan memenuhi ruangan kelasku yang dikabarkan akan libur selama seminggu.
Semua raut ekspresi yang tampak menampilkan kegembiraan di wajahnya termasuk aku.
Namaku adalah Glanesya Putri yang biasa dipanggil ‘ Nesya’. Libur adalah satu hal
sederhana yang sangat menyenangkan bagiku.
Tapi, siapa sangka ketika libur adakalanya kita mengalami rasa bosan. Untungnya, dua hari
lagi aku akan bersekolah kembali dan bertemu teman-temanku.
Aku yang sedang menonton berita di televisi pun kaget. Tidak pernah kuduga bahwa libur
akan diperpanjang. Seminggu saja sudah bosan, apalagi ini yang tidak tahu kapan.
Semua terjadi hanya karena berita mengenai virus yang menggemparkan seluruh dunia itu.
Hari-hariku pun mulai berubah sejak libur diperpanjang. Terkadang, bosan menghantui
pikiranku. Mengingat masa-masa sekolah.
“Aaaaaaa.. jadi rindu. “. Pikiranku melayang.
Aku pun mulai beradaptasi dengan hal ini. Aku terkadang menyesal karena aku kurang
bersyukur selama ini dan selalu mengeluh di sekolah.
Namun, masalah tidak sampai di situ saja, kehidupan yang biasa mungkin sudah berubah
pada keluargaku karena pandemi ini. Orang tuaku hanyalah seorang petani. Biasanya
kehidupan kami selalu cukup.
Tapi, sekarang semua berubah. Harga hasil panen yang murah membuat kami makan
seadanya.
“Sekarang ini kita hanya bisa bersyukur dan berdoa,” kata Ibu.
Aku hanya bisa diam sambil merenung. “Mengapa semua jadi begini?”batinku.
Melihat mereka yang bekerja keras membuat aku dan adikku untuk membantu orangtua kami
bekerja. Seketika, ingin aku rasanya bersekolah kembali.
Tina, salah satu temanku di sekolah. Ia menghubungiku untuk memberi tahu bahwa ia tidak
lagi bersekolah sama denganku. Seketika aku merasa sedih. “ Begitu besarkah dampak
pandemi ini? “, pikirku. Tina mengungkapkan alasan dia pindah ke rumah neneknya di
kampung karena ayahnya yang diPHK.
“Aku turut prihatin ya. Kamu disana juga sehat. “, kataku.
“Makasih banyak, Nes. Aku berharap kita dapat bertemu kembali.Aku tutup dulu ya
teleponnya. ”, kata Tina.
Perlahan-lahan orang-orang sekitarku juga merasakan dampak pandemi ini. Seperti kemaren,
keluargaku yang dites hasilnya positif covid. Kami sekeluarga hanya bisa memberikan kata-
kata penghiburan dan penguatan.
Aku terkadang sedih dan menangis melihat keadaan ini. Semua nyawa ditaruhkan hanya
demi sesuap nasi. Berita dimana-mana yang menyebabkan orang-orang mengalami ketakutan
berlebihan.
“Mengapa malangnya nasib kami? “
“Apa yang harus kami lakukan? ”
“Akankah kami dapat bertahan? “
Begitulah aku menulis catatan diary-ku dengan pena menari-nari di atas kertas.
Akupun tersentak kaget ketika ibuku memangggilku dari arah ruang makan. Ibu menyuruh
kami untuk makan malam bersama. Sebelum kami makan, kami berdoa yang dipimpin oleh
ayah.
“Aminn” jawab kami bersamaan.
Ibu berkata, “Untuk sekarang kita hanya bisa makan seadanya dulu. Kalian sabar ya, tetap
bersyukur kepada Tuhan kita masih bisa makan. Banyak orang sekarang yang tidak bisa
makan. Jadi kita harus tetap bersyukur.”
“Ya, Bu.” jawabku.
Kami melanjutkan acara makan malam kami dengan penuh senda gurau dan cerita motivasi.
Aku senang kami dapat berkumpul seperti ini. Rasa kebersamaan inilah yang kurindukan
sedari dulu. Mengingat mereka terkadang sibuk dengan aktivitas bertaninya.
Hampir tiga bulan waktu berjalan, rasa bosanku semakin menjadi-jadi. Kubuka aplikasi
chatting ponselku, kulihat notif chat dari teman sekelasku. Kami saling menyapa satu sama
lain namun rasanya berbeda ketika tidak bertatap muka. Inikah yang dinamakan kerinduan
yang melimpah?
Ibuku menceritakan kepada ayahku bahwa telah datang bantuan sembako dari pemerintah.
Ibuku sangat bersemangat menceritakan hal ini dan ia berharap bantuan itu juga datang ke
keluarga kami.
Isu-isu mengenai bantuan itu juga menyebar dengan cepat di kalangan masyarakat sekitarku.
Mereka bahkan mulai mencari tahu apa-apa saja persyaratan yang harus dilakukan, berapa
jumlah dana yang diterima sampai berapa kapasitas yang berhak mendapat.
Keesokan harinya, bantuan itu datang ke keluarga kami dengan beberapa paket sembako.
Kami bersyukur bahwa jatah sembako jatuh kepada tangan yang tepat dan membutuhkan.
Selama tiga bulan ini juga, aktivitas sekolahku dilakukan dengan daring. Selesai daring, aku
membantu orangtuaku ke ladang bersama dengan adikku. Yang membuatku terkendala
sekolah daring yaitu akses internetnya.
Ketika kuota internet habis, aku takut untuk meminta kepada orangtuaku apalagi sekarang ini
mereka tidak mempunyai. Tapi, mau bagaimana lagi aku terpaksa meminta mereka untuk
membeli kuota internet.
Dulu, setiap minggu keluargaku selalu mengunjungi kami untuk sekedar bertamu. Namun,
semenjak pandemi kami tidak pernah bertemu. Hanya sekedar bertemu lewat telepon dan
video call.
Namun, hal seperti itu tidak membuat kami semakin menjauh justru kami semakin dekat dan
saling menyemangati satu sama lain. Terkadang, kami tiap keluarga mengirim sebuah video,
lalu dikirim ke grup keluarga. Seketika aku berpikir, jika pandemi ini tidak terjadi mungkin
saja kami tidak seakrab sekarang. Itulah hikmah yang aku dapatkan.
Orangtuaku semakin berusaha untuk mencari pekerjaan tambahan. Ibuku berinisiatif untuk
menjual bahan pangan secara online,seperti sayuran dan buah-buahan dari hasil ladang. Aku
membantu memasarkan produk bersama ibuku.
Hasil yang didapat pun lumayan banyak. Cukup untuk keperluan sehari-hari. Ibuku sangat
menyukai pekerjaannya itu. Selain bisa berjualan, ia juga bisa membantu ayahku berkebun.
Aku terharu melihat perjuangan mereka dalam mencari nafkah apalagi di tengah pandemi ini.
Aku bertekad akan membanggakan kedua orangtuaku. Aku akan sungguh-sungguh dalam
mengejar impianku. Dan bisa menaikkan derajat mereka.
Hari-hari berlalu, aku mendapat sebuah pesan masuk yang menyatakan aku menang dalam
mengikuti lomba cipta puisi online. Aku sangat terkejut. Pasalnya, ketika aku membuat puisi
itu aku dibantu oleh ayah dan ibuku. Dan lebih terkejutnya hadiah juara cipta puisi itu cukup
besar,yaitu uang senilai Rp. 1.000.000,00.
Aku langsung menghampiri orangtuaku dan mengabarkan bahwa aku menang kompetisi puisi
itu. Mereka sama terkejutnya denganku. Mereka sangat senang. Aku langsung mengucapkan
terima kasih banyak kepada mereka. Karena ini merupakan bantuan dari mereka juga.
Aku juga senang karena uang ini akhirnya akan kuberikan kepada mereka,setidaknya aku
turut membantu mereka juga dalam mencukupi kebutuhan kami sehari-hari. Aku jadi tahu
seberapa kerasnya perjuangan orangtua buat anak-anaknya.
Banyak pelajaran yang dapat kuambil dari kisahku terlebih lagi di keluargaku sendiri, jika
mungkin pandemi ini tidak terjadi, kebersamaan keluargaku mungkin tidak akan sehangat
dan seharmonis ini.

S E LE S A I

Anda mungkin juga menyukai