Suara teriakan memenuhi ruangan kelasku yang dikabarkan akan libur selama seminggu. Semua raut ekspresi yang tampak menampilkan kegembiraan di wajahnya termasuk aku. Namaku adalah Glanesya Putri yang biasa dipanggil ‘ Nesya’. Libur adalah satu hal sederhana yang sangat menyenangkan bagiku. Tapi, siapa sangka ketika libur adakalanya kita mengalami rasa bosan. Untungnya, dua hari lagi aku akan bersekolah kembali dan bertemu teman-temanku. Aku yang sedang menonton berita di televisi pun kaget. Tidak pernah kuduga bahwa libur akan diperpanjang. Seminggu saja sudah bosan, apalagi ini yang tidak tahu kapan. Semua terjadi hanya karena berita mengenai virus yang menggemparkan seluruh dunia itu. Hari-hariku pun mulai berubah sejak libur diperpanjang. Terkadang, bosan menghantui pikiranku. Mengingat masa-masa sekolah. “Aaaaaaa.. jadi rindu. “. Pikiranku melayang. Aku pun mulai beradaptasi dengan hal ini. Aku terkadang menyesal karena aku kurang bersyukur selama ini dan selalu mengeluh di sekolah. Namun, masalah tidak sampai di situ saja, kehidupan yang biasa mungkin sudah berubah pada keluargaku karena pandemi ini. Orang tuaku hanyalah seorang petani. Biasanya kehidupan kami selalu cukup. Tapi, sekarang semua berubah. Harga hasil panen yang murah membuat kami makan seadanya. “Sekarang ini kita hanya bisa bersyukur dan berdoa,” kata Ibu. Aku hanya bisa diam sambil merenung. “Mengapa semua jadi begini?”batinku. Melihat mereka yang bekerja keras membuat aku dan adikku untuk membantu orangtua kami bekerja. Seketika, ingin aku rasanya bersekolah kembali. Tina, salah satu temanku di sekolah. Ia menghubungiku untuk memberi tahu bahwa ia tidak lagi bersekolah sama denganku. Seketika aku merasa sedih. “ Begitu besarkah dampak pandemi ini? “, pikirku. Tina mengungkapkan alasan dia pindah ke rumah neneknya di kampung karena ayahnya yang diPHK. “Aku turut prihatin ya. Kamu disana juga sehat. “, kataku. “Makasih banyak, Nes. Aku berharap kita dapat bertemu kembali.Aku tutup dulu ya teleponnya. ”, kata Tina. Perlahan-lahan orang-orang sekitarku juga merasakan dampak pandemi ini. Seperti kemaren, keluargaku yang dites hasilnya positif covid. Kami sekeluarga hanya bisa memberikan kata- kata penghiburan dan penguatan. Aku terkadang sedih dan menangis melihat keadaan ini. Semua nyawa ditaruhkan hanya demi sesuap nasi. Berita dimana-mana yang menyebabkan orang-orang mengalami ketakutan berlebihan. “Mengapa malangnya nasib kami? “ “Apa yang harus kami lakukan? ” “Akankah kami dapat bertahan? “ Begitulah aku menulis catatan diary-ku dengan pena menari-nari di atas kertas. Akupun tersentak kaget ketika ibuku memangggilku dari arah ruang makan. Ibu menyuruh kami untuk makan malam bersama. Sebelum kami makan, kami berdoa yang dipimpin oleh ayah. “Aminn” jawab kami bersamaan. Ibu berkata, “Untuk sekarang kita hanya bisa makan seadanya dulu. Kalian sabar ya, tetap bersyukur kepada Tuhan kita masih bisa makan. Banyak orang sekarang yang tidak bisa makan. Jadi kita harus tetap bersyukur.” “Ya, Bu.” jawabku. Kami melanjutkan acara makan malam kami dengan penuh senda gurau dan cerita motivasi. Aku senang kami dapat berkumpul seperti ini. Rasa kebersamaan inilah yang kurindukan sedari dulu. Mengingat mereka terkadang sibuk dengan aktivitas bertaninya. Hampir tiga bulan waktu berjalan, rasa bosanku semakin menjadi-jadi. Kubuka aplikasi chatting ponselku, kulihat notif chat dari teman sekelasku. Kami saling menyapa satu sama lain namun rasanya berbeda ketika tidak bertatap muka. Inikah yang dinamakan kerinduan yang melimpah? Ibuku menceritakan kepada ayahku bahwa telah datang bantuan sembako dari pemerintah. Ibuku sangat bersemangat menceritakan hal ini dan ia berharap bantuan itu juga datang ke keluarga kami. Isu-isu mengenai bantuan itu juga menyebar dengan cepat di kalangan masyarakat sekitarku. Mereka bahkan mulai mencari tahu apa-apa saja persyaratan yang harus dilakukan, berapa jumlah dana yang diterima sampai berapa kapasitas yang berhak mendapat. Keesokan harinya, bantuan itu datang ke keluarga kami dengan beberapa paket sembako. Kami bersyukur bahwa jatah sembako jatuh kepada tangan yang tepat dan membutuhkan. Selama tiga bulan ini juga, aktivitas sekolahku dilakukan dengan daring. Selesai daring, aku membantu orangtuaku ke ladang bersama dengan adikku. Yang membuatku terkendala sekolah daring yaitu akses internetnya. Ketika kuota internet habis, aku takut untuk meminta kepada orangtuaku apalagi sekarang ini mereka tidak mempunyai. Tapi, mau bagaimana lagi aku terpaksa meminta mereka untuk membeli kuota internet. Dulu, setiap minggu keluargaku selalu mengunjungi kami untuk sekedar bertamu. Namun, semenjak pandemi kami tidak pernah bertemu. Hanya sekedar bertemu lewat telepon dan video call. Namun, hal seperti itu tidak membuat kami semakin menjauh justru kami semakin dekat dan saling menyemangati satu sama lain. Terkadang, kami tiap keluarga mengirim sebuah video, lalu dikirim ke grup keluarga. Seketika aku berpikir, jika pandemi ini tidak terjadi mungkin saja kami tidak seakrab sekarang. Itulah hikmah yang aku dapatkan. Orangtuaku semakin berusaha untuk mencari pekerjaan tambahan. Ibuku berinisiatif untuk menjual bahan pangan secara online,seperti sayuran dan buah-buahan dari hasil ladang. Aku membantu memasarkan produk bersama ibuku. Hasil yang didapat pun lumayan banyak. Cukup untuk keperluan sehari-hari. Ibuku sangat menyukai pekerjaannya itu. Selain bisa berjualan, ia juga bisa membantu ayahku berkebun. Aku terharu melihat perjuangan mereka dalam mencari nafkah apalagi di tengah pandemi ini. Aku bertekad akan membanggakan kedua orangtuaku. Aku akan sungguh-sungguh dalam mengejar impianku. Dan bisa menaikkan derajat mereka. Hari-hari berlalu, aku mendapat sebuah pesan masuk yang menyatakan aku menang dalam mengikuti lomba cipta puisi online. Aku sangat terkejut. Pasalnya, ketika aku membuat puisi itu aku dibantu oleh ayah dan ibuku. Dan lebih terkejutnya hadiah juara cipta puisi itu cukup besar,yaitu uang senilai Rp. 1.000.000,00. Aku langsung menghampiri orangtuaku dan mengabarkan bahwa aku menang kompetisi puisi itu. Mereka sama terkejutnya denganku. Mereka sangat senang. Aku langsung mengucapkan terima kasih banyak kepada mereka. Karena ini merupakan bantuan dari mereka juga. Aku juga senang karena uang ini akhirnya akan kuberikan kepada mereka,setidaknya aku turut membantu mereka juga dalam mencukupi kebutuhan kami sehari-hari. Aku jadi tahu seberapa kerasnya perjuangan orangtua buat anak-anaknya. Banyak pelajaran yang dapat kuambil dari kisahku terlebih lagi di keluargaku sendiri, jika mungkin pandemi ini tidak terjadi, kebersamaan keluargaku mungkin tidak akan sehangat dan seharmonis ini.