Anda di halaman 1dari 7

MENEMBUS PENJARA KATA

Oleh Primadita Herdiani

Mengapa dunia membisu padaku? Tak bisa kudengar derai hujan atau
desah angin. Tak tahu seperti apa dengung kumbang yang mengelilingi bunga-
bunga. Atau derik serangga malam hari. Benarkah mereka bersuara seperti yang
diceritakan ayah atau didongengkan ibu. Kicau burung hanya ada dalam gerak
mulut orang tuaku. Pastinya seperti apa tak kupahami. Suara ayah ibu pun entah
seperti apa.
Apa ibu memanggil namaku dengan lembut? Apa tawa ayah keras atau
pelan. Aku hanya melihat bibir ibu bergerak menipis lalu terbuka. Saat itulah aku
paham ia sedang memanggil namaku. Dan tawa ayah hanya kupahami lewat baris
giginya yang terlihat. Yang pasti ayah selalu tersenyum bila memanggil namaku.
Aku melihat alam selalu bergerak dalam kesunyian. Kala hujan deras
disertai angin melanda halaman rumah. Ranting-ranting terlihat patah, pohon
bergoyang tumbang. Daun berserakan diacak angin yang tak peduli arah. Namun
dalam gerak alam yang sedahsyat itu tak kudengar apa pun. Bahkan petir pun
hanya sebuah kilatan cahaya di langit yang tetap saja sepi.
Sejak awal hidup tak dapat kudengar apapun. Aku hanya melihat gambar
bisu. Seperti film kuno yang hanya dipenuhi gerak tak bermakna. Tak kumengerti
dunia. Tak kupahami kata orang tuaku. Tak dapat kusampaikan keinginanku. Aku
terpenjara ketidak sempurnaan indera.
Keadaan yang tak pernah diduga orang tuaku. Sejak aku bergelung
melengkung dalam rahim. Ayah ibu selalu berdoa untuk kebaikanku. Sebab aku
adalah anak pertama yang sangat dinantikan. Ibu telah merawat kehamilannya
dengan benar. Tak ada yang terlewat. Makanan sehat penuh gizi. Vitamin lengkap
yang diresepkan bidan. Hingga jamu paling pahit pun diminum ibu. Semua demi
aku. Buah hati yang begitu dirindukan. Ketika mengandungku, kuyakin ibu telah
melakukan semua yang terbaik. Lalu kenapa aku terlahir begini?
Padahal begitu lama ayah ibu menantikanku. Lima tahun bukanlah waktu
yang sebentar. Banyak yang telah diupayakan untuk mendapatkan keturunan.
Tanpa lelah ayah ibu berusaha keras demi kehadiranku ke dunia. Tengah malam
ayah ibu melantunkan doa khusus, memohon anak dari Sang Kuasa. Pagi setelah
sarapan ibu rutin minum obat penyubur kandungan. Ayah berpantang makanan
yang dipercaya menghambat pembuahan. Begitu sempurna semua upaya. Tapi
setelah lahir, aku tak sesuai harapan. Aku bayi yang tak lengkap.
Mereka pasti kecewa dengan kekuranganku. Tapi mereka begitu tegar
dengan masalahku yang tanpa pemecahan. Sabar menerima keadaanku. Tak
pernah sekalipun mengeluh. Nrimo dan tak saling menyalahkan. Bukan bibit ayah
yang jelek atau rahim ibu yang buruk. Keduanya justru semakin merapat kompak.
Sepakat untuk mengatasi kekuranganku. Tidak dengan cara yang aneh atau tak
masuk akal. Tidak pula dengan menyembunyikan kecacatanku. Berdua bahu
membahu demi aku.
Setelah sekian lama bekerja keras demi kelahiranku, ayah ibu harus
kembali bekerja keras untuk menaklukan cacatku. Perjuangan yang tak putus.
Panjang sepanjang hidupku selanjutnya. Bisa dibilang setiap tarikan nafasku
adalah kerja keras ayah ibu. Menyulutkan api di dadaku. Agar aku memiliki
semangat dan dapat tegak berdiri di atas kedua kaki. Kurang tak berarti hilang.
Aku ada dan berusaha mencatatkan diri pada dunia, walau dengan segala cacatku.
Itu yang terus ditanamkan ayah ibu di dalam mentalku.
Sekali lagi beribu cara dilakukan. Segala informasi yang tak mudah
ditemukan pun dicari. Dokter ahli hingga pengobatan alternatif di lereng gunung
didatangi. Semuanya untuk kesempurnaan inderaku. Walau tak ada cacatan pasti
tentang segala daya upaya orang tuaku. Yang pasti kutahu mereka menyayangiku.
Mencintaiku, sejak aku masih berupa janin tanpa ingatan dalam rendaman
ketuban.
Sesungguhnya aku sendiri pun tak mau lahir dalam keadaan ini. Jujur aku
pun sangat kecewa ketika sadar pada keadaanku. Namun melihat semangat ibu,
kegigihan ayah menyembuhkanku. Aku pun tak mau melemah. Kutakut mereka
akan lebih terluka lagi. Punya anak cacat yang cengeng pula. Sering kutahan
airmata demi menyenangkan mereka. Padahal sedang sangat sedih karena
menginginkan sesuatu tapi tak ada yang mengerti mauku. Aku menjadi pendiam
dan sangat pasif. Kadang juga marah-marah tak karuan.
Kubanting gelas untuk mengatakan ‘tidak mau minum jus itu, aku ingin susu’.
Kurobek baju baru yang ibu belikan buat menyampaikan ‘aku tak mau pakai,
warnanya tak suka’. Aku pun pernah menangis seharian hanya karena
menginginkan permen coklat dari warung sebelah. Aku menggerakkan tanganku
dengan kacau, menunjuk-nunjuk ke luar. Tapi ayah ibu tetap tak mengerti. Aku
mengamuk. Melonjak-loncak tak karuan. Membantingi barang-barang. Menggedor
pintu, jendela. Menggebrak meja kursi yang sedang ibu duduki. Ibu menggeleng,
ayah mengangkat bahu. Menjengkelkan! Betapa sulit menginginkan sebutir
permen saja.
Sakit sekali hati rasanya. Sulit sekali mendapat hal kecil yang bagi anak
lain tinggal berucap satu kata saja. Permen! Tapi untukku memerlukan banyak
energi. Menguras batin kedua orang tuaku. Aku sedih. Semua serba berbatas.
Seperti berada dalam toples kaca. Tertutup rapat kedap suara. Aku melihat
segalanya namun tak mendengar apa-apa. Ayah ibu hanya bisa memandang dari
balik kaca. Sambil terus berusaha memahami semuanya. Kemurungan mulai
melanda. Aku putus asa.
Ayah ibu tanggap dengan kondisi psikisku, setelah konsultasi dengan
banyak orang. Psikolog hingga orang tua lain yang memiliki anak sepertiku.
Perlahan mereka mulai menemukan cara untuk berkomunikasi. Aku diajari cara
memegang pensil dan bolpoin. Ayah menggambar kue, es krim, atau permen.
Kutunjuk salah satunya. Lalu aku belajar menggambar benda-benda. Kami
bergantian menggambar. Ibu memberikan pensil warna. Untuk memudahkan
memilih sesuatu yang berwarna. Pilih gambar kaos merah atau kuning? Aku
mengacungkan pensil merah. Esoknya ibu membelikanku t-shirtmerah dengan
gambar bunga-bunga. Aku melompat kegirangan. Kali ini tak salah. Tepat seperti
yang kuinginkan!
Aku mulai merasa nyaman dan tenang. Kebesaran hati dan keikhlasan ayah
ibu benar-benar membuatku ingin maju. Tanpa jeda yang berarti, terus diajarkan
cara paling aman untuh menempuh hidup yang berbeda ini. agar dapat kuraih
kesempatan yang sama dengan anak lain yang normal. Aku mulai belajar untuk
bertahan hidup dengan segala kelemahanku. Aku berdamai dengan kecacatanku.
Kukira tak seorang pun di dunia mau terlahir dalam keadaan tunarungu.
Tak juga aku.
Dengan saraf telinga yang lumpuh sejak lahir. Tak bereaksi pada denting
spatula yang diketuk dekat daun telinga. Lidahku menjadi bodoh. Tak mampu
mengucapkan kata karena tak kudengar apa-apa. Lidah hanya menjadi alat bantu
bagi mulut untuk mengunyah dan mencerap rasa tanpa bisa menyebut rasa. Asin
manis hanya ada dalam pikiranku. Terkunci oleh kebisuanku.
*
Lalu tibalah suatu masa yang mengubah segalanya. Ibu pindah kerja ke luar
kota. Seminggu sekali pulangnya. Ayah tugas belajar ke luar negeri. Dua tahun
lamanya. Aku dititipkan pada eyang. Eyang kakung paling perhatian padaku. Aku
cucu yang selalu di istimewakan. Dari beliaulah aku belajar menangkap makna
kata. Eyanglah yang dengan setia mengajari teknik baru berkomunikasi. Beliau
sangat kreatif. Banyak media yang digunakan. Selembar koran bekas pun bisa
menjadi alat. Eyang memperlihatkan gambar-gambar di atasnya. Aku tak perlu
menggambar sendiri. Tinggal tunjuk saja. Lebih cepat dan praktis. Apalagi
semakin besar makin banyak keinginanku.
Tak cuma permen, es krim atau roti. Yang mudah digambar. Aku
menginginkan apel, jeruk, atau jambu. Semuanya berbentuk bulat. Gambarnya
hampir sama. Sering menimbulkan salah paham. Pernah kugambar
semangka, eyang putri membelikan melon. Aku tak menangis tapi tak juga mau
memakannya. Eyang kakung mengguntingi gambar-gambar dari koran atau majalah
lalu menempelkannya di buku tulis. Kubawa buku itu ke mana-mana. Supaya
mudah menunjukkan keinginanku.
Setelah cukup umur aku masuk SLB. Diajari membaca, menulis dan
berbicara. Betapa terkejutnya aku ketika kusentuh tenggorokan bu guru.
Lehernya bergetar ketika membuka mulut. Aku tak pernah tahu bahwa leher bisa
bergetar seperti itu ketika membuka mulut. Dan aku pun menirukannya. Berulang-
ulang hingga ia mengacungkan jempol pertanda benar dan tepat. Vokal pertama
yang lancar kuucap adalah “ee…”.
“Je-ruk.” Di tunjuk gambar jeruk di dalam buku di hadapanku. Mulutku
mengikuti gerak mulutnya dari cermin di hadapan kami berdua. Tak lupa
menyentuhkan tanganku di lehernya untuk merasakan resonansi yang pas. Aku
juga belajar bahasa isyarat. Secara khusus eyang kakung ikut mempelajarinya,
agar mudah berkomunikasi denganku.
Di rumah eyang memberi buku-buku. Setiap menjelang tidur eyang
membuka-buka buku penuh gambar warna-warni di tempat tidur. Menjelaskan
padaku dengan bahasa isyarat. Mengajakku membaca dongeng-dongeng indah
sampai selesai. Tak ada satu kalimat terlewat. Kisah-kisah yang kemudian
berlanjut menjadi mimpi indah dalam tidurku.
Ulang tahunku yang kesepuluh bertepatan dengan kepulangan ayah dari
luar negeri. Ia sudah selesai kuliah. Gelar di belakang namanya bertambah. Oh,
bangganya aku pada ayah. Selain oleh-oleh, ayah memberiku hadiah sebuah benda
yang asing. Warnanya merah mengkilap, warna yang kusuka. Seperti buku benda
itu bisa dibuka di tengah. Ada banyak tombol penuh huruf di dalamnya. Ayah
menancapkan kabelnya lalu benda itu pun menyala. Pada layar muncul gambar
kartun lucu yang kusuka. Aku tersenyum senang. Lalu ayah memencet beberapa
tombol.
“Selamat ulang tahun Fiezza.” Benda itu berbicara padaku. Layarnya
berkata-kata. Aku diam sesaat. Ayah membimbing jari-jariku memencet huruf-
huruf.
“Nama saya Fiezza.” Itulah kalimat pertama yang kutuliskan. Ibu
memelukku. Eyang kakung mencium keningku. Eyang putri bersorak senang. Hari
itu hari terindah untukku.
“Hari ini Fiezza ulang tahun, ayah kasih hadiah laptop. Supaya Fiezza bisa
menulis apa saja yang ingin disampaikan” Begitu tulisan yang tertera di layar. Aku
mulai mengerti. Benda ini akan menjadi jembatan untuk berkomunikasi. Setelah
itu ayah mengajariku fungsi-fungsi laptop. Aku senang sekali. Aku menuliskan
banyak kata. Sudah lama aku ingin bercerita. Mengomentari rambut nenek
misalnya. Atau berkeluh ketika diganggu teman.
Tak hanya itu saja hadiah yang kuterima. Ada benda lain yang berkabel
juga, yang menjadi hadiah utama. Dibungkus dalam kotak kecil berpita. Sama
seperti sebelumnya aku pun asing dengan alat itu. Ibu memasukkan ujungnya ke
telinga kiriku. Ujung lain kira kira sebesar kotak korek api disematkan di bajuku.
Lalu eyang kakung menempelkan headphone pada telinga yang dipasangi alat. Apa
yang kurasakan setelah itu tak kan pernah kulupakan selamanya. Ini adalah
sejarah penting dalam hidupku.
“Selamat ulang tahun Fiezzaaa…!” lalu ada gelak tawa. Oh seperti itukah
suara tawa? Saking terkejutnya headphone sampai jatuh kutepis. Aku kaget
ketika pertama kali mendengar suara. Aku menatap ayah ibu dengan bingung.
“Itu Mbak Indah dan Dik Dini. Sepupumu di Lampung.” Ayah menjelaskan
lewat laptop. Setelah itu aku merasa gendang telingaku berdengung. Banyak
suara yang masuk tiba-tiba. Kulepas alat itu. Sepi seketika. Kupasang lagi. Riuh
berikutnya. Aku menatap ayah.
“Panggil Fiezza.” Kataku. Bisa kudengar suaraku sendiri.
“Fiezza sayang.” Sambil dielus kepalaku. Oh seperti itukah suara panggilan
ayah. Ini kali pertama setelah satu dasa warsa. Panggilan ayah yang hanya bisa
kulihat dalam gerak bibir dan senyumnya. Lengkap kumengerti. Lembutnya sampai
ke dalam hati. Bagaimana dengan ibu? Eyang kakung, dan eyang putri? Satu
persatu kuminta mereka berbicara. Apa saja. Aku sangat ingin tahu suara
mereka.
Betapa merdu nyanyian ibu ketika mandi. Aku sering ikut menyanyi bila
kebetulan lewat kamar mandi. Lucu sekali suara batuk eyang kakung. Betapa
cerewetnya nenek menawar bayam pada tukang sayur. Televisi, radio, bahkan
kompor gas menjadi bernyawa. Semua berbicara. Bisa kudengar kini desis api
yang menyembur dari kompor menyala. Dunia tak lagi sunyi. Debur ombak, hujan,
riuh angin menjadi biasa di telingaku. Daya tangkap dan pemahamanku meningkat
seiring runtuhnya dinding kaca yang memenjarakanku dalam kebisuan kata-kata.
Sejak itu laptop menjadi sahabat utamaku. Dan alat bantu pendengaran
adalah pengganti inderaku yang hilang. Banyak waktu kuhabiskan untuk
bermain game atau menonton film. Internet menjadi jendela untuk membuka
pikiran. Berlama-lama berselancar di dunia maya untuk menambah pengetahuan.
Semuanya menjadi menyenangkan. Aku bisa asyik berjam-jam mengobrol dengan
teman di ujung dunia lain. Saling bertukar cerita tentang negeri masing-masing.
Membagi banyak pengalaman hidup. Mereka menyatakan salut, ketika mereka
tahu aku seorang tuna rungu.
“Excelent! You are so smart!” komentar Chaty, sahabat dari Australia.
Dalam jaringan pertemanan kami. Lama-lama aku jadi bisa berbahasa Inggris.
Dibimbing ayah tentunya. Pengalaman belajar di luar negeri membuat ayah lancar
berbahasa Inggris. Bertambah satu lagi ilmuku.
Tak hanya itu yang kulakukan dengan laptopku tercinta. Kutuliskan mimpi,
cita-cita, khayalan dan kenangan. Kucatat hari-hariku. Kegiatan, pendapat,
pemikiran, apa saja yang bisa kutulis. Kadang aku berkisah tentang peri kecil
ajaib yang hidup di semak belukar. Pernah juga tentang kesedihanku melihat padi
siap panen yang terendam banjir. Ujung bulirnya mengapung lalu kemudian
membusuk. Kasihan petani gagal panen menderita banyak kerugian. Bagaimana
caranya makan atau menyekolahkan anak-anak mereka? Berhari-hari aku
merenungkannya. Kusampaikan catatanku pada eyang kakung. Eyang senang sekali
membacanya. Tekun dibaca sambil mengangguk- angguk.
Suatu hari eyang mengirimkan sebuah catatan tentang impian masa
depanku, pada majalah ibu kota. Dan dimuat! Bayangkan seluruh negeri membaca
tulisanku. Ayah ibu bangga padaku. Api itu telah menyala. Berkobar penuh
semangat di dadaku. Telah berhasil kudobrak penjara kata-kata. Kutembus
tempurung yang mengungkung pikranku. Tak pernah kudengar suara dengan
sempurna tapi kumengerti tiap pertanda. Bisa kusampaikan apa pun pada dunia.
Dan alam menorehkan semuanya dalam huruf-huruf penuh makna. Aku boleh
terlahir tak sempurna tapi aku selalu istimewa.
Profil Pengarang
Primadita Herdiani adalah salah seorang siswi yang berprestasi. Dia adalah
seorang siswi SMU Hidayatulloh di Kota Semarang. Lahir di Kota Bandung pada
tanggal 30 Mei 1993. Ketika biografi ini ditulis, Dita masih bersekolah kelas XII.
Walau sering ngantuk dikelas,Dita nama panggilannya,Ternyata punya prestasi
yang lumayan keren loh.Antara lain juara II cheerleader antar SMA se-
DIY,juara II Lomba Menulis Cerita Remaja tingkat nasional.Sebelum mengikuti
lomba nulis,beberapa cerpen Dita seperti Pacarku Bukan Supir(2008),Gadis
Penunggu Pintu(2009) telah dimuat di koran lokal Yogyakarta.Dan sekarang juga
sedang mengikuti lomba menulis cerpen se-Jawa Tengah.

Menurut Dita,menulis adalah hal yang sangat menarik.Semua orang pasti bisa
menulis,mulai dari hal-hal kecil di sekitar kita,kalo kita tulis pasti bisa jadi hal
yang menarik.Yang penting kita tulis aja secara jelas dan runtut.Dan untuk lebih
bagus kita harus sering banyak membaca dan membaca dari sumber lain.

Nama Pengarang : Primadita Herdiani


Sekolah : SMU Hidayatulloh, Semarang, Jawa Tengah
Prestasi : Juara II lomba menulis cerpen tingkat nasional
Tempat, tanggal lahir : Bandung, 30 Mei 1993

Anda mungkin juga menyukai