Anda di halaman 1dari 3

CERITA FANTASI

TELEPORTASI

Sang raja siang mulai menjabat posisinya kembali. Hasilkan peluh bercucuran di kening. Es batu
sekalipun pasti akan leleh terkena hasil pemerintahannya. Apalagi si bayu tak ingin bekerja sama
dengan para makhluk sosial di bumi ini. ia tak lewat barang sedetikpun di sini.
Si gadis dengan helaian rambut hitamnya, menopang dagunya di sudut kantin. Rambutnya yang
biasanya ia urai kini terikat rapi —Bahkan guru seni budaya yang sering menegurnya pun kali ini
tak buka mulut sedikitpun, bahkan membuatnya tersenyum. Segelas es jeruk dengan es batu
ekstra telah tinggal gelasnya saja. Jika biasanya beberapa orang masih meninggalkan es batunya,
tidak dengannya.
Beberapa kali ia masih menyuapkan jajanan coklat murahan di kantin, dengan muka masam. Tak
dapat dipungkiri, cuacanya memang dapat membuat mood beberapa orang berubah drastis. Gadis
yang biasanya berdiam diri di kelas ini pun dapat mengumpulkan segenap niatnya untuk
melangkah menuju kantin, menghabiskan tiga puluh menit untuk memesan dua gelas es jeruk
dan beberapa bungkus jajanan coklat.
“Da, udah tinggal lima menit, gak balik kelas nih?” cowok dengan dandanan berantakan. Rambut
dicukur membuatkan jalan kutu rambut membentuk huruf S, sesuai dengan inisial namanya,
Sena. Dengan gaya jalan yang tak anggun sama sekali, menghampiri si gadis, tersenyum dengan
tak elit sama sekali.
“Situ sendiri?” tanggap si gadis dengan nada cuek. Memijit keningnya yang tak pusing, ia
bergunam tak jelas. Bola matanya mengikuti tubuh lelaki tadi yang alhasil, kini telah berada di
depannya. Si gadis menghela nafas, berdiri dari bangkunya dan berjalan menuju kelasnya.
“Nada! Ntar pulang bareng gimana?!” teriak si pemuda dari bangku sudut kantin dengan suara
lantang. Alhasil, bukannya mendapat respon dari si gadis, ia malah mendapat cemoohan kasar
dari guru BK yang kebetulan lewat di depannya.
“Jadi, kamu mau bahas apa?” tanya si gadis —Nada— to the point pada cowok tadi —Sena—
saat melewati gerbang sekolahan. Iris matanya menatap lurus ke depan, tanpa menunjukkan
sedikit ketertarikan pada cowok berandalan di sampingnya ini. sorot matanya yang tajam pun
tampaknya sudah jelas menggambarkan bagaimana sifatnya yang dingin.
“Ntar kamu mampir ke sana gak?” bukannya menjawab pertanyaan Nada, Sena malah balik
bertanya. Namun, sejujurnya ini adalah masalah yang ingin ia bahas dengan Nada.
Si gadis kini menoleh pada Sena. “Maksudmu ke tempatnya?”
“Ya. Ke mana lagi kalau bukan ke sana”
“Aku mampir ke sana, toh, daripada aku dimarahin gak jelas sama nenek lampir”
Sena melepaskan tawanya. Matanya hingga berair dan tampaknya perutnya sakit karena terlalu
lama tertawa. Nada tetap berjalan lurus tanpa mempedulikan Sena yang asik dalam dunia penuh
tawanya. Nada bahkan sedikit mempercepat laju langkahnya, jaga-jaga supaya orang-orang tak
menganggapnya berjalan di samping orang gila.
“Siang, Profesor!” Seru Sena begitu masuk dalam ruangan yang sebulan terakhir ia kunjungi
bersama Nada. Sempit, gelap, kotor, bau, dan lembab, itulah ciri-ciri ruangan yang sekarang
menampung tiga orang manusia ini. tak sampai sejorok itu, tempat dimana ruangan ini dibangun
pun berada di antara semak belukar di dalam hutan.
“Oh, Siang Sena, bagaimana sekolahmu?” suara lelaki tua menjawab sapaan Sena. Dirinya yang
memakai topeng las dan sarung tangan yang begitu tebal membuatnya terlihat seperti robot
sampah. Rambut berubannya pun hanya tinggal beberapa di bagian belakang kepalanya. Benar-
benar seorang profesor. Lantas mengapa seorang bergelar profesor bisa hidup di tempat tak
terawat seperti ini?
“Bagaimana perkembangannya?” tanya Nada mendekati si lelaki tua. Menyela penjelasan
membosankan dari Sena merupakan keputusan terbaik. Jika tidak, bisa-bisa si profesor akan
menyetrum dirinya sendiri.
“Sudah jadi lo,” jawab si profesor bangga. “Aku sudah mengujinya pada sebuah apel dan burung
pipit, hasilnya bisa terpindah secara sempurna” selama beberapa detik si profesor menjelaskan
penemuannya dengan logat Jawanya yang kental. Nada berdecak kagum terhadap seseorang di
depannya.
“Bagaimana dengan manusia?” tanya Sena begitu sadar dirinya tadi tak dihiraukan oleh profesor
maupun Nada. Jika tadi nada bicaranya tak enak didengar, kini ia terdengar lebih serius.
“Aku nggak tau, tapi nanti juga bakalan berhasil, kamu mau nyoba?”
Sena mengangguk mantap. “Ya mau—“
“Tidak boleh,” ucap Nada dingin memotong pernyataan setuju dari Sena. “Mesinnya belum
sempurna, jika terjadi kerusakan, kamu bisa ngilang ke dimensi lain.”
Saat ini, si profesor tengah mengerjakan proyek yang dapat memindahkan seseorang ke tempat
lain dengan bantuan alatnya, bahkan dapat memindahkan kita ke masa lalu maupun masa depan.
Jika disamakan dengan film-film, mungkin bisa disebut alat teleportasi. Si profesor memang
melakukan proyeknya secara sembunyi-sembunyi karena takutnya, pemerintah menggunakan
alatnya dengan semena-mena.
“Benar kata Nada, kita gak boleh gegabah dulu. Sekarang, kalian pulang saja, aku mau
menyempurnakan mesinnya dulu, kemungkinan besok bakal jadi.”
Terpaksa, Nada dan Sena pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan tak nyaman itu.
walaupun sejujurnya mereka sungguh enggan untuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka
memiliki kasus yang sama; orangtua tiri masing-masing memperlakukan mereka layaknya
budak.
“Lo, hari ini Nada mana?” tanya profesor begitu Sena kembali ke tempatnya. Sena memiringkan
kepalanya. Jujur saja hari ini memang ada yang janggal dengan Nada. Pagi tadi ketika Sena
menghampiri rumah Nada, kata ayahnya Nada sudah berangkat. Ketika di sekolahan, tertulis di
papan absesi bahwa Nada izin tidak masuk karena urusan keluarga. Selama ini, walau Nada
anaknya kurang bersosialisasi, dia tidak pernah bolos sekalipun. Dikira Sena, Nada ke tempatnya
profesor, tapi dianya juga enggak ada.
“Aku juga gak tau,” jawab Sena jujur. Ia duduk di kursi bambu di ruangan sempit itu.
Si profesor menggelengkan kepalanya, gusar. “Tadi pagi Nada ke sini, dia tanya tentang mesin
ini, udah jadi apa belum,” cerita si profesor pelan-pelan. “Aku jawab sudah, terus katanya dia
mau jadi yang pertama nyoba mesin ini, aku ke belakang sebentar, tau-tau dia udah gak ada,
mikirku sih dia udah berangkat sekolah,”
Sena gak paham dengan alur cerita si profesor. “Terus?”
“Tapi, pintu mesinku kok tiba-tiba berasap, padahal tadinya baik-baik aja. Disitulah aku nyadar
ternyata ada beberapa baut yang belum kupasang”

Anda mungkin juga menyukai