Anda di halaman 1dari 6

CERPEN NON FIKSI

Penjaga Gunung Kelud yang Setia

Langit yang biru, matahari terbit di sebelah timur, burung-burung berkicau. Jutaan
butiran-butiran embun di atas daun pisang terlihat menyegarkan. Membasahi daun-daunan di
alam. Rerumputan menari bersama selir angin yang sejuk. Para belalang melompat-lompat di
atas rumput yang asri. Kupu-kupu dan capung berterbangan di udara dengan indahnya,
ragam warna di sana. Bunga-bunga semua bermekaran terlihat cantik dan menawan. Tinggal
di desa sungguh mempesona, sejuk, alami, menyegarkan dan menyehatkan. Alangkah
indahnya jika negeri ini tetap menjaga alam untuk masa depan.
Di ujung pagar bambu yang tinggi seekor ayam jago mengeluarkan suaranya yang
sangat kencang “Kuukuuruyuuukkk……!!??!?!!!!”, ayam yang gagah dan pemberani itu tinggal
di sebuah kandang milik Pak Pardi. Pak Pardi adalah seorang tani tinggal di sebuah gubuk
yang telah lapuk. Dengan adanya tempat tinggal pak Pardi merasa sangat bersyukur, pak
Pardi hidup sebatang kara akan tetapi memiliki usaha yang sangat banyak. Layaknya
pengusaha, tetapi beliau bukan pengusaha hanya seorang tani dan memiliki peternakan ayam
untuk kebutuhannya sehari-hari.

Pak Pardi memiliki keluarga, juga memiliki cucu.


Keluarganya hidup di luar negeri, mereka menjenguk pak Pardi
hanya dua tahun sekali. Itu pun, jika anak anaknya tidak
memiliki kesibukan pekerjaannya. Pak Pardi sudah terbiasa
hidup sendiri di daerah pegunungan yang jauh dengan tetangga.
Pak Pardi kehilangan istrinya yang telah pergi 5 tahun yang lalu
meninggalkan lebih dahulu dari usia tuanya. Beliau memang
sangat merindukan keluarganya, ia hanya memiliki satu
kenangan dari istrinya yakni seekor ayam jago.
Beliau memberikan nama Kardi, sesuai nama istrinya
dengan dirinya. Kardi gabungan dari nama Kartini dan Pardi, mereka adalah pasangan sangat
setia. Usia pernikahan mereka telah 60 tahun lamanya setelah bu Kartini tiada. Pak Pardi
sangat menyayangi ayamnya itu. Pak Pardi menghabiskan masa tuanya dengan begitu keras
tanpa dibantu tetangganya.

1
Setiap Kardi bersuara di pagi hari, pak Pardi mencari alat perkakas tani di kandang
ayam. Dan pergi ke sawah dengan ayamnya. Pak Pardi bekerja, mencangkul, menebar bibit,
menimbun, menyiram, memupuk dengan riangnya.
“Desa.. ku yang ku cinta.. pujaan hatiku…” pak Pardi
selalu menyanyikan desaku dengan senyuman tuanya.
Ayamnya menari mengelilingi sebuah cangkul dengan
lucunya. Pak Pardi sangat menikmati sejuknya udara
persawahan. Selesai bertani, pak Pardi memberi
makanan ke kandang ayam. Ratusan ayam yang sehat
dan gemuk membuat pak Pardi selalu tertawa
“hahahaha, kalian ini sudah gemuk tidak bosan apa
makan terus. Jalan kalian nanti tidak secepat kuda.
buk!buk!buk! (meniru lari seekor kuda) hahahahaha..
yasudah makanlah yang kenyang ayam-ayam ku, kalian
jangan sakit. Bernyanyilah sesuka hati” kata pak Pardi sambil menuangkan makanan ayam ke
sebuah kotak besar dan menuangkan minuman ke wadah.
Tiba saatnya pak Pardi sarapan pagi, pak Pardi menyimpan beberapa jagung untuk
dimakan hari ini. Karena telah lama jarang makan jagung, dia akan memasak jagungnya. Ia
menyiapkan api dan arang untuk membakar jagung sarapannya. Lapar yang terasa ia tergesa-
gesa lari menuju tumpukan batu tempat yang ia simpan jagung-jagung manisnya. Tiba-tiba
pak Pardi jatuh dan sedih melihat jagung-jagungnya habis dilalap Kardi, beliau merintih
kelaparan, air matanya yang mengalir dari ujung mata turun ke ujung hidungnya yang mungil,
membuat beliau habis kesabaran. Jagung yang ia korbankan dari perjalanan yang cukup jauh,
menuruni perbukitan yang curam, melalui hujan lebat, dengan membawa beras sekarung yang
besar untuk ditukarkan beberapa jagung manis. Perjuangannya cukup membuat ia putus asa
dan naik darah kepada Kardi. Ia memukul Kardi dengan sebuah bambu. Kardi lari terpingkal-
pingkal dan berteriak “petok!! petok!”, sesungguhnya mulut Kardi ingin mengeluarkan
suaranya layak manusia biasa. Tetapi belum waktunya, Kardi membuka rahasianya.
Pak Pardi mengusir Kardi dari rumah “pergi ayam malas! Aku makan apa? Tidakkah
kau tahu bahwa aku juga belum makan? Pergi! Dan jangan kembali! Hus! Syoh!”. Beliau
sangat sedih dan kebingungan, apa yang ia makan hari ini. Ia melihat sekarung beras untuk
dijual ke pedesaan. “Beras itu, untuk para warga. Tapi aku sangat lapar” rintihan pak Pardi. Ia
mengambil sedikit beras untuk dirinya dan memulai memasak.

“Aku pergi kemana? Aku sendirian. Aku ayam

serakah. Ayah sangat kelaparan, tetapi aku


menghabiskan jagungnya. Setidaknya aku bisa makan
berdua dengannya. Pasti ia tidak membenci ku hari ini.
Maafkan aku ayah, maafkan aku. Aku tidak akan kembali,
jika ini yang ayah inginkan” gumam si ayam.
Api yang membara menyelimuti ranting-ranting
kayu, mematangkan masakan pak Pardi. Beliau
menunggu dengan melihat api, ia teringat ayamnya,
terlihat sepintas ia mematikan api dan pergi mencari
Kardi. Ia mencari di seluruh tempat tinggalnya yang kecil
dan lahannya yang luas. Tetapi tidak ditemukannya Kardi.
Pikirnya, mungkin di sore hari Kardi pasti kembali, “Kardi
adalah ayamku yang pintar. Aku akan menunggunya dan
menyisakan makanan untuknya”. Pak Pardi mengangkat nasinya dari perapian, beliau sedikit
demi sedikit memasukkan makanannya ke dalam mulut. Ia melamun lagi, ia tak kuasa hidup

2
sendiri tanpa seekor ayam pemberian istrinya. Ia semakin tidak nafsu makan, ia hanya
memikirkan Kardi, dimanakah ia sekarang.

Panen padi telah tiba, hingga empat


bulan pak Pardi
tidak pernah mendengar suara Kardi di
atas pagar, Kardi belum kembali. Pak Pardi
menggali tanah dengan lemas, wajah yang tua
terlihat sangat pucat, dan tidak bersemangat. Ia
sendiri, tidak ada teman untuk mengobrol,
terasa sunyi dan hening. “ayam ku, pulanglah
sayang. Maafkan ayah telah kasar kepada mu.
Kamu belum kenal wilayah luar, kamu apa
kabar nak? Istri ku, maafkan aku yang lemah
ini, aku tidak bisa menjaganya dengan baik.
Aku egois kepadanya, aku mengusirnya. Kita
kehilangan Kardi, aku sangat kesepian” tetesan air mata pak Pardi tergelincir dengan tetesan
keringatnya di bawah terik matahari.

Hasil dari kerja keras bersama si Kardi seekor ayam untuk membangunkan pak Pardi
setiap pagi hari. Hasilnya lebih dari hasil biasanya hingga dua kali lipatnya, warna beras putih
dan bersih menandakan hasilnya sangat memuaskan.
Begitu pula peternakannya, para ayam betina
menghasilkan telur 10 butir. Dengan rezeki yang berlimpah itu,
pak Pardi tetap merasa sedih. Raut wajahnya tidak
memperlihatkan senyuman tuanya. Pak Pardi pergi ke sebuah
desa dengan sangat gelisah dan melamun. “Huh, aku ingin ayam
ku. Aku tidak bisa bahagia tanpa bersamanya. Biasanya dia
menari berputar-putar. Membantuku membasmi hama. Semoga
kita dipertemukan di lain waktu” pinta pak Pardi dengan berjalan
menuju ke desa.

Dari pemandangan atas, ia melihat pemandangan desa


dari jauh. Ia berharap bisa bertemu Kardi ayam kesayangan. Dengan penuh harapan ia
bersemangat pergi menuju desa. “Desa ku yang ku cinta..” ia bernyanyi dan bersemangat. Ia
melihat langit yang cerah dan burung
berterbangan. Tiba di sebuah dinding besar
untuk memasuki daerah pedesaan, ia terus
berjalan dan memasuki sebuah desa itu. Disana
disambut oleh kepala desa dan ketua RT,
mereka sedang menanti pak Pardi. Ia berjalan
menghampiri mereka “Pak Pardi, sungguh
sejahtera hidup mu, semua panen melimpah hari
ini” kata kepala desa. “alhamdulillah saya tak
lupa bersyukur untuk hari ini, semoga kalian
senang” (tersenyum sedikit) sahut pak Pardi
sambil memberikan beberapa beras.

Sementara di sebuah tempat yang berbeda. “Aku ingin pulang, aku rindu ayahku. Aku
bersalah kejadian itu. Aku bersalah, sekarang aku tidak punya tempat tinggal” Kardi
mengungkapkan bersalahnya sebanyak mungkin selama beberapa minggu. Terdengarlah
suara teriakan “tolong!!! Tolong! Siapapun tolong aku!!” suara ayam betina kesakitan. Kardi
3
mendengar dan mengikuti suara itu. Ia melihat rumput jepang meliliti kaki si betina. Kardi
mematuk matuk tali tersebut hingga terputus. Si betina berterima kasih kepada Kardi. “Wahai
teman ku, terimakasih kau telah menolong ku. Sudah dua hari aku terjebak di hutan, tidak
seorang pun menolong ku dan aku hampir dimakan harimau. Tapi aku berpura-pura mati
terkena gigitan ular. Kardi berkata “sama-sama. Aku hanya sepintas lewat disini.

Perkenalkan, namaku Kardi. Aku berasal dari desa gunung Kelud. Nama kamu
siapa?”. “Aku Ina, aku tidak punya tempat tinggal. Sudah 10 tahun, si kakek tua meninggalkan
ku. Dia telah meninggal karena usianya memang telah lemah, tapi kenapa kamu bisa pergi
sejauh ini? Apa kamu tersesat?”. Tanya si Ina. “sebenarnya, aku melakukan kesalahan. Aku
menghabiskan jagung ayah ku untuk makanan malamnya, dia sangat tua, dia seorang
manusia, Ina.
Dia tak banyak menyimpan makanan. Lalu, ayah ku
naik darah dan aku diusir dari rumah. Aku pergi
meninggalkannya, aku terus menyesal. Tak sadarkan diri jalan
yang ku lalui, aku tidak mengingatnya. Aku sangat merindukan
ayah ku. Aku ingin kembali, tapi aku tersesat. Kurasa
kesalahan ku sangat besar, hingga ayah ku tidak mencariku”.
Si Ina memeluk Kardi dengan kasih sayang, “Kardi, kamu tidak
harus menyerah dan bersedih. Ayah mu sangat sayang
kepadamu, ia juga pasti merindukan mu. Untuk menghapus
apa yang terjadi, kamu harus kembali dan menemaninya”.
Kardi merunduk kebingungan. “bolehkah aku menolong mu?
Aku tahu desa gunung Kelud” kata Ina. “Terimakasih, Ina.
Kamu sangat baik”. Mereka saling berpelukan.
Di sepanjang jalan, mereka saling bersama. Mereka saling bercerita tentang tuannya.
Terjang angin, dinginnya malam, panasnya matahari mereka menikmatinya. Mereka saling
memberi makan satu sama lain. Mereka memiliki pandangan pertama, dan saling melindungi.
Kardi yang tidak sabar bertemu pak Pardi, ia bernyanyi sangat merdu “desa ku yang kucinta.
Pujaan hatiku. Tempat ayah dan bunda. Dan handai taulan ku. Tak mudah ku lupakan. Tak
mudah bercerai. Selalu ku rindukan. Desaku yang permai”. Ina mendengar Kardi bernyanyi, ia
menirukan dan bernyanyi bersama. Mereka sangat bahagia, mereka melihat gunung Bromo
dari jauh.

Detak jantung Kardi, berdegub-degub sangat


kencang. “ayah, aku kembali”. Siang hari, pak Pardi
akan pulang ke rumah dari berdagangnya. Akan tetapi,
ia semakin lemah tak berdaya mengingat rumahnya
sama seperti mengingat Kardi si ayam kesayangan, ia
duduk di sebuah Batang kelapa dan melamun.
Kardi dan Ina merasakan hal yang
mencurigakan, ketika melihat burung-burung terbang
berkeliaran. “Cepat bersiaga! Semua sahabat ku!
Gunung Kelud segera meletus! Semua cepat bersiaga
waspadalah!” kata si burung elang. Kardi dan Ina
sangat terkejut dan sama-sama memikirkan pak Pardi.
Mereka berlari sangat kencang, menuju rumah pak
Pardi. Beribu kenangan masa kecil, Kardi mengingat begitu besar kasih sayang Bu Kartini dan
pak Pardi. Mereka mencintainya, kebersamaan dan kenyamanan pelukan mereka membuat
Kardi ingin segera sampai di rumah. Ia meneteskan air mata kerinduan, “aku mencintai mu
tuan” ungkap si ayam peliharaan pak Pardi.

4
Belum tiba di desa Kelud, gunung kelud
mengeluarkan lava yang besar. “boooom!!!!!
Booom!! Wuuussshhh!!” suara gemuruh gunung
Kelud. Lava yang keluar dari mulut gunung itu,
turun ke desa Kelud. Gumpalan tanah yang panas,
awan semakin mendung, melihat bencana itu,
Kardi tidak tahan melihat bencana tersebut. Ia
menangis menjerit dengan kerasnya
“ayaaaaaahhhhhhh!!!” , ia berlari sekuat tenaga
dengan kaki mungilnya. Ina juga ikut menangis
takut kehilangan pak Pardi. Mereka berlari
menemui pak Pardi untuk menolongnya, begitu
sakitnya kehilangan keluarga. Lava semakin cepat
turun, menindas hutan-hutan, sawah milik pak
Pardi dan rumah gubuk satu-satunya juga terkena
lahar api gunung. Tanah yang longsor menyelimuti
wilayah pak Pardi dan sekitarnya. Para desa Kediri
mengetahui bencana alam itu, para warga
membangunkan pak Pardi yang tertidur di batang
kelapa “pak Pardi, bangunlah! Rumah mu terkena musibah! Gunung Kelud meletus, pak.
Bangunlah!”. Pak Pardi seketika bangun dan melihat rumahnya “tidak! Rumah ku! Ayam ku!
Se.. se.. muanya dimakan lava.. a…a…”. Pak Pardi berlari ke atas menyelamatkan ternak
nya. “Pak Pardi jangan kesana!” kata warga Kediri. Pak Pardi terus berlari dan berjuang
melawan usianya.

Hingga akhirnya gunung Kelud telah tenang, si Kardi dan Ina tiba di sebuah gundukan
tanah yang menimpa gubuk pak Pardi. Kardi menggali tanah yang panas itu, ia tak bisa terima
jika ayahnya meninggal karena dirinya. Ina membantu menggali tanah, mereka saling
berduka. Gundukan semakin berkurang, Kardi melihat kain yang terakhir dipakai ayahnya. Ia
menarik kain dengan paruhnya, sungguh malang hidup Kardi. Ia belum sempat mengucapkan
maaf kepada ayahnya, ia berteriak “petoooooookkkkkk!!”. Ina memeluk erat Kardi, mereka
sangat menyesal datang terlambat. “Aku Kardi, ayah! Jangan tinggalkan aku! Aku minta maaf
semuanya! Aku bisa bicara! Aku ingin menemani mu! Kumohon, bangunlah ayah! Aku datang!
Aku akan jadi ayam yang baik untuk mu! Kita harus bersama ayah!” kata Kardi. Kardi tidur
membujur diatasi kain ayahnya. Ina hanya bisa menemani Kardi dan membantu ayam-ayam
yang lain milik pak Pardi.

Udara begitu gelap, Ina tidak dapat melihat dengan jelas bunyi dari arah ujung. Ina
mendekati Kardi dan membangunkannya, “Kar.. Kar.. bangun.. Kardi, ada suara disana. Ada
yang datang kemari. Kardi bangunlah, aku takut”
kata Ina. Dengan berat hati Kardi membuka mata, ia
melihat seperti tubuh ayahnya yang lemah. Ia
berpikir, ia hanya halusinasi. Ina membisik Kardi
“Kardi, ada manusia disana. Apakah benar?”. Kardi
berusaha melihat dengan baik, “Ina juga melihat
tubuh manusia, jadi aku tidak halusinasi” gumam
Kardi. Langkah demi langkah semakin dekat, pak
Pardi mendengar suara ayam-ayamnya “ah,
syukurlah. Mereka selamat, mereka selamat”. Kardi
menangis bahagia mendengar suara ayahnya, ia
terus melihat bayangan ayahnya yang remang-
remang itu. Sepasang sandal putih yang biasa
5
dipakai ayahnya ke sawah, Kardi berteriak menghampiri ayahnya. “ayaaah, petokk! Petokk!!
Kardi disini” kata Kardi sambil berlari. Pak Pardi yang penglihatannya rabun, mencari suara
itu. Ia heran “itu seperti suara Kardi, tapi kenapa ia bisa bicara?”.

Air hujan mulai turun, semua kabut


asap menghilang, tanah menjadi dingin, udara
menjadi sejuk. Pak Pardi melihat ayam
kesayangannya berlari menuju jemari kakinya,
“ayam ku, Kardi”. Mereka bertemu saling
berbagi kehangatan. Mereka menangis
sepuasnya, “ayah, sebenarnya aku Kardi
yang bisa bicara. Aku takut
mengeluarkan suaraku, takut ayah menjauhiku”
ungkap di Kardi. “Kamu kembali Kardi, aku
minta maaf melukaimu. Aku janji merawat mu”
balas pak Pardi. “Kita hidup bersama” mereka
berdua berjanji bersama. “Selama aku tersesat,
ada Ina yang membantu ku. Dia juga disini, ayah. Aku mencintainya, aku ingin memilikinya”
kata Kardi. Pak Pardi senyum lucu, melihat Kardi dan Ina saling menyayangi, “kalian semoga
bahagia, ayah ijinkan kalian bersama. Tapi, kalian jangan tinggalkan ayah sendiri lagi”.
Aktivitas membersihkan desa Kelud, mewarnai hari-hari mereka. Sawah mulai subur,
ayam-ayamnya semakin bertambah. Pak Pardi menyambut kedatangan Ina untuk Kardi,
mengawinkan mereka dengan uniknya.
Ratusan ayam melihat perkawinan Ina dan Kardi. Beberapa bulan kemudian, Ina
dikaruniai anak-anak yang lucu. Pak Pardi merasa memiliki keluarga bersama peliharaannya.
Mereka tertawa bersama saat panen tiba

Anda mungkin juga menyukai