Anda di halaman 1dari 27

Maka sahut Mak Andeh, agaknya kalau-kalau anak kita juga tercicir ditengah jalan dari

dalam belat itu kalau awak tidak sedar.

Maka kata Pak Pandir, tidak Andeh. Aku rasa berat yang aku tanamkan tadi. Maka sahut Mak
Andeh baiklah, moh kita lihat pula. Kata Pak Pandir, mohlah, Andeh aku tunjukkan. Maka
kedua-duanya pun pergilah bersama-sama berjalan. Tiada berapa antaranya sampailah kepada
mayat anaknya itu. Maka kata Pak Pandir kepada Mak Andeh, inilah dia anak orang yang
mati itu. Bukankah serupa dengan anak kita, Andeh.

Telah dilihat oleh Mak Andeh, dikenalnyalah akan anaknya. Maka Mak Andeh pun marahlah
dengan sumpah seranahnya akan Pak Pandir, lalu diambilnya seraya didukung mayat kanak-
kanak itu serta di suruhnya Pak Pandir mengorek belat yang ditanamkan itu. Lalu di balutkan
anaknya, ditanam semula. Setelah sudah keduanya pun pulanglah kerumah dengan
dukacitanya hingga malam hari tiadalah tidur Pak Pandir laki isteri.

Maka kata Mak Andeh kepada Pak Pandir, esok hari pergilah awak membeli kerbau. Nah
wang empat puluh rial. Boleh kita kendurikan anak kita barang sesuap nasi dan seteguk air.

Maka jawab Pak Pandir, bagaimana rupa kerbau itu, Andeh? Maka kata Mak Andeh yang
meragut-ragut rumput itulah kerbau. Maka kata Pak Pandir, baiklah Andeh. Kemudian
keduanya pun tidurlah berkaparan.

Hatta setelah keesokan harinya, maka Pak Pandir pun pergilah hendak mencari kerbau,
membawa wang empat puluh rial, berjalan masuk hutan keluar hutan, masuk rimba keluar
rimba lalu sampailah ia kesebuah ladang padi. Maka didalam ladang itu adalah pula seorang
perempuan tua sedang merumput dengan keri. Maka kata Pak Pandir, hai emak, mahukah
menjualkan kerbau yang dipegang itu?
1.TERJEMAAH
Maka jawab perempuan itu, tiadalah sekali-kali hajat hendak menjualkan dia, kerana sahaya
memakai sendiri. Maka kata Pak Pandir, juallah biar sahaya membeli akan dia. Nahlah, ini
wangnya empat puluh rial. Ambillah. Mak Andeh berkata, sepertinya anak kita juga
dibiarkan di tengah jalan jika kamu tidak sadar.

Jadi Tuan Pandir berkata, bukan milikmu. Saya pikir berat yang saya tanam sebelumnya.
Lalu ibumu berkata ya, mari kita lihat. Pak Pandir berkata, tolong, saya tunjukkan. Lalu
mereka berdua pergi bersama. Tidak banyak yang datang ke tubuh putranya. Maka kata Pak
Pandir ke Mak Andeh, inilah dia anak orang yang mati itu. Ini tidak seperti putra kami,
Andeh.

Seperti yang dilihat oleh Mak Andeh, dia dikenal sebagai putranya. Mak Andeh sangat marah
dengan sumpah kesetiaannya kepada Tuan Pandir, dan dia membawanya mendukung tubuh
bocah itu dan menyuruhnya menggali rumput yang ditanam. Kemudian dia membungkusnya
dengan putranya dan menanamnya lagi. Setelah mereka berdua pulang ke rumah dengan
sedih sampai malam, istri Tuan Pandir tidak tidur.

Mak Andeh memberi tahu Tuan Pandir bahwa besok kamu akan pergi membeli kerbau. Yah
empat puluh empat rupee. Kita bisa menjaga anak-anak kita diisi dengan nasi dan seteguk air.

Kemudian Pak Pandir menjawab, seperti apa bentuk kerbau itu, Andeh? Kemudian Mak
Andeh berkata bahwa menyiangi rumput adalah kerbau. Lalu Pak Pandir berkata, ya, Anda.
Kemudian keduanya tertidur.

Setelah keesokan paginya, Pak Pandir pergi mencari kerbau, mengambil empat puluh rupee,
berjalan di hutan keluar dari hutan, memasuki hutan keluar dan menjadi sawah. Dan di ladang
adalah seorang wanita tua, dan kawanan darah memancar keluar. Lalu kata Tuan Pandir, ibu,
apakah Anda ingin menjual kerbau?

Dan wanita itu berkata, Bukan ide yang baik baginya untuk menjualnya, karena dia sangat
kuat. Lalu kata Tuan Pandir, tolong biarkan saya membelinya. Nah, ini empat puluh rupee.
Ambillah

BAHASA MELAYU
Lalu dihantarkannya di hadapan orang tua itu, dan kerbau itu pun diambilnya. Maka orang
tua pun tiadalah terkata-kata lagi, istimewa pula melihatkan wang empat puluh rial itu, lalu
diamlah ia. Maka oleh Pak Pandir keri itu pun dibubuhnya bertali pada hulunya, ditariknya
pulang kerumahnya. Maka sepanjang-panjang jalan itu, mata keri itu mengenai keting Pak
Pandir, habis luka dan berdarah. Maka kata Pak Pandir cheh bedebah celaka ini terlalu
bengkeng pula ia menanduk kaki kita. Tetapi keri diseretnya juga.

Tiada berapa lamanya sampailah ia kerumahnya, lalu Pak Pandir meneriak Mak Andeh.
Katanya, Andeh, nahlah kerbau Andeh. Maka kata Mak Andeh, tambatkanlah dahulu kepada
tempat yang berumput itu. Maka keri itu pun ditambatkan oleh Pak Pandir. Ia pun naik
kerumah menunjukkan kakinya yang dimakan keri itu. Katanya terlalu bengis sekali kerbau
jembalang itu. Dan berbagai-bagai rungutnya.

Demi dilihat oleh Mak Andeh kaki Pak Pandir seakan-akan di makan parang, maka Mak
Andeh, dimana kerbau itu awak tambatkan. Maka sahut Pak Pandir, kepada rumput itulah aku
tambatkan. Maka Mak Andeh pun turunlah pergi melihat kerbau itu. Hingga puaslah di
carinya kesana kemari tiada juga di jumpanya. Maka kata Mak Andeh di manakah awak
tambatkan kerbau tadi? Penat sudah aku mencari, tiada juga bertemu. Maka kata Pak Pandir,
aku tengah makan nasi, nantilah dahulu. Seketika lagi ia pun sudah, lalu turun pergi
menunjukkan kerbau itu. Maka katanya, ini apa, Andeh? Bukankah kerbau? Sahajakan mata
Andeh seperti orang buta. Maka Mak Andeh pun pergilah kepada Pak Pandir hendak melihat
kerbau itu dengan terintai-intai mencari kerbau serta dengan herannya. Maka Pak Pandir pun
berkata ini, ini dia kerbau Andeh.
Lalu ditariknya tali keri itu. Apabila dilihat oleh Mak Andeh, wah apatah lagi! Tak
ketahuanlah bunyi maki hamun sumpah seranahnya akan Pak Pandir seraya berkata, inilah
agaknya kerbau bapa engkau yang bengong tolol itu! Adakah begini rupa kerbau? Allah!
Allah! Pak Pandir padanlah nama dengan bodoh. Pergi lekas pulangkan keri ini. Bukannya
kerbau, inilah keri, gunanya merumput padi. Dan minta kerbau yang betul, kakinya empat,
tanduknya dua.

Maka Pak Pandir pun pergilah menarik keri itu hendak memulangkan kepada tuannya. Selang
tiada berapa lamanya sampailah ia kepada orang tua itu. Maka kata Pak Pandir, hai emak tua,
ambillah balik kerbau ini. Kata Andeh , ia suruh minta kerbau yang bertanduk dan berkaki
lagi hidup. Maka orang tua itu pun tercengang seraya berfikir didalam hatinya, Pak Pandir
rupanya orang ini. Maka kata orang tua itu, hai Pak Pandir nantilah di sini dahulu supaya aku
ambilkan kerbauku di kampung.

2. TERJEMAAH
Lalu dia membawanya ke orang tua itu, dan dia mengambilnya. Jadi lelaki tua itu tidak bisa
bicara, dan dia melihat empat puluh shilling, dan tetap diam. Kemudian Pak Pandir
menggalinya dengan tali di kepalanya, dan membawanya pulang. Kemudian di sepanjang
jalan, mata Pak Pandir terkejut, terluka dan berdarah. Kemudian Pak Pandir berkata bahwa
brengsek ini terlalu bengkok dan dia memukul kaki kita. Tapi itu akan terseret juga.

Tidak lama setelah dia tiba di rumahnya, Tuan Pandir berteriak pada Mak Andeh. Dia
berkata, Andeh, itu kerbau kamu. Kata Mak Andeh, pasang dulu ke area berumput. Dan itu
diserap oleh Pak Pandir. Dia bahkan pergi ke rumah menunjukkan kakinya bahwa dia sudah
makan. Dia mengatakan kerbau itu terlalu ganas. Dan berbagai keluhannya.

Mak Andeh melihat kaki Pak Pandir seperti sedang makan parang, begitu juga Mak Andeh,
di mana Anda memiliki kerbau. Lalu kata Pak Pandir, ke rumput saya sedang merawat. Jadi
Mak turun dan melihat kerbau. Sampai dia puas dengan caranya datang ke sini, dia tidak
menemukan apa pun. Jadi Mak Andeh berkata di mana kamu memperlakukan kerbau? Saya
lelah melihat, dan tidak ada yang melihat. Jadi Pak Pandir berkata, saya makan nasi dulu.
Begitu dia selesai, dia turun dan menunjukkan kepadanya kerbau. Jadi dia berkata, apa ini,
Andeh? Bukankah itu kerbau? Buka matamu seperti orang buta. Jadi Mak Andeh pergi ke
Pak Pandir untuk melihat kerbau mencari kerbau dan mengejutkannya. Jadi Pak Pandir
mengatakan ini, ini kerbau Anda.

Lalu dia menarik talinya. Ketika Anda melihat Mak Andeh, apa lagi! Tidak ada suara
bersumpah atau bersumpah dalam sumpahnya kepada Tuan Pandir untuk mengatakan, inilah
yang dilakukan kerbau bodohmu! Apakah seperti ini bentuk kerbau? Tuhan! Tuhan! Pak
Pandir mencocokkan namanya dengan orang bodoh. Pergi cepat dan kembalikan ini. Alih-
alih kerbau, ini keren, jadi gunakan rumput. Dan minta kerbau yang tepat, empat kaki, dua
tanduk.

Jadi Pak Pandir bahkan pergi ke tempat itu dan ingin mengembalikannya kepada tuannya.
Tidak butuh waktu lama baginya untuk mencapai orang tua itu. Kemudian kata Pak Pandir,
ibu tua, mengambil kembali kerbau. Dia bilang dia meminta kerbau yang masih hidup dan
bertelanjang kaki. Kemudian lelaki tua itu tercengang ketika berpikir dalam hatinya, Tuan
Pandir adalah lelaki ini. Maka lelaki tua itu berkata, Tuan Pandir, tunggu saya di sini untuk
membawa kerbau saya di desa

BAHASA MELAYU
Maka Pak Pandir pun berhentilah disitu menanti-nantikan orang tua itu kembali. Ada seketika
orang tua itu pun datanglah membawa kerbau lalu diserahkannya kepada Pak Pandir. Maka
Pak Pandir pun berjalanlah menarik kerbau itu. Tetapi sampai kerumah, maka ia pun
menyeru Mak Andeh, katanya Andeh marilah lihat kerbaukah ini atau bukan?

Maka Mak Andeh pun keluar. Katanya itulah kerbau yang betul. Tambatlah ia kepada rumput
yang muda itu. Telah sudah ditambat oleh Pak Pandir , ia pun naik kerumah lalu makan nasi.
Ada sekejap lagi, hari pun malam. Pak Pandir laki isteri pun mesyuarat hendak kenduri pada
esok hari. Telah tetap kira-kira keduanya pun tidur.

Hatta pada pagi-pagi esoknya, Pak Pandir pun merapus kerbau lalu disembelihnya. Telah
matilah sudah, Pak Pandir pun tampillah melapah kerbau itu berdua dengan Mak Andeh.
Telah siap lalu dibawa kerumah serta di masaki oleh Mak Andeh segala lauk-lauk dan nasi
berpuluh-puluh kawah dan kancah.

Setelah selesai sekaliannya, maka kata Mak Andeh, pergilah awak segera menjemput haji dan
lebai, kita berkenduri. Maka kata Pak Pandir, bagaimana rupa haji dan lebai itu, Andeh?
Maka jawab isterinya. Ada pun haji itu berserban di atas kepalanya dan lebai itu berjanggut-
janggut di bawah dagunya itu. Maka ujar Pak Pandir baiklah Andeh. Maka ia pun mengambil
goloknya lalu turun berjalan mencari haji lebai yang seperti pesan Mak Andeh itu, masuk
hutan rimba keluar kepadang lalu kesebuah kampung orang.

Maka dilihat oleh Pak Pandir disisi kampung itu adalah beberapa ekor kawan kambing
sedang makan rumput. Semuanya berjanggut. Maka Pak Pandir pun hampirlah kepada kawan
kambing itu serta berkata, Hai Pak Lebai, andeh mengajak kerumah hendak kenduri. Maka
kambing itu pun berbunyilah oleh ketakutan melihat Pak Pandir itu, lalu ia lari tiada
berketahuan lagi seraya berbunyi ‘ Bek! Bek!' kata Pak Pandir, apa sebenarnya Pak Lebai
mengata nasi Andeh lembek?
3.ARTINYA
Jadi Tuan Pandir berhenti di sana menunggu lelaki tua itu kembali. Pada suatu saat pria tua
itu datang dan membawa seekor kerbau dan menyerahkannya kepada Pak Pandir. Jadi Pak
Pandir pergi untuk menarik kerbau. Tetapi ketika dia datang ke rumah, dia memanggil Mak,
dan dia berkata, "Datang dan lihat."

Kemudian Mak Andeh keluar. Dia mengatakan itu kerbau yang tepat. Jatuhkan di rumput
muda. Sudah dibawa oleh Pak Pandir, dia pergi ke rumahnya dan makan nasi. Masih ada
waktu, bahkan malam. Istri Pak Pandir bahkan mengadakan pertemuan untuk hadir besok.
Sudah diputuskan bahwa keduanya tertidur.

Pada dini hari, Tuan Pandir mengeluarkan kerbau dan membantainya. Sudah mati, Pak Pandir
juga melihat kerbau dengan Mak Andeh. Itu siap untuk dibawa pulang dan dimasak oleh Mak
Andeh dari semua lauk dan nasi kuali dan perancah.

Setelah semua itu berakhir, kata Mak Andeh, Anda segera pergi berziarah dan kami memiliki
hari yang baik. Lalu kata Pak Pandir, apa sifat ziarah dan ziarah, Andeh? Lalu jawab istrinya.
Ada seorang peziarah di kepalanya dan janggutnya ada di bawah dagunya. Jadi Tuan Pandir
berkata kamu baik-baik saja. Kemudian dia mengambil jubahnya dan pergi mencari ziarah,
seperti yang dikatakan Mak Andeh, dan memasuki hutan melaluinya dan masuk ke desa

Menurut Pak Pandir di sisi lain desa ada beberapa kambing yang sedang makan rumput.
Jenggot semua orang. Jadi Tuan Pandir menoleh ke kambing dan berkata, "Hai, Lebai, kamu
akan pergi ke rumah untuk makan malam." Kemudian kambing itu dikejutkan oleh rasa takut
melihat Tuan Pandir, dan dia melarikan diri dengan bodoh dan berteriak 'Bek! Pembela! ' kata
Pak Pandir, apakah Pak Lebai benar-benar mengatakan bahwa Anda memiliki nasi lunak?
Tidak lembek, keraslah betul.

Maka kambing itu pun lari juga hendak pulang kekampung. Maka kata Pak Pandir, aku itulah
yang terlalu panas rasa hatiku. Andeh sudah penat bertanak nasi dikatanya pula nasi lembek.
Maka Pak Pandir pun berselampitkaan kainnya berlari mengejar kawan kambing itu dengan
bersungguh-sungguh hatinya serta ditangkapnya. Dapat seekor bapa kambing jantan,
langsung dipikul dibawanya pulang.

Maka pada pertengahan jalan itu bertemulah ia dengan sekawan burung pipit uban sedang
merayap diatas rumput. Maka kata Pak Pandir, Hai Haji, mari kita pergi kerumahku. Andeh
menyuruh ajak, kami hendak kenduri. Maka burung itu pun berbunyi, ‘Pit! Pit!' Maka kata
Pak Pandir, rumah kami tidak sempit, haji luas dan besar. Jangan kita lambat lagi, Andeh
sudah lama menanti.

Setelah itu pipit tu pun terbang lari. Maka diusir juga oleh Pak Pandir sambil berkata, Nanti,
nanti kita pergi bersama-sama. Hingga penatlah ia mengikut burung itu, hampir-hampir lelah.
Maka naiklah berang Pak Pandir seraya mengambil kayu lalu dilemparnya. Maka dengan
takdir Allah kena dua ekor burung itu lalu jatuh ketanah. Maka segeralah diambil oleh Pak
Pandir seraya katanya, tadi aku ajak benar-benar, tiada mahu sekarang baharu hendak pula,
sahajakan haji buta perut.
Maka ia pun berjalan. Seketika lamanya sampailah kerumah. Hari pun hampir petang. Maka
didapatinya Mak Andeh masih bersiap menyajikan hidangan sudah teratur sahaja sekadarkan
menanti datang orang jemputan. Maka Pak Pandir pun naiklah membawa bapa kambing serta
dengan burung pipit ituseraya katanya. Nah Andeh Pak Haji dengan Pak Lebai, bagaikan nak
mati aku mengejar. Hendak mengajak makan kenduri seorang pun tiada yang mahu.

Wah! Apabila dilihat oleh Mak Andeh, apatah lagi, hingga tenarlah bunyi sumpah seranahnya
akan Pak Pandir, hingga tiada terdengar oleh anjing dan kucing. Serta katanya, aduhai
harapnya hatiku hendak kenduri, di perbuat oleh Pak Pandir keparat umpan alir ini, ta mahu
pun di tangkap oleh harimau panjang sembilan itu, sahajakan yang tiada boleh diharap. Kalau
muntahkan darah pulangkan kepadanya sahaja pun jadi, tentang kerja jangan. Lain disuruh,
lain dibuatnya.

Maka jawab Pak Pandir, Andeh kata cari lebai yang berjanggut dan haji yang berserban putih
ini bukankah dia? Semuanya Andeh marahkan aku. Maka Mak Andeh pun diamlah pun
diamlah seraya katanya, baiklah pergi pula panggil Dato Keramat Jin Islam kemari, tetapi
baik- baik, jalan itu simpangnya dua yang sebelah kiri itu terus kerumah nenek gergasi.

Maka kata Pak Pandir, baiklah Andeh. Maka Pak Pandir pun berjalanlah dengan senjatanya
golok sebilah. Berjalan pun berlari-larian sahaja kerana hari hampir petang. Sekejap berjalan
sampailah ia kesimpang dua itu. Maka terlupalah ia akan pesan Mak ndeh itu lalu diikutnya
jalan simpang kiri. Selang tiada berapa lamanya sampailah kerumah nenek gergasi itu. Maka
nenek itu pun sedang tidur bertiga beranak dia dalam rumahnya. Maka Pak Pandir pun berdiri
ditengah halaman rumah gergasi itu, lalu ia melaung, katanya Hai nenek Tok Sheikh
Keramat, bangunlah! Andeh menyuruh kerumahnya, ia hendak kenduri.
4. ARTINYA
Tidak lunak, benar sulit.

Kemudian kambing itu lari dan kembali ke kandang. Jadi Pak Pandir berkata bahwa akulah
yang terlalu panas untuk hatiku. Anda lelah memiliki nasi di dalam nasi juga. Jadi Tuan
Pandir menyelipkan bajunya yang berlarian untuk mengejar teman kambing itu dan
mengejutkannya. Menemukan seekor kambing jantan, dia langsung dibawa pulang.

Kemudian di tengah jalan ia menemukan empat burung pipit abu-abu merangkak di atas
rumput. Jadi Pak Pandir berkata, Haji, ayo pergi ke rumah saya. Anda bertanya, kami ingin
merayakan. Lalu burung itu berseru, 'Lubang! Pit! ' Menurut Pak Pandir, rumah kami tidak
sempit, ziarahnya besar dan besar. Jangan sampai terlambat, Anda sudah menunggu begitu
lama.
Kemudian burung pipit terbang. Kemudian Pak Pandir juga diusir, mengatakan, Nanti, kita
akan pergi bersama. Sampai dia lelah mengikuti burung itu, dia hampir lelah. Jadi Pak Pandir
pergi dan mengambil kayu dan melemparkannya. Dan terjadilah, bahwa, begitu diangkat oleh
Allah, kedua tanduk itu jatuh ke atasnya. Jadi, begitu Pak Pandir mengambilnya seperti yang
dia katakan, saya benar-benar memintanya, tidak ada yang mau sekarang atau lagi, pergi saja
untuk ziarah buta.

Lalu dia berjalan. Sudah beberapa saat sejak Anda di rumah. Sudah hampir sore. Jadi dia
menemukan Mak Andeh masih siap untuk menyajikan makanan hanya menunggu tamu
datang. Jadi Tuan Pandir pergi dengan kambing dan burung pipit. Kalau begitu, Tuan Haji
dengan Tuan Lebai, sepertinya saya sangat ingin mengejar ketinggalan. Tidak ada yang mau
makan malam.

Astaga! Ketika Mak Andeh melihatnya, belum lagi, sampai suara sumpahnya kepada Pak
Pandir, anjing dan kucing tidak bisa mendengarnya. Seperti yang dia katakan, saya harap hati
saya lepas kendali, dibuat oleh Tuan Pandir umpan yang mengamuk ini, dan apakah dia
ditangkap oleh harimau berusia sembilan tahun, yang tidak punya harapan. Jika Anda
meludahkan darah, kembalikan saja kepadanya, jadi jangan bekerja. Yang lain diberitahu,
yang lain diciptakan.

Pak Pandir menjawab, Andeh berkata untuk menemukan jenggot dan ziarah berjanggut putih
ini bukan? Semuanya marah padaku. Jadi Mak Andeh tetap diam saat dia berkata, maka pergi
memanggil Dato Keramat Jin Islam di sini, tapi yah, jalan adalah persimpangan dari dua kiri
ke rumah nenek.

Lalu Pak Pandir berkata, ya, Anda. Maka Pak Pandir berjalan dengan senapan di tangannya.
Mereka bahkan berlarian hanya karena sudah hampir senja. Sekejap berlalu hingga melintasi
keduanya. Kemudian dia lupa tentang pesan Mak dan mengikuti jalur kiri. Tidak butuh waktu
lama bagi nenek raksasa untuk pulang. Jadi nenek tidur dengan mereka bertiga di rumahnya.
Jadi Tuan Pandir berdiri di tengah rumah raksasa itu, dan dia berteriak, dia berkata, "Nenek
Tok Sheikh Keramat, bangun! Anda memanggilnya rumah, dia ingin makan.

Maka tiada juga jaga gergasi itu. Maka Pak Pandir pun bertempek dengan sekuat-kuat
hatinya, katanya Hai Tok Syeikh Keramat, bangunlah lekas Andeh menyuruh kerumahnya
makan kenduri. Maka tiada juga jaga gergasi itu. Maka Pak Pandir pun bertempek dengan
sekuat-kuatnya, katanya, hai Tok Sheikh Keramat bangunlah lekas Andeh menyuruh
kerumahnya makan kenduri.

Maka terjagalah gergasi itu ketiga beranak lalu bangun dengan gembiranya mengambil
tongkat hendak memukul Pak Pandir. Katanya, ini sekali kenyanglah aku memakan manusia
datang menyerahkan dirinya kepada aku. Maka Pak Pandir pun berkata, janganlah aku pula
dimakan. Aku mengajak Tok Sheikh makan kenduri daging kerbau dengan nasi terlalu
banyak dirumahku. Maka kata gergasi, sungguhkah seperti kata Pak Pandir itu? Jawab pak
Pandir sungguh.
Maka kata gergasi, jikalau demikian baiklah dan jika tiada, nanti aku makan Pak Pandir pula.
Jawab Pak Pandir, yalah. Maka nenek gergasi itu pun segeralah mengambil tongkatnya lalu
turun berjalan dengan isterinya mengikut Pak Pandir dan anaknya tinggal menunggu rumah.
Maka tiada berapa lamanya sampailah kerumah. Pak Pandir pun naik menyergahkan Mak
Andeh, katanya, siaplah lekas Andeh, ini Tok Sheikh Keramat sudah datang dua laki bini.
Mak Andeh pun pergilah melihat kepintu. Asal terpandang sahaja gergasi itu, ia pun
gementarlah oleh ketakutan, serba salah fikirnya, hendak lari pun tiada boleh, seraya fikirnya,
jika demikian berserahlah aku kepada dato-dato keramat disini. Jikalau nasib baik,
dimanakan boleh jahat oleh perbuatan Pak Pandir celaka keparat ini?

Maka Mak Andeh pun bersiaplah menghamparkan tikar yang cantik lalu menyuruh gergasi
itu naik. Maka gergasi kedua laki bini pun nailah kerumah. Maka Pak Pandir dan Mak Andeh
pun berkata, makanlah nenek. Maka gergasi kedua pun muntahkan darahlah sehingga daging
kerbau habis enam kawah dan nasi dua kawah, dan ia pun terbelahak, barulah ia berkata
kepada Mak Andeh, wahai cucuku, berilah nenek sedikit makanan ini, hendak nenek
bawakan anak nenek yang tinggal dirumah.

Maka kata Mak Andeh, baiklah nenek. Boleh cucu suruhkan Pak Pandir menghantari
kerumah. Setelah itu, maka Pak Pandir pun pergilah menghantari anak gergasi u\itu nasi
sebakul dan daging sekancah serta dipesan oleh Mak Andeh, katanya, jika tiada lalu ia makan
sekarang, suapkanlah baik-baik, jangan disuapkan tulang kerbau itu pula.

Maka kata Pak Pandir, baiklah Andeh. Maka ia pun pergilah menjunjung bakul nasi dan
daging itu serta serta tulang kaki kerbau itu sekerat. Hatta tiada berapa lamanya Pak Pandir
pun sampailah kerumah gergasi itu. Didapatinya anak gergasi itu sedang dudk di muka pintu
menantikan emak bapanya balik. Setelah Pak Pandir sampai, maka anak gergasi itu
mengangakan mulutnya hendak makan Pak Pandir. Maka Pak Pandir pun segeralah
menuangkan nasi dengan daging itu kedalam mulutnya. Demi dirasa oleh anak gergasi itu
akan nyaman makanan itu lalu ditelannya sahajalah dan apabila lambat ia menelan diasak Pak
Pandir mulutnya dengan tulang kerbau itu, dihentak-hentakkannya dengan bersungguh-
sungguh hatinya mesuk kedalam tekak anak gergasi itu. Maka didalam hal yang demikian
habislah nasi sebakul dengan daging sekawah disuapkan oleh Pak Pandir. Maka anak gergasi
itu pun mati oleh tersangat kekenyangan.

Setelah dilihat oleh Pak Pandir anak gergasi itu sudah mati, maka ia pun berlarilah dengan
bersungguh-sungguhnya. Maka kata Pak Pandir kepada Mak Andeh mana dia gergasi itu
Andeh? Maka kata Mak Andeh bukankah ia sudah balik, tiadakah bertemu ngan awk dijalan
tadi? Kata Pak Pandir, tiada aku berjumpa kerana aku mengikut jalan lain, oleh sebab
anaknya sudah mati aku asak dengan tulang kerbau tadi. Sekarang baik kita lari, Andeh
jangan ditunggu disini lagi, nanti dimakannya kita.
5. ARTINYA

Begitu juga dengan penjaga raksasa itu. Jadi Pak Pandir terguncang dengan sekuat tenaga,
katanya. Begitu juga dengan penjaga raksasa itu. Jadi Pak Pandir sangat terkejut, dia berkata,
"Tok Sheikh Keramat, cepat bangun dan katakan padanya untuk pulang untuk makan."

Kemudian raksasa ketiga lahir dan kemudian bangun dengan gembira untuk mengambil
sebatang tongkat untuk memukul Tuan Pandir. Dia mengatakan itu begitu penuh dengan
makanan sehingga saya datang kepada pria itu untuk menyerahkan diri kepada saya. Jadi Pak
Pandir berkata, jangan makan saya juga. Saya meminta Tok Sheikh makan daging kerbau
dengan nasi terlalu banyak di rumah saya. Lalu kata raksasa, apakah itu tepatnya yang
dikatakan Tuan Pandir? Jawab Pak Pandir sungguh.

Jadi raksasa itu berkata, jika tidak apa-apa dan jika tidak, saya harus makan juga Tuan Pandir.
Jawab Pak Pandir, ya. Maka nenek raksasa itu segera mengambil tongkatnya dan turun
bersama istrinya mengikuti Tuan Pandir dan putranya sedang menunggu rumah. Jadi tidak
butuh waktu lama untuk pulang. Mr Pandir naik ke atas untuk menyambut Mak Andeh,
mengatakan, bersiaplah segera, ini Tok Sheikh Keramat yang telah datang dua bulan lalu.
Bahkan ibumu pergi melihat pintu. Saat melihat raksasa itu, dia terguncang oleh ketakutan,
kesalahpahaman, bahkan melarikan diri, ketika dia berpikir, jika demikian, saya menyerah
kepada dato suci di sini. Jika itu adalah keberuntungan, apakah buruk untuk melakukan
bajingan jahat ini?

Kemudian Mak Andeh bersiap untuk melempar tikar yang indah dan menyuruh raksasa itu
untuk naik. Jadi kedua raksasa itu pulang. Jadi Pak Pandir dan Mak Andeh berkata, makanlah
nenek. Maka raksasa kedua menumpahkan darah sampai anak sapi kehabisan enam kawah
dan dua kawah beras, dan dia terkoyak.

Lalu Mak Andeh berkata, nenek baik-baik saja. Semoga cucu mengirim Tuan Pandir ke
rumah. Setelah itu, Tuan Pandir pergi ke mangkuk nasi dan daging bocah raksasa itu dan
memesannya oleh Mak Andeh, dengan mengatakan, jika ia tidak makan sekarang, beri makan
dengan baik, jangan memberi makan tulang kerbau.

Lalu Pak Pandir berkata, ya, Anda. Jadi dia pergi dan mengambil sekeranjang beras dan
daging serta tulang-tulang kerbau. Hatta bahkan tidak tahu bahwa Tuan Pandir telah pergi ke
rumah raksasa itu. Dia mendapati bocah raksasa itu duduk di pintu menunggu ibu ayahnya
kembali. Setelah Tuan Pandir tiba, bocah raksasa itu membuka mulutnya untuk memakan
Tuan Pandir. Maka Pak Pandir segera menuangkan nasi dengan daging ke mulutnya. Ketika
bocah raksasa itu merasa makanannya enak dan dia menelan semuanya, dan ketika perlahan-
lahan dia menelan mulut Tuan Pandir dengan kerbau, dia mendorong jantungnya ke
tenggorokan raksasa itu. Dalam hal ini, nasi dikonsumsi sebanyak daging sapi yang diberikan
oleh Pak Pandir. Kemudian anak raksasa itu mati karena sensasi terbakar.

Ketika Tuan Pandir melihat bahwa anak lelaki raksasa itu sudah mati, dia berlari dengan
sungguh-sungguh. Jadi Pak Pandir memberi tahu Mak Andeh di mana dia raksasa? Kemudian
Mak Andeh berkata bahwa dia belum kembali, apakah dia belum bertemu dengannya di
jalan? Pak Pandir berkata saya tidak bertemu karena saya mengikuti jalan yang lain, karena
putranya dibunuh oleh seekor kerbau. Sekarang mari kita lari, jangan tunggu di sini lagi, kita
akan memakannya.

Setelah didengar oleh Mak Andeh akan perkataan Pak Pandir itu, maka sangatlah ketakutan
hatinya hingga menggeletarlah tulanh sendinya serta dengan pucat mukanya, tiada ia terkata-
kata lagi akan barang-barangnya serta lari keduanya. Kata Pak Pandir, kemana baik kita pergi
ini, Andeh? Maka kata Mak Andeh, mari kita naik pelampung terap ini, kita menyeberang
keseberang sungai ini.

Maka keduanya pun naiklah keatas pelampung itu, langsung menyeberang keseberang
sungai. Telah sampailah keduanya dengan selamat sempurnanya lalu berdiam diri disana.
Sebermula maka tersebutlah kisah gergasi berdua laki bini itu. Telah sudah habis makan ia
pun berkabarlah kepada Mak Andeh hendak balik kerumahnya, lalu berjalanlah pulang
keduanya. Maka dilihatnya akan anaknya sudah mati, penuh didalam mulutnya dengan nasi
dan daging serta sekerat tulang kerbau tersengkang dimulutnya.

Maka keduanya pun bangkit marah dengan berangnya seraya bertempek lalu mengambil
tongkang turun berkejar menuju kerumah Pak Pandir. Telah sampai dilihatnya pintu rumah
itu terbuka lalu, dimasukinya kedalam rumah itu mencari serata-rata rumah itu, tiada juga
orangnya, lalu diturunya jalan kesungai. Telah tiba ketepi sungai serta dilihat oleh Pak Pandir
gergasi itu lalu berkata jangan nenek ikut aku, nenek aku tahu anak nenek sudah mati. Bukan
aku sengaja, oleh aku hendak segera pulang, maka aku asak dia dengan tulang kerbau itu.

Setelah didengar oleh gergasi keduanya wah apatah lagi! Makin bertambah-tambahlah
berangnya seraya berkata nantilah oleh kamu, aku makan dengan kulit tulang kamu sekali,
tiada aku tinggalkan. Maka gergasi itu pun hendak terjun kedalam sungai kata Pak Pandir,
jangan nenek hendak menyeberang kesini. Pergilah ambil tempayan besar dirumah cucu itu
sebuji seorang, boleh nenek buat perahu menyeberang kemari. Demi didengar oleh gergasi
akan kata Pak Pandir itu, keduanya pun berlari-larilah pula naik kerumah Pak Pandir
mengambil tempayan dua buah, dibawanya turun kesungai itu. Maka kata Pak Pandir,
masuklah nenek seorang sebiji kedalam tempayan itu. Kemudian tudung dengan daun birah
supaya jangan masuk air. Maka diperbuatlah oleh gergasi kedua seperti pengajaran Pak
Pandir itu. Setelah sudah masuk keduanya pun melonjak-lonjak diri didalam tempayan itu
dan tempayan itu pun hanyutlah juga dibawa oleh air deras itu kepada suatu lubuk yang
dalam.

Setelah dilihat oleh Pak Pandir, maka katanya oleng nenek oleng kuat-kuat. Maka kedua
gergasi itu pun mengolenglah akan tempayan itu. Kemudian kata Pak Pandir, tumbuk, nenek
tumbuk! Maka ditumbuklah oleh gergasi kedua akan daun birah tudung tempayan itu. Setelah
daun itu pecah, maka air pun masuklah kedalam tempayan itu. Maka gergasi itu pun
segeralah hendak keluar dari dalam tempayan itu, tetapi tiada sempat oleh hidungnya sudah
penuh dengan air. Ia pun lemas dan tempayan itu pun berdebuk-debuk masuk air lansung
tenggelam pada lubuk yang dalam itu. Maka gergasi kedua pun matilah.

Telah dilihat oleh Pak Pandir dengan Mak Andeh akan gergasi itu sudah tenggelam, maka
kata Pak Pandir, kemana pula kita ni Andeh? Kata Mak Andeh marilah kita balik kerumah
kita kerana gergasi itu pun sudah mati. Maka keduanya pun turunlah kepelampung terap lau
menyeberang kembali kerumahnya. Telah sampai, kata Mak Andeh, marilah kita pergi
kerumah gergasi itu kalau apa-apa hartanya yang ada boleh kita ambil. Maka kata Pak Pandir,
lekas-lekas Andeh kalau orang lain pergi dahulu tentulah habis dipapasnya, kita melepas
sahaja. Maka keduanya pun berjalanlah. Tiada berapa lamanya lalu sampailah kerumah itu.
Maka dilihat oleh Mak Andeh bangkai anak gergasi itu terkangkang sahaja di muka pintu
serta dengan buruk dan bengis lakunya. Maka Mak Andeh pun ketakutan. Maka kata Pak
Pandir, mari Andeh apa pula yang ditakutkan? Ia sudah mati.

Maka keduanya pun naiklah kerumah itu mengambil anak kunci membuka bilik-bilik gergasi
itu. Pada mula dibukanya yang pertama itu dilihatnya penuhla dengan tulang binatang dan
tulang manusia serta rambut dan bulu bertimbun-timbun terlalu banyaknya. Maka dibukanya
pula bilik yang kedua, teramatlah sukacita Mak Andeh melihatkan sekalian barang-barang
emas gergasi itu daripada agok, dokoh, subang, gelang, keroncong serta lain-lain terlalu
banyak.

6. ARTINYA
Ketika Mak Andeh mendengar kata-kata Pak Pandir, jantungnya bergetar sangat keras
sehingga ia gemetar di persendiannya dan wajahnya pucat, ia tidak mengatakan apa-apa
tentang barang-barangnya dan melarikan diri. Pak Pandir berkata, ke mana kita harus pergi,
Andeh? Lalu Mak Andeh berkata, ayo naik ke wahana ini, kita menyeberangi sungai.

Kemudian mereka berdua naik ke atas pelampung, dan menyeberangi sungai. Mereka berdua
tiba dengan selamat untuk kesempurnaan dan tinggal di sana. Lagipula, itulah kisah pria
raksasa itu. Setelah selesai makan, dia menyuruh Makareh untuk kembali ke rumahnya, dan
mereka kembali. Dia melihat putranya mati, penuh mulutnya dengan nasi dan daging dan
tulang kerbau berbintik di mulutnya.

Kemudian mereka berdua marah dengan amarah mereka dan mengambil tongkang menuruni
pengejaran ke rumah Pak Pandir. Ketika dia melihat pintu terbuka, dia masuk ke dalam dan
mencari semua rumah, tetapi tidak ada orang, dan dia memimpin jalan dengan cara. Tiba di
tepi sungai dan raksasa itu melihat Pak Pandir dan mengatakan kepadanya untuk tidak
mengikuti saya, nenek saya tahu cucu saya sudah meninggal. Bukan niat saya bahwa saya
akan pulang, jadi saya memperlakukannya dengan tulang kerbau.

Setelah didengar oleh para raksasa, katakan saja lagi! Semakin, amarahnya meningkat ketika
dia berkata, "Aku akan makan dengan kulitmu sekali, dan aku tidak akan pergi." Jadi raksasa
itu akan terjun ke sungai, kata Pandir. Pergi mendapatkan rumah besar di rumah cucu untuk
satu nenek, Anda dapat membuat kapal menyeberang di sini. Ketika raksasa itu mendengar
kata-kata Tuan Pandir, mereka berdua bergegas ke rumah Pak Pandir dan mengambil dua
potong garam, dan membawanya turun. Kemudian kata Pak Pandir, salah satu kakek-nenek
memasuki rumah. Kemudian tutup dengan daun hijau agar tidak terkena air. Jadi raksasa
kedua melakukan apa yang diajarkan Pakir. Dan ketika mereka masuk, mereka langsung
masuk, dan air mengalir keluar, dan sungai mengalir ke jurang.

Setelah melihat Pak Pandir, dia berkata bahwa neneknya sangat kuat. Jadi dua raksasa
menggali di sekitar air. Lalu kata Pak Pandir, ditumbuk, nenek ditumbuk! Kemudian raksasa
kedua menghancurkan daun jeruk. Setelah daunnya pecah, air masuk ke dalam air. Kemudian
raksasa itu dengan cepat keluar dari bak mandi, tetapi tiba-tiba hidungnya penuh air. Dia
tenggelam dan air mengalir ke dalam air dan tenggelam di dalamnya. Kemudian raksasa
kedua mati.

Tuan Pandir telah melihat dengan Mak Andeh bahwa raksasa itu sedang tenggelam, jadi Tuan
Pandir berkata, ke mana kita akan pergi? Mak Andeh berkata mari kita kembali ke rumah kita
karena raksasa itu sudah mati. Kemudian keduanya turun di senja untuk menyeberangi rumah
lagi. Itu sudah datang, kata Mak Andeh, jadi mari kita pergi ke rumah raksasa jika kita bisa
mendapatkan harta miliknya. Jadi Pak Pandir berkata, begitu Anda membiarkan orang lain
pergi dulu mereka harus memotongnya, dan kami akan melepaskannya. Lalu keduanya pergi.
Tidak butuh waktu lama untuk pulang. Kemudian Mak Andeh melihat bangkai raksasa itu
hanya menatap pintu begitu juga jelek dan kejam. Kemudian Mak Andeh takut. Lalu kata
Tuan Pandir, apa yang Anda takutkan? Dia sudah mati.

Kemudian mereka berdua pergi ke rumah dan mengambil kunci untuk membuka kunci kamar
raksasa. Awalnya dia membuka matanya yang penuh dengan tulang binatang dan manusia,
dan rambut serta bulunya berlimpah. Ketika dia membuka kamar kedua, Mak Andeh sangat
senang melihat semua barang emas raksasa dari sendok, bebek, anting-anting, gelang, gelang
dan banyak lagi.

Maka kata Pak Pandir, apa namanya ini Andeh? Maka kata Mak Andeh, inilah segala harta
gergasi itu, semuanya emas. Sekarang menjadi rezeki kitalah ini. Marilah kita angkut pulang
kerumah kita. Maka kata Pak Pandir, baiklah Andeh. Maka Mak Andeh pun memungut
sekalian perkakasan itu. Dimasukkan kedalam kain selendang lalu didukungnya seberat-berat
ia membawa. Pak Pandir pun demikian juga. Setelah itu, MakAndeh pun pergi kedapur.
Dilihatnya segala periuk dan belanga gergasi itu semuanya emas. Itu pun dipapasnya juga.
Demikianlah empat kali Pak Pandir dengan Mak Andeh berangkut ulang alik barulah habis
semuanya. Maka rumah gergasi itu pun dibakarnya. Telah itu Pak Pandir keduanya pulanglah
kerumahnya dengan terlalu suka hatinya kerana beroleh harta terlalu banyak itu. Lalu
disimpan oleh Mak Andeh kedalam kembung padi, disitu tempat ia menyembunyikan
hartanya yang baik-baik. Setelah itu, hari pun malamlah dan Pak Pandir kedua pun tidur
dengan kesukaannya. Hatta pada keesokan harinya kata Mak Andeh, pergilah awak Pak
Pandir membeli padi, jangan pula dibeli hampa beratnya. Maka kata Pak Pandir, baiklah
Andeh. Maka ia pun pergi membawa wang dua rial dan karung sebiji. Selang tiada berapa
lamanya sampailah ia kesebuah ladang orang dan pada masa itu yang empunya ladang itu pun
sedang mengaingin padi membuang hampa. Maka Pak Pandir pun sampailah kepada mereka
itu seraya bertanya. Katanya dijualkah padi ini? Maka kata orang itu, kalau kena harganya,
dijual juga. Kata Pak Pandir, berilah saya membeli hampa beratnya itu. Maka kata mereka
yang empunya itu, ambilah tak usah membeli.
Jawab Pak Pandir, nah ambillah wang diberi oleh Andeh dua rial ini. Lalu diletakkan
dihadapan orang itu. Maka dibubuhkan oranglah hampa beratnya itu kedalam karung Pak
Pandir dan wang itu pun diterimlah oleh tuan padi itu. Maka Pak Pandir pun memikul hampa
padi itu dibawanya pulang. Maka pada pertengahan jalan itu bertemulah ia denga sungai,
kerana pulang itu jalan yang lain diikuti oleh Pak Pandir. Dilihatnya terlalu banyak semut
meniti pada suatu ranting kayu yang kecil menyeberang sungai itu. Maka Pak Pandir pun
hendak menyeberang juga dan titian yang lain pun tiada. Kemudian fikir Pak Pandir,
sedangkan semut itu yang beribu-ribu lagi tahan melalui dari atas kayu ini, apatah pula aku
yang seorang. Karung hampa ini pun bukan berapa beratnya. Kalau begitu baiklah aku meniti
bersama semut itu.

Setelah itu, Pak Pandir pun menitilah. Apabila dipijaknya sahaja ranting itu pun patahlah,
tiadalah bertangguh lagi. Pak Pandir pun jatuhlah kedalam air bersama-sama dengan karung
padi itu, lenyap sekali. Telah dirasai oleh Pak Pandir dirinya terjatuh itu, ia pun berenanglah
naik kedarat dengan basahnya dan karung itu pun hanyutlah kehilir, dipandang sahaja oleh
Pak Pandir, hendak diambilnya sudah jauh. Kemudian ia pun menharung air sungai itu lalu
pulang kerumahnya dengan menggeletar oleh kesejukan.

Setelah sampai, ia pun meminta kain pada Mak Andeh. Katanya Andeh berilah aku kain. Aku
terlalu sejuk ini. Maka kata Mak Andeh, apa pula kenanya awak? Kata Pak Pandir aku jatuh
lalu diceritakannya segala perihalnya dari awal hingga keakhirnya. Maka kata Mak Andeh
apa awak beli tadi? Jawab Pak Pandir, Andeh kata beli hampa padi yang berat. Wah Mak
Andeh pun apa hendak dikata lagi. Terdengarlah sumpah seranahnya akan Pak Pandir serta
dilutunya umpama tebuan pecah sarangnya, seraya kata Mak Andeh, bukankah sudah aku
pesan jangan dibeli hampa berat? Padinya yang bernas minta oleh Pak Pandir. Kata Pak
Pandir, entahlah aku tak tahulah. Tadi aku dengar kata Andeh menyuruh beli hampa berat.
Itulah aku cari yang demikian.

Setelah itu Mak Andeh pun diamlah, tiada terkata-kata lagi kerana pada fikiran Mak Andeh,
aku juga yang salah menyuruh si bodoh ini. Hatta sekali peristiwa, pada suatu hari kata Mak
Andeh kepada Pak Pandir, hai Pak Pandir, apatah hal kita ini tersangatlah lamanya kita tiada
pernah kenduri akan dato nenek dan kaum keluarga dan anak buah kita yang telah mati. Maka
kata Pak Pandir, pergilah Andeh bawakan sekalian buah-buahan dan tebu, pisang, ubi keladi
dan korek kuburnya, masukkan supaya dimakan olehnya.

Maka ujar Mak Andeh, bukannya demikian. Ada pun orang mati itu bukan dia
berkehendakkan makan lagi, hanya yang boleh kita tolongi dengan kenduri iaitu meminta doa
kepada Allah ta`ala barang di anugerahnya akan mereka itu tempat yang kebajikan. Kata Pak
Pandir, kalau begitu apa tahu oleh Andeh, buatlah aku tak tahu. Kemudian kata Mak Andeh,
baiklah tetapi pada masa ini semuanya perkakas ada berlaka, hanya yang tiada garam sahaja.
Pergilah awak mencari garam kekampung, bawa keladi dan ubi ini tukarkan.
7. ARTINYA
Jadi Pak Pandir berkata, siapa namanya? Lalu Mak Andeh berkata, ini semua adalah harta
karun raksasa, semua emas. Ini sekarang ketentuan kami. Biarkan kami mengantarmu pulang.
Lalu Pak Pandir berkata, ya, Anda. Dan Mak Andeh mendapatkan semua alatnya. Itu
dimasukkan ke dalam syal dan didukung oleh berat yang dibawanya. Pak Pandir melakukan
hal yang sama. Setelah itu, MakAndeh pergi ke dapur. Dia melihat bahwa pot dan raksasa
semua adalah emas. Itu yang dia hapus. Jadi empat kali Tuan Pandir dan Mak Andeh
mengangkut pesawat ulang-alik sebelum semuanya berakhir. Kemudian rumah raksasa itu
terbakar. Kemudian Pak Pandir keduanya kembali ke rumahnya dengan penuh kegembiraan
karena memiliki begitu banyak harta. Mak Andeh kemudian menyimpannya di sawah karet,
tempat ia menyimpan kekayaannya. Kemudian, itu malam hari dan Tuan Pandir yang kedua
tidur dengan favoritnya. Hatta berkata pada hari berikutnya Mak Andeh berkata kamu pergi
untuk membeli Tuan Pandir, bukan untuk membelinya. Lalu Pak Pandir berkata, ya, Anda.
Jadi dia pergi dengan dua koin dan satu karung. Tidak butuh waktu lama untuk menjadi
rumah besar, dan pada saat itu pemilik pertanian sedang berusaha untuk menyingkirkan
beras. Jadi Pak Pandir mendatangi mereka dan bertanya. Mereka bilang mereka menjual
beras ini? Jadi pria itu berkata, jika mereka layak, mereka akan menjualnya. Pak Pandir
berkata, biarkan aku membeli beratnya. Jadi pemilik mengatakan, tolong jangan membelinya.
Pak Pandir menjawab, jadi ambil uang yang Andeh berikan dua real. Lalu dia meletakkannya
di depan pria itu. Kemudian mereka memasukkan beban ke dalam karung Pak Pandir dan
uang itu diterima oleh penguasa sawah. Kemudian Pak Pandir mengambil beras kosong dan
membawanya pulang. Di tengah jalan dia bertemu sungai, untuk jalan lain diikuti oleh Pak
Pandir. Dia melihat terlalu banyak semut menatap cabang pohon kecil di seberang sungai.
Jadi Tuan Pandir juga ingin menyeberang dan jembatan lainnya hilang. Kemudian pikirkan
Tuan Pandir, sementara semut lain dapat bertahan hidup melalui pohon ini, apalagi saya. Tas
kosong ini tidak terlalu berat. Maka saya akan baik-baik saja dengan semut.

Setelah itu, Pak Pandir bahkan cincang. Hanya ketika batangnya rusak barulah mereka rusak.
Bahkan Pak Pandir jatuh ke air bersama dengan karung beras, dan menghilang. Merasa
bahwa Tuan Pandir sendiri telah jatuh, ia berenang di basah dengan basah dan karung itu
melayang menuruni lereng, tepat di depan Tuan Pandir, untuk dibawa pergi. Kemudian dia
menyalakan air dan kembali ke rumahnya, gemetaran karena kedinginan.

Ketika dia tiba, dia meminta kain untuk Mak. Anda mengatakan memberi saya kain. Saya
terlalu dingin Jadi Mak Andeh berkata, bagaimana menurutmu? Pak Pandir berkata saya
jatuh dan menceritakan semua detailnya dari awal hingga akhir. Jadi, apa yang dikatakan
Mak Andeh Anda beli sebelumnya? Pak Pandir menjawab, Anda bilang beli beras berat. Nah,
apa yang ingin Anda katakan lagi? Kedengarannya seperti dia bersumpah pada Tuan Pandir
dan menyalahkannya seperti lubang di sarangnya, seperti yang dikatakan Mak Andeh,
bukankah aku memberitahunya untuk tidak membeli terlalu banyak? Hatinya meminta Pak
Pandir. Pak Pandir berkata, saya tidak tahu. Sebelumnya saya mendengar Anda memberi tahu
saya untuk membeli selimut tebal. Itu sebabnya saya mencari itu.
Setelah Mak Andeh diam, tidak ada kata untuk pikiran Mak Andeh, akulah yang memberi
tahu si bodoh. Suatu kebetulan, suatu hari Mak Andeh memberi tahu Tuan Pandir, Tuan
Pandir, bahwa adalah fakta yang menyedihkan bahwa kita tidak pernah memiliki ingatan
yang begitu besar tentang kakek nenek kita yang telah meninggal dan keluarga serta kerabat
kita. Lalu kata Tuan Pandir, pergi dan bawakan dia semua buah dan tebu, pisang, ubi dan biji
jeruk nipis, dan taruh di tempatnya untuk dimakan.

Mak Andeh berkata tidak demikian. Sekalipun orang mati tidak mau makan lagi, kita hanya
dapat membantu dengan memohon kepada Tuhan untuk berdoa bagi hal-hal dalam kasih
karunia-Nya agar mereka adalah tempat yang baik. Pak Pandir berkata, lalu apa yang kamu
tahu, buat aku tidak tahu. Lalu Mak Andeh berkata, oke tapi saat ini semua peralatan sedang
digunakan, hanya garam. Pergi cari garam asin, bawa ubi dan ubi.

Jawab Pak Pandir, baiklah. Arakian, maka ia pun pergilah membawa ubi keladi, tebu dan
pisang menuju kekampung orang. Tiada berapa lamanya ia pun sampailah. Maka banyaklah
tingkah lakunya yang jenaka dipermainkan oleh orang kampung akan dia oleh bingungnya
itu. Terlalu suka orang mengusik akan Pak Pandir sehingga latahlah ia. Pak Pandir pun
berjalanlah memikul garam sekarung.

Hatta, setelah Pak Pandir sampai pada separuh jalan, ia pun berasa senak perutnya hendak
buang air oleh banyak makan lemak dan manis diberi orang-orang di kampung tadi.
Kemudian Pak Pandir menyimpang masuk kedalam semak lalu diletakkannya sumpit garam
itu itu di hadapannya. Dengan seketika itu juga datanglah fikiran nya yang ahmak, lalu
katanya, wah salah sekali pekerjaanku ini. Sekiranya kalau datang sesuatu kemalangan bagi
diriku entah binatang datang mengejar, atau menerkam aku, bukankah sia-sia sahaja aku lari,
karung garamku tinggal oleh terperanjat.

Maka diubahnya ketempat lain serta dilindungkannya di balik semak-semak itu. Kemudian ia
pun berbalik ketempat yang mula-mula tadi lalu direnungnya kepada karung itu. Nampak
juga kepadanya. Maka berkata pula ia, ini pun suatu pekerjaan yang kurang akal juga. Siapa
tah? Kalau-kalau ada orang lalu dialehnya pula ketempat asing diperbuatnya seperti hal yang
lalu tadi, selagi nampak diubahnya juga.

Hatta, lima enam kali diubahnya, kemudian timbul pula suatu ingatannya yang berlainan
seraya katanya, ceh, bodoh sekali aku ini. Jikalau aku sembunyikan kedalam air tentu tiada
siapa dapat melihatnya. Telah tetaplah fikiran Pak Pandir yang demikian lalu diambilnya
karung garam itu, dibawanya pergi mencari tempat yang berair hingga beratus-ratus depa
jauhnya barulah ia bertemu dengan suatu anak sungai. Maka karung garam itu pun
dibenamkan oleh Pak Pandir kedalam sungai itu. Maka ia pun berjalanlah jauh sedikit lalu
direnungnya sumpit garam itu, baru tak nampak lagi kepadanya, seraya ia berkata, sekarang
barulah puas rasa hatiku menyembunyikan garamku itu, tiada apa pun yang kelihatan lagi.

Kemudiaan ia pun pergilah kadha hajat. Telah sudah baharulah ia mengambil pula akan
karung garamnya itu. Tetapi apalah gunanya lagi, oleh semuanya sudah pulang keasalnya.
Maka dibawalah oleh Pak Pandir karung itu dengan tergopoh-gopoh hendak segera tiba
dirumahnya. Hatta serta sampai, maka ditunjukkannyalah kepada Mak Andeh. Serta
dilihatnya air turun seperti hujan daripada karung itu, seraya ia bertanya, air apa ini? Di mana
garam yang awak cari tadi?

8. ARTINYA
Jawab Pak Pandir, baiklah. Lalu dia pergi dan membawa ubi, tebu, dan pisang ke kerumunan.
Tidak butuh waktu lama untuk itu terjadi. Dan banyak orang di negeri itu mengolok-olok dia
karena lelucon yang dia lakukan. Terlalu banyak orang mencemooh Pak Pandir sampai
terlambat. Pak Pandir bahkan membeli sebungkus garam.

Hatta, setelah Tuan Pandir mencapai titik tengah, merasakan perutnya sakit karena menyiram
banyak makanan berlemak dan manis yang diberikan kepada penduduk desa. Kemudian Tuan
Pandir berjalan ke semak-semak dan meletakkan sumpit garam di depannya. Pada saat yang
sama, dia sadar dan berkata, "Pekerjaan yang sangat buruk yang telah saya lakukan." Jika
saya mengalami malapetaka, apakah hewan itu mengejar saya, atau menjarah saya, bukankah
saya melarikan diri, karung garam saya tetap shock?

Kemudian dia mengubahnya ke tempat lain dan menyembunyikannya di balik semak-semak.


Kemudian dia kembali ke tempat di mana dia sebelumnya, dan menatapnya. Lihat dia juga.
Jadi, ia menambahkan, ini adalah pekerjaan yang konyol juga. Siapa tahu Dalam kasus
seseorang, dia juga telah terpapar ke tempat asing seperti yang dia lakukan sebelumnya,
sementara juga mengubahnya.

Hatta, berubah lima kali, lalu muncul dengan ingatan yang berbeda saat dia berkata, yah, aku
bodoh. Jika saya menyembunyikannya di air, tidak ada yang akan melihatnya. Pikiran Pak
Pandir tetap seperti itu, dan dia mengambil sekarung garam, dan pergi mencari tempat yang
berair ratusan mil jauhnya ketika dia tiba di sungai. Kemudian karung garam dimasukkan
oleh Pak Pandir ke sungai. Lalu dia pergi sedikit lebih jauh, dan menatap air garam, dan dia
tidak bisa melihatnya.

Kemudian dia pergi dengan sebuah keinginan. Sudah dilaporkan bahwa dia mengambil
sekarung garam lagi. Tapi apa gunanya, semua orang sudah pulang. Jadi Pak Pandir buru-
buru membawa karung untuk segera sampai ke rumahnya. Hatta tiba, dan dia
menunjukkannya pada Mak. Ketika dia melihat air turun seperti hujan dari karung, dia
bertanya, air apa ini? Di mana garam yang Anda cari?

Maka jawab Pak Pandir, itu bukankah garam? Maka kata Mak Andeh, garam apa yang seperti
air ini? Maka oleh Pak Pandir diceritakannyalah segala perihal dari awal hingga keakhir.
Maka Mak Andeh pun kenyang tak makanlah oleh perangai Pak Pandir keparat itu. Hanya
diamlah ia tiada berkata-kata lagi sambil menyudahkan kerjanya, lalu ia bersumpah didalam
hatinya bahawa sekali-kali tiadalah ia mahu menyuruh Pak Pandir sebarang apa pekerjaan,
biarlah ia membuat sendirinya. Setelah Mak Andeh tiada mahu lagi menyuruh Pak Pandir
membuat sebarang apa pekerjaan, maka ia pun pergilah membawa dirinya sendiri dan
membuat kerja mengikut sukanya. Maka pada suatu hari Pak Pandir pun mengambil
goloknya pergi menebang buluh, diperbuatnya lukah. Telah sudah lalu ditahannya kepada
suatu alur didalam redang. Sudah itu Pak Pandir pun pulanglah kerumah makan minum
dengan Mak Andeh.
Setelah malam hari keduanya pun tidur, dan pada keesokan hari pagi-pagi Pak Pandir pun
mencapai goloknya lalu pergi melihat lukahnya. Serta sampai lalu diangkatnya tiada
terangkat oleh terlalu banyak ikannya. Maka dikuat-kuati juga oleh Pak Pandir, barulah
terangkat olehnya, dibawa naik keatas tebing anak air itu lalu ducurahkannyalah sekalian isi
bubunya itu, ikan limbat serta diketuk oleh Pak Pandir dengan goloknya. Telah mati barulah
disiangnya dan di basuh serta ia memperbuat salai. Dinyalakan apinya, dan ikan-ikan itu pun
diaturnya diatas penyalai.

Maka api pun dijadikanlah oleh Pak Pandir dengan bersungguh-sungguh hatinya.
Diangkutnya sekalian kayu yang besar2 akan kayu apinya. Seketika lamanya ikan salai itu
pun tampillah meratah salai itu dua ekor sesuap, empat ekor sesuap dimakannya hingga
habislah ikan itu sekerat penyalai barulah Pak Pandir berhenti. Maka ikan yang tinggal lagi
dimasukkannya kedalam karung lalu dibawanya memanjat keatas pokok kayu, digantungnya
karung itu kepada dahan kayu. Telah sudah, ia pun turun langsung pergi minum air serta
menahan lukahnya.

Maka hari pun hampir petang. Pak Pandir pun pulanglah kerumahnya. Telah sampai, maka
Mak Andeh pun bertanya. Katanya kemana awak pergi tadi turun pagi-pagi petang barulah
balik? Apa awak buat? Maka sahut Pak Pandir dengan tersipu-sipu, katanya tiada kemana aku
pergi, Andeh. Aku berjalan Cuma-Cuma sahaja merata-rata hutan itu hendak mencari makan,
suatu apa pun tidak kuperoleh.

Maka kata Mak Andeh. Membuat penat sahaja Pak Pandir merayau segenap hutan itu.
Baiklah makan harta kita yang ada ini cukup. Bukannya kita ada beranak cucu, apatah yang
disusahkan mencari kesanan kemari lagi? Maka kata Pak Pandir, aku tiada mahu makan harta
andeh lagi, kerana Andeh tak mahu menyuruh aku lagi. Biarlah aku membuat hal aku seorang
dan Andeh pun buatlah kerja Andeh sorang, usah dihiraukan hal aku.

Maka jawab Mak Andeh, bukannya aku tiada mahu menyuruh Pak Pandir. Sebab aku kasihan
akan awak kerana tiap-tiap barang apa yang aku suruhkan itu tak pernah sudah dengan sekali,
sampai dua tiga kali baru jadi. Oleh yang demikian tersangatlah penat awak aku lihat dan aku
pun menjadi sia-sia sahaja menyuruh orang yang tiada tahu. Itulah sebabnya. Janganlah awak
syak dan berkecil hati akan aku. Biarlah aku buat sendiri.

Hatta telah didengar oleh Pak Pandir akan kata Mak Andeh itu, ia pun diamlah dengan
masam mukanya tiada berkata-kata. Seketika lagi hari pun malam. Keduanya pun tidurlah.
Telah keesokan harinya Pak Pandir pun tiada khali lagi melihat lukahnya. Ikan-ikannya yang
dapat semua disalainya. Serta masak sahaja ia pun meratahlah hingga tinggal separuh barulah
ia berhenti dan yang lebihnya itu dimasukkannya kedalam karung, digantungkannya pada
pohon kayu itu juga. Telah hari petang ia pun pulang. Demikianlah perbuatan Pak Pandir
pada setiap hari, meratah ikan salai dengan bersembunyikan daripada Mak Andeh, tiada
pernah dibawanya pulang kerumah.

9. ARTINYA

Lalu jawab Pak Pandir, bukankah itu garam? Lalu Mak Andeh berkata, garam macam apa air
ini? Jadi oleh Pak Pandir, dia memberi tahu kami tentang semuanya dari awal hingga akhir.
Dan Mak Andeh sangat muak sehingga dia tidak dimakan oleh bajingan itu. Dia tetap diam
saat dia menyelesaikan pekerjaannya, dan dia bersumpah dalam hatinya bahwa dia tidak akan
pernah meminta Tuan Pandir untuk melakukan apa pun, biarkan dia melakukannya sendiri.
Setelah Mak Andeh tidak lagi menginginkan Tuan Pandir untuk melakukan pekerjaan apa
pun, dia pergi dan mengangkat dirinya dan melakukan apa yang dia mau. Kemudian suatu
hari Pak Pandir mengambil labu dan pergi menebang pohon bambu, dan ia melakukannya.
Dia sudah memegangnya ke lekukan di dalam gudang. Bahkan saat itu Pak Pandir pulang
untuk makan bersama Mak Andeh.

Setelah malam tiba, mereka berdua tidur, dan keesokan paginya Tuan Pandir meraih
bantalnya dan pergi melihat lukanya. Dan sampai dia mengambilnya, dia tidak
mengangkatnya terlalu banyak. Kemudian dia mengangkatnya, mengangkatnya, dan
mengangkatnya di tepi air, dan mencurahkan seluruh dagingnya, dan ikan, dan ikan-ikan. Dia
baru saja meninggal dan mencuci, dan dia merokok. Api menyala, dan ikan itu diatur di atas
ikan.

Maka Tuan Pandir membakar hatinya. Dia mengangkut semua pohon besar ke kayu bakar.
Butuh beberapa saat bagi ikan asap untuk dipecah menjadi dua bagian, empat di antaranya
dimakan sampai ikan dikonsumsi oleh pendukung sampai Pak Pandir berhenti. Lalu dia
menaruh ikan yang tersisa di karung dan membawanya ke pohon, dan meletakkannya di
pohon. Sudah, dia segera turun untuk minum air dan menahan lukanya.

Jadi sudah hampir malam. Pak Pandir bahkan pulang. Ketika Mak tiba, Mak Andeh bertanya.
Dia bilang kemana kamu pergi pagi ini tadi pagi? Apa yang kamu lakukan Kemudian Pak
Pandir menjawab sambil menghela nafas, mengatakan bahwa aku tidak punya tempat untuk
pergi, Andeh. Saya berjalan sendirian di hutan mencari makanan, saya tidak dapat
menemukan apa pun.

Kata Mak Andeh. Dia hanya lelah berkeliaran di sekitar hutan. Mari kita makan cukup
kekayaan kita. Bukankah kita punya cucu, tidak perlu khawatir menemukan sesuatu yang lain
di sini? Jadi Tuan Pandir berkata saya tidak ingin memakan barang-barang Anda lagi, karena
Anda tidak ingin memberi tahu saya lagi. Biarkan saya melakukan hal saya sendiri dan
biarkan Anda melakukan pekerjaan Anda sendiri, jangan khawatir tentang saya.

Mak Andeh menjawab, bukan karena aku tidak ingin bertanya pada Tuan Pandir. Karena aku
mencintaimu karena setiap hal yang aku minta tidak pernah satu kali, sampai dua atau tiga
kali sebelumnya. Jadi sangat sulit bagi Anda untuk melihatnya dan saya sama tidak
bergunanya dengan memberi tahu orang-orang yang tidak tahu. Itu sebabnya. Jangan ragu
dan putus asa. Biarkan saya membuatnya sendiri.

Hatta didengar oleh Tuan Pandir atas kata-kata Mak Andeh, tetapi ia diam dengan wajah
masam. Masih siang dan malam. Keduanya sedang tidur. Pagi berikutnya, Tuan Pandir
bahkan tidak melihat lukanya. Ikan bisa menjadi yang dia ambil. Ketika dia memasak, dia
menangis sampai setengah jalan dan meninggalkan sisanya di dalam karung dan
menggantungnya di pohon. Itu malam ketika dia kembali. Inilah yang dilakukan Pak Pandir
setiap hari, menyiangi ikan asap dan bersembunyi dari Mak Andeh, tidak pernah
membawanya pulang.

Maka dengan takdir Allah, lukahnya itu pun tiadalah mahu mengena lagi, beberapa dialih dan
ditahannya tiada juga mahu kena lagi, tetapi Pak Pandir tiada khuatir darihal meratah ikan
kerana ikan salainya masih ada lagi separuh karung bergantung pada pohon kayu itu. Maka
itulah kerjayanya berulang meratah salai itu pada setiap hari keatas pohon kayu itu.
Maka tersebutlah pula kisah Mak Andeh yang tiap-tiap hari tinggal menunggu rumah seorang
dirinya seraya ia berfikir, apa gerangan kerja Pak Pandir hilang sehari-hari tiada berselang
ini? Jikalau begitu, baik aku pergi mengintai akan dia.

Maka Mak Andeh pun mengambil candungnya lalu pergi mengikut jalan Pak Pandir itu.
Tiada berapa lamanya sampailah Mak Andeh ketempat penyalai Pak Pandir itu seraya ia
mengendap-endap di dalam hutan itu serta memperhatikan Pak Pandir. Maka dengan takdir
Allah ta`ala nampaklah kain Pak Pandir tersangkut diatas pohon kayu itu, lalu kelihatanlah
Mak Andeh akan Pak Pandir duduk tercapak pada dahan kayu itu sedang meratah ikan salai.
Maka nampaklah karung salainya tergantung seperti sarang tempua. Telah nyatalah dilihat
oleh Mak Andeh ia pun baliklah kerumahnya bertanak nasi lalu makan sorang dirinya sambil
berfikir didalam hatinya, itulah rupanya akal Pak Pandir bedebah itu. Baiklah mana-mana
dayaku hendak ku ambil juga ikan salainya itu.

Telah ia sudah makan lalu berbaring dimuka pintu. Seketika lagi hari pun petang. Mak Andeh
pergi mengambil air kesungai. Maka Pak Pandir pun pulanglah oleh sudah kenyang meratah
ikan salai itu habis dua karung, langsung ia pergi mandi kesungai serta naik kerumah, dan
Mak Andeh pun menyediakan nasi lalu mengajak Pak Pandir makan. Maka kata Pak Pandir,
makanlah Andeh dulu,aku sudah kenyang makan buah-buahan kayu didalam hutan tadi.

Sahut Mak Andeh, awak makan buah-buahan haram tak mahu membawanya aku barang
sebiji. Maka kata Pak Pandir, perasaan aku Andeh tak suka makan buah-buahan kayu hutan.
Lainlah aku orang sudah biasa tinggal bersama-sama dengaan lotong dan kera. Dari sebab
itulah tiadalah kubawakan, besok boleh aku bawakan pula.

Maka Pak Pandir pun berbaringlah di tengah rumah sambil berdikir-dikir. Maka kata Mak
Andeh, apa yang awak takut sekali? Sahut Pak Pandir, aku? Apa pun tiada kutakuti, harimau,
gajah, badak, beruang, singa, beruk, dan hantu semuanya boleh ku cundangi, tetapi Andeh,
ada suatu binatang sahaja yang terlalu kutakuti.

Maka kata Mak andeh apa namanya yang awak takuti itu? Cubalah katakan. Maka Pak Pandir
hai Andeh jangankan binatangnya, namanya sahaja pun aku takut. Tidaklah Andeh tiada
berani aku menyebutnya. Maka kata Pak Pandir ayuhai Andeh, sahajalah sebab Andeh
menyuruh juga, kalau tidak mati dibunuh tidak aku mahu berkabar. Namanya binatang itu tok
tok kai. Hai Andeh seram rasa badan dan kembang tengkuk aku hendak menyebut namanya.

Maka kata Mak Andeh, langsungkanlah Pak Pandir maka sahut Pak Pandir, itulah dia
binatangnya yang selalu berbunyi.
Tok-tok kai serondung batang,
Dimana hinggap?
Ditengah belakang

Itulah dia binatangnya yang sangat kutakuti, Andeh. Maka kata Mak Andeh, kalau binatang
itu, tidaklah mengapa sangat tetapi aku pun takut juga rasanya. Setelah itu kedua-duanya pun
tidurlah. Telah keesokan harinya pagi-pagi, maka Pak Pandir pun pergilah kepohon kayu
salainya itu. Serta sampai ia pun memanjatlah lalu meratah salainya itu empat lima ekor
sekali suap.

Ada pun akan Mak Andeh telah dilihatnya Pak Pandir sudah pergi maka ia pun bersiaplah
pula pergi mengikut Pak Pandir perlahan-lahan. Serta ia sampai dilihatnya Pak Pandir sedang
meratah ikan salai diatas pohon itu. Maka Mak Andeh pun naiklah keatas suatu tunggul yang
bertunas. Disitulah Mak andeh berlindung, tiadalah nampak kepada Pak Pandir. Maka Mak
Andeh pun berbunyilah seperti bunyi binatang yang sangat ditakuti oleh Pak Pandir itu:

Tok-tok kai serondung batang


Di mana hinggap?
Di tengah belakang
10. ARTINYA
Jadi dengan takdir Allah, luka-lukanya tidak dimaksudkan untuk diulangi, beberapa diambil
dan ditahan lagi dan lagi. Jadi itu adalah kebiasaannya sehari-hari untuk menangis melalui
pepohonan.

Jadi, apakah kisah Mak Andeh yang sehari-hari tinggal di rumahnya sendiri sambil
merenung, apa pekerjaan harian Pak Pandir yang hilang? Jika itu masalahnya, baiklah aku
pergi melihatnya.

Kemudian Mak Andeh mengambil peti matinya dan mengikuti jalan Pak Pandir. Tidak butuh
waktu lama bagi Mak Andeh untuk mencapai pembantu Pak Pandir saat dia berjalan melalui
hutan dan memperhatikan Pak Pandir. Jadi sudah menjadi takdir Allah untuk melihat kain
Tuan Pandir tergantung di pohon, dan Mak Andeh bisa melihat Tuan Pandir duduk di dahan
pohon berkabung untuk ikan asap. Jadi sepertinya karungnya menggantung seperti sarang.
Dikatakan bahwa Mak Andeh melihatnya kembali ke rumahnya dan memakan tubuhnya
sambil memikirkan hatinya, itulah yang menjadi pikiran Pak Pandir. Yah, salah satu kekuatan
saya, saya ingin mendapatkan salmon juga.

Dia sudah makan, dan dia berbaring di pintu. Ini masih sore. Ibumu pergi mengambil air. Jadi
Pak Pandir kembali ke rumah setelah selesai makan dua karung ikan, dan segera dia pergi
mandi dan pergi ke rumah, dan Mak Andeh menyiapkan nasi dan mengundang Pak Pandir
untuk makan. Lalu kata Pak Pandir, makan dulu, saya penuh pohon buah-buahan di hutan.

Katakanlah Mak Andeh, kamu makan buah ilegal kamu tidak mau membawakan aku sesuatu.
Jadi Pak Pandir berkata, saya merasa Anda tidak suka makan buah hutan. Selain saya, orang-
orang dulu tinggal bersama di loteng dan kera. Itu sebabnya saya tidak membawanya, besok
saya bisa membawanya lagi.

Jadi Pak Pandir berbaring di tengah rumah sambil berpikir. Lalu Mak Andeh berkata, apa
yang kamu takutkan? Jawab Pak Pandir, saya? Saya tidak perlu takut, harimau, gajah, badak,
beruang, singa, kera, dan hantu yang bisa saya rawat, tapi ya, hanya ada satu hewan yang
saya takuti.

Lalu Mak berkata siapa nama yang kamu takuti? Coba katakan itu. Jadi Pak Pandir
mengatakan kepada Anda untuk tidak membunuh binatang, bahkan namanya membuatku
takut. Tidak, Anda tidak berani mengatakannya. Jadi Pak Pandir berkata untuk memaafkan
Anda, hanya karena Anda memberi tahu saya bahwa jika saya tidak mati saya tidak akan
memiliki kesabaran. Nama binatang itu adalah tok tok kai. Hai, Anda seram, seram, dan
badan saya merasa ingin menamainya.

Mak Andeh berkata, bawa Tuan Pandir, lalu katakan Tuan Pandir, itu binatang buas yang
selalu ia dengarkan.

Tunggul kayu,
Tempat tinggal
Di belakang

Itu binatang yang saya takuti, Andeh. Mak Andeh berkata bahwa binatang itu baik-baik saja,
tetapi aku juga takut. Kemudian keduanya tidur. Pagi harinya keesokan paginya, Pak Pandir
meninggalkan semak. Dan ketika dia naik, dia jatuh ke trans empat sampai lima gigitan.

Bahkan jika Mak Andeh melihat Tuan Pandir pergi maka ia akan siap untuk mengejar Pak
Pandir perlahan. Serta dia bisa melihat Tuan Pandir sedang merokok ikan asap di pohon.
Kemudian Mak Andeh naik di atas tunggul yang tumbuh. Di situlah Mak bersembunyi, tetapi
dia tidak melihat Tuan Pandir. Kemudian Mak Andeh terdengar seperti suara binatang buas
yang ditakuti Pak Pandir:

Tunggul kayu
Tempat tinggal
Di tengah belakang

Wah serta terdengar oleh Pak Pandir bunyi itu, ia tak sedar lagi mencampakkan dirinya dari
atas pohon itu serta dengan jerit pekiknya, tiada terkira lagi larinya langsung masuk kedalam
hutan rimba raya itu hingga habislah segala tubuhnya di cangkuk oleh sekalian onak dan duri,
berlumur dengan darah dan kain bajunya pun habis koyak rabak. Maka ia lari itu haram tiada
menoleh lagi kebelakang. Setelah dilihat oleh Mak Andeh kelakuan Pak Pandir itu, maka
makinlah sangat diperbuatnya lagi bunyi itu dengan sekuat-kuatnya. Maka didengar oleh Pak
Pandir, pada perasaan nya binatang itu sudah hinggap dibelakangnya sahaja. Ia pun makinlah
sangat kuat larinya.

Arakian, telah Pak Pandir sudah lepas, maka Mak Andeh pun pergilah memanjat pohon kayu
tempat Pak Pandir terjun itu lalu diambilnya sekalian ikan salai Pak Pandir itu, dibawanya
pulang, disembunyikannya dibawah kawah. Seketika lagi hari pun petanglah. Mak Andeh
pun menyiapkan nasi Pak Pandir. Dinanti-nantinya tiada juga Pak Pandir balik. Hatta,
tersebutlah pula kisah Pak Pandir lari tadi. Hingga beberapa jauhnya ia pergi baharulah hilang
pendengarannya bunyi “ Tok tok kai serondong batang “ itu. Maka ia pun berhentilah sedikit
oleh teramat penat dan jerehnya, serta ia berjalan perlahan-lahan pula ikut sekehendak
kakinya. Dengan takdir Allah ta`ala teruslah Pak pander pulang kerumahnya, sudah pasang
dammar, dengan bertelanjang bulat, seurat benang pun tiada berkain, lalu ia meneriak Mak
Andeh. Katanya Andeh, Andeh berilah aku kain kerana aku sudah bertelanjang bulat.

Maka Andeh pun pura-pura membuat marah akan Pak Pandir, dengan tutur nistanya dan
carut-capainya akan Pak Pandir seraya membuka pintu. Maka dilihatnya Pak Pandir bercekup
kemaluan dengan tangan sahaja. Maka Mak Andeh pun berkata, kena apa Pak Pandir
demikian kelakuan seperti orang gila pula?

Maka ujar Pak Pandir, itulah Andeh, malam tadi kularangkan jangan disebut nama binatang
yang aku takut itu, nyaris lagi aku tidak dimakannya sekadarkan dikejarnya sahaja. Lihatlah
badan aku calar- balar di makan oleh duri, habis luka seluruh tubuhku ini. Maka Mak Andeh
pun tertawa didalam hatinya sahaja melihatkan hal Pak Pandir itu, lalu segera diberinya kain.
Setelah Pak Pandir berkain, barulah ia naik kerumah serta dibuangkan oleh Mak Andeh
segala duri yang ada pada tubuh Pak Pandir, lalu dibubuhnya ubat pula, dan Pak Pandir pun
demam. Maka oleh Mak Andeh dihantarkannya, nasi kehadapan Pak Pandir lalu makanlah ia.

Telah selesai daripada itu, keduanya pun tidurlah. Telah datang keesokan hari, Mak Andeh
pun bangunlah bertanak nasi, seraya dikeluarkannya ikan salai itu empat ekor, dua diberikan
kepada Pak Pandir dan dua di tindihnya dibawah pehanya. Maka Pak Pandir. Maka Pak
Pandir pun mengisut pergi makan. Keduanya pun makanlah. Maka Pak Pandir makan baharu
dua tiga suap, ikan salainya pun sudah habis. Maka kata Pak Pandir, Andeh, Andeh berilah
aku lauk sedikit. Lauk aku sudah habis.

Maka jawab Mak Andeh, ku pun sudah habis juga. Ujar Pak Pandir, ada ku tengok di bawah
di bawah paha Andeh itu. Kata Mak Andeh, yang aku makan ini daging paha aku, bukannya
ikan salai. Maka Pak Pandir pun segeralah mengambil goloknya menghiris daging pahanya
serta dibakarnya, diperbuatnya lauk. Telah dilihatnya oleh Mak Andeh akan kelakuan Pak
Pandir itu tersanglah heran dihatinya. Lepas makan Pak Pandir pun makin sangat demamnya,
bertambah oleh bentan luka yang diirisnya itu. Kemudian diubati Mak Andeh segala luka Pak
Pandir itu. Tiada berapa lamanya dengan takdir Allah ta`ala, sekalian penyakit Pak Pandir itu
pun sembuhlah seperti sediakala.

Sekali peristiwa. Pak Pandir pergi hendak melihat ikan salainya yang tertinggal lagi itu. Maka
beberapa kali dicubanya hendak pergi ketempat itu tiada juga berani oleg disangkanya kalau-
kalau ada lagi binatang yang hinggap di tengah belakang itu mengendapkan dia disitu. Maka
dengan hal yang demikian tiadalah jadi Pak Pandir pergi kesitu, lalu Pak Pandir pergi
mencari getah kayu lembu jawa kedalam hutan yang lain. Telah dapat lalu dibawanya pulang
ke rumahnya serta dimasaki di campurkan dengan ramuan yang lain. Telah sudah
dimasukkannya kedalam tabung buluh getah itu. Maka Pak Pandir pun berjalanlah membawa
getah setabung bersama dengan puris nyior secekak, masuk kedalam hutan mencari tempat
yang banyak burung hinggap.

Ada seketika bertemulah Pak Pandir sepohon ara yang terlindung rending serta dengan lebat
buah-buahan sedang masak. Maka banyaklah sekalian burung-burung berhimpun memakan
buah itu. Maka terlalulah sukacita Pak Pandir, seraya ia berfikir, sekalian ini paksa
terkukurlah mendapat padi rebah. Tak dapat aku makan ikan tak usahlah asalkan aku kenyang
makan burung pula sudahlah.
11. ARTINYA
Nah, ketika Pak Pandir mendengar suara itu, tanpa sadar dia menjatuhkan dirinya dari pohon
dan dengan jeritan melolong, tak terhitung mengalir langsung ke hutan sampai seluruh
tubuhnya dikonsumsi oleh kait dan duri, berlumuran darah. dan pakaiannya robek. Jadi dia
melarikan diri secara ilegal dan tidak pernah melihat ke belakang. Begitu Mak Andeh melihat
perilaku Tuan Pandir, ia membuat suaranya menjadi lebih kuat. Jadi dia mendengar Pak
Pandir, merasa bahwa binatang itu ada di belakangnya. Dia bahkan lebih kuat untuk berlari.

Kemudian, ketika Pak Pandir meninggal, Mak Andeh pergi ke pohon tempat Pak Pandir
tumbang dan mengambil semua ikan yang telah diambil oleh Pak Pandir. Ini masih sore.
Ibumu bahkan menyiapkan nasi Pak Pandir. Di masa depan, Pak Pandir tidak akan kembali.
Hatta, itulah kisah Pak Pandir melarikan diri. Hingga taraf tertentu ia melangkah lebih jauh
untuk mendengar suara "Tok tok kai serong barong". Kemudian dia berhenti sejenak, lelah
dan lelah, dan berjalan perlahan bangkit. Atas takdir Allah, Tuan Pander kembali ke
rumahnya, mengenakan dammar, dengan benang bundar, telanjang, dan dia berteriak pada
Mak Andeh. Anda berkata, Anda memberi saya kain itu karena saya telanjang bulat.

Jadi Anda berpura-pura marah pada Tuan Pandir, dengan kata-katanya yang menghina dan
menghina Tuan Pandir saat ia membuka pintu. Lalu dia melihat Tuan Pandir menyambar alat
kelaminnya hanya dengan tangan. Jadi Mak Andeh berkata, bagaimana jika Pak Pandir
berperilaku seperti orang gila?

Kemudian kata Pak Pandir, yaitu Andeh, tadi malam saya bilang padanya untuk tidak
menyebutkan nama binatang yang saya takuti, dia hampir tidak memakannya hanya untuk
dikejar. Lihatlah tubuhku dimakan duri, seluruh tubuhku terluka. Jadi Mak Andeh tertawa di
dalam hatinya hanya untuk melihat Pak Pandir, dan segera memberinya sehelai kain. Setelah
Tuan Pandir meninggal, ia pergi ke rumah dan Mak Andeh memindahkan semua duri yang
ada di tubuh Tuan Pandir, kemudian meresepkan obat lagi, dan Tuan Pandir mengalami
demam. Jadi dia mengirim Mak Andeh, nasi di depan Pak Pandir dan dia memakannya.

Setelah itu, keduanya tertidur. Keesokan harinya, Mak Andeh bangkit dan membawa beras,
dan ia membawa ikan berekor empat, dua ke Pak Pandir dan dua ke bawahnya. Lalu Pak
Pandir. Jadi Pak Pandir mengisap dan pergi makan. Makan keduanya. Jadi Pak Pandir makan
dua gigitan baru, dan ikan asin itu hilang. Kemudian berkata Tuan Pandir, Andeh, Anda
memberi saya beberapa lauk. Lauk saya hilang.

Lalu Mak Andeh menjawab, aku sudah selesai juga. Pak Pandir berkata, saya melihat di
bawah paha Anda. Mak Andeh berkata, yang aku makan adalah pahaku, bukan ikan asap.
Jadi Pak Pandir segera mengambil guntingnya dan mengiris pahanya dan membakarnya, dan
membuat lauk pauk. Mak Andeh telah melihat perilaku Tuan Pandir bingung. Bahkan setelah
makan Tuan Pandir dia demam, yang diperburuk oleh bekas luka yang dia potong. Mak
Andeh kemudian menyembuhkan luka Tuan Pandir. Tidak peduli bagaimana nasib Allah
ta`ala, semua penyakit Pak Pandir disembuhkan seperti biasa.

Satu saat. Tuan Pandir pergi menemui salmon yang tersisa. Berkali-kali ia mencoba pergi ke
tempat itu dan tidak berani berpura-pura ada binatang lain di tengahnya yang menahannya di
sana. Jadi Tuan Pandir tidak mungkin pergi ke sana, dan Tuan Pandir mencari karet melati di
hutan lain. Dia kemudian bisa membawanya pulang dan dikonsumsi dengan bahan-bahan
lainnya. Itu telah dimasukkan ke dalam tabung bambu karet. Jadi Pak Pandir pergi dengan
karet gelang bersama-sama dengan puritan untuk masuk, ke hutan mencari tempat bagi
banyak burung untuk menetap.

Ada suatu saat ketika Tuan Pandir bertemu dengan pohon ara yang berombak dan banyak
buah di dalamnya. Dan sejumlah besar burung berkumpul untuk mengambilnya. Senangnya
adalah kebahagiaan Tuan Pandir, karena menurutnya, semua ini memaksanya untuk
mendapatkan beras yang jatuh. Saya tidak bisa makan ikan selama saya cukup makan burung.

Jadi Pak Pandir segera memanjat pohon ara memegang karet di semua cabang dan ranting.
Begitu dia turun dia menyembunyikan dirinya. Untuk sementara, sekelompok teman burung
datang ke pohon untuk memakan buahnya. Begitu pula dengan karet Tuan Pandir, sesuatu di
kakinya ada di sayapnya, jatuh beragam. Lalu ia mengambilnya, mengikatnya dengan tali dan
melilitkannya di pinggangnya.
Pandir membuat hingga lima ratus ekor tali di sekujur tubuhnya, dan mengikat paha dan siku
serta kepalanya sehingga tubuhnya tidak lagi terlihat oleh semua burung. Ketika semua
burung merasa dia diikat di kakinya, dia mengepakkan sayapnya dan terbang menjauh.

Jadi Pak Pandir menerbangkannya ke udara, beberapa kali Pakir ingin pergi tanpa bisa.
Kemudian dia membungkam dirinya sendiri, di mana burung itu baru saja terbang. Jadi itu
malam, dan bulan bersinar selama empat belas hari.
Jadi sudah takdir Allah bahwa Pak Pandir diterbangkan oleh burung-burung dan telah
menjadi raja Shah Malim. Tuan-tuannya melihatnya, dan yang membuat mereka heran, ia
berlari ke sini, karena mereka mengira itu adalah hantu hantu atau dewa terbang. Sesaat
kemudian, burung itu menjadi lelah dan jatuh di atap istana Raja Shah Malim. Jadi Tuan
Pandir sangat sakit pada sendi-sendi anggotanya dengan menabrak atap. Dan ketika dia
mengingatnya, dia mengetuknya di tali-tali burung, menyebarkannya. Dan semua burung di
udara berakhir, dan semua orang yang lelah dengan penyakit mereka berakhir.

Tuan Pandir sudah memanggil dengan suara keras. Jadi itu terdengar, dammar, kandil, raja
Mambang turun, tiga kali berturut-turut, dan itu terdengar.

Kemudian dengarkan ibu wali Dang Lela. Kemudian tawarkan padanya segera. Kemudian
raja berkata, Jika Anda siap untuk melakukannya, saya akan mengambil Raja Bambu yang
akan menjadi menantu saya, karena saya bermaksud untuk membantunya.

Jadi nyonya rumah sang Putri pergi tidur, dan dia turun dengan semua pelayannya di atas atap
istananya, dan dia memang lelaki di atas atap. Lalu dia berkata, ambil tangga. Atur di sini
untuk turun.

Dan ketika dia menelepon, dia berkata: Anakku, Raja Mambang, silakan turun dan dapatkan
ayahnya.

Kemudian bajingan Pak Pandir turun ke bawah untuk menjemputnya. Jadi dia
mengambilnya, menyerahkannya kepada ibu wali wanita itu, dan memberinya irisan jeruk
nipis, syal untuk Raja Mambang. Dia telah berjanji untuk menikahi putrinya sendiri Dang
Lela dalam kegelapan juga, karena Raja Mambang tidak dapat disentuh oleh api. Itu sudah
menikah dan ditahan. Jadi sang putri berlari keluar untuk duduk bersama pengasuhnya.
Beberapa dibujuk oleh tuan rumah dan nyonya istana tidak ingin sang Putri bergabung
dengan Raja Mambang.

Hatta, setelah beberapa jam siang hari, hujan turun. Jadi Pak Pandir bersandar di bantal besar
sambil menggerutu perlahan. Dia berkata, oh, hujan sore ini jika perutmu enak. Ketika hujan
berangsur-angsur meningkat, begitu pula keluhan Tuan Pandir. Seiring waktu, Pak Pandir
mengeluh kepada pengasuh sang Putri dan menyerahkannya kepadanya.

Ketika dia mendengar ini, dia sangat marah, dan menyuruh hambanya untuk mengambil
kepala bajingan itu dari tenggorokan dan menyeringai ketika dia mengklaim bahwa Raja
telah berbohong kepadanya. Demikianlah para raja melakukan seperti yang dikatakan raja.
Mereka memasuki ruang kontes di mana Putri menangkap Tuan Pandir, dan menyeretnya ke
bawah. Dan Tuan Pandir terkejut dan menangis sambil berteriak minta tolong pada Mak
Andeh. Jadi rakyat melakukan apa yang diperintahkan raja. Pak Pandir sudah terlempar ke
hutan. Kemudian mereka kembali dan menawarkan kepada raja semua hal ini. Dia bahkan
memiliki beberapa kesengsaraan dan rasa malu dari Tuan Pandir, tetapi dia tidak pernah
mengusulkan untuk membawa Tuan Pandir untuk menikahi putrinya.

Itu yang dikatakan Pak Pandir. Mereka telah dilemparkan ke hutan, dan dia menangisi rasa
lapar dan haus mereka, dan dengan kelelahan, mereka melanjutkan perjalanan. Untuk
beberapa waktu dengan takdir Allah, ia kembali ke rumah. Kemudian Mak Andeh duduk di
pintu. Ketika dia melihat Tuan Pandir dia bertanya, apa yang salah denganmu, Tuan Pandir
seperti wajah dari rasa sakit yang kulihat dan kulit kepala tergores?

Kemudian Pak Pandir menjawab, ini adalah ketergantungan saya. Kemudian dia
menceritakannya dari awal hingga akhir. Dan Mak Andeh sangat marah pada Tuan Pandir,
dan membawanya ke rumahnya, memperbaiki kulit kepala Tuan Pandir, membubuhkan obat,
dan membungkusnya dengan kain. Jadi Tuan Pandir berbaring untuk mengistirahatkan
lukanya selama sekitar dua bulan dan tidak pergi ke mana-mana.

Dalam kasus ini, luka Tuan Pandir disembuhkan. Jadi dia mengatakan pada Mak Andeh
untuk mendapatkan persediaan, karena dia ingin naik siapa pun yang akan berlayar, karena
dia ingin melihat negara. Jadi Mak Andeh membuat sekitar dua belas ons air, kotoran, dan
sebagainya.

Setelah Mak Andeh berkata, kapan kamu pergi? Saya ingin pergi mencari sayuran di musim
gugur. Lalu kata Tuan Pandir, apakah saya akan pergi sekarang? Saya akan pergi mencari
sayuran di gudang dan dalam waktu tujuh hari ketika senapan ditembakkan, alamat saya akan
keluar berlayar. Persiapkan diri Anda, sapu sampah dan buang semua sampah di rumah kami.

Ketika dia memesannya, Mak Andeh juga memberikan seratus rupee kepada Pak Pandir dan
dia pergi mencari sayuran. Kemudian Pak Pandir mengepak gerobak makanan dan makan
dua botol. Dia bahkan diam. Segera setelah Mak Andeh kembali dan memiliki anak-anak dan
memeluk serta makan sambil mengeluh, dia sudah berlayar untuk Pak Pandir.

Maka itu akan segera malam. Kemudian Mak Andeh tidur sendirian. Jadi kata-kata Pak
Pandir yang memakan kue keluar sebentar. Dan mulut tikus itu memakan mulutnya, dan dia
bersedih hati, lidahnya dijilat, dan lidahnya dipukul, dan dia menjadi manis. Itu bahkan bukan
urusan Tuan Pandir. Itu juga makan sampai gusi dibiarkan sendiri.

Hatta, sudah tujuh hari, dengan takdir Allah. Tuan Pandir bahkan bersin. Lalu Mak Andeh
berpikir. Itu, tentu saja, suara senjata yang ditembakkan. Kemudian dia segera menyapu
sampah ke bawah dan ke atas rumah. Kemudian Mak Andeh membuang ladang milik
mereka. Terkejut Pak Pandir ketika dia melompat, dia berkata, saya bukan siapa. Kemudian
dia melihat wajah Mak Andeh dan berkata. Hai dan lihat apakah ada sesuatu.

Asal mula sumpah adalah bahwa Tuan Pandir akan mengambil sumpah dan kemudian
menyuapnya dengan sapu. Jadi Tuan Pandir turun dari kerumunan dan berkata, "Yah, bahkan
tidak ada Mak Andeh dan mulutnya berdering." Kemudian Mak Andeh ngeri melihat bahwa
itu terlalu buruk.

Lalu suatu hari Mak Andeh berkata, aku akan membuat ladang Pak Pandir, menunggu kami
di rumah kami. Kemudian Pak Pandir berkata saya ingin mengurangi dan menebus dengan
Anda. Ibumu bilang ya.

Jadi mereka berdua berangkat kerja dari pagi. Setelah tengah hari mereka berdua berhenti di
pondok. Mak Andeh berkata kepada Tuan Pandir, kamu pulang, dapatkan api supaya kita bisa
punya anak di sini. Sulit untuk pulang, terlalu jauh.
Lalu Pak Pandir berkata, "Yah, kamu, tapi bakar aku dulu. Mak Andeh kemudian berkata
bahwa Tuan Pandir pergi untuk mendapatkan api terlebih dahulu.
Kemudian Pak Pandir menjawab, saya tidak mau, jika Anda tidak membakar pisang, saya
tidak mau. Begitu juga Pak Pandir dan Mak Andeh. Mak Andeh sangat marah sehingga dia
mengambil dua pisang muda dan memotongnya menjadi beberapa bagian. Lalu dia
menunjukkannya pada Pak Pandir. Dia bilang itu nyata.

Pak Pandir kemudian mengambil pisang dan turun ke bawah untuk membawa api ke rumah.
Jadi dia merobek kulit pisang, melihat bahwa pisang sudah matang dan memakannya lagi.
Jadi Pak Pandir berteriak ketika dia berkata, "hei, kamu bahkan tidak memiliki root." Ketika
dia berjalan kembali ke rumah dia mengambil api dan kembali ke Mak Andeh dengan air
mata di matanya menunjukkan pisang. Dia mengatakan bahwa kamu harus membawanya.
Berkali-kali.

Andeh mendengarkan erangan Tuan Pandir di dalam hatinya, tertawa karena takut Tuan
Pandir marah. Lalu Mak Andeh berkata, baiklah, aku bisa memberi tahu yang lain, jangan
berisik, Pak Pandir. Segera setelah Mak Andeh menyalakan api, dia melahirkan putranya dan
dia juga membakar pisang Tuan Pandir. Itu dimasak, ditunjukkan kepada Pak Pandir pisang,
sedan dua butir hangat. Dia disambut oleh Tuan Pandir dan kemudian dimakan tanpa
mengupas kulitnya lagi dan menelannya utuh. Setelah pisang mencapai perut Pandir, dia
koma dan tidak meninggalkan jejak. Ada saat ketika Tuan Pandir kembali ke tanah keabadian
dan dimakamkan oleh Mak Andeh di bawah lesung beras.

Jadi Mak Andeh hidup sendirian dengan kesedihan cintanya. Sekitar tiga bulan kemudian
Mak Andeh sakit dan mati.

Anda mungkin juga menyukai