Anda di halaman 1dari 8

CERITA JENAKA

Cerita jenaka adalah cerita yang jenaka. Jenaka diterangkan oleh KBBI sebagai
“membangkitkan tawa, kocak, lucu: mengelikan”. Tetapi R. J. Wilkinson di dalam kamusnya
A Malay English Dictionary menerangkan bahwa jenaka juga berarti “wily, full of strategm”
(cerdik, berakal, dan tahu ilmu siasat). Ringaksnya cerita jenaka adalah cerita tentang tokoh
yang lucu, menggelikan atau licik dan licin.
Cerita jenaka ini lahir karena kecenderungan manusia yang suka berlebih-lebihan:
misalnya untuk menceritakan kebodohan manusia terciptalah tokoh yang bodoh sekali seperti
Pak Pandir: untuk menceritakan kemujuran manusia, muncullah pula tokoh yang mujur sekali
yaitu Pak Belalang. Seterusnya masih ada tokoh yang licik sekali seperti Si Luncai, yang
malang sekali seperti Lebai Malang dan yang lucu sekali seperti Abu Nawas dan sebaginya.
Cerita jenaka ini sebenarnya adalah bahagian dari sastra dunia. Di dalam sastra Jerman
dan Belanda terkenal tokoh yang diberi nama Uilenspiegel yaitu uli (burung hantu) dan spiegel,
cermin, dalam sastra Arab-Turki, ia bernama Jaha atau Khoja Nasreddin, dalam sastra Arab-
Parsi, Abu Nawas. Dalam sastra Nusantara, orang Bataklah yang paling banyak mengenal
tokoh-tokoh jenaka, di antaranya Ama ni Pandir, SI Lahap, Si Bilalong, dan Si Jonaha atau
Jonaka. Tetapi tokoh yang paling terkenal iala Kebayan yang terdapat dalam sastra Sunda.
Kebayan sesungguhnya merangkumi semua ciri cerita jenaka. Ada kalanya ia bodoh sekali;
ada kalanya ia licik, dan ada kalanya pula ia mujur dan selamat dari bahaya yang
mengancamnya. Dalam sastra Jawa, cerita Jenaka kurang berkembang, mungkin karena di
dalam wayang sudah ada tokoh Semar, Petruk, dan Nala.
Gareng yang banyak persamaannya dengan tokoh-tokoh dalam cerita jenaka. Walaupun
demikian, orang Jawa mempunya tokoh jenaka juga yaitu Pak Pandir, Joko Dolog, dan Joko
Lelur. Di bawah ini diberi ringkasan dan ulasan lanjut tentang 9 tokoh jenaka di dalam sastra
Melayu. Lima di antaranya, yaitu Pak Kaduk, Pak Pandir, Lebai Malang, Pak Belalang dan Si
Luncai sudah diterbitkan dalam satu kumpulan cerita yang berjudul Cerita Jenaka {MLS 6}.
Kebanyakan cerita ini, kecuali Abu Nawas adalah cerita yang muncul di Nusantara. Walaupun
demikian, R. O. Winstedt berpendapat bahwa hampir semua cerita jenaka ini berasal dari India.
1. Pak Kaduk
Adalah orang tua yang sangat dungu dan sangat tolol. Pada suatu hari, ia pergi
menyabung ayam. Ayamnya menang, tetapi kampungnya tergadai. Karena
sebelumnya, ia sudah menukarkan ayamnya dengan orang lain, yaitu raja. Sekali
peristiwa, Pak Kaduk menerima dua undangan, satu ke hilir dan satu ke hulu. Karena
dungu dan tamaknya, ia berkayuh ke mudik dahulu sehingga kedua-dua jamuan ini
tidak dapat dihadirinya. Ketika disindir istrinya, ia memukul istrinya yang segera rebah
lalu mati.
2. Lebai Malang
Ialah seorang penduduk kampung yang sangat adab lagi santun. Ia pandai
mengaji pula. Pada suatu hari, ia menerima tiga undangan; satu melewati orang mati,
kedua melawat orang khatam pengajian, dan ketiga menghadiri orang berzikir. Ia
mengambal masa yang panjang sekali untuk menentukan ke mana dahulu. Akhirnya ia
mengambil keputusan akan melawat orang mati, karena sabda junjungan: dahulukan
“kerja wajib daripada kerja lain”. Tetapi sudah terlambat. Ketika ia sampai jamuan
sudah bersurai. Demikian juga undangan yang kedua dan ketiga. Ia hanya berhasil
mendapatkan sebungkus lempeng untuk dibawa pulang ke rumah. Di tengah jalan,
lempengnya digonggong anjing. Sewaktu mengejar anjing, bajunya dicuri orang pula.
Ia pulang dengan bertelanjang ke rumah dan dipukul oleh istrinya.
3. Si Luncai
Adalah seorang anak yatim piatu miskin. Pada suatu hari, ia membuat kesalahan
besar di hadapan raja, yaitu menyamakan sifat raja dengan sifat ayahnya. Ia ditangkap
dan dimasukkan ke dalam hono untuk kemudian dihanyutkan. Tetapi ia berhasil menipu
seorang mamak India masuk ke dalam goni. Dengan mengenakan pakaian mamak
India,ia kembali ke negerinya. Ia mengakui sebagai malaikat si Luncai yang datang dari
dunia akhirat. Banyak tipu muslihatnya terhadap raja dan sekalian menteri. Akhirnya,
raja dibunurnya. Ia naik kerajaan dan menikahi puteri raja pula. Tetapi ia sendiri
dibunuh oleh puteri raja yang rupa-rupanya sudah tahu segala tipu muslihatnya.
4. Pak Pandir
Tersebutlah perkataan Pandir dan istrinya, Mak Andeh tinggal di dalam sebuah
hutan, adapun Pak Pandir itu tersangat bodoh serta dengan dungunya. Hatta anak
perempuan mereka pun mendapat sakit guam serta dengan demamnya. Mak Andeh lalu
menyuruh Pak Pandir untuk menangkap belalang untuk dijadikan sebagai umpan
menangkap ikan. Tetapi yang dijadikan umpan Pak Pandir adalah seekor rusa.
Kebodohan Pak Pandir kadang-kadang mengejutkan orang. Sekali peristiwa, dia
disuruh memandikan anak dalam air pesam, tetapi dimasukkannya anak itu ke dalam
air yang menggelegak. Bila anak itu sudah mati, menyeringai gusinya serta mengelupas
kulitnya, dia masih berkata: “Amboi, sukanya anakku mandi air panas rupanya”. Hanya
sesuah istrinya memberitahu bahwa anak mereka sudah mati, baru dia menangis serta
menghempaskan kepalanya pada segenap bendul seperti orang gila lakunya. Hatta dia
pun disuruh pergi menguburkan anak itu. Anaknya tercicir di tengah jalan dan dijumpai
dalam perjalanan pulang. Pak Pandir lalu berkata: “Ada pula orang yang serupa
nasibnya dengan untungku”.
Selang berapa lamanya, Mak Andeh menyuruh Pak Pandir pergi membeli kerbau
guna mengendurikan anak mereka. Kata Mak Andeh, kerbau ialah yang meragut-ragut
rumput. Tetapi yang dibeli ialah keri (sabit kecil). Untung perempuan tua tempat Pak
Pandir membeli keri bersedia memberikan kerbau yang betul, bila Pak Pandir datang
menukarnya. Hatta Mak Andeh pun sibuk memasak lauk dan nasih berpuluh-puluh
kawah dan kancah. Maka Pak Pandir pun disuruh pergi menjemput haji dan lebai.
Dijelaskan Mak Andeh bahwa “haji itu berserban di atas kepalanya dan lebai itu
berjanggut di bawah dagunya”. Tetapi yang “dijemput” Pak Pandir ialah seekor
kambing dan burung pipit. Maka dengarlah bunyi sumpah seranah Mak Andeh akan
Pak Pandir.
Sekali lagi Pak Pandir disuruh pergi memanggil Datuk keramat jin Islam tetapi
yang diapnggilnya ialah nenek gergasi. Biarpun begitu, Pak Pandir mempunya akal
juga untuk menyelamatkan dirinya. Ketika disuruh mengantar makanan kepada anak
gergasi, anak gergasi itu diasaknya dengan tulang kerbau sehingga mati. Tatkala gergasi
itu hendak mengejar mereka yang sudah menyeberang ke seberang sungai, dia berhasil
menipu kedua gergasi itu masuk ke dalam tempayan dan menudungnya dengan daun
birah. Tatkala kedua gergasi itu menumbuk daun birah tutup tempayan itu. Daun birang
itu pecah dan air pun masuk ke dalam tempayan. Maka kedua gergasi itu pun matilah.
Pak Pandir dan Mak Andeh lalu pergi ke rumah gergasi itu dan mendapat harta benda
yang banyak sekali.
Sekali peristiwa, Mak Andeh hendak kenduri akan datuk nenek, kaum keluarga
serta anak mereka yang sudah mati. Semua perkakasnya sudah ada, hanya garam saja
yang tiada. Pak Pandir lalu disuruh pergi mencari garam ke kampung. Setelah mendapat
sekarung garam, Pak Pandir pun pulanglah. Dalam perlanan pulang, perutnya beras
senak hendak buang air. Maka dicarinya tempat untuk menyembunyikan karung garam
itu, waktu dia kadak hajat. Karena tiada tempat yang sesuai, akhirnya karung garam itu
disembunyikannya di dalam sebatang anak sungai. Tetapi, ketika Pandir hendak
mengambil karung garamnya semula, garam itu sudah menjadi air.
Sejak itu, Mak Andeh tidak mau lagi menyuruh Pak Pandir membuat sebarang apa
pekerjaan. Maka Pak Pandir pun pergilah membawa dirinya sendiri dan berbuat kerja
mengikut sukanya. Pada suatu hari, Pak Pandir pun menebang buluh membuat lukah.
Lukah itu ditahannya di suatu alur di dalam empang. Bukan main banyak ikan yang
ditangkap Pak Pandir. Ikan-ikan itu disalai dan diratahnya. Yang lebihnya dimasukkan
ke dalam karung, digantungkan pada pohon kayu. Sejak itu, Pak Pandir selalu tidak
mau makan di rumah. Kalau ditanya, jawabnya sudah kenyang makan buah-buah kayu
di dalam hutan. Akhirnya rahasia Pak Pandir meratah ikan salai di atas pohon. Mak
Andeh pun membuat bunyi tok-tok-kai yang sangat ditakuti Pak Pandir. Maka Pak
Pandir pun mencampakkan diri dari atas pohon lalu berlari pontang-panting pulang ke
rumah. Habislah seluruh tubuhnya dicangkok oleh onak dan duri, sehingga berlumuran
dengan darah. Kain bajunya pun habis koyak rabak. Maka segala ikan salai Pak Pandir
pun diambil oleh Mak Andeh.
Selang berapa lamanya, Pak Pandir pun membawa getah setabung ke dalam hutan
menangkap burung. Getah itu ditahannya pada segenap dahan dan ranting pohon ara.
Banyak burung yang terkena getah itu dan jatuh ke tanah. Burung-burung itu dipungut
Pak Pandir, diikat dengan tali, lalu dibelitnya pada pinggang. Dengan demikian, ada
lima enam ratus ekor burung yang diikatnya pada tubuhnya, sehingga tiada kelihatan
lagi tubuhnya, karena diliput burung-burung itu. Maka burung-burung itu pun
menggelupur, mengembangkan sayapnya lalu terbang dan Pak Pandir pun diterbangkan
burung-burung itu ke udara. Dengan takdir Allah, burung-burung itu pun sampailah ke
kampung Raja Syah Malim. Pak Pandir mengaku dirinya sebagai Raja Mambang dan
dinikahkan dengan Tuan Puteri Lang Lela. Biar pun begitu Tuan Puteri tiada mau
beradu dengan Raja Mambang. Hatta Pak Pandir pun membocorkan rahasia dirinya dan
diusir keluar dari istana, kulit kepalanya disekrupkan ke muka. Dalam keadaan yang
demikian, Pak Pandir pun berjalan pulang ke rumahnya.
Sekali peristiwa, Pak Pandir menolong istrinya Mak Andeh membuat huma di
hutan. Tatkala disuruh pulang ke rumah mengambil api, Pak Pandir meminta
dibakarkan pisang dahulu. Oleh karena geram hati, Mak Andeh memberikan pisang
yang sedang panas-panasnya kepada Pak Pandir. Pisang itu ditelah Pak Pandir bulat-
bulat dengan tidak mengupas kulitnya. Hatta Pak Pandir pun menghempas pulas ke
sana ke mari tiada berkententuan lagi. Maka Pak Pandir pun kembalilah ke negeri yang
kekal. Maka tinggallah Mak Andeh seorang diri dengan duka percintaannya. Ada kira-
kira tiga bulan, Mak Andeh pun sakit lalu mati. Demikianlah ceritanya.
5. Pak Belalang
Tersebutlah perkataan seorang peladang tiga beranak: anaknya laki-laki
dinamainya Belalang. Oleh sebab itu, semua orang memangil peladang itu Pak
Belalang. Adapun Pak Belalang tiga beranak itu sangat miskin kehidupannya, hampir-
hampir tiada apa yang boleh dijadikan makanan.
Pada suatu hari, Pak Belalang mendapat suatu akal untuk memperoleh makanan.
Disuruhnya anaknya pergi menyembunyikan kerbau orang yang sedang menenggala di
bendang; kemudian mengkabarkan bahwa dia pandai bertenung mencari tempat itu. Si
Belalang berbuat seperti suruhan bapanya. Dengan demikian, Pak Belalang pun
mendapat makanan daripada beras, padi, tembakau dan ikan sebagai hadiah. Maka
masyhurlah nama Pak Belalang sebagai orang yang pandai bertenung.
Sekali peristiwa, raja di dalam negeri kehilangan tujuh biji peti berisi emas, intan,
dan lain-lain mata benda yang mahal harganya. Pak Belalang lalu dipanggil untuk
menenungkan harta itu dengan ancaman akan dibunuh, kalau Pak Belalang tidak
berhasil. Maka Pak Belalang pun berjalan ke rumahnya. Dia berbaring di tengah rumah
sambil menghitung roti yang sedang dimasak istrinya di dapur. Dia mendengar bunyi
roti kena minyak di dalam kuali, dan berkata “satu”, membilang roti. Dengan takdir
Allah, pada ketika itu juga kepala pencuri masuk di halaman Pak Belalang. Tatkala Pak
Belalang menghitung “tujuh”, ketujuh orang pencuri semuanya sudah masuk ke
halaman Pak Belalang. Pencuri-pencuri itu ketakutan. Pada sangka mereka, pastilah
Pak Belalang sudah tahu mereka yan mencuri harta baginda. Mereka lalu masuk
berjumpa Pak Belalang dan mengaku salah. Dengan demikian, Pak Pandir pun lepaslah
dari “bahaya” yang mengancamnya dan mendapat hadiah yang banyak sekali. Baginda
juga menggelarinya Ahli Nujum.
Hatta datang pula dua orang nahkoda; seorang membawa itik dan meminta
mengenalkan jantan betinanya; seorang lagi membawa kayu yang licin buat dan
memintakan baginda menentukan ujung pangkalnya. Kedua teka-teki ini diselesaikan
Pak Belalang dengan cara yang kebetulan sekali: dia mengayuh mendekati kapal-kapal
itu dan mendengar jawabannya dari nahkoda kapal pada tenah malam. Sekali peristiwa,
istri anak raja di negeri Askalan Rum yang baru kawin tujuh hari hilang dicuri oleh jin.
Pak Belalang lalu dijemput ke negeti itu untuk mencari istri anak raja yang hilang.
Berkat bantuan Nabi Khidir yang datang kepadanya dalam mimpi, dia berhasil juga
melaksanakan tugasnya, dan dikurnia harta benda yang banyak.
Sekali lagi Pak Belalang diancam dengan ancaman bunuh, kalau dia tidak dapat
menerka apa yang di dalam genggaman baginda. Pak Belalang tidak dapat menerka.
Pada perasaan hatinya, matilah ia kali ini. Sambil menangis mengenang anaknya yang
bernama Si Belalang, dia pun berkata, “Matilah aku, tinggallah, anakkau, Belalang.”
Yang di dalam genggaman baginda itu kebetulan ada seekor belalang. “Maka Pak
Belalang pun pulang ke rumahnya seraya berpikir di dalam hatinya: “Jikalau demikian
halnya, baiklah aku bakar rumah ini supaya boleh kukatakan surat-surat ilmuku
terbakar sekali dan supaya sentosa kehidupanku, tiada diperiksa baginda lagi”. Maka
pada malam hari, Pak Belalang pun membakar rumahnya dan berkata bahwa surat ilmu
nujumnya sudah terbakar dan dia tiada boleh menjadi ahli nujum lagi. Maka Pak
Belalang pun tiada bekerja lagi, dikaruniai oleh baginda belanja dengan secukupnya.
Tjerita Pak Belalang yang terkenal di daerah Kinangkabau dan diterbitkan oleh
A. F. Von Dewall itu pada garis besarnya sama seperti ringkasan yang disajikan di atas.
Hanya saja pada permulaannya dikatakan: Apabila seorang mendapat suatu keuntungan
dan barang sebagainya yang tiada disangka-sangka atau jika seorang lain
memperolehnya dengan mudah, itulah yang diumpamakan : mujur Pak Belalang. Dan
pikiran menyembunyikan barang orang itu datangnya dari Si Belalang dan bukan dari
Pak Belalang. Barang atau benda yang disembunyikan itu bukan kerbau melainkan kain
anak gundik raja. Cerita anak raja yang istrinya dicuri jin itu tiada terdapat dalam cerita
ini.
Di Semenanjung masih terdapat dua cerita jenaka yang cukup terkenal yaitu Mat
Jenin dan Musang Berjanggut. Mat Jenin ialah cerita tentang orang yang suka berangan-
angan. Pada suatu hari, Mat Jenin mengambil upah memanjat pohon nyiur. Semasa di
atas pokok, Mat Jenin pun berpikir bagaimana hendak menggunakan upahnya itu yaitu
dua puluh lima biji buah nyiur. Nyiur itu akan ditanaknya menjadi minyak, dan dijual
kepada orang banyak. Keuntungan yang diperoleh akan dijual pula untuk membeli
kambing. Sesudah kambing berbiak, akan dijual pula untuk membeli sebuah kapal.
Dengan menumpang kapalnya yang penuh berisi muatan itu, ia akan berlayar ke sebuah
negeri dan berkawhin dengan puteri raja negeri itu. Maka terbayanglah kesukaannya
bergomol dengan istrinya. Maka dengan takdir Allah, tangannya pun terlepas dari
pelepah nyiur itu dan Mat Jenin pun ke bawah langsung mati. Demikianlah isi sebuah
cerita Mat Jenin yang dituturkan oleh Penghulu Mohamed Noordin bin Jaffar dari
Perak. Cerita ini juga terdapat di daerah Sunda dengan Si Kabayan sebagai tokoh
utamanya.
...
6. Hikayat Mahsyodhak
Hikayat Mahsyodhak atau Masyhudulhak juga termasuk dalam cerita jenaka.
Naskah hikayat ini hanya ada dua buah dan kedua-duanya berasal dari masa yang
“recent”, mungkin dari sumber India Selatan. Tetapi kerangka cerita ini sudah terdapat
dalam Maha-Ummaga-Jakata. Nama Mahsyodhak mungkin berasal dari Mahosyoda
yaitu maha dan usvada, artinya obat yang besar. Dalam bahasa Aceh, hikayat ini
berjudul Mehendak. Bagi orang Aceh, Mehedak yaitu tokoh utama dalam cerita ini,
adalah seorang pemimpin yang dicita-citakan, seorang pemimpin idaman.
...
7. Hikayat Abu Nawas
Adalah satu kumpulan cerita jenaka yang berasal dari luar negeri, tetapi sangat
populer di beberapa daerah Nusantara, terutama di kalangan orang santri, sehingga
dianggap sebagai cerita rakyat rantau ini. Biarpun begitu, naskah hikayat ini tidak
banyak dan hanya terdapat di Jakarta dan Singapura.
Ada dua versia cerita ini, satu berasal dari Islam-India dan satu lagi berasal dari
Parsi-Arab. Naskah yang tersimpan di Perpustakaan Kebangsaan Singapura dan yang
dicetak/dicap di Singapura oleh Sulaiman Mari itu adalah berasal dari Islam-India.
Naskah ini berjudul Hikayat Abu Nawas. Versi Parsi-Arab itu berjudul Tjerita Aboe
Nawas dan pernah dicetak oleh Albrecht dan Rusche di Batavia (Jakarta) pada abad
yang lalu.
...
Abu Nawas yang disusun oleh N. St. Iskandar dengan berdasarkan beberapa naskah
dari Museum Pusat Jakarta itu mengandung 20 cerita. Semua cerita dalam Hikayat Abu
Nawas kecuali cerita ke-13 terdapat dalam kumpulan ini. Cerita-cerita lain juga terdapat
dalam Tjerita Aboe Nawas yang ringkasannya sudah lama diterbitkan. Cerita-cerita itu
kebanyakannya bercerita bagaimana Abu Nawas melepaskan diri dari kesukaran.
...
Abu Nawas juga menggunakan kecerdikannya untuk menolong orang yang
teraniaya.
...
Perlu disebut juga di sini ada juga cerita yang menggambarkan Abu Nawas sebagai
penyair yang sangat realistik dan tepat lukisannya, misalnya dua cerita Abu Nawas yang
terdapat dalam Hikayat Bakhtiar, versi panjang yang masih belum diterbitkan. Menurut
sejarah, Abu Nawas memang adalah seorang penyair istana Harun Ar-rasyid yang
syairnya masih dapat dibaca sekarang. Dengan menggunakan syairnya, dia menyindir
orang-orang yang tidak disukainya tanpa memandang bulu. Dia juga suka membuat
kelucuan. Kerap kali dia disiksa dan dianiaya orang yang tersinggung oleh syair dan
kelucuannya. Akhirnya, dalam tahun 810, dia dibunuh orang Baghdad dalam usia 60
tahun.

Anda mungkin juga menyukai