Sekumpulan Puisi
Budi Setiawan
1
Kata pengantar
Sahabat kecilku pernah bertanya kenapa saya suka sekali kepada puisi.
Kenapa begitu banyak kata cinta, dan rindu dalam puisimu. Saya hanya
tersenyum malu waktu itu, tersenyum melihat bibirnya cerewet seperti bibir
seorang ibu yang sedang memberikan wejangan kepada anaknya. Bagi
saya, rindu adalah jalan pulang menuju kenangan. Tempat cinta memeluk
kesepian di kampung halaman. Segalanya yang berkisah dan berkasih itu
kembali dilahirkan.
Dalam buku ini, hampir semua puisi yang saya tulis dari tahun 2015-2019
berbicara tentang (ke)rindu(an), rindu kekasih, rindu ibu, rindu Tuhan, dan
rindu kampung halaman. Makna rindu itu menjadi topik besar yang tidak
akan pernah selesai dibicarakan.
Sebab tanpa rindu, kita tak punya ruang dan waktu untuk kembali
mengenang masa lalu, kita tak punya ruang dan waktu untuk mengenali diri
sendiri yang sebenarnya telah kehilangan apa itu arti dari sebuah kata
mencintai.
2
DAFTAR ISI
3
Rizki kehilangan Doa
Kesaksian Lain dari Bagian-Bagian Tubuhku
Pohon Cinta
Selepas Hujan Reda
Apa Kabarmu, Sri
Rigen
Sebuah Kota yang Kehilangan Manusia
Jihad
Gulai Ayam Cemani
Panen
Burung Blekok
Rumah Ibu
Jenggot Wali
Kunang-kunang di Bukit hatimu
Doa Akhir Tahun
Doa Awal Tahun
Kitab Padi
Membaca Garis Tangan
Mawar Berduri
Kota Santri
Sabda Waktu
Anjing Penghujung Tahun
Ibadah Bulan
Anjing Waktu
Gudeg
Biarkan
Wedang Ronde
Puisi Cinta
Angkringan
Kota Dalam Kepala
Menggambar Kota
Andong
Janur Kuning
Susu Kaleng
Pusing
Selera Indonesia
Sepi
Mengunjungi Ibu
Gubuk di Tengah Kota
Kau Menggali Jiwaku
Layang layang
Di Kampung Halaman Kedu
4
Pasien itu Bernama Rindu
Rumah Kenangan
Suara Rindu
Hutan Keramat
Ketan Gudig*
Rondo Lemu*
Lemper*
Emping Kecis*
Empis-empis*
Wajik*
Ndas Borok*
Marjubi*
5
antara Pandawa dan Kurawa di kurusetra
yang melahirkan luka-dukana.
6
Kedu dalam Perang Baratayudha
7
Begawan Durna Gugur di Kedu
8
Sumpah Gendari Kepada Sengkuni
9
Ayam Cemani di Lumbung Padi
10
Surat Cinta Buat Rindu
Kini,
aku tak tahu lagi harus sapa apa.
Karena aku pun tak tahu kapan suratku bakal kau eja
sekedar lembar pengganti jumpa.
Dan,
11
Bolehkah sejenak kita melupakan jarak
Karena aku akan pulang, meski sekedar sebagai bayangan
Aku ingin mengajakmu kondangan ke Parakan
Mengenakan batik Temanggungan
Yang tawarkan kehangatan dan kerinduan
Di tanah Kedu
Kita akan bahagia
Menyaksikan kuda lumping, topeng ireng, kubro Siswo, dan warokan
Sungguh,
Aku akan pulang, meski sekedar sebagai bayangan
Mengunjungimu, di tanah Kedu
Yang akan tetap menjadi sumber kehidupan
Bagi segala rindu
12
Sebelum Rindu mewarnai langit hatimu
Sebelum rindu mewarnai langit hatimu yang pucat,
Biarkanlah bayangan cinta bermunajat,
bertasbih dan bersholawat
menyusuri sungai-sungai terdalam
melewati laut-laut yang paling curam.
Di mana kau akan temukan sebuah jalan
Pulang yang kemudian ingin sekali
kau tenggelamkan,
pada sauh bibirmu,
bibir hitam-karam itu.
Bibir yang terkikis gelombang pasir
meruntuhkan lukamu
Yang berlari meninggalkan
Nuh diatas perahu hanyut tertelan tulah ragu.
hatimu lebam-tenggelam di dasar samudera,
ikan kesepian yang kau jala pun tak pernah luput dari maut
dan kau harus pulang di mana keajrihanmu ingin sekali
mengajak bercumbu di buhul ingatanmu.
Sementara
Peta air matamu tak sanggup
lagi menyigi, mana air mana api.
Hanya amanat sepi,
yang senantiasa bersemayam di memar pipi.
13
Kehilangan runtuh
Ketika kesedihan melahirkan kita kembali
menjadi bukan siapa-siapa di hadapan sang ilahi
14
Rindu yang Haus Bibirmu
Telah aku tanggalkan tujuh kali
mengelilingi bukit terjanji demi
keajrihan rindumu yang sedang teruji.
Di sini adakah mata-air-mata paling buas
Dari sungai yang kering di rahim sepi.
Selain gerak awang kaki cinta
mengilhami mukjizatnya kemudian
hatimu yang kau tanam beribu luka berseru:
di mana jejak kenangan kini harusku jilati,
ketika payudara ingatan tak lagi mampu
menampung surga dari keluh-kesah
Rindu yang haus bibirmu
Sementara engkau kirim seekor ular
Penyabar
di padang masyar- tempat maut menghadang
jalan pulang sebuah kesepian.
Sedangkan aku hanyalah khafilah
yang terdampar dalam ketergesaan
sebuah pencarian
Sebelum Menemukan farjimu
menutup-mengembang
memporak-porandakan belulang rindu yang yatim piatu itu.
15
Berburu Doa
16
Doa Hari Ini
17
Doa Secangkir Kopi
aku ingin menyeduh doamu yang paling suci
Di hadapan secangkir kopi
masih beraroma sepi
pertemuan bubuk, air panas dan gula
melarutkan rasa cintaNya
kuteguk berulang-ulang
Tiap malam kenangan mengepulkan rindu
Bibirmu meninggalkan candu
di secangkir kopi yang khusyuk berdoa
Semoga kita masih diberikan rasa amin
Di pagi hari yang dingin
18
Rindu
19
Ladang Puisi
Sucikan kami
Dari benih yang mengandung birahi
Di rahim bumi
Sucikan kami
Dari tangan yang nakal menggelitiki
Nasib para petani
Sucikan kami
Dari kaki yang kadung mengamini
Tanah kata-kata sebagai rumah kesepian paling abadi
20
Sucikan kami, penyair
Sucikan kami
21
Manuskrip Kopi
1
Kita bertemu lagi
Lewat puisi
Di kebun kopi
2
Lalu kau memintaku
Jadi matahari
Yang melahirkanmu pagi
3
Tajam tanganmu
Menggores luka
Bibirku menganga cinta
4
Biji-biji kopi terbuka
Di rahim bumi
Kau kembali ku setubuhi
5
Sementara cukup
Kureguk candumu
Yang melumuri rindu
6
Mendidihlah
Sebentar di sela
Dzikir cangkir yang sabar
7
Menunggulah
Hingga senja menyapa
Malam mabuk insomnia
22
8
Pekat dan sekarat
Tuhan bermunajat
Robusta-arabika
9
ziarah wangimu
menggoda takdir
menafsir segala bibir
23
Kisah Ganjil Cinta Kepada Rindu
Dari rantau
Seorang bocah pilu
Mengirim kabar duka
Rindunya di ibukota telah menggenang di mana-mana
Ketika hendak pulang
Menyeberangi kota kelahiran
Mengigaukan ibunya yang sudah menjadi kenangan
Dan sebentar lagi mungkin akan menjelma sabda Tuhan
24
Segelas Kopi Hitam Untuk Ayah
Ni,
25
Kematian Rindu
26
Di luar hujan turun deras
ketika aku sedang mengemas kenangan
dalam cemas kehilangan.
27
Kamar Kosong
28
Di musim semi
hujan sesekali mencair
dari kutub hatimu
menghapus jejak ingatanku yang beku.
Di negeri empat musim ini
Tapi, entahlah
kenapa aku masih tak sanggup berpaling
Barangkali benar
Rinduku lebih dulu kau kutuk
jadi batu
usai salam perpisahan di malam itu.
29
Vihara
30
Madu Rindu
31
Di Seoul Park
Di café itu
Kau duduk sendiri
di dekat kaca jendela
menunggu sesuatu tiba.
Entahlah, mungkin sebuah kabar baik masuk di ponselmu
atau hanya sekedar seorang perempuan
dengan bahasa inggris fasih datang
mengantarkan sebuah menu.
32
dan kau di café itu menjadi asing
tak bisa melihat apa-apa
hanya bayang-bayang kerinduan
Yang dibutakan kesepian.
33
Sembilan Perjalanan Kopi
1
Cinta kita selamanya ngopi, katamu
Jatuh dari langit di cangkir bumi
Sambil mengucapkan selamat pagi
Kepada bibirmu
Masihkah kau sisakan seteguk rindu untukku?
2
Gayo hujan kopi
Usai kita berciuman
Maut di bibirmu membuka pintu jalan
Surga di tanah Tuhan
3
Seorang turis dari eropa
Memetik bulan
Di Kitamani ia ngaben
Atas nama ribuan sepi
Kusebut namamu
Yang tak pernah mati
4
Di Mandailing seekor ular bergelung
Dalam keranjang kosong tak ada buah terlarang
Sebab surga kita ada di bumi
Yang jatuh cinta pada biji biji kopi
5
Kita pergi ke Sidikalang
Di bawa terbang angin kasmaran
Di kutuk Tuhan jadi kekasih insomnia
Yang lupa jalan pulang
6
Aroma tubuhmu tertinggal di Toraja
Secangkir cinta merindu
Kutuang bibirmu
34
Kureguk candu
7
Kau membenci tubuh sepi
Tetapi mencintai lekuk kopi
Aku jatuh cinta padamu
Sebab puisiku buta jalan rindu
8
Temanggung berterima kasih kepada kopi
Puisi berterima kasih kepada sepi
Aku berterima kasih kepada bibirmu
Karena semua sudah berkumpul
Mari lekas katakan ijab kabul
9
Kau menikahi biji-biji kopi
Yang jatuh cinta padaku
Aku mencintaimu
Robusta-arabika
Ziarah wangimu
Menafsir takdir
Dari segala bibir
35
Persetubuhan Kopi
1/
Persetubuhan kita malam itu
Hanya meninggalkan berahi candu
Pada sepasang bibir yan merindu
2/
Aku melihat bulan telanjang
Di tubuhmu yang dingin
Seorang kekasih berbahagia
Merayakan jarak cintanya
Menyisakan kekosongan
Yang memabukkan
3/
Sebelum kembali kulecuti
Sisa nafasmu membelenggu
Dalam pekat yang sekarat
Pagi datang
Mengantarkan sebuah ingatan
Yang selalu kita tuang tiap malam-malam
Berpulang kepada Tuhan
36
Kitab Sepi
Pada pohon-pohon
Bibirku merah bergincu
Butuh kecupan dari sang waktu
37
Kitab Nelayan
Sebagai nelayan,
ya mari kita nyanyikan lagu-lagu perjuangan.
Nenek moyang yang pasang surut
memecah pinggang
batu dan karang.
Di lautan
kita kibarkan bendera setengah tiang.
Dengan nasib dan nafas
seasin air garam.
38
Yang pasrah ditiup mulut kenangan
Bunyinya menggetarkan langit mata kita
Yang tak kuasa menjatuhkan hujan
39
Dilema
Di sebuah pesawat
Seorang gadis muda berdoa bersama dengan seorang Bapak
Yang juga sama-sama dilema akan nasib mereka
Pesawat berhenti
Keduanya sudah sampai tujuan
Gadis itu ambil langkah ke kanan
Dan seorang bapak tadi memilih ke kiri
Mereka berdua saling berpamitan dan berjalan sendiri-sendiri
Mendekati dan menjauhi cahaya
Surga dan neraka
Pintu terbuka
40
Cinta Malang
Di warung remang
Cinta kita begitu malang
Melihat rinduku doyan makan.
Dulu Kau pesan: “rindu ukuran jumbo,”
dengan bawang goreng tenggelam di kuah kental
kecap-saus-sambal menggoyang lidahmu
lidahku melepuh karena
disirami air mendidih hatimu.
Kini di warung remang
lilin-lilin telah padam
Cinta kita begitu kesepian
tak ada lagi yang memesan.
41
Tulang Rusuk
Hujan di kotaku sudah tak lagi perawan. Setiap hari selalu diperkosa limbah air
mata rindumu. Mengucur deras seperti kencing kuda. Warnanya yang keruh
persis kobokan di warung pecel lele dekat rumahku. Rindumu ngomel-ngomel
bila aku bertanya pulang jam berapa. Dia Enggak mau lagi diajak kerjasama
buat mendoakan kerinduan kita. Gara-gara dia capek bolak balik menukar nasib
cintanya yang pahit. Sementara debit air bahagia di sini. Seperti alat kelamin
lelaki yang gampang ejakulasi. Rindumu mendesah. Meratapi hidup kekasihnya
yang jadi ibu rumah tangga. Masak air. Mencuci baju. Menyusui keempat anak
sepinya minta susu. Sedang dia sibuk bekerja. Siang- malam terus berdoa.
Semoga tulang rusuknya ini tidak pernah patah ketika dipeluk luka.
42
Pesan Cinta Kepada Rindu
43
Hujan Patah Hati
44
Doa yang Berbudi
45
Doa Kecil
46
Pijitan
47
Kerokan
48
Seekor Burung Muadzin
Ada yang menduga barangkali para Nabi dan wali yang sengaja melepas
sangkarnya
Sebagai pengingat umat manusia
49
Bagaimana Cara kematiannya
Sendiri- sendiri
Hujan
Merinding ingatanmu
Saat petir kembali melagu
Kau masih saja terbayang wajah cantiknya
Yang tak kenal musim Di rumahmu
Genangan- genangan itu
Mengalirkan nada- nada cinta dan rindu
50
Sajak Seorang Peminta
51
Lahar Kenangan
Pikirmu
Kenangan itu adalah pohon- pohon walitis
Yang tumbuh dengan diameter sebesar rindu
Siap ditebang jadi perahu
52
Dan mengantarmu
Jauh...
Sebelum nuh Karam
Jadi kesepian Di tenda-tenda pengungsian
Pikirku
Kenangan itu tak berkampung halaman
Ia seperti Makam ditinggal penghuni
Mudik lebaran
Dan ke sorga barangkali
Ia jadi ular
Menunggu mu dengan sabar
53
Kesaksian Lain dari Bagian-Bagian Tubuhku
/1/ Mulut
/2/ Mata
/3/ Telinga
/4/ Tangan
54
yang lebih panjang dari bentangan tangan.
Antara kanan dan kiriku apakah
pernah kau temukan sebuah jalan
untuk berpulang padaku?
/5/ Kaki
55
Pohon Cinta
---
Ia takut jika suatu ketika musim kemarau panjang tiba.
Dan angin rindu dari utara membelai rambutnya.
Pohon yang tumbuh-tinggi-besar-mengakar itu gugur
satu demi satu daun-daunnya.
Dan burung-burung
dan burung-burung
yang setiap hari bernyanyi menyambut matahari pagi
pergi entah di mana.
---
Ia mesti rutin menyiraminya setiap hari.
Supaya pohon itu tetap bisa berbuah lagi.
Supaya ia ada alasan ketika hendak meninggalkan rumahnya.
Dan melihat kunang-kunang di suatu malam
mengajaknya untuk pulang
ke tampuk kenangan.
56
Selepas Hujan Reda
Selain mencintaimu.
57
Apa Kabarmu, Sri
58
Rigen
59
Sebuah Kota yang Kehilangan Manusia
Di Yogyakarta,
ia melihat kotanya menganga
pada mata anak itu.
Ia bayangkan
matahari pecah jadi dua kubu.
Timur dan barat
masa lalu dan masa depan
berubah jadi lautan
rindu dan dendam.
Ia teringat bayinya
yang bermandikan air garam.
Dan seekor anjing
menyalak melihat majikannya
yang sedang tenggelam.
Ia masih terngiang
kota-kota yang dipenuhi runtuhan
doa dan air mata.
Di Yogyakarta,
ia melihat langit menganga
pada sebuah kota
yang kehilangan manusia.
60
Jihad
61
Gulai Ayam Cemani
Santan pecah
kayu ditinggal api
dan waktu matang di janji.
Sedang cintamu menjelma
gulai ayam cemani
yang selalu batal terhidang
di meja makanku ini.
62
Panen
63
Burung Blekok
64
tulang berguguran
Hanya hujan,
hujan, dan hujan.
Pelangi
bagi kematian.
65
Rumah Ibu
66
Jenggot Wali
#
Menjuntai ke bumi
jalan lurus nabi
ayat-ayat suci.
#
Bendera lelayu
menyapa air mata
seputih kalbu.
#
Langit menghitam
burung terbang
Tuhan jatuh di pelukan.
67
Kunang-kunang di Bukit hatimu
:untuk ni
68
Doa Akhir Tahun
69
Doa Awal Tahun
70
Kitab Padi
/1/
Yang gagal kita amini dari menanam padi
adalah jalan lurus ke masa depanmu
tak mundur dan ke belakang itu.
/2/
Di garis tanganku dia curi waktu
ke jantungmu dia jadi hama
begitu lama, dan meninggalkan luka.
/3/
Sepotong hati bolong menunggu
sekawanan burung terbang menukik tajam
mematuk-matuk biji mata kita yang buta musim kawin.
/4/
Begitu lama dia berseru
kita jadi sekam dan abu
ke arah masa lalu dia melagu.
/5/
Oi, cintaku dikutuk dari rasa lapar itu.
71
Membaca Garis Tangan
Sekali waktu
nasib bermain di garis tanganku.
Menyaru sebuah jalan
lurus atau menelikung tajam.
72
Mawar Berduri
: Endang
Tembakau kemloko
rasanya pahit
tapi, tubuhku enak dicicip.
Berpayung langit
hujan menyimpan perih
73
di lubuk ajrih.
Sebelum berangkat
Syeh Abdul Qodir Jaelani
berucap;
“Yang hilang dan yang lenyap
bisa (jadi) kita berikutnya.”
Amin,
dua malaikat diutus
mengukur jarak.
Gugur bunga
kidung bergema.
Sepanjang jalan
orang-orang bertanya
menjadi tua.
Anjing-anjing menyalak
di atas makam
seorang wali
ayat ayat suci.
Doa-doa
kembali sunyi.
74
Shirotol Mustaqim
pintu terbuka.
75
Kota Santri
76
atau dari matamu yang telah
terpejam lelap.
77
Sabda Waktu
; Siti
78
biasanya penuh dengan kutukan perpisahan.
Desah dan nafasmu hanya akan menjadi jaminan
paling memabukkan bagi setiap mata langit yang merindukan hujan.
79
Anjing Penghujung Tahun
80
Ibadah Bulan
Bulan...
Malamku yang sunyi merindukanmu mengaji.
Membacakan ayat-ayat suci
menerangi bumiku ini.
Suara adzanmu membuat lubang di dada kami
tertutup kembali dari benci dan dendam yang bergoyang
menghantam karang dan lautan diri.
Bulan...
Langitku yang sepi bergemuruh.
Mendengarmu melantunkan sholawat nabi
degub jantungku tak bosan mencari.
Zikirmu menggema menggetarkan jagat raya
memancarkan cahaya menghapus gelap
ke dalam jiwa.
Bulan...
Hujanku yang kecil tak bosan memanggil.
Mengucap salam dalam alunan tasbih
hapus dosaku Tuhan yang berlebih.
Doamu teguh tak tersentuh keluh
walau seribu bayang ketakutan
ingin berlabuh.
Bulan...
Petirku yang nakal gemetar mendengar.
Suci janjimu kepada bintang dan kehidupan.
Ibadahmu, ibadah atas nama Tuhan.
Ibadah penyerahan jiwa dan badan.
Bulan...
Engkau, kekasih Tuhan
yang tak pernah lupa sembahyang.
81
Sholatmu dan ibadahmu
hidupmu dan matimu
hanyalah kepada Allah
Tuhan sekalian alam.
Bulan..
Jika pagi datang dan engkau menghilang.
Aku, akan tetap mengenangmu,
menunggumu.
Sepanjang malam
hingga daun-daun
ditubuhku gugur berserakan
di pangkuan Tuhan.
82
Anjing Waktu
83
Gudeg
84
Biarkan
:Jugun Ianfu
85
Wedang Ronde
86
Puisi Cinta
Di dalam tidurku
Bila aku rindu ibu
Ia sering muncul tiba-tiba
Menggodaku dengan payudara terbuka
Tangan kata-kata yang nakal tak kuat imannya
Dan menuliskannya menjadi puisi cinta
87
Angkringan
88
Kota Dalam Kepala
89
Menggambar Kota
90
Andong
91
Janur Kuning
Datang bersalam-salaman
Tunjukkan jalan lurusmu
92
Susu Kaleng
93
Pusing
Ketika menetas
Hatiku jadi was-was dan cemas
Di tukang cukur
Aku bertanya, “adakah obat untuk
Penumbuh umur?”
94
Selera Indonesia
95
Sepi
#
Sejak Ibu pergi
sendiri aku
dirawat sepi.
#
Rumah semakin tua
tumbuh uban
di pintu dan jendela.
#
Waktu melamun
menunggu siapa
rinduku meneteskan airmata.
96
Mengunjungi Ibu
#
Di muka pintu
langkahku tergugu
menabur bebunga rindu.
#
Aku kerdil
di rumahMu
sekecil biji-biji kopi.
#
Di cangkir bumi
kau aduk sepi
aku mabuk puisi.
97
Gubuk di Tengah Kota
Di gubuk itu
ia nyalakan radio
memutar lagu-lagu masa lalu
sepanjang waktu
sembari menatap kosong
gedung-gedung yang dibangun
juga kesibukannya yang tak kunjung rampung
di susun.
98
Kau Menggali Jiwaku
99
Layang layang
100
Di Kampung Halaman Kedu
Di kampung halaman
Kita akan pergi jalan-jalan
Setelah bertahun-tahun lidah ndesomu
Dibutakan makanan-makanan instan
101
Pasien itu Bernama Rindu
102
Rumah Kenangan
103
Suara Rindu
104
Di hutan keramat begitu banyak hewan kesepian
Pohon-pohon tumbang jadi jalan raya
Asap tebal mengepung kota
Hujan air mata di mana-mana
kampung halaman bertanya;
Kemana
Orang-orang pergi sepagi ini?
105
Ketan Gudig*
106
Rondo Lemu*
Ke dalam dandang
Berperut buncit
Kau kukus aku
Hingga kembali mengembang itu rindu
107
Lemper*
108
Emping Kecis*
109
Empis-empis*
110
Wajik*
Di dalamnya
Kampung halaman kita
Menjelma daun pandan
Wanginya tercium rindumu sampai di Negeri seberang
111
Ndas Borok*
112
Marjubi*
Di Kedu
Akulah suwiran ayam itu
Yang kau giling ketika musim kawin
113
Metamorfosis Kesepian
114
Tapi, gadis itu masih berdiri
di tepi tanggul
berbedak lumpur dan pupur
ia tak mau pergi
ia akan tetap tinggal di sini.
Di televisi
ia lihat hujan itu turun kembali
Mengumandangkan azan
di tanah kelahiran
Yang kini hanya tinggal puing-puing kenangan
Yang sudah tidak lagi perawan
115
Di Halte Tubuhmu
116
Ranjang
Di bibirnu waktu
Laksana ciuman seorang ibu
Setia menunggu, menunggu
Sajak-sajakmu haus-minta minum susu ?
117
Tuhan Ada Di mana?
Tuhan ada di
rambutmu, dahimu, bola matamu,
wajahmu, alismu, telingamu, kelopak matamu,
bulu matamu, hidungmu, lubang hidungmu,
lesung pipimu, pipimu, dagumu,
mulutmu, lidahmu, gigimu, bibirmu, gusimu.
Tuhan ada di
lehermu, bahumu,
tenggorokanmu, dadamu, perutmu, pusarmu,
punggungmu, putingmu, payudaramu, rusukmu.
Tuhan ada di
pinggangmu, panggulmu,
bokongmu,
kemaluanmu, duburmu.
Tuhan ada di
lenganmu, sikumu, telapak tanganmu,
jari tanganmu, bulu ketekmu,
kukumu, pergelangan tanganmu.
Tuhan ada di
pahamu, lututmu, betismu, mata kakimu,
telapak kakimu, punggung kakimu, tumitmu, jari kakimu.
Tuhan ada di
darahmu, dagingmu, tulangmu, ototmu,
ususmu, jantungmu, paru-parumu,
lambungmu, ginjalmu, hatimu, pankreasmu.
118
Pengakuan Seorang Pencuri
119
Kopi Rindu
Sudah jelas bukan yang hitam dan tampak menawan
Suka menggoda bibirmu yang bulan tercebur
Ke dalam cangkir cantik itu
Ia bukanlah aku
Tapi racun rindu yang berusaha membunuh kamu
120
Himne Kopi
Atas nama sepi yang keranjingan ngopi
Marilah kita tundukkan kepala sejenak
Menghargai jasa cinta dan rindu
Yang telah gugur melawan luka-dukamu
Yang mendidih di cangkir mataku
121
Demam
Hujan yang keranjingan itu
Membuat rindu di tubuhku jatuh pingsan
Dan butuh nafas buatan
Dari bibir cintamu yang sariawan
122
Menanam Mentimun di Temanggung
Ti, kau orang temanggung yang suka menanam mentimun
Katamu, mentimun di temanggung tak lagi berbuah
Tanahnya rekah
Telapak tanganmu pecah-pecah serupa
Nasibmu yang pecah-pecah
123
Jika
Jika tubuhmu yang tak bersertifikat ini di gusur sepi
Kemana lagi sajak-sajak cintaku akan kembali berumah
Jika padamulah rindu lebih dulu memanggilmu dengan sebutan ibu dan ayah
124
Panduan Ziarah Rindu
125
Panduan Tes Bertemu Malaikat Rindu
Sepi tak butuh sehelai kain mori
Untuk bertemu malaikat rindu yang satu ini: sebab ia takkan
Bertanya hal: siapa Allahmu, apa agamamu,
siapa rasulmu, apa kitabmu, dan seterusnya.
Sebab sepi bukan si calon mati , meski di ruang
Kedap udara ini ia begitu sekarat, ketika diintrogasi
Dan tak bisa menjawab, serta terus didoain kerinduan kita yang
Sabar menunggu kabar baik atau buruk itu datang
Seperti seruan Tuhan.
126
Tukang Reparasi Rindu
127
Monumen Meteroit Rindu
Pada awalnya hanya cintaku yang diberitakan hilang, terus rinduku, lalu kenanganku,
kemudian ingatanku, dan terakhir masa lalu di sekujur tubuhku.
Waktu itu matahari entah sembunyi di sudut mana
Garis lintang Utara, atau bujur timur koordinat ke berapa
Senja pun sedang khusyuk mencarinya
Malam baru bangun dari tidurnya
Bulan habis selesai mandi dan sisiran
Di hadapan cermin langit
Aku lihat bayanganmu sendiri
Melompat ke arah bumi
Kau meninggalkanku
di dalam bahtera
yang dikelilingi
oleh puing-puing
Kerinduan kita
Yang terbakar atmosfer
Dan melubangi rahim luka
di kota itu aku lahir kembali
Sebagai pecahan doa yang selalu diam
Ketika gravitasi hujan tetiba menabrakku dan bertanya
Dari planet mana sepi itu kau bawa?
128
Ritual Mengasah Rindu
129
Aku Mencintaimu
Aku mencintaimu
Bahkan ketika rindu mulai membenciku
Sebab sebenci-bencinya rindu kita
Ada segila-gilanya doaku yang membara
Barangkali rindumu yang tidak beragama
Terkadang suka dicibir orang-orang pemeluk luka
Jenggot rindu yang panjang dan cadarnya yang hitam
Sering pula di sangkut pautkan dengan rindu radikal
Email:budi199207@yahoo.com