Anda di halaman 1dari 132

Di Kedu Aswatama

itu Menjelma Diriku

Sekumpulan Puisi

Budi Setiawan

1
Kata pengantar
Sahabat kecilku pernah bertanya kenapa saya suka sekali kepada puisi.
Kenapa begitu banyak kata cinta, dan rindu dalam puisimu. Saya hanya
tersenyum malu waktu itu, tersenyum melihat bibirnya cerewet seperti bibir
seorang ibu yang sedang memberikan wejangan kepada anaknya. Bagi
saya, rindu adalah jalan pulang menuju kenangan. Tempat cinta memeluk
kesepian di kampung halaman. Segalanya yang berkisah dan berkasih itu
kembali dilahirkan.
Dalam buku ini, hampir semua puisi yang saya tulis dari tahun 2015-2019
berbicara tentang (ke)rindu(an), rindu kekasih, rindu ibu, rindu Tuhan, dan
rindu kampung halaman. Makna rindu itu menjadi topik besar yang tidak
akan pernah selesai dibicarakan.
Sebab tanpa rindu, kita tak punya ruang dan waktu untuk kembali
mengenang masa lalu, kita tak punya ruang dan waktu untuk mengenali diri
sendiri yang sebenarnya telah kehilangan apa itu arti dari sebuah kata
mencintai.

2
DAFTAR ISI

 Di Kedu Aswatama itu Menjelma Diriku


 Kedu dalam Perang Baratayudha
 Begawan Durna Gugur di Kedu
 Sumpah Gendari Kepada Sengkuni
 Ayam Cemani di Lumbung Padi
 Surat Cinta Buat Rindu
 Sebelum Rindu mewarnai langit hatimu
 Rindu yang Haus Bibirmu
 Berburu Doa
 Doa Hari Ini
 Doa Secangkir Kopi
 Rindu
 Ladang Puisi
 Manuskrip Kopi
 Kisah Ganjil Cinta Kepada Rindu
 Segelas Kopi Hitam Untuk Ayah
 Kematian Rindu
 Kamar Kosong
 Salam Perpisahan dari Rindu
 Vihara
 Madu Rindu
 Di Seoul Park
 Sembilan Perjalanan Kopi
 Persetubuhan Kopi
 Kitab Sepi
 Kitab Nelayan
 Doa Januari
 Dilema
 Cinta Malang
 Tulang Rusuk
 Pesan Cinta Kepada Rindu
 Hujan Patah Hati
 Doa yang Berbudi
 Doa Kecil
 Pijitan
 Kerokan
 Seekor Burung Muadzin
 Hujan
 Sajak Seorang Peminta
 Lahar Kenangan

3
 Rizki kehilangan Doa
 Kesaksian Lain dari Bagian-Bagian Tubuhku
 Pohon Cinta
 Selepas Hujan Reda
 Apa Kabarmu, Sri
 Rigen
 Sebuah Kota yang Kehilangan Manusia
 Jihad
 Gulai Ayam Cemani
 Panen
 Burung Blekok
 Rumah Ibu
 Jenggot Wali
 Kunang-kunang di Bukit hatimu
 Doa Akhir Tahun
 Doa Awal Tahun
 Kitab Padi
 Membaca Garis Tangan
 Mawar Berduri
 Kota Santri
 Sabda Waktu
 Anjing Penghujung Tahun
 Ibadah Bulan
 Anjing Waktu
 Gudeg
 Biarkan
 Wedang Ronde
 Puisi Cinta
 Angkringan
 Kota Dalam Kepala
 Menggambar Kota
 Andong
 Janur Kuning
 Susu Kaleng
 Pusing
 Selera Indonesia
 Sepi
 Mengunjungi Ibu
 Gubuk di Tengah Kota
 Kau Menggali Jiwaku
 Layang layang
 Di Kampung Halaman Kedu

4
 Pasien itu Bernama Rindu
 Rumah Kenangan
 Suara Rindu
 Hutan Keramat
 Ketan Gudig*
 Rondo Lemu*
 Lemper*
 Emping Kecis*
 Empis-empis*
 Wajik*
 Ndas Borok*
 Marjubi*

Di Kedu Aswatama itu Menjelma Diriku

Akulah lelaki itu


yang engkau tusuk kutuk di tanah Kedu
dengan penyakit kusta cintamu.

Setelah di sokalima panah cundamanik


tak juga kuasa membunuh kesepian kita.

Aku membayangkan cinta adalah perang besar

5
antara Pandawa dan Kurawa di kurusetra
yang melahirkan luka-dukana.

Aku sempat juga membayangkan cinta adalah dendam kesumat


yang diberikan rindu sebelum
gadarujakpala itu menghancurkan segala doa-doamu
yang di bangun dari mimpi-mimpi kita
yang gagal di amini para dewa
di Astina sana.

6
Kedu dalam Perang Baratayudha

Adalah kau dalangnya


di mana sebuah perang kembali diciptakan
untuk melahirkan kesepian.
Bukan oleh Pandawa atau Kurawa
sebab di kurusetra perang itu belum juga di mulai, katanya.
Tapi, di tanah Kedu rindu kita telah gugur satu demi satu.
Hingga tak tersisa lagi cintamu.

Dari utara Astina luka membara


dari selatan Amarta kesedihan lebih dulu merayakan kemenangannya.

Aku pulang kepada dirimu.


Tapi tidak membawa kenangan.
Sebelum dan sesudah kunang-kunang lepas dari sangkar ingatan.
Sewaktu musim hujan atau kemarau panjang menghadang jalan.

Dari atas langit setetes hujan dijatuhkan


ke dalam ladang jiwamu yang gersang.

Setahun lamanya usai perang Baratayudha


menjemput nasib kita di tanah Kedu.
Aku bakar dendam kesumat itu
untuk memulai hari baru.
Hari-hari rindu tanpa dirimu.

7
Begawan Durna Gugur di Kedu

Kenyataan mengabariku bahwa rindulah yang lebih dulu membunuhmu.


Sebelum perang Baratayudha itu berakhir
membuat aku pulang lagi ke tanah kedu.
Tanah kandung ari-ariku dan dirimu saling menancapkan panah cinta
cundamanik.
Yang kita lepas bersama-sama ke arah jantung sepi yang tertinggal di
kurusetra.

8
Sumpah Gendari Kepada Sengkuni

Telah aku lahirkan seratus bayi di tanah Kedu, Rayi.


Dari seorang lelaki buta yang jatuh cinta pada seekor ayam cemani.
Ayam itu peliharaan Sanghyang Dewi Sri.
Meskipun aku tak pernah tahu apakah arti bahagia.
Setelah di kurusetra kesepian mengalahkan kita.
Tapi matahari yang selalu gagal kita amini tiap pagi.
Datang melahirkan hujan
bagi benih-benih padi yang tumbuh
di rahimku ini.

9
Ayam Cemani di Lumbung Padi

Di atas kuburan itu bulan telanjang.


Sehelai sarung menutupi auratnya.
Di tanah Kedu
ayam cemani satu demi satu mati.
Di lumbung tak ada lagi padi.
Telah ia tanam benih tubuhku.
Ke dalam ladang jiwamu yang gersang
burung-burung terbang meninggalkan kampung halaman.
Tapi kesepian ini akan tetap bersemi
setelah kemarau panjang mengeringkan rindu kita
Tak apa, nduk.
Selama mulut masih bau tembakau lintingan.
Dan si tole rajin mengaji ke rumah Ki Ageng Makukuhan.
Keselamatan atas cinta kita
tak akan pernah habis
di makan hama.

10
Surat Cinta Buat Rindu

Hai, rindu apa kabarmu?


Aku yang telah jauh dari tanah Kedu
masihkah engkau mengingatku?

Dulu, di gendongan ayah


engkau sering menggodaku, membujuk dan merayu aku.
Jadi petani saja seperti ibu Sri
tiap pagi mencari jejak matahari
ditemani biji-biji padi di ladang nenek moyang.
Lalu, hujan memelukmu.
Memanggil-manggil namamu rindu.
Seperti cinta yang betah berjaga di hatiku.

Kini,
aku tak tahu lagi harus sapa apa.
Karena aku pun tak tahu kapan suratku bakal kau eja
sekedar lembar pengganti jumpa.

Mungkin saat kau baca


Aku tengah berada di “Malaysia”
Bukan sebagai wisatawan atau wartawan amatiran
Tapi, tenaga kerja ilegal di sana
Aku sedang sembahyang air mata
Untuk mengenangmu, di tanah Kedu
Mengenang ayah dan ibu bagi segala rindu

Jangan kau tanya


Mengapa aku ingin menulis buatmu sepucuk surat cinta
Seperti saat pertama rasaku menggelora
Mendengarmu fasih berbahasa jawa
Percayalah,
Hatiku ini terbuat dari kokok ayam cemani di tanah kedu
Yang kau dengar setiap hari sehabis sembahyang puisi

Dan,

11
Bolehkah sejenak kita melupakan jarak
Karena aku akan pulang, meski sekedar sebagai bayangan
Aku ingin mengajakmu kondangan ke Parakan
Mengenakan batik Temanggungan
Yang tawarkan kehangatan dan kerinduan

Lalu, aku akan membawamu ke makam Ki Ageng Makukuhan


Menghayati setiap hati
Orang-orang yang kesepian di kuburan
Atau kau ingin ke pasar kembang
Menikmati jajanan leluhur yang manis
Sembari menikmati Kopi robusta-arabika dan lintingan tembakau srintil

Di tanah Kedu
Kita akan bahagia
Menyaksikan kuda lumping, topeng ireng, kubro Siswo, dan warokan
Sungguh,
Aku akan pulang, meski sekedar sebagai bayangan
Mengunjungimu, di tanah Kedu
Yang akan tetap menjadi sumber kehidupan
Bagi segala rindu

Bersama ayah dan ibu


Dan juga kenangan
Yang melekat hangat seperti hati
Gunung Sumbing Sindoro itu

12
Sebelum Rindu mewarnai langit hatimu
Sebelum rindu mewarnai langit hatimu yang pucat,
Biarkanlah bayangan cinta bermunajat,
bertasbih dan bersholawat
menyusuri sungai-sungai terdalam
melewati laut-laut yang paling curam.
Di mana kau akan temukan sebuah jalan
Pulang yang kemudian ingin sekali
kau tenggelamkan,
pada sauh bibirmu,
bibir hitam-karam itu.
Bibir yang terkikis gelombang pasir
meruntuhkan lukamu
Yang berlari meninggalkan
Nuh diatas perahu hanyut tertelan tulah ragu.
hatimu lebam-tenggelam di dasar samudera,
ikan kesepian yang kau jala pun tak pernah luput dari maut
dan kau harus pulang di mana keajrihanmu ingin sekali
mengajak bercumbu di buhul ingatanmu.
Sementara
Peta air matamu tak sanggup
lagi menyigi, mana air mana api.
Hanya amanat sepi,
yang senantiasa bersemayam di memar pipi.

Rindumu kini hanyalah debu revolusi


yang terbakar di bibir kenangan
Sejak buah terlarang itu ranum dan
Engkau yang sengaja menjatuhkan diri
bersimpuh mencium dua puluh tujuh kali
sajadah waktu yang tak lagi mengenal
di mana rindumu kini mengasingkan diri
Yang tersisa tinggallah
Segumpal air mata yang pecah
Lalu
Terdengar
Gemeretak belulang

13
Kehilangan runtuh
Ketika kesedihan melahirkan kita kembali
menjadi bukan siapa-siapa di hadapan sang ilahi

14
Rindu yang Haus Bibirmu
Telah aku tanggalkan tujuh kali
mengelilingi bukit terjanji demi
keajrihan rindumu yang sedang teruji.
Di sini adakah mata-air-mata paling buas
Dari sungai yang kering di rahim sepi.
Selain gerak awang kaki cinta
mengilhami mukjizatnya kemudian
hatimu yang kau tanam beribu luka berseru:
di mana jejak kenangan kini harusku jilati,
ketika payudara ingatan tak lagi mampu
menampung surga dari keluh-kesah
Rindu yang haus bibirmu
Sementara engkau kirim seekor ular
Penyabar
di padang masyar- tempat maut menghadang
jalan pulang sebuah kesepian.
Sedangkan aku hanyalah khafilah
yang terdampar dalam ketergesaan
sebuah pencarian
Sebelum Menemukan farjimu
menutup-mengembang
memporak-porandakan belulang rindu yang yatim piatu itu.

15
Berburu Doa

Doaku selalu berkeliaran tiap malam


Mencari jejak Tuhan dalam diri
Yang entah kapan sampai usia
Mata tombakku mampu mengamini

16
Doa Hari Ini

Doaku hari ini kecil saja


Semoga segala sesuatu yang keluar dari mulut kita
Tak lagi mengandung bisa
Seekor ular itu telah mati
di bawah pohon surga
Pohon yang memisahkan Adam dan Hawa

Tapi di dalam diri


Ia hidup kekal bergelung menanti
kesepian tumbuh menjadi buah terlarang
Yang pernah aku dan engkau makan
Untuk mengusir kerinduan kita
Yang terlunta-lunta di bumi cinta Nya

17
Doa Secangkir Kopi
 
aku ingin menyeduh doamu yang paling suci
Di hadapan secangkir kopi
masih beraroma sepi
pertemuan bubuk, air panas dan gula
melarutkan rasa cintaNya

kuteguk berulang-ulang
Tiap malam kenangan mengepulkan rindu
Bibirmu meninggalkan candu
di secangkir kopi yang khusyuk berdoa
Semoga kita masih diberikan rasa amin
Di pagi hari yang dingin

18
Rindu

Katamu, rindu adalah satu-satunya jalan pulang


menuju Tuhan, juga kenangan yang pernah
diterbangkan kunang-kunang dari rumah
ingatan; kepalaku yang tak berpagar tak berpintu.

Tetapi, bukankah rindu seringkali menjelma


Kutukan, menjadi buah-buah terlarang
dan seekor ular cintamu bergulung menunggu
perpisahan.

Rupanya benar rindu kita diciptakan Tuhan


Dari dalam rahim surga yang kesepian.

19
Ladang Puisi

Penyair yang baik hati


Beri kami benih yang suci
Tangan yang suci
Dan kaki yang suci

Kami ingin semua tetap suci


Sesuci Adam dan Hawa
Sebelum mengenal khuldi

Kami ingin semua tetap suci


Sesuci awan langit
Sebelum di setubuhi kabut api

Kami ingin semua tetap suci


Sesuci hujan pagi
Yang selalu dirindukan matahari

Kami ingin semua tetap suci


Sesuci ayat-ayat puisi
Yang di puja-puji burung-burung sepi

Kami ingin semuanya tetap suci

Sucikan kami
Dari benih yang mengandung birahi
Di rahim bumi

Sucikan kami
Dari tangan yang nakal menggelitiki
Nasib para petani

Sucikan kami
Dari kaki yang kadung mengamini
Tanah kata-kata sebagai rumah kesepian paling abadi

20
Sucikan kami, penyair
Sucikan kami

21
Manuskrip Kopi

1
Kita bertemu lagi
Lewat puisi
Di kebun kopi

2
Lalu kau memintaku
Jadi matahari
Yang melahirkanmu pagi

3
Tajam tanganmu
Menggores luka
Bibirku menganga cinta

4
Biji-biji kopi terbuka
Di rahim bumi
Kau kembali ku setubuhi

5
Sementara cukup
Kureguk candumu
Yang melumuri rindu

6
Mendidihlah
Sebentar di sela
Dzikir cangkir yang sabar

7
Menunggulah
Hingga senja menyapa
Malam mabuk insomnia

22
8
Pekat dan sekarat
Tuhan bermunajat
Robusta-arabika

9
ziarah wangimu
menggoda takdir
menafsir segala bibir

23
Kisah Ganjil Cinta Kepada Rindu

Seekor kucing melompat


Di atas tubuh kata
Ia bertanya:
Di mana mayat rindumu berada
Tempat dulu sepiku mengeongkan cinta

Dari rantau
Seorang bocah pilu
Mengirim kabar duka
Rindunya di ibukota telah menggenang di mana-mana
Ketika hendak pulang
Menyeberangi kota kelahiran
Mengigaukan ibunya yang sudah menjadi kenangan
Dan sebentar lagi mungkin akan menjelma sabda Tuhan

Di tengah badai ingatan dan gemuruh dalam kepala


Seandainya rindu mereka berjumpa
Di jalan kota atau di kedalaman sebuah desa

Terlihatkah oleh mereka


Rindu-rindu itu berterbangan
Di balik gumpalan awan yang berubah warna
Menjadi serbuk-serbuk hujan

Seorang ibu termangu


Duduk menunggu anaknya
Di dalam bahtera
Menjatuhkan doa-doa dari kedua tangkup tangannya
Tangan yang menirukan nujum wahyu seekor kupu-kupu
Tapi, sungguh mereka tak pernah bertemu
Di bukit itu
Rindulah yang lebih dulu mengutuk
Dirinya sendiri menjadi kepompong batu

24
Segelas Kopi Hitam Untuk Ayah
Ni,

Setiap petang aku setia memandumu,


ikut duduk berdua mengenang cerita
di balik remang beranda, yang penuh
memori bergelantungan seperti laba-laba.
Pada segelas kopi hitam yang pahit rasanya. Aku dan dirimu
Bersulang merayakan wajah ayah
yang terbenam dalam tangis air mata.

25
Kematian Rindu

Semestinya rindumu sudah mati bulan lalu


Tetapi malam itu, suara isak tangisku
di atas kasurmu membuat rindumu terbangun dan
tak bisa lelap.

Aku begitu berbahagia menghirup nafas-nafas doa


Terulur lagi dari detak jantung cinta.
Air mataku yang berjatuhan di wajahmu kembali
Kuseka dengan bibirku yang masih bergetar
tidak percaya.

“Aku seperti melihat sorga


apakah kau malaikat yang diutus
dalam kitab-kitab para pemeluk luka ?”

Lalu, kau tertawa


ah, jangan bercanda sayang
Aku masih dalam pelukanmu sekarang.

Kita terbaring berhadapan


bertukar nafas dan desahan
yang masih tertinggal
di tubuhku, di tubuhmu
hingga fajar datang.

Aku pun pamit


ketika matahari terbit
tanpa bilang selamat tinggal
Aku hanya selipkan kata-kata terakhirku di bawah bantal.

‘Tolong jaga kesepianku, sayang


jangan biarkan ia hidup sendirian’.

Lalu perlahan matamu tertutup


seperti pintu kamarku yang tak lagi kau ketuk.

26
Di luar hujan turun deras
ketika aku sedang mengemas kenangan
dalam cemas kehilangan.

Setelah itu kita berjalan sendiri-sendiri


membelakangi segala kesepian
menemukan kesedihan demi kesedihan
tanpa mengenal sebuah akhir, kematian.

27
Kamar Kosong

Setelah kau pergi, sayang


kamar itu selalu kosong
ia seperti menolak penghuni
untuk sekedar ditinggali.

Tak ada siapa pun


Yang berani masuk atau pun berkunjung.
Di kamar itu
begitu banyak alasan
yang tak masuk akal:
jendela meneteskan air mata, gorden membuka kenangan,
meja belajar yang bicara soal cinta dan luka,
kasur bau sepi, dinding yang diretakkan rindu,
dan pintu kamar yang selalu terkunci oleh kisah-kisah melankoli.

Tetapi, kemarin aku di situ


di kamar itu
mencari sisa aroma tubuhmu.
Ketika debu-debu masa lalu
bersekutu dengan tangan-tangan waktu
mencoba mencekik leher ingatanku.

Hingga aku tergeletak lemas tak berdaya


di atas ranjang
lalu sebuah salam perpisahan datang
menyeretku dalam pusaran
kehilangan demi kehilangan.

Salam Perpisahan dari Rindu

Di bandara itu kembali kau bakar mataku dengan


Lambaian tanganmu yang dingin.
Langit biru berubah jadi abu-abu.

28
Di musim semi
hujan sesekali mencair
dari kutub hatimu
menghapus jejak ingatanku yang beku.
Di negeri empat musim ini

Sudah cukup lama


Tak kudengar sendiri
Bibirmu menyanyikan lagu sayonara.
Terakhir kali aku dengar
hatimulah yang berbisik
lewat lubang kunci pintu kamarku
yang berdebar menunggu
kau mengucap ‘aishiteru’.

Kini bunga-bunga sakura


yang aku tanam di jantungmu
telah gugur satu demi satu.
Dibelai angin, dikikis waktu
dan membusuk bersama aroma
tubuhmu.

Di bandara itu sekali lagi


kau bakar mataku dengan lambaian tanganmu
yang semakin dingin.

Tapi, entahlah
kenapa aku masih tak sanggup berpaling
Barangkali benar
Rinduku lebih dulu kau kutuk
jadi batu
usai salam perpisahan di malam itu.

29
Vihara

Aku hanya pemuja kata


Yang menyala dari cahaya cinta
Tersembunyi di balik doa
Yang membara
Akan merdu suara
Rindu dan air mata

Kubiarkan saja kata khusuk bertapa


Memeluk luka mencari makna
Di vihara ia menjadi milik sesiapa
Yang ingin menghamba pada tuhannya

30
Madu Rindu

Aku menyimpan rindumu pada sari sari kata


Menghisap manis cintamu pada bebunga makna
Dan menjaga cantikmu agar awet mempesona
Dengan sengat rima yang menggoda
Mata dan tangan para pemetiknya

31
Di Seoul Park

Salju turun, katamu


selepas hujan reda dalam dekapan langit.

Di café itu
Kau duduk sendiri
di dekat kaca jendela
menunggu sesuatu tiba.
Entahlah, mungkin sebuah kabar baik masuk di ponselmu
atau hanya sekedar seorang perempuan
dengan bahasa inggris fasih datang
mengantarkan sebuah menu.

“ please give me one coffee again”.

Taukah kau, di negeri empat musim ini


kenapa aku menyukai kopi? Katamu
Kopi ini mereka bawa dari negeri tropismu
manis dan pahitnya seperti cinta, luka, juga musim panen
yang selalu kita tunggu.

Maka, aku menulis sajak ini


dari butiran-butiran salju.
Di kota itu
sebagai seorang pengelana
yang kehilangan kampung halamannya.

Kalau tak ada pesan masuk juga darimu


selepas tegukan terakhir
barangkali aku sudah memantapkan hati.
Kanku kirim pesan ini, Katamu kembali.

Beberapa patah saja


meski… setelah itu mataku akan berkaca-kaca.

di luar salju turun semakin tebal

32
dan kau di café itu menjadi asing
tak bisa melihat apa-apa
hanya bayang-bayang kerinduan
Yang dibutakan kesepian.

33
Sembilan Perjalanan Kopi
1
Cinta kita selamanya ngopi, katamu
Jatuh dari langit di cangkir bumi
Sambil mengucapkan selamat pagi
Kepada bibirmu
Masihkah kau sisakan seteguk rindu untukku?

2
Gayo hujan kopi
Usai kita berciuman
Maut di bibirmu membuka pintu jalan
Surga di tanah Tuhan

3
Seorang turis dari eropa
Memetik bulan
Di Kitamani ia ngaben
Atas nama ribuan sepi
Kusebut namamu
Yang tak pernah mati

4
Di Mandailing seekor ular bergelung
Dalam keranjang kosong tak ada buah terlarang
Sebab surga kita ada di bumi
Yang jatuh cinta pada biji biji kopi

5
Kita pergi ke Sidikalang
Di bawa terbang angin kasmaran
Di kutuk Tuhan jadi kekasih insomnia
Yang lupa jalan pulang

6
Aroma tubuhmu tertinggal di Toraja
Secangkir cinta merindu
Kutuang bibirmu

34
Kureguk candu

7
Kau membenci tubuh sepi
Tetapi mencintai lekuk kopi
Aku jatuh cinta padamu
Sebab puisiku buta jalan rindu

8
Temanggung berterima kasih kepada kopi
Puisi berterima kasih kepada sepi
Aku berterima kasih kepada bibirmu
Karena semua sudah berkumpul
Mari lekas katakan ijab kabul

9
Kau menikahi biji-biji kopi
Yang jatuh cinta padaku
Aku mencintaimu
Robusta-arabika
Ziarah wangimu
Menafsir takdir
Dari segala bibir

35
Persetubuhan Kopi

1/
Persetubuhan kita malam itu
Hanya meninggalkan berahi candu
Pada sepasang bibir yan merindu

2/
Aku melihat bulan telanjang
Di tubuhmu yang dingin
Seorang kekasih berbahagia
Merayakan jarak cintanya
Menyisakan kekosongan
Yang memabukkan

3/
Sebelum kembali kulecuti
Sisa nafasmu membelenggu
Dalam pekat yang sekarat
Pagi datang
Mengantarkan sebuah ingatan
Yang selalu kita tuang tiap malam-malam
Berpulang kepada Tuhan

36
Kitab Sepi

Seluruh tubuhku adalah kesepian


Tak cukup disirami hujan
Biar padam lukaku

Pada pohon-pohon
Bibirku merah bergincu
Butuh kecupan dari sang waktu

Sekarang kutikam kembali jantungmu


Dengan seluruh api cemburuku
Biar membekas segala rindu
Menetes haru di langit matamu

Seluruh tubuhku adalah kesunyian


Tak cukup ditaburi doa doa
Yang letih mengucap duka

37
Kitab Nelayan

Selalu ada sampan yang gagal di layarkan


meski jidat telah mengguyurkan hujan.

Tapi, kita tetap harus bertahan


terus melawan gerak laju gelombang.
Sampai air mata benar-benar
hanyut di lubuk terdalam.

Sebab kita telah dikutuk badai


untuk menjadi nelayan.
Meski saban hari maut
seperti ikan-ikan
yang selalu menuntun pulang.

Sebagai nelayan,
ya mari kita nyanyikan lagu-lagu perjuangan.
Nenek moyang yang pasang surut
memecah pinggang
batu dan karang.

Di lautan
kita kibarkan bendera setengah tiang.
Dengan nasib dan nafas
seasin air garam.

Sebab manisnya telah kita tuang


di tenggorokan tuan tuan
Doa Januari

Katamu, di bulan Januari


Cinta kita akan kembali bersemi
Setelah kemarau panjang mengeringkannya
Dan rindu kita di tiap ranting dan dahannya gugur satu demi satu daun-daunnya

Kataku, di bulan Januari


Sepi kita akan kembali menjadi terompet dan kembang api

38
Yang pasrah ditiup mulut kenangan
Bunyinya menggetarkan langit mata kita
Yang tak kuasa menjatuhkan hujan

39
Dilema

Di sebuah pesawat
Seorang gadis muda berdoa bersama dengan seorang Bapak
Yang juga sama-sama dilema akan nasib mereka

Seorang gadis rindu bertemu ibunya


Dan seorang bapak menyesal ingin bertemu istrinya

Gadis itu tak mengira akan memiliki sepasang sayap


Sebelum meminta maaf kepada ibunya
Seorang bapak itu tak menyangka bakal melihat malaikat
Tanpa mengucap talak kepada istrinya
Yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan demi hidup mendosa
Dengan seorang perempuan jalang di pinggiran kota

Gadis dan seorang bapak itu saling bercerita tentang


Baik-buruk hidup mereka yang begitu jauh berbeda
“Kita memang bukan pinang di belah dua,” ujar mereka

Pesawat berhenti
Keduanya sudah sampai tujuan
Gadis itu ambil langkah ke kanan
Dan seorang bapak tadi memilih ke kiri
Mereka berdua saling berpamitan dan berjalan sendiri-sendiri
Mendekati dan menjauhi cahaya
Surga dan neraka
Pintu terbuka

40
Cinta Malang

Di warung remang
Cinta kita begitu malang
Melihat rinduku doyan makan.
Dulu Kau pesan: “rindu ukuran jumbo,”
dengan bawang goreng tenggelam di kuah kental
kecap-saus-sambal menggoyang lidahmu
lidahku melepuh karena
disirami air mendidih hatimu.
Kini di warung remang
lilin-lilin telah padam
Cinta kita begitu kesepian
tak ada lagi yang memesan.

Bahkan, seekor sepi yang lapar itu


Masih khusyuk duduk sendiri di dalam mangkuk puisi
ditemani secangkir kopi
di malam-malam paling sunyi

41
Tulang Rusuk

Hujan di kotaku sudah tak lagi perawan. Setiap hari selalu diperkosa limbah air
mata rindumu. Mengucur deras seperti kencing kuda. Warnanya yang keruh
persis kobokan di warung pecel lele dekat rumahku. Rindumu ngomel-ngomel
bila aku bertanya pulang jam berapa. Dia Enggak mau lagi diajak kerjasama
buat mendoakan kerinduan kita. Gara-gara dia capek bolak balik menukar nasib
cintanya yang pahit. Sementara debit air bahagia di sini. Seperti alat kelamin
lelaki yang gampang ejakulasi. Rindumu mendesah. Meratapi hidup kekasihnya
yang jadi ibu rumah tangga. Masak air. Mencuci baju. Menyusui keempat anak
sepinya minta susu. Sedang dia sibuk bekerja. Siang- malam terus berdoa.
Semoga tulang rusuknya ini tidak pernah patah ketika dipeluk luka.

42
Pesan Cinta Kepada Rindu

Di persimpangan jalan pulang menuju cinta dan rindu.


Banyak sepi berkeliaran memakai baju you can see dan rok mini.

Ia melambaikan nasib ke kanan dan ke kiri.


Ia menatap apakah ada malaikat atau iblis paling puisi
yang bisa untuk dilayani.

Ketika Debur ombak di malam hari.


Membuatnya sedikit basah dan mendesah.

Jejalan penuh kenangan, lampu-lampu kota padam,


manusia tak ada lagi di sini.
Mungkin, mereka telah pergi atau hanya sekedar bersembunyi.
Hanya angin yang sering menggoda
lewat tangan-tangan nakalnya yang semakin gila.

Dari jalan lain, kau datang menggandeng turun bulan


yang terus melambaikan kesepian
Dan aku berhenti, lama . . .
Satu-dua-tiga. . .
Hingga beberapa tahun-tuhan yang tidur mendengkur
di celanaku ini bangun.

Ia menangis suaranya seperti gerimis


yang muncrat dari kemaluan langit yang gelap.
Saat menatap wajahmu terbang seperti kunang-kunang
Malam menyampaikan pesanmu yang tak pernah bisa terbahasakan

43
Hujan Patah Hati

Hujan yang patah hati itu


Menggenang sepi
Di denyut nadi kota
Sepasang muda mudi sedang berpesta
Terompet menjerit
Kembang api bersorak
Langit riuh tawa
Lalu bibir mereka bertukar cinta
Bulan rindu menyapa
Desember ada di mana?
Hujan bertanya dengan derainya
Menjatuhkan segala cemas
Usia berkemas
Kalender gegas
Manusia sibuk bernyanyi
Menghitung detik detik pergantian tahun
Sambil merayakan kematian
Untuk dirinya sendiri

44
Doa yang Berbudi

Ketika ibu hamil


Ia suka bergadang
Memandang bulan dan
Berdoa kepada Tuhan
Tuhan, beri saya anak laki-laki
Yang pandai menulis puisi
Bila nanti saya mati dan di surga diserang sepi
Ia bisa mengirimku secangkir kopi

Ketika itu ibu sedang asyik berbincang


Dengan si jabang bayi lalu
Listrik mendadak mati
Hujan turun bulan Juli
Petir menyambar tiga kali
Ibu menjeritkan namamu
Budi, Budi, Budi ...

45
Doa Kecil

Jika Yang Maha Besar itu segalanya hanyalah milikMu


Maka doaku kecil saja
Semoga segala sesuatu dalam kepala tidak terbuang sia-sia

Lalu kau bertanya


Apa yang ada dalam kepalamu?
Bukankah hanya seekor ular
Yang bergulung menunggu
Buah cinta dan rindu jatuh dari pohon itu

Lalu aku jawab


Tidak.. tidak.. tidak..
Di sana masih ada sepasang jejak kekasihmu, Tuhan
Yang bersetia di rimba kesepian
Ia menghamba nama-nama yang telah hilang
Sebelum akhirnya
Kau pun kembali datang
Memberiku sebuah jalan berpulang
Hanyalah kepada kesendirian

46
Pijitan

Malam minggu di alun-alun kotamu


Aku duduk terlalu lama menantimu
Otot-otot rinduku menjadi tegang
Diserang pegel dan linu
Yang merambat masuk ke dalam persendian hatiku

“Kamu butuh jamu atau resep obat dari dokter


Yang dulu aku pesan untuk mengusir sepi itu,” ujarmu

Sedangkan aku tak punya waktu


Untuk sekadar tak lagi mencintaimu

“Tubuhku akan sehat dengan sendirinya


Bila tanganmulah yang memijitnya,” jawabku

47
Kerokan

Rinduku sedang demam, ibu


Kemarin ia hujan-hujanan
Mengejar kenanganmu yang berlari kencang menuju kuburan

Sudah segala obat mujarab Aku makan


Agar kesedihanku cepat hilang
Tapi, kesepian seringkali menjelma kutukan
Rinduku menggigil kesakitan

Ia hanya butuh kerokan, katamu


Sedang tak Ada lagi tangan
Yang sudi merawat tubuhku
Bahkan, tanganmu
Waktu lebih dulu mencurinya dariku

Dan puisi ini sama saja dengan sajak kematian


Entah sampai kapan
Rindu ku mampu bertahan
Jika padamulah segala jalan kesembuhan
Telah dihapus Tuhan.

48
Seekor Burung Muadzin

Seekor burung Muadzin itu khusyuk mengumandangkan azan


Di telinga Koran pagi ini
Lima waktu sehari semalam
Orang-orang saleh pun disibukkan kabar
Burung terbang dari sebuah Kitab suci

Ada yang menduga barangkali para Nabi dan wali yang sengaja melepas
sangkarnya
Sebagai pengingat umat manusia

Ada pula yang menyimpulkan


Dia hanyalah sebagai tanda saja
Dari sebuah kiamat kecil Di dunia

Mereka yang tak beriman


Justru menganggapnya sebagai titisan setan
Karena Di hutan rumahnya
Telah hilang Dan dia marah
Ingin balas dendam

Ada juga yang menafsir lain


Menggunakan bisikan- bisikan Dalil
Musim dan angin
Menggetarkan jagat Raya
Lewat kabut asapnya

Tapi, Tuhan telah menegaskan


Sedemikian terang bahwa
Seekor burung Muadzin
Hanya ditugaskan untuk mengumandangkan azan
Di telinga Koran pagi ini

Sementara padamulah obituari


Manusia sungguh bebas
Bebas...
Memilih sesuka hati

49
Bagaimana Cara kematiannya
Sendiri- sendiri

Hujan

Ia datang mirip seorang biduan


Ketika senja meniup seruling dari balik Bukit
Dan malam perlahan menabuh kendang langit
Bulan bergoyang dan bintang- bintang menari riang
Berulang- ulang
Suaranya menggetarkan jantung Kota
Meninggalkan Napas yang masih juga terasa Dan tercium sepanjang waktu

Merinding ingatanmu
Saat petir kembali melagu
Kau masih saja terbayang wajah cantiknya
Yang tak kenal musim Di rumahmu
Genangan- genangan itu
Mengalirkan nada- nada cinta dan rindu

50
Sajak Seorang Peminta

Telah kuberikan engkau pintu terbuka


Untuk sekedar singgah
Memulangkan tangan tangan Tuhan
Yang tengadah
Dari langit surga dijatuhkan
Lewat ketukan ketukan maut Yang mengumandangkan hujan

Engkau telah berjalan berhari- hari


Menjauhkan lapar dari denyut Nadi
Tapi, diperutmu kini seekor ular mendesiskan kematian
Berkali- kali
Mulutmu koyak berkat Doa
Yang dimuntahkan sia- Sia
Sebab rumah itu telah kosong jadi pusara
Sejak Kau mengetuknya.

51
Lahar Kenangan

Begitulah, tenang Aku akan berdoa


Meski tak tahu arwahmu bersembunyi
Jadi apa;
Talup, yoni, Arca, atau Batu-batu Candi

Dan setelah dikremasi


Di rumah panggung kayu Yang hangus
Terbakar itu
Abumu hendak kubawa berziarah
Dari zaman ke zaman
Sebelum kembali kutimbun dengan
Muntahan lahar kenangan;
Akan dirimu adalah Kabut
Berkawah belerang
Tanpa bunga-bunga eldeweis
Tumbuh mekar Di tepian sebuah kolam
Kemudian menelurkan segala
Ingatanku; adalah Kota-kota
Yang dibangun dari tangan- tanganmu
Tuhan.

Rizki kehilangan Doa

Ketika rizki kehilangan Doa


Cahaya dupa pun menyala
Dari tiap- tiap jantung Kota

Menyulut pagi Yang buta


Tanpa matahari ia berjalan sendiri
Menembus Kabut Yang mekar
Di antara bunga- bunga- embun terbakar

Pikirmu
Kenangan itu adalah pohon- pohon walitis
Yang tumbuh dengan diameter sebesar rindu
Siap ditebang jadi perahu

52
Dan mengantarmu
Jauh...
Sebelum nuh Karam
Jadi kesepian Di tenda-tenda pengungsian

Pikirku
Kenangan itu tak berkampung halaman
Ia seperti Makam ditinggal penghuni
Mudik lebaran
Dan ke sorga barangkali
Ia jadi ular
Menunggu mu dengan sabar

Buah terlarang itu


Tak pernah Ada Dalam diriku, katamu.

53
Kesaksian Lain dari Bagian-Bagian Tubuhku

/1/ Mulut

Aku rumah, tempat rebah segala kata-kata.


Terkadang bergelung diam menunggumu
atau mendesis liar seperti ular itu.
Mencokot ribuan telinga
melilit hati yang mudah terluka.
Dan kau pun dibuatnya percaya
racun dibibirku berbisa.
Bisa membunuh siapa saja.

/2/ Mata

Berhati-hatilah kalau bermain desah padaku.


Sebab, detak jantungmu yang mengalun indah bisa seketika basah.
Tapi, jika kau telah pasrah
hentikan saja gerutumu.
Biar waktu yang tak pernah lelah itu
menipu dirimu lewat kedipan mautku.

/3/ Telinga

Kau memasukiku dengan rindu paling merdu.


Aku tahu, gaungmu selalu memecah dinding kesunyianku.
Karena suaramu adalah penghuni setia bagi gelap sebuah goa.
Maka khusuklah di sana
hingga aku tak mampu lagi mendengarmu bernyanyi.

/4/ Tangan

Kau kembali menciumku dengan bibir merah bergincu.


Tapi, aku masih saja butuh kecupan dari sang waktu
untuk sekedar menidurkan rindu.
Sebagaimana lambaianmu
meninggalkan jarak lengang

54
yang lebih panjang dari bentangan tangan.
Antara kanan dan kiriku apakah
pernah kau temukan sebuah jalan
untuk berpulang padaku?

/5/ Kaki

Kau bisa saja membunuhku waktu itu.


Tapi, tetap ingin membiarkanku
hidup dalam kesendirian.
Hujan yang kau tinggalkan
jatuh perlahan di kubangan.
Dan seorang pejalan meraba jejak Tuhan
yang selalu becek dalam ingatan.

55
Pohon Cinta

Ia menganggap cintanya semisal pohon


yang tumbuh di halaman rumahnya
yang mesti dirawatnya dengan sangat hati-hati.
Dengan rutin diberinya pupuk, dicabutnya rumput-rumput.
Supaya tak ada lagi yang mengganggu.
Supaya pohon itu tumbuh-tinggi-besar-mengakar.
Memayungi rumahnya dari amukan waktu.
Dan burung-burung
dan burung-burung terbang
hinggap membangun sarang, bertelur, menetaskan
anak-anak mereka di tiap ranting-rantingnya.

---
Ia takut jika suatu ketika musim kemarau panjang tiba.
Dan angin rindu dari utara membelai rambutnya.
Pohon yang tumbuh-tinggi-besar-mengakar itu gugur
satu demi satu daun-daunnya.
Dan burung-burung
dan burung-burung
yang setiap hari bernyanyi menyambut matahari pagi
pergi entah di mana.

---
Ia mesti rutin menyiraminya setiap hari.
Supaya pohon itu tetap bisa berbuah lagi.
Supaya ia ada alasan ketika hendak meninggalkan rumahnya.
Dan melihat kunang-kunang di suatu malam
mengajaknya untuk pulang
ke tampuk kenangan.

56
Selepas Hujan Reda

Selepas hujan reda


jalan-jalan kembali sunyi.
Tak ada wajahmu basah, juga burung-burung singgah.
Hanya masa lalu berseliweran di jalan-jalan.

Sebuah orkes melayu


pernah terulur dari rambutmu
yang rindu.
Sebuah ciuman
pernah berlinang
dari mata kita
yang meluapkan cinta.

Tapi sebuah persimpangan


yang tak bertubuh tak berbayang
selalu menjelma kutukan.

Selepas hujan reda


seperti biasa.
Di sini, di halte kota
dengan kaki yang meragu
aku menunggumu.

Entah untuk apa,


aku pun tak tahu.

Selain mencintaimu.

57
Apa Kabarmu, Sri

Apa kabarmu, Sri.


Masihkah engkau berselimut kabut sepi.
Sepanjang bentangan sajadah ini aku mencari
doa-doamu yang paling ilahi.

Kemana lagi jiwa apimu akan mengembara.


Jika segalanya sudah jadi sekam dan abu.
Di sini tangan-tangan nakal sepimu
di nujum wahyu
yang terbakar di hutan keramatmu.

Dunia kehilangan bentuk dan tak ada satu pun


ingatan yang bisa masuk.
Untuk sekedar meletakkan rindu
di depan pintu hatimu.

Apa kabarmu, Sri.


Masihkah engkau mencintai hujan
yang membentuk genangan-genangan.
Di kubangan menghapus jejak mata orang-orang
yang selalu luput mengingat Tuhan.

58
Rigen

Ia menjemur daun tubuhnya yang hijau


dengan kilau matahari meleleh di atas rigen.

Rigen yang di anyam ayah-ibu gobang


dari tangan-tangan doa di musim kemarau.

Kemarau yang di kirim Tuhan


untuk mengusir burung-burung hujan
yang mampir jatuh di kotanya.

Kota yang dulu menumbuhkan


rindunya di sepanjang ladang di lereng Sumbing.

Sumbing bibirnya yang haus cinta.

Cinta yang mengandung pahit kopi


yang ia teguk tiap hari
sehabis menunaikan ibadah puisi.

*Rigen= alat menjemur tembakau rajangan yang terbuat dari bambu.


*Gobang= alat mengrajang tembakau

59
Sebuah Kota yang Kehilangan Manusia

Di Yogyakarta,
ia melihat kotanya menganga
pada mata anak itu.

Mata yang merah,


merah darah.
Menetes luka dan juga amarah
yang tak sudah-sudah.

Ia bayangkan
matahari pecah jadi dua kubu.
Timur dan barat
masa lalu dan masa depan
berubah jadi lautan
rindu dan dendam.

Ia teringat bayinya
yang bermandikan air garam.
Dan seekor anjing
menyalak melihat majikannya
yang sedang tenggelam.

Ia masih terngiang
kota-kota yang dipenuhi runtuhan
doa dan air mata.

Tuhan bicara tanpa suara


sebab sesak nafasnya.

Di Yogyakarta,
ia melihat langit menganga
pada sebuah kota
yang kehilangan manusia.

60
Jihad

Jika tubuhmu tak pulang ke darat.


Kami tuang ini darah ke dalam gelas ingatan
seperti secangkir kopi
Minumlah…

Jika jasadmu tak terapung di laut.


Kami tetap hidangkan ini belulang di atas piring kuburan
seperti anjing lapar
Makanlah…

Ruhmu empat sehat lima sempurna.


Ke darat, di laut
hidup kami muntah-muntah
karena kekenyangan Tuhan.

61
Gulai Ayam Cemani

Rinduku mengepul dari dapur puisi


bersama bumbu-bumbu sepi
yang kau tabur ke dalam kuali.
Menyusun dendam
rempah-rempah yang belum jadi.

Di atas papan racik ini


daging ingatanku kusayat berulangkali
hingga habis tulang-belulang sunyi.

Santan pecah
kayu ditinggal api
dan waktu matang di janji.
Sedang cintamu menjelma
gulai ayam cemani
yang selalu batal terhidang
di meja makanku ini.

62
Panen

Dengan ukuran apa kami harus memanen.


Tidak ada lagi yang sungguh tersisa
ladang penuh terisi keringat sendiri.
Air mengalir menuju mata
matahari memalingkan wajahnya.

Kini bibir jerami hanya menghisap


daging musim kering.

Tapi, ladang yang sepi mesti kami isi.


Sesuatu mesti kami tanam di sini.

Meski setiap pagi hanya doa


yang bisa memanen luka.

Pada tangan-tangan nakal hujan


meremas-remas dada langit
dan pantat kerbau pun kian
menjerit-jerit.

63
Burung Blekok

Seekor burung blekok melayang bimbang


pada tahun-tahun kehilangan.
Paruhnya tiada isi, bagai tertelan hantu.
Mencari ladang yang dulu telanjang
tempatmu memetik biji-biji rindu.

Bercerita ia dengan si kerbau dungu


yang telah lama buta akan harum luku.
Lengking jeritnya serupa jejak kaki padi
yang tertanam di mata petani. Dewi sri
jangan kau marah pada matahari
turunkan saja, tangis langit
agar tanah-tanah tak lagi menjerit.

Burung blekok masih melayang bimbang


berpegang harapan yang mulai goyang.
Hingga ia temukan seribu petani
bercermin membelakangi
sungai-sungai kering.
Tak ada tubuh mereka
hanya bangkai ikan
di negeri Baalbek.

Pandang burung blekok membayang.


Betapa ingin mengelana jauh
ke kedalaman hatinya.

Surga barangkali tak seperti ini


tak ada buah khuldi berjatuhan
memenuhi luas ladang
dan tenggorokkan.

Tak ada ular siluman


dalam fabel dan ketakutan.

Tak ada bulu berhamburan

64
tulang berguguran
Hanya hujan,
hujan, dan hujan.

Pelangi
bagi kematian.

65
Rumah Ibu

Dalam tidurku, aku lihat air mata itu


mengalir jauh mencarimu
melewati sungai, kota,
dan sampai ke rumahmu, bu.

Aku ragu mau mampir bertemu


sebab pintu rumahmu kau kunci
tirai dan jendela kau tutup
lampu-lampu kau padamkan.

Hanya lagu keroncong


terdengar pelan dari dalam
juga bayang-bayang perempuan.

Ah, siapa itu yang sedang tidur


dalam gendongan.

Aku gemetar napas tersengal


sampai bait ini aku tak sadar diri-
tersesat ke alam mimpi.
Nah, ketika aku bangun
di kamar tak ada sesiapa
hanya seekor puisi
yang sedang bernyanyi
tak lelo lelo ledhung
membuat bangun
sepi dan sunyi.

66
Jenggot Wali

#
Menjuntai ke bumi
jalan lurus nabi
ayat-ayat suci.

#
Bendera lelayu
menyapa air mata
seputih kalbu.

#
Langit menghitam
burung terbang
Tuhan jatuh di pelukan.

67
Kunang-kunang di Bukit hatimu
:untuk ni

Disinilah tubuhmu ditanam ibu


Dari cinta dan rindu sebuah kota yang kau kata
Pakuning tanah Jawa

Setiap malam mengenang senja


Di bukit hatimu sekawanan kunang-kunang
Terbang membawa sulur-sulur doa
Yang hinggap di antara pohon-pohon
Berdaun cahaya

Kita yang asing dari kejahatan ciuman


Sering di kutuk badai ingatan
Untuk sekedar memulangkan pelukan tuhan
Yang tak mampu lepas dari tubuh kenanga

68
Doa Akhir Tahun

Jikalau Tuhan seperti sebatang pohon Cemara


Kanku gantungkan segala doa-doamu di antara ranting dan dahannya
Biar santa claus datang untuk mengirimkan cinta dan rindu kita
Yang tertinggal di dalam surga

69
Doa Awal Tahun

Sebentar lagi Desember akan pergi


Meninggalkan hujan dan banjir di kota ini
Tetapi kereta berkuda itu belum juga datang
Membawa hadiah titipanmu, Tuhan
Untuk anak-anak Maria yang kesepian

70
Kitab Padi

/1/
Yang gagal kita amini dari menanam padi
adalah jalan lurus ke masa depanmu
tak mundur dan ke belakang itu.

/2/
Di garis tanganku dia curi waktu
ke jantungmu dia jadi hama
begitu lama, dan meninggalkan luka.

/3/
Sepotong hati bolong menunggu
sekawanan burung terbang menukik tajam
mematuk-matuk biji mata kita yang buta musim kawin.

/4/
Begitu lama dia berseru
kita jadi sekam dan abu
ke arah masa lalu dia melagu.

/5/
Oi, cintaku dikutuk dari rasa lapar itu.

71
Membaca Garis Tangan

Sekali waktu
nasib bermain di garis tanganku.
Menyaru sebuah jalan
lurus atau menelikung tajam.

Tak ada bedanya.


Sebab, akhirnya semua buntu.
Ke arah masa lalu
sepi membawaku
terbang jadi kupu-kupu.

Menyelinap di balik gumpalan awan.


Pecah berserak jadi serbuk-serbuk hujan
yang rentan diremas tangan Tuhan.
Lalu jatuh menjadi kenangan.

72
Mawar Berduri
: Endang

Dadanya tidak mekar mawar


tapi, duri. Endang mawar duri.
Malam menamparnya
hingga pecah bedak di mimpi.
Ibunya mengutuk diri jadi batu
ia memilih jadi hantu
dan mencari
mencari lalaki.
Ke pasar kembang
atau ke pasar remang
siapa berani menawarku ini?

Tembakau kemloko
rasanya pahit
tapi, tubuhku enak dicicip.

Pagi yang cacat


menyeretnya pulang
menggugurkan
bunga-bunga perawan
di atas nisan.
Ibu aku datang
di rahimmu
masih adakah kesedihan?
Bandoso

Empat ekor kuda


satu kereta
ke arah kiblat.

Berpayung langit
hujan menyimpan perih

73
di lubuk ajrih.

Sebelum berangkat
Syeh Abdul Qodir Jaelani
berucap;
“Yang hilang dan yang lenyap
bisa (jadi) kita berikutnya.”

Amin,
dua malaikat diutus
mengukur jarak.

Antara kedatangan dan kepergian


mana yang kau pilih?

Gugur bunga
kidung bergema.
Sepanjang jalan
orang-orang bertanya
menjadi tua.

Kemana kita akan


pergi, setelah ini?

Anjing-anjing menyalak
di atas makam
seorang wali
ayat ayat suci.

Doa-doa
kembali sunyi.

Syeh Abdul Qodir Jaelani


berkata; “ Yang percaya dan niscaya
bisa (jadi) kita selanjutnya.”

74
Shirotol Mustaqim
pintu terbuka.

75
Kota Santri

Di gapura sebuah desa kembali namamu gagal kueja.


Nama seorang wali yang dijaga ribuan ayam cemani.
Dengan sayap-sayap hitam tak ringkih dikikis hujan
yang berabad-abad menyelinap
dari tempat gelap menuju terang.

Siapa yang memutar waktu ke belakang


siapa diriku tanpa dirimu sekarang.
Kalau bukan seseorang yang tersesat
dari balik pekat kabut asap.
Lalu cahayaMu menyentuh jalanku
ke arah kiblat.

Aku datang kepadamu


sebagai perantau dari negeri jauh.
Di pagi hangat, tak berbekal apa-apa
hanya membawa hati dan cinta
seputih buih di samudra.

Dan jika bukan karena dirimu


mungkin aku juga tak tahu di mana Tuhanku.
Tapi kau memilih tinggal di kota itu.
Saat aku masih ingin mengukur
seberapa dalamnya sumur di hatimu.

Ah, waktu begitu gelap, sunyi, dan senyap.


Membuatku kian bertanya-tanya
kelak cahaya akan terbit dari arah mana.
Timur atau barat

76
atau dari matamu yang telah
terpejam lelap.

77
Sabda Waktu
; Siti

Kau tak memerlukan gugur bunga


untuk adegan hidup semelankoli itu.
Sebab ajal tak mudah jatuh cinta pada yang bersedih.
Sebab kematian pun sesungguhnya tak pernah
bermimpi memiliki seorang kekasih.

Kau hanya perlu bercakap-cakap


dengan malaikat yang sungguh tak hanya ingin
mendengar gerutumu
tentang sepasang sayap itu.

Kau tak perlu berusaha payah


menggerakkan apapun yang tak pernah kau sukai dari tubuhmu
yang lelah kaku beku di lemari es.

Kau pun tak usah bermimpi bangun


setelah di kurung tidur begitu lama
dan gelap menyelinap dengan nyenyaknya.

Tapi, di ranjang itu


kau bak seorang permaisuri.
Dengan belahan payudara terbuka
ingin menggoda Tuhan sekali lagi.

Kau pikir Tuhan


seperti seorang lelaki yang patah hati.
Mudah dibujuk-rayu
dengan cinta dan rindu.

Kau hanya harus terus berpura pura


menikmati hidup dalam keketiadaan.
Sebab ciuman terakhir malam

78
biasanya penuh dengan kutukan perpisahan.
Desah dan nafasmu hanya akan menjadi jaminan
paling memabukkan bagi setiap mata langit yang merindukan hujan.

Kau boleh mencintai atau membenci.


Tentang segalanya yang tak pernah kau tahu atau yang ingin sekali kau tahu.
Tapi, sejauh apa usia bakal mampu mengingatkanmu.
Jika pada akhirnya hasrat bercintamu
pun sirna di curi waktu.

79
Anjing Penghujung Tahun

Anjing-anjing turun gunung di penghujung tahun yang becek.


Mereka kehabisan cerita untuk menidurkan senja.
Sebab, orang-orang akan pergi ke balai kota
atau ke tempat perayaan
di mana maut tak bisa datang.

Karena malaikat sedang sibuk berpesta


menyaksikan riuh terompet dan kembang api di surga.
Bersama bayi-bayimu yang mati di Gaza.

Sedang kita tertawa, bahagia


menghitung detik-detik pergantian tahun.
Ketika doa tak kunjung rampung di susun.
Hingga pagi itu kita bangun
dengan tubuh yang begitu ringan
dengan langkah yang teramat pelan.

Anjing-anjing itu menyalak


di atas makam?

80
Ibadah Bulan

Bulan...
Malamku yang sunyi merindukanmu mengaji.
Membacakan ayat-ayat suci
menerangi bumiku ini.
Suara adzanmu membuat lubang di dada kami
tertutup kembali dari benci dan dendam yang bergoyang
menghantam karang dan lautan diri.

Bulan...
Langitku yang sepi bergemuruh.
Mendengarmu melantunkan sholawat nabi
degub jantungku tak bosan mencari.
Zikirmu menggema menggetarkan jagat raya
memancarkan cahaya menghapus gelap
ke dalam jiwa.

Bulan...
Hujanku yang kecil tak bosan memanggil.
Mengucap salam dalam alunan tasbih
hapus dosaku Tuhan yang berlebih.
Doamu teguh tak tersentuh keluh
walau seribu bayang ketakutan
ingin berlabuh.

Bulan...
Petirku yang nakal gemetar mendengar.
Suci janjimu kepada bintang dan kehidupan.
Ibadahmu, ibadah atas nama Tuhan.
Ibadah penyerahan jiwa dan badan.

Bulan...
Engkau, kekasih Tuhan
yang tak pernah lupa sembahyang.

81
Sholatmu dan ibadahmu
hidupmu dan matimu
hanyalah kepada Allah
Tuhan sekalian alam.

Bulan..
Jika pagi datang dan engkau menghilang.
Aku, akan tetap mengenangmu,
menunggumu.

Sepanjang malam
hingga daun-daun
ditubuhku gugur berserakan
di pangkuan Tuhan.

82
Anjing Waktu

Yang menunggumu di depan pintu.


Ia adalah rindu
menyalak lapar
meminta air mataku.

Yang menantimu di ruang tunggu.


Ia adalah waktu
menggigit sakit
daging-tulang tubuhku.

83
Gudeg

di Yogyakarta cinta kita matang jadi sayur nangka


yang dimasak dengan santan hingga rinduku
menghasilkan areh (kuah) yang kental
di panci tanah liat
lidahmu jadi gatal-gatal
ingin mencicipinya kembali
tapi kemana kamu pergi, dab!
setelah gempa bumi tektonik itu
mengguncang meja makanku
bibirmu rumah joglo yang manis dan legit
rusak parah ketika aku gigit

84
Biarkan
:Jugun Ianfu

Malam ini biarkan jendela tetap terbuka


Biarkan angin masuk dan membangun tangga.
Biarkan bulan menggelinding dari masa lalu dengan malu-malu.
Biarkan puisi ini tak memakai baju.
Biarkan dengan kemaluannya aku pasrah-srah kepadamu.
Biarkan ia bersetubuh dengan tubuhmu.
Biarkan!
Hujan di luar hanyalah saksi bisu.

85
Wedang Ronde

Selalu ada jahe yang jatuh cinta


Pada wedang ronde
Tapi tubuhku tak pernah hangat
Darahku membeku
Seperti rindumu yang tersimpan dingin
Di lemari es hatiku

86
Puisi Cinta

Di dalam tidurku
Bila aku rindu ibu
Ia sering muncul tiba-tiba
Menggodaku dengan payudara terbuka
Tangan kata-kata yang nakal tak kuat imannya
Dan menuliskannya menjadi puisi cinta

87
Angkringan

Selamat malam sayang, nasi kucingku dan


Sambal terimu yang pedas telah habis di makan lapar bulan
Saat ceker ayam dan bakwan saling merindukan hujan di atas gerobak kayumu
cinta kita
Mulai dingin, dibelai tangan angin yang mampir sebentar
Ke dalam tenda-tenda terpal di pinggir jalan

Susu jaheku yang mendidih di ceret itu


Menunggu gelas bibirmu menyeduhnya dengan amin semanis rindu

88
Kota Dalam Kepala

Akhirnya ia temukan juga kota itu. Setelah


ia habiskan sisa usia rindunya untuk mencari:
kota itu ternyata tak pernah hilang, ia hanya sekadar bersembunyi
di dalam tempurung kepalanya sendiri.

89
Menggambar Kota

Cita-citanya sederhana saja


ia hanya ingin bisa menggambar kota
dengan kedua tangannya yang bercahaya.
Tapi Tuhan telah mengirim cahaya
menggunakan bom waktu milikmu
Yang jarak radiusnya berkilo-kilo rindu
dan mengambil cahaya itu
dari kedua tangannya yang menyala sia-sia
di kampung halaman tercinta

90
Andong

Di dalam tubuhku ada seekor kuda


liar dari sabana Sumba.
Ia kau pelihara di Yogyakarta
untuk menarik kereta cinta para turis.
Hinga keringat rindunya kau peras habis.

91
Janur Kuning

Atas nama dekorasi


Yang serius mencintaimu

Aroma tubuhku yang katering hancur


Dikoyak tangan tamu undangan

Datang bersalam-salaman
Tunjukkan jalan lurusmu

Janur kuning itu telah layu


Mengingatmu
Di antara bibir orang-orang yang tertinggal
di meja makan prasmanan

92
Susu Kaleng

Puisiku, bayi-bayi yang lahir prematur dan


Bergizi buruk

Sebab kau tahu, semenjak di rahim ibu


Kata-kata telah menyusui asi sapi
Yang kau tuang dari payudara kaleng berkemasan ini

93
Pusing

Di atas kepalaku yang gundul


Engkau seringkali muncul
Dan bertelur

Ketika menetas
Hatiku jadi was-was dan cemas

Di tukang cukur
Aku bertanya, “adakah obat untuk
Penumbuh umur?”

94
Selera Indonesia

Kau tanam rindu ke dalam bumbu masakan itu, ibu


Tangan-tangan gaibmu seperti sajak hujan yang pernah kutulis atas nama Tuhan
Kata-kata meresap ke dalam tanah
Jadi sayur dan buah di kebun
Bolehkah aku memetiknya, ibu
Aku suka tumis kangkung, sup tomat, dan jus jambu
Cabe merah, gula jawa, bawang putih, merica, kapulaga
Dan segala bumbu rerempahan waktu yang pernah Engkau
Tiriskan di jantungku

Mengingatkan tentang dapurmu, tentang hujan, dan kenangan


Juga sajak-sajakku yang pernah hilang
Ada cinta matang di wajan
Kesedihan menetes di air kran
Dan jalan lengang menuju meja makan
Tidak, tidak, ibu
Sayur ini begitu hambar
Aku perlu garam, atau kecap buatan dari bibirmu
Yang asin-manis itu
Supaya bibirku yang selera Indonesia
Bisa lahap ketika menyantapnya

95
Sepi

#
Sejak Ibu pergi
sendiri aku
dirawat sepi.

#
Rumah semakin tua
tumbuh uban
di pintu dan jendela.

#
Waktu melamun
menunggu siapa
rinduku meneteskan airmata.

96
Mengunjungi Ibu

#
Di muka pintu
langkahku tergugu
menabur bebunga rindu.

#
Aku kerdil
di rumahMu
sekecil biji-biji kopi.

#
Di cangkir bumi
kau aduk sepi
aku mabuk puisi.

97
Gubuk di Tengah Kota

Ia ingin habiskan pagi itu untuk mengusir rindu.


bertandang ke sebuah gubuk
hanya untuk menyaksikan seekor kerbau ngamuk.
Yang enggan di suruh membajak sawah dan ladang.

Sambil menunggu bekal datang


singkong rebus, nasi jagung, dan pepes ikan
membuat air matanya kian kelaparan.

Lalu ia makan sambil sesekali memicingkan mata


ke arah jalan raya
yang semakin lebar
selebar jarak yang tercipta
memisahkan ia dan kampung halamannya.

Di gubuk itu
ia nyalakan radio
memutar lagu-lagu masa lalu
sepanjang waktu
sembari menatap kosong
gedung-gedung yang dibangun
juga kesibukannya yang tak kunjung rampung
di susun.

Di luar hujan turun


meski pun langit tak lagi mendung
hujan akan bertahan
hingga ia
bisa mengusir rindunya yang terjebak
macet pulang
meninggalkan ibu kota.

98
Kau Menggali Jiwaku

Kau coba menggali jiwaku


Entah di kedalaman berapa
Cahaya sirna, matamu membuta
Kau berjalan dengan tergesa
Mengikuti alunan genta dan taburan doa
Melewati musim bunga dan juga taman-taman penuh suaka

Kau dengar gemericik air di jiwaku


Mengalir
Kau basuh seluruh tubuhmu yang lelah
Kau lepas segala kata-kataku yang pasrah
Langit tengadah

Puisi demi puisi lahir menuju muara


Ikan ikan bercerita di bawah guyuran hujan
Yang tak bisa diterjemahkan bahasa.

99
Layang layang

Gadis kecil itu tak lagi bermain layang layang


Setelah benang yang diulurnya panjang
Seperti ia punya pikiran putus di tengah awan
Ia pun terbang bersama layang layang
Meninggalkan kampung halaman
Juga masa kecilnya dalam bayang-bayang hujan

Bertahun-tahun tak pernah pulang


Layang layang yang tinggal sobekan itu
Nyangkut di ranting dan daunan
Sedang tubuhnya nyangsang entah di mana
Tak ada lagi yang mengenangnya

Usia telah membawa dewasa


Dan mengajaknya mengembara
Mengarungi samudra kehidupan
Lewat kecantikannya

Setiap senja sehabis pulang kerja


Ia duduk di dekat kaca jendela
Dan bercerita tentang seorang jejaka
Yang sebentar lagi akan datang meminang
Kesepiannya.

100
Di Kampung Halaman Kedu

Di kampung halaman
Kita akan pergi jalan-jalan
Setelah bertahun-tahun lidah ndesomu
Dibutakan makanan-makanan instan

Di pasar Kedu rindu kembali datang menyeret bibirmu


Mencicipi ingatan masa kecil yang membuat
Kedua mataku berair
Mengalir banjir nasib jajanan leluhur yang mengerikan itu
Di dalam tempurung Kepalamu
Suara-suara tawar menawar bakul panganan tradisional
Terdengar samar di telan
kokok ayam cemani berkotbah di pagi hari
Menjenguk wangi biji-biji padi yang kembali gagal panen
Di tubuhmu Sri

Kenangan seperti kutukan hujan yang melahirkan


Kesedihan demi kesedihan di ladang ini
Ki Ageng makukuhan
khusyuk
Membaca Yasin dan tahlilan
Untuk merayakan diri kita yang kesepian

101
Pasien itu Bernama Rindu

Setelah sembuh dari penyakit rindu


Aku akan kembali menyantap bibirmu
Yang alami tanpa bahan pengawet dan micin

Usai cintaku divonis dokter mengidap kanker


Ia harus rutin menjalani kemoterapi
Untuk membunuh sel-sel sepi yang semakin tumbuh membesar
Menjadi benjolan
Di kepalaku rambut-rambut ingatan rontok satu demi satu

Hal pertama yang bisa membuatku cepat pulih adalah


Menelan senyumanmu yang ampuh
Melebihi segala jenis obat yang pernah aku minum

Kemudian pelan-pelan kondisi tubuhku akan membaik dengan sendirinya


Ketika kamu datang membawa doa dari kenangan kita
Yang baru saja sadar sehabis luka membuatnya koma dan trauma

102
Rumah Kenangan

kita tak pernah pandai


menafsirkan ngeong cinta
atau guguk rindu dalam kepala siapa
yang paling gila suaranya

rasanya, baru kemarin cinta dan rindu kita berdamai


saling membagi kasih, tapi entah kenapa kini
seekor keresahan dalam diriku kembali
mengejar-ngejar dirimu

tulang mana lagi yang bisa kuberi


sedang setelah kupotong
baris rusuk puisiku
Cinta dan rindu itu saling berebut nujum dan wahyu

di kepalaku, kesunyian seperti mengunci diri


dari suara-suara hujan pagi yang turun deras mengamini sementara
gemuruh sepi masih saja duduk santai di rumah kenangan sambil ngopi dan
ngebul
menyaksikan burung-burung kenari bernyanyi riang di pohon-pohon ingatan
Yang entah sampai kapan bakal mampu kita tinggalkan, di kampung halaman.

103
Suara Rindu

Terdengar suara rindumu


Dari sumur belakang rumahku
Sumur cinta yang telah lama diam
Di tinggal penghuninya
Itu kembali bicara

Seperti ngeong kucing


Mencari-cari jejak majikannya

Siapa dia menatap


Dari kedalaman
Mata perigi

Mungkinkah seekor sepi


Dalam diriku sendiri
Memeluk dan meneguk racun rindumu
Yang tak pernah mati

Seperti mata air sungai Nil di Padang pasir


Terus mengalir tak bisa mengering

Ke dalam tubuh puisiku


Suara rindumu itu masih terdengar merdu
Dari sumur belakang rumahku

Seperti setetes hujan


Yang selalu merindukan pelukan Tuhan
Hutan Keramat

Jalan menuju rindu amat berliku


Sedang langkahku tersandung seekor ular sepi
Melilit tubuh kenanganmu
Ke kanan dan ke kiri

Aku tersesat dan tak bisa pulang

104
Di hutan keramat begitu banyak hewan kesepian
Pohon-pohon tumbang jadi jalan raya
Asap tebal mengepung kota
Hujan air mata di mana-mana
kampung halaman bertanya;
Kemana
Orang-orang pergi sepagi ini?

Apakah kenangan yang terbakar cerobong asap pabrik


itu tahu jawabannya yang pasti.

105
Ketan Gudig*

Andai saja setan itu


Tidak seseram cinta
Dan huruf S yang ada di depan katanya
Di ganti dengan huruf K
Mungkin kita tidak akan pernah merasa takut
Jikalau ia muncul tiba-tiba
Dan hilang meninggalkan sebuah luka

106
Rondo Lemu*

Cinta tumbuh dari mangkuk berdaun pisang


Yang kau tuangi adonan
berwarna merah jambu bibirmu

Ke dalam dandang
Berperut buncit
Kau kukus aku
Hingga kembali mengembang itu rindu

Sabar ya nanti dulu


Biar matang
Ini sepiku!

107
Lemper*

Kenangan adalah suwiran ayam


Kau masukkan ke dalam ketan
Yang dibalut daun pisang
Lalu kita masak ke dalam dandang
Rindu matang di Kota kelahiran

108
Emping Kecis*

Menu jajanan hari ini


Adalah bibirmu
Yang aku geprek dan jemur bersama irisan singkong
Di bawah matahari jam 6 pagi
hujan yang pedas itu kemudian menggorengmu
Di tanah Kedu dari segala rindu yang kriukriuk di hatiku

109
Empis-empis*

Tuhan doaku kepedesan


Gara-gara banyak makan amin
Dari manis bibirMu
Yang cabe rawit itu

110
Wajik*

Setelah engkau rendam sehari semalam


Tubuhku kau aduk dengan peresan air gula di atas api membara

Di dalamnya
Kampung halaman kita
Menjelma daun pandan
Wanginya tercium rindumu sampai di Negeri seberang

111
Ndas Borok*

Kepalamu singkong yang di kukus


Kenanganku parutan kelapa di atasnya
Rindu kita taburan gula Jawa
Melelahkan luka
Di kampung halaman cinta

112
Marjubi*

Di Kedu
Akulah suwiran ayam itu
Yang kau giling ketika musim kawin

Bulan Syawal sungkem di meja makan prasmanan


Menunggu sanak-saudara pulang mudik lebaran
menabur bebunga rindu di atas piring kuburan

*makanan khas kab temanggung

113
Metamorfosis Kesepian

Ia tak pernah lagi di kutuk menjadi kepompong batu


karena ibunya tahu di Jakarta ia tak hendak beranjak
jadi kupu-kupu.
Bahkan, untuk makan saja ia harus menjadi ulat bulu
terbang dari dahan menuju puncak perdu.

Di hari Sabtu ia di telepon si ibu


“Kapan kau pulang, ibu rindu mengutukmu, sayang?”
Di hari Minggu ia menangis tersedu
“Tolong jangan kutuk aku dulu, Bu. Aku belum kaya dan masih susah-susah saja.
Malin sayang Ibu, dada.”

Ibunya terharu mendengar keluh-kesah


anaknya itu
tiap malam hujan dimata ibunya
tak bosan sembahyang
mengirim pesan kepada Tuhan.

“Tuhan jadikanlah anakku, hamba yang kau sayang.


Biarkan dia cepat pulang, dan aku bisa mengutuknya sebelum kematian datang.”

Setelah layar menghitam


dan “tujuh tahun kemudian,…”
Kupu-kupu itu pun terbang
melayang bimbang
mencari kuncup bunga-bunga bermekaran
sebelum akhirnya singgah sebentar
di atas nisan
Dan langit menjadi kelam
Lalu hujan datang
hujan datang
menumbuh subuh
Air mata rumputan.
Gadis Poronganyar

Di tepi tanggul gadis itu berdiri


memegang terompet dan sebatang kembang api
ribuan kaki melangkah
di jalan pulang
menjauhi kampung karam
langit menghitam
Bulan Januari telah di genggam.

114
Tapi, gadis itu masih berdiri
di tepi tanggul
berbedak lumpur dan pupur
ia tak mau pergi
ia akan tetap tinggal di sini.

Menunggu seorang lelaki


Pujaan hati datang meminang kesedihannya yang sudah matang.
Di peluk kesepian.

Di televisi
ia lihat hujan itu turun kembali
Mengumandangkan azan
di tanah kelahiran
Yang kini hanya tinggal puing-puing kenangan
Yang sudah tidak lagi perawan

115
Di Halte Tubuhmu

Di halte itu, telah kutemukan jejakmu


duduk menggigil dibungkus salju.

Seolah-olah ada yang ditunggu,


Mungkinkah itu rindu.

Sepotong hati bolong dibangku.


Dari seberang jalan
matahari melambai malu-malu,
meninggalkanku.

Sebelum senja datang


Mencetak rute kosong dan
jalan buntu
menuju hatimu.

116
Ranjang

Di atas ranjang puisi tak memakai baju


Ia memelukmu dengan malu-malu
Mencopot celanamu dan menemukan seekor burung yang berkicau merdu itu
Sedang asik bercengkrama dengan rindu

“Dengarkan desahannya kekasihku”


Suaranya sungguh menyayat hati sepi yang cantik ini

Bulan terbangun malam-malam


Ketika orang-orang kesepian hendak bergegas pulang

Kata-kata menjelma kunang-kunang


Berkeliaran di gelanggang ranjang

Di bibirnu waktu
Laksana ciuman seorang ibu
Setia menunggu, menunggu
Sajak-sajakmu haus-minta minum susu ?

117
Tuhan Ada Di mana?
Tuhan ada di
rambutmu, dahimu, bola matamu,
wajahmu, alismu, telingamu, kelopak matamu,
bulu matamu, hidungmu, lubang hidungmu,
lesung pipimu, pipimu, dagumu,
mulutmu, lidahmu, gigimu, bibirmu, gusimu.

Tuhan ada di
lehermu, bahumu,
tenggorokanmu, dadamu, perutmu, pusarmu,
punggungmu, putingmu, payudaramu, rusukmu.

Tuhan ada di
pinggangmu, panggulmu,
bokongmu,
kemaluanmu, duburmu.

Tuhan ada di
lenganmu, sikumu, telapak tanganmu,
jari tanganmu, bulu ketekmu,
kukumu, pergelangan tanganmu.

Tuhan ada di
pahamu, lututmu, betismu, mata kakimu,
telapak kakimu, punggung kakimu, tumitmu, jari kakimu.

Tuhan ada di
darahmu, dagingmu, tulangmu, ototmu,
ususmu, jantungmu, paru-parumu,
lambungmu, ginjalmu, hatimu, pankreasmu.

Tuhan ada di seluruh tubuhmu


Tapi kau mencariNya di luar tubuhmu
Pantas saja selama ini tak pernah bisa ketemu
Dasar kau hamba yang lucu!

118
Pengakuan Seorang Pencuri

Malam itu, diam-diam aku masuk


Ke dalam tubuhmu
Setelah bersusah payah mencongkel
Jendela hatimu yang kau kunci

Kedatangan yang tiba-tiba ini


Bukan sekedar berkunjung
Menjenguk wangi kulit dan
Nafasmu yang berkabut rindu

Tapi, aku datang


Untuk sebuah kejahatan

Tak perlu doa


Hanya rencana
Sebab, di tubuhmu
Ada banyak simpang jalan berbahaya

Di antara jalan itu


Tersesat aku...
Dan berharap seekor anjing cintamu
Bakal mampu menemukanku

119
Kopi Rindu
Sudah jelas bukan yang hitam dan tampak menawan
Suka menggoda bibirmu yang bulan tercebur
Ke dalam cangkir cantik itu
Ia bukanlah aku
Tapi racun rindu yang berusaha membunuh kamu

120
Himne Kopi
Atas nama sepi yang keranjingan ngopi
Marilah kita tundukkan kepala sejenak
Menghargai jasa cinta dan rindu
Yang telah gugur melawan luka-dukamu
Yang mendidih di cangkir mataku

121
Demam
Hujan yang keranjingan itu
Membuat rindu di tubuhku jatuh pingsan
Dan butuh nafas buatan
Dari bibir cintamu yang sariawan

122
Menanam Mentimun di Temanggung
Ti, kau orang temanggung yang suka menanam mentimun
Katamu, mentimun di temanggung tak lagi berbuah
Tanahnya rekah
Telapak tanganmu pecah-pecah serupa
Nasibmu yang pecah-pecah

Katamu, di temanggung hujan belum bangun


Ia masih tidur menjingkrung mengenakan sarung
Di puncak gunung aku lihat angin yang murung membawa
Garis telapak tanganmu serupa buah mentimun

123
Jika
Jika tubuhmu yang tak bersertifikat ini di gusur sepi
Kemana lagi sajak-sajak cintaku akan kembali berumah
Jika padamulah rindu lebih dulu memanggilmu dengan sebutan ibu dan ayah

124
Panduan Ziarah Rindu

Mungkin—rindumu akan datang sendirian- atau bergerombol


seperti komplotan begal
yang enteng merampok, yang usil membunuh,
atas nama kesepian, bukan Tuhan
Tapi, kau tak membawa pisau atau benda tajam apa pun
di atas gundukan makam, yang entah siapa pemiliknya itu
Hanya sekeranjang bunga doa
Berguguran di sana
Juga sebuah cinta yang engkau selipkan di celana atau pun beha
“ Kau ke sini mau apa?” Tanya si empunya gundukan
Wajahmu pucat, ragu-ragu menjawab
“saya ingin bertemu rindu ... ”katamu

Si empunya gundukan tiba-tiba menyela percakapanmu


“Haha.. saya tak kenal siapa itu rindu”
Apakah mereka juga makhluk tuhan, katanya kepadamu
“kau lantas pulang, menjenguk kenangan di kampung halaman
Ketika adam dan hawa sedang khusyuk memanen buah luka
Dari bibir seekor ular berbisa sepanjang jalan menuju surga dan neraka.”

125
Panduan Tes Bertemu Malaikat Rindu
Sepi tak butuh sehelai kain mori
Untuk bertemu malaikat rindu yang satu ini: sebab ia takkan
Bertanya hal: siapa Allahmu, apa agamamu,
siapa rasulmu, apa kitabmu, dan seterusnya.
Sebab sepi bukan si calon mati , meski di ruang
Kedap udara ini ia begitu sekarat, ketika diintrogasi
Dan tak bisa menjawab, serta terus didoain kerinduan kita yang
Sabar menunggu kabar baik atau buruk itu datang
Seperti seruan Tuhan.

Sepi tak perlu grogi hanya butuh penampilan rapi


Kemeja putih lengan panjang dan celana hitam
Sedikit parfum dan senyum palsu
Juga selembar kenangan bertuliskan ‘aku mencintaimu’

Begitulah bertahun-tahun sepi kirim


Pesan yang entah kepada siapa, yang entah sampai umur berapa
Tubuh cinta yang baka ini bakal mampu bekerja
Sebelum akhirnya menjadi tua dan kena PHK

126
Tukang Reparasi Rindu

tukang reparasi itu selalu mengawasimu. kau tak tahu apakah


ada masalah serius dengan tubuhmu yang seringkali di dera
penyakit sepi itu.
tapi kau merasa baik-baik saja – tak ada yang perlu
dikhawatirkan, wajahmu masih matahari yang merindukan
hujan, gigimu biji-biji padi yang tumbuh merunduk di tanah
kedu, matamu sinar bulan di atas kuburan, rambutmu ayam
cemani hitam, payudaramu gunung berapi penuh birahi dan
kelaminmu doa paling sepi dari muntahan lahar merapi.

tukang reparasi itu selalu mengawasimu, dan pelan- pelan


dirimu kian ketakutan. kau pun mulai mencoba
memberanikan diri bertanya kepada si tukang reparasi, tanpa
menyinggung sedikit pun tentang bagian-bagian lain dari
tubuhmu yang paling kau rindu
karena kau tak ingin kalau suatu ketika
Tubuh yang amat kau cintai itu nantinya menjadi kenangan
dan harus rela digantikan ketika usia ingatan berpulang
hanya kepada kesendirian.

127
Monumen Meteroit Rindu

Pada awalnya hanya cintaku yang diberitakan hilang, terus rinduku, lalu kenanganku,
kemudian ingatanku, dan terakhir masa lalu di sekujur tubuhku.
Waktu itu matahari entah sembunyi di sudut mana
Garis lintang Utara, atau bujur timur koordinat ke berapa
Senja pun sedang khusyuk mencarinya
Malam baru bangun dari tidurnya
Bulan habis selesai mandi dan sisiran
Di hadapan cermin langit
Aku lihat bayanganmu sendiri
Melompat ke arah bumi
Kau meninggalkanku
di dalam bahtera
yang dikelilingi
oleh puing-puing
Kerinduan kita
Yang terbakar atmosfer
Dan melubangi rahim luka
di kota itu aku lahir kembali
Sebagai pecahan doa yang selalu diam
Ketika gravitasi hujan tetiba menabrakku dan bertanya
Dari planet mana sepi itu kau bawa?

128
Ritual Mengasah Rindu

Sudahlah… cukup tubuhku kau kungkum


Dengan air suci basuhan puisi
Angkat dan taruhlah aku kembali
di atas batu asahan itu

Berkali-kali tanganmu koyak


Maju-mundur menggerakkan jarak
Yang berkilat-kilat tajam
Membelah kehilangan

Seperti mata leluhurmu yang tidak pernah tidur


Saban malam
Aku khusyuk berjaga
Menunggui alum daun-daun rindu yang kau imbu
Matang dan siap di rajang
Di kota kelahiran

Ketika mataharimu bergegas pulang


Burung-burung sepiku yang berkicau dalam ingatan
Kembali diam memunguti segala kenanganmu
Yang tersesat di rumah Tuhan.

129
Aku Mencintaimu

Aku mencintaimu
Bahkan ketika rindu mulai membenciku
Sebab sebenci-bencinya rindu kita
Ada segila-gilanya doaku yang membara
 
Barangkali rindumu yang tidak beragama
Terkadang suka dicibir orang-orang pemeluk luka
Jenggot rindu yang panjang dan cadarnya yang hitam
Sering pula di sangkut pautkan dengan rindu radikal

Tapi sejak lahir Tuhan telah kita tanam di dada ini


Dan tak pernah sedikit pun meledakkan kebencian sama sekali
Di tubuh kita mengalir darah-darah cinta yang selalu berjihad
Untuk kebaikan alam semesta
 
Aku mencintaimu
Meski aku tahu suatu hari
Takbir “sepi” akan bergema kembali
Lebih keras dari mulut kenangan
Lebih lantang dari terompet kesedihan
Lebih melengking dari tangis kehilangan dan
Lebih deras dari hujan air mata

Sebab di jaman itu


Rindu kita akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga, katamu dan
Orang-orang kesepian akan mengaku dirinya sendiri sebagai Tuhan
Tapi rinduku tetap satu
Engkaulah rumahku.

Kucintaimu dengan kalimat sesuci puisi.


Rindu adalah jalan pulang menuju Tuhan
Tempat Adam dan Hawa melabuhkan cintanya yang paling memabukkan.
Profil Penulis

Budi Setiawan tinggal di Temanggung, Jawa Tengah. Lulusan Universitas


Muhammadiyah Magelang jurusan ekonomi manajemen. Puisi-puisinya telah
disiarkan beberapa media massa baik cetak atau media daring. Seperti Koran
Media Indonesia, Koran Pikiran Rakyat, Koran Suara Merdeka, Koran Solo Pos,
Koran Banjarmasin Post, Harian Sultra, Koran Kedaulatan Rakyat, Radar Cirebon,
Radar Selatan, Koran Denpasar Post, Litera.co, Majalah Simalaba, Kurung buka,
redaksi apajake, dan Linifiksi. Terhimpun juga di sejumlah antologi bersama. Kini
tinggal dan bergiat di komunitas seni Turonggo Setro Salamsari, di kota tembakau,
Temanggung, Jawa Tengah sambil tetap menekuni dunia sastra.

Email:budi199207@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai