Anda di halaman 1dari 46

Nama: Vira Wahyu Ningsih

Kelas: Regional E
Nim : 2201111017
Dosen Pengampu:
Prof.Dr.Rosmawaty
Harahap,M.Pd.
Matkul: Teori Sejarah Sastra
Puisi Pertemuan Pertama:

Hijau Ku Cinta

Pernahkah kau pahami tentang wangi saat gerimis membelai bumi

Rasa yang kuat seolah mengalun menyalami memberi damai

Pembawa harapan, menyinarkan keluh kesah

Padanya ada salam yang langit titipkan

Untuk mereka dengan tabah menguatkan sabar di setiap detik

Laju lembut, tak membiarkan satu lubang semut tanpa rejeki

Kau akan terpesona saat genangan hujan mulai surut

Terkumpul jauh hingga samudra luas

Bekas jejak subur adalah buang tangan

Tentang Mereka

Alkisah tentang mereka yang tidak lagi mengerti, ngeri menjadi di kala ambisi terus di isi

Puisi WS Rendra

Dengan lahapan api, dengan mesin pemberani

Seperti tuli telinga yang dibawa sepanjang hari

Bisik angker tidak memundurkan tekat

Rupiah menjadi sesembahan tuhan manusia yang sama

Tentang mereka dengan hati tak lagi peduli

Jiwa malang menjadi bergelimpangan mengakhiri suratan

Tertahan air mata akan mereka tumpahkan pada yang memberikan mereka hidup

Sesaat setelah iblis itu pergi


Puisi Pertemuan Ke Dua:

Dalam Bumi Gelap

Tersihir, semua tertunduk karena malu

Sesaat, untuk kemudian kembali terjaga dan bertelanjang

Menari, mengucapkan mantra-mantra

Terselubung, gelap beratap sinar dari api abadi

Pantas saja Tuhan menjadi murka

Dalam bumi gelap,suara tangis tidak menjadi satu-satunya bunyi

Duka bukan pula satu-satunya rasa

Dalam bumi yang gelap

Manusia menjadi Tuhan untuk diri mereka sendiri

Ampunan Kembali

Tidak pernah kecewa aku meminta, tidak akan pernah ada kecewa untuk mengiba

Permohonan kepada langit yang disampaikan senandung merdu kesunyian

Titik embun menyentuh kering untuk pertama kali

Memberikan pengharapan hidup pada gersang

Sebuah benih berakar pada mulanya

Topan kencang tidak akan lagi menggoyangkan

Kini kuat laksana gunung menjulang

Tidak ada doa yang terbengkalai dalam daftar terkabulnya

Untuk yang terbaik semua akan menjadi baik


Puisi Pertemuan Ke Tiga:

Menaklukkan Rasa Sakit

Dalam dunia yang gelap, nyatanya tidak semua memerlukan cahaya

Dalam hamparan yang bisu, tidak semua telinga memerlukan alunan merdu

Mata menjadi menyala kepada apa yang telah bulat terkunci anak panah

Sayup-sayup musik tidak lagi penting, dalam hati telah bernyanyi lagu-lagu cambuk diri

Untuk bersujud kami berjuang

Melawan mata peluru dan anak panah bermesin

Hanya untuk bertamu ke rumah Tuhan kami

Satu langkah mungkin saja kami hanya mendapatkannya hari ini

Gerakan kecil membangunkan moncong meriam memilih kepala-kepala menempel tanah

Seperti kesiaan kalian terus menabur lelah memberikan sakit pada kaum kami

Tidak ada keraguan, tidak punya rasa takut, berdiri diatas duri, sujud meski meteor menghujani

Esok Hari

Bilakah kau bertanya esok seperti apa dunia?

Ia yang lelah, ia yang terlalu banyak menjadi saksi

Dunia yang bosan, manusia terus mengucapkan kemunafikan

Tiang renta terus tergeruk oleh serakahnya

Bila bumi dihancurkan, kami telah membaca

Gunung dan kapas berterbangan

Kandungan yang gugur, kami menjadi lupa diri karena ngeri

Ampunan telah tertutup, hanya penyesalan yang membuat kita sama

Bila lah mana matahari lupa akan garis edarnya

Kata ampun sudah tidak lagi bermakna


Puisi Pertemuan Ke Empat:

Anganku, Anganmu, Angan Kita

Siapa yang akan menyangka

Bahwa kaulah takdirku dari-Nya

Siapa yang akan mengira

Bahwa berdua kita jadi bersama

Bisik mimpi manis penuh suka

Lirih doa terpanjat sampaikan cita

Harap ceman akan sambutan lusa

Debar memulai hari awal kisah kita

Hanya Dia

Andai dia tahu, sejak dulu

Hanya namanya yang ada

Di tiap detak jantungku

Satu per satu helaan nafasku

Aku sendiri tak mengenali

Rasa yang terlambat kusadari

Tapi yang pasti,

Sejak dulu namanya telah penuhi relung hati

Aku akan merasa bahagia bila kulihatnya tertawa

Dan hancurlah aku ketika air mata basahi pipinya

Karena yang kumau hanyalah senyumnya


Puisi Pertemuan Ke Lima:

Pria Tercinta

Kenangan pertamaku adalah dibonceng sepeda oleh pria berkaos merah

Menyiram bunga jadi agenda yang ditunggu, karena kupunya alasan untuk bermain air

Dia jadikan keliling kampung dengan sepeda sebagai hal istimewa

Dia jadikan menyiram bunga sebagai permainan paling menyenangkan di dunia

Dialah pria pertama yang pernah kucinta

Tentangku

Salahku, ini bukan tentangmu

Kau hanya pikirkan dirimu

Dan kau telah relakan aku

Agar aku bahagia untukmu

Hanya kaulah yang kumau

Hanya kaulah bahagiaku

Maka janganlah pergi dariku

Walau apa yang terjadi padamu


Puisi Pertemuan Ke Enam:

Tangisan Air mata Bunda

“Dalam Senyum kau sembunyikan letihmu

Derita siang dan malam menimpamu

tak sedetik pun menghentikan langkahmu

Untuk bisa Memberi harapan baru bagiku

Seonggok Cacian selalu menghampirimu

secerah hinaan tak perduli bagimu

selalu kau teruskan langkah untuk masa depanku

mencari harapan baru lagi bagi anakmu

Bukan setumpuk Emas yang kau harapkan dalam kesuksesanku

bukan gulungan uang yang kau minta dalam keberhasilanku

bukan juga sebatang perunggu dalam kemenanganku

tapi keinginan hatimu membahagiakan aku

Dan yang selalu kau berkata padaku

Aku menyayangimu sekarang dan waktu aku tak lagi bersama mu

aku menyayangi mu anak ku dengan ketulusan hatiku


Guruku seorang Pahlawan Tanpa Tanda JasaIalah Guruku

Pahlawan tanpa tanda jasa

Yang giat mendidik ku

Yang membekali ku ilmu Dengan sabar dan tulus

Senyummu memberikan semangat bagi kami

Untuk Menyongsong masa depan yang lebih baik Setetes peluhmu

Menandakan sebuah perjuangan yang amat besar

Untuk murid-muridnya Terima kasih Guru

Perjuanganmu sangat berarti bagiku

Tanpamu ku tak akan tahu tentang dunia ini

Akan selalu ku panjatkan do’a terbaik untukmu

Terimakasih Guruku …
Puisi Pertemuan Ke Tujuh:

Wabah Saronen

Saronenku memecah,

Ketika aku menyanjungmu,aku menyimak larik Sapardi tentang suatu hari nanti

Sementara orang orang mengurung seru dan aku berkeliaran mencari ketiadaan,

Sebab saronen mewabah lebih cepat dari perkiraannya

Lantaran pinisan duka itu telah koyak menjengat

Ia fikir hedonisme dipercaya betul

“Pada suatu hari nanti

Oleh Sapardi"

Itu sudah cukup menyuratkan betapa kejapannya saraf jemari jemari itu

Menjelang persiapan aku bersiaga memenuhi gerombolan wabah

Kendatipun saronenku pecah

Aku masih sama seperti orang yang telah kehilangan banyak darah waktu itu.

Tak Ada Kata Terlambat

Semua memang hanya sesaat

Namun diri jangan tetap sesat

Cobalah walau harus terperanjat

Jatuh dan lanjut memanjat

Di sekitarmu berteriak itu tak kan bermanfaat

Sudah.. Jangan berdebat

Angin akan menopang ke berbagai tempat

Untuk jadi yang bermartabat

Masih tak ada kata terlambat


Puisi Pertemuan Ke Delapan:

Tangisan Air mata Bunda

“Dalam Senyum kau sembunyikan letihmu

Derita siang dan malam menimpamu

tak sedetik pun menghentikan langkahmu

Untuk bisa Memberi harapan baru bagiku

Bukan setumpuk Emas yang kau harapkan dalam kesuksesanku

bukan gulungan uang yang kau minta dalam keberhasilanku

bukan juga sebatang perunggu dalam kemenanganku

tapi keinginan hatimu membahagiakan aku Dan yang selalu kau berkata padaku

Aku menyayangimu sekarang dan waktu aku tak lagi bersama mu

aku menyayangi mu anak ku dengan ketulusan hatiku

Kerinduan

Ayah di mana engkau berada Di sini aku merindukan mu

Mengiginkan untuk bertemu Merindukan akan belaian mu

Kasih sayang mu selalu ku rindukan Engkau selalu hadir dalam mimpi ku

Mimpi yang begitu nyata bagiku Mengiginkan engkau untuk kembali

Aku selalu mengharapkan engkau hadir Menemani aku setiap hari

Menemani masa pertumbuhan ku Untuk tumbuh menjadi besar

Tampa engkau di sisiku

Tampa engkau yang menemani Hari-hari ku


Puisi Pertemuan Ke Sembilan

Sepi

Tersebab,

Tak mungkin bisa bersama,

Maka aku selalu menuliskan syair hati,

Dimana kehidupan dunia bisa diatur sesuai mauku,

Lantas kau dan aku menjadi kita…

Hanya bisa memanggil ingatan untuk mengusir kesunyian,

Tapi ia datang tak pernah sendirian,

Selalu beserta kerinduan.

Terbayang suatu hari tangan kita terkait,

Terlelap bersama dibawah saku langit.

Sepi ini slalu menghantarkanku padamu

Ini Tentangmu

Katamu kau tak pandai berkata-kata,

namun kata-katamu mampu membuatku terbata-bata…

Bagimu kau tak terlalu suka mengungkap rasa,

namun yang kau isyaratkan membuatku tak mungkin lupa…

Menurutmu apa yang kau perbuat bukanlah apa-apa,

namun tanpa kau sadari,

bagiku kau begitu istimewa…

Demikian tentangmu,

dan sungguh! aku bukan sedang memujimu…


Puisi Pertemuan Ke Sepuluh

Jejak Dalam Udara

Dan lihatlah,

Sekumpulan burung-burung melintas dikotaku

Dilangit senja yang perlahan pekat

ditelan malam Beriringan

mereka terbang pergi dan berlalu

Sedang aku, Menyesap rindu dijejak-jejak yang semakin hilang

Kuingin kau mencintai aku seperti udara,

Meski kasat tapi kau hirup selamanya…

Rasa

Lantas, biarlah sementara begini

Tepatnya kan kubiarkan seperti ini

Mungkin hati ini perlu waktu tuk menghapusnya

Karena sesungguhnya aku telah terbiasa oleh keberadaanmu

Dan sesungguhnya ada rindu yang mulai tertata Karenamupun,

kini aku benar-benar tak sanggup mengelabui rasa


Puisi Pertemuan Ke Sebelas

Tak Kan Terlupa

Aku ingat tawa lepas kita

Aku pun masih ingat amarah kita,

yang saling mengadu dan memberontak

Kita pernah bertegang rasa

Kita juga pernah beradu

Bahkan sempat tak mengenal satu sama lain

Tapi kenapa,

Aku selalu memikirkanmu

Dan kau pun juga mengatakan itu

Maaf, Aku Lupa

Maaf teman,

Kau memang bukan penyimak cerita

Kau juga bukan penanggap yang baik

Tapi setidaknya, kau penutup cerita semua ini

Seringkali kau menjadi pusat perhatian di akhir cerita

Dan kau berguna

Tak masalah bukan?

Ternyata kau adalah sahabatku

Aku masih menganggapmu


Puisi Pertemuan Ke Dua Belas

Anak Nakalku

kemana saja kamu hingga kotor mukamu,,

kesayanganku dengan muka yang kotor,,

aku mencarimu sampai ikut kotor,,

dan mencuci semua bajumu,,

aku menemukan permen karet di sepatumu,,

aku tahu itu permen karetmu,,

dan aku tahu kamu bermain di tempat sampah,,

aduuh,,

pusing rasanya,,

melihatmu,,

namun aku tak sanggup tidur tanpamu,,

anakku,,

dan kesayanganku,,
Koran Peradaban

Angin menghela nafasnya,

Seolah beban membawa cuaca,

Pucuk pepohonan menari tarian gila,

Mabuk oleh air haram manusia.

Bumi malas menjaga anak-anak,

Lempeng-lempeng kerak yang selalu berjingkrak,

Manusia kian lihai berdusta,

Lengkap dengan topeng-topeng baja,

Hati bersembunyi entah dimana,

Haha… mungkin takut pada tuannya.

Tiada arah jalan untuk perbaikan,

Segalanya berubah liar dan berantakan.

Apa ini hanya tajuk laris Koran-koran ?,Ataukah memang ujung dari sebuah peradaban.
Puisi Pertemuan Ke Tiga Belas

Tak Puas

Tak Puas…Hutan sudah mulai menguning

Sungai sudah teracun limbah

Ikan-ikan mati tak bersisa

Makhluk binasa tiada pangan

Uang sudah melimpah

Tak terhitung berapa jumlahnya Mataku silau melihat harta

Namun tak tahu apa bunganya

Kekeringan

Kau sendiri yang merusak tanah surgamu

Jangan heran jika tanahmu tak lagi subur

Jangan heran jika lautmu tak lagi indah

Jangan heran jika musim pun tak tentu arah

Kaulah yang merusaknya

Dengan tangan keserakahanmu

Telah kau jadikan alam sebagai pemuas nafsu

Dan kau lupakan anak cucumu

Mereka, keturunan kita

Pun berhak mendapatkan alamnya

Seperti kita mendapatkan alam kita


Puisi Pertemuan Ke Empat Belas

Drakula dan Kelelawar Berdasi

Kalau saja Bram Stoker orang Indonesia di jaman kini

inspirasi drakula adalah mereka para kelelawar berdasi

menghisap darah sesama

menyedot kering harga diri keluarga

Bagaimanapun juga mereka makhluk nokturnal bertopeng sahaja

penjara tak membuat mereka jera atau menyerah

kelelawar berdasi bukan manusia yang makan nasi

mereka hanya butuh kursi untuk beraksi

Jagalah diriku

ku berjalan tanpa henti

Menelusuri jejak langkah bumi pertiwi

Tak kenal putus asa, dan rasa nyeri

Dalam penderitaanku slama ini

Subur akan tanah dan kekayaannya

Air yang selalu mengalir disetiap waktu dan detiknya

Cintai lingkunganku dan cintai seluruh kekayaanku

WAHAI ANAK BANGSAKU


Puisi Pertemuan Ke Lima Belas

Taman

Taman punya kita berdua

tak lebar luas, kecil saja

satu tak kehilangan lain dalamnya

Bagi kau dan aku cukuplah

Taman kembangnya tak berpuluh warna

Padang rumputnya tak berbanding permadani

halus lembut dipijak kaki

Bagi kita bukan halangan

Karena

dalam taman punya berdua

kau kembang, aku kumbang

aku kumbang, kau kembang

kecil, penuh surya taman kita

tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia


Sabda Bumi

Belum tampak mendung merenung bumi

Seberkas haru larut terbalut kalut dan takut

Terpaku ratap menatap Jiwa-jiwa penuh rindu

Hangatkan dahaga raga yang sendu merayu

Bulan tak ingin membawa tertawa manja

Kala waktu enggan berkawan pada hari

Saat bintang bersembunyi sunyi sendiri

Terhapus awan gelap melahap habis langit

Bulan memudar cantik menarik pada jiwa ini

Hitam memang menang menyerang terang

Tetapi mekar fajar bersama mentari akan menari

Bersama untaian senandung salam alam pagi.


Puisi Pertemuan Ke Enam Belas

Permainya Desaku

Padi mulai menguning

Mentari menyambut datangya pagi

Ayam berkokok bersahutan

Petani bersiap hendak kesawah

Padi yang hijau

Siap untuk di panen

Petani bersukaria

Beramai-ramai memotong padi

Gemercik air sungai

Begitu beningnya

Bagaikan zamrud Khatulistiwa

Itulah alam desaku yang permai.


Tanah Airku

Angin berdeir di pantai

Burung berkicau dengan merdu

Embun pagi membasahi Rumput-rumput

Itulah tanah airku

Sawah yang menghijau

Gunungnya tinggi menjulang

Rakyat aman dan makmur

Indonesiaku

Tanah tumpah darahku

Jaga dan rawatlah selalu

Di sanalah aku di lahirkan dan di besarkan

Di sanlah aku menutup mata

Ooooh… Tanah airku tercinta

Indonesia jaya.
Puisi Pertemuan Ke Tujuh Belas

Senja Yang Indah

Keemasan cahaya di cakrawala

Di ufuk barat saat hari mulai senja..

Terbelalak mata saat memandangnya

Keindahan dari sang maha pencipta..

Sang surya bersiap untuk tenggelam

Menjemput mesra ketenangan malam..

Meneguk cahaya dalam-dalam

Menyempurnakan keindahan malam..

Lembayung indah tampak kekuningan

Gradasi warna bagaikan lukisan..

Di sudut langit yang tipis berawan

Hiasan terbesar sepanjang zaman..

Batu Kelapa

Dua muda bercermin cahaya,

sesaat terik melepas biasnya di perigi

harap. Jengkal waktu merayap malas, bertali

dua perempuan paruh nafas luruh di tepi daun kaca:

merayu sepasang batu kelapa, terpukul nyata.

Keajaiban bagai memikat beliung

rasa dua muda itu, dan gegas melambung


paruh demi sepasang batu kelapa;

memundak gersang terka.

Tak lama batu kelapa menanak

santannya di tempurung berekor bulu.

Mengasah dua muda untuk menilik: adanya

kisah batu di kelapa selepas gelap.


Puisi Pertemuan Ke Delapan Belas

Awan

Bertebaran di angkasa

Putih, kelabu, dan hitam

Warna – warna menawan

Bergelombang mengombak-ombak

Tebal dan sangat indah

Bahkan sang bagaskara tak terlihat

Pelangi terlihat tak penuh

Karna sang selimut menutupinya

Jauh disana

Menyelimuti jagat raya

Tebal tipis

Beredar dimana-mana

Indah bukan buatan

Ingin rasanya memeluknya

Lembut dan menawan

Indah tak terperikan

Sawah

Sawah di bawah emas padu,

Padi melambai,melalai terlukai,


Naik suara salung serunai,

Sejuk di dengar,mendamaikan kalbu.

bersinar,menyilaukan mata,

Menyamburkan buih warna pelangi,

Anak mandi bersuka hati,

Berkejar-kejaran berseru gempita.

Langit lazuardi bersih sungguh,

Burung elang melayang-layang,

Sebatang kara dalam udara.

Desik berdesik daun buluh,

Di buai angin,dengan sayang

Ayam berkokok sayup udara

Isyarat Yang Entah

Pada undakan anak tangga kelima

Seorang perindu duduk menatap awan senja

Ia tabah menunggu isyarat yang entah

Tapi kau salah puan…

Jika menganggapku setabah itu

Justru karena tak sanggup menahan rindu

Aku senantiasa mencurahkannya pada aksaraku

Dan sementara di keningnya

Waktu terus melukis kerut perlahan…


Puisi Pertemuan Ke Sembilan Belas

Aku dan Hujan

Jalan itu menghitam,

basah oleh hujan.

Namun aku, muram, Kering oleh kerinduan.

Gerimis ini menghapus jejak apapun,

Namun kasihmu tak hilang dalam hitungan tahun.

Lebih dari hancur

Seperti pisau tajam yang menusuk hati

tak pernah bisa dilepas lagi

menusuk sampai nurani

tempat aku bingkai indah namamu

Aku hanyalah serpihan puing yang rapuh

ingin aku ceritakan kehancuran ini

tapi, kau seolah tak peduli

tak mampu kusatukan lagi kepingan hati


Puisi Pertemuan Ke Dua Puluh

Televisi

Sejak tabung sinar katoda

sihir telah bersentuhan dengan dunia

sinarnya merusakmu, tentu saja

turut mengubah perilakumu

Kini kau menyentuhnya

menggesernya ke kanan dan kiri

seolah kalian berinteraksi,

padahal hanya kau yang terpedaya sinar dan sihirnya

Sudut Pandang

Kita lahir dari rahim yang sama

Membuka mata di saat berbeda

Aku menolongnya kau mencacinya

Tapi kau yang jeli dan aku tertipu belaka

Ini hanya masalah sudut pandang

Menganggap kaya berlebihan atau miskin keterlaluan

Mata rahim melihat itu semua seimbang

Kita semua lahir dari rahim yang sama, rahim keadilan


Puisi Pertemuan Ke Dua Puluh Satu

Sebutir Debu

Aku hanya sebutir debu

yang memburamkan kilau

tak pantas berada diatas suci

tak bisa menghindar

saat angin hembuskan aku untukmu,

lalu terbang

Aq hanya kecewa bagai hampa mengharap udara,

atau debu ditengah gersang mengharap hujan

hentikan angin membawaku terbang

Kesabaran

Gubung bambu istana baginya,

Perut yang selalu bernyanyi dalam hidupnya,

Walau pahit telan untuk manis,

Bersyukur kunci agar tak menangis,

Melangkah kaki ini hingga membentuk garis pecahan,

Duri-duri selalu menghadang raga,

Wajah menahan kesakitan,

Menyebut namaNya dalam jiwa,

Hati berkata : “ lahaulawalquwata illabillahil alihiladzim,”


Puisi Pertemuan Ke Dua Puluh Satu

Dalam Bis

langit di kaca jendela

bergoyang terarah

ke mana wajah di kaca jendela

yang dahulu juga

mengecil dalam pesona

sebermula adalah kata

baru perjalanan dari kota ke kota

demikian cepat

kita pun terperanjat

waktu henti ia tiada…

Dunia Kini

Minggu pagi pun merebak,,,

Bagai daun kering berguguran,,

Tak henti-henti berguguran,,,

Saat semuanya terlena,,,

Semuanya berubah,,

Sekelompok manusia berencana yang merubah,,,

Yang salah jadi seperti biasa,,

Yang aneh jadi seperti wajar,,

Hati-hatilah sayang,,

Itulah dunia kini.


Puisi Pertemuan Ke Dua Puluh Dua

Judulku

Hingga sore ini aku tak tahu judulnya,,

Judul dalam hidup ini,,

Apakah aku seorang yang hebat,,

Ataukah seorang yang biasa saja,,

Atau bahkan seorang pecundang,,

Sungguh membuatku khawatir,,

Lalu bagaimana,,

Apa aku harus merantau,,

Tapi demi apa? Semoga aku segera menemukan jati diriku,,

amin

Kisah Perjuanganku

Sejak awal kumemulai mengenal dunia

Sejak itu juga kumemulai memahami arti hidup

Banyak kisah yang telah aku lewati

Demi mengejar impian

Semua kisah itu tak dapat ku lupakan dari memoryku

Tentang perjuangan kehidupanku untuk meraih impianku

Walau bayak rintangan yang harus di hadapi

Namun bukan itu yang membuatku harus menyerah

Karna kehidupan ini butuh kerja keras dan pengorbanan yang luar biasa

Maka itu tak ada kata menyerah sebelum mencapai impian yang penuh harapan.
Puisi Pertemuan Ke Dua Puluh Tiga

MOVE ON

Melupakan mu bukanlah hal yang mudah

Menghilangkan kenangan indah yang kita lalui bersama juga bukan lah hal yang mudah

Meninggalkan kisah bahagia kita berdua itu juga bukanlah hal yang mudah

Tetapi alangkah lebih mudah jika aku berusaha melupakan sosok mu dalam hidup ku

Ditinggalkan oleh mu sama hal nya aku kehilangan separuh hatiku

Tersisih

Saat ini aku sedang berada di posisi terlupakan dan tidak lagi kau ingat

Saat ini kau tidak lagi menginginkan aku dalam sisimu

Tetapi aku sangat menghargai posisi ku saat aku harus tersisir

Terimakasih karena engkau telah menghadirkan aku dalam hidupmu


Puisi Pertemuan Ke Dua Puluh Empat

Hujan Pagi Hari

Ku lihat dari balik jendela

Langit begitu murung dipandang mata

Awan bagaikan kumpulan kapas hitam

Semakin tebal semakin kelam

Akankah hujan akan tiba?

Meski pagi baru saja bangkit dari mimpi

Enggan ku sibakkan selimut penghangat diri

Angin berdesir menelusuri kamar tidurku kini

Dan benar sebentar lagi

Hujan akan tiba di pagi hari

Mungkin akan mengantarku bermimpi lagi

Di atas ranjang empuk beraroma melati


Senja

Sebentar lagi ia akan pergi

Tinggalkan terangnya siang hari

Perlahan berangsur jauhkan diri

Menuntunku menjemput mimpi

Kini ia berdiri

Di atas garis kaki langit

Ia nampak tersenyum legit

Tepis kehidupan yang pahit

Sungguh elok

Jubah emasnya manjakan pandangan

Tersimpan dalam angan

Suguhkan kenikmatan setiap insan

Wahai senja yang rupawan


Puisi Pertemuan Ke Dua Puluh Lima

Tarian Ombak

Ku peluk lutut hingga dadaku

Beralas pasir putih nan lembut bagai debu

Tak henti angin menggelitiki diriku

Lewat helai rambut tergerai malu

Ku jatuhkan pandangku ke laut biru

Menunggu ombak datang padaku

Lewat tarian ombak pembawa rindu

Pembawa berita dari kekasihku

Yang datang dari tanah orang bermata biru

Hingga tiba waktu

Ia menari meliuk-liuk menghibur kalbu

Datang menyapaku

Menyapu lembut jari-jari kakiku

Tinggalkan buih-buih rindu

Dari dan untuk kekasih tercintaku


Penjara Mimpi

Izinkan aku keluar dari penjara ini

Hingga aku bertemu dengan mimpi

Mimpiku yang lama aku rindukan

Penjara ini membuatku semakin terpenjara

Oleh serpihan kenangan yang tak jua ku lupa

Izinkan aku memenjara sepi sendiri

Hingga aku mampu bangkit

Menyusun mimpi yang telah roboh

Diterpa gejolak ego

Diterpa cinta semu

Izinkan aku terbang bagai dandelion

Menuju tempat baru

Untuk tumbuh di sana

Dengan segala hal baru

Mimpi aku merindumu

Pada matahari yang tiap pagi menyapa

Lewat celah jeruji kesadaran

Mimpi…

Aku ingin bersamamu

Bebas

Dan bebas dari mereka yang merobohkanmu


Puisi Pertemuan Ke Dua Puluh Enam

Derita

Tak tahu sampai kapan

Jalan yang ku tempuh ini sampai di ujung

Lelah.. Aku merasa lelah

Dengan jalan yang aku tapaki

Mungkin memang harus ku kemudikan dengan baik

Agar sampai di tujuan sesuai keinginan

Tapi, bisa kah diri ku?

Bisakah kemudi itu berkolaborasi dengan pikiran ku ini?

Ataukah kemudi itu yang bisa membawa ku ke jalan yang benar?

Tuhan..

Ada kah seseorang yang Kau siapkan untuk ku

Untuk bersama menopang beban yang ku pikul ini

Agar mau ku bagi kesedihan ku

Mau ku bagi derita ku

Tak tahu apa lagi yang bisa ku lakukan

Aku

Wanita yang penuh dosa

Yang berharap Kau mau menunjukkan

Kuasa-Mu itu untuk ku


Gambaran Sebuah Rindu

Tahukah kau kasih,

aku terlalu larut dalam keheningan

dalam rindu yang tak bisa kulukiskan

hanya bayang mu yang ada di ingatan

di remang cahaya malam

saat langkah ku sedikit terlambat

ku tahu hatimu tak pernah menginginkan

namun apa daya,hasrat kutahan,berderai

ku tahu ini bukan awal kasih

bukan pula akhir

namun hadirmu datang temani sepi

malah semakin ku merasa sendiri

jauhnya raga berkelana

seperti mencari harapan diatas keresahan,tanpamu


Puisi Pertemuan Ke Dua Puluh Tujuh

Rindu

Gemerlap redup silih berganti

Gelak tawa sendu semakin membekas dihati

Semua bercampur aduk menmbungkus hari

Dinikmati setitik demi setitik Tapi…

Rasa ini sudah tak bisa ditahan

Rindu ini tak bisa bersabar

Walau barang sebentar

Memaksa ingin segera dibereskan

Akan sampai kapan kau bertahan?

Akan sampai kapan kau tertahan?

Coba fikirkan, wajah wajah perindu merindumu

Sudahlah…

Tepis jarak itu,

Andai

Andai aku jadi angin

Ingin ku sampaikan semua kerinduan

Tanpa perantara apa-apa

Andai aku jadi air

Ingin ku hanyutkan semua duka dan pedihnya luka

Tanpa bicara dan bertindak

Andai aku senja

Ingin ku hiasi senyummu walau sementara

Tanpa ada luka, walau sesaat saja Andai


Puisi Pertemuan Ke Dua Puluh Delapan

Rindu yang Menyerah

Selaksa gemintang yang beratap cakrawala

Ambu-ambu romansa kerinduan terpapar mala

Sisa tawamu masih terdengar

Di tengah jiwa yang menggigil sebab kerinduan

Jalan pulangku menghitam

Basah oleh senyum yang membayang

Hitam pekat, penuh luka yang memikat

Aku hanya bisa menuliskan beberapa aksara

Tentang luka, dan segala rindu yang menyiksa

Hanya mampu berkisah tanpa menyapa

Tentang tawa yang pudar

Rindu Semu

Bahwa pada sang malam Aku ingin bercerita Tentang perkara “rasa”

Sudikah kau lebarkan telingamu Dengarlah..

Gemuruh dadaku yang suaranya mirip kehancuran Coba kau intip

Ada genangan air mata yang terus mengalir

Pada secawan rindu yang lalu tumpah dimeja

Ada rasa yang mengalir larut pada keresahan

Terlebih saat kupandangimu bintang Bercumbu pada sang rembulan

Gemeretak bunyi hatiku patah

Remuk oleh gumpalan kecewa

Kau tahu kenapa? Sebab rindu yang menggebu

Sebatas semu
Puisi Pertemuan Ke Dua Puluh Sembilan

Rindu Saat Bersamamu

Bukan maksudku untuk

Memenjarakan bebasmu

Namun memberi kabar dimana pijakmu

Adalah pelerai bagi gundahku

Sungguh..

Yang ku inginkan hanyalah senyummu

Yang ku nantikan hanyalah tawamu

Ku rindu saat saat bersamamu

Mengisi waktu yang tak menentu

Ku harap kau mengerti

Karena rasa dan cintamu begitu berarti

Ku mohon tetaplah temani

Raga dan hati yang telah kau miliki

Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah

Dari hujan bulan Juni

Dirahasiakannya rintik rindunya

Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak

Dari hujan bulan Juni Dihapusnya jejak-jejak kakinya

Yang ragu-ragu di jalan itu Tak ada yang lebih arif

Dari hujan bulan Juni

Dibiarkannya yang tak terucapkan Disekap akar pohon bunga itu


Puisi Pertemuan Ke Tiga Puluh

Biarkan Hati Bicara

Sepi terasa saat kau tak di sini

Hanya suara kalbu dan irama lagu yg mengiringi

Setiap alunan lagu itu mengingatkanku tentangmu

Hari-hariku kini dipenuhi banyak hal

Semuanya mengarah padamu

Tak kuat rasanya memendam rasa ini terlalu lama

Inginku meluapkan semua isi kalbuku

Kini ku harus sabar menunggu

Sampai Tuhan benar-benar mengizinkanku

Bertemu lagi denganmu pada saatnya nanti


Sepasang Mata Yang Berkabar

Mataku. Batu yang jatuh

ke lubuk mabuk

Dipeluk dingin

hening merayap tebing

Menadah senyap dasar

dari situ aku ingin bergemuruh

berkabar

mengaliri jejak yang tertinggal

Bu, mataku boleh tak pulang

ke liangnya

tapi airnya yang leleh

jadi penyejuk hatimu

penawar luka agar tak dalam

Mataku. Kembar sepasang

direnggut arus menderas

dimabuk peluk

memecah diam

Bu, engkau ada di mataku

walau sekadar bayang di kulit air


Puisi Pertemuan Tiga Puluh Satu

Pelukan Doa

Di bumi yang terpijak jauh aku akan meninggalkan tahta sebagai putra mahkota

Melepaskan baju kebesaran, dan memakai pakaian yang sama dengan rakyat kebanyakan

Tanpa gelar, tanpa penghormatan dan tanpa keistimewaan

Berjalanlah aku menuju bumi yang jauh seperti yang kau ceritakan

Bersama dengan perajut mimpi

Penenun harapan dan penyair keindahan masa depan

Keraguan membayangi untuk bisa bertahan di bumi asing

Dalam ikatan lontar waktu yang tak sebentar harus ku lalui tanpa pengawalan

Tidak ada senjata yang selalu kabur bawa dekat

Tanpa tameng kau melepas aku pergi

Katamu, satu kemenangan yang akan ku bawa pulang adalah kemandirian

Katamu, hal terbaik yang akan membuat tahtaku tidak goyah adalah iman

Dan katamu, tanpa bekal setengah abad yang lalu kalian pun sama

Katamu, pelukan doa yang kau rapal akan selalu menjaga ku


Rindu Ibu

Di malam-malam nan gelap ada satu nama ku sebut, Ibu

Di siang-siang nan terang, hati terasa kelam kalau belum titip salam untuk Ibu

Jarak menjadi pemisah rinduku dan rindunya bertemu

Waktu yang berjalan membuat rindu ini semakin tertumpuk

Sedang apa hari ini, Ibu?

Ku harap kau akan selalu tersenyum

Ku harap goresan tanganmu hari ini

Membuat Pencipta tersanjung

Jangan tanya aku sedang apa

Sudah pasti berjuang membahagiakanmu

Meski kelam silih berganti menghasut

Ku tahu doa Ibu menerangi setiap langkahku

Ibu…

Biarlah rindu ini menjadi bara

Yang mengobarkan setiap niat dan harapan

Biarlah sujudmu terus menjadi pelita

Yang menuntunku dalam kegelapan

Ibu…

Biarlah rindu ini ku pupuk dulu

Hingga sampai waktu Sang Pencipta mengizinkan

Kita akan bertemu

Dan ku kalungkan bahagia di lehermu


Puisi Pertemuan Tiga Puluh Dua

Membaca Wajah Ibu

Di situlah bintang itu, terselip dalam kelopak mata

tetap cerah, tetap indah

dan aku pun larut dalam sinarnya

Di situlah laut, mengalirkan hawa dingin

bagi setiap perjalanan

tetap teduh, tetap biru

membuatku selalu kangen dan terpana

Di situlah sumur,

yang tak pernah lelah memberi

aku adalah gayung,

yang masih tetap menimbanya

Rindu Bunda

Di punggungmu ku bersandar dari rasa lelahku

Di pelukanmu ku berbaring dari rasa sesalku

Telah jauh jarak yang memisahkan kita

Membentang kerinduan di dalam hati

Aku merindukanmu bunda

Telah kucoba mengumpulkan keindahan dunia

Untuk ganti kehadiranmu

Telah kucoba mencari yang terbaik

Untuk mengisi kerinduanku


Namun semua itu tiada guna

Karena kau tidak bisa tergantikan juga

Aku merindukanmu bunda

Dunia takkan mampu menggantikanmu

Dunia takkan bisa mengusikmu

Hanya kau bunda yang selalu didalam hatiku

Hanya kau bunda yang selalu ada di dalam kepalaku

Aku merindukanmu bunda

Dunia pun tidak berarti dengankehadiranmu

Dunia tidak bisa menopang hati

Dan luasnya kasih sayangmu

Karena kau lah yang memperintah hidupku

Begitu indah setiap detik dalam pelukanmu

Begitu indah setiap detik di dalam pangkuanmu

Anda mungkin juga menyukai