Anda di halaman 1dari 6

Penerapan Teori Psikoanalisis Sigmund Freud Terhadap Tokoh

Dalam Cerpen Mesin Cuci Karya Wahyu Wibowo

Oleh, Sasdita Mailana


NIM : 1105190026

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PGRI
RONGGOLAWE TUBAN ANGKATAN 2019

1. TAHAP DESKRIPSI
1
 Biografi Penulis
Dr. Wahyu Wibowo lahir di Serdang, Kemayoran, Jakarta Pusat, 08 Maret 1957. Setelah
menamatkan S-1 Ilmu Sastra dan S-2 Ilmu manajemen, ia menyelesaikan S-3nya dalam Ilmu
Filsafat di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Ia mengajar di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Nasional, Jakarta, sejak 1987.
Pada awalnya ia mengajar mata kuliah Estetika dan Sejarah Sastra Modern, dan baru
kemudian mengajar mata kuliah Penulisan Kreatif, Kemahiran Menulis, dan Filsafat Bahasa.
Sejak 2009, Wahyu Wibowo menjabat sebagai dekan pada Fakultas Bahasa dan Sastra
Universitas Nasional, Jakarta.
Ia juga pernah menempuh pendidikan non formal, kursus singkat publistik di Leiden,
Negeri Belanda (1993), kursus singkat grafika di Dusseldorf, Jerman Barat (1995). Beliau
sendirir telah menulis 40 judul buku dalam topik kebahasaan, kesastraan, jurnalistik,
komunikasi, dan kepenulisan praksis.
Penghargaan yang telah ia peroleh antara lain, tercatat sebagai sastrawan Indonesia
Angkatan 2000, memperoleh Sertifikasi Wartawan sebagai Wartawan Utama dari Dewan
Pers.
***

2. TAHAP PENAFSIRAN

 Sinopsis

Didalam cerpen ini menceritakan tentang seorang tokoh ku yang berubah setelah
membeli mesin cuci yang paling kentara adalah perut yang mulai membuncit. Mungkin
karena tak pernah lagi berdiri diri membungkuk, seperti ketika tokoh ku mencuci tanpa
mesin.
Mesin cuci tokoh ku baik-baik saja. Begitupun dengan hidupnya yang tetap biasa-biasa
saja. Melakukan sejumlah pekerjaan rumah dan kekantor menumpang KRL Jabodetabek.
Menjelang sore tokohku ke sungai membantu ibunya mencuci. Ibunya yang bergosip
bersama temannya menggosipi bini muda pak Lurah. Tokoh ku pun bernostalgia bahwa
disugai itu ia sering melihat wening gadis sebayanya anak pak Noto tokoh ku yang
sedang bincang-bincang berdua. Ujar tokoh ku yang membuat wening terang-terangan
bahwa wening igin bekerja di TV.
Tokoh aku pu tergagap, karena malam-malam Bang Nilma melaporkan bahwa ada hujan
deras tadi siang. Komplek BTN pun tergenang air. Terjadilah perbincangan Bang Hilma
dan tokoh ku. Dan tokoh ku langsung mengecek rumahnya yang sudah tergenang air
bercampur lumpur alat elektroniknya basah kuyup dan rusak termasuk mesin cucinya
kecuali pesawat tv nya yang tak rusak. Ia melihat wening diacara tv yang sedang podcast
dengan seseorang berkepala pelontos yang sedang membicarakan jaman era teknologi.
Sehingga terjadi adu argument yang menyebabkan sebuah perdebatan antara wening dan
bapak berkepala pelontos
***

2
3. TAHAP ANALISIS (Penerapan Teori Kritik)

 Psikologi dan Sastra


Perkembangan karya sastra menuntut adanya kelahiran teori-teori baru sebagai piranti
analisis. Salah satu teori yang lahir sebagai piranti analisis adalah teori psikologi. Psikologi
sastra mempunyai empat pengertian, (1) studi psikologi pengarang, (2) studi tentang proses
kreatif, (3) studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, dan (4)
mempelajari dampak sastra pada pembaca (Wellek dan Warren, 1990:90).
Dalam perjalanannya, kajian psikologi berkembang degan pesat. Pada abad ke-20 kajian
psikologi salah satunya didominasi psikologi analisis yang dipelopori oleh Sigmund Freud,
Carl Gustav Jung, dan Jacues Lacan (Drama, 2006:13).
Psikoanalisis dalam psikologi dipergunakan sebagai terapi orang-orang tidak normal
(abnormal personality) yaitu penderita neurosis, orang-orang yang mengalami kelainan jiwa
Drama, 2006, Davison, 2006). Dalam kajian ini, teori psikologi yang dipergunakan sesuai
dengan konsep bahwa studi hukum-hukum psikologi terhadap karya sastra (Kajian Prosa,
Kasnadi dan Sutejo, 2010:64-65).
 Kritik Psikoanalisis
Kritik psikoanalisis adalah kritik yang menerapkan kaidah-kaidah psikoanalisis dalam
membicarakan karya sastra. Psikoanalisis adalah wilayah kajian psikologi sastra yang
menganalisis secara terperinci pengalaman emosional yang dapat menjadi sumber atau sebab
gangguan jiwa tokohnya.
Kritik psikoanalisis berusaha mengungkap tiga unsur kejiwaan manusia, yang meliputi,
id, ego, dan superego. Id adalah sistem kepribadia manusia paling dasar, yang dapat disebut
juga sebagai libido. Id juga merupakan aspek kepribadian yang paling gelap dalam bawah
sadar manusia. Berisi insting dan nafsu-nafsu, tak kenal nilai dan menjadi energi buta. Id
tidak dapat dimusnahkan, tetapi dapat dikendalikan. Di dalam tidur id terjelma kembali
sebagai mimpi (Kritik Sastra, 2008:41-4).
Dalam penjelasan lain id merupakan system kepribadian yang asli. Apa yang terdapat di
dalam id merupakan warisan sejak lahir (Alwison, 009:14). Dalam kamus Psikoanalisis id
merupakan wilayah mental tertua (Freud, 1983:xxxiii). Dalam id terdapat naluri bawaan
berupa keinginan seksualitas dan agresifitas, sehingga tempat berkuasanya Eros dan
Thanatos.
Id berisi insting, implus, dan drives. Bagian id paling mendasar adalah insting. Ia berada
dan beroprasi di wilayah tak sadar (unconscious). Id mempunyai kecenderungan bekerja
berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure principle), artinya id selalu mencari kesenangan
demi kenikmatan puncak. Dalam id biasanya identik dengan kekacauan, dan gairah yang
meletup-letup (Kajian Prosa, Kasnadi dan Sutejo, 2010:68).
Dalam cerpen Mesin Cuci karya Wahyu Wibowo, id digambarkan pada beberapa
kalimat di dalamnya. Salah satunya terdapat pada paragraf empat;
“Ya, kawinlah,” sahut Barlan.

“... Lagi pula, kupikir-pikir enak membujang. Bebas dan tak ruwet!”

3
Seolah sosok “Bud” lebih nyaman sendiri (membujang) dan tidak usah susah payah
memikirkan orang lain. Di paragraf lima dan enam penggambaran id juga dapat kita temukan;
paragraf 5;
Mesin cuciku lancar-lancar saja. hidupku juga tetap biasa-biasa.

Dia (sosok Bud) tidak perlu khawatir selama mesin cucinya baik-baik saja, hidupnya
juga berjalan seperti biasanya.
Paragraf 6;
... aku sering juga menumpang lori tebu yang melintas di dekat kampungku... Aku senang sekali
berlari-larian di atas tumpukan tebu tanpa khawatir terjungkal!

Berbeda hal pada cuplikan paragraf ke-enam ini, penggambaran sosok Bud saat masih
SMP yang suka menumpang lori tebu dan senang berlari-larian di atasnya tanpa khawatir
jatuh (terjungkal) adalah gambaran id (psikologi) anak (remaja) pada umumnya, yang hanya
memikirkan senang tanpa takut (khawatir) dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dan yang terahir terdapat pada paragraf 10;
... Pada tahi lalat di tepi bibirnya (yang dulu, sering ku impikan bisa ku kecup). Pada bentuk
aslinya.

Pada kutipan kalimat di paragraf ke-sepuluh ini, id digambarkan sebagai naluri


seseorang kepada lawan jenisnya.
Dari beberapa contoh penggambaran id dalam cerpen Mesin Cuci karya Wahyu
Wibowo, seolah ia ingin menyampaikan bahwa hal-hal yang bersifat nyaman terkadang tanpa
sadar membelenggu kita. Hal-hal inilah yang ahirnya membuat ego kita semakin memuncak.
Dalam kajian kritik sastra ego diartikan sebagai kesadaran akan diri sendiri yang
merupakan peraturan secara sadar antara id dan realitas luar. Ego biasanya mengawal dan
menekan dorongan id yang kuat, mengubah sifat id dari yang abstrak dan gelap ke hal-hal
yang berdasarkan pada prinsip kenyataan (Kritik Sastra, 2008:42).
Pada kajian lain ego juga diartikan sebagai bagian mental manusia yang menempati
wilayah kesadaran. Ego terbentuk dengan diferensiasi dari id karena kontaknya dengan dunia
luar (Freud, 1983:xxxiii). Oleh karena itu ego melakukan sesuatu atas dasar prinsip realita
(reality principle). Sehingga apa yang dilakukan oleh ego atas dasar kesadaran, seperti
tampak pada pemikiran yang objektif, yang sesuai dengan tuntutan sosial, yang rasional.
Ego merupakan eksekutif (pelaksana) kepribadian (Alwison, 2009:16). Ego memiliki
dua tugas utama, yang pertama memilih stimul mana yang hendak direspon dan atau insting
mana yang hendak dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan. Kedua, menentukan kapan
dan bagaimana kebutuhan itu dipuaskan dengan tersedianya peluang yang resikonya minimal
(Kajian Prosa, 2010:69).
Terdapat beberapa penggambaran ego yang menonjol pada cerita pendek Mesin
Cuci karya Wahyu Wibowo, yang dapat kita temukan dalam kutipa;

4
Paragraf ke-4;
...

“Goblok!” sungut Barlan.

“Lho! Oba pikir, coba pikir dalam kehidupan yang pas-pasan ini, cewek mana yang mau hidup
hanya dengan, cinta?”

Pemikiran sosok “Bud/ku” sangat realistis. Bahwa menikah tidak hanya tentang cinta,
tapi juga lainnya. Hal ini dapat dibenarkan dan juga tidak. Sebab pemikiran manusia tidaklah
subjektif, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Ego terkadang menuntun kita
pada hal yang negatif (negatif thinking), namun ego juga kadang membawa kita pada hal
yang positif. Dan hal positif itu dapat kita temukan pada kutipan paragraf;
paragraf ke-7;
...

“Aku? Jadi babu? Emoh, aku!”

“Siapa yang menyuruhmu jadi babu? Kamu, kan, pinter masak. Mungkin, ada restoran yang
butuh tenagamu!”

“Memasak? Aku lebih suka bekerja di TV! Asyik, gitu, tiap malam ditonton orang.”

Saat tokoh “Bud/ku” bertanya pada Wening “mengapa tidak cari kerja di kota?”
Wening dengan sepontan menjawan “...Emoh, aku!” Bagi Wening ia lebih tertarik bekerja di
TV, asyik, tiap malam ditonton orang. Pemikiran Wening sangat objektif. Wening tidak ingin
menjadi babu, melainkan ia ingin menjadi wanita karir. Yang kemudian egonya inilah yang
mengantarkan ia pada mimpinya.
Menurut Freud ego dikelilingi oleh keinginan yang saling bertentangan yang berasal
dari tiga entitas yang kuat, yaitu realistis, id (yang melambangkan kebutuhan biologis), dan
superego (melambangkan harapan masyarakat), (Kajian Prosa, 2010:69).
Superego (penuntutan moral dan aspirasi seseorang) berfungsi sebagai lapisan yang
menolak sesuatu yang melanggar prinsip moral, yang menyebabkan seseorang merasa malu
atau memuji sesuatu yang dianggap baik. Superego berkembang mengontrol dorongan-
dorongan kebutuhan id, dan berisi nilai-nilai atau evaluatif (Kritik Sastra, 2008:42).
Superego merupakan aspek sosiologis dari kepribadian yang mewakili nilai-nilai
tradisonal serta cita-cita masyarakat yang ditafsirkan oleh orang tua dalam bentuk perintah
dan larangan (Sujana, 2006:61). Superego merupakan kekuatan moral dan etik dari
kepribadian yang memakai prinsip idealistic (idealistic principle) sebagai lawan dari prinsip
kepuasan id dan prinsip realistic dari ego (Alwisol, 2009:16). Superego merupakan dasar hati
nurani moral (Freud, 1983:xxxiv), aspek moral kepribadian (Sujanto, 2006:62). Fungsi pokok
superego mencakup, (1) merintangi implus-implus id yang berupa implus seksualitas dan
agresifitas, (2) mendorong ego untuk mengejar yang irrealistis dari pada yang realistis, (3)
mengejar kesempurnaan (Sujanto, 2006:62, Alwisol, 2009:16, Kajian Prosa, 2010:69).

5
Superego sendiri digambarkan sebagai hal yang diharapkan manusia, seolah manusia
ingin mendominasi kehidupan. Menciptakan hal-hal baru untuk mempermudah kehidupan
mereka. Mengembangkan inovasi dalam segi apapun. Namun manusia lupa pada dasarnya
hidup harus seimbang, bukan menjadikannya berat sebelah seperti testis. Ini dapat kita jumpai
pada paragraf terahir dalam cerpen Mesin Cuci karya Wahyu Wibowo;

“... Di dalam era tekhnologi ini, kelihatan sekali bahwa manusia itu mau sok jago. Mau sok
menguasai kehidupan. Mau sok pintar. Tapi, di balik itu, lihat saja, banyak orang terbirit-birit
kembali ke hidup alamiah! Atau, paling tidak, sering memuji-muji kehidupan masa lalu...”

Dengan hal inilah seolah penulis ingin memberi tahu gambaran kegelisahan yang ia
rasakan dan yang dialami oleh kebanyakan orang. Bahwa kita sebagai manusia akan terus
tumbuh dan berkembang. Berjalan dengan itu akan muncul berbagai macam inovasi-inovasi
baru untuk mempermudah kehidupan manusia. Namun manusia juga harus fleksibel dapat
memposisikan dirinya dan tidak mudah terbuai (nyaman) dengan hal tersebut.
***

4. TAHAP EVALUASI
Kehidupan di era tekhnologi adalah sebuah masa yang mengalami perkembangan di
segala aspek kehidupan. Seiring berkembangnya zaman, tekhnologi yang merupakan hasil
dari ilmu pengetahuan semakin mendapatkan tempat di hati penikmatnya. Keadaan inilah
yang membuat manusia merasa lebih diuntungkan dengan kemudahan-kemudahan yang di
sajikan. Seperti halnya Mesin Cuci, dulu manusia harus bersusah-payah untuk mecuci
pakaiannya. Dengan adanya perkembangan tekhnologi ini pekerjaan manusia menjadi lebih
mudah.
Tema yang diangkat dalam cerpen Mesin Cuci adalah tentang kehidupan di era
tekhnologi. Dan pengambaran-penggambaran manfaat (keuntungan) dan kerugian di era ini
sudah sangat kompleks. Dimana seseorang akan stuck (terjebak) pada kenyamanan dan
manfaat yang dia rasakan. Seperti halnya pada tokoh “Bud/ku”, ia merasa pesimis atau
minder untuk menikah karena kehidupannya yang biasa saja. Baginya yang terpenting
hidupnya tetap baik-baik saja. Berbeda dengan tokoh Wening, dengan adanya perkembangan
tekhnologi Wening berhasil meraih egonya (mimpi/harapan) untuk menjadi seorang wanita
karir.
Perkembangan tekhnologi mempengaruhi gaya kehidupan manusia. Alangkah
baiknya jika di era tekhnologi yang semakin canggih ini, kita sebagai penikmat sekaligus
pengguna dapat lebih bijak dalam menggunakan dan mengaplikasikan tekhnologi dalam
kehidupan kita. Sebab semua itu sekarang tergantung pada individu masing-masing, karena
hanya kita sendirilah yang bisa mengendalikan diri kita dari tekhnologi yang semakin
menjamur.

Anda mungkin juga menyukai