1. TAHAP DESKRIPSI
1
Biografi Penulis
Dr. Wahyu Wibowo lahir di Serdang, Kemayoran, Jakarta Pusat, 08 Maret 1957. Setelah
menamatkan S-1 Ilmu Sastra dan S-2 Ilmu manajemen, ia menyelesaikan S-3nya dalam Ilmu
Filsafat di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Ia mengajar di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Nasional, Jakarta, sejak 1987.
Pada awalnya ia mengajar mata kuliah Estetika dan Sejarah Sastra Modern, dan baru
kemudian mengajar mata kuliah Penulisan Kreatif, Kemahiran Menulis, dan Filsafat Bahasa.
Sejak 2009, Wahyu Wibowo menjabat sebagai dekan pada Fakultas Bahasa dan Sastra
Universitas Nasional, Jakarta.
Ia juga pernah menempuh pendidikan non formal, kursus singkat publistik di Leiden,
Negeri Belanda (1993), kursus singkat grafika di Dusseldorf, Jerman Barat (1995). Beliau
sendirir telah menulis 40 judul buku dalam topik kebahasaan, kesastraan, jurnalistik,
komunikasi, dan kepenulisan praksis.
Penghargaan yang telah ia peroleh antara lain, tercatat sebagai sastrawan Indonesia
Angkatan 2000, memperoleh Sertifikasi Wartawan sebagai Wartawan Utama dari Dewan
Pers.
***
2. TAHAP PENAFSIRAN
Sinopsis
Didalam cerpen ini menceritakan tentang seorang tokoh ku yang berubah setelah
membeli mesin cuci yang paling kentara adalah perut yang mulai membuncit. Mungkin
karena tak pernah lagi berdiri diri membungkuk, seperti ketika tokoh ku mencuci tanpa
mesin.
Mesin cuci tokoh ku baik-baik saja. Begitupun dengan hidupnya yang tetap biasa-biasa
saja. Melakukan sejumlah pekerjaan rumah dan kekantor menumpang KRL Jabodetabek.
Menjelang sore tokohku ke sungai membantu ibunya mencuci. Ibunya yang bergosip
bersama temannya menggosipi bini muda pak Lurah. Tokoh ku pun bernostalgia bahwa
disugai itu ia sering melihat wening gadis sebayanya anak pak Noto tokoh ku yang
sedang bincang-bincang berdua. Ujar tokoh ku yang membuat wening terang-terangan
bahwa wening igin bekerja di TV.
Tokoh aku pu tergagap, karena malam-malam Bang Nilma melaporkan bahwa ada hujan
deras tadi siang. Komplek BTN pun tergenang air. Terjadilah perbincangan Bang Hilma
dan tokoh ku. Dan tokoh ku langsung mengecek rumahnya yang sudah tergenang air
bercampur lumpur alat elektroniknya basah kuyup dan rusak termasuk mesin cucinya
kecuali pesawat tv nya yang tak rusak. Ia melihat wening diacara tv yang sedang podcast
dengan seseorang berkepala pelontos yang sedang membicarakan jaman era teknologi.
Sehingga terjadi adu argument yang menyebabkan sebuah perdebatan antara wening dan
bapak berkepala pelontos
***
2
3. TAHAP ANALISIS (Penerapan Teori Kritik)
“... Lagi pula, kupikir-pikir enak membujang. Bebas dan tak ruwet!”
3
Seolah sosok “Bud” lebih nyaman sendiri (membujang) dan tidak usah susah payah
memikirkan orang lain. Di paragraf lima dan enam penggambaran id juga dapat kita temukan;
paragraf 5;
Mesin cuciku lancar-lancar saja. hidupku juga tetap biasa-biasa.
Dia (sosok Bud) tidak perlu khawatir selama mesin cucinya baik-baik saja, hidupnya
juga berjalan seperti biasanya.
Paragraf 6;
... aku sering juga menumpang lori tebu yang melintas di dekat kampungku... Aku senang sekali
berlari-larian di atas tumpukan tebu tanpa khawatir terjungkal!
Berbeda hal pada cuplikan paragraf ke-enam ini, penggambaran sosok Bud saat masih
SMP yang suka menumpang lori tebu dan senang berlari-larian di atasnya tanpa khawatir
jatuh (terjungkal) adalah gambaran id (psikologi) anak (remaja) pada umumnya, yang hanya
memikirkan senang tanpa takut (khawatir) dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dan yang terahir terdapat pada paragraf 10;
... Pada tahi lalat di tepi bibirnya (yang dulu, sering ku impikan bisa ku kecup). Pada bentuk
aslinya.
4
Paragraf ke-4;
...
“Lho! Oba pikir, coba pikir dalam kehidupan yang pas-pasan ini, cewek mana yang mau hidup
hanya dengan, cinta?”
Pemikiran sosok “Bud/ku” sangat realistis. Bahwa menikah tidak hanya tentang cinta,
tapi juga lainnya. Hal ini dapat dibenarkan dan juga tidak. Sebab pemikiran manusia tidaklah
subjektif, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Ego terkadang menuntun kita
pada hal yang negatif (negatif thinking), namun ego juga kadang membawa kita pada hal
yang positif. Dan hal positif itu dapat kita temukan pada kutipan paragraf;
paragraf ke-7;
...
“Siapa yang menyuruhmu jadi babu? Kamu, kan, pinter masak. Mungkin, ada restoran yang
butuh tenagamu!”
“Memasak? Aku lebih suka bekerja di TV! Asyik, gitu, tiap malam ditonton orang.”
Saat tokoh “Bud/ku” bertanya pada Wening “mengapa tidak cari kerja di kota?”
Wening dengan sepontan menjawan “...Emoh, aku!” Bagi Wening ia lebih tertarik bekerja di
TV, asyik, tiap malam ditonton orang. Pemikiran Wening sangat objektif. Wening tidak ingin
menjadi babu, melainkan ia ingin menjadi wanita karir. Yang kemudian egonya inilah yang
mengantarkan ia pada mimpinya.
Menurut Freud ego dikelilingi oleh keinginan yang saling bertentangan yang berasal
dari tiga entitas yang kuat, yaitu realistis, id (yang melambangkan kebutuhan biologis), dan
superego (melambangkan harapan masyarakat), (Kajian Prosa, 2010:69).
Superego (penuntutan moral dan aspirasi seseorang) berfungsi sebagai lapisan yang
menolak sesuatu yang melanggar prinsip moral, yang menyebabkan seseorang merasa malu
atau memuji sesuatu yang dianggap baik. Superego berkembang mengontrol dorongan-
dorongan kebutuhan id, dan berisi nilai-nilai atau evaluatif (Kritik Sastra, 2008:42).
Superego merupakan aspek sosiologis dari kepribadian yang mewakili nilai-nilai
tradisonal serta cita-cita masyarakat yang ditafsirkan oleh orang tua dalam bentuk perintah
dan larangan (Sujana, 2006:61). Superego merupakan kekuatan moral dan etik dari
kepribadian yang memakai prinsip idealistic (idealistic principle) sebagai lawan dari prinsip
kepuasan id dan prinsip realistic dari ego (Alwisol, 2009:16). Superego merupakan dasar hati
nurani moral (Freud, 1983:xxxiv), aspek moral kepribadian (Sujanto, 2006:62). Fungsi pokok
superego mencakup, (1) merintangi implus-implus id yang berupa implus seksualitas dan
agresifitas, (2) mendorong ego untuk mengejar yang irrealistis dari pada yang realistis, (3)
mengejar kesempurnaan (Sujanto, 2006:62, Alwisol, 2009:16, Kajian Prosa, 2010:69).
5
Superego sendiri digambarkan sebagai hal yang diharapkan manusia, seolah manusia
ingin mendominasi kehidupan. Menciptakan hal-hal baru untuk mempermudah kehidupan
mereka. Mengembangkan inovasi dalam segi apapun. Namun manusia lupa pada dasarnya
hidup harus seimbang, bukan menjadikannya berat sebelah seperti testis. Ini dapat kita jumpai
pada paragraf terahir dalam cerpen Mesin Cuci karya Wahyu Wibowo;
“... Di dalam era tekhnologi ini, kelihatan sekali bahwa manusia itu mau sok jago. Mau sok
menguasai kehidupan. Mau sok pintar. Tapi, di balik itu, lihat saja, banyak orang terbirit-birit
kembali ke hidup alamiah! Atau, paling tidak, sering memuji-muji kehidupan masa lalu...”
Dengan hal inilah seolah penulis ingin memberi tahu gambaran kegelisahan yang ia
rasakan dan yang dialami oleh kebanyakan orang. Bahwa kita sebagai manusia akan terus
tumbuh dan berkembang. Berjalan dengan itu akan muncul berbagai macam inovasi-inovasi
baru untuk mempermudah kehidupan manusia. Namun manusia juga harus fleksibel dapat
memposisikan dirinya dan tidak mudah terbuai (nyaman) dengan hal tersebut.
***
4. TAHAP EVALUASI
Kehidupan di era tekhnologi adalah sebuah masa yang mengalami perkembangan di
segala aspek kehidupan. Seiring berkembangnya zaman, tekhnologi yang merupakan hasil
dari ilmu pengetahuan semakin mendapatkan tempat di hati penikmatnya. Keadaan inilah
yang membuat manusia merasa lebih diuntungkan dengan kemudahan-kemudahan yang di
sajikan. Seperti halnya Mesin Cuci, dulu manusia harus bersusah-payah untuk mecuci
pakaiannya. Dengan adanya perkembangan tekhnologi ini pekerjaan manusia menjadi lebih
mudah.
Tema yang diangkat dalam cerpen Mesin Cuci adalah tentang kehidupan di era
tekhnologi. Dan pengambaran-penggambaran manfaat (keuntungan) dan kerugian di era ini
sudah sangat kompleks. Dimana seseorang akan stuck (terjebak) pada kenyamanan dan
manfaat yang dia rasakan. Seperti halnya pada tokoh “Bud/ku”, ia merasa pesimis atau
minder untuk menikah karena kehidupannya yang biasa saja. Baginya yang terpenting
hidupnya tetap baik-baik saja. Berbeda dengan tokoh Wening, dengan adanya perkembangan
tekhnologi Wening berhasil meraih egonya (mimpi/harapan) untuk menjadi seorang wanita
karir.
Perkembangan tekhnologi mempengaruhi gaya kehidupan manusia. Alangkah
baiknya jika di era tekhnologi yang semakin canggih ini, kita sebagai penikmat sekaligus
pengguna dapat lebih bijak dalam menggunakan dan mengaplikasikan tekhnologi dalam
kehidupan kita. Sebab semua itu sekarang tergantung pada individu masing-masing, karena
hanya kita sendirilah yang bisa mengendalikan diri kita dari tekhnologi yang semakin
menjamur.