Anda di halaman 1dari 6

Magadir

Anton Kurnia

O H, Cinta, jiwaku musnah dihangus api yang kausulut di


dalam diri. Semula kukira aku sudah mengenal api.
Ternyata aku hanya tahu hangatnya lampu. Api yang ini
berkobar tak terkendali. Tubuhku dibakar bara asmara. Tak kuasa
aku memadamkannya. Kalau ini kegilaan, bukan aku yang memulai-
nya. Tapi cintalah yang telah menyalakan sumbu kegilaanku tanpa
rasa iba.
Kuratapi takdir dan nasibku. Kunyanyikan lagu penawar
rindu:
Magadir ya galbil ‘ana
Magadir wisy dzambi ana
Magadir wittimdhi hayati
Masyawir watmannal hana
Oh, takdir! Wahai hatiku yang lara, apakah dosaku? Hidupku
terus berjalan. Aku mengharapkan kebahagiaan. Tapi kami dipaksa
berjauhan. Sirnalah kesenangan. Harapan pun hanya lamunan.
Wahai para pecinta, bagaimanakah caranya agar cinta itu mudah?
Bagaimana agar jarak membuat mata melupa? Sekali pandang
kerinduan terasa manis bertahun-tahun. Berilah aku sekejap
pandang kerinduan!

183
Magadir | Anton Kurnia

Mereka bilang masih ada air tenang, bahkan di tengah


pusaran air yang gila. Tapi kenapa tak ada setitik pun ketenangan
dalam pusaran kegilaan cintaku? Jika cinta bagaikan racun, jelaslah
aku telah binasa dituba asmara.
Bagaikan gelang bagi tanganku, bunga bagi rambutku, pulas
bagi mataku, gincu bagi bibirku, aroma wangi bagi payudaraku,
kalung bagi leherku, kenikmatan bagi tubuhku, jiwa bagi rumahku.
Bagaikana sayap bagi burung, air bagi ikan, nyawa bagi sang hidup.
Begitulah kau bagiku. Betapa pun hebatnya aku menangis untuk
melupakanmu, kau selalu kembali menyelindap di benakku. Dan
bila kaudengar aku bernyanyi, kau tentu tahu, itulah tangisku
untukmu. Yang menjerit adalah hati, tetes air mataku menjadi
bayangan nyeri.
Oh, Kekasih, sekuntum mawar mekar dalam diriku saat
kaukecup bibirku. Saat itu seakan raja dunia menjadi budakku.
Dalam cahaya matamu aku belajar cara bercinta. Dalam ketampan-
anmu aku belajar merangkai kata. Dalam gelap malam pun tak
perlu lilin menyala. Sebab cahaya cinta sedang purnama.
Karena dirimu sampai hati aku mengkhianati suamiku. Karena
cintamu aku terseret nafsu gila tak berujung. Tapi tak pernah
kusesali perjumpaan kita. Bahkan jika cinta berarti petaka, biar
sajalah aku dijemput. Mati dan mati tujuh kali berturut-turut. Kalau
perlu sampai ribuan kali.
Di bukit sunyi daunan ilalang bergesek ditiup angin sepi. Aku
membayangkan kekasih yang tak ada di sini. Bulan jelita. Gagak
terentak dari lelapnya. Aku duduk sendiri di dalam kamar tempat
kita pernah bercinta. Di pinggir ranjang kupandangi bantal. Malam
ini ngilu hatiku. Bagaimana aku bisa menemukan kekasihku yang
lenyap entah ke mana? Kapan bisa kutemui kau kembali? Berapa
lama lagi malam akan berlangsung tanpamu? Apakah kau akan
tetap mencintaiku?
Kuingat saat bahagia kala kita duduk berdua di sudut rahasia.
Terbebas dari pandangan dan cakap orang-orang. Kau dan aku.
Dua sosok tubuh tapi hanya satu jiwa. Harum semak dan nyanyi

184
Magadir | Anton Kurnia

burung menebarkan kehidupan pada saat kita memasuki taman.


Bintang-bintang yang beredar sengaja menatap kita lama-lama. Ba-
gai bulan kita bagaikan cahaya terang kepada mereka. Kau dan aku
menyatu dalam puncak nikmat tertinggi. Semua burung yang
terbang di langit merasa iri. Lantaran kita tertawa riang sekali.
Begitu berat pertemuan, begitu berat perpisahan: ketika
angin timur tak bertiup lagi, segala bunga layu; ulat sutra mati ka-
rena memintal, air mata lilin mengering kala mengabu. Suara
malam mencecap cahaya bulan. Duka perpisahan tak juga sirna.
Bagai mimpi musim semi ia datang sesaat. Lalu bagai kabut pagi ia
pun tiada. Entah ke mana.
Aku teringat saat suamiku membawaku ke istanaku. Kau se-
orang budak muda rupawan yang baru dibelinya dari seorang
saudagar budak. Pertama kali memandangmu, aku langsung jatuh
cinta. Ah, siapa yang tidak? Perempuan sehat manakah yang bisa
bersabar menatap cahaya parasmu?
Kuingat pula saat kami mengadakan pesta jamuan pada suatu
malam di balairung istanaku. Para wanita kawan-kawanku tanpa
sadar melukai jemari mereka saat mengupas delima seraya mena-
tap takjub sosok rupawanmu ketika tiba-tiba kau masuk menghida-
ngkan minuman segar. Mereka berseru dan mendesah tanpa sa-
dar. Lupa diri dilanda pesonamu yang memabukkan dan bikin ge-
metar. Maka jangan salahkan aku jika aku tergoda oleh ketam-
pananmu dan menggodamu karena racun asmara ini tak mampu
kulawan.

YA, semula kau memang menolak jaring pesona yang sengaja ku-
tebarkan. Sekuat akal dan daya kau mencoba lepas dari jerat madu
perangkap rayuan. Tapi aku wanita berpengalaman. Lagi pula aku
bukannya tak rupawan. Perlahan-lahan, selangkah demi selangkah,
kau berhasil kutaklukkan. Kita pun menjadi sepasang kekasih tak
terpisahkan.

185
Magadir | Anton Kurnia

Sampai tibalah malam jahanam itu. Saat kita berasyik-masyuk,


meniti bahtera dalam liarnya badai asmara di atas peraduanku,
suamiku yang semula kukira sedang bermuhibah ke luar negeri
sekonyong-konyong mendobrak pintu terkunci dan menerobos
masuk bersama penjaga.
Suamiku murka. Nyaris saja kau dipenggalnya saat itu juga.
Beruntung air mata dan ratap rayuku yang mengiba-iba serta se-
dikit cintanya yang tersisa untukku membuatnya mengurungkan
hukuman. Tapi siksaannya berlaku juga bagi kita berdua. Kau
dideranya dengan empat puluh cambukan hingga luka-luka. Lalu
kau diusir dari istananya dan tak diperkenankan lagi menginjakkan
kaki di negeri ini. Kau dibuangnya ke ujung benua sebagai budak
hina-dina dengan harga jual serendah-rendahnya demi menistakan
harga dirimu. Sementara, aku dikurungnya di istana durjana ini, tak
diperbolehkan beranjak selangkah pun dari gerbang yang dijaga
para pengawal bersenjata. Aku pun tak diperdulikannya selama
empat puluh hari empat puluh malam. Dianggap tiada dan tak
berharga. Seandainya cintanya kepadaku tak sedahsyat ombak
tujuh samudra, tentu kita berdua sudah binasa.
Dan kini aku disiksa rindu kepadamu. Padahal aku tak tahu di
mana kau berada dan bagaimana keadaanmu. Cinta kita serupa
buah terlarang yang membuat kita jatuh ke dalam nestapa rindu
yang membelenggu. Oh, burung kelabu, sampaikanlah rinduku
kepada kekasihku!
Aku ingin dekat denganmu bagai baju basah yang menempel
di tubuhmu. Aku ingin mencarimu selalu walau kutahu itu tak
perlu. Tentu saja sepasang kekasih tak usah bertemu di tempat ter-
tentu. Karena yang satu ada di dalam yang lain sepanjang waktu.
Sayangku, aku akan selalu mencintaimu sampai seluruh
lautan mengering dan batu karang leleh ke laut. Tapi tak kuat
rasanya aku hidup tanpa kehadiranmu. Jika sampai aku mati,
kenanglah aku saat sudah tiada nanti. Waktu kau tak lagi bisa
menyentuhku. Ketika tak ada jalan kembali bagi kita. Kenanglah
aku jika sudah terlambat untuk mengucapkan kata dan doa.

186
Magadir | Anton Kurnia

Kalau rindu menyiksaku hingga aku tak tahan lagi, biarlah aku
mati. Tapi sebelum aku mati, perkenankan kupanjatkan sebuah
pengakuan:
Ya, Tuhanku, tak pantas bagiku menjadi penghuni surga-Mu
Tapi aku tak kuat dengan panasnya api neraka
Maka ampunilah segala dosa dan kesalahanku
Jika Kau menolakku, kepada siapa lagi aku mengiba? 
Kemang-Antapani, Mei 2014

Catatan :
Cerita pendek ini diilhami Magadir, lagu berbahasa Arab gubahan Pangeran Mohammad
Abdullah al-Faisal dan Siraj Omar Tamblen yang amat dikenal di kalangan pesantren di
Indonesia, dipopulerkan oleh penyanyi Talal Maddah dan Warda al-Jazayria. Cerita
pendek ini juga merupakan adaptasi tak setia kisah Zulaikha dan Yusuf dalam Haft
Awrang karya Nuruddin Jami(1414-1492), penyair sufi Persia. Beberapa kalimat di
dalamnya dipinjam dari puisi-puisi para penyair dari berbagai negeri dan berbagai zaman
terjemahan Sapardi Djoko Damono dalam buku Love Poems: Aku dan Kamu (2007) serta
syair Abu Nuwas al-Hasan (756-814).

Anton Kurnia sehari-hari bekerja sebagai manajer redaksi pada


penerbit Serambi, Jakarta. Kumpulan cerita pendeknya adalah
Insomnia (2004).

187
Bagaimana Nasrul Marhaban Mati dan Dikenang | Ben Sohib

(Ilustrasi: Munzir Fadly)

188

Anda mungkin juga menyukai