Anda di halaman 1dari 48

Contoh Cerpen (Anak Lelaki Yang Menjadi Pengusaha

Sukses)
Posted by : reksi aji
Anak Lelaki Yang Menjadi Pengusaha Sukses

            Pada suatu ketika Usman terlahir dan dibesarkan di keluarga miskin , dia
membentuk karakter menjadi seorang pekerja keras dan tak pantang menyerah . sejak
kecil ia sudah harus melakoni pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh orang
dewasa hanya dengan mengandalkan hasil panen sawah , itupun Cuma beberapa
petak . Bapa Asep dan ibu Siti yang tidak lain adalah ayah dan ibu dari 7 orang anak ,
keluarga tersebut sangat kesulitan untuk membiayai kebutuhan keluarganya .
Jangankan memikirkan pendidikan Usman beserta saudara-saudaranya , biaya hidup
sehari-hari saja sulitnya bukan main . Hari berganti hari hanya berkutat pada upayanya
untuk bertahan hidup , alih-alih menyusun perencanaan masa depan bagi anak-
anaknya saat itu , masa depan bagi Usman adalah gambaran akan kegitaran hidup
yang siap mencengkram di masa depan .

            Keadaan demikian yang menjadikan Usman yang usia nya masih kecil kala itu ,
sudah harus memikirkan hal-hal yang semestinya menjadi beban orang tua saat itu .
saat Usman duduk di bangku SD , Usman sudah harus bersiasat dengan waktu . Ketika
waktu sholat subuh baru saja berlalu Usman sudah harus meninggalkan rumah kala
hari masih gelap dengan semangatnya ia menyusuri tiap semak-semak belukar di
pinggir kampung mencari sebuah kelapa yang mungkin jatuh di malam tadi kebetulan
beruntung kelapa tersebut di bawa ke sekolah untuk ditukarkan sama kue yang menjadi
favoritnya saat itu . Kalau nasib Usman kurang beruntung , terpaksa dia harus gigit jari
melihat teman-teman lainnya menikmati kue di kala ia istirahat . Segera setelah pulang
sekolah , Usman sudah ada di pinggir kampung , mengembala kerbau . Di kala waktu
musim padi tiba Usman harus ikut membantu orang tuannya membajak sawah .

            “Pernah suatu ketika , Usman membajak pada jam 2 malam sebab ke esokan
harinya , saya harus ikut ulangan sekolah “ . Memasuki bangku SMP , Usman tumbuh
menjadi pemuda dalam usia 16 tahun yang berbadan kekar dan kuat , sudah tentu
sangat mengagumkan . Dengan begitu dia merasa sangat percaya diri melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang lebih berat dari pekerjaan sebelumnya . pada usia anak SMP
Usman menjadi kuli angkut di pasar , kuli bangunan , dan melakoni pekerjaan orang
dewasa lainnya . Saat truk angkut tiba Usman bersama teman-temannya di kampung ,
menjadi kuli angkutan barang dari mobil ke took-toko . diantara semua kuli angkutan
Usman  dan anak kuli lainnya . dari pengalaman menjadi kuli angkut Usman berfikiran
untuk merekam kegiatan bisnis tersebut

            Dalam usia Usman yang beranjak mulai dewasa , Usman membuka usaha-
usaha yang menurutnya pantas untuk disalukan kepada orang-orang yang sangat
membutuhkan pekerjaan . Ia pun membuka usaha laundry yang menurutnya bisa
membantu orang-orang yang membutuhkan pekerjaan , dan Usman melakukan usaha
itu dengan mengandalkan 5 orang karyawan lalu dia membagi-bagikan karyawannya di
setiap sudut-sudut pekerjaan yang di tetapkan oleh Usman .

            Usman pun sudah bisa mendapatkan penghasilan yang menurutnya cukup
untuk kebutuhan lainnya . lalu Usman membuka cabang usaha laundry nya lagi di luar
kota dan memperkerjakan orang lain yang sangat dipercayainya untuk menjaga usaha
laundrynya , lalu Usman cukup mengatur karyawannya agar lebih santun kepada
konsumen yang berlangganan ke laundrynya . Usman sangat senang dan gembira
membuka usaha laundry ini , keluarganya pun begitu gembiranya melihat anaknya
menjadi pengusaha yang sukses .

            Usman pun berkepikiran ingin mengajak kedua orangtuanya untuk


melaksanakan naik haji dan Usman sudah bisa membahagiakan orang tuanya yang
mengurus dia dari kecil sampai menjadi orang sukses seperti sekarang . Sepulang dari
mekah Usman memperkenalkan seorang wanita yang bernama Tuti Sulistiawati kepada
kedua orangtuannya , lalu Usman meminta kepada bapa dan ibunya supaya bisa
merestui / menikahi wanita yang sangat di sayanginya . Lalu kedua orangtuanya pun
merestui Usman untuk menikahi wanita tersebut , kemudian Usman tidak menunda-
nunda untuk menikahi wanita tersebut .

            Sudah berajak sekitar 2 tahun menikah Usman dan istrinya dikaruniai seorang
anak perempuan yang bernama Salma , Usman pun sangat bahagia sekali mengurus
anak dan istrinya dan hidup senang yang jauh dari keterpurukan kemiskinan yang
pernah dialaminya sewaktu dia kecil

Impian
Kala senja itu, cucuran keringat mengalir deras pada diri seorang remaja. Yang selalu
mengayuh sepeda demi mencapai tujuannya. Seorang remaja dengan semangat juang tinggi.
Yang selalu bermimpi menggapai cita yang murni. Ya, ialah Hanur namanya. Ia terlahir dari
keluarga yang miskin. Ia bukan seorang remaja yang memiliki otak cemerlang, ia selalu
menjauh dari pandangan guru. Dan ia sering sekali mendapatkan nilai jelek. Ya, memang
seseorang di dunia ini tidak ada yang sempurna, pada setiap insan pasti mempunyai bakat
masing-masing yang sudah di anugerahkan Tuhan kepadanya.
*
Terlihat dari sudut desa Gede itu, sebuah gubuk kecil rumah tempat tinggal Hanur
bersama keluarganya. Rumah yang jauh dari kata kemewahan, namun sederhana sekali.
Kecintaannya pada mesin tak pernah padam, mungkin itu warisan dari ayahnya yang kini sudah
tiada. Pada usianya 8 tahun, ia sudah mengayuh sepeda sepanjang 10 mil hanya untuk melihat
pesawat terbang. Ketika umurnya 12 tahun ia mampu menciptakan sebuah sepeda pancal dengan
model rem kaki. Namun dalam benaknya, ia tak pernah ingin menjadi usahawan otomotif. Disaat
umurnya mencapai 15 tahun, ia memutuskan untuk berhenti sekolah. Dan selanjutnya ia
merantau ke kota Jakarta untuk mencari pekerjaan sebagaimana bakat yang ia milikinya.
Tak lama kemudian, ia mendapati pekerjaan itu. Ia bekerja sebagai karyawan di bengkel yang
bernama Repair Company milik bos nya Tauka Ucha. Karena kegigihan dan keterampilan yang
dimiliki Hanur, bosnya sangat senang dengan cara kerjanya. Ia teliti dan cekatan, setiap suara
yang mencurigakan, setiap oli yang bocor, tidak luput dari perhatiannya. Enam tahun bekerja
disitu, menambah wawasannya tentang permesinan.
**
Di usia Hanur yang menginjak 21 tahun, Tauka Ucha membuka cabang bengkelnya yang
didirikan di pusat kota Bandung. Bengkel tersebut dipercayakan kepada Hanur. Prestasi
pekerjaan Hanur tetap membaik walaupun jauh dari pandangan bosnya.
Ia selalu menerima reparasi yang ditolak oleh bengkel lain. Kerjanya pun cepat memperbaiki
mobil pelanggan sehingga berjalan kembali. Karena itu, jam kerjanya larut malam, dan
terkadang sampai subuh. Otak jeniusnya tetap kreatif. Pada zaman itu, jari-jari mobil terbuat dari
kayu, hingga tidak baik meredam goncangan. Ia punya gagasan untuk menggantikan ruji-ruji itu
dengan logam. Hasilnya luar biasa. Ruji-ruji logamnya laku keras, dan diekspor ke seluruh
dunia. Di usia 30 tahun, Hanur menandatangani patennya yang pertama.
Bisa dibilang bahwa pada usia 30 tahun ia sudah mencapai kesuksesan yang diingininya sejak
kecil itu. Ia merasa pada saat itu ia sudah mampu untuk membuka bengkel sendiri, akhirnya ia
melepaskan diri dari bosnya. Ia mulai berfikir, kira-kira produk apa yang kiranya akan laris di
pasaran? Inovasinya tertuju pada Ring Pinston. Ia dan para karyawannya pun memulai hal itu,
setelah beberapa hari ia mengajukannya kepada perusahaan otomotif ternama yang membuka
cabangnya di Indonesia yaitu Honda. Sayangnya, karyanya itu ditolak oleh Honda, karena
dianggap tidak memenuhi standar. Ring buatannya tidak lentur, dan tidak laku dijual. Ia ingat
reaksi teman-temannya terhadap kegagalan itu. Mereka menyesalkan dirinya keluar dari bengkel
Tauka Ucha.
***
Karena kegagalan itu, Hanur jatuh sakit cukup serius. Dua bulan kemudian, kesehatannya pulih
kembali. Ia kembali memimpin bengkelnya. Tapi, soal Ring Pinston itu, belum juga ada
solusinya. Demi mencari jawaban, ia kuliah lagi untuk menambah pengetahuannya tentang
mesin. Siang hari, setelah pulang kuliah - pagi hari, ia langsung ke bengkel, mempraktekan
pengetahuan yang baru diperoleh. Setelah dua tahun menjadi mahasiswa, ia akhirnya dikeluarkan
karena jarang mengikuti kuliah. "Saya merasa sekarat, karena ketika lapar tidak diberi makan,
melainkan dijejali penjelasan bertele-tele tentang hukum makanan dan pengaruhnya.” Kepada
Rektornya, ia jelaskan maksudnya kuliah bukan mencari ijasah. Melainkan pengetahuan.
Penjelasan ini justru dianggap penghinaan.
****
Berkat kerja kerasnya, desain Ring Pinston-nya diterima. Pihak Honda memberikan
kontrak, sehingga Hanur berniat mendirikan pabrik. Sayangnya, pabriknya terbakar dua kali.
Namun, Hanur tidak patah semangat. Ia bergegas kembali untuk mendirikan pabriknya. Tanpa
diduga, gempa bumi meletus menghancurkan pabriknya, sehingga diputuskan menjual pabrik
Ring Pinstonnya ke Honda. Setelah itu, Hanur mencoba beberapa usaha lain. Namun semuanya
gagal. Untuk membeli makanan bagi keluarganya saja ia sangat kesulitan. Dalam keadaan
terdesak, ia memasang motor kecil pada sepeda. Siapa sangka, sepeda motor – cikal bakal
lahirnya mobil Hanur - itu diminati oleh para tetangga. Mereka berbondong-bondong memesan,
sehingga Hanur kehabisan stok. Disinilah, Hanur kembali mendirikan pabrik motor. Sejak itu,
kesuksesan tak pernah lepas dari tangannya.
*****
Kala senja itu, cucuran keringat mengalir deras pada diri seorang remaja. Yang selalu
mengayuh sepeda demi mencapai tujuannya. Seorang remaja dengan semangat juang tinggi.
Yang selalu bermimpi menggapai cita yang murni. Ya, ialah Hanur namanya. Ia terlahir dari
keluarga yang miskin. Ia bukan seorang remaja yang memiliki otak cemerlang, ia selalu
menjauh dari pandangan guru. Dan ia sering sekali mendapatkan nilai jelek. Ya, memang
seseorang di dunia ini tidak ada yang sempurna, pada setiap insan pasti mempunyai bakat
masing-masing yang sudah di anugerahkan Tuhan kepadanya.
******

Mojoagung, 27 September 2014

(NB: Cerpen diatas saya adopsi dari kisah nyata Soichiro Honda, pendiri pabrik motor Honda.) 

Struktur:

Bintang 1 (*) = Abstraksi


Bintang 2 (**) = Orientasi
Bintang 3 (***) = Komplikasi
Bintang 4 (****) = Resolusi
Bintang 5 (*****) = Evaluasi
Bintang 6 (******) = Koda

RUMAH KECIL DI BUKIT SUNYI

 Di atas bangku bambu yang reyot, pak Kerto menjelujurkan kedua kakinya. Sebentar-sebentar
tangannya mengurut-urut kedua kakinya yang kurus kering itu. Tak lama kemudian ia beranjak
dari bangku kemudian melangkah ke bilik belakang yang hanya dibatasi dengan rajutan daun
rumbia. Lalu diambilnya beberapa potong ubi dari sebuah panci dan diletakannya di atas
selembar daun pisang yang sudah agak mengering. Kemudian melangkah balik ke depan dan
duduk di bangku bambu itu kembali.

Dinikmatinya perlahan sepotong demi sepotong ubi rebus, diteguknya pula sisa kopi di gelas
untuk melancarkan jalannya kunyahan ubi itu di tenggorokan. Gelas itu belum sempat
diletakan, sisa sedikit kopi diteguknya kembali hingga tandas. Setelah itu gelas diletakan di
bawah bangku, kemudian diambilnya puntung rokok yang terselip di sela-sela telinganya.
Disulut dan dihisapnya kuat-kuat, asapnya dihembuskan perlahan-lahan. Nikmat sekali
nampaknya.

Pintu tiba-tiba berderak dibuka seseorang dan disusul munculnya lelaki berperawakan
pendek dengan perut yang gendut.

“Ooo….juragan. Silakan gan”, sambut pak Kerto sambil membungkuk-bungkuk. Dan dengan
tergesa dibersihkannya bangku bambu yang sudah reyot itu. Masih dengan membungkuk
hormatpak Kerto mempersilakan lelaki gendut itu yang dipanggilnya juragan untuk duduk di
bangku.
“Bagaimana? Apakah semuanya sudah beres?” tanya sang juragan dengan mimik serius.
Matanya sesekali memandang rumah kecil itu.

“Sebagian sudah saya panen, gan. Dan yang belum sisa ladang sebelah kanan parit. Silakan
juragan periksa hasil panenan itu”.

“Dimana kau letakan, Kerto?”

“Ada di samping rumah, gan. Semuanya berjumlah enam karung terigu. Bagus-bagus hasil
panenan kali ini”, kata pak Kerto sambil membuang sisa rokoknya yang sudah mati.
Kemudian juragan itu beranjak dari bangku dan keluar diikuti pak Kerto. Kedua orang itu
melangkah menuju samping rumah. Dan sang juragan segera mendekati tumpukan karung.
Sesaat, dibukanya salah satu karung dan diambilnya sehelai daun yang ada di dalamnya,
kemudian sehelai daun itu diciumnya.

“Ahhh, luar biasa!” teriaknya kegirangan. “Bagus…bagus sekali panenan kali ini, Kerto”,
lanjut juragan itu sambil menepuk-nepuk punggung pak Kerto. Dan pak Kerto hanya
mengangguk-angguk pelan. Dalam hati pak Kerto ada rasa bahagia karena bisa membuat
juragan senang yang berarti ia nanti akan mendapat tambahan upah. Watak juragan
memang begitu, kalau sedang senang ia tak segan-segan memberinya tambahan upah. Tapi
kalau sebaliknya, berkata pun tidak, apalagi tambahan upah, kata pak Kerto dalam hatinya.

“Enam karung ini disimpan yang baik dan jangan sampai kena hujan. Dua hari lagi aku akan
kembali ke sini mengambil semua hasil panenan”, ucap juragan sambil berkecak pinggang.

“Baik, gan”.

“Jangan lupa, simpan karung-karung ini baik-baik”.

“Akan saya laksanakan, gan”, jawab pak Kerto lirih sambil membungkuk-bungkuk.

Sementara matahari berangsur tenggelam dan juragan yang gendut itu menuruni perbukitan,
meninggalkan pak Kerto yang masih termangu-mangu diterpa semilir angin senja. Tubuh pak
Kerto yang kurus itu masih saja tegak berdiri mematung memandangi juragannya yang
terseok-seok jalan di pematang sawah.

Suara serangga bersahut-sahutan mewarnai malam yang dingin. Pak Kerto berbaring di
bangku bambu yang reyot itu sambil berselimut selembar sarung. Ia tak dapat tidur, padahal
matanya sudah terasa berat oleh kantuk yang menggelantunginya. Sebentar kemudian
diperbaiki letak sarungnya untuk menghalau dingin. Kedua telapak tangannya diletakan di
bawah kepalanya sebagai alas pengganti bantal. Sementara lampu minyak yang tergantung
di sudut ruangan semakin redup. Barangkali habis minyaknya, pikir pak Kerto.

Matanya belum juga bisa dipejamkan. Ditariknya nafas dalam-dalam. Pikirannya tertuju pada
pohon-pohon kecil di ladang sebelah kanan parit yang besok harus dipanen. Ia sebenarnya
tak habis berpikir, untuk apa juragan menanam pohon-pohon itu. Ia sendiri tak tahu, apa
nama pohon yang bentuknya hampir mirip tanaman cabai. Dan ia hanya tunduk pada segala
perintah juragannya lalu mendapatkan upah. Ya, hanya itu saja yang pak Kerto lakukan.
Sementara pak Kerto sendiri dilarang bergaul dengan orang-orang di sekitar perbukitan. Itu
Perintah juragan dan harus dipatuhi. Pak Kerto sendiri kalau pulang ke kampungnya paling
cepat empat bulan sekali. Itu kalau musim panen tiba dan ia harus pulang bersama juragan
yang membawa semua hasil panenan menuju kota. Juragan memang selama ini selalu baik,
itu saja yang ia ketahui. Setiap pulang ke kampung, juragan selalu membekalinya beberapa
potong pakaian, susu kaleng, roti kalengan, selain upah yang rutin ia terima.

Sejauh ini pak Kerto belum tahu, jenis apa dan untuk apa pohon-pohon itu ditanam. Ah,
kenapa aku harus memikirkannya?, desah pak Kerto lirih. Sementara di luar gemersik
dedaunan bergesekan dihembus angin malam perbukitan. Senandung serangga malam sisa
satu dua yang terdengar dan mulai ditingkahi suara kokok ayam satu-satu bersahutan di
kejauhan.

Pak Kerto baru saja selesai melipat sarungnya yang agak kumal. Sebentar-sebentar
ditariknya nafas dalam-dalam. Kini tinggal melipat kaos oblong yang berwarna hijau pudar
itu. Tak lama lagi pasti juragan akan datang lalu aku akan ikut serta dengan juragan ke kota,
katanya dalam hati. Selintas dipandanginya tumpukan karung terigu. Semuanya berjumlah
sebelas karung. Kemarin pak Kerto memanen ladang sebelah kanan parit dan mendapat
lima karung terigu penuh. Pak Kerto tertegun sejenak, rambutnya yang agak memutih
diusapnya perlahan. Tinggal apalagi yang harus dikemas, pikirnya. Kedua matanya
memandangi seputar ruangan itu, tapi ia tak menemukan sesuatu yang mesti dibawa pulang.

Disandarkannya tubuh yang kurus itu ke tumpukan karung di sampingnya. Pikirannya


menerawang jauh ke kampung halamannya. Sedang apa istri dan kedua anakku sekarang
ya…?, tanyanya dalam hati. Sesampainya di kota nanti pak Kerto ingin membelikan kain
kebaya buat istrinya, juga dua sandal plastik buat kedua anaknya. Dan bibir pak Kerto yang
hitam dan kering itu berdecah-decah kemudian tersenyum-senyum sendiri. Rasa hatinya
bahagia sekali karena sebentar nanti akan segera bisa melepas kerinduan pada istri dan
kedua anaknya, setelah empat bulan lebih berpisah.

Pak Kerto kemudian bangkit dan berjalan menuju bilik belakang. Diambilnya sisa kopi yang
tinggal seperempat gelas lalu diminumnya hingga tandas. Belum juga ia sempat meletakan
gelasnya, tiba-tiba ada terdengar suara orang mengetuk pintu. Ahh.., juragan datang, kata
pak Kerto lirih penuh kegembiraan. Ia segera meletakan gelasnya dan dengan langkah yang
tergesa pak Kerto menuju ke bilik depan.

“Sebentar gan, sebentar…”, kata pak Kerto girang sambil membuka palang pintu. “Biasanya
kan langsung masuk, gan”, lanjutnya sambil menguak daun pintu.

Dan pak Kerto merasa seluruh aliran darahnya terhenti ketika di depannya berdiri empat
orang polisi dengan senjata di tangan.

“Jangan bergerak!”, gertak salah seorang polisi. Sedangkan ketiga polisi lainnya langsung
masuk rumah kecil itu. Pak Kerto sendiri berdiri kaku, mematung, tak tahu apa yang
sebenarnya sedang terjadi.
“Maaf, bapak saya tangkap”, kata polisi yang habis menggertak tadi sambil mendekat dan
memborgol kedua tangan pak Kerto. Dan pak Kerto semakin bertambah bingung.

“Apa kesalahan saya, pak?” tanya pak Kerto terputus-putus.

“Bapak telah menanam dan menyimpan pohon ganja, padahal pohon-pohon ganja ini
dilarang ditanam oleh pemerintah”, jawab polisi itu tegas.

“Tapi saya hanya disuruh juragan. Saya hanya melaksanakan perintah juragan, pak”, kata
pak Kerto tertunduk.

“Saya mengerti dan memahami keadaan bapak. Juragan bapak sekarang ada di tahanan
polisi”.

Polisi itu kemudian menyuruh pak Kerto berjalan menuruni lereng perbukitan. Sedang ketiga
polisi lainnya memanggul beberapa karung terigu yang berisi daun ganja dengan dibantu
beberapa peladang yang kebetulan berada di sekitar perbukitan itu.

Pak Kerto tertunduk menuruni lereng perbukitan. Inilah jawaban atas teka-teki tanaman itu,
batin pak Kerto. Ya, dua tahun lebih baru terjawab sekarang, batinnya lagi dalam hatinya.
Tak terasa pipi keriput lelaki tua itu sudah basah oleh air mata. Sementara rumah kecil di
atas bukit semakin jauh ditinggalkan. Tuhan, jerit pak Kerto lirih.

Purbalingga, 1982

TOPI

Sudah dua hari ini aku melihat lelaki yang bertopi itu duduk sendirian di depan sebuah toko
di perempatan jalan. Tapi anehnya ia selalu melakukannya di malam hari. Dan apabila pagi
atau siang hari ia tak nampak di depan toko itu. Aku sebagai warga kampung yang
rumahnya terdekat dengan toko itu sudah selayaknya memiliki rasa curiga dan berusaha
mengikuti gerak-gerik lelaki itu.

Malam berikutnya kembali aku melihat lelaki bertopi itu duduk sendiri di depan toko. Sesekali
ia menundukan wajahnya dan sesekali pula ia memandangi beberapa mobil dan motor yang
lewat. Dari kejauhan kuikuti gerak-gerik lelaki yang mencurigakan itu. Sebenarnya aku
sendiri berkeinginan untuk dapat mendekati lelaki itu. Basa-basi atau sekedar berbicara
ringan. Siapa tahu ia dalam kesusahan mencari alamat keluarganya di sekitar kampung ini.
Atau mungkin siapa tahu dia betul-betul ingin mencuri toko itu. Atau mungkin? Berbagai
pertanyaan tiba-tiba muncul dan mengisi penuh pikiranku.

“Maaf, boleh saya duduk di sini?” Tanyaku pada lelaki yang bertopi itu ketika ia akan
menyulut rokoknya.
“Silakan”, jawabnya acuh sambil mematikan api koreknya.

“Terima kasih”, kataku berusaha sesopan mungkin sambil duduk di sebelahnya. Kulirik lelaki
itu diam termangu sambil mempermainkan asap-asap rokoknya. Ia nampaknya tidak
mempedulikan kedatanganku di sisinya.

“Barangkali sedang menunggu seorang teman?” Tanyaku sekedar basa-basi untuk


mencairkan suasana. Ia menoleh dan menatapku tajam-tajam. Di keremangan lampu lima
watt, nampak jelas sorot matanya menatap tajam ke wajahku. Ia seperti berusaha
mengelupas kulit di wajahku, menikamkan kecurigaan dengan api sorot matanya.

Sesekali rokoknya diisapnya kuat-kuat lalu asapnya dihembuskan sembarangan ke wajahku.


Kutarik nafas dalam-dalam, aku semakin tak mengerti tentang status lelaki ini.

“Dan kau sendiri?” Katanya tiba-tiba kepadaku dengan suara yang berat.

“Aku?”

“Ya, kamu”.

“Ah, aku sendiri hanya ingin duduk di sini. Tak lebih”.

“Hemm…kenapa memilih duduk di sini dan tidak di tempat lain saja?” Tanyanya ketus sambil
memperbaiki letak duduknya. “Apa kau ingin mencari teman duduk atau ngobrol?” Lanjutnya
dengan suara semakin datar.

“Benar. Aku memang membutuhkan seorang teman sekaligus kawan ngobrol untuk sekedar
membunuh rasa sepi”, jawabku berbohong. Dan lelaki itu hanya diam saja tanpa reaksi
sedikit pun. “Kebetulan aku sering melihat saudara duduk sendiri di tempat ini. Barangkali
kita ada kesamaan”.

“Maksudmu, aku sedang kesepian?”

“Mungkin begitu”, jawabku sekenanya.

“Saudara jangan mengacau. Aku bukan tipe orang seperti yang anda sebutkan tadi,
kesepian. Jangan samakan aku dengan anda. Dan lagi, aku paling tidak suka pada
seseorang yang menaruh prasangka sekehendak hatinya”, kata lelaki itu dengan suara yang
bergetar dan nadanya kurang menyukai basa-basiku. Sepertinya ia tersinggung dengan
kata-kataku tadi.

“Maaf, aku sebenarnya ….”.

“Ya, aku tahu maksud saudara”, potongnya. “Aku sendiri melihat anda tidak hendak
mengganggu ketenanganku. Aku lihat dari tutur kata dan gerak-gerik saudara. Baiklah,
malam ini kita mulai menjadi kawan”, lanjutnya sambil menjabat tanganku kuat-kuat. Aku pun
membalasnya. Ah, ternyata dengan kerendahan hati dapat juga meluluhkan lelaki ini yang
sebelum kukenal wajahnya terlihat amat angkuh, egois, dan pendiam.

“Sudah beberapa hari ini aku melihat anda duduk sendiri di sini. Barangkali ada yang dicari
atau dinanti di sekitar daerah ini?”

“Pertanyaan yang penuh kecurigaan”, jawabnya sinis sambil melemparkan sisa rokoknya.

“Tidak. Sama sekali tidak”, kataku sambil mencoba mengurangi suasana yang kaku dan
kurang enak. “Sama sekali aku tidak mencurigaimu”, lanjutnya sambil kupegang lengan
tangannya.

“Ya…ya…., aku tahu. Aku juga tidak menuduh anda begitu. Apalagi menuduh anda sebagai
bagian dari siskamling di kampung ini. Tidak. Kuanggap anda sudah sebagai kawan, meski
baru kenal beberapa waktu yang lalu. Maaf. Aku sebenarnya ingin juga meminta pendapat
anda sebagai kawan. Biasanya kawan selalu siap memberikan pertolongan atau saran jika
diminta. Bagaimana?”

Ada kesan suasana sudah mulai cair. Nada suaranya sudah datar dan sedikit agak
bercanda. Aku mencoba menatap wajahnya yang bertopi itu. Ia tertunduk.

“Langsung saja. Saran apa yang harus kuberikan?”

“Hei, kita harus ingat kalau segala persoalan itu harus diurut secara teratur dan sistematis,
biar nantinya bisa jelas dan lancar”, suara lelaki itu sedikit serak dengan nada menasehati.

“Oke, kalau itu memang keinginan anda”.

“Hemmm, begini”. Ia terdiam sejenak, sepertinya ada beban berat yang tak ingin
disampaikan kepadaku. “Saya punya istri sedang hamil lebih delapan bulan”, ucapnya pelan
sambil menengadah ke langit. “Anda tentu sudah mahfum kalau wanita yang sedang hamil
selalu mempunyai permintaan yang aneh-aneh”.

“Ngidam maksudmu?”

“Ya. Dan yang aneh istriku tidak mengidam seperti wanita hamil lainnya yang minta buah-
buahan atau makanan lainnya. Istriku hanya punya keinginan supaya saya mau melepaskan
topi yang saya pakai ini”, katanya dengan sedih sambil menunjukan ke arah topi yang ia
pakai. “Sebenarnya istriku sudah meminta hal ini sejak kandungannya berumur dua bulan.
Tapi aku masih pikir-pikir untuk melepaskan topi ini dan sebisa mungkin aku akan
mempertahankan topi yang saya pakai ini. Topi ini punya sejarah panjang dalam hidupku”,
sambungnya lagi sembari menyalakan sebatang rokok.

“Ohhh, begitu. Kenapa tidak dituruti saja permintaan istrimu itu? Kukira topi yang anda pakai
tidak ada pengaruhnya sama sekali dalam kehidupan sehari-harimu. Topi hanyalah sebuah
benda penangkal terik matahari, titik. Jadi kukira pakai topi atau tidak sama saja. Anak yang
ada dalam kandungan istrimu tentu lebih penting dibanding topi itu”, kataku sedikit
menasehati dan sekaligus permohonan agar keinginan istrinya didahulukan dari pada
mempertahankan topi yang tak jelas manfaatnya.

“Jangan sok tahu. Ini masalah prinsip dan sekaligus menyangkut identitas diri. Anda tahu,
aku memakai topi ini sudah lebih dua puluh tahun lamanya dan aku amat sangat mencintai
topi ini. Inilah identitasku”.

“Tetapi semuanya kan demi istri dan anak yang ada dalam kandungannya. Kenapa anda
begitu sampai hati terhadap istri? Kenapa hanya masalah topi atau identitas, anda harus
egois terhadap istri? Kenapa…..”.

“Cukup!” Ia memotong ucapanku dengan sedikit membentak. Aku terkejut melihat perubahan
sikapnya yang tiba-tiba itu. Lalu lelaki itu berdiri, berkecak pinggang, dan dimasukan tangan
kanannya di saku celananya. Sebentar kemudian ia nampak menarik nafas dalam-dalam.
Aku hanya mampu tertunduk menyesali apa yang sudah kuucapkan tadi.

Ketika aku mendongakan kepala, lelaki itu sudah pergi ke arah selatan. Makin lama makin
jauh dan akhirnya lenyap di tikungan jalan.

Dua malam berikutnya aku menjumpai lelaki itu duduk sendiri dan tak memakai topi.
Akhirnya mau juga ia melepaskan topinya, pikirku. Ketika aku mendekat dan duduk di
sampingnya, ia tak bereaksi sedikit pun. Sementara di lantai dekatnya duduk, berserakan
putung-putung rokok. Ia nampak gelisah dan merokok tak putus-putus. Sekilas wajahnya
nampak murung.

“Anda lihat kalau malam ini aku tak memakai topi”, ucapnya agak gemetar. “Topi itu telah
kukubur bersama istri dan anakku. Istriku meninggal saat melahirkan dan bayinya menyusul
beberapa menit kemudian. Istriku mengalami pendarahan yang hebat saat aku pulang dari
sini beberapa malam lalu”, katanya lagi dengan sedih dan gemetaran.

“Ahhh!”. Hanya itu yang sempat keluar dari bibirku. Dan lelaki itu pun beranjak pergi entah ke
mana. Sementara gerimis mulai turun. Malam semakin dingin dan sepi, seperti lelaki aneh itu
yang hilang ditelan malam.

Jogja, 1983

IBU

Tak seperti biasanya, pagi-pagi sekali Parto telah bangun. Ia menggeliat sebentar lalu
ditatap wajah ibunya, nampak masih nyenyak benar tidurnya. Parto tidak segera beranjak
dari situ. Ia duduk sambil melayangkan pikirannya.

Memang, pagi ini tidak seperti biasanya. Dan sudah menajdi kebiasaannya, ibu pasti bangun
lebih pagi daripada Parto. Tapi pagi ini ibu nyenyak sekali tidurnya. Mungkin tadi malam ibu
tidur sampai larut, pikir Parto. Sedangkan ia sendiri sudah tidur usai warta berita di radio jam
tujuh.

Sekarang jam berapa ya? Parto bertanya-tanya dalam hatinya. Kenapa radio milik pak
Dullah belum dibunyikan. Masih dingin dan lembab hawanya, sedangkan di luar masih
nampak gelap. Mungkin baru jam empat, pikir Parto. Lalu ia berdiri. Disingkapnya pintu yang
terbuat dari kardus bekas. Ia keluar.

Ditatapnya langit. Mendung. Di sebelah timur ada sedikit gumpalan awan memutih. Kedua
tangannya masih rapat-rapat dilipat di atas dadanya. Udara kota Jogja memang cukup dingin
pagi ini.

Parto berjalan menuju sungai yang tak jauh dari rumah kardusnya yang ia huni. Suasana
masih sepi, belum ada penduduk sekitar tepian sungai itu yang bangun. Warga tepian sungai
Code ini memang kebanyakan bekerja malam hari. Ada yang sebagai tukang becak, pelacur,
pemungut putung rokok, pemungut barang-barang bekas dan masih banyak lagi pekerjaan-
pekerjaan yang memungkinkan dapat menghasilkan sesuap nasi untuk penyambung
hidupnya.

Dibasuhnya seluruh wajahnya dengan air Code yang dingin dan mengalir tenang. Air yang
mengalir tak begitu deras, memang agak mengering. Ia memang berniat hanya cuci muka
pagi ini, udara terlalu dingin. Kemudian ditinggalkannya tempat itu dan kembali menuju
rumah kardusnya, yang mirip dengan gubug. Disingkap pintunya perlahan, nampak di atas
tikar usang dan robek ibunya masih nyenyak tidur. Parto tak tega membangunkannya. Ah,
mungkin ibu sedang bermimpi bertemu dengan bapak, pikirnya. Bapaknya yang meninggal
pada zaman pemberontakan dulu. Bapaknya sebagai petani yang tak tahu apa-apa, tiba-tiba
disiksa, dianiaya oleh gerombolan. Sayang waktu itu Parto masih kecil sehingga tak mampu
membela bapaknya dari kekejaman gerombolan. Kata ibu, waktu bapaknya meninggal dulu,
Parto baru berumur delapan bulan. Ia merupakan bayi mungil yang menawan. Begitu cerita
ibu ketika itu sambil terisak-isak mengingat masa lalu. Sekarang, ibunya masih tidur
nyenyak, diiringi dengkuran-dengkuran halus.

Parto membenahi peralatan kerjanya. Dua kaleng semir ditatanya dengan rapi di pojok
kotak, juga lap dan sikatnya. Berulangkali kotak kotak kayu yang tak begitu besar itu
ditatapnya. Kau penyambung hidupku, kata Parto dalam hatinya. Tanpamu mungkin aku dan
ibuku akan mati kelaparan, katanya lagi dalam hatinya. Dielusnya kotak itu dengan perasaan
sayang. Ditatapnya dengan sendu.

Ibunya masih tidur, Parto perlahan-lahan keluar. Ketika akan melangkah ia berbalik lagi,
disingkap kembali pintu yang terbuat dari kardus itu. Ia pandangi kembali wajah ibunya yang
masih lelap. Ia belum beranjak dari pintu. Dipandanginya kembali wajah ibunya, sebuah
wajah yang tulus dan selalu memberinya kasih sayang. Ibunya adalah teman satu-satunya
yang paling disayang. Ia teman bermain, bercerita, berbagi sedih, merangkai hidup sehari-
hari, juga sebagai ibu yang sangat dicintainya.

Dengan hati yang kurang tenang, Parto melangkah meninggalkan rumahnya. Pikirannya
masih mengingat ke rumah dan ibunya. Biasanya kalau akan berangkat, Parto pasti
berpamitan dan mencium tangan ibunya. Lalu ibunya akan memberi sedikit nasihat. Tapi
pagi ini tidak.

“Hai… tukang semir, pagi benar kamu berangkat!” teriak Sumi tetangganya yang tiap malam
kerjanya menjadi tukang pijat itu. Parto menoleh. Sumi masih duduk dengan tenang sambil
sesekali menyedot rokok kreteknya. Saat Parto lewat di depannya, Sumi tersenyum-senyum
simpul.

“Mari mbak Sumi”, kata Parto santun sambil berlalu di depannya. Sumi hanya mengangguk-
angguk dan tersenyum.

Jalan Malioboro telah ia lewati kemudian ia memasuki stasiun Tugu tempat biasa ia mangkal
sebagai tukang semir sepatu. Suasana stasiun pagi itu sudah agak ramai. Pedagang
makanan dan minuman sudah berderet rapi di pelataran ruang tunggu. Parto berusaha
mencari-cari tempat kosong di dekat peron. Lalu ia duduk dekat penjual rokok, temannya
yang telah lama saling kenal dan akrab.

“tumben To, pagi benar kamu datang”, tanya Kasmin.

“Iya..ya.., saya sendiri juga enggak tahu bisa rajin datang pagi-pagi begini. Mungkin ada
rejeki yang memanggilku di stasiun ini”, jawab Parto sekenanya karena memang barusan
Parto pergi ke stasiun agak pagi kali ini.

“Semoga saja rejeki banyak datang, To”, sambut Kasmin sambil melayani pembeli rokok
eceran.

“Atau mungkin ada sejumlah gerbong kereta datang yang berisi uang semuanya. Lalu dari
salah satu gerbong itu keluar seorang dermawan dan membagi-bagikan uang”, khayal Parto
sambil matanya memandang langit-langit ruang tunggu stasiun itu.

“Kalau itu terjadi, aku akan makan di restoran sebelah sana dan memesan masakan yang
istimewa”, sambut Kasmin. Lalu keduanya tertawa. Dua anak lelaki itu memang sering
bercanda, juga angan-angannya yang nampaknya sangat sulit untuk ia jangkau.

Jam di stasiun menunjukan pukul dua lebih. Parto masih menghitung-hitung uang yang ia
dapat sesiang itu. Lumayan juga, gumam Parto. Ia menyisihkan sedikit uangnya untuk
makan siang, karena perutnya sudah tak mau lagi diajak kompromi. Parto segera bergegas
menuju warung bu Menik. Di situ Parto makan dengan lahapnya. Perutnya betul-betul
kosong dan bu Menik hanya tersenyum-senyum melihat Parto yang tak sabaran lagi
menghabisi isi piring. Warung kecil di sudut stasiun memang sudah menajdi langganan
Parto. Kalau Parto sedang tak punya uang, bu Menik memberinya keringanan dengan
membayar keesokan harinya atau sampai Parto punya uang.

“Hari ini dapat banyak rejeki, To?” tanya bu Menik.

“Lumayan, bu”, jawabnya sambil masih asyik mengunyah potongan tempe. “Hari ini bayar
kontan”, lanjutnya sambil tersenyum kepada bu Menik.
Lonceng di stasiun berbunyi. Sebentar lagi tentu akan ada kereta masuk stasiun, pikir Parto.
Tak lama kemudian dari pengeras suara terdengar penyampaian dari petugas informasi,
“Kereta jurusan Solo Balapan menuju Pasar Senen segera masuk di lintasan dua”. Selang
beberapa waktu kemudian kereta berloko warna biru memasuki stasiun Tugu.

Parto masih duduk di warung bu Menik. Para penumpang dari stasiun Tugu yang akan ke
Jakarta cukup banyak. Di pintu-pintu gerbong para penumpang berdesak-desakan. Parto
hanya termenung melihat itu semuanya. Akan ke Jakarta mereka, kata Parto dalam hati.
Jakarta mungkin ramai, batinnya lagi.

Sambil masih duduk, Parto membayangkan kota Jakarta yang banyak ia dengar dari mbak
Sumi atau pun Kasmin. Mbak Sumi pernah tinggal di Jakarta selama dua bulan ikut
pamannya di sana. Pamannya itu tinggal di daerah Karamat Tunggak. Kata mbak Sumi,
Kramat Tunggak sangat ramai dan banyak hiburan.

Tiba-tiba ada pengumuman yang membuyarkan lamunan Parto, “Bagi para penumpang
jurusan Pasar Senen harap bersabar sebentar dan menunggu berita dari stasiun
Purwokerto. Sebab di daerah sekitar Purwokerto ada kereta yang keluar dari rel dan
sementara dalam perbaikan”.

“Ini baru namanya rejeki”, kata Parto lirih sambil tersenyum-senyum. Setelah membayar
kepada bu Menik, Parto beranjak dari warung itu kemudian pergi menuju gerbong kereta
penumpang Solo Balapan – Pasar Senen. Lalu ia menawarkan jasanya di himpitan para
penumpang, “Semir pak, semir om?!”

Hampir satu setengah jam, Parto melompat dari gerbong paling depan. Peluhnya mengalir
deras. Hari ini memang rejekai sedang berada di tangan Parto. Ia mendapatkan uang
lumayan banyak hanya dari rangkaian gerbong kereta yang menunggu jadwal
pemberangkatannya itu. Lalu ia duduk sebentar menghilangkan lelah. Tak lama kemudian ia
berjalan menuju warung bu Menik. Ia melihat jam dinding stasiun dari kejauhan, sudah
menunjuk ke angka lima.

“Bu, minta nasi sayur pakai telor setengah”, pinta Parto sambil bersiul-siul kecil. “Oo iya,
dibungkus lo bu”.

“Wah…tumben To, buat siapa nich?”

“Buat ibu”, jawab Parto singkat.

Parto keluar dari halaman stasiun sambil menenteng kantong plastik yang berisi sebungkus
nasi. Wajahnya nampak lelah, tapi matanya berbinar-binar. Itu menandakan ada
kegembiraan di hatinya. Ditatapnya langit, cerah sekali. Senja pun mulai menyungkup kota.
Lampu-lampu sepanjang jalan sudah mulai menyala. Langkah Parto semakin dipercepat
sambil menyenandungkan lirih lagu “cubit-cubitan”.

“Banjir! Banjir! Kali Code Banjir…!” teriak tukang becak ketika Parto sudah berada di ujung
jalan Malioboro. Ia tak percaya, mana mungkin udara cerah begini sungai Code akan banjir.
Tadi pagi saja sungainya agak mengering. Ketika sampai di dekat kerumunan orang, Parto
berhenti sebentar mendengarkan orang-orang yang ramai membicarakan banjir sungai
Code.

“Dari mana datangnya air ini ya?”, tanya orang yang memakai topi merah.

“Menurut kabar datangnya dari lereng gunung Merapi. Di sana hujan sangat lebat. Jadi air ini
kiriman dari sana”, jawab lelaki yang berjaket biru dan berpenampilan seperti wartawan.

Mendengar itu, Parto segera berlari menuju rumahnya. Kira-kira dua ratus meter sebelum
jembatan, air sudah menggenangi jalanan yang tingginya hampir selutut anak-anak.
Bingung. Ia memikirkan nasib ibunya yang saat ditinggalkan masih tidur nyenyak. Ia melihat
sungai Code telah meluap. Kardus-kardus, seng, bermacam-macam kayu, semuanya
terbawa arus air.

Suara jeritan di mana-mana memanggil anaknya, ibunya, bapaknya, dan banyak lagi jeritan
yang memilukan. Parto masih berdiri bingung. Kantong plastik yang berisi sebungkus nasi
masih erat-erat dipegangnya. Dari jauh ia mencoba mencari lokasi rumahnya di bantaran
sungai, tapi tak nampak lagi. Hanya air berwarna coklat kehitam-hitaman yang mengalir
sangat deras.

“Ibu…! Ibu…..!” Parto menjerit sekuat tenaga. “Bu…ini kubelikan nasi, bu”. Parto berteriak
keras seperti kehabisan akal. Air matanya mulai meleleh membasahi pipinya.

Tidak jauh dari tempat Parto berdiri, beberapa orang berbaju hijau mondar-mandir menolong
orang-orang yang hanyut. Tentara-tentara itu nampak sibuk menuju tenda darurat yang
nampak sudah berdiri. Parto mendekati posko, siapa tahu ibunya ada di situ. Ia melihat lelaki
tua yang sudah kaku membiru diangkat dua orang menuju posko. Tapi dua tangan lelaki tua
itu nampak mendekap erat radio transistor kecil. Bukankah itu pak Dullah, pikir Parto. Lalu
didekatinya lelaki itu.

“Pak Dullah….., pak Dullah, dimana ibu Parto?” tanya Parto sambil menggoyang-goyang
tubuh pak Dullah. Lelaki tua itu diam kaku dengan mata masih terpejam. Parto kembali
menggoyang-goyang tubuh dingin pak Dullah, tapi nampak pak Dullah terbujur kaku.

“Minggir! Minggiiirrrr! Ayo bapak-bapak coba minggir dulu!” kata para relawan sambil
menyibak kerumunan orang. Seorang wanita separuh baya yang sudah menjadi mayat
diangkat masuk posko. Parto berusaha menyusupkan kepalanya di antara kerumunan orang
untuk melihat korban yang ditemukan. Ibunyakah itu? Tanya Parto dalam hatinya. Tubuh
wanita itu sudah lebam-lebam dan wajahnya sudah rusak. Wanita yang terbujur kaku itu
masih memakai kain dan kebaya warna merah pudar yang sudah robek-robek. Kata
beberapa penolong, wanita itu hanyut di antara kayu, seng dan kardus-kardus.

“Ibuu…! Ibuuuu…”, jerit Parto sambil mencoba mendekap wanita yang sudah menjadi mayat
itu. Parto menangis sekuat-kuatnya. “Bu, ini Parto bu, anakmu. Jangan tinggalkan Parto
sendiri, bu”, ucapnya sambil tetap menangis tersedu-sedu. Nasi bungkus yang berada di
kantong plastik hitam masih digenggamnya erat-erat.
“To.., Parto..”, suara lembut tiba-tiba menyadarkan Parto. Ia menoleh ke belakang. Ia melihat
wanita paruh baya tersenyum. Ibunya, pikir Parto reflek. Parto hampir tak percaya kalau
ibunya tak cepat merangkul.

“Bu…, ibu selamat?” jerit Parto dalam dekapan ibunya.

“Betul to. Tadi waktu banjir tiba-tiba datang, ibu sedang ke pasar”, kata ibunya sambil
menenangkan hati anaknya. Pipi yang mulai keriput mulai basah oleh air mata. Parto dan
ibunya masih berangkulan. Sebungkus nasi yang tergenggam di tangan Parto terlepas tak
dihiraukan lagi. Ia masih mendekap erat ibunya. Saat terdorong oleh kerumunan orang,
Parto hampir jatuh. Ia melihat sebungkus nasi di kantong plastik hanyut terbawa air, entah ke
mana.

Jogja, 1985

RATIH

“Hampir dua puluh tahun kita berpisah. Cukup lama kan?”

“Ya, cukup lama. Alangkah cepatnya waktu berlalu. Rasanya baru kemarin kita sama-sama
lulus SMA. Sekarang…”

“Sekarang kau sudah jadi publik figur, selebriti, tenar dan punya harta berlimpah.
Sedangklan aku, akhhh…nasibku tak berubah banyak”.

Barangkali senyumku getir. Terbukti bibirku terasa begitu kaku ketika kulempar senyum
kepadanya. Lalu mata yang bak kejora itu, masih tetap memandangku, penuh harapan dan
kerinduan.

“Aku maklum, banyak wartawan datang ke sini untuk mewawancaraimu. Tapi maksudku
bukan itu. Aku hanyalah penulis freelance saja. Aku menemuimu hanya sekedar ingin
ngobrol sembari melepas kerinduan. Hanya sekedar ingin mengenang masa silam, masa
sekolah yang begitu indah. Itu saja. Hasratku untuk menjumpaimu begitu besar dan cukup
menyesakan dadaku beberapa tahun belakangan ini. Selama ini aku hanya bisa melihatmu
lewat televisi, koran, dan majalah-majalah. Kutahan keinginan menemuimu yang bergejolak
itu. Terus terang saja, aku was-was kau tak pernah ingat lagi padaku. Umumnya orang yang
sudah dikagumi dan menjadi bintang sinetron atau iklan, mudah lupa. Bahkan tidak mau
mengakui kawan lamanya lagi”, alasanku panjang lebar coba kusampaikan padanya.

“Kau terlalu berprasangka, To. Aku tidaklah seburuk tulisan wartawan-wartawan yang
senang menggosipkan orang itu, yang dengan seenaknya mengatakan aku sombong, egois,
senang merebut lelaki milik wanita lain, dan sebagainya…dan sebagainya. Yach, beginilah
kalau hidup menjanda. Sering kena fitnah”, ucapnya lemah.
Yach, beginilah kalau hidup menjanda, kuucapkan ulang dalam hati. Akhhh…tak perlu heran
kalau artis sering ganti-ganti pasangan hidup, ejekku dalam hati. Ruangan sunyi, kami
membisu.

Sore yang sejuk dengan angin semilir dan sisa-sisa sinar mentari memancar lembut lewat
ventilasi jendela dan pintu yang sedikit terkuak. Anak-anak rambut Ratih yang menjuntai di
keningnya berayun lembut oleh semilir angin. Ratih menyulut sebatang marlboro,
menawarkan rokoknya padaku.

“Aku tak merokok”, halus kutolak.

“Banci?”

“Bukan. Sekedar membiasakan diri agar dapur tetap mengepul dengan teratur”.

Kuteguk sisa air jeruk yang terhidang di meja. Pandangan mataku berkeliling. Rumah ini
meskipun mungil tapi sangat mewah. Perabotnya serba luks dan modern, berkombinasi
dengan lampu kristal dan barang-barang yang antik. Sungguh serasi. Sayang rumah
sebagus ini hanya berpenghuni seorang.

Di dekat teras rumah tampak dua mobil terparkir. Yang satu merk toyota alphard warna
hitam dan satunya lagi honda jazz warna biru. Sahabatku yang satu ini benar-benar sudah
makmur. Tak ingin aku berpikir bahwa aku iri hati padanya.

Ingat masa silam, aku terlena. Wahai, eloknya masa muda. Dulu, ya dulu, aku pernah amat
sangat terpesona pada perempuan yang ada di hadapanku ini, sewaktu kami masih sama-
sama menuntut ilmu di sesebuah SMA di Jogja. Namun sekarang, ya sekarang, tak tahulah,
apakah aku masih mencintai dan terpesona amat sangat atau tidak. Yang jelas, kendati pun
aku sudah beristri dan dikaruniai dua orang anak, kenadati ia sudah menjadi artis terkenal
dan hidup menjanda, aku masih saja merindukan dan mengenangnya. Terkadang dia hadir
dalam mimpi-mimpiku.

Dan saat ini, sore ini, di ruang tamu yang sejuk dan harum, hutang rinduku impaslah sudah.

“Astanto? Kau melamun?” Terdengar suara Ratih yang lembut. Aku terhenyak. Cepat-cepat
kukuasai lagi diriku.

“Ya, aku melamunkan suka duka kita bersama dulu, saat-saat yang penuh keceriaan. Kau
masih ingat, Ratih?” Ucapku sedikit gugup.

“Ingat apa?” Pandangannya menembus jantungku, bagai pisau tajam perlahan-lahan


menusuk tengah dadaku.

“Jangan bego. Kau sudah lupa waktu kita berdua-duaan di kelas kosong. Kemudian dilihat
oleh pak Bur si penjaga sekolah yang sudah pikun itu, lalu kita beri ia uang tutup mulut
sebanyak lima ratus perak supaya tidak melapor kepada wali kelas kita yang galak itu”,
kataku. Ratih ketawa terbahak-bahak, sedang aku hanya senyum dikulum saja.
“Ohh, tentu saja aku masih ingat peristiwa itu. Bahkan aku masih ingat ketika kita dihukum
berdiri di depan kelas karena tidak menyelesaikan tugas matematika yang bikin kepala
berdenyut-denyut. Aku masih ingat kawan-kawan kita yang cerewet, yang badung, atau yang
baik hati, bahkan teman-teman yang suka mencemburui kita”.

“Baik. Baik, ternyata ingatanmu masih sempurna, Ratih. Lalu mengapa waktu kita telah lulus
SMA dan kau pindah ke Jakarta, kau tak pernah memberikan alamatmu. Kau tak mau
menghubungiku lagi. Sampai lima tahun kemudian engkau muncul sebagai artis sinetron
pendatang baru yang menarik perhatian publik. Nasibmu memang beruntung”, ucapku
tertekan.

“Sengaja aku berbuat demikian untuk menghindarimu. Kalau aku harus jujur, aku jatuh cinta
pada seorang pengusaha muda ketika aku dan keluarga sedang berlibur di Bogor. Kebetulan
awal tahun itu juga ayahku tugasnya dipindahkan ke Jakarta. Lelaki yang pengusaha muda
itu kemudian menjadi suamiku yang pertama, yang kemudian menceraikanku tak lama
setelah putriku lahir. Hubungan kami memang kurang harmonis, karena ternyata aku
dijadikan madunya”.

“Kau meremehkan aku?”

“Tidak. Kukira cinta kita dulu sebatas cinta monyet saja. Yah, cinta anak sekolahan yang
sangat rapuh dan mudah bubar”.

Kemudian Ratih menceritakan bahwa orang tuanya juga masih tinggal di Jakarta ini.
Anaknya juga dititipkan di sana. Ratih sengaja tinggal terpisah dari orang tuanya dengan
alasan kegiatannya dalam pembuatan sinetron sangat ketat, belum lagi menjadi host di
stasiun televisi swasta untuk acara tengah malam.

Ada kesunyian yang menghimpit di antara kami. Sekali-kali terdengar deru kendaraan di
jalanan depan rumah Ratih.

Lagi-lagi pandangan kami beradu. Tatapannya agak ganjil kali ini, binal dan menantang.
Beberapa detik kulawan sorot mata Ratih yang menghunjam itu. Bulu kudukku meremang.
Sinar mata itu, nampak begitu haus kasih sayang dan kesepian!

“Jangan menatapku seperti itu, Ratih”, pintaku sambil memandanginya.

Ia kembalai menyulut sebatang marlboro. Dan kembali menatapku cukup lama. Pelan ia
bangkit dari tempat duduknya dan mendekatiku. Aku sadar apa yang akan dilakukannya.

Serta merta aku berdiri.

“Jangan Ratih, jangan!” Cegahku.

“Kenapa To? Tak akan ada orang yang tahu apa yang akan kita lakukan”, ucapnya sambil
mengelus pundakku.
“Bukan begitu, Ratih. Ingatlah, aku sudah berkeluarga. Istriku teramat setia. Jangan
kaupaksa aku untuk mengkhianatinya. Jangan juga kau buktikan padaku bahwa apa yang
dikatakan wartawan-wartawan yang kau jelek-jelekan tadi itu benar. Kumohon padamu,
Ratih. Kita sudah bukan lagi remaja atau usia anak sekolahan. Sadarlah, Ratih”.

Ratih menunduk di sampingku. Ketika tengadah, tampak dua sungai kecil mengalir di pipinya
yang halus itu. Aku menunduk iba.

“Maafkan aku, To. Aku benar-benar kesepian. Tidak bahagia. Aku hampir gila”, suaranya
bergetar sambil menyandarkan kepalanya di bahuku.

“Tak ada yang perlu dimaafkan, Ratih. Kita akan tetap bersahabat. Aku akan merasa
bahagia jika kau bersuami lagi untuk yang terakhir kalinya dan menjadi ibu rumah tangga
yang baik. Aku yakin, kau mampu berbuat itu”.

“Akan kucoba, akan kucoba sekuat hatiku”.

Lembayung mewarnai langit Jakarta saat aku pamit untuk pulang. Di pintu gerbang, sebelum
kami berpisah, Ratih masih sempat berkata.

“Istrimu pasti cantik. Anak-anakmu pasti juga cakep-cakep seperti bapak dan ibunya. Iya
ka?”

Aku tersenyum seraya mengangkat bahu.

“Well, tapi kau lebih cantik dan dewasa dibanding waktu di SMA dulu”, jawabku.

“Ooo…ya. Sampaikan salam untuk istri dan anak-anakmu. Sesekali ajaklah mereka ke
Jakarta. Aku ingin mengenalnya”.

“Pasti, Ratih. Pasti”, ucapku sambil melambaikan tangan.

Senyum Ratih mengembang tapi terasa seperti lembab udara Jakarta yang menggelisahkan.

Parepare, 1992

POTRET TANPA BINGKAI

Awan hitam menggantung di langit. Angin bertiup cukup kencang, pohon-pohon jati
bergoyang-goyang, hujan nampaknya sudah tak sabaran lagi akan segera turun. Anwar
yang sudah bersiap-siap akan pulang, sesaat jadi ragu-ragu. Ia juga merasa tidak membawa
jas hujan. Tapi bukankah bulan ini masih masuk musim kemarau? Sehingga ia tidak
menyangka kalau tiba-tiba saja akan turun hujan. Sebab hari-hari terakhir udara kota ini
panasnya sangat menyengat. Di luar dan di dalam rumah sama saja, panas, katanya dalam
hati sambil mengeluarkan motor bebeknya yang masih terhitung baru.

Sebenarnya dalam hati Anwar merasa jengkel juga. Sebab hari ini kantornya pulang agak
awal. Semua karyawan, termasuk dirinya merasa senang karena dapat pulang lebih awal.
Hanya saja nampaknya hujan turun terasa sebagai penghalang. Sementara rintik-rintik
gerimis mulai menyapa bumi, ia jadi tergesa-gesa untuk pulang.

Setelah membunyikan motornya, ia langsung meluncur ke jalan raya. Seorang temannya


yang memanggil setengah berteriak karena ingin membonceng, tidak dihiraukannya.
Kendaraannya pun semakin melaju dengan kencang. Menyalip kesana kemari di antara
kendaraan lain yang nampaknya juga melaju cepat tergesa-gesa. Anwar ingin segera
sampai di rumah sebelum hujan benar-benar turun. Tetapi ketika sampai setengah
perjalanan, gerimis semakin deras turun.

Gas kendaraan semakin ditekan untuk menambah laju kendaraan. Gerimis telah berubah
menjadi hujan yang deras dan Anwar memacu kendaraannya semakin kencang dan seakan
melayang di atas aspal jalanan. Padahal pandanganya agak kabur karena kaca helmnya
memburam diterpa air hujan.

Ketika sampai di persimpangan jalan yang menuju ke rumahnya, tiba-tiba ada seorang
wanita muda yang melintas, menyeberang jalan dengan cepat. Anwar yang pandangannya
ke depan agak kabur, hanya samar-samar saja melihat orang melintas di depannya. Namun
ia terlambat untuk merem laju kendaraannya. Dan tanpa ampun lagu, wanita yang sedang
menyeberang itu ditabraknya. Anwar terjatuh, sedangkan wanita itu terlempar sampai di sisi
trotoar dan tergeletak. Nampak ada darah mengalir bersama air hujan yang menggenang.

Masih dengan yang tertutup, Anwar segera bangkit mendirikan kendaraan sambil berusaha
membunyikan mesinnya. Lalu secepat kilat melaju dengan kencang meninggalkan tempat
kejadian itu. Orang-orang yang melihat kejadian itu berusaha mengejarnya, tapi motor Anwar
melaju lebih cepat.

Anwar berpikir bila tertangkap, bisa saja dipukuli warga di sekitar itu dan juga urusannya
semakin rumit dan panjang. Apalagi bila wanita itu meninggal dunia, wahhh…, pasti
urusannya sampai di sel tahanan polisi untuk mempertanggungjawabkannya. Tepat, kalau
aku melarikan diri saja, kata Anwar dalam hatinya.

Tetapi di sisi lain ada pemberontak di dalam hatinya dan mengutuknya sebagai lelaki
pengecut. “Seharusnya kau tidak tinggalkan tempat kejadian itu, Anwar”, begitu suara dari
dalam hatinya. “Seharusnya kau justru memberikan pertolongan, seharusnya kau merasa
kasihan pada wanita muda yang telah kau tabrak tadi, seharusnya kau berusaha untuk
segera membawanya ke rumah sakit agar jiwanya cepat tertolong dan terselamatkan”, begitu
gemuruh suara di dalam hatinya. Seperti gemuruh suara hujan yang ditingkahi hembusan
angin kencang.
Baju dan badan Anwar basah kuyup. Udara yang lembab menggigilkan tubuhnya yang
dinginnya menembus tulangnya. Aneh, di dadanya tetap bergemuruh suara-suara yang
mengejar dan menyalahkannya. “Kau pengecut, War”, suara hatinya kembali meletup-letup.
“Kau telah jadi seorang penabrak lari yang kejam dan tidak berperikemanusiaan”. Anwar
berusaha melawan kata hatinya. “Tidak! Aku pun harus selamat. Jika aku lama berada di situ
dan berusaha menolongnya, pasti aku dikeroyok orang-orang itu, ditangkap polisi, diajukan
ke pengadilan dan dihukum. Tidak! Aku juga harus selamat”, katanya setengah menjerit.
Tapi gemuruh hujan dan sesekali suara petir menenggelamkan suaranya.

Setelah lelah melarikan kendaraannya dengan kecepatan tinggi, ia memperlambat lajunya.


Saat ia menoleh ke belakang, suasana lalu lintas sudah sepi. Ia merasakan sudah tidak ada
lagi yang membuntutinya. Waktu tadi lari dari tempat kejadian, ia sudah berusaha
mengelabuhi para pengejarnya dengan melewati lorong-lorong kecil, sehingga para
pengejarnya pasti akan kehilangan jejak.

Pikiran Anwar semakin bingung, meski pun ia sudah sekuat tenaga melupakan kejadian tadi.
Bukankah sudah tidak ada yang mengejarnya ? Nomor kendaraan pun juga terlindung oleh
kotoran karena jalanan yang berlumpur. Paling tidak itulah perkiraan Anwar. Dirinya sudah
merasa aman, meskipun rasa was-was masih terus bergelayut di hatinya.

Sesaat kemudian hujan mulai reda. Cuaca sedikit cerah. Angin semilir yang bertiup terasa
menyegarkan, debu-debu yang biasanya berterbangan luluh ke bumi menyatu dengan air
hujan yang mulai menggenang di mana-mana.

Anwar pun membelokan kendaraannya dan melaju menuju arah rumahnya. Namun ketika
sampai di depan rumahnya, ia terkejut karena di teras rumahnya sudah dipenuhi orang.
Hatinya terkesiap, mukanya semakin memucat. Pasti tingkah lakunya sebagai penabrak lari
sudah diketahui polisi dan orang-orang di tempat kejadian tadi, katanya dalam hati. Tetapi
mau berbalik, ia tidak berani karena para tetangga sudah melihatnya. Akhirnya ia pasrah
saja dan memarkir kendaraannya di bawah pohon mangga di pelataran rumahnya. Ibunya
yang mengetahui kedatangannya, langsung berlari ke arahnya dan menubruk serta
merangkulnya. Sementara di teras rumahnya nampak beberapa polisi lalu lintas. Anwar jadi
tak berdaya, terasa sendi-sendinya seperti luluh.

“Dari mana saja kau, nak?” Tanya ibunya sambil menangis di bahunya. “Ada kejadian di
keluarga kita”, lanjut ibunya menarik lengan Anwar untuk masuk ke rumah.

“Saya sudah tahu, bu. Saya memang akan menyerahkan diri”, ucap Anwar terbata-bata.

“Apa maksudmu?” Tanya ibunya heran. Untuk sesaat Anwar tertegun. Bukankah orang-
orang di rumahnya sudah tahu jika ia telah menabrak seseorang? Bukankah para polisi dan
tetangganya akan menangkapnya. Tetapi kenapa ibunya seperti heran. Ia jadi bingung.

“Kau seperti orang bingung, nak. Baiklah, ibu akan sampaikan kejadian yang menimpa
keluarga kita”.
“Tidak. Tak usah dilanjutkan, bu. Aku akan menyerahkan diri. Aku memang bersalah”, sahut
Anwar cepat.

“Nak, apa maksudmu? Ibu jadi tak mengerti”, kata ibunya masih sesenggukan.

“Lalu maksud ibu?”

“Tentang adikmu”.

Anwar tertegun memandangi wajah ibunya. Sementara ibunya berusaha menguatkan


gejolak perasaannya. Tetapi kekuatan dan ketabahan sebagai ibu, akhirnya ia
menyampaikan dengan kalimat putus-putus kepada anaknya itu.

“Begini, nak. Adikmu si Jamilah….”.

“Jamilah kenapa, bu?” Potong Anwar.

“Dia meninggal, nak. Dia jadi korban tabrak lari”.

“Tabrak lari? Dimana, bu?” Tangan Anwar menggoyang-goyangkan bahu ibunya.

“Di persimpangan jalan dekat lapangan itu. Penabraknya seorang pemuda seusiamu, nak.
Penabraknya tidak menolong adikmu, tapi lari dengan motornya entah kemana waktu hujan
tadi”.

Setelah mengatakan semua kejadian itu, ibunya menangis histeris dan tak lama kemudian
pingsan. Anwar masih berdiri tegak bagai batu karang. Orang-orang justru segera memapah
ibunya dan membawanya ke dalam rumah.

Tubuh Anwar terasa menggigil dasyat. Di dalam dadanya gemuruh gelombang menghantam
karang-karang hatinya secara bertubi-tubi. Batinnya terguncang. “Seandainya penabrak itu
mau menolong, mungkin jiwa adikmu bisa diselamatkan”. Sederet kalimat itu mendengung
terus menerus di telinganya.

Seluruh persendian tulang-tulangnya seperti tak berfungsi lagi. Mulutnya terasa kaku.
Penyesalan yang datang sepertinya hambar tak ada lagi artinya. Air matanya meleleh di
pipinya. Adikku, Jamilah, ucapnya berulang-ulang.

Ah, seandainya waktu dapat diputar kembali dan perjalanan hidup dapat diubah-ubah
sekehendak hati.

Parepare, 1995.

 
DI TEPI PERJALANAN WAKTU PAK BEDDU

“Pak Beddu, selamat pagi!”

Selalu demikian murid-murid mengucapkan salam kepada pak guru Beddu. Dan selalu sama
pula jawaban yang mereka terima adalah senyum kebapakan, lembut namun penuh wibawa.
Sambil memperbaiki letak kaca mata tebalnya, pak guru Beddu mengerutkan kening sejenak
sambil terus menjawab, “Oh…oh…, selamat pagi!”

Panas matahari meneteskan peluh di kening pak guru Beddu. Kerut-merut ketuaan di
wajahnya tampak lebih jelas kini. Kira-kira sudah dua puluh lima tahun lebih pak guru Beddu
selalu melewati jalan yang sama ketika pagi, saat ia harus berangkat mengajar, dan siang
sepulang mengajar. Barangkali sudah ribuan kilometer ia berjalan melewati jalan itu selama
dua puluh lima tahun. Melintasi jalan setapak, terjal berbukit, sejauh delapan kilometer lebih
setiap hari. Tetapi pak guru Beddu masih bersemangat juga.

Dalam usianya yang lebih dari setengah abad ini pun, tak juga jera kakinya menapaki jalan
itu setiap hari. Orangnya sendiri tak begitu menarik, namun murid-muridnya demikian
mencintai dan hormat padanya. Bukan karena ia guru mereka, melainkan sikap dan tingkah
lakunya yang selalu menyenangkan setiap muridnya. Sayang, ia telah demikian menua.
Apalagi kini orang mulai mengatakan bahwa pak guru Beddu sudah sangat pelupa.

“Pak Beddu, selamat pagi!”

“Ooh…, selamat pagi”, jawabnya seperti biasa. Dan barangkali ia tak ingat lagi siapa yang
menyalaminya, sebab orang-orang desa yang ia lewati memberikan salam yang sama pada
pak guru tua itu. Dan mereka tahu, siapa pak guru Beddu. Guru dari anak-anak mereka atau
bahkan bekas guru mereka. Guru SD yang telah rapuh dengan rambut memutih, tetapi
menyenangkan dan suka membantu.

“Pak guru, saya belum bisa membayar tunggakan iuran sekolah yang tiga bulan itu”.

“Mengapa?”

“Ee…pak, emak saya sakit”.

“Bapakmu kerja apa, Mad?”

“Bapak…….. dulu tani, tapi hampir dua tahun meninggal. Sedang sawah kami sudah dijual
untuk biaya pengobatan emak dan untuk makan kami selama ini”.

“Ohh…. lalu kamu tidak bekerja apa-apa?”

“Kadang-kadang mencarikan rumput untuk ternak tetangga…”


Sembilan tahun lalu peristiwa itu terjadi. Achmad, muridnya di kelas lima sudah tiga bulan
tidak membayar iuran sekolah. Pak guru Beddu itulah yang menolongnya, sekaligus
memberikan pekerjaan layak kepada Achmad sampai ia tamat SD. Ya, sembilan tahun yang
lalu. Pak guru Beddu sudah melupakannya, namun orang-orang di desa itu tetap
mengingatnya.

Ia seka sekali lagi peluh yang menetes di keningnya. Kacamata yang sudah kusam ia
betulkan letaknya. Tangannya yang membawa buku-buku pelajaran mulai gemetaran. Baru
dirasakan perutnya kini mulai lapar. Tetapi pikirannya masih saja menerawang pada kejadian
tadi di sekolah tempat ia mengajar.

“Pak guru, saya bukannya keberatan kalau anak saya sekolah. Tapi pak guru tahu bahwa
anak saya perempuan. Usia dia sudah cukup untuk kawin!”

“Pak Hasan, saya tahu maksud bapak. Hanya saja harap bapak mengerti bahwa Rusni
masih kelas lima. Usia dia pun baru dua belas tahun, pak”.

“Lha… dua belas tahun, pak. Itu kan sudah saatnya!”

“Sudah saatnya kawin maksud pak Hasan?”

“Iya pak. Saya malu kalau nanti dikatakan orang kalau Rusni tak laku kawin”.

Dan guru Beddu tersenyum sejenak, “Pak Hasan, zaman sekarang lain dengan zaman dulu,
apalagi sekarang pemerintah punya aturan wajib belajar. Bahkan sekarang usia perkawinan
ada ketentuannya, pak”.

“Ah… pak guru jangan mengada-ada. Kawin kok ditentukan, itu kan lucu?”

“Ya, lucu. Bukan peraturannya yang lucu tapi pak Hasan”, seloroh pak guru Beddu
tersenyum sekali lagi. Kali ini ia tersenyum sendiri.

Matahari sudah mulai condong ke barat. Pak guru Beddu baru saja meletakan buku-bukunya
di atas meja. Sejenak ia merenung, masih memikirkan kejadian tadi dengan pak Hasan. Apa
yang harus diperbuat? Pak Zaid dan ibu Murni, teman gurunya, tak dapat berbuat banyak.
Namun belum begitu lama ia berada di dekat meja buku, istrinya telah menyapa. “Pak,
berasnya habis. Bapak nanti ambil singkong ya?!” Ya…ya…, pak Beddu baru ingat jatah
berasnya bulan ini tak dapat dimakan semuanya karena sebagian lainnya rusak terkena air
hujan. Dua minggu yang lalu, sepulang ia mengambil jatah beras di kota dan dalam
perjalanan pulang terjadi hujan lebat di tengah jalan masuk ke arah desa, sebagian beras itu
basah karena tak tertutup plastik. Setengah dipaksa, pak Beddu tersenyum. “Iya bu,
sebentar kuambil di ladang”.

“Pak Beddu, selamat pagi!”

“Oh…selamat pagi!” jawabnya seperti biasa.


Sekolah yang hanya memiliki tiga orang guru itu lengang. Pagi itu ada perayaan di balai
desa. Anak-anak didiknya hanya sebagian kecil saja yang masuk sekolah. Untuk urusan
yang satu ini, pak Beddu tak pernah berhasil mengatasinya. Sama sekali ia tak dapat
berbuat apa-apa. Dan kini ia duduk di kantor kecil dekat wc sekolah itu. Dua teman gurunya,
ia beri tugas untuk mengajar seperti biasa. Sementara itu persiapan mengajar yang ia buat
sampai larut malam, tak dapat dilaksanakan.

Tubuh tua itu tersandar di kursi. Kacamatanya diletakan di atas meja. Sedianya ia akan
menyelesaikan tugas-tugas administrasi, namun ternyata ia lupa bahwa tak ada kertas lagi di
kantor kecil itu. Tiba-tiba ia dengar ketukan di pintu. Pak guru Beddu cepat-cepat memakai
kacamatanya dan kemudian beranjak dari kursinya.

“Selamat siang, pak guru!”

“Ohh…selamat siang. Mari-mari silakan duduk”, ucap pak guru Beddu ramah.

“Terima kasih pak, saya hanya sebentar. Ini ada surat panggilan dari Kecamatan untuk
pak guru”.

“Panggilan apa?”

“Entahlah pak. Bapak baca sendiri suratnya. Kalau tidak salah, ditunggu siang ini juga”.

Pak guru Beddu memperbaiki letak kacamatanya. Ia memperhatikan surat itu dengan
cermat, sampai tak mendengar saat pengantar surat itu berpamitan. Entah apa isi surat itu.
Yang jelas pak guru Beddu tampak terkejut. Segera dibenahi buku-buku yang berserakan di
atas meja, kemudian berpamitan kepada teman gurunya dan langsung pergi menuju
Kecamatan.

Siang mengucurkan keringatnya. Pak guru Beddu pun makin berkeringat memikirkan
surat panggilan itu. Banyak hal berkecamuk di dalam benaknya. Bagaimana tidak? Seorang
guru tua dari daerah terpencil yang tidak pernah disapa oleh atasannya, tiba-tiba dipanggil
ke Kecamatan untuk menghadap Kepala Dinas Pendidikan kabupaten.

“Selamat siang, pak guru!”

“Ohh…selamat siang, pak..”, jawab pak guru Beddu sambil membungkuk-bungkukan


badannya untuk menghormati atasan yang memanggilnya.

“Silakan duduk pak Beddu”, ucap pak Camat yang duduk bersebelahan dengan
beberapa orang yang berpakaian safari bagus dan rapi. Tiba-tiba hati kecil pak guru Beddu
takut juga.

“Terima kasih, pak”, jawab pak guru Beddu hampir tak bersuara.

“Pak Beddu, bapak-bapak ini dari Kabupaten. Beliau akan meninjau kegiatan pendidikan
di daerah kita. Kebetulan beliau ingin sekali berkenalan dengan pak Beddu”.
“Benar….benar…pak Beddu. Oh ya, pak Beddu sudah berapa tahun bertugas”, tanya
yang rambutnya sedikit botak.

“Sudah kurang lebih dua puluh lima tahun, pak”.

“Wahhh…, lama juga. Sudah diangkat atau belum, pak?”, tanya yang bersafari abu-abu.

“Belum, pak. Hanya berkat kebijaksanaan pak Camat, saya menerima bantuan beras
setiap bulan”, tutur pak guru Beddu.

“Ada berapa guru yang ada di sekolah bapak?”

“Hanya tiga orang pak, termasuk saya. Tetapi semua guru-gurunya hanya guru desa,
pak. Maksud saya, sekolah kami hanya sekolah desa biasa. Guru-gurunya pun sebenarnya
bukan guru yang layak dan pandai. Bekal kami hanya semangat dan keinginan untuk
mengabdi, pak”.

“Kami sudah tahu itu, pak Beddu. Tadi kami pun sebenarnya ingin meninjau langsung ke
sana. Hanya sayangnya, mobil kami tidak bisa masuk sampai ke desa bapak. Jadi ya…
terpaksa hanya sampai di sini. Tapi saya percaya bahwa dari pertemuan kita ini, kami sudah
bisa membuat laporan lengkap ke atasan”, ucap yang agak gemuk dan selalu merokok.

“Jangan khawatir, pak Beddu orangnya jujur dan memiliki pengabdian tinggi”, kata pak
Camat sambil tersenyum.

“Pak Beddu, kedatangan kami kemari akan membantu bapak. Jelasnya, sekolah dimana
pak Beddu mengajar, segera akan diperbaiki dengan dana APBD, yang akhirnya nanti SD itu
akan menjadi SD Negeri. Begitu, pak Beddu”.

Mendadak pak guru Beddu merasa begitu gembira. Mata pak Beddu berkaca-kaca. Ia
mengusap sedikit keringat melalui sela-sela kacamatanya. Senyumnya mengembang,
muncul keharuan dalam hatinya. Terima kasih kepada bapak-bapak pejabat yang ada di
depannya.

“Pak Beddu, selamat pagi!”

“Ohh…, selamat pagi!”

Satu bulan, dua bulan, empat bulan, enam bulan, berita itu ia tunggu-tunggu
kelanjutannya, tapi belum juga tiba. Dan tepat pada awal bulan ketujuh, pak Beddu
menerima surat panggilan lagi dari Kecamatan. Dan seperti enam bulan yang lalu, ia segera
bergegas ke sana. Dengan penuh harap. pak Ramli mengahadap bapak-bapak dari
Kabupaten. Namun yang hadir sekarang hanya dua orang saja.

“Seperti kami kemukakan beberapa bulan yang lalu, sekolah di mana bapak mengajar,
ternyata berhasil kami perjuangkan. Akan tetapi pembiayaannya tak dapat sepenuhnya
seperti yang kita harapkan. Oleh karena itu diharapkan adanya swadaya masyarakat juga”,
kata bapak-bapak itu dari Kabupaten.

“Dan… oleh karena nanti menjadi SD Negeri, maka nantinya akan kami tempatkan guru-
guru yang memiliki latar belakang ijazah keguruan di sana. Mereka nanti yang akan mengajar.
Dan bagi guru-guru yang sudah ada tetapi tidak memiliki latar belakang pendidikan keguruan,
sementara masih bisa membantu. Kira-kira demikian, pak Beddu”.

Ahh….dua puluh lima tahun pengabdiannya akan tidak ada artinya lagi. Tetapi pak
Beddu rela dan ikhlas akan semuanya itu. Ia memahami apa yang diucapkan oleh para
pejabat dari Kabupaten itu. Swadaya masyarakat, guru bantu sementara dan dirinya sendiri
yang hanya mampu mengangguk-anggukan kepalanya dihadapan para pejabat itu, dan
…….

“Pak Beddu, selamat pagi!”

“Ohh…., selamat pagi”.

Parepare, 1998

NYANYIAN DARI KAMPUNG NELAYAN

Aminah masih terduduk di samping rumahnya. Rambutnya yang panjang kadang


digerai-geraikan angin pantai. Matanya yang bulat dan lebar itu menerawang lurus ke depan.
Sesekali dipermainkannya sebutir kerikil lalu tak lama kemudian dilemparkannya ke jajaran
pohon kelapa. Tapi dari sekian kali lemparan tak satu pun yang mengena. Lalu Aminah
mencari beberapa butir kerikil dan dilemparkannya lagi ke jajaran pohon kelapa, lagi-lagi tak
satu pun yang mengena. Ia tersenyum sendiri. Sesaat kemudian mengutuk dirinya sendiri
karena lemparannya tak satu pun yang mampu mengena batang pohon kelapa, juga keluhan
panjang sesekali keluar dari mulutnya.

Tak berapa lama, Aminah bangkit dari duduknya. Dari wajahnya nampak kekesalan atas
kebodohannya itu. Ia melangkah menuju rumahnya.

Pintu belakang rumah berderak di buka Aminah.

“Kaukah itu, Aminah?” Suara serak dari dalam bilik mengejutkan langkah Aminah.
Sejenak Aminah tertegun. Bola matanya yang bulat nanar memandangi sekeliling ruangan
belakang, nampak mencari-cari sesuatu. Aminah masih terdiam dan tak segera menjawab
pertanyaan dari dalam bilik tadi. Kemudia ia sedikit melompat ke sisi kanan. Dihampirinya
meja kayuyang berbentuk bulat dan sudah agak rapuh itu, kemudian diambilnya sebilah
pisau yang tergeletak di atas meja itu. Diusap berkali-kali bagian bibir pisau itu sambil
tersenyum-senyum. Pisau yang sedikit berkarat itu ditimang-timangnya dengan tangan
kanannya. Tak berapa lama diletakannya kembali pisau itu di atas meja. Aminah tersenyum
memandangi pisau itu.
“Aminah! Aminah!” Suara dari dalam bilik kembali memanggil. Aminah terkejut dan pisau
yang tergeletak di atas meja itu segera diraihnya lalu digenggamnya erat-erat, tangan yang
menggenggam pisau disembunyikan di balik kain kebayanya. Matanya berbinar-binar
memandangi arah bilik. Aminah kemudian mengendap-endap menuju bilik, arah suara yang
memanggilnya tadi.

Dari celah-celah dinding bambu, Aminah berusaha mengintip ke dalam bilik. Pisaunya
sekarang tak lagi disembunyikan di balik kain kebaya, tapi diselipkan di pinggangnya.
Aminah kemudian menarik nafas dalam-dalam, wajahnya berubah tegang. Dan kemudian
dari dalam bilik terdengar suara sandal yang diseret. Tak lama, dari pintu bilik muncul wajah
wanita tua. Rambutnya yang hampir semuanya memutih serta badannya yang kurus
terbungkuk-bungkuk, wanita tua itu berjalan perlahan sambil berpegangan dinding bambu.

Hanya beberapa langkah saja wanita tua itu berhenti. Ditatapnya Aminah yang berdiri di
depannya tak seberapa jauh. Aminah tertunduk saat emaknya berusaha mendekatinya.

“Dari mana saja kau, nak?” Tanya emaknya dengan suara serak dan lemah. Aminah
masih tertunduk tak menjawab. “Sudah makan, nak?” Tanya emaknya lagi. Aminah
menggeleng pelan. Ditatapnya wajah anaknya itu dengan perasaan sedih. Tangannya yang
kurus kering itu lalu mengelus rambut Aminah. Dan Aminah hanya diam tertunduk.

Emaknya sesaat kemudian berbalik kembali menuju bilik. Kepala Aminah bergerak
perlahan menatap emaknya yang berjalan terseok-seok sambil senyum-senyum. Diambilnya
pisau yang terselip di pinggangnya. Ditimang-timang, sesekali diusapnya pisau itu.
Kelakuannya mirip seorang ibu yang sedang meninabobokan anaknya. Masih menimang-
nimang pisau, Aminah berputar-putar sambil bersenandung dan sesekali tertawa sendiri.

“Ayo jangan main-main pisau, nak!” Suara emaknya yang tiba-tiba itu mengejutkan
Aminah hingga pisaunya terjatuh dari tangannya. Ditatap emaknya dengan rasa benci.
Bibirnya bergetar. Lalu tatapannya beralih ke pisau yang terjatuh di tanah. Aminah kemudian
duduk bersimpuh di dekat pisau itu. Ia menangis terisak-isak. Pelan-pelan diambilnya pisau
itu dengan rasa sayang. Diam-diam emaknya meneteskan air mata saat melihat tingkah
anaknya itu. Ya Allah, berikan hamba kekuatan untuk memikul beban hidup ini, kata
emaknya dalam hati. Dengan ujung bajunya, diusap perlahan air mata yang meleleh di
pipinya yang keriput itu.

“Sudahlah nak. Ini emak bawakan makanan”, bujuk emaknya seraya menyodorkan
sepiring nasi dan sepotong ikan asin.

“enggak mau. Aminah enggak mau makan, mak”, katanya sambil menangis terisak-isak.
“Emak keterlaluan. Anakku telah emak jatuhkan. Emak telah menyakiti anakku!” Jerit Aminah
berulang-ulang.

Emaknya diam saja. Ia tahu kelakuan anaknya itu. Emaknya juga harus banyak
bersabar dan beristiqfar karena Aminah memang kurang waras. Semua itu disebabkan
peristiwa secara bertubi-tubi menimpanya. Yang pertama karena kematian anaknya satu
setengah bulan yang lalu, kemudian perceraian dengan suaminya, Sukri. Buruk benar
nasibmu, nak, batin emaknya. Seluruh kampung nelayan sudah tahu kalau Aminah kurang
waras semenjak ditinggal suaminya yang kawin lagi di Kalimantan. Padahal dulu Aminah
salah satu kembang di kampung nelayan ini.

Lalu emaknya meletakan piring yang berisi nasi itu di dekat Aminah duduk. Wajah
Aminah masih bersungut-sungut sambil sesekali terisak.

“Emak pergi dulu ya nak. Jaga rumah baik-baik, jangan pergi kemana-mana”, kata
emaknya penuh kesabaran.

Aminah memandangi emaknya dengan perasaan kurang senang. Matanya melotot,


pandangannya tajam mengikuti terus kepergian emaknya. Rambutnya yang panjang tergerai
tak beraturan itu berulang kali digaruknya. Pisaunya masih dibelainya, sesekali dipermainkan
dengan jemarinya yang kotor. Dipandanginya berulangkali pisau itu dengan senyum lalu
diciumnya dengan penuh kasih.

Emaknya berjalan tertatih-tatih di atas pasir yang berkilat di bawah terik matahari.
Diusap perlahan peluh yang mengalir kecil di dahinya.Ia terus berjalan mendekati
kerumunan orang yang sedang menarik jala. Sesekali lidah ombak menyentuh mata kakinya.
Dilihatnya beberapa anak kecil yang berada di dekat orang-orang yang sedang menarik jala
itu berteriak kegirangan karena jala yang ditarik beberapa leleki itu sudah mendekati bibir
pantai.

Emak Aminah berusaha mempercepat jalannya. Tak beberapa lama dua orang lelaki
setengah umur mengangkat jala yang ditariknya tadi lalu melemparkannya ke atas pasir.
Semua orang yang ada di situ segera berebutan membuka jala, memungiti ikan yang
menggelepar tersangkut di rajutan jala. Suara ribut anak-anak kecil dan gemerencing jala
membaur menajdi satu. sementara itu emaknya Aminah asyik mengkais-kais sampah yang
terbawa jala itu. Beberapa ekor ikan kecil yang membaur dengan sampah dipungutinya satu
persatu lalu dimasukan ke dalam baskom plastik kecil. Peluhnya yang meleleh di keningnya,
diusap berkali-kali dengan lengan kirinya.

Dari kejauhan tiba-tiba terdengar orang berteriak-teriak dengan ocehan yang tidak jelas.
Semua orang yang ada di sekitar itu berpaling ke arah suara. Emaknya Aminah tertegun
melihat anaknya berlari-lari membawa membawa sebilah pisau menuju ke arah kerumunan
orang yang sedang memunguti ikan dari jala.

“Mak, anak Aminah mati! Anak Aminah mati! Anak Aminah mati!” Teriak Aminah sambil
mengacung-acungkan pisaunya. “Ini semua gara-gara emak. Emak telah menjatuhkan anak
Aminah. Emak kejam …..kejam…!!” Teriaknya berulang kali setelah berada di dekat
emaknya.

Orang-orang yang berada di situ hanya tersenyum-senyum melihat tingkah Aminah.


Mereka tahu kalau Aminah kurang waras. Sedangkan emaknya tidak mampu berkata-kata.
Ia hanya tertegun memandangi anaknya.
“Mak, tolong bangunkan anakku”, rajuk Aminah sambil menyodorkan pisau kepada
emaknya. Tapi emaknya malah menjerit dan mundur terhuyung beberapa langkah. Emaknya
mengira Aminah hendak menusukan pisaunya. Empat lelaki yang ada di sekitar itu segera
bergerak hendak menangkap Aminah. Saat melihat empat lelaki mendekat, Aminah segera
lari. Keempat lelaki itu pun mengejarnya, tapi Aminah semakin cepat larinya menuju pantai,
terus berlari agak ke tengah menerobos ombak dan akhirnya Aminah tergulung bersama
ombak pantai selatan yang ganas itu.

Keempat lelaki yang mengejarnya terus berenang ke tengah lautan. Aminah tak nampak
lagi. Ia terseret gelombang laut. Orang-orang yang berada di pinggir pantai berteriak-teriak
minta tolong. Sementara emaknya tak mampu berbuat apa-apa. Menjerit pun tak bisa,
seperti ada benda besar yang menyekat tenggorokannya.Air matanya mengucur deras.
Hingga sesaat kemudian emaknya tersungkur di atas pasir tak sadarkan diri. Melihat hal itu,
beberapa orang segera memberikan pertolongan. Orang-orang di sekitar perkampungan
nelayan semakin lama semakin banyak yang berdatangan.

“Mungkin ratu pantai selatan sedang meminta korban”, kata laki-laki yang berbaju kotak-
kotak biru.

“Bisa jadi begitu”, jawab lelaki lain yang hanya mengenakan sarung saja.

Dua hari telah lewat, Aminah belum juga ditemukan. Di samping rumah, di dekat jajaran
pohon kelapa, emak Aminah duduk sendiri termenung. Terkadang menangis sesenggukan
sendiri meratapi nasib anaknya. Rambutnya yang memutih dibiarkan tergerai dipermainkan
angin pantai selatan. Debur ombak di kejauhan terdengar seperti rintihan Aminah yang
memilukan.

Sementara itu orang-orang di perkampungan nelayan tak henti-hentinya membicarakan


nasib Aminah. Aminah telah menjadi tumbal Nyi roro Kidul, ratunya pantai selatan, begitu
kabar dari mulut ke mulut di kampung itu.

Dan di samping rumah, emaknya tak henti-hentinya menyebut asma Allah sambil terus
menangis meratapi nasib anaknya, Aminah.

Parangtritis, 2000

PONIRAH

Sisa-sisa angin pagi masih terasa hembusannya. Baju kaos tipis yang
kukenakan terasa tak mampu menghalang-halangi hembusan angin pagi yang
berusaha meraba-raba sekujur tubuhku. Di jalanan nampak beberapa buruh
perempuan dari pabrik pembuatan bulu mata yang tak jauh dari rumah, berjalan
tergesa-gesa sambil sesekali bercanda.
Kota kecil ini sudah mengalami banyak perubahan. Beberapa pembangunan
fisiknya nampak menonjol, seperti pelebaran jalan, perbaikan alun-alun, dan
beberapa supermarket telah melengkapi kota tempatku sekolah dulu mulai taman
kanak-kanak sampai SMA. Purbalingga cukup menarik dan berkembang, bahkan
kota kabupaten di kaki gunung Slamet ini sungguh mengagumkan kemajuannya jika
dibanding saat kutinggalkan dua puluh tahun yang lalu.

Dan dengan mengendarai mobil van milik kakakku yang masih tinggal di kota ini,
aku berusaha bernostalgia sendiri menelusuri setiap jalanan yang sudah mulus dan
lapang itu. Bahkan di sudut-sudut jalan, dimana tempat berkumpul-kumpul dulu
bersama teman-teman, kusinggahi sejenak dan kutatap dalam-dalam sambil
menikmati tarian-tarian nostalgia yang bermain di batinku.

Hampir satu setengah jam kutelusuri setiap lekuk jalanan. Dan saat melewati
jalan protokol di kota itu, mobil kupinggirkan di depan sebuah supermarket yang
cukup besar. Setelah kuparkir di ujung kanan toserba itu, kulangkahkan kaki
perlahan sambil sebentar-sebentar memandangi di sekeliling pelataran toko itu.
Pikiranku saat itu berharap dapat bertemu teman-teman lama yang tidak
meninggalkan kota ini.

Tapi yang jelas aku masih bisa mengingat toserba yang sementara kumasuki.
Ya, toserba ini dulu hanya sebuah toko kecil bernama “Harum” dan menjual
tembakau serta perlengkapan kebutuhan merokok lainnya, seperti kertas rokok,
cengkih, saus rokok lainnya, serta beberapa rokok produk lokal. Tapi sekarang
semuanya sudah berubah, menjadi toko serba ada yang modern, menawarkan
berbagai kebutuhan seperti layaknya yang dikonsumsi masyarakat di kota-kota
besar.

Setelah lelah berkeliling tanpa tujuan di toserba itu, kuputuskan untuk pulang.
Mesin mobil kubunyikan dan seorang tukang parkir mendekat. Kuambil uang recehan
lima ratus yang ada di atas dashboard untuk kemudian kuberikan ke tukang parkir
itu. Tapi tiba-tiba tanganku yang berisi uang lima ratus digenggam erat-erat oleh
tukang parkir yang lusuh dan agak tua seraya matanya yang tajam memandangku.

“Tono apa ya …?!” si tukang parkir itu menyebut namaku setengah berteriak.

“Iya…” , jawabku pendek sambil coba mengingat siapa lelaki di sampingku itu.

“Bangsat bener kamu! Aku Yanto!” Ucapnya kembali sambil mengguncang-guncang


tanganku begitu kuat. Aku tersenyum dan menjabat tangannya lebih erat lagi. Lelaki
yang lusuh dan tua di hadapanku ini, Yanto. Dia teman akrab waktu di SD, seorang
anak Wedana yang cukup kaya dan terpandang. Kurang lebih 30 tahun yang lalu aku
sering datang dan bermain di rumahnya. Sebuah rumah dinas Wedana yang cukup
luas dan asri di tengah kota. Setiap aku datang, seorang pembantu setengah baya
dengan menunduk-nunduk membawakan dua gelas teh dan jajanan pasar kesukaan
Yanto. Ia dulu juga sudah punya motor bebek yang bundar lampunya dan aku sangat
senang diboncengnya keliling kota.

“Masih ingat aku kan?” Suaranya itu membuyarkan lamunanku. “Begini saja, aku
mau kerja dulu dan nanti malam saja aku ke rumahmu”, katanya sambil menunjukan
peluit yang tergantung di lehernya dan tangannya menunjuk ke area parkir dengan
kendaraan yang berderet. Aku mengiyakan ajakannya itu dan segera kutinggalkan
area parkir. Yanto kulihat begitu sibuk mengatur kendaraan dengan peluitnya yang
ditiup nyaring. Prrii..tt! Priiitt! Sejenak kupandangi Yanto yang berjalan kiri-kanan di
antara kendaraan dengan keringat bercucuran.

Malamnya ia betul-betul datang dengan pakaian yang cukup rapi. Ia tersenyum


dan memelukku dengan begitu hangat. Kemudian kami berdua duduk-duduk di teras,
menikmati teh panas dan mendoan – sejenis penganan khas yang terbuat dari tempe
yang belum jadi dan digoreng dengan tepung – sambil bercerita dan sesekali tawa
kami meledak bila mengingat masa lalu yang lucu-lucu.

Yanto bercerita banyak tentang perjalanan hidupnya, kenangan waktu di SD dan


SMA serta beberapa teman semasa mulai tumbuh jadi remaja. Tapi yang cukup
menyentak adalah cerita tentang orang tuanya yang meninggal dalam kecelakaan
saat dia mau ke Semarang, tepatnya di kota Bawean. Dan saat kecelakaan itu,
kedua orang tuanya meninggal cukup mengenaskan. Sedangkan Yanto dan adiknya,
Ina, selamat dan hanya luka-luka ringan saja.

Semenjak itu kehidupan Yanto pun berubah. Ia dan adiknya ikut dengan pamannya di
desa tempat kelahiran Ibu Yanto yang jaraknya tak jauh dari kota ini. Kuliahnya di Semarang
terputus dan akhirnya ia berusaha mencari kerja di Jakarta, sedangkan adiknya selang enam
bulan setelah kecelakaan yang merenggut kedua orang tuanya, dilamar oleh guru SD di
desa pamannya.

“Masih ingat Ponirah kan? Cewek yang pernah kaupacari itu”, ingat Yanto kepadaku.
Sedikit terperanjat dan berdegup jantungku saat nama itu diucapkan. Ponirah? Ya, gadis
berkulit kuning langsat dengan rambut sebahu dan siswa paling cerdas di kelasku. Ia lincah
dan banyak berorganisasi. Matanya sayu dan bibirnya yang tipis membuat banyak teman
laki-lakinya selalu ingin dekat dengannya. Dan aku ingat betul gadis itu, bahkan buku
memoriku penuh dengan coretan-coretan namanya. Kekaguman yang begitu mendalam
hingga membuatku rajin ke sekolah dengan tujuan utama ingin selalu bertemu dengan
Ponirah dan sebisa mungkin duduk di dekatnya. Masa SMA dulu jadi begitu indah di memori
pikiranku. Ingin rasanya kuputar kembali jarum waktu ke masa lalu.

Dan sampai akhirnya aku ditempatkan bekerja di Makassar, buku memori itu masih
tetap kubawa dan kusimpan rapi. Ada satu tulisan menarik yang ditulis Ponirah di buku
memoriku itu, “Ketika bibirmu menempel di bibirku”. Ah… ya, aku selalu membaca tulisan itu
bahkan sangat sering kubaca setiap waktu. Sangat terasa indah dan meresap ke sanubari
terdalam deretan kata-kata itu. Ibarat batu-batu koral yang indah di dasar laut, terlalu sulit
rasanya untuk berulangkali disentuh bahkan dinikmati keajaibannya. Tulisan Ponirah yang
sedikit miring dan bersambung, bagiku seperti keajaiban menara Pisa. Selalu membuatku
penasaran untuk melihatnya berulang-ulang. Tulisan itu seperti magnet dan wajah Ponirah
yang memiliki daya tarik dasyat.

Tapi dengan berat hati akhirnya buku memoriku itu kubakar ketika aku akan menikah.
Apa boleh buat. Demi rumah tangga aku tak ingin diganggu dengan urusan-urusan masa
lalu. Kukubur dalam-dalam prosesi masa laluku yang tak mungkin lagi kurengkuh. Entahlah,
apa kata masa laluku itu? Mungkin terlalu sadis atau bahkan akulah orang yang tak mau
menoleh pada sejarah. Tapi untuk apa sejarah kalau hanya membuatku menggigil gelisah?

“Dia sekarang menjadi pelacur dan aku salah satu langganannya”, kata Yanto
bangga sambil tertawa. Dadaku semakin terguncang hebat dan seperti ada sebilah
belati yang menusuk-nusuk langit-langit jantungku. “Gila!” batinku. Inilah perjalanan
sejarah itu yang bagiku terkadang sangat menggelisahkan. Ia akan berubah seirama
putaran waktu dan perubahan itu terkadang sangat dasyat serta membuat perjalanan
batin terhuyung-huyung.

Ponirah yang cantik dan cerdas itu lalu mempunyai cita-cita menjadi arsitek, kenapa
sekarang justru jadi pelacur? Ah, aku tak semudah itu percaya pada temanku yang urakan
ini. Ninik jadi pelacur, jadi sampah, jadi penjaja seks, jadi penggoda lelaki, jadi pemuas
nafsu, dan entah apa lagi namanya yang membuatku jadi meradang serta tak percaya pada
ucapan temanku itu. Tapi Yanto tetap meyakinkan hal itu, bahkan dia mengajakku untuk
menemui Ponirah dan sekaligus tidur dengannya. Bahkan menurut Yanto kalau Ponirah
sering beroperasi di beberapa hotel di kota ini.

Malam semakin larut. Butir-butir embun mulai turun. Langit nampak semakin kelam.
Sekelam cerita Yanto tentang Ponirah. Terdengar suara jam berdentang dua kali dari dalam
rumah. Yanto pamit dan berjanji untuk bertemu lagi besok. Aku mengangguk setuju. Ia tentu
akan bercerita lebih banyak tentang kota ini atau cerita menarik teman-teman semasa
sekolah dulu, pikirku.

Empat hari kulalui dengan beragam kesan di kota kecilku ini. Janji Yanto kemarin malam
untuk datang tak ditepati. Ia mungkin terlalu lelah dengan pekerjaannya sebagai tukang
parkir. Tapi aku masih berharap untuk dapat bertemu dengannya kembali untuk bercerita
sambil tertawa bersama. Ingin kugali cerita lebih banyak darinya dan pasti ia akan dengan
senang hati menceritakan segalanya penuh percaya diri, lancar dan deras mengalir seperti
sungai Serayu. Apalagi kalau disiapkan rokok kretek dan kopi. Temanku yang satu ini
memang enak bila diajak bicara juga kuat begadang. Aku terkadang tak mampu untuk
menemaninya bercerita sampai larut malam. Bila bercerita, ia seperti sedang berenang di
lautan nasibnya.

Pagi hari seperti biasa kuambil surat kabar yang tergeletak di atas meja teras rumah.
Kubuka halaman demi halaman, kulewati berita-berita politik negeri ini yang semakin ruwet
dan menjengkelkan. Tapi tiba-tiba mataku terbeliak, tanganku gemetar melihat berita pada
halaman dua puluh tujuh yang memuat berita-berita daerah. Kulihat dua manusia yang telah
menjadi mayat pada foto yang ada di sudut kiri atas halaman. Keterangan di bawah foto itu
tertulis, “Dua mayat ditemukan di sebuah rumah kontrakan di Jalan Isdiman. Jati diri mayat
itu telah diketahui oleh pihak berwajib, yang lelaki berinisial Y seorang tukang parkir dan
yang wanita berinisial Pnr seorang PSK. Dugaan sementara keduanya meninggal akibat
over dosis”.

“Ponirah…..”, ucapku lirih sambil melipat surat kabar itu.

Parepare, 2003.

REMBULAN DI ATAS PANTAI LOSARI

Sudah satu minggu ini, selepas magrib aku selalu mendapat sapaan lembut dari
seorang gadis yang menginjak dewasa. Anti, nama gadis itu, sudah paham benar
selera makanku. Setiap aku mencari tempat duduk di belakang gerobak yang
dijadikan tempat beberapa menu makanan, tidak lama ia akan mengangsurkan
sepiring nasi dengan lauk sayur lodeh dan sepotong ikan goreng dengan ditambah
sedikit sambal.

“Silakan makan, kak”, ucapnya sambil tersenyum memperlihatkan lesung pipinya yang
menambah manis dan santun gadis ini. Aku hanya mengangguk seraya meraih sendok dan
piring yang ada di atas meja itu. Lalu kembali Anti sibuk membantu ibunya mencuci piring,
sambil sesekali menyibakan rambutnya yang tergerai sebahu.

Sebagai pendatang di kota Makassar, aku agak kesulitan mencari tempat untuk makan yang
pas dengan selera. Hanya saja saat aku jalan-jalan sore di pantai Losari, aku mampir di
warung sederhana dengan menggunakan gerobak dorong dan bentangan plastik warna biru
sebagai atap sekedarnya. Dan saat datang pertama kali di sore itu, Anti yang dengan sigap
menawarkan beberapa menu yang tersedia. Bahkan dengan logat Makassar-nya yang masih
terasa asing bagiku, ia juga menawarkan beberapa jenis minuman yang tersedia.

“Ada juga sarebba yang dicampur telur ayam”, katanya dengan senyum. Aku hanya
menganguk-angguk saja dalam ketidakpahaman. Tetapi sejak itu aku merasa tertarik untuk
selalu datang makan malam seusai magrib di pantai Losari sambil memandang matahari
yang perlahan-lahan tenggelam di antara awan tipis bagai sapuan halus kuas seorang
pelukis di atas kanvas.

Kadang sampai malam aku juga hanya duduk-duduk di atas deker sepanjang pantai Losari
ini. Banyak hal juga menjadi tambahan pengetahuanku tentang kota Makassar dari beberapa
pengunjung pantai Losari yang kebetulan duduk-duduk santai mengahabiskan malam. Juga
beberapa kali, daeng becak menghampiriku yang duduk sendiri sambil basa-basi
menawarkan teman kencan sambil menikmati malam dengan angin laut yang mengigit-gigit.
Tapi semuanya itu kutolak secara halus, bahkan daeng becak itu hanya kuajak bercerita
tentang kehidupan malam pantai Losari yang menggemuruh seperti suara ombak pecah di
bibir pantai.

“Kakak belum pulang ke pondokan?” sapa Anti lembut dari samping kiri bahuku. Aku
menoleh. Ia tersenyum. Wajahnya yang oval dengan mata yang sayu, segaris alis agak tebal
di atas kedua kelopak matanya, menambah manis raut wajahnya yang disaput kulit sawo
matang.

“Tidak membantu ibumu?” tanyaku sekenanya. Ia menggelengkan kepala. Satu dua helai
rambut yang jatuh di keningnya, juga ikut bergoyang.

“Mungkin sudah habis dagangan ibu?”

“Sudah. Ibu sisa merapikan piring dan gelas”. Anti lalu duduk di sampingku sambil mengisap-
isap air kemasan.

“Kapan pengumuman hasil ujianmu, Ti?”

“Minggu depan, Kak”

“Semoga bisa lulus dengan nilai yang baik”, ucapku bernada harapan. Tapi muka Anti sedikit
berubah. Ia seperti marah pada dirinya sendiri. Ia menunduk dan sesekali memandangi
wajahku. Aku juga jadi ikut gelisah dan bertanya-tanya dalam hati. Apakah tadi ucapanku
salah? Atau mungkin sudah ada bocoran kalau Anti tidak lulus di sekolahnya, sebuah SMP
swasta yang tidak begitu jauh dari pantai ini? Mungkin juga oarang tuanya tak mampu kalau
Anti mau melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi? Ya, biaya sekolah sekarang
mahal dan kalaupun nanti lulus dari tingkat SMA, belum juga siap masuk lapangan kerja.
Kalau mau melanjutkan ke perguruan tinggi tentunya akan membutuhkan biaya yang lebih
banyak lagi, jutaan rupiah sampai puluhan juta rupiah. Apalagi kalau tidak lulus,
kemungkinan ia hanya akan membantu ibunya, jualan makanan dengan gerobak sampai
larut malam, digoda daeng becak yang singgah untuk melepaskan lelah.

“Kenapa, Ti?”, aku coba memecahkan keheningan. Ia hanya diam dan menggelengkan
kepala. Kemudian ia menatap ke laut lepas yang semakin temaram. Tatapannya kosong.
Sepertinya ia kehilangan cahaya di retina matanya. Sementara rembulan yang mulai
sempurna, sinarnya tak juga banyak membantu memberikan pantulan keceriaan di
wajahnya. Ia kemudian mengangsurkan diri ke belakang dan memohon diri untuk menemui
ibunya dengan wajah yang masih sendu.

Hari minggu ini aku ingin istirahat penuh di kamar kos. Dan tadi malam sudah kusiapkan
beberapa bungkus mie dan nasi goreng instan untuk persiapan seharian di rumah. Beberapa
buku dan majalah juga sudah siap untuk menemaniku.

Sudah hampir sebulan di kota ini, tak juga ada keinginanku untuk mengelilingi kota atau
jalan-jalan ke beberapa tempat wisata seperti Malino, ke tempat peninggalan sejarah
benteng Fort Rotterdam, makam Syekh Yusuf, makam Pangeran Diponegoro, dan lainnya
yang menurut cerita beberapa teman satu kos tempatnya tidak jauh serta mudah dijangkau.
Bahkan samping kamar kosku, Kamaruddin, yang asal Buton siap mengantarku dengan
memakai kendaraan roda duanya. Tapi rasanya aku belum begitu berminat untuk keluar ke
beberapa tempat itu, rasanya hatiku belum pas saja untuk ke mana-mana.

“Siapa?” tanyaku saat ada yang mengetuk pelan pintu kamarku.

“Saya. Anti, kak”, jawaban lembut dari luar yang kukenal betul aksen suaranya. Lalu kubuka
pintu perlahan. Nampak gadis manis yang berangkat remaja itu tepat berada di depanku
menundukan kepalanya kemudian berucap lirih dengan suara sedikit bergetar, “Boleh aku
masuk kak?”. Kubimbing lengannya dan kupersilakan duduk di kursi rotan di sudut kamar.

“Apa tidak membantu ibu mempersiapkan dagangannya? Sore-sore begini kan ibu sudah
ada di Losari, kenapa Anti malah ke sini? Ibumu tahu kalau mau ke sini?”, kuberondong
pertanyaan seperti senapan yang memuntahkan peluru berkali-kali. Terus terang aku terkejut
dengan kedatangannya dan memang selama ini Anti tak pernah datang ke tempat kosku.
Dia hanya tahu alamat yang pernah kuberikan kira-kira tiga minggu yang lalu. Apakah ini
lanjutan dari persoalan ketersinggungan saat kusampaikan agar dia dapat lulus ujian SMP?
Atau akan menagih bon makanku yang selama tiga hari belum kubayar?

“Ibu tahu kalau Anti ke sini, kak”, ucapnya sambil menatapku penuh kebimbangan. “Boleh
Anti main ke tempat kos ini, kan?”

“Boleh. Kenapa tidak. Hanya yang mengherankan, kenapa Anti tiba-tiba datang tanpa
memberi tahu kakak lebih dahulu. Kesannya jadi mendadak, gitu. Ini yang membuat kakak
terheran-heran”, ucapku masih penuh keheranan. “Lalu apa sebenarnya keperluan Anti
datang ke sini? Disuruh ibu atau ada hal yang penting”. Anti tertunduk mendengar
pertanyaanku yang bertubi-tubi itu. Aku jadi merasa salah melihat wajah Anti yang berubah
begitu cepat dan suasana menjadi tak cair. Ada ketegangan sepertinya merambat bersama
angin yang masuk lewat jendela.

“Maafkan kakak, Ti. Maksudku tentu ada sesuatu Anti tiba-tiba datang ke sini. Mungkin aku
bisa membantu? Katakanlah, Ti”, aku coba mencairkan suasana.

Sesaat Anti memandangiku. Wajahnya sedikit kaku dan memucat. Tak kulihat rona
keceriaan seperti saat ia menawariku lauk ikan goreng untuk makan malam. “Tak ada
gunanya aku ikut ujian, kak”, ucapnya lirih sambil menggeser duduknya agak ke depan. “Aku
masih ingin melanjutkan sekolah. Kalau mungkin aku ingin memilih jurusan tata busana di
sekolah menengah kejuruan seperti Vera teman sebangkuku”.

“Bukankah Anti sudah ikut ujian dan sebentar lagi pengumuman. Lalu kenapa tiba-tiba tak
berguna ujian itu. Dan kukira kalau sudah lulus baru bisa mendaftar ke jenjang sekolah yang
lebih tinggi. Atau ada firasat kalau Anti tidak lulus?”, sedikit suaraku agak keras biar Anti mau
menyampaikan maksud yang sebenarnya. Tapi ia hanya menggelengkan kepalanya.
Wajahnya menengadah ke langit-langit kamar. Kemudian kembali memandangku begitu
lekat, seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan namun terasa sulit untuk diucapkan.
“Terang bulan terang di kali, biduk berjalan dengan nyali. Kalau adik mengungkapkan rasa
susah sekali, membuat abang pusing berkali-kali”, aku coba kelakar dengan berpantun. Anti
memandangku dengan sedikit senyum. Matanya nampak berkejap-kejap.

“Selesai pengumuman hasil ujian nanti ….”, ucapannya tersendat dan berhenti. Jari-
jemarinya ia genggamkan erat-erat di tangan kursi. “Kak, aku mau dikawinkan oleh ibu”.

“Setelah pengumuman nanti?”

“iya. Dan itu yang selalu menghantui setiap hari. Maaf kak, Anti hanya ingin menumpahkan
keluh kesah ini. Aku rasa kakak lah orang yang paling tepat dan bisa membantu Anti. Walau
pun belum lama kita berkenalan, tapi kulihat kakak selama ini sangat memperhatikan Anti.
Kakak tidak marah kan?” ucapnya polos dan cukup lancar.

Aku hanya menggelengkan kepala. “Siapa calon suamimu?”

“Ibu akan menjodohkanku dengan pak Limpo, seorang pedagang yang kaya dan sering
memberikan pinjaman kepada ibu. Padahal lelaki separuh baya itu sudah berkeluarga. Entah
kenapa ibu mau menerima pinangannya”. Kepolosan Anti sebagai seorang wanita yang
masih sangat belia sepertinya mengalir begitu saja. Ibarat debur ombak pantai Losari yang
membuncah dan pecah begitu saja tanpa beban serta keharusan di daerah mana harus
pecah. Tapi kalau kupikir-pikir, bukankah ini sebuah bentuk perdagangan anak-anak secara
terselubung. Jelas sekali kalau kondisi ekonomi keluarga Anti yang menjadi pintu masuk
untuk persoalan ini semuanya. Dan kukira umur Anti sekarang baru sekitar 15 tahun. Tak
lebih. Padahal ia masih ingin sekolah di sebuah sekolah kejuruan, masih ingin bermain
berkejar-kejaran dengan teman-temannya. Lalu disuruh kawin, kemudian hamil dan punya
anak. Ah, betapa kelabu masa remajanya. Masa-masa manis dan indah di sekolah
menengah, pasti akan hilang oleh suara tangis anak atau suara peralatan dapur yang saling
beradu. Gelap benar nasib anak ini, tanyaku dalam hati.

Malamnya, seusai ibu Anti membersihkan tempat dagangannya, aku berusaha mendekati
dan memohon agar dia mau berbicara sebentar di kursi plastik samping gerobak. Lalu
kusampaikan keluhan-keluhan anaknya tentang rencana perkawinan seusai pengumuman
hasil ujian nanti. Kucoba juga memberikan saran agar rencana itu dibatalkan karena umur
dan kondisi Anti yang masih sangat belia, juga coba kusisipkan sedikit pengetahuanku
tentang jiwa seorang remaja seumur Anti yang belum siap untuk berumah tangga.

“Saran nak Anto benar, tapi ibu tidak bisa banyak berbuat untuk masalah ini”.

“Maksudnya, bu?”

“Ibu sudah berusaha selama ini, tapi tak pernah mau cukup-cukup. Dua tahun yang lalu
pinjaman dagangan ibu yang dua juta sama pak Limpo, sekarang sudah membengkak jadi
lebih empat juta. Nah, ibu coba menabung sedikit demi sedikit setiap malam dan waktu
kelihatannya lebih cepat dari pada tabungan yang tak seberapa ibu sisihkan. Ibu merasa
berat saat pak Limpo datang ke rumah dan bermaksud melamar Anti”, jawabnya lirih
ditingkahi debur ombak pantai Losari.
“Maaf, jadi kalau ibu menerima lamaran dari pak Limpo lalu pinjaman ibu lunas? Begitu kan,
bu?” Ibu Anti hanya mengangguk, mungkin suaranya tersekat dihalangi batu maha besar di
kerongkongannya. Ia tahu apa yang dilakukannya salah, namun ia sangat lemah untuk dapat
menyelesaikan persoalan itu. Mungkin juga perasaan ibu setengah baya yang duduk di
depanku ini sakit seperti teriris-iris sembilu. Lalu kubisikan sesuatu pada ibu Anti dan ia
menganggukan kepalanya sambil menjabat tanganku.

Angin laut malam semakin menusuk-nusuk kulitku. Suara debur ombak terasa menyanyikan
lagu kerinduan pada kampung halaman. Di jalanan masih ada beberapa kendaraan yang
lewat. Aku mencoba menembus malam berjalan sepanjang trotoar. Kubekapkan tanganku di
dada, kutekan tangis hatiku pada bayang-bayang wajah Anti.

Satu minggu kemudian aku akan berpamitan karena sesuai surat tugas aku harus segera
melapor di tempat tugasku yang baru, sebuah kota yang berjarak 150 kilometer arah timur
Makassar. Dan seperti biasa aku duduk di decker dekat jualan ibu Anti, memandangi laut
yang nampak bersentuhan dengan langit bersaput awan.

“Ini kopinya, kak”, ucap Anti sambil menyodorkan segelas kopi. Kutatap wajahnya lama-
lama. Senyumnya tambah mengembang. Aku jadi ingat adikku yang sebaya Anti. Lalu Anti
mendekat dan duduk di sampingku.

“Kalau uang tabungan ibu sudah cukup, nanti Anti bawakan ke Parepare ya kak dan sekalian
menjenguk kakak di sana”, kata Anti sambil masih tersenyum. Aku menggelengkan kepala.
Kuraih gelas di sampingku dan kuminum seperempat isinya.

“Anti harus sekolah lagi ya, rajut masa depanmu dengan sungguh-sungguh. Lupakan masa
lalu dan jangan lupa rajin membantu ibu”. Senyum Anti makin mengembang, siksaan harus
berkeluarga di umur belia tak jadi ia rasakan. Kutatap wajah Anti yang semakin sumringah
beradu dengan sinar rembulan yang nampak bergerak amat perlahan di antara saputan tipis
awan. Sepertinya rembulan itu ingin terus menemani Anti yang bersuka cita karena juga
telah lulus ujian.

Makassar, 2004

MENITI WAKTU DI TEPI HARI

Berulang kali di dorongnya air yang tergenang dengan sapu ijuk yang sudah patah
gagangnya. Air itu selalu menggenang bila hujan datang, karena atap terasnya agak rusak,
juga beberapa kayunya sudah lapuk. Suaminya belum ada kesempatan untuk memperbaiki,
sedangkan ia sendiri mulai Senin sampai Sabtu disibukan di kampusnya sebagai dosen. Hari
Minggu harusnya untuk istirahat, tapi pekerjaan yang menumpuk, mulai dari cucian sampai
kebersihan rumah membuatnya tak bisa istirahat.
Belum tuntas membersihkan genangan air, ia duduk sambil meluruskan kaki yang terasa
pegal-pegal. Tangannya coba digerak-gerakan, dilipat dan diregangkan kembali. Fisiknya
terasa sudah menurun. Padahal umurnya baru empat puluh enam tahun. Mungkin karena
beban kerja yang terlalu berat, membuat fisiknya menurun, keluhnya dalam hati.

Perjalanan hidup memang sepertinya sangat bergelombang, bahkan kadang-kadang sangat


curam dan terjal. Ia sangat merasakan hal itu. Padahal dulu tak terpikirkan kalau hidupnya
akan cukup susah dan melelahkan begini.

Saat itu hidupnya terasa tanpa beban. Hal itu ia rasakan semenjak ia lahir sampai duduk di
perguruan tinggi semester dua. Segalanya serba ada dan siap. Ayahnya sebagai seorang
direktur di sebuah usaha milik negara sangat berkecukupan. Ada enam pembantu yang siap
melayani segala aktivitas rumah tangganya, belum lagi tiga sopir pribadi yang juga siap
mengantar ke mana saja diperlukan. Mobil holden di tahun tujuh puluhan ada tiga di rumah
dinas ayahnya, juga sebuah mobil vw combi selalu terparkir di halaman rumahnya yang luas.

Jika dibanding dengan segala fasilitas yang ada, ia dan dua adiknya, tentu sangatlah
berlebihan. Ibunya pun hanya sibuk berorganisasi. Hingga terkadang ia memanggil teman-
teman sekelasnya untuk belajar di rumah. Teman-temannya sangat antusias kalau disuruh
belajar ke rumahnya. Maklum saja karena banyak kue dan buah-buahan dihidangkan sambil
belajar, belum lagi es jeruk buatan bibi Umi yang menjadi kesenangan teman-temannya itu.

“Dina, putar dulu dong lagu-lagunya Bimbo”, pinta Dendi sedikit berteriak dari sudut ruangan
saat belajar bersama.

“Oke. Bagaimana Wid? Setuju ya?”, tanya Dina kepada Widya yang asyik menyalin tugas.
Widya hanya mengangguk. Dina lalu memutar piringan hitam yang ada di sisi kiri ruangan.
Dendi pun mengangkat ibu jari tangannya tinggi-tinggi kepada Dina.

Dan menjelang senja, pak Man disuruh mengantar teman-temannya itu ke rumahnya
masing-masing. Pak Man yang disuruh mengangguk-angguk hormat dan cepat-cepat
menuju sedan holden untuk menghidupkan mesinnya. Pokoknya semua pembantu dan sopir
yang ada selalu siap disuruh ke mana saja diperlukan. Tak ada yang berani menolak.
Bahkan mereka sangat hormat, bukannya saja kepada ayahnya yang direktur itu, tetapi
kepada semua keluarganya. Bukan itu saja. Pekerjaan lain pun biasa mereka kerjakan
dengan patuh. Seperti pak Man, biasanya disuruh membuatkan anyam-anyaman dari kulit
bambu untuk tugas kerajinan yang disuruhkan oleh Dita, adik Dina yang masih di SMP.

Saat itu pun banyak teman laki-laki Dina yang sering mengungkapkan simpatinya.
Maklumlah, selain cantik, Dina juga salah satu anak orang terpandang dan kaya di kota itu.
Ia juga memiliki segala fasilitas yang diperlukan berbagai kegiatan dengan teman-temannya.
Dina ibarat magnet yang mampu menarik banyak teman laki-laki, baik di kelasnya maupun di
kelas-kelas lainnya. Tetapi yang rupanya mendapat tempat di hatinya hanya Dendi.
Mengetahui hal itu, Dendi pun memanfaatkannya dengan baik dan selalu menjaga Dina
kemana pun pergi.
Tetapi roda-roda kehidupan sepertinya berputar. Saat Dina duduk di semseter dua sebuah
perguruan tinggi, ayahnya meninggal karena terkena serangan jantung. Semua itu
dikarenakan ayahnya terkena masalah yang secara tiba-tiba menjeratnya. Empat gudang
yang ada di perusahaannya habis terbakar. Ayah Dina dituduh berkonspirasi dengan
beberapa pihak untuk menghilangkan barang bukti kasus defisit keuangan di
perusahaannya. Dan sebelum ayahnya disidik oleh pihak yang berwenang, ajal sudah
menjemputnya. Ayahnya merasakan itu semua fitnah untuk menjatuhkan kariernya di
perusahaan milik negara itu.

Kehidupan kemudian berbalik tiga puluh enam derajat. Ibu dan anak-anaknya diharuskan
segera meninggalkan rumah dinas dan semua fasilitas yang disediakan. Beberapa tabungan
ayah Dina di bank diblokir dan disita untuk mengganti kerugian perusahaan. Tetapi untung
saja ada kebijakan perusahaan yang memberikan pesangon dan uang pensiun untuk ibu
Dina.

Ibunya ditampung di rumah adiknya yang jadi perawat di sebuah rumah sakit. Dina pun tetap
melanjutkan kuliah dengan uang pensiun yang ada. Hanya saja Dina dan adik-adiknya
merasa belum siap dengan kehidupan yang berbalik drastis, jauh dari kecukupan. Karena
terkadang tak ada lagi uang jajan di sakunya. Padahal dulu sakunya selalu penuh dengan
lembaran uang yang siap untuk dihambur-hamburkan bersama teman-temanya.

Dengan terengah-engah Dina akhirnya dapat menyelesaikan sarjananya dan kemudian


diterima menjadi tenaga pengajar di perguruan tinggi tempatnya kuliah. Kemudian menikah
dengan seorang insinyur bangunan, yang saat itu belum memiliki pekerjaan. Hanya saja
sampai kini suaminya terjun sebagai kontraktor dan memiliki usaha jasa konstruksi.

“Assalamu’alaikum”, salam suaminya yang tiba-tiba datang dan membuka pintu pagar. Dina
terkejut. Semua lamunan tentang masa lalunya jadi pecah berkeping-keping. Lalu ia bangkit
menjemput suaminya dan membalas salam. Sedangkan suaminya langsung masuk ke
dalam rumah. Dina pun mengikutinya dari belakang.

“Gagal lagi tenderku kali ini, bu”, ucap suaminya seraya meremas-remas rambut di
kepalanya. “Padahal penawaranku sudah cukup rendah dibanding dengan kontraktor yang
lain”, lanjut suaminya dan melemparkan tubuhnya di atas sofa yang sudah pudar warnanya.

“Sabarlah, pak. Mungkin besok ada perubahan dari panitia”, jawab Dina membawa segelas
kopi dan diletakan di meja dekat suaminya duduk.

“Tapi sepertinya ada permainan dalam tender tadi. Sepertinya ada kepentingan dari para
pejabat yang akan dipaksakan dan memenangkan salah satu rekanan yang menjadi
koleganya”.

“Jangan berprasangka buruk begitu. Mungkin masih ada kesempatan di tempat lain”, ucap
Dina berusaha menenangkan hati suaminya. Dina sangat paham, kalau pekerjaan suaminya
memang butuh kemampuan melobi kiri-kanan untuk mendapatkan pekerjaan. Tapi terkadang
dalam satu masa tahun anggaran tak satu pun pekerjaan yang ia dapatkan. Maka gaji
Dinalah yang menjadi tumpuan untuk dapat memutar roda keluarganya. Belum lagi dua
anaknya yang membutuhkan biaya. Anak yang sulung sementara semester tiga di fakultas
kedokteran, sedangkan yang bungsu baru duduk di kelas dua SMA. Bagaimana tidak terasa
berat beban di pundak Dina kalau memikirkan semuanya itu. Fisiknya sebagai wanita yang
belum terlalu tua terasa semakin rapuh. Kadang ia malu jika bertemu teman satu sekolahnya
dulu yang masih nampak segar dan cantik.

“Reza ke mana, bu”, tanya suaminya mencari anak bungsunya.

“Pergi les bahasa Inggris bersama teman-temannya. Kenapa, pak?”

“Saya mau suruh cuci motor”, jawab suaminya lalu beranjak menuju kamar mandi. “Jangan
lupa belikan obat, sisa obatku tinggal satu kali minum”, lanjut suaminya mengingatkan. Dina
hanya mengangguk. Diambilnya sisa-sisa uang belanja tadi pagi lalu dihitungnya. Tak cukup.
Diambilnya uang di laci lemari yang merupakan uang untuk persiapan kebutuhan dalam satu
bulan. Dina melirik kalender di sisi lemari. Baru tanggal dua puluh, keluhnya. Persiapan
uangnya sudah semakin menipis. Kalau pun tidak beli obat, jangan sampai asma suaminya
tambah parah. Bila itu terjadi, tentu saja yang repot dirinya. Ia pasti akan mengantar
suaminya bolak-balik ke puskesmas untuk berobat dengan kartu kuningnya. Dina ibaratnya
kepala rumah tangga yang harus mengatur segala-galanya.

“Bu, sedang apa”, sapa Firza, anak perempuannya yang baru pulang kuliah. Firza lalu
mencium kedua pipi ibunya. Ada kekuatan yang tiba-tiba mendorong kuat pada Dina untuk
terus berusaha tegar menghadapi hidupnya.

“Baru pulang, Fi”, tanya ibunya. “Tolong belikan obat dulu untuk bapakmu di apotik Sumber
Waras, tempat biasa obatnya bapakmu dibeli”, kata ibunya sambil menyodorkan uang
kepada anaknya.

“Baik, bu”, jawab Firza patuh. Dina mengelus lembut rambut anaknya. Perasaan di hatinya
jadi begitu tentram kalau melihat anak-anaknya itu. Semua kelelahan hidup jadi hilang tak
terasa. Dua anaknyalah yang selama ini menguatkan hatinya untuk terus berjuang
menghadapi segala kesulitan-kesulitan hidup.

Dina kembali lagi menuju teras untuk melanjutkan pekerjaannya tadi. Dua tiga kali
didorongnya pakai sapu genangan air itu, terlihat sedikit mengering. Ia kemudian
membersihkan beberapa daun yang jatuh saat hujan tadi. Rumahnya yang hanya sedikit
pekarangannya, memang cukup mudah untuk dibersihkan. Dina dan keluarganya sudah
hampir empat tahun tinggal di kompleks perumahan itu. Ia mengkredit rumah tipe 36 itu
selama sepuluh tahun. Sedang sebelumnya ia berpindah-pindah mengkontrak rumah.
Sampai sekarang Dina belum mampu untuk mengembangkan rumahnya itu, sedangkan
suaminya selalu berjanji bila sudah mendapatkan proyek akan segera merenovasi
rumahnya. Tapi kenyataannya, sudah akan memasuki tahun keempat beberapa proyek yang
ia kerjakan katanya selalu merugi. Aneh memang nampaknya karena setiap proyek sudah
memiliki perencanaan yang matang, bahkan ada konsultannya.

Dina menyandarkan tubuhnya di kursi sudut teras. Tatapan matanya kosong memandang
lurus ke depan. Seandainya ayahnya tidak meninggal, tentu hidupnya tidak akan sesulit ini,
keluhnya dalam hati. Seandainya waktu bisa diputar kembali menuju titik awal
keberangkatan hidupnya, keluhnya lagi. Namun hatinya yang paling dalam menyadari itu
semunya. Manusia boleh berandai-andai, tetapi Tuhanlah yang menentukan segalanya.
Harta dan kebahagiaan sangat mudah meninggalkan kehidupan ini, bahkan dalam sekejap.
Dina sangat sadar bahwa kehidupan seperti roda yang berputar, kadang di atas, di samping
kiri kanan, dan terkadang pula di bawah. Aku seharusnya tidak boleh menangis merasakan
kondisi seperti sekarang ini, karena toh aku sudah pernah menikmati kebahagiaan itu,
katanya dalam hati. Kenapa aku tidak rela ketika bergantian dengan orang lain untuk juga
merasakan kebahagiaan dengan harta yang berlebih? Tanyanya dalam hati. Kenapa aku
harus iri atau dengki ketika melihat sahabat-sahabatku dulu yang hidup susah dan sekarang
sukses? Kenapa aku tak rela melihat semuanya itu? Lanjutnya menanyakan pada dirinya
sendiri.

Dina memperbaiki letak duduknya. Seharusnya aku bersyukur karena sudah memiliki
pekerjaan tetap dengan gaji yang rutin kuterima tiap bulan. Tentu masih ada dan banyak
orang-orang yang lebih sulit hidupnya dariku, katanya lagi dalam hatinya. Ataukah aku belum
siap menghadapi kenyataan hidup ini? Suami, anak-anak dan ibuku yang sudah tua,
semuanya menjadi bebanku. Ternyata berlimpah fasilitas tidak memberikan kemandirian
pada seseorang, juga membuat aku tidak siap menghadapi kesulitan hidup. Aku tidak
terbiasa dengan tempaan-tempaan derita. Atau aku saat itu telah melupakan isyarat alam,
bahwa ada pagi tentu ada malam, kemarau selalu berpasangan dengan hujan, seperti
bahagia selalu menanti datangnya derita. Kalau dulu aku berlimpah bahagia, wajar saatnya
sekarang aku berteman dengan kesulitan-kesulitan dalam hidup. Di dunia ini semuanya
berpasang-pasangan, ucapnya di dalam hatinya. Dina bangkit dari duduknya saat melihat
Firza datang. Ia kemudian membukakan pintu pagar. Motor Firza menderu masuk.

“Obatnya bawakan bapakmu, Fi”, perintah Dina. Setelah memperbaiki letak motornya, Firza
kemudian masuk ke dalam rumah dan menuju ke kamar orang tuanya.

“Buuu….!” Teriak Firza dari dalam kamar. Dina tersentak dan lari menuju kamar.

“Ada apa Fi?”

“Bapak, bu. Dada bapak sakit sekali”, kata Firza menjelaskan.

Dina mendekat ke tempat tidur. Dilihat suaminya mengerang kesakitan sambil memegangi
dadanya kuat-kuat. Dina sudah paham penyakit suaminya itu. Lalu Dina menyuruh anaknya
ke rumah pak RT yang hanya berjarak tiga rumah untuk meminjam mobilnya. Karena kalau
suaminya begitu harus segera ke rumah sakit dan segera mendapat pertolongan oksigen.

Firza pun bergegas pergi dan tak lama nampak pak RT dan mobilnya sudah siap di depan
rumahnya. Dipapah perlahan-lahan suaminya.

“Mari pak Brata”, sambut pak RT sambil membukakan pintu bagian belakang. Dina duduk
mendampingi suaminya yang masih mengerang kesakitan. Pak RT segera tancap gas
menuju rumah sakit.
Di selasar rumah sakit, Dina duduk ditemani anaknya, Firza. Dokter tadi mengatakan kalau
suaminya harus dirawat di rumah sakit untuk beberapa hari sampai pulih penyakitnya. Dina
tertunduk lesu. Wajahnya nampak lelah.

Ia mendekap Firza yang ada di sampingnya. Cobaan hidupnya belum selesai, katanya dalam
hati. Tapi ia mensyukuri karena suaminya bisa terselamatkan. Air mata Dina mengalir lembut
di pipinya. Ia merasa harus selalu siap meniti waktu di tepi hari yang masih panjang. Ya
Allah, berikan hambamu ini kekuatan dan kesabaran, doa Dina dalam hati. Ia berjanji akan
selalu tegar menghadapi setiap cobaan.

“Bu…”. Firza memeluk erat-erat ibunya.

Senja pun menggugurkan butir-butir air gerimis. Lembut angin mendinginkan suasana di
selasar rumah sakit. Dina mencoba tersenyum di depan wajah Firza. Ia ingin
menyembunyikan galau di hatinya. Ia ingin gerimis yang menggelisahkan segera reda,
seperti gelisah di hati Dina.

Parepare, 2007.

KAULETAKAN KEMBALI SEGARIS AWAN DI MATAKU

Bangunan rumah itu nampak tua dan kusam. Sebagian kapur dindingnya sudah
mengelupas, cat kusen pintu yang berwarna biru muda nampak sudah memudar.
Beberapa pot yang diletakan di samping teras sepertinya sudah tak lagi disentuh
penghuninya. Sebagian tanaman bunganya layu dan patah-patah, beberapa pot
yang terletak di sudut teras malah pecah-pecah dan berlumut. Rerumputan nampak
tumbuh subur seperti tak pernah disentuh ujung-ujung sabit atau derit suara gunting
rumput.

Dua waktu kulewati rumah itu tak juga ada penghuni yang nampak di teras rumah.
Pagi yang mendung mengantarku ke rumah itu yang terletak di sudut jalan, tapi tak
kujumpai seorang pun penghuninya yang nampak di luar. Kemudian kuniatkan lagi
sore yang gerimis untuk menyambangi kembali rumah itu, tak juga sedikitpun pintu
atau daun-daun jendela yang yang kusam itu terbuka. Hanya daun-daun mangga
yang melambai diusik angin yang membawa gerimis sore itu.

Pintu kubuka perlahan, nampak wajah Lina terkesiap.


“Nampaknya kaugunakan waktu liburmu untuk mengelilingi kota ini?’ tanya Lina
sambil mengangsurkan segelas teh kepadaku.

Aku hanya mengangguk. Kuminum sedikit teh untuk menghangatkan tubuhku.


Kacamata yang basah kulap dan kuletakan di dekat gelas teh di atas meja.

“Kota ini masih seperti dulu, dua puluh satu tahun yang lalu. Tidak ada perubahan.
Hanya beberapa toko berubah menjadi supermarket, tapi beberapa ruas jalan masih
seperti dulu dengan bangunan-bangunan tua dan pohon-pohon besar di depannya”,
ucapku sambil memandangi Lina yang juga sudah semakin tua dengan kerut-kerut
garis di wajahnya.

“Memang betul, bahkan banyak orang bilang kalau kota ini seperti kota para
pensiunan”.

“Bukan kota para pensiunan, tapi kota hantu”, selorohku.

“Bukan itu yang saya tangkap dari pembicaraanmu, Wan. Tapi kelihatannya ada
sesuatu yang kaucari-cari di kota ini. Seperti ada obsesi. Atau ada kenangan masa
lalumu yang masih tercecer hingga sekarang?” ucap Lina penuh selidik.

Hening. Di luar, gerimis masih setia menemani senja. Sebagian lampu di ruangan
tengah sudah dinyalakan sejak tadi. Lina, kakakku, hanya sendiri di rumah warisan
orang tua ini. Suaminya meninggal lima tahun lalu ketika berlayar dengan kapal
perusahaan berbendera Panama dan dihantam badai di sekitar perairan Banda.
Sedang dua anaknya sudah bekerja dan berkeluarga. Yang satu menjadi dokter di
Jambi dan yang bungsu wiraswasta di Jakarta. Lina nampaknya sudah terbiasa
dengan kesendirian. Ia mengisi hari-harinya dengan membuka warung kecil yang
menjual berbagai masakan.

“Wan, melamun ya?”

Aku menggelengkan kepala.

“Makan malam dulu baru istirahat”, lanjut Lina sambil beranjak dari tempat duduknya
menuju meja makan. Nampaknya ia menyiapkan makan malam untukku.

Di tempat tidur mataku sulit terpejam. Bayanganku tentang rumah di sudut jalan itu
masih terus nampak. Ke mana penghuninya? Ke mana Wina dan keluarganya?
Tidak mungkin ibu bapaknya pindah ke kota lain, karena ia sudah pensiun dari
pegawai negeri. Entahlah juga cita-cita Wina menjadi pramugari tercapai atau tidak.
Postur tubuh yang semampai dan kecerdasannya tentu sangat mendukung menjadi
seorang pramugari. Kedua orang tuanya waktu itu juga merestui keinginan Wina.

“Kalau nak Iwan selesai SMA mau ke mana?” tanya ibu Wina di teras rumahnya.
Wina saat itu tersenyum manis memandangiku.
“Mungkin melanjutkan kuliah, bu”, jawabku tertunduk.

“Ambil kedokteran ya ….”.

“Tidak, bu. Saya ingin masuk fakultas sastra”.

“Lho nanti kalau tamat apa ada lapangan pekerjaan? Kalau saran ibu sebaiknya
masuk kedokteran atau teknik. Fakultas sastra kan nggak ada masa depannya.
Begitu kan nak Iwan?”

Aku hanya tertunduk mengangguk-angguk. Dadaku bergemuruh. Ingin rasanya


cepat-cepat aku meninggalkan tempat ini. Aneh, kenapa jadi begini? Apakah aku
harus tunduk dengan keinginan ibu Wina? Tidak. Bagiku fakultas apapun kalau
dijalani dengan tekun tentu akan membuahkan hasil.

“Sudahlah, tak usah dipikirkan kata-kata ibuku. Maklumi saja pikiran dan perasaan
orang tua”, ucap Wina setelah ibunya masuk ke dalam rumah. Aku memaksa
tersenyum kepada Wina, sebelum pamit pulang.

Sepanjang jalan dari rumah Wina seluruh darah di tubuhku rasanya mengalir ke satu
arah, jantung, sebagai muaranya. Gumpalan darah yang menyatu di jantung
membulatkan tekad akan memperlihatkan keyakinannya bahwa masuk fakultas
sastra tak salah. Selain itu, gumpalan darah berikrar bahwa akan memberikan jalan
hidup yang terbaik dan bertanggung jawab kepada Wina. Percayalah Wina, desahku
lirih.

Subuh tak terasa telah tiba. Suara muazzin dari masjid di depan rumah
mengumandangkan asma Allah menyelinap lembut lewat bibir jendela kamar.
Tidurku semalam cukup lelap meski bayang-bayang Wina hadir di sepanjang
perjalanan hingga subuh menyentakku. Perlahan pintu kubuka, nampak Lina duduk
di kursi sudut ruang tengah mengenakan mukena. Dan ia tahu kalau aku sudah
bangun karena suara derit pintu mengusik keheningan.

“Semalam kau mengigau, Wan. Berteriak-teriak cukup keras”, kata Lina sambil
bangkit dari tempat duduknya. “Lampu kamar mandi mati dan sebaiknya kamu
wudhu di samping sumur saja”, lanjutnya.

Aku mengangguk dan bergegas ke sumur yang ditunjukan Lina.

Usai shalat kusampaikan niatku untuk jalan-jalan pagi. “Pasar burung belum pindah
kan Lin”, tanyaku kepada Lina.

“Masih di tempat yang dulu, di belakang kantor kelurahan”. Aku mengangguk-


angguk, tapi pikiranku berketetapan ingin melewati depan rumah Wina dulu. Biarlah
berputar sebelum sampai ke pasar burung. Kalau aku tidak kuat jalan bisa naik
becak.
Butir-butir embun tipis menemani langkah kakiku menembus heningnya pagi. Hanya
ada satu dua motor dan angkutan kota melintas cepat seperti dikejar-kejar oleh
waktu. Beberapa penghuni rumah yang kulewati nampak membersihkan
halamannya. Tapi tak ada lagi yang kukenal. Entah siapa mereka. Apakah penghuni
baru kota ini atau keluarga dari pemilik rumah. Padahal hampir sepanjang jalan yang
kulewati banyak teman-temanku sesama di bangku sekolah dulu. Dua puluh satu
tahun ternyata telah membuatku kehilangan kawan-kawan yang dulu sama-sama
bercanda, diskusi, belajar, atau bahkan adu mulut. Waktu rupanya bisa menjadi
seseorang merasa asing dan bahkan kehilangan kawan. Waktu telah melipat-lipat
perjalanan hidup seseorang. Seperti sebuah buku, perjalananku telah meninggalkan
halaman-halaman awal dan masuk pada halaman pertengahan buku.

“Winaa..!” jeritku agak tersekat begitu melewati depan rumah yang selalu tertutup
dan tak berpenghuni itu. Sambil mengibaskan rambutnya yang sebahu, perempuan
yang kupanggil itu menoleh hendak melangkah masuk pintu rumahnya. Ia tersenyum
dan mengerjapkan matanya yang sayu dan dulu aku amat senang menatapnya. Alis
matanya masih setebal dulu. Ia menatapku di antara dua daun pintu. Aku melangkah
hendak membuka pintu pagar, tapi Wina langsung menutup pintu rumahnya rapat-
rapat. Aku mencoba memanggilnya kembali sedikit lantang. Lalu kucoba membuka
pintu pagar, tapi kunci gembok yang berkarat dengan rantai yang cukup besar tak
bisa kupaksa buka hanya dengan kedua tanganku. Kuamati kunci dan rantainya,
nampak seperti lama tak pernah terbuka. Kupandangi pintu dan jendela di
sampingnya yang telah kusam catnya itu, nampak tak terbuka sedikit pun.

Kubalikan badanku untuk meninggalkan tempat itu. Sebentar kupandangi lagi rumah
Wina. Ah, ia juga sedang memandangiku dari balik jendela dan tersenyum.

“Win, bukalah pintu. Ini aku, Iwan!”, teriakku seraya melangkah kembali ke pintu
pagar Wina, tapi ia nampak membalik dan meninggalkan balik jendela itu. Aku sedikit
kesal dan kutinggalkan rumah itu. Sebuah motor hampir menyambar saat aku
menyebrang jalan. “Sialan!”, makiku sambil bergegas naik di trotoar.

Malam semakin larut. Suara jarum jam dinding yang berdetak rasanya seperti irama
yang menuntunku untuk mengingat kejadian tadi di depan pintu pagar rumah Wina.
Dan banyak kemungkinan Wina tak mau membukakan pintu rumahnya lalu
menemuiku. Salah satunya mungkin ia takut kalau suaminya tiba-tiba datang lalu
menghardikku atau ibunya hampir pulang dari pasar dan menemukan aku sedang
asyik cerita di teras rumahnya. Padahal sejak aku jadi kuliah di fakultas sastra,
ibunya memang sangat mengharapkan Wina tak lagi menjalin hubungan denganku.
Suara lonceng jam di dinding berdentang dua kali. Satu dua suara kokok ayam
nyaring terdengar dari belakang rumah.

Bayang-bayang Wina terasa melintas di sampingku. Senyumnya masih seperti tadi


pagi. Ia lalu duduk di sampingku, menggenggam hangat kedua telapak tanganku.
Aku berusaha bangkit dari tidurku, tapi badanku terasa berat kuangkat. “Win ….”,
kupanggil namanya lembut, tapi suaraku terasa tersekat. Ia kemudian membelai
rambutku dan memperbaiki anak-anak rambut di keningku, seperti seorang ibu yang
sedang membelai bayinya. Aku merasakan kasih sayangnya dan kurasakan juga ada
segaris awan indah yang ia pindahkan dari matanya yang sayu itu ke bola mataku
yang penuh harap. Kupandangi wajahnya, ada air mata seperti anak sungai mengalir
di pipinya. Ataukah gumpalan awan di matanya telah cair menjadi hujan? Aku ingin
menghapusnya, tapi tanganku masih digenggamnya erat-erat.

“Kak Iwan….”, ucapnya lembut masih tetap menggenggam tanganku.

“Ada apa Win?” jawabku penuh harap.

”Ayo kita terbang ke sebuah kota yang jauh…”

”Ke mana? Kota yang jauh? Di mana itu?”

”Ayolah ikut aku…..”, suaranya agak serak mencoba menarik tanganku.

”Aku harus minta izin di kantorku. Tunda dulu. Nanti kapan waktu saja dan sekalian
aku mengambil cuti”. Aku coba bertahan dari tarikan tangan Wina. Tapi mata Wina
nampak berubah. Sorot matanya begitu tajam.

Suara ketukan pintu membangunkanku dari tidur. Lina memanggilku berulang-ulang


dan mengatakan kalau hari sudah siang. “Penerbangan jam berapa ke Makassar,
Wan”, tanya Lina dari balik pintu. “Sore, Lin”, jawabku sekenanya karena mataku
masih mengelilingi sudut-sudut kamar mencari Wina yang menggenggam erat
tanganku. Dan baru kusadari kalau pertemuan itu hanya bunga-bunga mimpi tidurku
yang tak nyenyak.

Di ruang tengah Lina telah menyiapkan segelas kopi dan beberapa iris roti untukku.
Ia juga sudah duduk di situ dan sedang menikmati segelas teh. Kuhempaskan
tubuhku di atas kursi lalu kuminum kehangatan kopi di pagi hari.

“Hati-hati karena cuaca kurang baik. Apalagi untuk penerbangan”, ucap Lina
membuka kebekuan suasana. “Jangan sampai seperti kejadian temanmu itu yang
pesawatnya jatuh dan sampai sekarang tak juga ditemukan”, sambungnya lagi.

“Temanku? Yang mana Lin?” balasku kebingungan. Karena aku tak merasa
kehilangan teman, apalagi penyebabnya kecelakaan pesawat. Kuingat dan kuingat
lagi, tapi rasanya tak ada.

“Yang jadi pramugari. Dulu biasa ke sini, waktu kamu masih sama-sama sekolah di
SMA. Anaknya cantik, anggun dan sangat santun. Aku sangat menyukai temanmu
itu, Wan”.

“Ah, dulu kan banyak teman-temanku yang cantik dan sering main ke rumah ini.
Mereka teman-teman bermain teater di sekolah. Akting mereka dulu hebat-hebat
bahkan kabarnya ada beberapa teman yang sekarang kerjanya di rumah produksi
sinetron di Jakarta”, jawabku ketus sambil kuhabiskan segelas kopi hingga tandas.

“Kalau tak salah ingat namanya Wina”.

Dadaku tiba-tiba berdesir. Degup jantung bergerak cepat. Aku tak percaya karena
kemarin kulihat di rumahnya. Atau Lina sengaja membawaku terbang berputar-putar
di angkasa, meliuk di celah-celah awan dan mengingat masa lalu? Tidak. Bahkan
semalam aku memimpikannya. Wina begitu anggun dan syahdu menemuiku dan
memainkan lembar-lembar rambutnya yang harum dengan jari-jemarinya yang lentik.
Memain-mainkan bola matanya di padang gersang pandanganku yang hanya
ditumbuhi ilalang-ilalang mongering dan debu-debu yang berterbangan.

“Kenapa Wan, kok tiba-tiba pucat?” Tanya Lina menghampiriku.

Kemudian kuceritakan pertemuanku kemarin dengan Wina dan mimpiku semalam.


Dalam mimpi itu Wina mengajakku terbang ke sebuah kota yang jauh. Dan kota itu
entah di mana. Lina mengangguk-angguk dan tersenyum sambil menceritakan kalau
rumah itu sudah lebih satu bulan tak berpenghuni. Ibunya meninggal terkena
serangan jantung begitu mendengar kabar kalau pesawat yang membawa Wina
dalam penerbangan tujuan Manado jatuh berantakan di laut. Wina pun sampai
sekarang tak jelas kepastiannya. Entahlah. Yang jelas seluruh penumpang dan
pesawatnya sampai sekarang masih terkubur di dasar laut. Hanya serpihan-serpihan
badan pesawat yang mengapung dan ditemukan beberapa nelayan di pesisir pantai.
“Untung saja kau tidak mau diajak pergi ke kota yang jauh itu, Wan. Seandainya kau
mau ikut…. ahh…jadi firasat buruk”.

“Maksudmu kak, aku akan meninggal kalau mengikuti ajakan Wina?” Lina
mendekatiku dan memelukku erat-erat. “Kehidupan dan kematian manusia itu Tuahn
yang menentukan. Tapi ada namanya firasat manusia. Apalagi itu ajakan pergi orang
yang sudah meninggal”, suara Lina tersekat, air matanya meleleh di pipi. “Hati-hati
nanti di jalan, Wan”, lanjutnya menasihatiku. Kuanggukan kepala dan mencium
punggung telapak tangan kak Lina.

Aku bergegas masuk kamar mengemasi pakaian. Setengah jam kemudian aku
berpamitan kepada Lina dan berangkat menuju bandara. Ingin secepatnya
kutinggalkan kota ini, juga bayang-bayang Wina, sang pramugari itu.

Parepare, 2007

Anda mungkin juga menyukai