Anda di halaman 1dari 1

Andi sedang bermain bersama teman-temannya. Aku memulai aksiku.

Bersiap siap
memanggil sepatu butut Andi, tetapi urung. Aku masih ragu. Apa yang akan terjadi pada andi
jika sepatu kesayangannya entah dimana. Apakah ia akan mogok sekolah? mogok makan?
Atau tidak mau keluar kamar?. Aku masih bergulat dengan pikiranku. Tidak tega rasannya
karena ini adalah benda kesayangan Andi. Aku masuk ke kamar. Pikiranmu berkecamuk apa
aku kakak yang baik? Tega teganya melakukan hal konyol kepada adiknya apalagi benda
kesayangannya yang aku juga tahu itu adalah kenang kenangan yang Andi punya. Tapi aku
selalu risih jika melihat Andi memakai sepatu itu. Apalagi jika sedang berjalan bersama.
Baiklah aku akan tetap menjalankan misiku. Semoga saja ini yang terbaik untuk Andi.
Aku keluar dari kamar langsung menuju ke tempat tujuanku. “Ibuuu!..”, tiba-tiba
suara Andi mengagetkanku. Aku yang semula sudah berada di depan rak sepatu buru-buru
menjauh dari rak sepatu lalu bersikap biasa saja seolah aku tidak sedang menjalankan aksiku.
Rencana pertamaku gagal. “kak lagi ngapain melamun di situ?” aku gugup. Aku menggeleng
pelan tanda tidak apa-apa. Huftt.. hampir saja untung aku bisa mengendalikan sikapku,
batinku.
Pagi hari, kami berangkat sekolah bersama. Masih dengan sepatu lusuh Andi. Aku
berjalan menatap ke bawah. Terpaku pada satu. Sepatu butut itu. Sepanjang perjalanan aku
berusaha mencari cara agar Andi dapat mengganti sepatu bututnya dengan yang baru. Apa
pun yang terjadi. Aku sudah terlalu terganggu dengan pemandangan ini.
Kringgg!!..... Bel pulang berbunyi. Aku langsung menuju ke gerbang menunggui
Andi yang belum keluar dari kelasnya. Sepuluh menit berlalu, aku yang tak sabar menunggui
Andi lalu menyusul ke kelasnya. Andi terlihat gelisah. Ia duduk sendirian sambil menatap ke
bawah. Pandanganku mengekori pandangan Andi. Sepatu butut itu. Hatiku rasanya sesak juga
senang. Setelah kejadian ini pasti Andi akan meminta yang baru. Tapi sepatu kenangannya
itu? Ah sudahlah mungkin ini akan menjadi yang terbaik untuk Andi. Aku dan Andi lalu
berjalan pulang ke rumah. Andi menenteng sepatu yang coplok. Ia amat murung.
Sesampainya di rumah, Andi berteriak memanggil ibu dengan raut wajah sedihnya.
“Bu... sepatu Andi rusak” adu Andi pada sang ibu. Ibu tersenyum lalu mengusap pelan kepala
Andi. “Kita bisa membeli sepatu baru nak. Sepatu yang lebih bagus dari itu “ucap ibu tulus.
Andi menggeleng. “Tapi Andi sayang sama sepatu ini bu. Ini sepatu pemberian ayah waktu
ayah masih ada bu. Andi tidak punya barang lain dari ayah selain ini. Walau sepatunya sudah
butut, tapi ini kenangan bagi Andi bu”. Ibu menundukkan kepalanya, ia merasa sedih
mengingat almarhum suaminya yang sudah tiada. “Kamu masih bisa menyimpannya nak,
setelah kamu membeli sepatu baru. Kamu bisa cuci sepatu ini lalu menyimpannya dan
menjaganya dengan baik”. Andi tersenyum lega. Aku yang mendengar percakapan mereka
dari ruang tengah ikut tersenyum bahagia. Akhirnya aku tidak perlu repot-repot
menyingkirkan sepat butut Andi.

Anda mungkin juga menyukai