Anda di halaman 1dari 2

Aku segera keluar dari kamarku, dan kulihat jam dinding di tembok sudah menunjukkan angka pukul

20.00 malam. Aku menghela nafas panjang, biasanya Andi bermain hingga pukul 19.00. Ayah
membiarkan andi untuk bermain selarut itu mungkin karena mengetahui bahwa besok adalah hari
Minggu, hari libur.

Terpikir oleh ku untuk membuang sepatu butut tersebut..

Perlahan-lahan aku melangkahkan kaki menuju rak sepatu yang terletak dipojok tidak jauh dari
kamarku. Di situlah semua sepatu di keluarga ku diletakkan, baik sepatu ayah, ibu, sepatuku, dan
sepatu andi. Tetapi, aku tidak melihat sepasang pun sepatu milik andi ada di rak sepatunya.

“Ibu,” sapa Andi pelan dari belakangku. Terkejut aku mendengarnya karena sedang mencari-cari
sepatunya untuk segera kubuang karena sudah kusam dan jelek.

“Baru pulang ya?” tanyaku setengah tergagap, sambil melihat sepatu butut yang sedang dipegangnya.

“Iya. Sepatu Dodi jebol, Bu. Jadi bubar jalan deh,” katanya sambil membersihkan sepatunya dari tanah
yang menempel saat bermain tadi.

Tiba-tiba ada rasa ingin aku bertanya kepada Andi, kenapa bisa begitu sayang dengan sepatunya
sampai sampai tidak rela kalau sepatunya untuk dibuang ke tempat sampah.

“Andi, Ibu boleh bertanya gak? Kenapa Andi tidak mau meminta sepatu yang baru, lebih bermerek, dan
lebih keren kepada Ibu atau Ayah? Sepatu yang ini sudah jelek dan kusam warnanya seperti sudah
tidak layak untuk digunakan. Sol sepatunya pun sudah tipis. Dan lapisannya juga sudah mengelupas.
Apa Andi tidak malu untuk memakai sepatu tersebut?” tanyaku penasaran.

“Ah Ibu. Ibu sudah lupa ya dengan sejarah sepatu ini? Ini kan sepatu yang dulu pernah dibelikan oleh
nenek untuk ku sebelum nenek meninggalkan andi waktu kecil. Waktu itu nenek pulang dari rumah
sakit.dan Di perjalanan pulang, sepatu yang ku pakai rusak, dan tepat disebrang jalan ada toko sepatu,
dan nenek mengajak ku untuk mampir ke toko sepatu itu dan menyuruh ku memilih sepatu yang aku
mau dan membeli sepatu tersebut.. Meski dengan susah payah, nenek masih saja bisa mengajak dan
membelikan sepatu untuk Andi. Bagaimana bisa Andi bisa mengganti sepatu itu dengan yang lain,
Ibu?” katanya sambil menatap sepatu bututnya.

Seperti ada sesuatu yang menyesakkan dadaku. Hampir dua tahun yang lalu, ibuku membelikan
sepatu ini. Ibu berkata kalau ingin sekali membelikan sepatu karena sepatu Andi yang lama sudah
tidak cukup lagi. Tanpa terasa ada banyak genangan air di mataku.

“Kalau Ibu mau membelikan Andi sepatu yang baru, Andi mau-mau saja kok Bu. Tapi andi minta untuk
ijinkan Andi untuk menyimpan sepatu ini sesudah aku mencucinya sampai bersih ya, Bu. Andi tahu
kok bu, kalau Ibu sangat risih dan geli untuk melihat Andi memakai sepatu ini karena sudah butut,”
pinta Andi.
“Iya, andi. Boleh, boleh saja, Nanti sepatunya dicuci yang bersih ya, kemudian nanti kalau sepatunya
sudah selesai dicuci bisa andi simpan di tempat yang kering ya, agar tidak mudah berjamur, Oh iya,
nanti kalau sesudah selesai menyimpan sepatunya, kamu mandi, ganti baju, dan makan ya nanti
setelah sudah makan, ibu mau mengajak andi untuk ke toko sepatu untuk membelikan sepatu baru
yang andi mau, ok?,” kataku terharu.

“Terima kasih bu, karna ibu sudah mengijinkan andi untuk menyimpan sepatu ini yang merupakan
peninggalan nenek untuk andi, dan bagi andi itu sangat berharga,” Kata andi sambil bersenyum
bahagia.

Anda mungkin juga menyukai