Anda di halaman 1dari 2

Nama : Komang Agus Arya Divayana

Nomor : 22
Kelas : IX C
Mapel : Bahasa Indonesia

Sepatu Butut
Entah sudah berapa kali aku mengatakan padanya untuk mengganti
sepatu bututnya itu. Kalau sepatu itu masih layak pakai sih mungkin tidak
apa-apa. Tetapi sepatu itu sudah kelihatan sangat kumal, jauh dari
kategori layak pakai. Walaupun orang tua kami bukanlah orang yang
kaya. tetapi kurasa mereka masih mampu membelikan Andi sebuah
sepatu baru yang lebih Iayak pakai. Entah mengapa pula. hanya aku yang
selalu memperhatikan sepatu bututnya Andi. Sepatu butut itu begitu
menggangu pandanganku. Orang tua kami tidak pernah protes kalau Andi
menggenakan sepalu butut itu lagi. Pagi ini kami akan berangkat sekolah.
Lagi-lagi sepatu butut itu Iagi yang kuperhatikan. Tidak ada yang lain
yang kuperhatikan dari Andi. Aku jadi malas bila berjalan dengannya.
Aku malu bila harus berjalan dengannya. Seperti berjalan dengan seorang
gembeel. Sepatu butut itu begitu mengganggu pikiranku kenapa Andi
tidak minta sepatu baru saja biar keren seperti teman-temannya, si Ivan
dengan sepatu ketsnya, atau seperti Dodi dengan sepatu sportnya? Di
suatu malam, aku berpikir untuk menyingkirkan sepatu butut itu. Aku
berencana membuangnya di hari Sabtu malam, karena kutahu ia akan
mencucinya di hari Minggu. Jadi kalau di hari Minggu ia tidak
menemukannya, masih ada kesempatan untuk membeli yang baru
sehingga ia masih bisa masuk di hari Seninnya.Untuk membuang sepatu
butut tentu saja tidak memerlukan rencana yang rumit. cukup sederhana
saja pasti aku bisa melakukannya, hanya tinggal menunggu Andi tidur di
malam hari, dan kemudian aku tinggal menjalankan misinya. Hari yang
kunantikan pun tiba. Segera aku bersiap menjalankan misiku. Kulihat
Andi sedang tidak ada di rumah. Aku lupa kalau Andi pergi bermain
sepakbola di lapangan dekat rumah. Sepatu bututnya pun tidak ada di rak
sepatu. Seandainya sepatu butut itu tidak dibawa, aku bisa membuangnya.
Dan ketika Andi bertanya dimana sepatunya, aku bisa saja menjawab
kalau sepatunya digondol tikus atau dipungut pemulung yang lewat. Ibu,”
sapa Andi pelan dari belakangku. Terkejut aku mendengarnya karena
sedang membayangkan skenario yang pas untuk membuang sepatunya.
“Baru pulang ya?” tanyaku setengah tergagap, sambil melihat sepatu
butut yang sedang dipegangnya. “Iya. Sepatu Dodi jebol, Bu. Bubar jalan
deh,” katanya sambil membersihkan sepatunya dari tanah yang
menempel. Tiba-tiba ada rasa ingin bertanya kepada Andi, kenapa ia
begitu saying dengan sepatunya. “Ndi, Ibu boleh bertanya? Kenapa Andi
tidak meminta sepatu yang baru kepada Ibu dan Ayah? Sepatu yang ini
sudah kusam warnanya. Sol sepatunya pun sudah tipis. Dan lapisannya
juga sudah mengelupas. Apa Andi tidak malu memakainya?” tanyaku
penasaran. “Ah Ibu. Ibu lupa ya dengan sejarah sepatu ini? Ini kan sepatu
yang dibelikan oleh nenek sebelum nenek meninggal. Waktu itu nenek
pulang dari rumah sakit. Di perjalanan pulang, nenek mampir ke toko
sepatu. Meski dengan susah payah, nenek masih saja memilihkan sepatu
untuk Andi. Bagaimana bisa Andi bisa menggantinya dengan yang lain,
Ibu?” katanya sambil menatap sepatu bututnya. Seperti ada sesuatu yang
menyesakkan dadaku. Hampir dua tahun yang lalu, ibuku membelikan
sepatu ini. Ibu berkata kalau ingin sekali membelikan sepatu karena
sepatu Andi yang lama sudah tidak cukup lagi. Tanpa terasa ada genangan
air di mataku. “Kalau Ibu mau membelikan Andi sepatu yang baru, Andi
mau saja kok, Bu. Tapi ijinkan Andi menyimpan sepatu ini setelah
mencucinya ya, Bu. Andi tahu kok kalau Ibu risih melihat Andi memakai
sepatu ini karena sudah butut,” pinta Andi. “Iya, Ndi. Boleh. Boleh sekali.
Nanti sepatunya dicuci yang bersih, kemudian disimpan di tempat yang
kering. Agar tidak mudah berjamur,” kataku terharu.“Terima kasih, Ibu,”
kata Andi sambil tersenyum.

Anda mungkin juga menyukai