Anda di halaman 1dari 2

Kegiatan 2 : Melanjutkan Cerpen

Lanjutkan Cerpen “Sepatu Butut” ini secara bebas. Alur yang diputus adalah yang menuju
bagian klimaks : membuang sepatu butut atau tidak. Apa keputusannya dan bagaimana
melakukannya? selanjutnya tentukan bagaimana cerita berakhir!

Sepatu Butut

Cerpen Ely Chandra Perangin-angin

Entah sudah berapa kali aku mengatakan padanya untuk mengganti sepatu bututnya itu. Kalau
sepatu itu masih layak pakai sih mungkin tidak apa-apa, tetapi sepatu itu sudah kelihatan sangat
kumal , jauh dari kategori layak pakai. Walaupun orang tua kami bukanlah orang yang kaya, tetapi
kurasa mereka masih mampu membelikan baru yang lebih pakai.

Entah mengapa pula, hanya aku yang selalu memperhatikan sepatu bututnya Andi. Sepatu butut itu
begitu menggangu pandanganku. Orang tua kami tidak pernah protes kalau Andi mengenakan sepatu
butut itu lagi.

Pagi ini kami akan berangkat sekolah. Lagi-lagi sepatu butut itu lagi yang ku perhatikan. Tidak ada
yang lain yang kuperhatikan dari Andi, aku jadi malas berjalan dengannya, seperti berjalan dengan
seorang gembel.

Sepatu butut itu begitu menganggu pikiranku. Kenapa Andi tidak minta sepatu baru saja biar keren
seperti teman-temannya, si Ivan dengan sepatu ketsnya, atau seperti Dodi dengan sepatu sportnya?

Di suatu malam, aku berpikir untuk menyingkirkan sepatu butut itu. Aku berencana membuangnya
pada Sabtu malam, karena kutahu ia akan mencucinya pada hari Minggu. Jadi kalau pada hari Minggu ia
tidak menemukannya, masih ada kesempatan untuk membeli yang baru sehingga ia masih bisa masuk di
hari Seninnya.

Untuk membuang sepatu butut tentu saja tidak memerlukan rencana yang rumit, cukup sederhana
saja pasti aku bisa melakukannya, hanya tinggal menunggu Andi tidur di malam hari, dan kemudian aku
tinggal menjalankan misiku. Kulihat Andi sedang tidak ada di rumah.

Aku lupa kalau Andi pergi bermain sepak bola di lapangan dekat rumahnya. Sepatu bututnya pun
tidak ada di rak sepatu. Seandainya sepatu butut itu tidak dibawa, aku bisa membuangnya. Dan ketika
Andi bertanya dimana sepatunya, aku bisa menjawab kalau sepatu digondol tikus atau dipungut
pemulung yang lewat.

“Ibu,” sapa Andi pelan dari belakangku. Terkejut aku mendengarnya karena sedang membayangkan
scenario yang pas untuk membuang sepatunya. “Baru pulang ya?” tanyaku setengah tergagap, sambil
melihat sepatu butut yang sedang dipegangnya. “Iya. Sepatu Dodi jebol, Bu. Bubar jalan deh,” katanya
sambil membersihkan sepatunya dari tanah yang menempel.
Tiba-tiba ada rasa ingin bertanya kepada Andi, kenapa ia begitu sayang dengan sepatunya. “Andi, ibu
boleh bertanya? Kenapa Andi tidak meminta sepatu yang baru kepada ibu dan ayah? Sepatu yangini
sudah kusam warnanya. Sol sepatunya pun sudah tipis. Dan lapisannya sudah mengelupas. Apa Andi
tidak malu memakainya?” tanyaku penasaran.

“Ah ibu. Ibu lupa ya dengan sejarah sepatu ini? ini kan sepatu yang di belikan oleh nenek sebelum
nenek meninggal. Waktu itu nenek pulang dari rumah sakit. Di perjalanan pulang, nenek masih saja
memilihkan sepatu untuk Andi. Bagaimana bisa Andi bisa menggantinya dengan yang lain, Ibu?” katanya
sambil menatap sepatu bututnya.

Seperti ada sesuatu yang menyesakkan dadaku. Hampir dua tahun yang lalu, ibuku membelikan
sepatu ini. Ibu berkata kalau ingin sekali membelikan sepatu karena sepatu Andi yang lama sudah tidak
cukup lagi. Tanpa terasa ada genangan air mataku.

Kalau ibu mau membelikan Andi sepatu yang baru, Andi mau saja kok, Bu. Tapi ijinkan Andi
menyimpan sepatu ini setelah mencucinya ya, Bu. Andi tahu kok kalau ibu risih melihat Andi memakai
sepatu ini karena sudah butut,” pinta Andi.

“Iya, Andi, Boleh, Boleh sekali. Nantinya sepatunya dicuci yang bersih, kemudian disimpan di tempat
yang kering. Agar tidak berjamur,” kataku terharu. “Terima kasih, Ibu, “ kata Andi sambil tersenyum.

Anda mungkin juga menyukai