Anda di halaman 1dari 3

1

Pembahasan

Sepatu Butut

(Cerpen Ely Chandra Perangin-angin

(orientasi)

Entah sudah berapa kali aku mengatakan padanya untuk mengganti sepatu bututnya itu. Kalau sepatu
itu masih layak pakai sih mungkin tidak apa-apa. Tetapi sepatu itu sudah kelihatan sangat kumal, jauh
dari kategori layak pakai. Walaupun orang tua kami bukanlah orang yang kaya. tetapi kurasa mereka
masih mampu membelikan Andi sebuah sepatu baru yang lebih Iayak pakai.

Entah mengapa pula. hanya aku yang selalu memperhatikan sepatu bututnya Andi. Sepatu butut itu
begitu menggangu pandanganku. Orang tua kami tidak pernah protes kalau Andi menggenakan sepalu
butut itu lagi.

(rangkaian peristiwa)

Pagi ini kami akan berangkat sekolah. Lagi-lagi sepatu butut itu Iagi yang kuperhatikan. Tidak ada yang
lain yang kuperhatikan dari Andi. Aku jadi malas bila berjalan dengannya. Aku malu bila harus berjalan
dengannya. Seperti berjalan dengan seorang gembeel.

Sepatu butut itu begitu mengganggu pikiranku kenapa Andi tidak minta sepatu baru saja biar keren
seperti teman-temannya, si Ivan dengan sepatu ketsnya, atau seperti Dodi dengan sepatu sportnya?

Di suatu malam, aku berpikir untuk menyingkirkan sepatu butut itu. Aku berencana membuangnya di
hari Sabtu malam, karena kutahu ia akan mencucinya di hari Minggu. Jadi kalau di hari Minggu ia tidak
menemukannya, masih ada kesempatan untuk membeli yang baru sehingga ia masih bisa masuk di hari
Seninnya.

Untuk membuang sepatu butut tentu saja tidak memerlukan rencana yang rumit. cukup sederhana saja
pasti aku bisa melakukannya, hanya tinggal menunggu Andi tidur di malam hari, dan kemudian aku
tinggal menjalankan misinya. Hari yang kunantikan pun tiba. Segera aku bersiap menjalankan misiku.
Kulihat Andi sedang tidak ada di rumah.

(komplikasi)

Aku lupa kalau Andi pergi bermain sepakbola di lapangan dekat rumah. Sepatu bututnya pun tidak ada
di rak sepatu. Seandainya sepatu butut itu tidak dibawa, aku bisa membuangnya. Dan ketika Andi
bertanya dimana sepatunya, aku bisa saja menjawab kalau sepatunya digondol tikus atau dipungut
pemulung yang lewat.

Malam pun tiba. Andi sudah pamit untuk tidur. Aku yang setelah makan malam pura-pura telah,
bergegas bangkit setelah Andi masuk ke kamarnya. Tempat yang kutuju adalah rak sepatu dan
menemukan sepatu butut Andi. Aku masukkan sepatunya ke dalam plastik, tapi ...

“Ibu? Sepatu Andi mau dibawa kemana?” tanya Andi mengejutkanku.

Seperti maling yang kepergok, keringat dingin pun membasahi punggungku.

“Jangan dibuang, bu. Egak ada sepatu yang senyaman itu,” kata Andi sambil berkaca-kata.

“Tetapi kalau tidak dibuang, apa Andi tidak malu dengan teman-teman? Ibu saja malu kok. Ntar ibu
dibilang egak mampu membeli sepatu baru buat Andi,” kataku tegas.

“Bukan begitu, bu. Kalau memakai sepatu yang lain, kaki Andi lecet, Bu,” kata Andi mulai merengek.
Aku hanya bisa terdiam melihat Andi. Aku tahu bagaimana nyamannya memakai sepatu butut. Tidak
perlu takut pula apabila terkena air dan debu.

“Lagipula, sepatunya kan masih bisa dipakai, bu,” tangisnya makin kencang.

(resolusi)

“Baiklah. Baiklah. Sudah, jangan menangis lagi. Andi masih boleh memakai sepatu ini. Tapi dengan satu
syarat,” kataku sambil memeluknya.

“Apa, bu?” tanyanya sesenggukan.

“Nanti ibu belikan sepatu baru. Selama kaki Andi menyesuaikan dengan sepatu barunya, sepatu lamanya
boleh dipakai. Tapi jangan sering-sering ya,” kataku sambil menghapus airmatanya.

“Terima kasih, bu. Tapi Andi boleh memilih sendiri sepatunya kan, bu?” tanyanya sambil tersenyum.

“Boleh. Boleh. Tapi jangan mahal-mahal ya,” kataku sambil mengembalikan sepatu bututnya ke rak
sepatu lagi.

Anda mungkin juga menyukai