Anda di halaman 1dari 14

JANGAN PERNAH REMEHKAN ORANG LAIN

Pada suatu hari, seorang anak masuk ke dalam rumah makan yang sangat

terkenal dan mahal. Dia masuk seorang diri dan memakai pakaian biasa

saja, tidak seperti anak-anak lain yang memakai pakaian yang bagus. Anak

itu duduk di salah satu kursi lalu mengangkat tangannya untuk memanggil

salah satu pelayan.

Seorang pelayan perempuan menghampiri anak kecil itu lalu memberikan

buku menu makanan. Pelayan tersebut agak heran mengapa anak kecil itu

berani masuk ke dalam rumah makan yang mahal, padahal dari

penampilannya, pelayan itu tidak yakin bahwa sang anak kecil mampu

membayar makanan yang ada.

“Berapa harga es krim yang diberi saus strawberry dan cokelat?” tanya sang anak

kecil.

Sang pelayan menjawab, “Lima puluh ribu,”

Anak kecil itu memasukkan tangan ke dalam saku celana lalu mengambil

beberapa receh dan menghitungnya. Lalu dia kembali bertanya, “Kalau es

krim yang tidak diberi saus strawberry dan cokelat?”

Si pelayan mengerutkan kening, “Dua puluh ribu,”

Sekali lagi anak kecil itu mengambil receh dari dalam saku celananya

lalu menghitung. “Kalau aku pesan separuh es krim tanpa saus strawberry

dan cokelat berapa?”

Kesal dengan kelakuan pembeli kecil itu, pelayan menjawab dengan ketus, “Sepuluh

ribu!”

Sang anak lalu tersenyum, “Baiklah aku pesan itu saja, terima kasih!”

Pelayan itu mencatat pesanan lalu menyerahkan pada bagian dapur lalu

kembali membawa es krim pesanan. Anak itu tampak gembira dan menikmati
es krim yang hanya separuh dengan suka cita. Dia melahap es krim sampai

habis. Kemudian sang pelayan kembali datang memberikan nota pembayaran.

“Semua sepuluh ribu bukan?” tanya anak itu lalu membayar es krim

pesanannya dengan setumpuk uang receh. Wajah sang pelayan tampak masam

karena harus menghitung ulang receh-receh itu. Lalu sang anak

mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dari saku celana belakangnya,

“dan ini tips untuk Anda!” ujar sang anak sambil menyerahkan selembar

uang tersebut untuk si pelayan.

Ada kalanya kita tidak melihat apa yang melekat pada

tubuh seseorang saja sebagai penilaian. Bukan hal yang bagus untuk

meremehkan seseorang karena melihat penilaian dari luar, Anda tidak akan

pernah tahu pada beberapa waktu yang akan datang, seseorang yang Anda

remehkan bisa jadi merupakan pengantar rejeki yang tak terduga.


SEKANTONG BIBIT KACANG TANAH

Dikisahkan, ada seorang gadis muda yang bertekad membantu desa asalnya yang
miskin dan terbelakang. Dia rajin mengusahakan segala daya upaya untuk bisa
menghasilkan uang guna membeli buku dan perlengkapan sekolah anak-anak di
sana. Tetapi, sehebat apapun usahanya, terasa masih saja serba kekurangan.

Hingga suatu hari, dia mendapatkan janji bertemu dengan seorang kaya di kota,
dengan harapan si tuan kaya mau memberi sumbangan uang. Setelah bertemu, si
gadis muda menceritakan keadaan desanya dan sarana pendidikan yang jauh dari
memadai serta memohonkan bantuan untuk mereka.

Dengan nada bosan dan tidak bersahabat, tuan kaya berkomentar santai, “Gadis
muda. Kamu salah alamat. Di sini bukan badan amal yang memberi sumbangan
cuma-cuma. Kalau memang anak-anak desamu tidak bisa sekolah, ya itu nasib
mereka. Kenapa aku yang harus membantu?”

Tampak dia tidak mempercayai sedikitpun ketulusan gadis muda di hadapannya.


Dengan pandangan tidak berdaya dan putus asa, si gadis tahu, usahanya telah
gagal.

Tetapi sebelum pergi, dia mencoba berusaha yang terakhir, “Tuan, kalau boleh,
apakah saya bisa meminjam sekantong bibit unggul biji kacang yang tuan hasilkan
selama ini? Anggaplah hari ini tuan telah membantu kami dan saya berjanji tidak
akan mengganggu tuan lagi.”

Dengan heran dan karena ingin segera mengusir si gadis, tanpa banyak cakap,
segera diberinya sekantong bibit kacang tanah yang diminta. Sepulang dari sana, si
gadis memulai gerakan menanam biji kacang tanah di atas tanah penduduk miskin,
dengan tekad sebanyak satu kantong biji kacang tanah, akan menghasilkan kacang
sebanyak yang bisa tumbuh di sana.

Usahanya berhasil. Dan beberapa saat setelah panen, si gadis kembali mendatangi
si hartawan, “Tuan, saa daang kemari dengan tujuan untuk mengembalikan

sekantong biji kacang tanah yang saya pinjam waktu itu.”


Lalu si gadis menceritakan keberhasilan mereka menanam hingga memanen, dari
sekantong biji kacang menjadi sebanyak itu. Si tuan kaya terkesan dengan hasil

usaha dan ketulusan si gadis muda dan berkenan datang ke desa meninjau.

Dia sangat terkesan dan kemudian malahan menyumbangkan alat-alat pertanian,


mengajarkan cara bertani yang baik, dan membeli semua hasil panen yang
dihasilkan desa tersebut. Tiba-tiba kehidupan di desa itu berubah total. Mereka
mampu menghasilkan uang, hidup lebih sejahtera, dan mampu membangun sekolah
untuk pendidikan anak-anaknya. Sungguh perjuangan seorang gadis muda yang
membanggakan dan nyata! Tidak ada usaha yang sia-sia! Seluruh penduduk desa
selalu bersyukur dan berterima kasih atas jasa si gadis muda.

Para pembaca yang luar biasa,

Kehidupan di dunia ini sangat realistis. Saat kita dalam keadaan lemah, mundur,
gagal, banyak orang mencemooh kita. Saat kita ingin memulai usaha atau ada ide-
ide baru yang mau kita kerjakan, ada saja orang yang tidak mau membantu tetapi
meremehkan, menghina dan memandang sebelah mata. Ya, tidak usah marah,
dendam ataupun membenci. Lebih baik siapkan segalanya secara maksimal dan
perjuangkan sampai berhasil. Setelah ada bukti sukses baru orang akan percaya
dan lambat atau cepat akan memberi pengakuan pada kita.
Tapi jangan heran, saat kita sukses ada pula orang yg menunggu kapan kita jatuh.
Maka yang paling utama adalah sikap kita. Sewaktu kita gagal dan diremehkan tidak
marah. Sewaktu kita sukses, tidak lupa diri. Walaupun sukses tetap rendah hati dan
bersahaja. Dan, tetap optimis menciptakan kesuksesan yang lebih besar.
SEMANGKUK BAKSO

Dikisahkan, biasanya di hari ulang tahun Putri, ibu pasti sibuk di dapur memasak
dan menghidangkan makanan kesukaannya. Tepat saat yang ditunggu, betapa
kecewa hati si Putri, meja makan kosong, tidak tampak sedikit pun bayangan
makanan kesukaannya tersedia di sana. Putri kesal, marah, dan jengkel.

“Huh, ibu sudah tidak sayang lagi padaku. Sudah tidak ingat hari ulang tahun
anaknya sendiri, sungguh keterlaluan,” gerutunya dalam hati. “Ini semua pasti gara-
gara adinda sakit semalam sehingga ibu lupa pada ulang tahun dan makanan
kesukaanku. Dasar anak manja!”

Ditunggu sampai siang, tampaknya orang serumah tidak peduli lagi kepadanya.
Tidak ada yang memberi selamat, ciuman, atau mungkin memberi kado untuknya.

Dengan perasaan marah dan sedih, Putri pergi meninggalkan rumah begitu saja.
Perut kosong dan pikiran yang dipenuhi kejengkelan membuatnya berjalan
sembarangan. Saat melewati sebuah gerobak penjual bakso dan mencium aroma
nikmat, tiba-tiba Putri sadar, betapa lapar perutnya! Dia menatap nanar kepulan
asap di atas semangkuk bakso.

“Mau beli bakso, neng? Duduk saja di dalam,” sapa si tukang bakso.

“Mau, bang. Tapi saya tidak punya uang,” jawabnya tersipu malu.

“Bagaimana kalau hari ini abang traktir kamu? Duduklah, abang siapin mi bakso
yang super enak.”

Putri pun segera duduk di dalam.

Tiba-tiba, dia tidak kuasa menahan air matanya, “Lho, kenapa menangis, neng?”
tanya si abang.

“Saya jadi ingat ibu saya, nang. Sebenarnya… hari ini ulang tahun saya. Malah
abang, yang tidak saya kenal, yang memberi saya makan. Ibuku sendiri tidak ingat
hari ulang tahunku apalagi memberi makanan kesukaanku. Saya sedih dan kecewa,
bang.”
“Neng cantik, abang yang baru sekali aja memberi makanan bisa bikin neng terharu
sampai nangis. Lha, padahal ibu dan bapak neng, yang ngasih makan tiap hari, dari
neng bayi sampai segede ini, apa neng pernah terharu begini? Jangan ngeremehin
orangtua sendiri neng, ntar nyesel lho.”

Putri seketika tersadar, “Kenapa aku tidak pernah berpikir seperti itu?”

Setelah menghabiskan makanan dan berucap banyak terima kasih, Putri bergegas
pergi. Setiba di rumah, ibunya menyambut dengan pelukan hangat, wajah cemas
sekaligus lega,

“Putri, dari mana kamu seharian ini, ibu tidak tahu harus mencari kamu ke mana.
Putri, selamat ulang tahun ya. Ibu telah membuat semua makanan kesukaan Putri.
Putri pasti lapar kan? Ayo nikmati semua itu.”

“Ibu, maafkan Putri, Bu,” Putri pun menangis dan menyesal di pelukan ibunya. Dan
yang membuat Putri semakin menyesal, ternyata di dalam rumah hadir pula
sahabat-sahabat baik dan paman serta bibinya. Ternyata ibu Putri membuatkan
pesta kejutan untuk putri kesayangannya.

Saat kita mendapat pertolongan atau menerima pemberian sekecil apapun dari
orang lain, sering kali kita begitu senang dan selalu berterima kasih. Sayangnya,
kadang kasih dan kepedulian tanpa syarat yang diberikan oleh orangtua dan
saudara tidak tampak di mata kita. Seolah menjadi kewajiban orangtua untuk selalu
berada di posisi siap membantu, kapan pun.
Bahkan, jika hal itu tidak terpenuhi, segera kita memvonis, yang tidak sayanglah,
yang tidak mengerti anak sendirilah, atau dilanda perasaan sedih, marah, dan
kecewa yang hanya merugikan diri sendiri. Maka untuk itu, kita butuh untuk belajar
dan belajar mengendalikan diri, agar kita mampu hidup secara harmonis dengan
keluarga, orangtua, saudara, dan dengan masyarakat lainnya.
Kentang, Telur, dan Biji Kopi

Pada suatu hari, ada seorang anak perempuan yang mengeluh kepada ayahnya
bahwa hidupnya sengsara dan bahwa dia tidak tahu bagaimana dia akan berhasil.
Dia lelah berjuang dan berjuang sepanjang waktu.Tampaknya hanya salah satu dari
masalahnya yang dapat ia selesaikan, kemudian masalah yang lainnya segera
menyusul untuk dapat diselesaikan.

Ayahnya yang juga seorang koki membawanya ke dapur. Ia mengisi tiga panci
dengan air dan menaruhnya di atas api yang besar. Setelah tiga panci tersebut
mulai mendidih, ia memasukkan beberapa kentang ke dalam sebuah panci,
beberapa telur di panci kedua, dan beberapa biji kopi di panci ketiga.

Kemudian ia duduk dan membiarkan ketiga panci tersebut di atas kompor agar
mendidih, tanpa mengucapkan sepatah kata apapun kepada putrinya. Putrinya
mengeluh dan tidak sabar menunggu, bertanya-tanya apa yang telah ayahnya
lakukan.

Setelah dua puluh menit, ia mematikan kompor tersebut. Ia mengambil kentang dari
panci dan menempatkannya ke dalam mangkuk. Ia mengangkat telur dan
meletakkannya di mangkuk.

Kemudian ia menyendok kopi dan meletakkannya ke dalam cangkir. Lalu ia beralih


menatap putrinya dan bertanya, “Nak, apa yang kamu lihat?”

“Kentang, telur, dan kopi,” putrinya buru-buru menjawabnya.

“Lihatlah lebih dekat, dan sentuh kentang ini”, kata sang ayah. Putrinya melakukan
apa yang diminta oleh ayahnya dan mencatat di dalam otaknya bahwa kentang itu
lembut. Kemudian sang ayah memintanya untuk mengambil telur dan
memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapatkan sebuah telur rebus.
Akhirnya, sang ayah memintanya untuk mencicipi kopi. Aroma kopi yang kaya
membuatnya tersenyum.

“Ayah, apa artinya semua ini?” Tanyanya.

Kemudian sang ayah menjelaskan bahwa kentang, telur dan biji kopi masing-masing
telah menghadapi kesulitan yang sama, yaitu air mendidih.
Namun, masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda.

Kentang itu kuat dan keras. Namun ketika dimasukkan ke dalam air mendidih,
ketang tersebut menjadi lunak dan lemah.

Telur yang rapuh, dengan kulit luar tipis melindungi bagian dalam telur yang cair
sampai dimasukkan ke dalam air mendidih. Sampai akhirnya bagian dalam telur
menjadi keras.

Namun, biji kopi tanah yang paling unik. Setelah biji kopi terkena air mendidih, biji
kopi mengubah air dan menciptakan sesuatu yang baru.

“Kamu termasuk yang mana, nak?” tanya sang ayah kepada putrinya.

“Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana caramu dalam menghadapinya?


Apakah kamu adalah sebuah kentang, telur, atau biji kopi?”
Pesan Moral : Dalam hidup ini, Banyak sesuatu yang terjadi di sekitar kita. Banyak
hal-hal yang terjadi pada kita. Tetapi satu-satunya hal yang benar-benar penting
adalah apa yang terjadi di dalam diri kita.
Tukang Kayu

Alkisah, seorang Tukang Kayu yang merasa sudah tua dan berniat untuk pensiun
dari profesinya sebagai Tukang Kayu yang sudah ia jalani selama puluhan tahun. Ia
ingin menikmati masa tuanya bersama istri serta anak cucunya. Sebelum
memutuskan untuk berhenti bekerja, ia sebelumnya menyadari bahwa ia akan
kehilangan penghasilan rutin yang setiap bulan ia terima. Bagaimana pun itu, ia lebih
merasakan dan mementingkan tubuhnya yang sudah termakan usia karena ia
merasa tidak dapat lagi melakukan aktivitas seperti tahun-tahun sebelumnya.

Suatu hari, kemudian ia mengatakan rencana ingin pensiun kepada mandornya.


“Saya mohon maaf Pak, tubuh saya rasanya sudah tidak seperti dulu, saya sudah
tidak kuat lagi untuk menopang beban-beban berat di pundak saya saat bekerja..”.

Setelah sang mandor mendengar niat Tukang Kayu tersebut, ia merasa sedih.
Karena sang mandor akan kehilangan salah satu Tukang Kayu terbaiknya, ahli
bangunan handal yang dimiliki dalam timnya. Namun apalah daya, mandor tidak
dapat memaksa untuk mengurungkan niat si Tukang Kayu untuk berhenti bekerja.

Terlintas dalam fikiran sang mandor, untuk meminta permintaan terakhir sebelum
dirinya pensiun. Sang mandor memintanya untuk sekali lagi membangun sebuah
rumah untuk yang terakhir kalinya. Untuk sebuah proyek dimana sebelum Tukang
Kayu tersebut berhenti bekerja.

Akhirnya, dengan berat hati Tukang Kayu menyanggupi permintaan mandornya


meskipun ia merasa kesal karena jelas-jelas dirinya sudah bicarakan akan segera
pensiun.

Di balik pengerjaan proyek terakhirnya, ia berkata dalam hati bahwa dirinya tidak
akan mengerjakannya dengan segenap hati. Sang mandor hanya tersenyum dan
mengatakan pada Tukang Kayu pada hari pertama ketika proyeknya dikerjakan,
“Seperti biasa, aku sangat percaya denganmu. Jadi, kerjakanlah dengan yang
terbaik. Seperti saat-saat kemarin kau bekerja denganku. Bahkan, dalam proyek
terakhir ini kamu bebas membangun dengan semua bahan-bahan yang terbaik yang
ada”.

Tukang Kayu itupun akhirnya memulai pekerjaan terakhirnya dengan malas-


malasan. Bahkan dengan asal-asalan ia membuat rangka bangunan. Ia malas
mencari, maka ia menggunakan bahan-bahan bangunan berkualitas rendah. Sangat
disayangkan, karena ia memilih cara yang buruk untuk mengakhiri karirnya.

Hari demi hari berlalu, dan akhirnya, rumah itupun selesai. Ditemani Tukang Kayu
tersebut, sang mandor datang memeriksa. Ketika sang mandor memegang gagang
daun pintu depan hendak membuka pintu, ia lalu berbalik dan berkata, “Ini adalah
rumahmu, hadiah dariku untukmu”.

Betapa kagetnya si Tukang Kayu. Ia sangat menyesal. Kalau saja sejak awal ia tahu
bahwa ia sedang membangun rumahnya, ia akan mengerjakannya dengan
sungguh-sungguh. Akibatnya, sekarang ia harus tinggal di sebuah rumah yang ia
bangun dengan asal-asalan.
Hidup adalah proyek yang kau kerjakan sendiri.
Belajar Dari Sebuah Kepompong

Hidup memanglah penuh dengan perjuangan. Jika anda ingin berhasil dan menjadi
manusia sukses maka anda pun harus melalui sebuah proses yang terkadang
menyakitkan jika dirasakan. Janganlah menjadi seperti anak manja yang selalu ingin
dibantu dan dilayani oleh orang tua kita. Karena hal itu sangatlah tidak baik untuk
membentuk karakter dan jiwa kita dalam menghadapi kerasnya kehidupan ini. Pada
artikel ini saya akan mencoba menceritakan ulang tentang sebuah kisah yang
sungguh sangat inspiratif untuk kita renungkan. Cerita ini berasal dari buku yang
sangat menarik dan sudah lama saya beli, tetapi baru sempat saya baca beberapa
waktu yang lalu, buku tersebut berjudul,”setengah isi setengah kosong” karya
parlindungan marpaung.

Berikut adalah kutipannya :

Seorang anak sedang bermain dan menemukan kepompong kupu-kupu di sebuah


dahan yang rendah. Diambilnya kepompong tersebut dan tampak ada lubang kecil
disana.

Anak itu tertegun mengamati lubang kecil tersebut karena terlihat ada seekor kupu-
kupu yang sedang berjuang untuk keluar membebaskan diri melalui lubang tersebut.
Lalu tampaklah kupu-kupu itu berhenti mencoba, dia kelihatan sudah berusaha
semampunya dan nampaknya sia-sia untuk keluar melalui lubang kecil di ujung
kempompongnya.

Melihat fenomena itu, si anak menjadi iba dan mengambil keputusan untuk
membantu si kupu-kupu keluar dari kepompongnya. Dia pun mengambil gunting lalu
mulai membuka badan kepompong dengan guntingnya agar kupu-kupu bisa keluar
dan terbang dengan leluasa.

Begitu kepompong terbuka, kupu-kupu pun keluar dengan mudahnya. Akan tetapi, ia
masih memiliki tubuh gembung dan kecil. Sayap-sayapnya nampak masih berkerut.
Anak itu pun mulai mengamatinya lagi dengan seksama sambil berharap agar sayap
kupu-kupu tersebut berkembang sehingga bisa membawa si kupu-kupu mungil
terbang menuju bunga-bunga yang ada di taman.

Harapan tinggal harapan, apa yang ditunggu-tunggu si anak tidak kunjung tiba.
Kupu-kupu tersebut terpaksa menghabiskan sisa hidupnya dengan merangkak di
sekitarnya dengan tubuh gembung dan sayap yang masih berkerut serta tidak
berkembang dengan sempurna. Kupu-kupu itu akhirnya tidak mampu terbang
seumur hidupnya.

Si anak rupanya tidak mengerti bahwa kupu-kupu perlu berjuang dengan usahanya
sendiri untuk membebaskan diri dari kepompongnya. Lubang kecil yang perlu dilalui
akan memaksa cairan dari tubuh kupu-kupu masuk ke dalam sayap-sayapnya
sehingga dia akan siap terbang dan memperoleh kebebasan.
BATU, KERIKIL, DAN PASIR

Pada awal kelas filsafat di sebuah universitas, profesor berdiri dengan beberapa item yang
terlihat berbahaya di mejanya. Yaitu sebuah toples mayonaisse kosong, beberapa batu,
beberapa kerikil, dan pasir. Mahasiswa memandang benda-benda tersebut dengan penasaran.
Mereka bertanya-tanya, apa yang ingin profesor itu lakukan dan mencoba untuk menebak
demonstrasi apa yang akan terjadi.

Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, profesor mulai meletakkan batu-batu kecil ke
dalam toples mayonaisse satu per satu. Para siswa pun bingung, namun profesor tidak
memberikan penjelasan terlebih dahulu. Setelah batu-batu itu sampai ke leher tabung,
profesor berbicara untuk pertama kalinya hari itu. Dia bertanya kepada siswa apakah mereka
pikir toples itu sudah penuh. Para siswa sepakat bahwa toples tersebut sudah penuh.

Profesor itu lalu mengambil kerikil di atas meja dan perlahan menuangkan kerikil tersebut ke
dalam toples. Kerikil kecil tersebut menemukan celah di antara batu-batu besar. Profesor itu
kemudian mengguncang ringan toples tersebut untuk memungkinkan kerikil menetap pada
celah yang terdapat di dalam stoples. Ia kemudian kembali bertanya kepada siswa apakah
toples itu sudah penuh, dan mahasiswa kembali sepakat bahwa toples tersebut sudah penuh.

Para siswa sekarang tahu apa yang akan profesor lakukan selanjutnya, tapi mereka masih
tidak mengerti mengapa profesor melakukannya. Profesor itu mengambil pasir dan
menuangkannya ke dalam toples mayones. Pasir, seperti yang diharapkan, mengisi setiap
ruang yang tersisa dalam stoples. Profesor untuk terakhir kalinya bertanya pada murid-
muridnya, apakah toples itu sudah penuh, dan jawabannya adalah sekali lagi : YA.

Profesor itu kemudian menjelaskan bahwa toples mayones adalah analogi untuk
kehidupan. Dia menyamakan batu dengan hal yang paling penting dalam hidup, yaitu :
Kesehatan, pasangan anda, anak-anak anda, dan semua hal yang membuat hidup yang
lengkap.
Dia kemudian membandingkan kerikil untuk hal-hal yang membuat hidup anda nyaman
seperti pekerjaan anda, rumah anda, dan mobil anda. Akhirnya, ia menjelaskan pasir adalah
hal-hal kecil yang tidak terlalu penting di dalam hidup anda.

Profesor menjelaskan, menempatkan pasir terlebih dahulu di toples akan menyebabkan tidak
ada ruang untuk batu atau kerikil. Demikian pula, mengacaukan hidup anda dengan hal-hal
kecil akan menyebabkan anda tidak memiliki ruang untuk hal-hal besar yang benar-benar
berharga.

Anda mungkin juga menyukai