Anda di halaman 1dari 22

METODOLOGI ANALISIS KONTRASTIF (ANAKON) PEDAGOGIS ANALISIS

KONTRASTIF

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah :

Analisis Kesalahan Berbahasa

Dosen Pengampu

Jatut Yoga Prameswari, M.Pd.

Disusun Oleh :

Salman Imaduddin/201621500321

Anifa Novitasari/201621500328

Camilla Amalia C./201621500403

Siti Rahmawati/201621500362

Tya Setiawati/201621500

PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada beginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas mata kuliah Analisis Kesalahan Berbahasa dengan judul
Metodologi Analisis Kontrastif (ANAKON) Pedagogis Analisis Kontrastif

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi.Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen
pengampu mata kuliah Analisis Kesalahan Berbahasa : ibu Jatut Yoga Prameswari, M.Pd. yang
telah membimbing dalam menulis makalah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat.Terima kasih.

Jakarta, 9 Oktober 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagi seseorang yang mempelajari linguistic akan menemukan istilah


“dwibahasawan”, dwibahasawan merupakan seseorang yang mampu berbicara dua
bahasa, hamper semua manusia memiliki kemampuan tersebut. Bahasa yang pertama
kali digunakan dan dikuasai ialah bahasa ibu atau diistilahkan dengan B1, bahasa ini
merupakan bahasa yang digunakan oleh seseorang dalam lingkungan sosialnya.
Kemudian ketika seseorang berinteraksi dengan dunia luar atau dengan masyarakat
luas tidak menutup kemungkingan ia akan mempelajari bahasa kedua (B2).
Diantara factor yang menjadi kurang berhasilnya pengajaran bahasa asing atau
atau bahasa kedua (B2) adalah adanya interferensi bahasa ibu (B1) terhadap bahasa
asing (B2) yang sedang dipelajari.Kebiasaan berbahasa ibu sebagai bahasa pertama
dapat memengaruhi peroses belajar mengajar bahasa asing sebagai bahasa kedua.
Pengetahuan bahasa pertama yang telah dimiliki oleh seseorang yang sedang
mempelajari bahasa asing akan ditransfer kepada bahasa yang sedang dipelajarinya.
Semua gejala yang mirip baik dalam bentuk, arti maupun distribusinya diduga
akan mempercepat proses belajar, sedangkan gejala bahasa yang berbeda diduga akan
dapat menghambat proses belajar bahasa asing.
Untuk menemukan dan menggambarkan problem yang dihadapi oleh para
pembelajar bahasa asing dapat diadakan perbandingan diantara kedua bahasa itu,
sehingga dapat membuat suatu diagnosis (ramalan) terhadap kemungkingan
kesukaran para pembelajaran secara tepat kemudian dapat menerka dan
menggambarkan pola-pola yang akan menyebabkan kesukaran.
Mengingat akan pentingnya akan peranan analisis kontrantif bagi pengajar bahasa
asing tentunya pemahaman terhadap analisis kontrastif akan sangat dibutuhkan.
Pemahaman tersebut dapat dilakukan dengan cara mendalam apabila diadakan
pengkajian secara menyeluruh terhadap berbagai segi analisi konstrantif. Untuk
kepentingan tersebut, dibutuhkanlah metode atau langkah-langkah yang perlu
diupayakan oleh para pengajar bahasa asing.Sehingga dalam makalah ini, kami
mencoba pemaparkan hal tersebut dengan judul “Metodologi Analisi Kontransif
(anakon) Padagogis Analisis Kontransif).

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis menuliskan rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan metodologi analisis kontranstif?
2.
3.

C. TUJUAN PENULISAN
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun dengan tujuan sebagai
berikut :
1. Mengetahui pengertian metodologi analisis kontransif.
2.
3.

D. KEGUNAAN MAKALAH
Makalah ini disusun dengan harapan agar dapat memberikan kegunaan baik secara
teoretik maupun praktik.Secara teoretik, makalah ini berguna sebagai pengetahuan
mengenai metodologi analisis kontranstif. Secara praktis, makalah ini diharapkan
bermanfaat bagi :
1. Penulis, sebagai wahana pengembangan ilmu pengetahuan dan konsep keilmuan
serta pemahaman khususnya mengenai metode dan langkah-langkah analisi
kontransif beserta aplikasinya.
2. Pembaca atau guru, sebagai media informasi dan pengetahuan mengenai metode
dan langkah-langkah analisis kontransif, baik secara teoretik maupun praktik
BAB II

PEMBAHASAN

A. Metodologi analisis kontrastif


1. Pengertian Analisis Kontrastif
Secara etimologis, analisis kontrastif berasal dari kata analisis dan
kontrastif. Analisis berarti penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk
mengetahui keadaan yang sebenarnya, misal sebab-musababnya (KBBI, 1989:32).
Adapun kontrastif merupakan ajektiva yang bermakna memperlihatkan perbedaan
yang nyata apabila diperbandingkan (KBBI, 1989:458-459).
Analisis kontrastif merupakan sebuah pendekatan pembelajaran bahasa
untuk membantu guru bahasa memperbaiki kesalahan berbahasa siswa sehingga
siswa menguasai bahasa yang dipelajarinya. Analisis kontrastif berdasarkan
rasionalisasi: (1) pengalaman praktis guru bahasa asing, (2) kajian kontak bahasa
dalam situasi kedwibahasaan, dan (3) teori belajar bahasa. Pengalaman guru
bahasa asing membuktikan bahwa siswa yang sedang belajar BA ternyata sering
melakukan kesalahan yang ternyata jika ditelusuri kesalahan tersebut bersumber
dari B1 mereka. Kemudian, dwibahasawan/multibahasawan, yakni orang yang
menguasai dua bahasa atau lebih pasti melakukan kontak bahasa antara B1, B2,
dan bahasa-bahasa lain yang dikuasainya saat berbahasa. Selanjutnya,
perkembangan teori belajar bahasa ditandai dengan adanya teori belajar
behavioris yang merupakan dasar analisis konstrastif dan teori pemerolehan
bahasa kedua atau bahasa asing. Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa analisis kontrastif adalah pendekatan dalam pengajaran bahasa yang
menggunakan teknik perbandingan antara B1 dan B2 atau bahasa yang sedang
dipelajari sehingga guru dapat meramalkan kesalahan siswa dan siswa segera
menguasai bahasa yang sedang dipelajarinya (Pateda, 1989:18).
Analisis kontrastif adalah pendekatan dalam pembelajaran bahasa yang
menggunakan teknik perbandingan antara bahasa pertama/ibu, atau bahasa yang
lebih dahulu dikuasai peserta didik dengan bahasa kedua/bahasa asing, atau
bahasa yang sering dipelajari siswa sehingga guru dapat meramalkan dan
menyadarkan kesalahan yang dialami peserta didik dan peserta didik dapat segera
menguasai bahasa yang sedang dipelajarinya (Pateda, 1989:17). Menurut Lado
(1975), analisis kontrastif adalah cara untuk mendeskripsikan kesulitan atau
kemudahan pembelajar bahasa dalam belajar bahasa kedua dan bahasa asing.
Pengertian ini sedikit berbeda dengan pengertian analisis kontrastif dalam
perspektif linguistik. Dalam perspektif linguistik analisis kontrastif merupakan
metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan
perbedaan antara bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara
bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dapat diterapkan
dalam masalah praktis, seperti pengajaran bahasa dan penerjemahan
(Kridalaksana, 1993:13). Bedanya, pengertian analisis kontrastif yang
dikemukakan oleh pateda itu sebagai pendekatan dalam pembelajaran bahasa,
sedangkan yang dinyatakan oleh Kridalaksana sebagai metode linguistik
sinkronis. Walaupun terdapat perbedaan mengenai pengertian analisis kontrastif
tersebut, pada dasarnya tujuan analisis konstrastif itu sama, yakni untuk
menemukan persamaan dan perbedaan antara bahasa satu dengan bahasa lain dan
temuan itu di antaranya dipakai untuk pembelajaran bahasa.
Sebuah nama yang tidak boleh dilupakan dalam membicarakan analisis
kontrastif adalam nama Robert Lado yang pada tahun 1957 menyatakan
pandangannya dalam buku yang berjudul Linguistik Across Cultures. Subjudul
buku itu adalah Linguistik Terapan untuk Guru Bahasa. Melalui terjemah
Soenyono Dardjawidjodo menyatakan bahwa:
a. Bahan-bahan yang paling efektif haruslah didasari pada suatu deskripsi
ilmiah bahasa yang akan dipelajari, kemudian dibandingkan dengan
bahasa ibu peserta didik;
b. Perbandingan antara bahasa ibu dengan bahasa yang akan dipelajari
peserta didik merupakan kuncian efektif tidaknya pengajaran bahasa yang
bersangkutan.
c. Distorsi yang dibuat oleh dwibahasawan berhubungan erat dengan
perbedan antara bahasa yang dipelajari dengan bahasa ibu;
d. Kemajuan pesat akan tercapai apabila pendekatan analisis kontrastif
digunakan sebagai pendekatan dalam pembelajaran bahasa; dan
e. Landasan pokok analisis kontrastif adalah bahan-bahan pengajaran yang
efektif (butir 1) ditambah penyelidikan kedwibahasaan dan testing bahasa
(patea, 1989:18)
Perbandingan bahasa atau analisis kontrastif perlu dilakukan karena
bahasa merupakan media kebudayaan (Broto, dalam Pateda,1989:19) dengan
membandingkan budaya peserta didik dengan budaya asing yang bahasanya
dipelajari akan diperoleh gambaran kesalahan berbahasa yang sering dilakukan
siswa. Bradja (dalam Pateda, 1989:19) berpendapat sekurang-kurangnya terdapat
dua hal yang dimaksud adalah:
a. Majunya ilmu pengetahuan bahasa deskriptif-sinkronik, termasuk
kemajuan penyelidikan-penyelidikan kedwibahasaan.
b. Majunya kajian-kajian mengenai teori pemindahan belajar (transfer of
learning)
Ruang lingkup analisis kontrastif adalah membandingkan antara bahasa
ibu atau bahasa yang lebih dahulu dikuasai peserta didik dengan bahasa yang
dipelajari. Ruang lingkup ini adalah ruang lingkup analisis kontrastif dalam
perspektif pendekatan pembelajaran bahasa. Dalam perspektif metode analisis
dalam linguistic sinkronis ruang lingkup itu dapat bahasa/dialek lain. Ruang
lingkup dalam perspektif yang manapun perbandingan itu meliputi bidang
fonologi, morfologi, dan sintaksis.Perbandingan dalam bidang fonologi meliputi
perbandingan sistem fonologi, misalnya perbandingan jumlah fonem bahasa ibu
dengan bhasa yang dipelajari, jenis fonem bahasa ibu dengan bahasa yang
dipelajari. Misalnya, macam-macam morfem kedua bahasa yang
diperbandingkan, proses morfologis yang ada pada kedua bahasa tersebut,
perubahan-perubahan yang terjadi dalam suatu morfem bertemu dengan morfem
lain. Adapun perbandingan stuktur kalimat, Janis kalimat, kaidah-kaidah yang
berlaku dalam bidang sintaksis kedua bahasa, dan lain-lain.
Anakon memiliki dua aspek, yakni aspek linguistik dan aspek psikologis.
Aspek linguistik berjaitan dengan masalah perbandingan dua bahasa. Dalam hal
ini tersirat dua hal penting; apa yang akan diperbandingkan, dan bagaimana cara
memperbandingkannya. Aspek psikologis anakon menyangkut kesukaran belajar,
cara menyusun bahan pengajaran dan cara menyampaikan bahan pelajaran. Bila
kita ingin mengetahuiperbedaan antara dua bahasa, maka satu syarat yang harus
dipenuhi; tersedianya deskripsi kedua bahasa tersebut. Deskripsi tersebut
diperoleh melalui perbandingan yang akurat dan ekplisit. Ada beberapa pakar
linguistik Inggris menganjurkan berbagai pendekatan ada yang berasumsi
menggunakan pendekatan “Polisistemik” ada juga berpendapat bahwa pendekatan
tersebut tidak sesuai bagi perbandingan sintaksis, karena yang di bahas misalnya
hanyalah sistem fonologi atau sistem morfologi saja, dan lain sebagainya.
Sebenarnya apa yang di bicarakan di atas berkaitan dengan masalah
penyeleksian secara umum. Masalah yang lebih pelik dan kritis adalah
“comprability” atau “keterbandingan”. Di sini tersirat penyusunan atau
pembentukan apa yang harus didekatkan untuk diperbandingkan. Walaupun
berbagai aspek Anakon telah diteliti secara mendalam, namun masalah yang
merupakan masalah inti Anakon ini belum terpecahkan secara memuaskan.
Masalah keterbandingan ini dapat dipandang dari tiga segi, yakni:
a. Kesamaan struktur
b. Kesamaan terjemahan
c. Kesamaan strukter dan kesamaan

Dalam perspektif pendekatan pembelajaran bahasa, analisis kontrastif


bertujuan membandingkan antara bahasa ibu dengan bahasa yang dikuasai peserta
didik.Perbandingan itu terutama bertujuan untuk menentukan adanya perbedaan
antara bahasa ibu dengan bahasa yang dipelajari peserta didik. Kasil perbandingan
itu akan membantu guru dalam meramalkan kesalahan, dan setelah itu, guru dapat
menolong peserta didik untuk menguasai bahasa yang sedang dipelajarinya.
Objek analisis kontrastif menurut Pateda (1989:20) adalah bahasa.Karena
analisis kontrastif adalah bagian dari linguistik terapan, objek analisis adalah
bahasa. Namun hasil penyelidikan analisis kontrastif dipakai untuk pembelajaran
bahasa.

B. Tujuan dan Prosedur Analisis Kontrastif


1. Tujuan Analisis Kontrastif
Suatu kegiatan ilmiah pasti memiliki tujuan. Demikian halnya, analisis
kontrastif. Analisis konstrastif bertujuan untuk mengadakan perbandingan antara
bahasa yang dipelajari dengan bahasa ibu. (Pateda 1989:20) menyatakan bahwa
tujuan analisis kontrastif adalah:
a. Menganalisis perbedaan (dan mestinya juga persamaan) antara bahasa ibu
dengan bahasa yang dipelajari agar pembelajaran bahasa berhasil dengan
baik;
b. Menganalisis perbedaan bahasa ibu dengan bahasa yang pertama kali
dilakukan dan menunjukkan kepada peserta didik, peserta didik itu dapat
mengurangi kesalahannya. Dengan demikian, analisis ini data membantu
peserta didik untuk menyadari kesalahan yang dilakukan pada giiran
peserta didik dapat menguasai bahasa yang dipelajarinya.
c. Hasil analisis kesalahan berbahasa tersebut digunakan untuk menuntaskan
keterampilan berbahasa siswa
d. Membantu siswa menyadari kesalahan berbahasa yang dilakukannya
sehingga mereka mampu belajar dalam waktu yang relatif tidak lama
(Pateda, 1989:20).
2. Prosedur Analisis Konstrastif
Dalam melakukan analisis kontrastif guru harus mengikuti prosedur yang
ada. Prosedur analisis kontrastif menurut Whitman (dalam Pateda, 1989:21)
meliputi empat kegiatan, yakni deskkripsi, seleksi, mengkontraskan dan
menentukan kesalahan. Keempat kegiatan yang tersebut dijelaskan di bawah ini:
a. Deskripsi adalah kegiatan yang pertama kali dilakukan. Deskripsi yang
dimaksud adalah deskripsi system bahasa ibu dan system bahasa yang
dipelajari peserta didik. Kegiatan deskripsi ini sering kali tidak dilakukan
oleh guru bahasa sendiri, tetapi dilakukan oleh para linguis
deskriptif/sinkronis. Karena itu, jika semua harus dilakukan oleh guru
memanfaatkan hasil para linguis deskriptif yang sudah ada. Tentu saja jika
sudah ada deskripsi sistem bahasa ibu dan system bahasa yang dipelajari
peserta didik. Jika salah satu atau keduanya, mau tidak mau guru harus
mendeskripsikan system masing-masing bahasa itu.
b. Seleksi artinya kegiatan memilih-milih atau menentukan unsur-unsur
kebahasaan yang dipredeksi berbeda. Unsur-unsur yang diseleksi meliputi
bidang fonologi,morfologi, dan sintaksis. Pada kegiatan ini guru
mengelompokkan unsur-unsur kebahasan yang diprediksi sama dan unsur
kebahasan yang diprediksi berbeda.
c. Mengontraskan unsur-unsur yang diprediksi berbeda. Tujuan kegaiatan
mengkontraskan ini adalah untuk memastikan bahwa unsur-unsur yang
diprediksi berbeda itu betul-betul sama. Setelah menemukan unsur-unsur
yang berbeda, selanjutnya diambilnya sebagai bahan untuk menentukan
kesalahan yang akan dialami peserta didik.
d. Menentukkan kesalahan adalah kegiatan analisis kontrastif yang terakhir.
Berdasarkan perbeaan yang dikemukakan pada (3) guru menentukkan
bagian-bagian yang diduga akan menimbulkan kesalahan pada peserta
didik. Bidang-bidang linguistic yang paling banyak perbedaan itu biasanya
merupakan bidang yang paling tinggi frekuensi kesalhaan yang akan
dilakukan oleh siswa. Bidang-bidang yang menunjukkan perbedaan yang
tidak begitu banyak, tidak akan menyebabkan terjadinya kesalahan pada
siswa.
Dari hasil analisis itu akan didapat adanya perbedaan. Selain dipakai
sebagai dasar untuk meramalkan kesalahan yang akan dilakukan peserta didik,
perbedaan itu juga dapat dipakai untuk menentukan hierarki kesulitan.
Mengenai hierarki kesulitan itu, Pateda (1989:22) mengutip pendapat
Stock Well, Bowe, dan Martin yang menyatakan bahwa hierarki kesulitan itu ada
enam.Berikut ini keenam kesulitan yang dimaksud.
a. Kesulitan tingkan nol
Kesulitan tingkat nol juga disebut kesulitan tingkan zero, tingkat
pemindahan atau transfer. Dikatakan tingkat nol karena hampir tidak ada
kesulitan yang dialami peserta didik. Hal ini disebabkan tidak adaa
perbedaan antara bahasa ibu dengan bahasa yang dipelajari peserta didik.
Peserta didik tinggal memindahkan bunyi, pola-pola, atau kaidah-kaidah
yang ada pada bahasa ibu kedalam bahasa yang dipelajari.

b. Kesulitan tingkat pertama


Kesulitan tingkat pertama disebut juga tingkat penyatuan atau coalescenc.
Pada tingkat ini kesulitan ditandai adanya beberapa unsur menyatu
menjadi satu unsur dalam bahasa yang dipelajari karena dalam bahasa itu
beberapa unsur itu tidak ada.Misalnya, peserta didik yang berbahasa ibu
bahasa Jepang sedang mempelajari bahasa Inggris. Mereka mengucapkan
fonem/ l/ dan /r/ dengan ucapan /r/ saja.Karena pada bahasa Jepang tidak
ada /l/ sebaliknya, orang gorontalo yang sudah berusia lanjut
mengucapkan /l/ untuk fonem /r/ dan /l/.

c. Kesulitan tingkat kedua


Sebutan lain tingkat kesulitan ini adalah tingkat perbedaan kurang
atau underthedefferentation. Kesulitan tingkat ini ditengarai oleh
fenomena adanya satu unsur dalam bahasa ibu yang tidak ada bahasa yang
dipelajari. Misalnya, peserta didik yang berlatar belakang bahasa ibu
bahasa Jawa ketika mempelajari bahasa Indonesia mengucapkan kata
Bandung, Dayak, Garut dengan ucapan Mbandung, Ndayak, Enggarut.
Jadi, ada N dan M didepan kata-kata tersebut.Padahal N dan M itu tidak
ada dalam ejaan bahasa Indonesia.

d. Kesulitan tingkat ketiga


Kesulitan ini juga disebut tingkat kaji ulang atau reinterpretation.
Kesulitan renterpretasi terjadi ketika ada satu unsur dalam satu bahasa
yang sedang dipelajari dirasakan sebagai renterpretasi terhadap bahasa
ibu.Kasus ini dapat diberi contoh sebagai berikut. Dalam bahasa Inggris to
be (is,am,are) wajib hadir dalam suatu kalimat atau klausa. Misalnya,
dalam kalimat he is a student. Dalam bahasa Indonesia is sering
diterjemahkan menjadi adalah. Namun, kata adalah dalam bahasa
Indonesia tidak wajib hadir, seperti Dia mahasiswa. Karena kata adalah
dalam bahasa Indonesia tidak wajib hadir peserta didik menginterpretasi
unsur is juga tidak wajib hadir. Dengan demikian, peserta didik tadi
mengucapkan kalimat bahasa Inggris, he a student.
e. Kesulitan tingkat keempat
Kesulitan tingkat keempat juga dinamakan tingkat perbedaan lebih
atau overdifferentation. Kesulitan pada tingkat ini ditandai oleh adanya
suatu unsur dalam bahasa yang dipelajari yang berbeda sama sekali
dengan unsur yang terdapat pada bahasa ibu. Contoh kesulitan seperti ini
adalah kesulitan yang dialami peserta didik yang berlatar belakang dalam
bahasa Jawa mempelajari bahasa Inggris. Mereka mengucapkan kata:
/bridge/, /thin/, /measure/, dengan ucapan /brij/, /tin/, dan /misur/. Ucapan
itu terjadi karena dalam bahasa Jawa tidak terdapat fonem /d/,/h/,dan /ea/.

f. Kesulitan tingkat kelima


Pemisahan atau split adalah sebutan lain untuk tingkat kesulitan
kelima ini. Kasus peserta didik yang berlatar belakang bahasa Jawa atau
bahasa Indonesia yang tidak fasih mengucapkan kata-kata bahasa Arab
yang menggunakan fonem desis :sin, syin, tsa, shad adalah contoh yang
dialami peserta didik karena kesulitan tingkat kelima ini. Dalam bahasa
Jawa atau bahasa Indonesia hanya terdapat fonem desis /s/ dan /sy/ untuk
kata-kata yang diserap dari bahasa Arab. Kedua fonem itu memisah ke
dalam empat fonem desis dalam bahasa Arab. Jadi, kesulitan tingkat
kelima ini ditengarai oleh adanya satu unsur dalam bahasa ibu yang
memisah menjadi beberapa fonem pada bahasa yang dipelajari.

C. Hipotesis yang Mendasari Analisis Kontrastif


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:310), hipotesis adalah sesuatu
yang dianggap benar untuk alasan atau pengutaraan pendapat, meskipun kebenarannya
masih harus dibuktikan; anggapan dasar. Nah, bagaimanakah hipotesis analisis kontrastif
dan berapa macam hipotesis tersebut. Hipotesis Analisis Kontrastif Pendekatan analisis
kontrastif mempunyai hipotesis yang berbunyi bahwa kesalahan bahasa yang dilakukan
siswa saat mempelajari B2/BA disebabkan oleh interferensi sistem bahasa pertama ke
dalam bahasa yang sedang dipelajari siswa (Pateda, 1989:23). Perhatikan contoh berikut
ini!
1) Aku lungguh ning ngarep dhewe. (bahasa Jawa)
2) Aku duduk di depan sendiri. (bahasa Indonesia)
Kalimat (2) tersebut diucapkan oleh siswa Indonesia dengan latar belakang B1 bahasa
Jawa, yang sedang belajar bahasa Indonesia. Mengapa muncul kalimat seperti itu?
Jawabannya adalah karena siswa tersebut mentransfer pengetahuannya tentang B1
sewaktu membentuk kalimat dalam bahasa Indonesia. Pertanyaan berikutnya adalah apa
yang ditransfer? Perhatikan lungguh ning ngarep dhewe dan duduk di depan sendiri.
Dalam bahasa Jawa, lungguh ning ngarep dhewe merupakan kelompok kata yang dari
segi makna benar dan berterima. Namun, jika kata sendiri bermakna tidak ada orang lain;
seorang diri, tentulah hal itu tidak benar. Pertanyaannya adalah benarkah saat itu dia
duduk sendiri tanpa ada orang lain di sekitarnya? Tentunya kita akan tahu jawaban yang
pasti jika kita ketahui konteks kalimatnya. Kemudian, menurut Anda apakah yang
dimaksud oleh pembicara/penulis dengan “di depan sendiri”? Jika Anda menjawab yang
dimaksud pembicara/penulis adalah duduk di bangku paling depan, benar jawaban Anda.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa siswa yang sedang berbahasa Indonesia tersebut
mengusung sistem B1-nya ke dalam sistem B2.
Analisis kontrastif membagi hipotesisnya menjadi dua, yakni hipotesis versi kuat
(the strong contrastive analysis hypothesis) dan hipotesis versi lemah (the weak
contrastive-analysis hypothesis) (Wardhaugh, 1974:176). Penganut hipotesis kuat
berpendapat bahwa kesulitan belajar B2/BA akan muncul bila terdapat perbedaan yang
sangat mencolok antara B2 yang dipelajari dan B1 yang telah dikuasai siswa. Sebaliknya,
penganut hipotesis lemah berpendapat bahwa B1 bukan merupakan satu-satunya
penyebab kesulitan siswa dalam belajar B2/BA. Menurut kelompok ini, ada penyebab
lain kesalahan bahasa yang dialami oleh siswa, misalnya guru yang mengajar, metode
yang digunakan, lingkungan yang kurang mendukung. Penulis punya pengalaman
sewaktu belajar di tingkat SMA untuk mata pelajaran Bahasa Inggris. Pemahaman dan
penguasaan penulis maupun teman-teman sekelas terhadap bahasa Inggris sangat rendah.
Hampir sebagian besar siswa tidak mengerti apa-apa tentang bahasa Inggris. Anda ingin
tahu mengapa? Penyebabnya adalah (1) guru yang mengajarkan bukanlah guru yang
berkompetensi dalam bahasa Inggris, melainkan guru mata pelajaran Sejarah/IPS; (2)
guru yang bersangkutan sering tidak hadir untuk mengajar. Dengan demikian, siswa
jarang sekali diajar dan dibelajarkan. Ini merupakan bukti bahwa kesulitan belajar bahasa
kedua/bahasa asing bukan hanya disebabkan oleh perbedaan sistem dalam kedua bahasa,
melainkan bisa disebabkan oleh hal-hal lain. Berbagilah pengalaman dengan teman-
teman Anda tentang kesulitan yang Anda hadapi saat belajar bahasa Indonesia, bahasa
Inggris, atau bahasa asing lainnya, apakah di tingkat SD, SMP, SMA, atau saat berkuliah!
Dengan cara demikian, Anda akan memperoleh peneguhan bahwa kesalahan berbahasa
yang dialami dan dilakukan oleh siswa bukan hanya disebabkan oleh perbedaan yang
sangat mencolok antara sistem dalam B2 dan B1. Dengan adanya dua macam hipotesis
tersebut, bagaimanakah pandangan Anda sebagai calon guru dan guru mata pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia? Berpihak pada hipotesis yang manakah Anda? Prajapati
(1981) (dalam Pateda, 1989:26 - 27) memberikan wawasan yang akan memperjelas
pandangan Anda terhadap hipotesis analisis kontrastif, utamanya dalam kaitannya dengan
kesalahan berbahasa yang dilakukan siswa. Menurutnya, ada tiga model prediksi, yakni
(1) model prediksi sederhana (the simple predication model),
(2) metode analisis kesalahan (error analysis method),
(3) model eksplanasi sederhana (the simple explanation model).
Ketiganya digambarkan dan dijelaskan sebagai berikut.
Model 1
Kompetensi B1
Analisis Konstrastif Kesalahan
Kompetensi B2
Dalam model 1, kompetensi siswa, baik dalam bahasa pertama maupun dalam
bahasa kedua dibandingkan. Berdasarkan perbandingan tersebut, guru dapat meramalkan
kesalahan yang mungkin dapat menghambat proses pembelajaran B2. Selain itu, guru
dapat pula meramalkan kesalahan yang mungkin muncul berkat perbandingan
kompetensi siswa dalam kedua bahasa.

Model 2
Kompetensi B1
Kesalahan Eksplanasi
Kompetensi B2
Menurut model 2, kompetensi B1 dan B2 siswa dideskripsikan. Dari hasil
pendeskripsian tersebut diperoleh kesalahan-kesalahan berbahasa. Temuan ini dijelaskan
sewaktu guru membelajarkan siswa sehingga siswa tidak mengulangi kesalahan-
kesalahan tersebut
Model 3
Kompetensi B1
Analisis Konstrastif Eksplanasi
Kompetensi B2
Dalam model ini, kompetensi siswa dalam B1 dan B2 diperbandingkan. Hasil
perbandingan tersebut dijelaskan. Penjelasan mencakup unsur-unsur yang sama dan
unsur-unsur yang berbeda, yang terdapat dalam B1 dan B2. dari penjelasan ini akan dapat
dibuktikan benarkah bahwa kompetensi B1 akan berpengaruh terhadap kompetensi B2
yang sedang dipelajari. Ketiga model ini dikemukakan di sini sebagai bukti
perkembangan analisis kontrastif. Dengan demikian, guru diharapkan tidak terjebak
dalam salah satu hipotesis analisis kontrastif, melainkan berpandangan luwes
sebagaimana kasus yang dihadapinya dalam pembelajaran B2/BA.
Para penganut hipotesis, aliran keras memiliki tujuh pendapat berikut yang
menjadi hipotesisnya ( Pateda, 1989:24). :
1. Kesalahan berbahasa peserta didik dalam mempelajari bahasa kedua sebagian
besar disebabkan oleh adanya pengaruh bahasa pertama atau interferensi bahasa
ibu pada bahasa yang dipelajari.
2. Unsur – unsur yang serupa antara bahasa ibu dengan bahasa yang dipelajari tidak
menimbulkan kesalahan berbahasa peserta didik.
3. Unsur –unsur yang berbeda antara bahasa ibu dengan bahasa yang dipelajari
menimbulkan kesulitan bagi peserta didik.
4. Persamaan antara bahasa ibu dengan bahasa dipelajari dan perbedaan antara
keduanya ditemukan melalui usaha membandingkan kedua bahasa tersebut.
5. Hasil perbandingan itu dipakai untuk meramalkan kesulitan yang akan dialami
peserta didik yang perwujudan itu kesulitan dapat diketahui melalui kesalahan
berbahasa yang dilakukan oleh peserta didik.
6. Bahan pelajaran yang disusun berdasarkan butir (1)-(5) itu merupakan bahan ajar
yang lebih efisien atau lebih tepat juga dibandingkan dengan bahan ajar yang
tidak didasarkan pada butir (1)-(5).
7. Disamping untuk meramalkan kesalahan berbahasa peserta didik, hasil
perbandingan antara bahasa ibu dengan bahasa yang dipelajari itu dapat dipakai
untuk menentukan hierarki kesulitan dalam mempelajari bahasa kedua.

Adapun para penganut hipotesis aliran lunak memiliki pendapat yang berbeda.Para
penganut hipotesis aliran lunak berpendapat bahwa bahasa ibu tidak terlalu berpengaruh
terhadap bahas yang dipelajari peserta didik. Menurut penganut hipotesis aliran lunak
hal-hal yang memengaruhi peserta didik dalam mempelajari bahasa kedua adalah: (1)
tingkat penguasaan bahasa peserta didik, (2) keberhasilan guru dalam membimbing
peserta didik, (3) kejelasan materi yang disampaikan guru, dan (4) lingkungan tempat
peserta didik mempelajari bahasanya. Semakin tinggi tingkat pengusaan peserta didik
dalam mempelajari bahasa kedua, hasilnya juga semakin tinggi.Semakin baik guru dalam
membimbing peserta didik, hasilnya juga semakin baik.Demikian juga penjelasan
guru.Semakin jelas keterangan yang diberikan guru dan materi yang disampaikan guru
hasil pembelajaran juga semakin baik.Lingkungan juga memengaruhi peserta didik dalam
memepelajari bahasa keduanya. Artinya, jika peserta belajar pada lingkungan yang
mendukung, misailnya lingkungan yang menggunakan bahasa yang dipelajari, peserta
didik itu akan cepat menguasai bahasa yang dipelajarinya.

D. Tuntutan Pedagogis Analisis Kontrastif


Kesulitan dalam belajar B2 serta kesalahan dalam berbahasa yang umum dialami
oleh para siswa yang mempelajari B2 atau bahasa asing menyebabkan adanya tuntutan
pedagogis terhadap Anakon. Anakon adalah prosedur kerja, yang kemudian diikuti atau
diteruskan oleh aktivitas lainnya yang relevan dengan kegiatan pertama. Dengan
perkataan lain, tuntutan pedagogis terhadap Anakon dijawab dengan sejumlah upaya
dalam rangka memperbaiki pelajaran bahasa. Kebiasaan dalam ber-B1 sangat
berpengaruh terhadap PB2. Robert Lado (dalam Tarigan 1988 : 28) merumuskan
pertanyaan di atas tadi dengan formulasi yang sangat terkenal yang berbunyi: “unsur-
unsur yang sama di dalam B1 dan B2 yang sedang dipelajari sangat menunjang
pengajaran B2, sebaliknya, unsur-unsur yang berbeda menyebabkan timbulnya kesulitan
belajar”. Pandangan pengikut psikologi behaviorisme ini dalam pengajaran B2 menjiwai
tanggapan Anakon dalam usaha memperbaiki pengajaran bahasa. Tanggapan tersebut
terdiri dari empat langkah yaitu memperbandingkan, memperkirakan, menyusun bahan,
memilih cara penyampaian. Untuk lebih jelasnya kita bahas di bawah ini:
1. Memperbandingkan atau Perbandingan
B1 dan B2 yang akan dipelajari para siswa diperbandingkan. Perbandingan
bahasa ini menyangkut segi linguistik. Mula-mula, aliran linguistik struktural
yang mempengaruhi dalam perbandingan itu. Kemudian menyusul aliran
linguistik generatif yang terkenal dengan kesemestaan linguistiknya. Aliran
linguistik mana pun yang mempengaruhi, pada akhirnya yang diharapkan
terlukisnya perbedaan antara B1 dan B2 yang akan dipelajari oleh siswa.
2. Memprediksi atau Memperkirakan
Berdasarkan identifikasi perbandingan pada langkah pertama di atas, maka
disusunlah perkiraan kesulitan belajar yang akan dihadapi oleh para siswa dalam
belajar B2. Kesulitan belajar inilah salah satu sumber dari kesalahan belajar atau
kesalahan berbahasa.
3. Penyusunan atau Pengurutan Bahan Pengajaran
Perbandingan struktur bahasa menghasilkan identifikasi perbedaan antara dua
bahasa. Identifikasi perbedaan antara dua bahasa dipakai sebagai dasar
memperkirakan kesulitan belajar dan kesalahan berbahasa. Hal yang terakhir
dipakai sebagai dasar untuk menentukan urutan atau susunan bahan pengajaran
B2.
4. Cara Penyampaian Bahan
Siswa yang belajar B2 sudah mempunyai kebiasaan tertentu dalam bahasa ibunya.
Kebiasaan ini harus diatasi agar tidak lagi mengintervensi ke dalam B2.
Pembentukan kebiasaan dalam B2 dilakukan dengan penyampaian bahan
pelajaran yang telah disusun berdasarkan langkah pertama, kedua, dan ketiga
dengan cara-cara tertentu. Cara-cara yang dianggap sesuai antara lain: peniruan,
pengulangan, latih-runtun (drills), dan penguatan (hadiah dan hukuman). Dengan
cara ini diharapkan para siswa mempunyai kebiasaan ber-B2 yang kokoh dan
dapat mengatasi kebiasaan dalam ber-B1.
E. Interferensi dan Transfer
Dalam anakon dibedakan antara interferensi dan transfer. Istilah interferensi
digunakan pada penutur bilingual yang secara dasar dan familiar mengetahui dua bahasa
tersebut dan untuk mencapai kedekatan informasi atau untuk menunjukkan prestise, ia
menggunakan campuran dari dua bahasa tersebut. Di sini timbullah alih kode atau
campur kode.Sedangkan istilah transfer digunakan untuk pindahan bahasa yang
menyebabkan kesalahan karena bentuk-bentuk bahasa itu tidak sama atau penggunaannya
tidak sama. Untuk keperluan anakon dua konsep ini sudah sering dipakai. Proses
pengalihan kebiasaan ber-B1 ke dalam ber-B2 disebut transfer dan kesalahan ber-B2
disebut transfer. Sedangkan kesalahan ber-B2 sebagai akibat kebiasaan ber-B1 yang tidak
sama disebut interferensi. Dengan demikian, transfer negative menjadi sama dengan
interferensi dalam ber-B2.

F. Aspek Linguistik dan Psikologis Anakon


Menurut Ellis (dalam Tarigan, 1988:29) menyatakan bahwa “Analisis Kontrastif
mempunyai dua aspek, yakni aspek linguistik dan aspek psikologis”. Melalui
perbandingan antara dua bahasa banyak hal yang dapat diungkapkan. Beberapa diantara
kemungkinan itu adalah:
1. Tiada perbedaan: struktur atau sistem aspek tertentu dalam kedua bahasa tidak
ada perbedaan sama sekali (konsonan /I, m, n/ diucapkan sama dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris).
2. Fenomena konvergen: dua butir atau lebih dalam B1 menjadi satu dalam B2
(Indonesia padi, beras, nasi menjadi Inggris rice).
3. Ketidakadaan: butir atau sistem tertentu dalam B1 tidak terdapat dalam B2.
Misalnya, sistem penjamakan dengan penanda -s/-es dalam bahasa Inggris tidak
ada dalam bahasa Indonesia; sebaliknya sistem penjamakan dengan pengulangan
kata dalam bahasa Indonesia (rumah-rumah, daun-daun, ikan-ikan) tidak ada
dalam bahasa Inggris.
4. Beda distribusi: butir tertentu dalam B1 berbeda distribusi dengan butir yang
sama dengan B2. Misalnya fonem /ŋ/ dalam bahasa Indonesia menduduki posisi
awal, tengah, dan akhir kata, sedangkan dalam bahasa Inggris hanya menduduki
posisi tengah dan akhir kata.
5. Tiada persamaan: butir tertentu dalam B1 tidak memiliki kesamaan dalam B2.
Misalnya, predikat kata sifat dalam bahasa Indonesia tidak terdapat dalam bahasa
Inggris; misalnya: Dia kaya (Indonesia) menjadi ‘He is rich’(Inggris).
6. Fenomena divergen: satu butir tertentu dalam B1 menjadi dua butir dalam B2.
Misalnya, kata we (Inggris) dapat menjadi kita atau kami dalam bahasa Indonesia.
G. Implikasi pedagogis Analisis Kontrastif
Pada awalnya Analisis Kontrastif dalam mengatasi berbagai persoalan pengajaran
B2 tetapi harapan tersebut tidak seluruhnya terwujud, hal demikian itu sebagian
disebabkan oleh kekurang cermatan dalam mempraktekkan anakon dan kelemahan
anakon itu sendiri, selanjutnya terlepas dari anakon itu tetap memberikan kontribusi yang
berarti bagi pengajaran B2 serta keharusan untuk menyempurnakan teori dan landasan
yang digunakan.
Adapun implikasi anakon dalam pengajaran B2 terlihat dalam segi-segi:
1. Penyusunan materi pengajaran yang didasarkan kepada butir-butir yang berbeda
antara B1 dan B2.
2. Penyusunan tata bahasa pedagogis yang didasarkan kepada teori linguistik yang
digunakan.
3. Penataan kelas secara terpadu dimana B1 digunakan sebagai pembantu dalam
pengajaran B2.
4. Penyajian materi pengajaran secara langsung.
1) Menunjukkan persamaan dan perbedaan B1 dan B2.
2) Menunjukkan butir-butir yang mungkin mendatangkan kesalahan dalam
B2.
3) Memberikan latihan intensif pada butir-butir yang berbeda.
Jadi anakon tetaplah fungsional, anakon dapat memprediksi butir-butir tertentu
dari suatu bahasa yang potensial mendatangkan interferensi. Walaupun tidak secara tepat
menunjukkan kesalahan akibat interferensi tersebut namun, anakon dapat menjelaskan
sebab kesalahan tersebut.
H. Anakon sebagai Pemprediksi Kesalahan
Sesuai dengan apa yang kita bicarakan mengenai sejarah singkat Anakon di atas,
yang dalam perkembangannya, ternyata Anakon tidak dapat memenuhi harapan yang
selama ini diidam-idamkan. Akibatnya, para pendukung Anakon pesimis, sedangkan
kaum penantang Anakon semakin gencar melancarkan kritikannya. Salah satu
kesimpulan yang mengejutkan yang dibuat oleh para penantang Anakon ialah bahwa
Anakon tidak memberikan kontribusi apa-apa lagi bagi pengajaran B2.
Kini Anakon membatasi diri dalam penyediaan hipotesis, prediksi, dan penjelasan
mengenai tingkah laku belajar. “Hal yang terbaik dapat dilakukan oleh Anakon adalah
memprediksi daerah yang potensial mendatangkan kesalahan, bukan menyatakan suatu
kesalah akan terjadidalam situasi tertentu” (Krzeszowski, 1985). Sekarang prediksi dan
penjelasan mengenai kesalahan berbahasa menjdi tujuan Anakon.
I. Kritik Terhadap Analisis Kontrastif
Dalam perkembangannya, analisis kontrastif menuai kritik, utamanya bagi
penganut hipotesis versi kuat. Pateda (1989) menuliskan bahwa kritik tersebut
dilontarkan oleh penganut aliran transformasi-generatif. Kritik mereka berkaitan dengan
pandangan analisis kontrastif yang menyatakan bahwa belajar B2 berarti mengubah
tingkah laku berbahasa. Menurut kaum transformasi-generatif, belajar bahasa bukan
sekadar mengubah tingkah laku berbahasa secara lahiriah (menguasai kata dan kalimat
yang nyata dalam lingkungan pengalaman siswa/struktur lahir), melainkan juga harus
sampai pada struktur batin. Kritik kaum ini meragukan analisis kontrastif sebagai alat
peramal kesalahan.
Sridhar (1981) mengkritik analisis kontrastif dalam dua bagian utama, yakni kritik
terhadap peramalan dan kritik terhadap landasan teorinya. Menurut Sridhar, prediksi yang
dibuat analisis kontrastif tidak menunjukkan performansi siswa secara aktual; interferensi
hanya merupakan salah satu penyebab kesalahan berbahasa. Dikatakannya lebih lanjut
bahwa dasar teori analisis kontrastif kurang mantap; tidak dapat
mempertanggungjawabkan tingkah laku siswa.
Lebih tajam lagi kritik terhadap analisis kontrastif dikemukakan oleh Sajavaara
(1981) (dalam Ardiana, 1990). Menurutnya, kritik terhadap analisis kontrastif dapat
dialamatkan mulai dari sejarahnya, keragaman hakikatnya, dan masalah umum teori
linguistik yang digunakannya. Ditambahkannya pula, wilayah penyebab kritik tersebut
dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
1. Kegayutannya bagi pembelajaran bahasa (hakikat peramalan dan metodologi
pembelajaran bahasa dan metodologi analisis kontrastif);
2. Strukturalisme dan analisis kontrastif;
3. kekacauan dalam teori tata bahasa;
4. teori dan metodologi analisis kontrastif:
a. Masalah ekuivalensi terjemahan;
b. teori transfer bahasa (transfer positif dan transfer negatif);
c. kebebasan pemerian;
d. abstrak hakikat analisis;
e. hakikat statis analisis
5. hakikat analisis.
Dari sejumlah kritik yang dialamatkan kepada analisis kontrastif, Baradja
(1981) mengomentari sebagai berikut.
1. Para pengkritik secara umum mengakui bahwa interferensi B1 ke B2 memang
terjadi, tetapi bukan satu-satunya penyebab kesalahan. Ada penyebab lain.
2. Ramalan yang dikumandangkan ahli analisis kontrastif ternyata tidak selalu
menjadi kenyataan. Memang ada yang menjadi kenyataan, tetapi sulit diramalkan
kesalahan yang bagaimana yang akan muncul.
3. Dengan mengutip pendapat Catford (1968), dikatakannya bahwa analisis
kontrastif bukan meramalkan kesalahan yang akan dibuat siswa, tetapi hanya
sebagai penjelas; bukan peramal kesalahan;
4. Data hasil kerja ahli analisis kontrastif akan sangat membantu para penulis buku
teks dan guru kelas.

Anda mungkin juga menyukai