Anda di halaman 1dari 5

Versi asli

Dengan segera aku menemukan tempat Andi meletakkan sepatunya. Ketika tanganku
bersiap-siap mengambilnya, hatiku mulai bimbang. Bagaimana nanti sikap Andi kalau tahu aku
yang membuang sepatunya? Bagaimana kalau nanti ia marah dan ngambek tidak mau pergi ke
sekolah. Semuanya berkecambuk dalam hatiku. Akhirnya kuurungkan niatku membuang sepatu
butut itu. Aku tak berani mengambil resiko yang kupikir sangat berat itu.
Hari senin, kembali pandanganku tertuju pada sepatu Andi. Sepatu butut yang selalu
menemanya kesekolah. Satu-satunya yang terlintas di pikiranku adalah sepatu itu telah menjadi
sebagaian dari hidupnya, dan itu menjadi haknya tanpa seorangpun berhak mengambilnya. Toh
nanti setelah tak layak pakai menurutnya, ia pasti meminta pada orangtua kami.
Versi 1

Segera aku mengambil sepatu butut Andi itu dan membuangnya ke tempat sampah di
depan rumah. Aku berharap, saat ia tak mendapati sepatunya besok pagi, ia segera membeli
sepatu yang baru.
Benar saja, pagi harinya, Andi menanyaiku apakah aku melihat sepatunya. Aku tentu saja
menjawab tidak tahu. Kulihat rasa sedih yang tidak terkira nampak dari raut mukanya. Aku
merasa ikut sedih dan menyesal. Segera aku berlari ke depan rumah dan membuka tutup tong
sampah. Namun, tong sampah telah kosong! Tentulah tadi subuh petugas kebersihan telah
mengambil sampah yang ada di tong sampah dari tiap rumah warga. Aku panik bukan main.
Rasa bersalah yang sangat besar segera menghantuiku.
Aku kembali berlari ke dalam rumah. Kudapati Andi sedang memegang sepasang sepatu
baru yang persis sama dengan sepatu bututnya. Di hadapannya berdiri ayah yang tersenyum
memandangku. Ayah ternyata telah membelikan Andi sepatu baru! Aku lantas menceritakan apa
yang telah kulakukan dan meminta maaf kepada Andi. Tak kusangka, Andi tidak marah dan ia
langsung memelukku.
Versi 2

Aku pun bergegas dari tempatku untuk mencari tempat terakhir Andi menyimpan
sepatunya. Tak butuh waktu lama sampai aku menemukannya, tapi ketika sepatu itu sudah
berada tepat di depan mataku, aku merasakan kebimbangan tumbuh dalam hatiku. Apa yang
akan terjadi kelak jika aku ketahuan? Apakah nanti Andi akan tahu kalau akulah yang
sebenarnya membuang sepatu miliknya? Bagaimana perasaannya nanti? Apakah ia akan
ngambek? Apakah ia akan marah padaku? Semua pertanyaan ini bergejolak dalam pikiranku.
Aku bingung harus berbuat apa, tapi pada akhirnya kumantapkan diri untuk membatalkan niatku.
Aku tak seberani yang kukira, ternyata.

Beberapa hari kemudian, aku melihat Andi mengenakan sepatu butunya kembali.
Nampaknya ia benar-benar menyukainya atau mungkin sepatu itu telah menjadi bagian tak
terpisahkan dari dirinya. Ya, pasti sepatu itu telah menjadi identitas dirinya. Tak pantas aku
mengambilnya kupikir. Biarlah ia terus mengenakannya jika ia memang suka.
Versi 3

Aku lupa kalau Andi pergi bermain sepakbola di lapangan dekat rumah. Sepatu bututnya
pun tidak ada di rak sepatu. Seandainya sepatu butut itu tidak dibawa, aku bisa membuangnya.
Dan ketika Andi bertanya dimana sepatunya, aku bisa saja menjawab kalau sepatunya digondol
tikus atau dipungut pemulung yang lewat.

Malam pun tiba. Andi sudah pamit untuk tidur. Aku yang setelah makan malam pura-
pura telah, bergegas bangkit setelah Andi masuk ke kamarnya. Tempat yang kutuju adalah rak
sepatu dan menemukan sepatu butut Andi. Aku masukkan sepatunya ke dalam plastik, tapi ...

“Ibu? Sepatu Andi mau dibawa kemana?” tanya Andi mengejutkanku.

Seperti maling yang kepergok, keringat dingin pun membasahi punggungku.

“Jangan dibuang, bu. Egak ada sepatu yang senyaman itu,” kata Andi sambil berkaca-kata.

“Tetapi kalau tidak dibuang, apa Andi tidak malu dengan teman-teman? Ibu saja malu kok. Ntar
ibu dibilang egak mampu membeli sepatu baru buat Andi,” kataku tegas.

“Bukan begitu, bu. Kalau memakai sepatu yang lain, kaki Andi lecet, Bu,” kata Andi mulai
merengek.

Aku hanya bisa terdiam melihat Andi. Aku tahu bagaimana nyamannya memakai sepatu butut.
Tidak perlu takut pula apabila terkena air dan debu.  

“Lagipula, sepatunya kan masih bisa dipakai, bu,” tangisnya makin kencang.

(resolusi)

“Baiklah. Baiklah. Sudah, jangan menangis lagi. Andi masih boleh memakai sepatu ini. Tapi
dengan satu syarat,” kataku sambil memeluknya.

“Apa, bu?” tanyanya sesenggukan.

“Nanti ibu belikan sepatu baru. Selama kaki Andi menyesuaikan dengan sepatu barunya, sepatu
lamanya boleh dipakai. Tapi jangan sering-sering ya,” kataku sambil menghapus airmatanya.

“Terima kasih, bu. Tapi Andi boleh memilih sendiri sepatunya kan, bu?” tanyanya sambil
tersenyum.
“Boleh. Boleh. Tapi jangan mahal-mahal ya,” kataku sambil mengembalikan sepatu bututnya ke
rak sepatu lagi.

Anda mungkin juga menyukai