Anda di halaman 1dari 3

Perut Kecil Yang Lapar

Rama Syahdath Fernandha

Mereka berkata, anak kecil hanya tahu bermain dan tertawa. Namun, dibalik itu semua
banyak hal yang harus dikorbankan untuk mewujudkannya.
Lipatan demi lipatan yang dibentuk ala kadarnya, secarik kertas yang ku lipat membentuk
pesawat kertas. Terbang terbawa arus kehidupan yang terus berputar. Aku hanya tahu bahagia
saja, kala itu. Tak pernah terbayang sebelumnya dari arti kehidupan.
Kembali ku merenung memikirkan kejadian lampau saat aku hanya tahu bermain.
Kembali ku teguk kopi yang masih panas, sesekali ku menanggahkan kepala yang berantakan
bak bangkai kapal yang diterjang ganasnya badai. Cahaya rembulan nampak menenangkan
hati sang tuan pemilik kepala yang sedang huru hara, lelah batin.
Aku beranjak naik ke ranjang guna mengistirahatkan tubuh dan kepala ku yang lelah sedari
kugunakan untuk menyelam mencari sebuah motivasi. Aku melihat langit-langit atap guna
menyusun skenario untuk hari esok.
Tanpa sadar, aku terlelap dan tenggelam dalam mimpi panjang yang menyedihkan namun ku
syukuri karena bisa melihat kenangan kala itu. Rasanya sungguh pahit, namun harus ku telan.
Sinar mentari membelai wajahku, suara burung berkicauan menandakan pagi hari telah tiba
untukku memulai aktifitas seperti biasa. Aku beranjak turun dari ranjang tempatku tidur dan
bergegas menuju kamar mandi, untuk memulai hari.
Wangi yang datang dari meja dapur membawaku untuk menghampirinya, sesekali aku
mengendus bak predator melacak mangsanya. Tampak roti bakar yang dibaluri coklat yang
diletakan di atas meja.
“Makannya pelan-pelan dong, Rawa” ucap seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah
nenekku. Aku tinggal bersam nenekku, Ageung. Di usianya yang senja, nenekku masih terus
bekerja keras menanam padi sebagai buruh tani bersama Kakekku, Isa.
Karena sedari kecil aku bersama mereka, aku lebih terbiasa memanggil nenekku dengan
sebutan mama dan kakekku dengan sebutan bapak.
Mereka berdua membesarkanku di Kampung yang terkenal keasriannya, Tegal Asri. Dulu aku
berpikir tempat yang ku singgahi ini adalah tempat terluas, nyatanya dunia lebih luas dari
yang kukira.
“Ini udah telat, Ma” ucapku dengan roti yang masih di dalam mulut. Aku pergi mengambil
tas sekolah dan bergegas menaiki motor bebek, aku terburu-buru saat mataku tertuju pada
jam dinding yang menunjukkan waktu 07.00 WIB yang menandakan tak lama lagi gerbang
sekolah ditutup. Setibanya aku di depan gerbang sekolah yang dijaga oleh Pak Trisno yang
mengenakan seragam satpam berwarna hitam membuatnya terlihat lebih tegas.
Aku memarkirkan motorku seperti biasa, di tempat parkir sekolah. Aku bergegas berlari
menuju kelas yang memiliki tempat cukup jauh dari gerbang sekolah yang tak lain adalah
ruangan ku untuk menimba ilmu, 11 MIPA 8.
Sekolahku menjadi satu-satunya sekolah menengah atas atau biasa disebut SMA di
kecamatan Cimanis. SMAN 1 Cimanis menjadi pilihanku untuk menimba ilmu dan mencari
teman. Setibanya aku di kelas 11 MIPA 8, aku disambut dengan orang-orang di dalam
ruangan yang sedang sibuk mengerjakan tugas matematika. Namun, itu adalah hal yang biasa
dan bahkan sudah menjadi budaya tersendiri di kelas 11 MIPA 8.
Saat memasuki jam mata pelajaran berikutnya, Bu Yuni selaku guru mata pelajaran Bahasa
Indonesia di SMAN 1 Cimanis memberikan tugas untuk membuat cerita pendek. Saat Bu
Yuni mengatakan itu, aku langsung teringat masa lalu yang ku mimpikan semalam.
Aku mulai gundah, haruskah aku menuliskan pengalaman pribadi tentang masa itu? Aku
memikirkannya seharian, dan dipenghujung hari aku telat memutuskan untuk menulis
pengalaman pribadiku yang ku beri judul Perut Kecil Yang Lapar.
Saat mulai menulis, aku terbayang kala itu. Sulitnya mencari uang dan mencari makan. Sedih
rasanya jika kembali mengingatnya.
Saat itu masih tahun 2010, aku, nenekku, dan kakekku harus hidup serba kekurangan. Untuk
membeli lauk pauk pun kami harus berhutang ke pemilik warung, nenek yang menberikan
sebagian besar lauknya untukku, meskipun saat itu kami memiliki lauk hanya tempe dan tahu
saja. Belum lagi harus dibagi dengan anak dari nenek yang enam tahun lebih tua dariku,
Rifki. Rifki selalu mengalah saat harus berbagi makanan, meskipun dia tampak kesal tapi
Rifki selalu berusaha ikhlas dan memahami kondisi keluarganya yang kesulitan. Bahkan, aku
tidak tahu perutnya terisi penuh atau tidak. Suap demi suap nasi ke dalam mulut kecil ini, aku
yang hanya fokus pada menu makanan yang ada mulai berpikir bahwa ini adalah makanan
terenak yang pernah aku makan.
“Nyam.. nyam.. nyam.. enak!” ucapku yang dibarengi kepala yang ku goyangkan saat
mengunyah tahu dan tempe itu. Nenek yang melihat tingkahku, tampak raut wajah leganya.
Bagaimana tidak? Nenek bekerja keras di sawah milik tuan tanah untuk mendapatkan
makanan hari ini. Nasi dan lauk pauk di atas kertas yang dibalur lagi dengan daun pisang
telah hilang kami makan, dirasa perut sudah kenyang. Matahari pun tenggelam, panggilan
yang merdu datang memanggil orang-orang untuk datang.
Aku memakai celana panjang, memeluk kumpulan perkataan yang indah dan lebih luas dari
dunia, Al-Qur’an. Ku cium tangan yang selama ini merawatku dan selalu ku repotkan, dan
berlari menuju Masjid untuk sholat dan mengaji. Kembali, panggilan merdu dilantunkan. Ku
lihat Pak RT mengumandangkan adzan yang syahdu, ku nikmati sembari memeluk kedua
kaki kecilku. Sholat isya sudah ku lalui, aku kembali berlari ke rumah yang nampak seperti
gubuk, namun menjadi tempat ku berlindung dan merasakan kasih dan sayang.
Tubuh kecil ku kelelahan dan mulai membaringkannya di tempat tidur yang beralaskan
karpet yang nenek beli di pasar dua tahun lalu, meski begitu aku masih bisa tidur dengan
nyenyak. Ayam berkokok sangat kuat, mentari mulai memperlihatkan dirinya, pagi yang
cerah dengan embun pagi yang terjebak di rerumputan hijau yang akan di makan kambing
nantinya. Saat ku buka mata, nenek dan kakek sudah tidak ada di rumah.
“Pasti ke sawah” ucapku sambil menggosok mata guna mengembalikan kesadaran selepas
tidur. Aku keluar rumah dan termenung di amben kayu tempatku duduk, sambil memeluk
kedua kaki. Tak lama seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah Bibi Narni yang selalu
ku panggil Mak Narni, ia memberiku nasi yang dibungkus kertas nasi dan koran.
“Ini Ma Ajeung nitip buat Rawa, di makan ya” ucap Mak Narni
“Iya Ma, makasih” jawabku dengan kedua tangan yang memegang nasi uduk titipan nenekku.
Tak terasa sore hari sudah tiba, aku dengan keadaan perut kosong yang terakhir kali diisi pagi
tadi mulai merasakan perih di dalam perut. Aku bergegas ke dapur untuk mengambil air
untukku minum guna mengganjal lapar. Namun, itu sia-sia. Tubuh kecilku bergetar, sambil
merintih mengharapkan seseorang segera datang.
“Ma.. cepet pulang, Rawa laper..” rintihku dengan mata yang memelas.
Tak lama nenekku membuka pintu dan melihat keadaanku, ia panik dan kelayapan melihatku
gemetar kelaparan. Dia kembali keluar rumah dengan buru-buru, tak lama kemudian ia
kembali dengan segumpal nasi di piring kaca berwarna putih dengan cap nya yang khas
dengan ayam jago. Namun, kami tidak memiliki lauknya.
“Pakai garam aja, Ma..” ucapku. Nenek yang mendengar suaraku yang mengecil mulai
mengambil wadah garam dan menaburkannya ke segumpal nasi yang nenek minta ke Bibi
Narni. Aku melahap nasi dan garam yang nenek suapkan menggunakan tangannya, mataku
kembali terbuka lebar, tubuhku tidak lagi bergetar, pertanda perutku perlahan mulai terisi.
“Enak, Ma!” ucapku dengan nada gembira. Nenek yang melihat wajahku yang ceria mulai
meneteskan air matanya dengan wajah penuh asih.
Namun, nasi dan garam telah habis dan aku melihat nenekku menelan obat yang bertuliskan
Promag. Saat itu aku tidak tahu kegunaan obat itu, namun ternyata nenek melakukan itu
untuk mengganjal laparnya. Kenangan kala itu membuatku semakin kuat untuk terus
melawan pahitnya hidup, tak sadar pipiku basah oleh air mata yang dari tadi tak kuasa ku
tahan.

~TAMAT~

Anda mungkin juga menyukai