Anda di halaman 1dari 5

Berkebun di Langit

Liburan sudah datang, aku sangat senang karena akan tinggal di rumah Nenek.
Sudah kubayangkan aktivitas menyenangkan yang akan aku lakukan. Aktivitas yang
sangat sulit bahkan mustahil aku lakukan di rumahku sendiri. Berenang di danau,
memancing ikan di kolam, menyiram bunga, merawat sayur mayur dan memanen
buah-buahan. Kegiatan yang bisa membuat aku melupakan hiruk pikuk aktifitasku
sehari-hari, mulai sekolah, les di bimbel, les inggris, belajar musik, dll.

“Sarah ayo, apalagi yang tertinggal?” aku mendengar teriakan ayahku saat aku
masih mencari jumper kesayanganku. “Sarah!” teriak ayahku lebih keras. Aku segera
berlari setelah kutemukan Jumperku yang masih ada dijemuran lantai atas rumahku.
“Oke Yah, aku datang,” teriakku tak kalah kerasnya. Sekali lompat aku sudah duduk
di jok belakang bersama kakakku. Usai mamaku memimpin doa, kami mulai
perjalanan panjang menuju rumah nenekku di ujung timur pulau Jawa. Tanpa
halangan diperjalanan kami sampai juga di rumah nenek pagi-pagi sekali.

Mobil baru masuk halaman, aku langsung berlari ke kebun di belakang rumah,
tidak sabar untuk melihat kebun nenek yang penuh dengan sayur mayur dan bunga
bunga cantik. “Nek, boleh aku petik bayam dan jagung mudanya?” tanyaku dengan
keras. Aku sudah bayangkan sarapan dengan sayur bening dengan memanen
sendiri. “Aku petik bunga mawarnya ya Nek, akan aku rangkai untuk diletaakn di
meja kamar”, teriakku lebih keras. Sekilas aku lihat mamaku berdiri di pintu dapur.
“Sarah, cium nenek dulu”, serunya terdengar jengkel. Aku jadi malu karena belum
ketemu nenek tetapi sudah teriak teriak tak karuan. “Okay....” aku memeleluk
nenek yang sudah menyongsongku di kebun. “Nek, aku rindu sekali,” bisikku sambil
mecium pipinya. “Hmm rindu nenek atau rindu kebun nenek?” godanya. “Rindu
keduanya,” sahutku manja.

Akhirnya kami bertiga mementik sayur mayur dan bunga bersama. “Mama,
kapan ya kita bisa punya kebun seperti milik nenek ini,” tanyaku. Walau aku tahu
jawabannya tidak mungkin, karena kami tinggal di perumahan yang lokasinya di
tengah kota. Rumah kami tidak memiliki halaman. “Hmmm, kamu bisa berkebun di
langit, di atas rumah kita,” kata mamaku sambil tertawa. Aku sudah tahu
maksudnya. Mustahil bisa punya kebun di rumahku. Tetapi aku mulai berpikir,
berkebun di langit? Mengapa tidak. Ide di kepalaku mulai bermunculan. Aku
tersenyum senang, karena sudah punya jawaban untuk menjawab tugas dari bu Jani
guru IPA ku. Cari informasi tentang ide-ide kreatif untuk mengatasi masalah
keterbatasan lahan hijau dan lahan pertanian. “Bingo!” seruku.

Makan siang ternikmat yang aku rasakan. Kedua kalinya aku ingin nambah,
kalau tidak dilarang mamaku. Aku lupa jika terlalu kenyang biasanya perutku akan
melilit sakit sekali. Nenekku tersenyum lihat aku dan kakakku sama sama lahap
menyantap masakannya. “Kapan ya bisa lihat kalian makan selahap ini di rumah
kita,” kata Ayah sambil mengambil bakwan jagung terakhir di piring. “Saat kita
sudah punya kebun di langit,” seruku sambil tertawa. Gelak tawa memenuhi ruang
makan. Hmm mereka pikir mustahil ya, punya kebun di langit, kata ku dalam hati.
Aku akan buktikan tahun depan nenek yang akan memanen sayur mayur di
kebunku, kebun di langit. Amin....aku ucapkan doa dalam hatiku.

Selama di rumah nenek, aku rajin membantu merawat sayur mayur.


Sebenarnya aku sedang belajar bagaimana bisa menanam sayur dengan benar
sehingga bisa menghasilkan panen yang melimpah. Cukup untuk konsumsi sendiri
maupun dapat dibagi ke smua tetangga kami. Belajar menyamai biji sehingga jadi
bibit sayur. Memilih pupuk organik untuk mempercepat pertumbuhan dan cara
menanam sayur di bedeng bedeng. Aku makin senang saat bisa mengajak kakakku
ikut berkebun. Aku bayangkan besuk bisa berkebun di langit bersama sama. “Nek,
mungkinkah aku punya kebun seperti ini di rumahku,” bisikku saat aku duduk di
bawah pohon mangga di tengah kebun. “Sarah, kamu gadis yang beriman seperti
arti namamu, bawalah semua keinginanmu dalam doamu,” kata nenek sambil
memelukku. Tahun depan aku akan undang nenek kerumahku untuk memanen
sayur mayur di kebunku, janjiku dalam hati.

Aku dan kakakku tidak hanya berkebun saja. Setiap sore sepupuku
menjemput kami untuk berenang di danau. Kami bermain air sepuas-puasmya.
Semua sepupuku yang tiggal di dekat rumah nenek bergabung dengan kami.
Malamnya kami makan bersama bersama semua saudara ayahku. Nenek dan
mamaku menyiapkan menu ikan bakar hasil menjaring di kolam di belakang rumah.
Enak sekali masakan mama, kami semua membakar ikan bersama sama dan
menghabiskannya. Pengalaman yang selalu kami lakukan jika berlibur di rumah
nenek. Makan ikan bakar hasil kolam sendiri di tengah kebun sayur nenekku.
Bahagia sekali hatiku.

Tak terasa liburan sudah usai, kami harus pulang. Biasanya aku selalu sedih,
tetapi saat itu aku pulang dengan penuh semangat karena sudah menemuka ide
untuk tugas IPA ku, mengatasi keterbatasan lahan hijau dan lahan pertanian
dengan berkebun di langit. Selama di perjalanan aku tidak membaca novel lagi
tetapi membuka Tab untuk mencatat langkah-langkah untuk berkebun di langit.
Sesuatu yang mustahil tetapi bagiku tidak, aku akan lakukan di rumahku sendiri.

“Kak, ayo bantu aku membuat kebun di rumah kita”, rengekku. “Kebun....?, di
rumah kita?” kata kakak dengan muka mengejek. “Kamu jangan mimpi kita masih
di rumah nenek”, kita sudah pulang, ke rumah sendiri, coba lihat disekelilng rumah
kita, apa masih ada lahan yang kosong”. Katanya dengan nada mulai tinggi. Aku
tetap merayunya, dengan mengeluarkan semua biji yang aku bawa dari rumah
nenek dan meletakkan di meja belajar kakakku. Aku harap bisa membuat ia luluh
dan mau membantuku. Tetapi harapanku sia-sia. “Dek Sa, adekku yang pintar
menghayal, kamu ingat kan saat mama meledekmu dengan mengajak berkebun di
langit”,kamu tahu kan itu kata kiasan yang artinya idemu membuat kebun di rumah
kita ide konyol, dan mustahill” kakaku mulai berteriak. Aku kaget bukan kepalang,
belum pernah aku di bentak kakakku selama ini. Aku berlari keluar dari kamarnya,
tak lupa pintu kamar aku banting keras sekali “Brak....”suara sangat keras, membuat
Ayahku berlari menghampiriku. Seperti biasanya, aku diminta duduk dan
menceritakan kenapa aku marah dengan kakakku. Dengan menahan air mata, aku
ceritakan bahwa, kakakku mengejek idemu untuk membuat kebun di rumah ini.
Ayahku sangat paham dengan sifatku, dan aku tahu dia tidak pernah tega menolak
semua ide gagasannku selama ini. Tanpa aku rayupun dia pasti membantuku. Tetapi
waktu luang ayahku tidak banyak, aku tidak tega membuatnya kelelahan. Makanya
aku minta tolong kakakku yang masih libur. “Sarah, besuk Ayah akan ajukan cuti
agar bisa membantumu membuat kebun. Dan nanti malam Ayah akan bicara dengan
kakakmu untuk menjelaskan idemu tetantang memuat kebun impianmu. Lega
hatiku, aku peluk erat Ayah, sang “Mac Gyver” ku.

Semalaman aku kembali membaca buku IPA pada materi teknologi


reproduksi pada tumbuhan. Materi tersebut sebagai berikut:

Hidroponik merupakan cara penanaman tumbuhan dengan menggunakan larutan


nutrisi dan mineral dalam air dan tanpa menggunakan tanah. Tanaman darat
khususnya sayuran seperti paprika, tomat, timun, melon, terong, dan selada dapat
ditumbuhkan secara langsung dalam wadah yang berisi nutrisi atau dengan
ditambah medium yang tak larut dalam air, misalnya kerikil, arang, sekam, spons,
serbuk kayu, dan lain sebagainya. Ilmuwan menemukan bahwa tumbuhan menyerap
nutrisi yang penting dalam bentuk ion-ion yang terlarut dalam air.

Vertikultur adalah teknik budidaya tanaman dengan cara membuat instalasi secara
bertingkat (vertikal) dengan tujuan untuk meningkatkan jumlah tanaman. Teknik
budidaya ini merupakan konsep penghijauan yang cocok untuk daerah perkotaan
dan lahan terbatas.

Nah ini adalah dua cara yang akan aku pakai untuk membuat kebun di rumahku.
Karena lahan kosong disekitar rumahku tidak ada lagi maka pilihanku adalah di atap
rumahku. Tempat itu biasanya hanya untuk menjemur pakaian.
Malam itu Ayah memanggil aku dan kakakku di teras rumah. Mamaku sudah
menyiapakan kue pukis buatannya yang sangat kami sukai. Hmm itu cara mamaku
untuk membuat hati kami senang sehingga tidak mudah marah. “ Mas Co”, kata
ayahku sambil menatap kakakku. “ Ide dek Sa bagus lho, dia ingin kita membuat
kebun di atap rumah kita”, ayo kita bantu untuk membuatnya”. Katanya lembut. Aku
ragu ragu melirik kakakku, kawatir dia kembali menolak menolongku. “Okay siap,
sebagai kakak yang baik, harus selalu menolong adeknya kan”, katanya diluar
digaanku. “Bukan karena aku adek yang tukang berkhayal kan Mas”, kataku
merajuk. “Maafkan aku yang ya Dek kemarin sudah membuat kamu marah” katanya
lagi sambil mengucel ucel rambutku.” Aku juga minta maaf ya Mas, sudah
membanting pintu kamar Mas Co, kataku sambil menunduk. “ Okay, saat ini kita
sepakat untuk membuat kebun di langit” kata Ayahku penuh semangat. Mamaku
terseyum bahagia.

“Ayo Dek Sa, coba ceritakan apa rencanamu” kata kakakku lembut. Aku mulai
menjelaskan bahwa kebun yang kami buat letakknya di atap rumah. Menggunakan
sistem hidroponik dan vertikultur. Dengan cepat aku tunjukan gambar yang ada di
buku IPA. Kakakku segera mencari sumber di internet bahan-bahan yang
dibutuhkan. Ibuku juga tidak mau kalah, mulai googling bagaimana mendapatkan
bibit sayur mayur. Setelah semua bahan yang dibutuhkan fix kami mengakhir diskusi
dan pergi tidur. Aku berlari ke kamar dengan riang, sudah tidak sabar menunggu
satu tahun untuk mengundang nenek untuk berkebun di langit.

Anda mungkin juga menyukai