Anda di halaman 1dari 4

IBU, GURUKU

Berbicara guru, yang terlintas dipikiran kita guru sewaktu SD, SMP, maupun guru saat SMA. Jarang
sekali ada anak yang mengakui kalau guru pertama yang sesungguhnya adalah ibunya. Iya ibu!
Pengorbanannya dalam mendidik anak tak terkira, mulai dari buaian sampai sang anak dewasa.

Pada tulisan ini, aku akan mengisahkan sedikit goresan perjuangan ibu saat mendidikku hingga
menjadi anak yang berhasil. Dalam kisah ini, nama orang sengaja aku samarkan untuk menghindari
kesalah pahaman.

1. Kerja Keras

Aku bersama keluarga tinggal di daerah yang cukup terpencil, saking terpencilnya pada peta
Indonesiapun tak terlihat. Pulau yang begitu jauh dari keramaian kota, salah satu pulau di Sulawesi
Tenggara. Pulau berbatu cadas. Sebagian besar penduduk mengais rezeki dari melaut dan meratakan
bebatuan. Bagi petani, meratakan bebatuan menjadi tanah yang bisa ditumbuhi ubi kayu sudah
menjadi hal biasa. Sebab, kurangnya tanah untuk bercocok tanam.

Keluargaku hidup serba berkecukupan. Keseharian ibuku bergelut dengan sampah kompos dari
dedaunan untuk dijadikan pupuk ubi, sedang ayahku melaut. Sepulang sekolah, usai makan siang,
aku bersama adik pertamaku diminta ibu untuk selalu ke sekolah mengambil sampah dedaunan.
Dengan bermodalkan selembar karung bersama adikku menuju ke sekolah tepatnya ke tempat
pembuangan sampah. Tidak pernah sedikitpun aku merasa jijik dengan sampah yang ada. Padahal
terkadang ada kotoran ayam menempel ditanganku.

Ibuku pernah berpesan “Nak, jangan pernah kamu merasa minder dengan kehidupan kita yang
seperti ini. Hari ini seperti ini, mungkin besok kamu akan menjadi orang yang berhasil”. Pesan ini
selalu kuingat sampai saat ini.

Hari itu hari Minggu, ibu membangunkanku begitu pagi. “Nak, ayo bangun, jangan dilumbahi ayam
yang berkokok”. Dengan bersusah payah akupun berusaha bangun, bangkit dari tempat tidurku.
“Setelah adzan subuh, sholat ya” lanjut ibuku. “Iya bu” kataku.

Usai sholat subuh, “Nak, sini sarapan dulu” ibu memanggilku sambil menyodorkan segelas teh
ditambah dengan segenggam kasoami. Kasoami makanan khas di daerahku yang diolah dari ubi
kayu. Setiap pagi, sudah menjadi kebiasaan sarapan dengan segelas the bersama kasoami atau
terkadang nasi putih. Begitu sederhananya hidup yang diajarkan oleh ayah dan ibuku. Dengan
senang hati aku merainya, ku lahap sampai habis.

Hari Minggu, hari yang ditunggu-tunggu anak sekolahan untuk liburan di rumah, namun tidak
denganku. Liburan hari itu, bersama ibu membawa karung sampah ke kebun. Ibu tak pernah lelah
mengajarku cara meletakkan sampah dedaunan pada batang ubi kayu yang ditanam. Sebab kata ibu,
“Nak, kalau salah meletakkan sampah, atau menyentuh batang ubi, nanti ubinya akan mati”. “Begitu
ya bu”, kataku. “Iya nak, karena ubi kayu yang kita tanam ini tidak begitu banyak tanahnya, terkena
sentuhan saja sedikit, ubinya tak akan tumbuh” kata ibu lagi. “Berati ubi ini, kalau tersentuh olehku
akan mati ya bu?”’ tanyaku sambil memegang ubi kayu di sampingku. Ibu hanya tersenyum sambil
tertawa “HEHEHEHE…., Anakku !, ubi kayu yang subur seperti itu tak akan mati, kecuali yang kamu
sentuh ubi yang baru ditanam, nak”. Aku hanya mengangguk.
Menjelang siang aku dan ibu pulang ke rumah. Hari itu aku sangat senang, bukan hanya cara
meletakkan sampah pada ubi kayu, tapi ibu juga mengajariku cara menanam batang ubi. Di usiaku
yang masih kank-kanak, tepatnya kelas 5 SD, aku sudah bisa menam ubi tanpa dipantau ibu.

Diperjalanan pulang,”Nak, sore nanti kita ke sekolah pungut sampah ya”, kata ibu. “iya bu”, kataku.
Padahal dalam benakku aku ingin mengatakan sudah janjian main bersama teman disore itu, tapi
aku tak berani, sebab aku tak mau jadi anak durhaka. Sebab saat itu yang aku pahami anak durhaka
itu kalau ketika tidak mengiyakan ucapan ibu.

2. Pukulan Kasih sayang

Di sore itu, aku lupa pesan ibu. Begitulah kalau masih anak SD. Masih labil, terkadang suka lupa
pesan ibu. Padahal takut jadi anak durhaka. “Abdul, yuk! ke jembatan” teriak Budi dan Badi
memanggilku. Si kembar sahabat bermainku. Rumah mereka dan rumahku hanya berjarak sekitar 10
meter. Meskipun mereka kakak kelasku tapi aku akrab bersama mereka. Tanpa berpikir panjang “Iya,
tunggu”. Akupun bergegas ke luar rumah tanpa sepengetahuan ibu.

“Eh, tapi ibumu tidak marah itu Abdul?” kata Budi mengingatkanku. “Iya, jangan sampai dia tidak
izinkan”, sambung Badi. “Ah tidak, mamaku tidak akan marah kalau jalan sama kalian”, kataku
meyakinkan mereka. Mereka memang paling tahu, jika ibuku bilang tak boleh, berarti tidak boleh
dilakukan. Sebab sudah beberapa kali mereka melihatku dimarahi ibu karena kesalahan yang aku
perbuat. Terlebih sore itu sebenarnya aku akan menemani ibu ke sekolah memungut sampah.

Dengan wajah senang, kamipun berangkat menuju jembatan. Anak-anak seusiaku sangat senang
mandi laut di jembatan. Bersama teman-temanku yang sudah lebih dulu tiba di jembatan, kami
melompat dari atas jembatan dengan berbagai macam gaya. Ada yang mempertunjukkan gaya salto,
ada gaya meluncur, dan lain sebagainya. Aku bersama teman-teman sangat senang mandi laut sore
itu, sampai suara pengajian di masjid pertanda waktu Magrib tak kami hiraukan.

Dengan wajah kaget “Ha! Sudah jam enam”, teriak salah seorang temanku sambil memperhatikan
jam tangannya. Tanpa basa-basi aku bersama Budi dan Badu bergegas mengambil baju kami. Di
perjalanan pulang “ibuku pasti marah ini lihat kita baru pulang sudah mau Magrib ini”, kata Badi
dengan perasaan takut.

Setiba di rumah, ibu sudah menungguku. “Cepat mandi, bersihkan badanmu”, kata ibuku sambil
memberikan sarung mandiku. Sambil menunduk aku mengambil sarung itu, tak berani aku
memandangi ibuku.

“Sholat magrib dulu, setelah itu ibu mau tanya-tanya”, ucap ibu. Dengan perasaan takut “iya bu”,
jawabku. Rasanya aku tak sanggup lagi untuk berdiri sholat mendengar ucapan ibu tadi. Dalam
sholatpun yang aku pikirkan ucapan ibu. Aku tak khusyuk lagi sholat. Disetiap rakaat sholat aku ingin
berlama-lama. Hari itu sholat magribku tiga kali lebih lama dari biasanya.

“Saya tahu kamu sudah selesai sholat itu, ke sini dulu nak”, ucap ibuku. Memang benar aku sedari
tadi sudah sholat, hanya saja takut menghampiri ibu. Dengan perasaan takut aku memberanikan diri
menghampiri ibu. Ternyata di tangan ibuku sudah ada sebatang kayu kecil. Dalam benakku “
spsertinya kayu ini untuk pemukul kakiku”.

Benar sekali saat sampai di hadapan ibu, batang kayu kecil itu sudah mendarat di kedua betisku
beberapa kali. Seingatku tiga kali. “Kamu dari mana? Seharian ibu tunggu kamu, syukur ada adikmu
yang bantu ibu pungut sampah di sekolah”, ucap ibuku dengan nada marah. Aku hanya bisa
menangis karena terkena pukulan kayu dari ibu.
Dengan nada pelan “Ibu tadi hampir terpeleset, Nak”, sambungnya sambil memperlihatkan kakinya
yang tergores kayu. Mendengar itu aku menangis sekeras-kerasnya. Menangis karena mendengar
ucapan ibu. Aku termasuk anak yang tak bisa melihat ibuku sakit. Aku merasa sangat bersalah,
apalagi memang hari itu aku sangat bersalah, lupa dengan pesan ibu.

Dengan tersedu-sedu aku memeluk ibu, sambil mencium tangannya, “Bu, maafkan anakmu ini yang
sudah salah”. “Iya Nak, tidak apa-apa. Sudah ya, jangan menangis lagi. Ibu sudah maafkan, jangan
diulangi lagi ya, Nak”, ucap ibuku sambil membelaiku. Malam itu aku merasa sangat bersalah sama
ibu, aku takut menjadi anak durhaka. Mulai malam itu, dalam hatiku, aku berjanji untuk tidak
membuat ibu sakit lagi.

3. Belajar disepertiga malam

Ibuku, hanya bisa menempuh pendidikan sampai bangku SMP. Kata ibuku, “dulu nak, ibu sebenarnya
sangat ingin lanjut sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, tapi apa daya. Hidup kami dulu sangat pas-
pasan. Untuk makan saja, terkadang hanya bisa makan sesuap ubi rebus dalam sehari, ditambah lagi
SMA belum ada di kampung kita”. Jadi dulu, orang yang bisa lanjut sekolah ke SMA terkecuali anak
orang yang berada, punya penghasilan. Sebab untuk sekolah SMA harus menyeberangi lautan, hidup
terpisah jauh dari keluarga. Letak SMA hanya ada di kota yang berbeda pulau dengan kampungku.

“Bersyukur sekarang nak, kalian bisa sekolah lebih tinggi, bisa mencapai cita-cita kalian, apalagi
sekarang sudah ada SMA di kampung kita”, kata ibuku lagi memberi pesan. Pesan ibu ini, aku simpan
baik-baik dalam ingatanku. Dulu aku punya cita-cita ingin menjadi seorang tentara. Senang sekali
melihat pakaian loreng yang dikenakan tentara apalagi sambil memikul senjata.

Disuatu hari Ibuku bercerita lagi “Ibu dulu, waktu sekolah selalu juara kelas”. “Berarti dulu ibu anak
pintar”, kataku. “Tidak Nak, Ibu tidak pintar”, sambungnya. “Terus, kenapa bisa ibu dulu selalu juara
kelas?”, tanyaku. “Jadi Nak, belajar di rumah itu punya rahasia”, tambah ibuku. “Apa rahasianya
bu?”, tanyaku lagi. “Bangunlah disepertiga malam, setelah sholat dua rakaat, lanjutkan belajar
pelajaran sekolah. Agar tidak mengantuk, letakkan kedua kaki dalam baskom yang berisi air”,
ucapnya. “Lakukan itu disetiap sepertiga malam, nanti akan terbiasa nak,” tuturnya.

Benar sekali, setelah mengamalkan pesan ibuku itu, disetiap sepertiga malam aku bersama adikku
selalu bangun belajar bersama. Meskipun tanpa dibangunkan, hal itu sudah menjadi kebiasaan kami
sampai saat ini. Selain belajar, berkat nasehat ibu, aku dan adikku terbiasa sholat tahajud meskipun
hanya dua rakaat.

Di sekolah, aku termasuk anak yang selalu mendapatkan ranking satu. Bahkan selalu diikutkan
olimpiade Sains, walaupun hanya sampai ketingkat kabupaten. Meskipun demikian, aku bangga
menjadi siswa yang selalu diperhitungkan oleh guru di sekolah. Semua itu tidak lain karena
perjuangan ibu mendidikku di rumah.

4. Ngajar Ngaji

Ibu termasuk orang yang juga taat beribadah. Sebelum aku dan adikku masuk TPA, di setiap malam
ibu selalu mengajari kami ngaji. Bahkan meskipun adik bungsuku rewel, ibu tak pernah menyuruh
kami berhenti ngaji, apalagi aku yang kakak.

Malam itu tepatnya setelah sholat Magrib, di luar rumah sangat tenang, walaupun sesekali
terdengar tiupan angin sepoi-sepoi. Seperti biasa, ibu sudah memegang qur’an kesayangannya.
Quran yang sudah berusian lanjut. Terlihat dari warna kertasnya yang sudah kekuning-kuningan
ditambah lagi sampulnya sudah tiada.
Selain quran, di tangan ibu juga tak pernah lepas penggaris plastik yang sering aku bawa di sekolah.
Mistar yang selalu ibu gunakan sebagai penambah semangatku saat ngaji. Mistar itu akan melayang
di tangan saat ada bacaan aku dan adikku yang salah. Aku dan adikku waktu itu masih dibacaan buku
iqra.

Usai ibu mebaca beberapa ayat dari qur’annya, aku dan adikku dipanggil ke hadapannya. “Nak, bawa
dengan buku iqra kalian ke sini”, panggil ibu. “iya bu”, sahutku. Aku dan adikku sudah di hadapan
ibu, siap melantunkan bacaan iqra. Bacaanku telah sampai pada huruf Dza sedang adikku baru
sampai tsa.

Ibu menunjukku agar lebih dulu memulai membaca. Perlahan, satu demi satu kata ku bacakan
kepada ibu. dengan seksama ibu mendengarkan sambil sesekali mengayunkan mistarnya ke telapak
tanganku. Malam itu, mistar ibu mengenai telapak tanganku paling banyak dari malam-malam yang
sebelumnya. Ternyata aku masih banyak salah dalam pengucapan huruf Dza.

Setelah ngaji, ibu meminta aku dan adikku menunaikan sholat isya berjamaah. Selama duduk di
bangku SD aku jarang sekali sholat berjamaah di masjid, terkecuali sholat ashar dan sholat jumat.
Sebab dulu aku masih takut dengan setan. Masih percaya dengan pocong dan kuntilanak. Terlebih
dulu masih terdengar kicauan burung hantu. Orang-orang di kampungku menamakannya dengan
burung suanggi. Burung yang disematkan kepada nenek tua yang berilmu hitam, memakan anak-
anak dan bayi. Jadi kalau sudah malam aku tak berani keluar rumah sendirian.

Demikianlah sedikit perjuangan ibu dalam mendidikku bersama adikku. Masih banyak didkan ibu
yang tidak sempat aku tuangkan dalam kisah ini. Insyaa Allah dalam kesempatan lain aku akan
kisahkan. Untuk ayah dan ibuku, semoga Allah subhaanahu wa ta’ala selalu menyayangi, menjaga,
dan melindungi dimanapun kalian berada.

Anda mungkin juga menyukai