12 januari 2014
Usiaku tepat 16 tahun. Tidak ada perayaan spesial saat itu. Tapi hal
yang menyenangkan berlomba lomba mendatangiku.
"Anin! udah mau jam 7, bu Nia udah nelpon nih" teriakan ibu berhasil
mengembalikan kesadaranku.
"Iya Bu, aku turun nih" ucapku sambil berjalan menuruni tangga.
"Duh Kak, Ibu daritadi nungguin Kakak di teras lho. Kakak sih
kelamaan dandan, orang cuma ke toko bunga aja dandannya sejam.
Lebay ah!" ejeknya tak memperdulikan ayah yang mulai melirik ku
penasaran
Sebisa mungkin aku mengalihkan perhatian ayah "Hah iya Dek? Oke
oke Kakak ke depan dulu yah. Ayah, kakak pamit ya nemenin Ibu"
pamitku sesegera mungkin dan menyusul Ibu yang ternyata telah siap
dengan dua box besar yang tersusun di depannya.
Tanpa menunggu lebih lama lagi ibu mulai memimpin jalan dengan
aku yang berusaha mengangkat box yang akan diisikan puluhan pot
bunga
*
2
Tak terhitung sudah berapa kali aku menginjakkan kaki di tempat ini.
Jadi tak heran jika aku menghafal hampir di luar kepala setiap
sudutnya. Terdengar hiperbola memang tapi begitulah adanya.
Toko ini milik Bu Nia, teman Ibu. Mereka kembali bertemu di kota ini.
Melihat mereka lantas mengingatkanku dengan Fifi, teman masa
kecilku yang sekarang berada di Jepang.
“Mana dia manggil pake embel embel mbak lagi. Duh aku kan masih
16 tahun, masih muda kali” gerutu ku dalam hati
“Sebelah si—”
“Anin, dipanggil sama tante tuh di dalam” potong kakak yang berdiri
di balik meja tadi.
Tak ingin mendengar teriakan ibu lebih keras lagi, aku pun segera
berlari menghampirinya. Awalnya aku ingin meminta tolong ke kakak
itu untuk membantunya mencari bunga lili, sayangnya suara ibu lebih
memengaruhi otakku untuk segera menemuinya.
“Hai Anin, apa kabar nak?” sambut bu Nia dengan begitu akrab
disusul pelukan plus ciuman di kedua pipiku
“Tuh lihat ibu mu daritadi hitungin bunga, gak kelar kelar. Tante tadi
udah mau bantuin eh dianya malah manggil kamu. Dikiranya tante
bodoh apa gak bisa ngitungin jumlah bunga.”
“95..96..97….”
4
“Ibu bunga sebanyak ini kita angkat cuman berdua?” aku yakin muka
ku saat ini pasti terlihat begitu aneh di mata ibu
“Ya terus kenapa? Rumah kita dekat kok. Nanti abis itu kita makan
deh. Makanan kesukaanmu, u..ud.. hm apa lagi namanya kak?”
“Udon ibu”
“Oh Anin suka makan udon ya?” Tante Nia melihatku dan segera
kuhadiahi anggukan “Hm kalau gitu coba aja makan di resto Jepang
yang dekat taman. Ada tuh baru buka katanya kemarin malam”
Kalau aku seorang emak emak yang hobi nyeritain semua yang
dialaminya lewat status fb, mungkin aku akan menulis “Sungguh hari
yang melelahkan bla bla bla bla” ditambah emoticon yang tidak kalah
ramainya.
“Siap siap ngapain bu?” ujarku dengan tenaga yang pas pas an
5
“Lho gimana kamu nih, tadi semangat banget pengen makan. Kok
sekarang masih leye leye? Jadi pergi apa tidak?”
Mendengar itu aku coba mengingat apa yang dimaksud ibu, “Makan?
Semangat?”
“Bukan ditraktir dek, ini tuh namanya upah tukang kebun” suara tawa
menggema di kendaraan roda empat pemberian ayah
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Aku dan Aurora bergegas ke counter
pemesanan yang terlihat ramai, sementara ibu berjalan menuju area
makan. Aku melihat papan menu. Varian menunya lengkap dengan
harga yang terjangkau dan tentunya promo yang tak kalah
menggiurkan. “Pantas saja restoran ini ramai, rupanya mereka
memburu promo” ujar adik dengan tingkat sok tahunya yang tinggi.
6
“Iya dek, tapi tempatnya juga mendukung. Interiornya Jepang banget
gak sih? Nyaman pula ditambah pelayanannya yang the best. Gak tahu
ya udonnya gimana rasanya,”
“Ibu!”
“Ya Allah ya Rabbi! Suara mu toh nduk ndak ada ayu ayu nya. Heran
ibu, kamu mirip siapa ya nduk? Udah besar gini, masih saja heboh
macam anak anak kompleks” aksen Jawa ibu mulai terdengar
Ucapan ibu berhasil mengundang gelak tawa. Adik saja tidak malu
dengan perbuatannya tadi, malah suara tawanya yang paling besar.
Aku berusaha meredakan tawaku.
Tunggu
Suara tadi mirip dengan--Aku berbalik dan melihat dia berdiri disana.
“Ehm kita mesti balik duluan, ada yang urgent. Salam buat Om, aku
pamit” secepat itu Fifi pergi
Aku menatap tak berselera spicy tori baitan udon yang masih belum ku
cicipi
Sebenarnya sejauh apa Fifi pergi? Mengapa rasanya dia semakin jauh?
Is she Fifi? a lovely friend that i love the most? Apa Jepang berhasil
mengubahnya? Tolong bantu aku semesta.
16 Januari 2014
8
lantang. Sebenarnya aku takut petir, tetapi aku menyembunyikannya
dengan fokus ke hp dan segera menghubungi ayah.
Kata ayah, dia akan sampai sekitar 10 menit. Tubuhku sudah mulai
kedinginan, karena anginnya juga cukup besar. Walaupun sudah
menepi, tetap saja hujannya terbawa angin, jadi tetap membasahiku.
Aku melihat ke arah mobil yang ikut menepi. Aku pikir itu mobil ayah,
ternyata warnanya saja yang serupa. Aku coba menghubunginya
kembali.
“Oh iya sampai lupa, aku Caca adiknya kak Fifi. Salam kenal Kak
Anin!”
Sejak kapan Fifi punya adik? “Oh hai salam kenal," ucapku mencoba
ramah
“Ikut sama aku yuk kak!” ucapnya dengan suara lantang karena tak
ingin kalah dengan hujan
9
Memberi tahunya kalau aku sedang dalam perjalanan menuju ke
rumah.
“Baiklah,"
Ternyata kami tidak hanya berdua, ada satu orang lagi yang tidak ku
sadari keberadaannya. Dari spion mobil aku bisa memperhatikan
wajahnya walaupun dihalangi dengan topi.
“Kak Anin mau diantar kemana?” tanya Caca dengan wajah sumringah
“Oke kak! Eh ternyata searah. Kalau gitu kita ke rumah sakit dulu,
gimana? Abis itu baru deh anterin kak Anin. Gimana onii-san?”
10
Baru aku ingin menjawab Caca, suara seseorang mendahuluiku
“Boleh.”
Tunggu.
Aku pernah mendengar suara ini. Suaranya khas jadi aku bisa
mengingatnya dengan mudah. Apa suara tadi berasal dari laki laki
bertopi itu?
Perkataan Caca membuatku tersentak “Aduh aku lupa lagi. Kalian kan
belum saling kenal. Kenalan dulu gih,”
“Kak Anin, perkenalkan ini kak Naka aku biasa panggil dia onii-san.”
Penjelasannya diselingi tawa ramah, membuatku mau tidak mau
mengatakan “Salam kenal, saya Anindya panggil aja Anin. Saya
temannya Fifi,” Hanya perkenalan biasa. Sesekali aku bisakan
menampilkan senyum ramah ke seseorang yang membantuku hari ini?
Hah tau darimana? Lagi lagi pertanyaan itu hanya bisa ku suarakan di
pikiranku. Tapi untungnya Caca mengambil alih dan mengatakan
“Yeee Onii-san mah sok tahu! Tahu darimana coba,” ledeknya dan
hanya dihadiahi wajah datar oleh sang empu.
11
“Yeee ditanya malah diam. Maafin ya kak Anin. Onii-san tuh
orangnya gitu tapi sebenarnya dia baik kok cuman kadang kadang yah
gini. Dimaklumi aja ya kak.”
“Ah iya, ga papa kok santai aja.” jawabku sebisa mungkin terdengar
tidak canggung.
Tak terasa hujan mulai reda, rambutku juga mulai kering dan mobil ini
bergerak menuju basement rumah sakit. Aku mengernyit aneh ketika
menyadari Caca turun dari mobil.
“Aku duluan ya kak! Onii-san jaga baik baik ya kak Anin. Kapan
kapan kita kontekan lagi ya kak.” ucapnya dengan begitu cepat disusul
senyuman penuh arti yang menghiasi wajah jenakanya.
“Eh wait Caca!” teriakan ku tidak dihiraukan. Dia terus saja berjalan
hingga menghilang di belokan sana.
“Okay,” aku hanya bisa menjawab sesingkat itu, karena jujur aku
sedikit, tidak, aku sangat canggung di sini. Tapi aku harus tetap terlihat
cool dan santai. Jangan malu maluin deh, Anin!
..Your hand fits in mine like it's made just for me..
12
Aku ikut bersenandung untuk menghilangkan rasa canggung ku.
“Biasa aja” jawabnya terlihat santai. Lelaki ini sama sekali tidak
terlihat canggung berbagi ruang di mobil ini denganku. “Paling suka
lagu Little Things?” tebaknya, matanya serius menatap jalanan yang
mulai diterangi lampu lampu jalanan berwarna kuning.
Aku hanya membalas dengan senyuman tipis. Siapa sih yang tidak
suka One Direction? Ya, pasti ada, tapi tidak sebanyak penggemarnya.
Minimal mereka tahu lah lagu What makes you beautiful.
“Kenapa tuh?
“Lumayan, sih. Bisa gini karena dengerin Fifi kalo ngomong,” aku ikut
cekikikan
13
“Tapi kalian bisa seakrab itu ya?” alisnya terangkat satu ketika
menoleh
“Iya, dari kecil udah temenan. Sekolah bareng, kemana mana bareng.
Kita cocok sih satu sama lain, jadi kalau gak bareng rasanya aneh.”
-Seperti ada yang hilang--lanjutku dalam hati.
“Hah? O.. o-oh ya. Waktu di toko bunga itu, aku pengen nunjukin
tempat bunganya. Tapi pas dengar suara Ibu aku langsung meluncur ke
TKP, takut aja gitu suara menggelegarnya bisa buat pelanggan kabur,”
kalimat hiperbola ku membuatnya ikut terkekeh.
“Yang itu belajar dari Fifi juga?” lelaki itu terkekeh setelah
menggumamkan kalimatnya.
14
“Aku kira wajahmu hanya bisa mengernyit serius, maksudku wajahmu
selalu terlihat tidak peduli. But i got something else today,” aku bisa
melihat kepuasan di matanya, entah apa.
Aku tertawa mendengar ucapannya “Not bad, bukan cuman kamu yang
first impressionnya begitu.” lanjutku, mengingat orang orang bilang
aku terlihat cuek dan terkesan tidak mau tahu. Padahal menyapa saja
belum.
“Kita gak bisa ngatur opini orang lain, apa lagi berdasarkan apa yang
mereka lihat. First impression itu penting tapi lebih bagus kalau kita
find out then understand. Jadi gak kepikiran dia orangnya begini-
begini, padahal mereka baru tahu secuil dari orang itu,”
“Oleh oleh dari Fifi,” jelas Kanaka ketika melihat wajah bingungku
Mata lelaki itu sedikit melirik ke arahku. “Next time, deh,” jawab
Kanaka
15
“Terima kasih, Kanaka. Nice to meet you anyway,” kataku dengan
senyum tipis
9 April 2014
Sarapan di hari Senin selalu menjadi hal yang besar bagi keluargaku.
Bolu kukus dan kopi... Nah, Apakah kopi berwarna cokelat muda?
Kenapa terlihat seperti cokelat?
Ketika ayah turun, dia berkata dengan suara gembira, “Aku mencium
bau kopi!” kemudian dia meminumnya dan memberiku acungan
jempol.
“Kamu terlihat seperti gadis petani,” kata Aurora dengan lirikan sinis.
Aku tahu dia masih marah karena kehilangan album Little Mix
kesayangannya dan dia berubah sinis ke semua orang.
Big no! Aku lebih prefer ke kelas dengerin lagu dari iPod, ngisi riddle
terus habisin bekal buatan ibu.
Aku menunjuk tas kemudian ke arah kelas ku berada, kode itu diterima
dengan baik oleh Hanum. Dia segera mengacungkan jempol usai
melihatku.
17
Suasana kelas begitu sepi, deretan kursi yang biasanya penuh kini
hanya terisi di pojok ruangan. Lebih tepatnya, aku yang duduk
membuka buku kumpulan riddle pemberian Fifi.
Drrt.. drrt..
Ponsel ku berbunyi.
Dia tertawa.
“Hei, keluarlah.”
“Kemarilah,”
18
“Kesana?” ucapku ragu
“Aku gak bisa soalnya, ehm..” aku berusaha mencari alasan yang tepat
untuk menghindar “Ehm.. ngerjain tugas. Ya.. Aku lagi ngerjain
tugas.”
19
Drrt.. drrt..
Ponselku berbunyi.
Hanum.
“Dimana Nin?”
“Di kelas,”
“Gue pikir lo pulang. Guest star nya bentar lagi tampil, buruan deh
kesini. Sebelum kehabisan tempat.”
“Yha Anin mah gak asik. Gilsha sama Yaya juga nungguin Lo tau,
buruan deh. Gue jamin Lo bakal suka sama pensi kali ini.”
“Apa coba bedanya? Pensi ya gitu gitu aja palingan, nothing special.”
“Hmmmmm”
“Dadah Anin,”
Itu Kanaka.
Dia tertawa
“No problem. Kita bisa nonton terus ke Haagen dazs kan?” sesekali dia
melihatku dan kembali fokus dengan ponselnya
Aku ikut tertawa. Sungguh, dia memang receh. Tidak, aku juga.
“Oke,”
“Siap Nin?”
Drrt.. drrt..
Ponselku berbunyi.
Drrt.. drrt..
Bara siapa?
Males
*Zzz
Aku dengan salah tingkah ikut mengambil ponsel di dalam saku dan
menyalakannya.
24
Seluruh isi liriknya menggambarkan betapa sang lelaki bersyukur
karena telah menemukan cinta sejatinya. Si cowok berkaca mata itu
menyampaikan sepatah dua patah kata dan disambut heboh oleh suara
riuh penonton.
“Hei,”
“Bara!”
Refleks aku berhenti dan memperhatikan orang itu. Bara itu penyanyi
yang tadi? Cowok berkacamata yang kata Hanum bakal ada di
backstage?
Mungkin sekitar 30 menit aku hanya diam dan tidak berbicara sepatah
kata pun. Aku bahkan lupa 30 menit sebelumnya lagi ngapain. Tapi
yang jelas, sekarang Aku duduk di dalam mobil yang bergerak menuju
pusat perbelanjaan.
26
Aku berjalan menyamping sembari berpikir, aku tidak bisa membawa
mereka semua pulang, setidaknya pilih satu untuk menemaniku
mengisi riddle.
“Kayaknya suka banget sama es krim itu, mikirnya sampai mau netes
air liurnya, tuh.” Sambung lelaki itu
Mendapati aku yang masih tidak bersuara, lelaki itu kembali bersuara
“Hello, world calling,” lelaki itu kini menjentikkan jarinya di depan
wajahku yang membuatku memundurkan kepala karena terkejut.
Seketika dia tertawa terbahak bahak, “Sorry sorry saya lucu aja
ngeliatin kamu kebingungan milih es krim,”
Aku hanya mengangkat kedua bahuku seolah tidak peduli, dan mataku
tidak sengaja menatap senyum hangatnya yang sedikit membuatku
tertegun.
Aku ingat.
Dia orang yang mengaku sebagai ojek payung ketika hujan itu. Dia
menawariku payung namun ku tolak karena letak rumah tersisa
sepuluh langkah.
“Payungnya mbak?”
“Mau coba?”
“Siapa?”
Aku berbalik.
Bersama Caca?
“Empuk nih sofa nya, bisa kali kita duduk semenit dua menit,” tambah
Caca
Aku menepuk keningnya “Yee otak drakor kamu tuh dek,” omelku dan
dia mengaduh dalam gelak tawanya.
30
Aku kembali fokus dengan riddle.
Aku menggeleng.
“Tapi kok kak Bara tau nama Kakak? Dia bilang semoga suka es
krimnya Anin,” tatapnya menunggu penjelasan dari ku
31
“Kenapa pada ngeliatin aku?” tanyaku heran dan tidak nyaman karena
menjadi pusat perhatian tak terkecuali Kanaka
“Aneh tau gak, Kakak yang ansos kok bisa dikenal sama Mr.
Popular?”
Aku mengendikkan bahu tak peduli dan kembali mengisi riddle yang
tersisa sedikit. Aktifitas ku terhenti ketika kursi di sampingku
terdorong kebelakang akibat sang penghuni yang berdiri tiba tiba.
Saat hari itu datang, aku bangun lebih pagi dari hari biasanya. Aku
bersiap siap dibantu ibu. Aku mengenakan inner strap hitam putih
ditumpuk dengan kostum eraspooky toast bread, dipermanis dengan
boot merah, kunciran rambut dan ditutup dengan topi baret hitam.
Tak lupa riasan sederhana khas Halloween buatan ibu.
Aku berjalan penuh percaya diri menuju garasi rumah Nick. Aku
memperhatikan sekitarku, meja berwarna merah darah penuh dengan
sajian Halloween seperti donat bentuk mata, salad sayur dengan
potongan spooky, kue berbentuk gigi drakula dan sepiring buah
buahan seperti mangga, apel, labu yang diberi topping jeli. Aku tidak
sabar menyantap kue berbentuk drakula itu. Kalau begitu aku akan
duduk tepat di belakangnya. Perhatian ku teralihkan tatkala
segerombolan anak perempuan berdiri tepat dihadapan ku dengan
tatapan menilai sedetik kemudian mereka menyemburkan tawa
mengejek sambil menunjuk ke arah kostum ku.
Aku memberikan tatapan tidak terima dan ikut menilai kostum mereka.
Mereka memakai gaun pesta dan hiasan kepala sederhana berbentuk
telinga kucing. Saat itu aku menyadari bahwa kostumku terlihat aneh
dan begitu mencolok. Aku tak habis pikir berapa uang yang mereka
keluarkan untuk gaun sekecil itu.
Ketika pemikiran itu lintas saat itu pula hadir sosok telur setan. Laki
laki berambut ikal dengan tubuh gempal dan kulit terang sedang
menatap ke arahku. Aku melemparkan senyum kepadanya dan
direspon dengan langkah kaki yang bergerak mendekat. Setidaknya
aku terlihat aneh dengan cara yang keren.
33
“What a gorgeous cosplay,”
“You neither,”
Dimulai dari percakapan itu, kami mulai dekat. Aku menikmati sisa
pesta ini bersamanya. Kami mencoba semua hidangan yang tersisa
sampai tubuhku sulit untuk bergerak. Tapi dengan keras kepala, Dimi.
Ya namanya Dimi. Dia menarikku menuju spot photobooth. Kami
mengambil banyak foto mulai dari yang bebas sampai memakai
aksesoris yang menambah kesan spooky.
Dimitrio w/ Anindya.
“Dimi!”
34
Tak ada respon.
“Awas ya Dimi kalau kita ketemu, aku gak bakal lepasin kamu sedetik
pun.” Gerutuku dalam hati
Aku kembali memasang helm kuning ku dan menaiki skuter. Tapi itu
semua terhalang ketika aku melihat mobil Jeep di ujung jalan. Masih
ada harapan.
“Lho den Dimi bareng nyonya udah di pesawat mbak, ini bapak dari
anterin mereka.”
“Iya mbak, mulai hari ini mereka akan menetap di Bali berhubung
nyonya dipindahin tugas. Jadi rumah ini juga bakal dijual,”
Itu kata terakhir yang kudengar dari pak Asep. Aku tidak peduli
dengan teriakannya yang memanggilku, yang ingin kulakukan
hanyalah pulang ke rumah dan memeluk ibu sekencang mungkin.
Aku berlari menuju ruang tv dan melihat ibu duduk di sana. Segera ku
hampirinya dan berusaha menggapai pinggangnya untuk ku peluk.
35
Aku menangis sesenggukan. Ibu mengelus punggungku dengan
sayang. Dia menggendongku untuk diletakkan dipangkuan nya.
“Shhh... tenang dulu nak. Coba jelaskan sama ibu, pelan pelan aja.”
“Bu, kalau orang pergi gak bilang bilang itu artinya apa?”
Aku mendongak melihat wajah ibu yang dihiasi senyum kasih sayang.
“Anin tahu gak lagu kesukaan ibu?”
Aku menggeleng.
Ibu tersenyum kemudian mengusap air mata ku, “Mau dengar ibu
menyanyi?”
36
“Anin tahu gak? Lagu ini mengajak kita untuk percaya bahwa selalu
ada kesempatan kedua untuk kita bangkit kembali dari keterpurukan,
percayalah nak badai pasti berlalu.”
Lagi lagi ibu mengelus punggungku, “Gak ada yang tahu nak besok
atau bahkan sedetik kemudian apa yang bakal terjadi, kita cuma bisa
berharap kepada yang maha kuasa,”
“Gimana kalau sekarang Anin ambil air wudhu terus kita sholat
bareng,” ajak ibu
Aku menengadahkan tangan, “Ya Allah, boleh gak kalau aku minta
Dimi muncul lagi di hadapanku? Bisa gak ya Allah kita main bareng
lagi? Buat cosplay bareng untuk Halloween tahun depan atau lomba
makan es krim di kedai pak Ucup. Semoga Dimi gak lupa sama Anin
ya Allah.” Kututup doaku dengan ucapan aamiin
Hari ini benar benar melelahkan, aku tertidur di pangkuan ibu dengan
mata yang sembab.
15 April 2014
Getaran ponsel di atas meja belajar berhasil menarik atensi ku, dari
nomor yang tidak ku kenal.
37
Aku harus fokus menyelesaikan tugas keterampilan penilaian akhir
yang deadline nya seminggu lagi, harus rapi tanpa ada cacat
sedikitpun.
“Halo, selamat sore?” sapaku berusaha ramah. Padahal jika ini dunia
komik, di atas kepala ku sudah dipenuhi kepulan asap.
“Ini mbak dari pos.” Pria disana mulai meninggikan nada bicaranya,
mungkin kesal karena aku lama merespon.
“Oh baik pak saya turun, ditunggu ya,” ucapku sekali lagi
Sampai di teras aku melangkah keluar dan melihat satu motor bebek
hitam dengan pengendara yang beberapa Minggu lalu
merekomendasikanku es krim. Aku melihat ke sekitar rumah, dimana
bapak bapak pos tadi? Aku masih sibuk celingak-celinguk mencari
bapak itu, ketika sepasang sepatu Converse Chuck Taylor terlihat di
pandanganku.
“Hei,”
“Cari siapa?”
38
Aku memeriksa ponselku kembali dan menghubungi bapak tukang
pos.
Ketika aku hendak masuk kedalam rumah, suara bass memenuhi indra
pendengaran ku “Lo gak ingat gue?”
“Hah?”
“Maaf kak, saya harus ngerjain tugas. Permisi kak,” pamitku undur
diri.
“Oh iya,”
Aku berbalik melihatnya, “Yang es krim itu makasih ya kak, betul kata
kakak rasa es krimnya gak ngecewain,” kuberi senyum tipis.
“Hm,”
39
Aku membungkuk dan bergerak canggung meninggalkan pemilik
motor bebek itu.
“Heh,”
Aku berdiri kaku di depan pintu pagar, rasanya canggung sekali. Aku
ingin cepat melewati suasana ini jadi ku putuskan untuk berjalan
masuk dan menutup pagar tanpa menghiraukan ajakannya.
“Bapak tukang pos,” ucapku sambil melahap kue bolu yang masih
hangat.
“Oh iya kak. Kemarin kan ibu rencana beli udon yang di tempat kita
makan itu lho kak, tapi sayangnya dompet ibu ketinggalan di mobil,”
40
“Yha ibu, terus terus gimana?” tanyaku tak sabaran.
“Abis itu ya, mau ga mau ibu balik dulu dong ke mobil. Ibu turun tuh
ke basemen, buru buru banget karena resto nya udah mau tutup. Tau
gak kak? Pintu mobil kita datang lagi penyakitnya. Waktu itu ibu
pengen minta tolong ke siapa gitu tapi gak ada orang orang yang lewat.
Sampai berapa menit ibu coba, tetap aja gak bisa kebuka. Emang ya
perkataan rezeki anak Sholehah itu benar, gak lama setelah itu ada
orang baik hati bantuin ibu,”
“Beneran Bu?”
“Iya kak, terus anaknya sopan banget lagi. Zaman sekarang jarang lho
ada anak cowok seperti dia. Hm terus yang serunya kak ternyata dia
yang punya resto udon itu. Jadi ibu borong tuh udonnya.”
“Eh iya kak ibu hampir lupa. Waktu berhasil buka pintu mobil, gak
sengaja dia liat foto kita berempat di dashboard. Terus ibu tanya
kenapa nak? Dia diam bentar terus senyum ke ibu katanya titip salam
ke kamu. Katanya sih kalian kenalan baik,”
“Namanya Kanaka,”
“Wah kakak cerita dong, kenal bibit unggul itu dari mana?”
“Kapan kapan boleh kok undang main ke rumah,” teriak ibu tak mau
kalah.
“Main apa Bu? Orang dia udah gede, mau diajak main masak masak
gitu?” gurauku.
“Rindu hehehe,”
“Siapa lagi Bu? The one and only, Ayah” aku bergerak memeluk ayah
yang sedang melonggarkan dasinya.
“Ibu mah gitu. Aku pernah lho ajak ayah premiere film Disney.”
“Itu yang ada ayam matinya,” lanjut ayah yang mengundang tawa kita
bertiga.
“Moana? Yang ceweknya berhasil jadi kepala suku, itu bukan Yah?”
Aurora datang dengan tas ransel yang tergeletak di lantai, “Yee ribet
amat, kenapa gak langsung cek foto di ponsel ayah aja terus tunjukin
deh ke kita.”
“Ya udah, Anin pamit ke atas.” Ucapku final ketika menyadari tak
seorang pun yang mendengarkan ku, mereka sibuk dengan foto di
ponsel ayah.
Mengerjakan hal seperti ini menjadi self healing bagiku. Tak hanya
ketika sedih bahkan saat senang pun ini sangat membantu dalam
mengoptimalkan kinerja otak.
Mendengar nama Fifi disebut, aku segera membuka pintu kamar yang
terkunci.
Klek..
“Geser dek,”
“Waalaikumussalam ukhti,”
“Eh gue lupa, wait Nin,” dia melepaskan rangkulan kami dan berjalan
cepat menuju teras.
Aku menyusulnya.
Fifi dan seorang laki laki yang terlihat familiar sedang berbicara
dengan posisi sang laki laki yang berada di depan kemudi.
“Dia ngotot pengen nungguin gue, gak tahu aja kita tuh baru ketemu
mau girls time jadi ya pasti lama kan,” teriaknya.
“Pokoknya Onii-san pulang aja deh atau kemana gitu yang penting gak
di rumah ini dan Lo Anin, kita harus bicara empat mata,” suaranya
terdengar frustasi.
Aku tertawa, “Calm down Fii, jangan overthinking deh. Aku kenal
baik kok sama Kanaka kita berapa kali jalan bareng ya jalan biasa aja,
beli buku and another stuff. Kebetulan kita nyambung satu sama lain
46
dan kamu kan tahu aku jarang punya teman yang klop. Jadi Kanaka ya
begitu.”
“Eh gak boleh, pokoknya gue nginep, Lo bebas cerita apa aja tapi yang
ini tuh paling urgent. Gue udah ketinggalan banyak hal tahu. Eh tapi
gue senang, finally neng geulis satu ini jatuh cinta juga,” ucapnya cepat
disusul tawa mengejek.
“Gue masih ingat, dapur ini hampir lenyap karena ulah kita,”
Aku tertawa kecil mengingat kejadian itu, “Aku sih yang teledor, lupa
matikan kompor jadi deh dapat ceramah dini hari dari Ibu.”
“Wah parah deh muka Lo Nin waktu itu,” lanjutnya diselingi tawa
mengejek.
“Ish wajar tau Fi, orang panik terus dapat serangan double yaitu
ceramah ibu tercinta yah gimana muka ku gak pucat. Tarik napas aja
belum, suara ibu udah melengking aja,”
Fifi tertawa, “Wah iya, tuh orang emang ngeselin. Untung cakep si
doi.”
Fifi tertawa malu malu, “Yah gak juga, tapi Lo mesti lihat yang satu
ini. Beuh sedaaap pisan gak ada lawan mah,” Ucapnya sambil
mengaduk aduk isi tasnya, “Duh mana lagi, nah ketemu. Coba sini Lo
liat mukanya. Gue ketemu dia di Jepang katanya ikut student exchange
gitu.” Ucapnya panjang lebar.
Tiba tiba dia berdiri dengan mulut yang penuh dengan makanan. “wjah
pharah nhaksir ithu nhamanya,” perkataan Fifi tidak bisa ku dengar
dengan jelas.
“Oh ada satu lagi, ternyata kak Bara semester ini pindahan resminya.
Seperti yang kamu bilang, dia ikut student exchange 2 tahun dan baru
kembali bulan Januari lalu. Menurutku gak make sense gitu kok dia
bisa tau aku ada di bumi ini bahkan alamat rumahku. Bukannya
berburuk sangka atau gimana tapi kok rada ngeri? Aku berasa gak
nyaman kalau memang dia jadi stalker.”
“Gimana kalau Lo fokus aja ngerjain tugas apapun itu, jadi Lo gak ke
distract sama ajakannya itu. Bawa santai aja Nin.” Lanjutnya.
Aku memikirkan usulan Fifi, “Tapi malam ini nginap ya Fi, aku ada
series baru kalau kata Kanaka mind blowing, jijik tapi menarik plus
CGI nya gak main main,”
“Lo gak bakat mengalihkan pembicaraan Nin,” lanjutnya “Ya gue akui
coretan Lo udah sebelas duabelas sama Vincent Van Gogh,”
49
“Alhamdulillah udah membaik Nin, kapan kapan ke rumah yuk.” Ajak
Fifi.
“Iya, nanti Lo bareng Onii-san aja ke sana, soalnya gue lagi mau urus
pindahan sekolah.”
“Eh Caca itu baik banget ya, dia bantuin aku waktu kehujanan.”
16 April 2014
Fifi meneleponku malam itu saat aku mengecat kuku kaki dengan
warna merah muda yang berbeda. Terdengar sangat ribut sehingga Fifi
harus berteriak, “Coba tebak!”
“Apa? Aku hampir tak bisa mendengarmu!” Aku lagi mengecat jari
kelingkingku dengan warna yang disebut peach.
50
“Tahan.” Saya bisa mendengar suara latar belakang mulai sunyi. “Bisa
dengar suara gue sekarang?”
Dia duduk di mejanya, mengenakan sweter pulau, biru muda dan hijau
muda, dan rambutnya basah.
“Fii,”
“Nin,”
“Lo ada niatan gak temenin gue cari kado buat Aurora?”
“Bisa Fi, aku juga gak ngapa-ngapain di rumah. Paling acaranya udah
di handle sama Ayah.”
Diing..
2 pesan baru.
Ku gulirkan layar ponselku dan menemukan pesan dari Fifi dan nomor
tidak dikenal.
+628123564xxx
51
Dimana?
Drrt.. drrt..
...
Otakku masih mencerna apa yang terjadi. Jadi ini nomornya... Mati
aku, seharian ini aku coba menghindarinya. Kenapa jalannya jadi
seperti ini?
Baiklah.
“Gue di depan rumah Lo, kalau aja Lo lupa hari ini harusnya Lo ke
kedai es krim pakai kostum Halloween.” Ucapnya jelas dengan
penekanan di setiap kata.
Refleks ku buka tirai jendela dan benar saja ada seorang pengendara
motor yang parkir di depan gerbang.
Hening lagi.
18 April 2014
Malam ini aku telah menumbuk ubi jalar dan menaburkan gula coklat
dan kayu manis di atas, lalu ku letakkan di bawah broiler sehingga gula
terbakar seperti Crème Brûlée.
“Aku ingin mendapatkan ayam ini saat masih bagus dan juicy.” Kataku
53
“Sebentar lagi,” kata Aurora, dan beberapa saat kemudian bel rumah
berbunyi. Aurora berlari dengan gesit membuka pintu.
“Jadi sudah berapa lama lo dan Bara alias Dimi lost contacts?” Fifi
bertanya padaku. Dia memiliki tatapan meragukan di matanya, seperti
dia 90 persen percaya padaku tapi masih ada yang 10 persen yang
memiliki keraguan.
54
Aku tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu. It’s been a long time
since he leave me without saying goodbye or something like that.
Tanpa seizin ku dia menarik lengan kiri ku menuju meja di dekat kasir,
“Kenapa senyum senyum?” tanyanya.
Foto dua orang anak yang sangat ku kenal. Si cowok yang bertubuh
gempal dan cewek berambut pendek sedang tersenyum ke arah
bidikan kamera.
“Dimi.” Ucapku.
Hening.
Di pikiranku tidak pernah ada skenario seperti ini. Pernah sekali, aku
berangan angan seperti apa rasanya jika aku dan Dimi kembali
bertemu. Di benakku Anin yang satu itu pasti akan langsung
memeluknya erat dan akan memaki makinya dengan cara yang jahat
sama seperti bagaimana dia pergi.
Kata itu tidak pernah ingin kudengar keluar dari mulut seorang
Dimitrio Barachandra.
Aku menyesali diriku yang begitu bodohnya tidak menyadari hal aneh
ini. Dia memang banyak berubah tapi seharusnya jika aku memang
temannya harusnya aku bisa mengenalnya lebih baik dari orang lain.
Hening lagi.
“Anindya,”
Aku tidak bisa berkata apa apa. Aku butuh Fifi atau siapapun itu. Aku
ingin pergi dari sini.
“Maaf kak setahu saya teman saya itu udah pindah ke Bali dan gak
mungkin kembali lagi,”
Aku bisa melihat raut wajah sedihnya tapi kuabaikan hal itu dan
bergerak cepat meninggalkan tempat ini.
“But i’m here with all my regrets. Maaf karena pergi mendadak tapi
Anin kamu harus tahu sometimes, some things better left
unexplained.”
Langkah ku terhenti.
Sungguh sebenarnya aku sudah ingin menangis atau apapun itu yang
bisa mengeluarkan rasa sesak yang tiba tiba memenuhi ruang di
dadaku, tetapi aku mencoba untuk menahan itu.
57
“Mungkin pertanyaan di kepala kamu bisa terjawab kalau aku antar
kamu ke suatu tempat.”
Tidak ada yang bersuara diantara kami dan aku tidak nyaman dengan
keheningan ini. Makanya aku memilih untuk mengeluarkan iPod dan
memasang earphones ke telingaku sambil membuka jendela mobil dan
melihat ke arah jalan.
“Aku juga mau dengar,” ujarnya tanpa melihatku sama sekali dan
tetap fokus dengan jalanan di depannya.
“Alhamdulillah,”
“Punya pacar?”
“Taunya itu kaos cewek, langsung aja Mama bilang hadiahkan saja
buat Anin.”
59
“Pertanyaan kamu akan terjawab sebentar lagi.” ucapnya disusul
senyum yang terlihat dipaksakan.
Dimi mengajakku untuk memasuki pintu rumah bercat putih gading itu
setelah mengetuknya dan dibuka oleh seorang wanita paruh baya
yang dipanggil Nini oleh Dimi.
Mengikuti lelaki itu masuk dan ketika kami sampai di ruang tamu
suara seorang wanita yang menyambut kami dari dapur.
“Anin?”
“Oh iya, tolong Dimi ambilkan bolu kukus di dapur. Pasti Anin lapar
kan? Masih suka ga ya kira kira sama bolu kukus buatan Mama
Dayu?”
“Anin belum ketemu sama bolu kukus enak selain buatan Mama
Dayu,” ungkapku terus terang disusul tawa yang begitu ku rindukan.
60
“Seperti yang Anin lihat, Mama masih energik bahkan ikut klub
zumba.”
Aku bertukar pandang dengan Mama Dayu dan kompak kami tertawa
mendengar perkataan Dimi.
end.
61