Anda di halaman 1dari 61

8 agustus 2018

Minggu pagi, waktu yang tepat untuk bersenang senang sebelum


akhirnya kembali ke rutinitas yang cukup menguras tenaga.

Bersenang senang dalam kamus ku cukup dengan mengawali pagi


ditemani secangkir teh dengan udara segar kota Bandung. Pagi ini aku
ditemani setumpuk bunga kering yang siap untuk dirangkai secantik
mungkin demi memenuhi ekspektasi pelanggan. Yes i have a little one
bussiness yang ku kelola 5 bulan belakangan. Bisnis kecil yang
awalnya ada karena beberapa teman yang ingin dihadiahkan bunga.
Dari itu aku mulai dikenal sebagai pembuat bunga dan mendapat
pesanan yang cukup menjanjikan. Thanks to my dearest friend, Fifi.

Tanpa sadar aku mulai memutar ulang kisah 4 tahun lalu.


Mengingatnya sontak membuatku meringis namun sebisa mungkin aku
mencoba untuk tersenyum. Jika aku terbang ke masa lampau, bisakah
aku mengulang setiap kejadian tanpa mengubahnya?

12 januari 2014

Usiaku tepat 16 tahun. Tidak ada perayaan spesial saat itu. Tapi hal
yang menyenangkan berlomba lomba mendatangiku.

Pagi itu aku berjanji menemani ibu ke toko bunga langganannya.


Letaknya hanya beberapa meter dari rumah tetapi aku harus
membantunya mengangkut pesanan bunga untuk menghiasi halaman
rumah.

Aku memperhatikan tampilanku di depan cermin. Dress rumahan putih


selutut dipadukan dengan sweater hangat berwarna senada membuatku
1
nyaman juga meningkatkan kepercayaan diriku yang tidak seberapa
ini.

"Anin! udah mau jam 7, bu Nia udah nelpon nih" teriakan ibu berhasil
mengembalikan kesadaranku.

"Iya Bu, aku turun nih" ucapku sambil berjalan menuruni tangga.

"Pagi Ayah, pagi !" sapa ku kemudian mengambil tempat duduk


disamping adek yang mukanya masih dipenuhi iler. Melihatnya sontak
membuatku menahan tawa. Tak enak jika menyemburkan tawa
mengejek dan merusak pagi yang damai ini.

Aku mulai mengoleskan roti dengan selai kacang kemudian melihat ke


sekeliling dan menyadari ibu tidak duduk di seberang sana "Dek, Ibu
dimana?" tanyaku sambil memakan roti

"Duh Kak, Ibu daritadi nungguin Kakak di teras lho. Kakak sih
kelamaan dandan, orang cuma ke toko bunga aja dandannya sejam.
Lebay ah!" ejeknya tak memperdulikan ayah yang mulai melirik ku
penasaran

Sebisa mungkin aku mengalihkan perhatian ayah "Hah iya Dek? Oke
oke Kakak ke depan dulu yah. Ayah, kakak pamit ya nemenin Ibu"
pamitku sesegera mungkin dan menyusul Ibu yang ternyata telah siap
dengan dua box besar yang tersusun di depannya.

"Jalan yuk Bu" ajakku sambil tersenyum selebar mungkin.

Tanpa menunggu lebih lama lagi ibu mulai memimpin jalan dengan
aku yang berusaha mengangkat box yang akan diisikan puluhan pot
bunga

*
2
Tak terhitung sudah berapa kali aku menginjakkan kaki di tempat ini.
Jadi tak heran jika aku menghafal hampir di luar kepala setiap
sudutnya. Terdengar hiperbola memang tapi begitulah adanya.

Toko dengan bangunan klasik didukung interior tahun 90an menarik


perhatian hampir setiap pelanggan yang berkunjung, termasuk aku.
Tak heran jika setiap berkunjung stok bunga yang ada mulai menipis.

Toko ini milik Bu Nia, teman Ibu. Mereka kembali bertemu di kota ini.
Melihat mereka lantas mengingatkanku dengan Fifi, teman masa
kecilku yang sekarang berada di Jepang.

Saking asyiknya memperhatikan tumpukan bunga, aku tidak


menyadari jika seseorang telah berdiri di samping ku “Permisi mbak,
bunga lili nya di sebelah mana ya?” tanyanya

Mendengar itu, aku berjalan mengarahkannya menuju ke tempat bunga


lili. Untung saja aku mengenali toko ini dengan sempurna sehingga tak
perlu mengalami situasi canggung karena pertanyaan yang salah
diarahkan kepadaku.

Ya, seharusnya dia bertanya ke kakak yang berdiri di balik meja


panjang berhiaskan bunga yang menggantung di sana.

“Mana dia manggil pake embel embel mbak lagi. Duh aku kan masih
16 tahun, masih muda kali” gerutu ku dalam hati

“Sebelah si—”
“Anin, dipanggil sama tante tuh di dalam” potong kakak yang berdiri
di balik meja tadi.

Mendengar itu, aku pun menjatuhkan pandangan ke pintu kaca yang


tertempel kutipan “In joy or sadness, flowers are our constant
friends.”
3
“Kak bisa bantu car—” teriakan ibu berhasil memotong ucapanku

“Anin!” teriaknya sekali lagi

Tak ingin mendengar teriakan ibu lebih keras lagi, aku pun segera
berlari menghampirinya. Awalnya aku ingin meminta tolong ke kakak
itu untuk membantunya mencari bunga lili, sayangnya suara ibu lebih
memengaruhi otakku untuk segera menemuinya.

“Hai Anin, apa kabar nak?” sambut bu Nia dengan begitu akrab
disusul pelukan plus ciuman di kedua pipiku

”Hehe baik kok bu,”

“Eh kok masih panggil bu sih? Panggil tante dong.” cengiranku


berhasil membuatnya geleng geleng kepala

“Tuh lihat ibu mu daritadi hitungin bunga, gak kelar kelar. Tante tadi
udah mau bantuin eh dianya malah manggil kamu. Dikiranya tante
bodoh apa gak bisa ngitungin jumlah bunga.”

Begitulah ibu, terlalu mempercayaiku dalam segala hal. Aku jadinya


tidak enak hati dengan Bu Nia—eh maksudku tante Nia hehe.

Saking seriusnya, ibu baru menyadari kehadiranku ketika hendak


mengambil ponsel di tasnya, “Sini bantuin, ibu mau nelpon adek buat
beresin halaman biar pas nyampe bunganya langsung kita tanam aja.”

Ku dengar sayup sayup suara adek yang mengiyakan perintah ibu


dengan nada malas, tidak tahu saja kalau tugas ku lebih berat darinya.

“95..96..97….”

4
“Ibu bunga sebanyak ini kita angkat cuman berdua?” aku yakin muka
ku saat ini pasti terlihat begitu aneh di mata ibu

“Ya terus kenapa? Rumah kita dekat kok. Nanti abis itu kita makan
deh. Makanan kesukaanmu, u..ud.. hm apa lagi namanya kak?”

“Udon ibu”

“Ya! Itu maksud ibu, udon.”

“Oh Anin suka makan udon ya?” Tante Nia melihatku dan segera
kuhadiahi anggukan “Hm kalau gitu coba aja makan di resto Jepang
yang dekat taman. Ada tuh baru buka katanya kemarin malam”

“Wah iya tante?”

“Ibu mau dong coba makan disana” sambungku

“Iya deh iya”

Coba tebak sekarang jam berapa?


Jam 5 sore teman teman. Jadi sekitar 3 jam lamanya kami berurusan
dengan tanaman sampai teratur sesuai dengan ekspektasi beliau.

Kalau aku seorang emak emak yang hobi nyeritain semua yang
dialaminya lewat status fb, mungkin aku akan menulis “Sungguh hari
yang melelahkan bla bla bla bla” ditambah emoticon yang tidak kalah
ramainya.

“Anin! Kok belum siap siap?” suara ibu memenuhi telingaku

“Siap siap ngapain bu?” ujarku dengan tenaga yang pas pas an

5
“Lho gimana kamu nih, tadi semangat banget pengen makan. Kok
sekarang masih leye leye? Jadi pergi apa tidak?”

Mendengar itu aku coba mengingat apa yang dimaksud ibu, “Makan?
Semangat?”

“Oh! Iya iya Anin ingat bu. Tunggu tunggu”

Bergegas kuambil outer broken white ku kemudian memakainya dan


bergegas menyusul ibu yang ternyata telah siap bersama adek di
sebelah kursi kemudinya.

“Senang banget nih kak, ditraktir makan udon”

“Bukan ditraktir dek, ini tuh namanya upah tukang kebun” suara tawa
menggema di kendaraan roda empat pemberian ayah

Kedatangan kami disambut oleh deretan kendaraan yang


membuat suasana restoran terkesan ramai. Mulai dari yang berplat seri
Yogyakarta sampai kendaraan milik ibu kota. Pemandangan tersebut
membuatku bertanya tanya apa yang membuat restoran ini begitu
istimewa? Mari kita lihat.

Aku mendorong pintu restoran dan aroma khas Jepang menguar di


sekelilingku “Wah surga dunia!” teriakku dalam hati

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Aku dan Aurora bergegas ke counter
pemesanan yang terlihat ramai, sementara ibu berjalan menuju area
makan. Aku melihat papan menu. Varian menunya lengkap dengan
harga yang terjangkau dan tentunya promo yang tak kalah
menggiurkan. “Pantas saja restoran ini ramai, rupanya mereka
memburu promo” ujar adik dengan tingkat sok tahunya yang tinggi.
6
“Iya dek, tapi tempatnya juga mendukung. Interiornya Jepang banget
gak sih? Nyaman pula ditambah pelayanannya yang the best. Gak tahu
ya udonnya gimana rasanya,”

Kami cekikikan sambil mengomentari setiap detail restoran dan


berjalan menuju meja berwarna merah bata , terlihat ibu yang sedang
memainkan ponsel.

“Ibu!”

“Ya Allah ya Rabbi! Suara mu toh nduk ndak ada ayu ayu nya. Heran
ibu, kamu mirip siapa ya nduk? Udah besar gini, masih saja heboh
macam anak anak kompleks” aksen Jawa ibu mulai terdengar

Ucapan ibu berhasil mengundang gelak tawa. Adik saja tidak malu
dengan perbuatannya tadi, malah suara tawanya yang paling besar.
Aku berusaha meredakan tawaku.

“Anin!” Tak terhitung berapa kali nama ku dipanggil hari ini.

Tunggu

Suara tadi mirip dengan--Aku berbalik dan melihat dia berdiri disana.

“Fifi?! For real?”pekikku kegirangan bercampur tak percaya

Kami berpelukan dengan heboh, mengabaikan tatapan aneh dari


beberapa orang yang lewat. “It almost 3 years we did’nt meet up. Gila
kok lo tambah cantik sih?! Pake jampi jampi apa gimana nih?” suara
cempreng inilah yang kurindukan

“Eh tante, assalamualaikum eh ada Aurora juga” sambungnya sambil


terkekeh ketika menyadari kita tak hanya berdua di meja ini dan
bergegas menyalimi tangan ibu
7
“Waalaikumussalam Fi, udah lama banget ya sejak kepergianmu waktu
itu. Gimana Oma udah baikan?”

Ketika Fifi hendak menjawab muncullah sosok tinggi berparas


oriental. Wajahnya terlihat lelah tetapi ada gurat jenaka dan tetap
tampan

Dia terlihat memberikan kode ke Fifi dan langsung dihadiahi anggukan

“Ehm kita mesti balik duluan, ada yang urgent. Salam buat Om, aku
pamit” secepat itu Fifi pergi

Aku menatap tak berselera spicy tori baitan udon yang masih belum ku
cicipi

Sebenarnya sejauh apa Fifi pergi? Mengapa rasanya dia semakin jauh?
Is she Fifi? a lovely friend that i love the most? Apa Jepang berhasil
mengubahnya? Tolong bantu aku semesta.

“Itu tadi siapanya Fifi kak?”tanya ibu memecahkan lamunanku

“Pacarnya? Kakaknya atau Kakeknya? Eh gak mungkin ya orang tadi


cowok itu ganteng banget mukanya kinclong mirip oppa oppa Korea.”
lagi lagi adek mulai berceloteh panjang lebar dan mulai tak masuk akal
yang kubalas dengan gumaman i don’t know.

16 Januari 2014

Aku menepi di sebuah warung. Aku menengok ke arah sepatuku yang


sudah terendam genangan air, lalu melihat ke langit yang sepertinya
belum mau menghentikan hujan. Gelap sekali, petirnya bersuara

8
lantang. Sebenarnya aku takut petir, tetapi aku menyembunyikannya
dengan fokus ke hp dan segera menghubungi ayah.

Kata ayah, dia akan sampai sekitar 10 menit. Tubuhku sudah mulai
kedinginan, karena anginnya juga cukup besar. Walaupun sudah
menepi, tetap saja hujannya terbawa angin, jadi tetap membasahiku.

Aku melihat ke arah mobil yang ikut menepi. Aku pikir itu mobil ayah,
ternyata warnanya saja yang serupa. Aku coba menghubunginya
kembali.

Nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan

Ketika aku ingin mengembalikan hp ke dalam tas, seorang perempuan


turun dari mobil. Dia membawa payung dan menuju ke arahku. “Kak
Anin!” panggil perempuan itu

“Kakak lagi ngapain disini?”

“Hah? Oh kamu bicara sama aku?”

“Oh iya sampai lupa, aku Caca adiknya kak Fifi. Salam kenal Kak
Anin!”

Sejak kapan Fifi punya adik? “Oh hai salam kenal," ucapku mencoba
ramah

“Ikut sama aku yuk kak!” ucapnya dengan suara lantang karena tak
ingin kalah dengan hujan

Sepertinya semesta memaksaku untuk ikut dengannya, kalau dipikir


tidak ada salahnya aku ikut. Sepertinya tidak akan memakan waktu
yang lama untuk sampai ke rumah. Aku akan segera mengabari ayah.

9
Memberi tahunya kalau aku sedang dalam perjalanan menuju ke
rumah.

“Baiklah,"

Aku mengikutinya dan memasuki mobil. Aku mencoba


menghangatkan diri. Mungkin Caca memperhatikanku sehingga dia
mengulurkan handuk.

“Rambutnya dikeringin kak, nanti sakit lho," perkataannya


mengingatkanku dengan Aurora, mereka sama sama perhatian.

“Ah terima kasih" kuhadiahi dengan senyuman kemudian dengan


susah payah melepaskan ikat rambutku

“Jalan onii-san," lagi lagi dia bersuara

Ternyata kami tidak hanya berdua, ada satu orang lagi yang tidak ku
sadari keberadaannya. Dari spion mobil aku bisa memperhatikan
wajahnya walaupun dihalangi dengan topi.

Aku kembali fokus mengeringkan rambutku. Bagaimana bisa Fifi


mempunyai adik yang sudah sebesar ini? Apa yang tidak ku ketahui
tentangnya? Aku merasa tidak berguna sebagai sahabatnya.

“Kak Anin mau diantar kemana?” tanya Caca dengan wajah sumringah

“Langsung ke rumah aja Ca'” jawabku sambil menunjukkan arah


rumah lewat google maps

“Oke kak! Eh ternyata searah. Kalau gitu kita ke rumah sakit dulu,
gimana? Abis itu baru deh anterin kak Anin. Gimana onii-san?”

10
Baru aku ingin menjawab Caca, suara seseorang mendahuluiku
“Boleh.”

Tunggu.

Aku pernah mendengar suara ini. Suaranya khas jadi aku bisa
mengingatnya dengan mudah. Apa suara tadi berasal dari laki laki
bertopi itu?

Aku memperhatikan pantulan wajahnya lewat kaca spion. Aku


mengucek mataku untuk memastikan penglihatan ku benar. Hah? Dia
kan cowok yang panggil aku pake sebutan 'mbak'. Cowok yang cari
bunga lili waktu itu. Cowok yang-Oh no! Dia menyadari tatapanku dan
sedetik kemudian memamerkan senyum asimetris miliknya.

Perkataan Caca membuatku tersentak “Aduh aku lupa lagi. Kalian kan
belum saling kenal. Kenalan dulu gih,”

What the awkward moment.

“Kak Anin, perkenalkan ini kak Naka aku biasa panggil dia onii-san.”
Penjelasannya diselingi tawa ramah, membuatku mau tidak mau
mengatakan “Salam kenal, saya Anindya panggil aja Anin. Saya
temannya Fifi,” Hanya perkenalan biasa. Sesekali aku bisakan
menampilkan senyum ramah ke seseorang yang membantuku hari ini?

“Saya tau kok.”

Hah tau darimana? Lagi lagi pertanyaan itu hanya bisa ku suarakan di
pikiranku. Tapi untungnya Caca mengambil alih dan mengatakan
“Yeee Onii-san mah sok tahu! Tahu darimana coba,” ledeknya dan
hanya dihadiahi wajah datar oleh sang empu.

11
“Yeee ditanya malah diam. Maafin ya kak Anin. Onii-san tuh
orangnya gitu tapi sebenarnya dia baik kok cuman kadang kadang yah
gini. Dimaklumi aja ya kak.”

“Ah iya, ga papa kok santai aja.” jawabku sebisa mungkin terdengar
tidak canggung.

Tak terasa hujan mulai reda, rambutku juga mulai kering dan mobil ini
bergerak menuju basement rumah sakit. Aku mengernyit aneh ketika
menyadari Caca turun dari mobil.

“Aku duluan ya kak! Onii-san jaga baik baik ya kak Anin. Kapan
kapan kita kontekan lagi ya kak.” ucapnya dengan begitu cepat disusul
senyuman penuh arti yang menghiasi wajah jenakanya.

“Eh wait Caca!” teriakan ku tidak dihiraukan. Dia terus saja berjalan
hingga menghilang di belokan sana.

“Panggil saja Kanaka,” tiba-tiba suaranya terdengar saat aku menutup


kaca mobil.

Aku menoleh menatapnya. “Gak perlu pake embel-embel segala.”


kedua tangannya seolah membuat tanda kutip di samping kepalanya.

“Okay,” aku hanya bisa menjawab sesingkat itu, karena jujur aku
sedikit, tidak, aku sangat canggung di sini. Tapi aku harus tetap terlihat
cool dan santai. Jangan malu maluin deh, Anin!

Mobil sudah berjalan keluar kawasan parkiran, tangan kirinya


menyentuh tombol radio dan memilih saluran radio. Suara Zayn
menggema, lagu Little Things mengalun dengan tenang menemani
kebisuan kami.

..Your hand fits in mine like it's made just for me..
12
Aku ikut bersenandung untuk menghilangkan rasa canggung ku.

“Suka One Direction?”

Aku menganggukan kepala antusias “Banget, kamu juga?” aku


mengembalikan pertanyaan kepadanya

“Biasa aja” jawabnya terlihat santai. Lelaki ini sama sekali tidak
terlihat canggung berbagi ruang di mobil ini denganku. “Paling suka
lagu Little Things?” tebaknya, matanya serius menatap jalanan yang
mulai diterangi lampu lampu jalanan berwarna kuning.

Aku hanya membalas dengan senyuman tipis. Siapa sih yang tidak
suka One Direction? Ya, pasti ada, tapi tidak sebanyak penggemarnya.
Minimal mereka tahu lah lagu What makes you beautiful.

“Kenapa tuh?

“Nggak ada alasan khusus juga, sih, suka aja,” jawabku

“Udah pernah nonton konsernya belum?” pembicaraan ini masih terus


berlanjut, ternyata dia masih tertarik dengan topik ini.

“Udah, di YouTube. Wah.... Gila keren banget tuh,” jawabanku


menimbulkan suara gelak tawa Kanaka. Aku tidak menyangka akan
mengatakan hal itu dan disusul suara tawanya. Oke ini mulai
menyenangkan.

“Sepertinya selera humor kita sama,”

“Lumayan, sih. Bisa gini karena dengerin Fifi kalo ngomong,” aku ikut
cekikikan

13
“Tapi kalian bisa seakrab itu ya?” alisnya terangkat satu ketika
menoleh

“Iya, dari kecil udah temenan. Sekolah bareng, kemana mana bareng.
Kita cocok sih satu sama lain, jadi kalau gak bareng rasanya aneh.”
-Seperti ada yang hilang--lanjutku dalam hati.

“Kelihatan sih, aku beberapa kali lihat kamu,” gumamannya sedikit


membuatku bingung.

“Hah? O.. o-oh ya. Waktu di toko bunga itu, aku pengen nunjukin
tempat bunganya. Tapi pas dengar suara Ibu aku langsung meluncur ke
TKP, takut aja gitu suara menggelegarnya bisa buat pelanggan kabur,”
kalimat hiperbola ku membuatnya ikut terkekeh.

“Yang itu belajar dari Fifi juga?” lelaki itu terkekeh setelah
menggumamkan kalimatnya.

Aku hanya tersenyum tipis.

“Di toko bunga ya” gumam Kanaka

“Itu cuman salah satunya” lanjutnya sembari melihat ke arahku

“Oh ya?” aku mulai penasaran

Kanaka terkekeh melihat wajah kebingunganku

Kenapa dia tidak menjawab? Kenapa dia hanya terkekeh kemudian


melihat wajahku. Apakah ada yang salah? Aku memeriksanya lewat
kaca yang menggantung di mobil. Tidak ada noda atau apapun itu yang
bisa membuat orang tertawa. Ada apa dengannya?

14
“Aku kira wajahmu hanya bisa mengernyit serius, maksudku wajahmu
selalu terlihat tidak peduli. But i got something else today,” aku bisa
melihat kepuasan di matanya, entah apa.

Aku tertawa mendengar ucapannya “Not bad, bukan cuman kamu yang
first impressionnya begitu.” lanjutku, mengingat orang orang bilang
aku terlihat cuek dan terkesan tidak mau tahu. Padahal menyapa saja
belum.

“Kita gak bisa ngatur opini orang lain, apa lagi berdasarkan apa yang
mereka lihat. First impression itu penting tapi lebih bagus kalau kita
find out then understand. Jadi gak kepikiran dia orangnya begini-
begini, padahal mereka baru tahu secuil dari orang itu,”

Aku sedikit tertegun dengan perkataannya, karena opininya tadi secara


tidak langsung mewakili isi kepala ku “Karena kamu udah find out,
semoga you get that point,”

Lagi lagi dia terkekeh mendengar ucapanku, sementara tangannya


masih sibuk memutar setir untuk memasuki kawasan rumahku. Setelah
mobil terparkir sempurna, aku bergegas melepas sabuk pengaman dan
bersiap turun dari mobil. Ketika aku hendak membuka pintu mobil,
aku merasakan sesuatu yang berat mendarat di pangkuanku.

Paperbag berwarna putih dengan tulisan toko buku terkenal menjadi


pusat perhatianku.

“Oleh oleh dari Fifi,” jelas Kanaka ketika melihat wajah bingungku

“Ah terima kasih. Mampir yuk,” ajakku

Mata lelaki itu sedikit melirik ke arahku. “Next time, deh,” jawab
Kanaka

15
“Terima kasih, Kanaka. Nice to meet you anyway,” kataku dengan
senyum tipis

Tanpa menunggu lebih lama, aku segera masuk ke rumah sebelum


basah karena gerimis tipis yang masih berjatuhan. Aku masih melihat
mobilnya terparkir, belum bergerak sedikit pun. Ketika aku ingin
mengecek keadaannya dia malah membunyikan klakson dan bergerak
meninggalkan kawasan ini.

9 April 2014

Sarapan di hari Senin selalu menjadi hal yang besar bagi keluargaku.
Bolu kukus dan kopi... Nah, Apakah kopi berwarna cokelat muda?
Kenapa terlihat seperti cokelat?

Ketika ayah turun, dia berkata dengan suara gembira, “Aku mencium
bau kopi!” kemudian dia meminumnya dan memberiku acungan
jempol.

“Kamu terlihat seperti gadis petani,” kata Aurora dengan lirikan sinis.

Aku tahu dia masih marah karena kehilangan album Little Mix
kesayangannya dan dia berubah sinis ke semua orang.

“Terima kasih,” kataku. Aku memakai celana pendek pudar dan


kemeja berkerah. Ini terlihat seperti farm-girlish, tapi menurutku
dengan cara yang baik. Ibu memberiku sepatu boot cokelat lac-up nya,
dan mereka hanya setengah ukuran terlalu besar tapi dengan kaus kaki
tebal, it looks perfect!

“Maukah kau mengepang rambutku ke samping?” aku bertanya


padanya.
16
“Kamu tidak pantas ku kepang,” kata Aurora sambil menjilati
garpunya nya. “Dan juga akan terlihat kuno,” Aurora umurnya baru
empat belas tahun, tapi dia sudah mengerti fashion.

“Setuju,” kata ayah yang tetap fokus dengan kertasnya

Aku menaruh piringku di westafel kemudian mengambil tas bekal di


pantry.

“Jangan lupa pesanan ibu, ya kak”

“Iya, Anin pamit. Assalamualaikum,”

“Waalaikumussalam, have a great day,” ujar ayah dan ibu. Mereka


mengangkat pipi dan aku membungkuk untuk memberikan kecupan
sayang. Aku juga mencobanya ke Aurora tetapi dia menolak.

Beruntungnya aku sampai di sekolah tiga menit sebelum acaranya


dimulai. Teman-temanku kelihatan sudah berada di lapangan, mereka
terkejut melihatku terlambat. Dari jauh aku melihat Hanum
melambaikan tangan. Dari gerakan mulutnya, aku tahu kalau dia akan
menarikku ke kerumunan itu.

Big no! Aku lebih prefer ke kelas dengerin lagu dari iPod, ngisi riddle
terus habisin bekal buatan ibu.

Aku segera mencari seribu satu cara untuk kabur ke kelas.

Aku menunjuk tas kemudian ke arah kelas ku berada, kode itu diterima
dengan baik oleh Hanum. Dia segera mengacungkan jempol usai
melihatku.

17
Suasana kelas begitu sepi, deretan kursi yang biasanya penuh kini
hanya terisi di pojok ruangan. Lebih tepatnya, aku yang duduk
membuka buku kumpulan riddle pemberian Fifi.

Riddle: Yours or mine

This belongs to you, but everyone else uses it.

Drrt.. drrt..

Ponsel ku berbunyi.

Mengganggu saja, pikirku.

Aku merogoh saku celanaku dengan malas. Menampilkan layar ponsel


yang diisi dengan nomor tidak dikenal. Aku masih mencermati nomor
tersebut hingga entah dorongan dari mana aku menekan tombol hijau
dan mendekatkannya ke telinga.

Hening beberapa saat. Ketika aku hendak menutup panggilan, “Your


name.” suara laki laki memenuhi indra pendengaran ku.

“Kanaka?” tebakku ragu

Dia tertawa.

“Hei, keluarlah.”

Aku mematuhi perintahnya.

Diantara lautan manusia di sana, aku bisa mengenalinya lewat topi


berlogo Coldplay.

“Kemarilah,”

18
“Kesana?” ucapku ragu

Hening menyelimuti kami

“Aku gak bisa soalnya, ehm..” aku berusaha mencari alasan yang tepat
untuk menghindar “Ehm.. ngerjain tugas. Ya.. Aku lagi ngerjain
tugas.”

Setelah itu telpon terputus.

Dia menaruh ponselnya kemudian bergerak maju. Berjalan membelah


kerumunan. Berjalan ke arahku, semakin dekat, entah untuk apa. Aku
memperhatikannya sampai dia berdiri di hadapanku

“Your Name. Jawaban riddle nya.” bisik Kanaka

“Serius?” aku tertawa tak habis pikir

Dia melirikku sekilas kemudian berjalan memasuki kelas.

Aku mengikutinya, “Hei mau kemana?” pertanyaan bodoh Anin!

Dia duduk di bangku ku “Sini,” lagi lagi aku mengikuti perintahnya

“Ini yang kamu bilang tugas?” Kanaka tersenyum miring

Aku buru buru mengambil buku itu, tapi Kanaka menahannya.

“Kok baru dibuka?”

Aku menarik kursi di sebelahnya, “Kemarin lagi hectic ujian,”

Dia menggumamkan sesuatu kemudian kembali fokus dengan


ponselnya.

19
Drrt.. drrt..

Ponselku berbunyi.

Hanum.

“Dimana Nin?”

“Di kelas,”

“Gue pikir lo pulang. Guest star nya bentar lagi tampil, buruan deh
kesini. Sebelum kehabisan tempat.”

“Udah nyaman di kelas nih, mager tau ke sana.”

“Yha Anin mah gak asik. Gilsha sama Yaya juga nungguin Lo tau,
buruan deh. Gue jamin Lo bakal suka sama pensi kali ini.”

“Apa coba bedanya? Pensi ya gitu gitu aja palingan, nothing special.”

“Percaya dong sama gue, makanya Lo kesini buruan. Buktiin sendiri!


Gue tunggu ya, lima menit Lo gak ke sini, siap siap aja bakal kita
seret.”

“Hmmmmm”

“Dadah Anin,”

Aku menaruh ponselku di saku celana.

“Hei,” panggil seseorang

Itu Kanaka.

Aku mendongak ketika melihatnya berdiri.


20
“Mau ikut ke Haagen dazs?”

“Beli es krim?” tanyaku antusias

Dia tertawa

“Tapi aku mau nonton pensi,”

“Maksudku diajak sama teman, katanya ada yang spesial.” sambungku

“No problem. Kita bisa nonton terus ke Haagen dazs kan?” sesekali dia
melihatku dan kembali fokus dengan ponselnya

“Kamu juga mau nonton?”

“Semenit dua menit bisalah,” disusul tawanya

Aku ikut tertawa. Sungguh, dia memang receh. Tidak, aku juga.

“Yha riddle nya belum aku isi,”

“Nanti, di Haagen dazs aja gimana?”

“Emang aku bilang mau ikut?”

“Ya gak sih,”

Pertama kalinya aku melihat Kanaka berubah menjadi canggung.


Biasanya dia yang expert mengendalikan suasana.

Aku tertawa, “Mau lah, makan es krim. Gratis kan?”

Dia tersenyum miring “Es krim se toko, kuat gak?”

“Kuat, kalo makan se RT,” ucapku tak mau kalah


21
Dia mengacak rambutku.

“Ehm,” aku berdehem mencoba meredakan rasa gugup

Aku berjalan meninggalkan kelas secepat kilat.

“Aku udah di venue, kalian di bagian mana?”

“Lo jalan aja sampai ke depan panggung. Kita berdiri di pojok,”

“Oke,”

Aku menaruh kembali ponselku.

“Anin!” teriak Hanum

Aku berjalan menyelip di antara kerumunan penonton yang berdiri.

Lampu venue mulai dipadamkan, musik yang sejak tadi dimainkan


dari sound juga sudah tak terdengar, lighting panggung sudah di set
sedemikian rupa dan suara riuh penonton seketika membuat suasana
hidup.

“Siap Nin?”

Aku menunjuk diriku “Aku?” tanyaku kebingungan

Mereka membalasnya dengan senyuman penuh arti dan menyuruhku


untuk fokus ke panggung.

Suara seseorang mengalun dengan indah menyanyikan lagu Yellow,


tetapi dimana sumber suara itu? Dia tidak terlihat di panggung. Hanya
gitaris dan drummer yang unjuk Gigi. Apa dia masih di backstage?
22
“Penyanyi nya mana?” tanya ku mewakili kebingungan orang-orang.

Kebingunganku dijawab ketika sosok berkacamata yang


mengalungkan gitar di punggungnya tersenyum ke—ke arahku?

Aku memperhatikan sekitarku “Girls?” panggilku.

Drrt.. drrt..

Ponselku berbunyi.

Pesan dari Hanum.

Have fun Anin! ;)

Aku mengetikkan balasan tetapi berakhir tidak terkirim karena


panggilan dari belakang “Hei,”

Aku berbalik dan menemukan Kanaka sedang bersedekap “Sudah


mulai bosan?”

Aku bergerak mundur dan berdiri di sebelahnya,“We’ll see” jawabku


ikut bersedekap dan tersenyum ke arahnya.

Drrt.. drrt..

Ponselku berbunyi lagi.

Pesan dari Hanum.

Abis Bara perform Lo ke backstage ya Nin! ;)

Bara siapa?

Yaelah gue bilang fokus ke panggung.


23
Kalian dimana?

Ada deh. Ingat ya ABIS BARA PERFORM LO KE


BACKSTAGE!1!1!

Males

*Zzz

Aku mengantongi kembali ponsel yang tadi sempat menjadi pusat


perhatianku.

Tatapanku kembali tertuju ke sosok berkacamata itu. Dia terlihat


familiar tapi aku tidak bisa mengenalinya. Aku bahkan masih
memandanginya sampai dia meminta kami semua menyalakan lampu
flash dari ponsel kami.

Tatapanku mengarah ke Kanaka, matanya kembali mendapati


tatapanku dan menurunkan sinar flash nya ke lantai.

“Turn on your flash light,” perintahnya kepadaku

Aku dengan salah tingkah ikut mengambil ponsel di dalam saku dan
menyalakannya.

Lantunan intro musik mulai dimainkan. Cowok itu menyanyikan lagu


berjudul The One, benar ini lagu romantis yang katanya tadi diciptakan
oleh Steve untuk sang teman di hari pernikahannya. Aku
mendengarkan setiap lirik yang dinyanyikan olehnya sambil menatap
ke atas panggung yang bersinar. Semua serentak menyanyikan lagu
romantis ini, aku menoleh menatap Kanaka dan menemukan lelaki itu
juga sedang bersenandung sambil mengangkat ponselnya dengan
flashlight yang menyala.

24
Seluruh isi liriknya menggambarkan betapa sang lelaki bersyukur
karena telah menemukan cinta sejatinya. Si cowok berkaca mata itu
menyampaikan sepatah dua patah kata dan disambut heboh oleh suara
riuh penonton.

“Hei,”

“Siap ke Haagen dazs?”

“Aye aye captain!” aku menyimpan kembali ponselku setelah


mengetikkan balasan pesan untuk Hanum.

Kami melewati barisan penonton yang masih heboh dengan teriakan


khas fangirl, mereka meneriakkan nama seseorang yang dengan jelas
bisa ku dengar.

“Bara!”

Refleks aku berhenti dan memperhatikan orang itu. Bara itu penyanyi
yang tadi? Cowok berkacamata yang kata Hanum bakal ada di
backstage?

“What's wrong?” tanya Kanaka

“Oh? Nothing,” balasku

Kami berdua menuruni undakkan tangga dan berniat menyeberangi


barisan kendaraan, tiba-tiba saja tanganku digenggam oleh Kanaka dan
lelaki itu menggandengku sembari kami melangkah menyeberang
untuk mencapai parkiran.

Aku berjalan sambil menatap tautan tangan kiriku digenggaman tangan


Kanaka. Cukup mengejutkanku dan kenapa rasanya ada percikan
kembang api di dalam dadaku? Apa ini hanya karena hormon
25
dopamine yang meledakkan euforia? Tapi euforia untuk apa? Aku
yakin Kanaka hanya impulsif karena kami akan menyeberang tadi.
Tapi... Tunggu, ini bahkan sudah melewati barisan kendaraan yang
terparkir, harusnya dia melepaskan tanganku sejak tadi.

Kami sudah sampai di depan mobilnya ketika tangan lelaki itu


akhirnya terlepas dan aku dengan cepat menghilangkan gugup dengan
mengambil buku dan pura pura membacanya.

Dia bergerak mendekat, tangannya tiba tiba menggenggam


pergelangan tanganku dan membuat ku dengan cepat mengangkat
kepala dari posisi membaca.

“Fokus, Anin.” Ucapnya ketika membalikkan posisi buku

Aku berdeham dan memutuskan tautan mata kami.

Mungkin sekitar 30 menit aku hanya diam dan tidak berbicara sepatah
kata pun. Aku bahkan lupa 30 menit sebelumnya lagi ngapain. Tapi
yang jelas, sekarang Aku duduk di dalam mobil yang bergerak menuju
pusat perbelanjaan.

Kami berjalan melewati koridor mall yang cukup ramai oleh


pengunjung, Aku sesekali melirik ke arah Kanaka yang berjalan santai
di sampingku. Memasuki Häagen Dazs, aku melihat showcase yang
menampilkan jejeran kue dan es krim yang membuatku ingin
membawanya pulang. Aku mengetuk ketuk dagu ketika melihat jejeran
es krim dan tiba tiba isi kepalaku seperti bertarung dari segala sisi
untuk membawa mereka semua pulang.

26
Aku berjalan menyamping sembari berpikir, aku tidak bisa membawa
mereka semua pulang, setidaknya pilih satu untuk menemaniku
mengisi riddle.

“Banana caramel crepe-nya enak, lho,” suara bass terdengar dari


telinga kananku, membuatku segera menolehkan kepala secepat kilat.

Kudapati lelaki berkacamata yang wajahnya bersinar di sepanjang


acara pensi tadi.

“Kayaknya suka banget sama es krim itu, mikirnya sampai mau netes
air liurnya, tuh.” Sambung lelaki itu

Mendapati aku yang masih tidak bersuara, lelaki itu kembali bersuara
“Hello, world calling,” lelaki itu kini menjentikkan jarinya di depan
wajahku yang membuatku memundurkan kepala karena terkejut.

Seketika dia tertawa terbahak bahak, “Sorry sorry saya lucu aja
ngeliatin kamu kebingungan milih es krim,”

“Iya, emang lagi bingung,” ucapku seadanya, menjaga sopan santun.

Aku mengedarkan pandangan mencari keberadaan Kanaka.

“Suka banget es krim ya?” tanya lelaki itu

Aku menganggukkan kepala dan menyetujui rekomendasi lelaki itu


dan berpindah ke counter bertuliskan 'pick up here' diatasnya. Tak
lama lelaki itu juga selesai dengan pesanannya dan bergeser ke
sampingku.

“Kenapa suka banget es krim?” suara itu lagi

“Untuk mempermanis hidup aja,”


27
“A good answer,” anggukan kepalanya seolah menyetujui perkataanku

Aku hanya mengangkat kedua bahuku seolah tidak peduli, dan mataku
tidak sengaja menatap senyum hangatnya yang sedikit membuatku
tertegun.

Aku ingat.

Dia orang yang mengaku sebagai ojek payung ketika hujan itu. Dia
menawariku payung namun ku tolak karena letak rumah tersisa
sepuluh langkah.

“Payungnya mbak?”

Aku menggeleng, “Terimakasih,”

“Hati hati mbak,”

Aku mulai mempercepat langkah, seakan akan hujan berlomba ‘siapa


cepat' denganku. Setelah aku menutup pagar, hujan deras mengguyur
sore yang indah. Tak ada lagi langit orange, semuanya tertutup
dengan awan tebal. Ketika hendak berbalik, aku melihat si ojek
payung masih berdiri di tempat yang sama dan samar samar aku
melihatnya tersenyum.

Tak lama aku mendengar pesananku disebut bersamaan dengan


Kanaka yang memasuki pintu dan mendekat ke arahku. Segera ku
mengambil pesananku, “Where have you been?” tanyaku penasaran

“Hm?” dia menengok ke arahku dan mengangkat kedua alisnya.

Aku menggelengkan kepala. Merutuki kebodohan ku mulai melewati


batas. Hanya saja aku penasaran, kapan dia menghilang dan tidak
kusadari kemana perginya.
28
Kanaka memimpin jalan, dengan aku yang mengekor di belakangnya.
Kami berjalan melewati deretan kursi yang telah diisi oleh pengunjung
sampai tiba di sofa panjang di pojok ruangan dekat dengan lukisan dan
lampu lampu yang digantung di dinding.

Dia menarik kursi kayu berbantalan cokelat dan menarik kursi di


sampingnya kemudian menepuknya seolah mempersilahkan ku duduk.

Aku mengeluarkan buku kemudian mulai mengisinya sembari


menyuapkan es krim ke dalam mulutku. Betul perkiraan orang itu, aku
benar benar menyukai es krim ini. Caramelnya gurih, crepe-nya
lumayan besar dan lembut dan ada potongan biskuit yang crunchy.
Kapan kapan aku harus berterima kasih kepadanya.

“Mau coba?”

“Kelihatannya enak,” dia menunduk dan mengambil alih es krim ku

“Gimana?” tanya ku antusias

“Pilihan yang bagus,” ungkapnya sambil mengangguk anggukkan


kepala.

Aku tersenyum, “Tadi ada orang iseng kasih rekomendasi es krim,


untungnya enak.”

“Siapa?”

Ketika aku ingin menjawab, terdengar suara yang familiar di telingaku


“Kakak!” diikuti teriakan “Onii-san”

Aku berbalik.

Kanaka juga ikut berbalik.


29
Itu Aurora,

Bersama Caca?

“Kalian ngapain?” ucapku heran melihat mereka berdua.

“Harusnya kita yang tanya kalian berdua ngapain,” tanya Aurora


diikuti senyuman usilnya.

Aku hanya meresponnya dengan tatapan malas.

“Empuk nih sofa nya, bisa kali kita duduk semenit dua menit,” tambah
Caca

“Duduk aja Ca' itu masih available kok,”

Mereka duduk dengan senyuman lebar. Dibantu Kanaka, mereka


berhasil memesan iced latte dan pumpkin soup.

“Anyway, Kakak gak lupa jalan ke rumah kan?”

Aku mengangkat kedua alisku, bingung dengan perkataannya.

“Kok bisa ada disini? Nyasar apa gimana nih?”

“Apa jangan jangan kalian lagi ngedate? Aah Onii-san aku


mendukungmu” tambah Caca

Aurora membuka mulutnya dan menutupnya lagi sambil melirikku


dengan Kanaka bergantian. Kemudian hanya mengeluarkan suara,
“Oh, gitu,” tak lama senyuman yang janggal itu keluar dari sudut
bibirnya.

Aku menepuk keningnya “Yee otak drakor kamu tuh dek,” omelku dan
dia mengaduh dalam gelak tawanya.
30
Aku kembali fokus dengan riddle.

“Omo Omo,” pekik Aurora kegirangan sambil menatap layar


ponselnya dan tak sadar telah membanting sendok.

“KAK BARA. NGIKUTIN. AKU. BALIK,” sambungnya tak kalah


heboh

Aku menaikkan sebelah alisku, menatapnya tak habis pikir.

“Ah bohong kamu Ra'” ucap Caca tak percaya

“Ih gak lah, liat aja sendiri,”

Mereka mendekat dengan ponsel yang menjadi pusat atensi.

“Kok bisa?” teriak Caca

“Aurora gitu lho,” ucapnya percaya diri sambil terkekeh geli

“Wait. Wait. Kakak kenal sama kak Bara?”

Mendengar nama itu membuatku dengan cepat mengangkat kepala dari


posisi membaca.

“Kakak kenal sama kak Bara?” ulangnya

Aku menggeleng.

“Tapi kok kak Bara tau nama Kakak? Dia bilang semoga suka es
krimnya Anin,” tatapnya menunggu penjelasan dari ku

“Ah gak, salah kirim kali,”

31
“Kenapa pada ngeliatin aku?” tanyaku heran dan tidak nyaman karena
menjadi pusat perhatian tak terkecuali Kanaka

“Aneh tau gak, Kakak yang ansos kok bisa dikenal sama Mr.
Popular?”

Aku mengendikkan bahu tak peduli dan kembali mengisi riddle yang
tersisa sedikit. Aktifitas ku terhenti ketika kursi di sampingku
terdorong kebelakang akibat sang penghuni yang berdiri tiba tiba.

“Ayo pulang,” ajak Kanaka

Aku memperhatikan jam yang melingkar di pergelangan tanganku,


betul juga sudah hampir Maghrib. Aku mengembalikkan buku ke
dalam tas dan bersiap berdiri namun terhalangi ketika Kanaka
menahanku dan menyodorkan paperbag kecil warna putih.

Aku memberinya tatapan bingung yang direspon dengan satu jarinya


yang ditempelkan di bibir.

“Onii-san aku ikut ya,”

“Aku juga ya Onii-san sampe periplus aja”

Dia menganggukkan kepala dan memimpin jalan menuju tempat


parkir.

Aku terbangun mendengar suara mesin pemotong rumput. Hari libur


ini membuatku ingin bermalas malasan. Aku berbaring di tempat tidur,
memperhatikan sekelilingku. Dinding kamarku penuh dengan gambar
dan hal hal yang kusukai. Seperti artwork buatan ayah, foto keluarga
dan ada satu hal yang menarikku untuk mendekat ke arahnya.
32
Itu fotoku saat hari halloween. Itu pesta Halloween pertamaku karena
itu aku merencanakan kostum selama berminggu minggu. Aku senang
sekali karena berhasil menyelesaikan kostum eraspooky toast bread
buatanku.

Saat hari itu datang, aku bangun lebih pagi dari hari biasanya. Aku
bersiap siap dibantu ibu. Aku mengenakan inner strap hitam putih
ditumpuk dengan kostum eraspooky toast bread, dipermanis dengan
boot merah, kunciran rambut dan ditutup dengan topi baret hitam.
Tak lupa riasan sederhana khas Halloween buatan ibu.

Aku berjalan penuh percaya diri menuju garasi rumah Nick. Aku
memperhatikan sekitarku, meja berwarna merah darah penuh dengan
sajian Halloween seperti donat bentuk mata, salad sayur dengan
potongan spooky, kue berbentuk gigi drakula dan sepiring buah
buahan seperti mangga, apel, labu yang diberi topping jeli. Aku tidak
sabar menyantap kue berbentuk drakula itu. Kalau begitu aku akan
duduk tepat di belakangnya. Perhatian ku teralihkan tatkala
segerombolan anak perempuan berdiri tepat dihadapan ku dengan
tatapan menilai sedetik kemudian mereka menyemburkan tawa
mengejek sambil menunjuk ke arah kostum ku.

Aku memberikan tatapan tidak terima dan ikut menilai kostum mereka.
Mereka memakai gaun pesta dan hiasan kepala sederhana berbentuk
telinga kucing. Saat itu aku menyadari bahwa kostumku terlihat aneh
dan begitu mencolok. Aku tak habis pikir berapa uang yang mereka
keluarkan untuk gaun sekecil itu.

Ketika pemikiran itu lintas saat itu pula hadir sosok telur setan. Laki
laki berambut ikal dengan tubuh gempal dan kulit terang sedang
menatap ke arahku. Aku melemparkan senyum kepadanya dan
direspon dengan langkah kaki yang bergerak mendekat. Setidaknya
aku terlihat aneh dengan cara yang keren.
33
“What a gorgeous cosplay,”

“You neither,”

Dimulai dari percakapan itu, kami mulai dekat. Aku menikmati sisa
pesta ini bersamanya. Kami mencoba semua hidangan yang tersisa
sampai tubuhku sulit untuk bergerak. Tapi dengan keras kepala, Dimi.
Ya namanya Dimi. Dia menarikku menuju spot photobooth. Kami
mengambil banyak foto mulai dari yang bebas sampai memakai
aksesoris yang menambah kesan spooky.

Aku mengusap tulisan tangan Dimi di foto itu.

Dimitrio w/ Anindya.

Kata Dimi, namanya harus selalu ditulis pertama jika bersanding


dengan namaku. Aku tertawa tak habis pikir dengan peraturan tidak
masuk akalnya dan dengan polosnya aku menyetujui itu.

Sejak pesta Halloween itu, bermain menjadi rutinitas kami.

Seperti hari biasa, setelah mengerjakan pr aku mengambil skuter dan


bergegas menuju rumah Dimi. Rumahnya terletak di ujung jalan. Aku
mengendarai skuter dengan hati hati sampai berbelok ke tikungan
pertama dan memasuki rumah klasik yang penuh dengan tanaman
segar.

Aku berteriak, “Dimi!”

Tak ada sahutan. Aku mencobanya kembali, sampai panggilan ke tiga


tak ada yag berubah. Aku mencoba berteriak lebih keras.

“Dimi!”

34
Tak ada respon.

Aku memutuskan bersandar di tembok sambil menunggu siapapun itu


yang keluar. Aku menutup mata untuk menghalau sinar matahari. Aku
merasa sudah cukup lama berdiri disini tapi tak ada tanda tanda
orang di dalam sana akan menghampiri ku.

“Awas ya Dimi kalau kita ketemu, aku gak bakal lepasin kamu sedetik
pun.” Gerutuku dalam hati

Aku kembali memasang helm kuning ku dan menaiki skuter. Tapi itu
semua terhalang ketika aku melihat mobil Jeep di ujung jalan. Masih
ada harapan.

“Pak Asep!” teriakku

“Eh mbak Anin, apa kabar mbak?”

“Baik pak, Dimi nya ada?”

“Lho den Dimi bareng nyonya udah di pesawat mbak, ini bapak dari
anterin mereka.”

“Hah?” tentu saja aku terkejut.

“Iya mbak, mulai hari ini mereka akan menetap di Bali berhubung
nyonya dipindahin tugas. Jadi rumah ini juga bakal dijual,”

Itu kata terakhir yang kudengar dari pak Asep. Aku tidak peduli
dengan teriakannya yang memanggilku, yang ingin kulakukan
hanyalah pulang ke rumah dan memeluk ibu sekencang mungkin.

Aku berlari menuju ruang tv dan melihat ibu duduk di sana. Segera ku
hampirinya dan berusaha menggapai pinggangnya untuk ku peluk.
35
Aku menangis sesenggukan. Ibu mengelus punggungku dengan
sayang. Dia menggendongku untuk diletakkan dipangkuan nya.

“Gimana permainannya hari ini?”

Aku menggeleng dalam pelukannya.

“Shhh... tenang dulu nak. Coba jelaskan sama ibu, pelan pelan aja.”

“Dimi pergi,” ucapku pelan nyaris tak terdengar.

Ibu memelukku semakin erat.

“Bu, kalau orang pergi gak bilang bilang itu artinya apa?”

Aku mendongak melihat wajah ibu yang dihiasi senyum kasih sayang.
“Anin tahu gak lagu kesukaan ibu?”

Aku menggeleng.

Ibu tersenyum kemudian mengusap air mata ku, “Mau dengar ibu
menyanyi?”

Suara merdu ibu berhasil menghentikan tangisku.

Yang patah tumbuh, yang hilang berganti


Yang hancur lebur akan terobati
Yang sia-sia akan jadi makna
Yang terus berulang suatu saat henti
Yang pernah jatuh 'kan berdiri lagi
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Di mana ada musim yang menunggu?

36
“Anin tahu gak? Lagu ini mengajak kita untuk percaya bahwa selalu
ada kesempatan kedua untuk kita bangkit kembali dari keterpurukan,
percayalah nak badai pasti berlalu.”

Aku kembali menangis, “Ibu, apa ada kemungkinan Dimi akan


kembali?” tanyaku disela sela tangis

Lagi lagi ibu mengelus punggungku, “Gak ada yang tahu nak besok
atau bahkan sedetik kemudian apa yang bakal terjadi, kita cuma bisa
berharap kepada yang maha kuasa,”

“Gimana kalau sekarang Anin ambil air wudhu terus kita sholat
bareng,” ajak ibu

Perlahan ku lepaskan tautan tangan di pinggang ibu dan berjalan


gontai menuju Musala.

Aku menengadahkan tangan, “Ya Allah, boleh gak kalau aku minta
Dimi muncul lagi di hadapanku? Bisa gak ya Allah kita main bareng
lagi? Buat cosplay bareng untuk Halloween tahun depan atau lomba
makan es krim di kedai pak Ucup. Semoga Dimi gak lupa sama Anin
ya Allah.” Kututup doaku dengan ucapan aamiin

Hari ini benar benar melelahkan, aku tertidur di pangkuan ibu dengan
mata yang sembab.

15 April 2014

Getaran ponsel di atas meja belajar berhasil menarik atensi ku, dari
nomor yang tidak ku kenal.

37
Aku harus fokus menyelesaikan tugas keterampilan penilaian akhir
yang deadline nya seminggu lagi, harus rapi tanpa ada cacat
sedikitpun.

Aku mulai kesal dengan suara getaran ponselku yang masih


menampilkan nomor tidak dikenal. Karena getarannya benar benar
mengganggu, aku putuskan untuk menggeser tombol hijau itu.

“Halo, selamat sore?” sapaku berusaha ramah. Padahal jika ini dunia
komik, di atas kepala ku sudah dipenuhi kepulan asap.

Suara berdehem terdengar dari seberang, “Halo dengan mbak Anin?


Saya dari pos, ada kiriman, bisa diambil dulu mbak? Saya sudah di
depan rumah Mbak,” ucapnya cepat.

“Hah?” pria diseberang sana berbicara cepat sekali, otakku masih


mencoba loading.

“Ini mbak dari pos.” Pria disana mulai meninggikan nada bicaranya,
mungkin kesal karena aku lama merespon.

“Oh baik pak saya turun, ditunggu ya,” ucapku sekali lagi

Sampai di teras aku melangkah keluar dan melihat satu motor bebek
hitam dengan pengendara yang beberapa Minggu lalu
merekomendasikanku es krim. Aku melihat ke sekitar rumah, dimana
bapak bapak pos tadi? Aku masih sibuk celingak-celinguk mencari
bapak itu, ketika sepasang sepatu Converse Chuck Taylor terlihat di
pandanganku.

“Hei,”

“Cari siapa?”

38
Aku memeriksa ponselku kembali dan menghubungi bapak tukang
pos.

Suara dering ponsel mengudara di antara kami. Aku melihatnya


merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel kemudian dia menatap
ku dengan senyum miring.

Ketika aku hendak masuk kedalam rumah, suara bass memenuhi indra
pendengaran ku “Lo gak ingat gue?”

Aku memberinya tatapan bingung, “Kak Bara?” jawabku ragu ragu.

Sekilas bisa kulihat tatapan kecewa yang berusaha disembunyikannya,


“Bisa jadi,”

“Gak ditawarin masuk nih?”

“Hah?”

Dia menggandeng tanganku, entah ingin kemana. Aku merasa risih.


Apa-apaan ini. Aku mencoba melepaskan tanganku.

“Nih,” ucapnya sambil menyodorkan ku helm kuning.

“Maaf kak, saya harus ngerjain tugas. Permisi kak,” pamitku undur
diri.

“Heh Lo belum ingat juga?”

“Oh iya,”

Aku berbalik melihatnya, “Yang es krim itu makasih ya kak, betul kata
kakak rasa es krimnya gak ngecewain,” kuberi senyum tipis.

“Hm,”
39
Aku membungkuk dan bergerak canggung meninggalkan pemilik
motor bebek itu.

“Heh,”

Aku tersentak kaget.

“Besok gue tunggu di kedai es krim ujung sana. Dresscode nya


Halloween,” ucapnya dengan suara lantang dengan deru sepeda motor
yang mengiringinya.

Aku berdiri kaku di depan pintu pagar, rasanya canggung sekali. Aku
ingin cepat melewati suasana ini jadi ku putuskan untuk berjalan
masuk dan menutup pagar tanpa menghiraukan ajakannya.

“Seingatku waktu nawarin es krim, caranya sopan banget. Gak ngegas


seperti tadi,” pikirku.

“Siapa kak?” tanya ibu yang sedang memakai celemek hijau.

Aku berjalan mendekati meja yang terhidang kue bolu, “Ternyata


kakak kelas Bu,”

Ibu melepas celemeknya, “Emang kakak kira itu siapa?”

“Bapak tukang pos,” ucapku sambil melahap kue bolu yang masih
hangat.

“Ngapain dia kak?”

Aku mengendikkan bahu, “Gak tahu Bu, salah alamat kali,”

“Oh iya kak. Kemarin kan ibu rencana beli udon yang di tempat kita
makan itu lho kak, tapi sayangnya dompet ibu ketinggalan di mobil,”

40
“Yha ibu, terus terus gimana?” tanyaku tak sabaran.

“Ssst.. diam dulu cerita ibu masih panjang.”

“Abis itu ya, mau ga mau ibu balik dulu dong ke mobil. Ibu turun tuh
ke basemen, buru buru banget karena resto nya udah mau tutup. Tau
gak kak? Pintu mobil kita datang lagi penyakitnya. Waktu itu ibu
pengen minta tolong ke siapa gitu tapi gak ada orang orang yang lewat.
Sampai berapa menit ibu coba, tetap aja gak bisa kebuka. Emang ya
perkataan rezeki anak Sholehah itu benar, gak lama setelah itu ada
orang baik hati bantuin ibu,”

“Beneran Bu?”

“Iya kak, terus anaknya sopan banget lagi. Zaman sekarang jarang lho
ada anak cowok seperti dia. Hm terus yang serunya kak ternyata dia
yang punya resto udon itu. Jadi ibu borong tuh udonnya.”

“Gak dapat diskon Bu?”

“Huus kamu tuh ya mulai mirip Aurora tau,”

Aku dan ibu tertawa.

“Eh iya kak ibu hampir lupa. Waktu berhasil buka pintu mobil, gak
sengaja dia liat foto kita berempat di dashboard. Terus ibu tanya
kenapa nak? Dia diam bentar terus senyum ke ibu katanya titip salam
ke kamu. Katanya sih kalian kenalan baik,”

“Hm siapa ya Bu? Teman ku palingan itu itu aja,”

“Namanya Kanaka,”

Aku tersedak. Ya Allah, kenapa dia harus ada dimana-mana?


41
“Pelan pelan kak. Emang Kakak kenal?” ucap ibu sambil memberiku
segelas air.

“Tau sih Bu orangnya.”

“Wah kakak cerita dong, kenal bibit unggul itu dari mana?”

“Ibu... Dia cuman Kanaka, maksudku ya begitu. Ceritanya panjang Bu,


tugas ku banyak belum pada diselesaiin,” cengiran mulai menghiasi
wajahku.

“Aku ke atas ya Bu,” lanjut ku.

“Kapan kapan boleh kok undang main ke rumah,” teriak ibu tak mau
kalah.

“Main apa Bu? Orang dia udah gede, mau diajak main masak masak
gitu?” gurauku.

“Ya Allah, anak ibu polos banget,”

“Siapa sih kak yang mau diajak main masak masak?”

“Ayah,” teriakku sambil menuruni tangga.

“Kakak apa kabar?”

“Rindu hehehe,”

“Rindu sama siapa kak?” tanya ibu mulai iseng.

“Siapa lagi Bu? The one and only, Ayah” aku bergerak memeluk ayah
yang sedang melonggarkan dasinya.

“Gimana Maldives Yah?” tanyaku penasaran.


42
“Setting nya mirip di film animasi yang kita nonton itu kak,”

“Yang mana Ayah?”

Ibu tertawa, “Kapan Ayah nonton film Animasi?”

“Ibu mah gitu. Aku pernah lho ajak ayah premiere film Disney.”

“Itu yang ada ayam matinya,” lanjut ayah yang mengundang tawa kita
bertiga.

“Moana? Yang ceweknya berhasil jadi kepala suku, itu bukan Yah?”

Aurora datang dengan tas ransel yang tergeletak di lantai, “Yee ribet
amat, kenapa gak langsung cek foto di ponsel ayah aja terus tunjukin
deh ke kita.”

“Ide bagus dek!” ucap ayah sambil merogoh saku celananya.

“Yah kalo foto di Maldives kan bisa searching di internet.” Ungkapku


kecewa.

“Ya udah, Anin pamit ke atas.” Ucapku final ketika menyadari tak
seorang pun yang mendengarkan ku, mereka sibuk dengan foto di
ponsel ayah.

Jam dinding di kamarku menunjuk ke angka 5. Aku menyalakan


komputer dan kembali berselancar di dunia maya, menemukan
inspirasi dari berbagai sumber.

Seperti biasa, aku memulainya dengan menggoreskan pensil tumpul di


permukaan kertas. Membuat sketsa merupakan bagian dari proses
43
kreatif yang paling ku sukai. Coret sana, hapus sini. Sempurnakan
bagian tepi, tebalkan garis dan voila sketsa yang kuinginkan telah siap.
Ku tarik kotak putih dengan detail ornamen matahari dari kolong
tempat tidur kemudian touchfive twin marker warna abu abu, hitam
dan biru menjadi pusat perhatianku tanpa berpikir lama lagi
kuputuskan untuk mengambilnya.

Mengerjakan hal seperti ini menjadi self healing bagiku. Tak hanya
ketika sedih bahkan saat senang pun ini sangat membantu dalam
mengoptimalkan kinerja otak.

Beruntungnya, sedari kecil Ayah melatihku dan akupun terbiasa


dengan hal hal yang berbau seni.

Tok.. tok.. tok..

“Kak! Buka dong,” teriak Aurora.

“Kak Fifi nungguin di bawah,” lanjutnya.

Mendengar nama Fifi disebut, aku segera membuka pintu kamar yang
terkunci.

Klek..

“Geser dek,”

“Eh eh kakak mukanya kucel banget,” ejek Aurora.

Aku tidak memperdulikan perkataan Aurora dan tetap berlari menuruni


tangga.

“Fii,” tanpa pikir panjang ku raih tengkuknya dan ku kalungkan


lenganku disana.
44
“Assalamualaikum neng geulis,”

“Waalaikumussalam ukhti,”

Kami bertukar tawa dan tetap bertahan dengan posisi berpelukan.

“Sibuk banget kelihatannya,” ucapnya sambil menunjuk bajuku yang


ternyata penuh dengan cat.

Ku tepuk dahiku, “Oh iya,” ucapku ketika menyadari sketsa ku yang


terbengkalai.

“Ke atas yuk,” ajakku.

Fifi mengangguk dengan antusias dan kami berjalan beriringan


menaiki tangga.

“Eh gue lupa, wait Nin,” dia melepaskan rangkulan kami dan berjalan
cepat menuju teras.

Aku menyusulnya.

“Kenapa Fi?” tanyaku sebelum melangkah ke depan rumah.

Fifi dan seorang laki laki yang terlihat familiar sedang berbicara
dengan posisi sang laki laki yang berada di depan kemudi.

“Eh enggak, ini kakak sepupu gue ngeselin banget.”

“Dia ngotot pengen nungguin gue, gak tahu aja kita tuh baru ketemu
mau girls time jadi ya pasti lama kan,” teriaknya.

Samar samar kudengar suara Fifi yang belum sependapat dengan


lawan bicaranya, “Nunggu di dalam aja Kak,” ucapku berusaha
menengahi.
45
Fifi memasang wajah tidak setuju, “Yha Anin kok Lo...”

“Fine!” teriaknya final.

Fifi berjalan gontai memasuki rumah diikuti kakak—eh kok mirip


Kanaka?

“Hei,” sapa Kanaka ketika melihatku tak bergerak sedikitpun.

Ternyata dia memang Kanaka.

“Kalian kenal?” tanya Fifi bingung.

Mungkin dia bingung melihat interaksi kami berdua.

“Nin? Onii-san?” tanyanya lagi.

“Hah?” kami serempak menjawab.

Fifi membuka mulutnya dan menutupnya lagi sambil melirikku dengan


Kanaka bergantian, “Wah bahaya. Kalian udah sejauh mana?”

“Pokoknya Onii-san pulang aja deh atau kemana gitu yang penting gak
di rumah ini dan Lo Anin, kita harus bicara empat mata,” suaranya
terdengar frustasi.

Seakan diprogram untuk mematuhi perkataan Fifi, Kanaka melangkah


keluar rumah tanpa menoleh sedikitpun. Lucu deh dia seperti robot.
Malu kali ya?

Aku tertawa, “Calm down Fii, jangan overthinking deh. Aku kenal
baik kok sama Kanaka kita berapa kali jalan bareng ya jalan biasa aja,
beli buku and another stuff. Kebetulan kita nyambung satu sama lain

46
dan kamu kan tahu aku jarang punya teman yang klop. Jadi Kanaka ya
begitu.”

Penjelasan ku tidak berhasil menghilangkan gurat bingung di wajah


Fifi, “Hm iya mending kita ke atas aja, ngobrol apa gitu gak usah topik
ini ya, please?”

“Eh gak boleh, pokoknya gue nginep, Lo bebas cerita apa aja tapi yang
ini tuh paling urgent. Gue udah ketinggalan banyak hal tahu. Eh tapi
gue senang, finally neng geulis satu ini jatuh cinta juga,” ucapnya cepat
disusul tawa mengejek.

Dia ingin memelukku tapi terhalang ketika suara perut terdengar


nyaring. “Nin,”

Aku tertawa, “Gak usah dilanjut, yuk ke dapur.” Ajakku sambil


merangkulnya.

“Gue masih ingat, dapur ini hampir lenyap karena ulah kita,”

Aku tertawa kecil mengingat kejadian itu, “Aku sih yang teledor, lupa
matikan kompor jadi deh dapat ceramah dini hari dari Ibu.”

“Wah parah deh muka Lo Nin waktu itu,” lanjutnya diselingi tawa
mengejek.

“Ish wajar tau Fi, orang panik terus dapat serangan double yaitu
ceramah ibu tercinta yah gimana muka ku gak pucat. Tarik napas aja
belum, suara ibu udah melengking aja,”

“Ya kalau gue ya lebih milih diceramahi semalaman daripada


membersihkan kekacauan yang gak gue perbuat,”
47
“Ya tapi kan gara gara ngegosipin gebetan baru kamu, aku jadi lupa
matikan kompor. Awal mula permasalahan tuh dari situ,”

Fifi tertawa, “Wah iya, tuh orang emang ngeselin. Untung cakep si
doi.”

“Cowok di mata Fifi mah cakep cakep semua.”

Fifi tertawa malu malu, “Yah gak juga, tapi Lo mesti lihat yang satu
ini. Beuh sedaaap pisan gak ada lawan mah,” Ucapnya sambil
mengaduk aduk isi tasnya, “Duh mana lagi, nah ketemu. Coba sini Lo
liat mukanya. Gue ketemu dia di Jepang katanya ikut student exchange
gitu.” Ucapnya panjang lebar.

Aku memperhatikan sosok yang menghiasi layar ponsel Fifi, “Kak


Bara?”

“Lengkapnya Barachandra. Wah parah Nin Lo kenal dia juga?”

Aku menceritakan secara detail bagaimana aku tahu nama cowok di


foto itu. Fifi menyimak dengan penuh semangat ditemani sepiring
gulai kambing.

Tiba tiba dia berdiri dengan mulut yang penuh dengan makanan. “wjah
pharah nhaksir ithu nhamanya,” perkataan Fifi tidak bisa ku dengar
dengan jelas.

“Telan dulu ughtea, baru ngomong.”

Fifi terlihat kesusahan menelan, aku memberikannya segelas air putih


yang langsung diminumnya hingga tandas. “Pokoknya Lo harus datang
ke kedai es krim itu. Gue dukung Lo bareng tuh cogan.”

“Kok aku tambah bingung ya?”


48
“Bingung kenapa? Lo takut Onii-san marah apa gimana Nin?”

“Ya Allah Kanaka lagi?” tanyaku tak terima.

“Oh ada satu lagi, ternyata kak Bara semester ini pindahan resminya.
Seperti yang kamu bilang, dia ikut student exchange 2 tahun dan baru
kembali bulan Januari lalu. Menurutku gak make sense gitu kok dia
bisa tau aku ada di bumi ini bahkan alamat rumahku. Bukannya
berburuk sangka atau gimana tapi kok rada ngeri? Aku berasa gak
nyaman kalau memang dia jadi stalker.”

“Iya juga Nin,”

“Oh gue punya ide!” ungkap Fifi antuasias.

“Gimana kalau Lo fokus aja ngerjain tugas apapun itu, jadi Lo gak ke
distract sama ajakannya itu. Bawa santai aja Nin.” Lanjutnya.

Aku memikirkan usulan Fifi, “Tapi malam ini nginap ya Fi, aku ada
series baru kalau kata Kanaka mind blowing, jijik tapi menarik plus
CGI nya gak main main,”

“Ehm baru juga Bara sekarang udah Onii-san lagi nih?”

“Nin muka Lo merah,” katanya, dan dia tersenyum juga.

“Gak, coba nih lihat gambarku lucu kan?” ucapku sambil


menunjukkan hasil coretanku.

“Lo gak bakat mengalihkan pembicaraan Nin,” lanjutnya “Ya gue akui
coretan Lo udah sebelas duabelas sama Vincent Van Gogh,”

“Oma apa kabar Fi?” tanyaku lagi.

49
“Alhamdulillah udah membaik Nin, kapan kapan ke rumah yuk.” Ajak
Fifi.

“Alhamdulillah udah boleh dijenguk?”

“Iya, nanti Lo bareng Onii-san aja ke sana, soalnya gue lagi mau urus
pindahan sekolah.”

“Eh Caca itu baik banget ya, dia bantuin aku waktu kehujanan.”

Fifi bergerak menuju tempat tidur, merebahkan tubuhnya dan menatap


ke langit langit kamar, “Oh iya Caca, ya dia saudara baru gue. Ya Lo
ngerti lah gimana, anaknya emang baik,”

“Fii,” ku rentangkan kedua tangan untuk menyambutnya.

“Thanks for always be my best friend Nin,” kurasakan pundak ku yang


mulai basah.

Ku usap punggungnya perlahan, “You did well Fii.”

16 April 2014

Fifi meneleponku malam itu saat aku mengecat kuku kaki dengan
warna merah muda yang berbeda. Terdengar sangat ribut sehingga Fifi
harus berteriak, “Coba tebak!”

“Apa? Aku hampir tak bisa mendengarmu!” Aku lagi mengecat jari
kelingkingku dengan warna yang disebut peach.
50
“Tahan.” Saya bisa mendengar suara latar belakang mulai sunyi. “Bisa
dengar suara gue sekarang?”

“Ya, jauh lebih baik.”

Dia duduk di mejanya, mengenakan sweter pulau, biru muda dan hijau
muda, dan rambutnya basah.

“Itu sweater yang manis,” kataku,

Aku ingin menyampaikan berita padanya.

“Fii,”

“Nin,”

Panggil kami bersamaan.

“Duluan aja Fii,”

“Lo ada niatan gak temenin gue cari kado buat Aurora?”

“Bisa Fi, aku juga gak ngapa-ngapain di rumah. Paling acaranya udah
di handle sama Ayah.”

“Oke, gue share location yah!”

Diing..

2 pesan baru.

Ku gulirkan layar ponselku dan menemukan pesan dari Fifi dan nomor
tidak dikenal.

+628123564xxx
51
Dimana?

Aku mengabaikan pesan itu dan berpindah ke lemari memilih baju


yang pas.

Drrt.. drrt..

“Duh tanganku kepeleset,”

“Halo, ini Bara.”

...

Otakku masih mencerna apa yang terjadi. Jadi ini nomornya... Mati
aku, seharian ini aku coba menghindarinya. Kenapa jalannya jadi
seperti ini?

Baiklah.

“Hm iya kak?”

Hening beberapa saat.

“Gue di depan rumah Lo, kalau aja Lo lupa hari ini harusnya Lo ke
kedai es krim pakai kostum Halloween.” Ucapnya jelas dengan
penekanan di setiap kata.

Refleks ku buka tirai jendela dan benar saja ada seorang pengendara
motor yang parkir di depan gerbang.

“Maaf kak, aku lupa.”

Hening lagi.

“Yaudah tidur aja, udah malam. Bye.”


52
Tuuut..

18 April 2014

Hari ulang tahun Aurora ke 15

Malam ini, kami akan merayakannya dengan makan malam keluarga.


Salah satu makan malam paling dahsyat Ayah adalah ayam panggang.
Dia menyebutnya spesialisasi rumah.

Aurora akan membantunya mengoleskan mentega, potongan bawang


dan apel di dalam, taburkan beberapa bumbu unggas, dan tahan di
oven. Biasanya kentang dibuat dalam beberapa bentuk.

Malam ini aku telah menumbuk ubi jalar dan menaburkan gula coklat
dan kayu manis di atas, lalu ku letakkan di bawah broiler sehingga gula
terbakar seperti Crème Brûlée.

Aku mencoba untuk tetap sibuk, tetap senyum di wajahku, Tra-la-la,


semuanya santai. Saya sudah membariskan gelas dalam baris yang
rapi, satu taplak meja yang bagus (tidak ada noda saus, baru disetrika),
sebuah vas kecil yang saya letakkan di samping sepiring kue selai
kacang, ember es perak ibu dan ayah dengan monogram mereka,
mangkuk perak yang cocok dengan lemon dan limau.

Aurora bertanggung jawab untuk menata meja dan mengeluarkan


bumbu: saus pedas untuk ayah dan ibu, mustard untuk dirinya, selai
tomat untuk saya.

“Apakah kalian siap makan?” Ayah bertanya.

“Aku ingin mendapatkan ayam ini saat masih bagus dan juicy.” Kataku
53
“Sebentar lagi,” kata Aurora, dan beberapa saat kemudian bel rumah
berbunyi. Aurora berlari dengan gesit membuka pintu.

Dia kembali bersama Kanaka, “Welcome home Onii-san,”

Aurora terlihat begitu akrab dengan Kanaka. Aku memperhatikan ayah


dan ibu, mereka tersenyum ke arah Kanaka, “Wah siapa nih dek?
Mirip ayah waktu muda,” tanya Ayah disusul tawa bercanda.

Aurora tersenyum jahil, “Hm susah ayah kalau mau dijelaskan,


sepertinya kakak yang lebih tepat memperkenalkan Onii-san,” kedua
tangannya seolah membuat tanda kutip di samping kepalanya.

Sontak seluruh pandangan mengarah padaku. Aku menarik nafas


sebentar, “Namanya Kanaka, ayah. Tamu pesta ulang tahunnya adek,”

“Aku pamit ke belakang.” Aku menundukkan kepala tak berani


menatap siapapun itu.

Kursi di dekat kolam menarikku untuk mendekat, aku duduk disana


ditemani suara Coldplay yang masih terputar didalam sana.

“Apa yang Lo lamunkan?” Fifi menepuk dahiku dengan sendoknya


untuk mendapatkan perhatianku.

Aku menuangakan dua gula mentah ke dalam gelas plastikku dan


mengaduknya dengan sedotan. Aku minum seteguk panjang.

“Jadi sudah berapa lama lo dan Bara alias Dimi lost contacts?” Fifi
bertanya padaku. Dia memiliki tatapan meragukan di matanya, seperti
dia 90 persen percaya padaku tapi masih ada yang 10 persen yang
memiliki keraguan.

54
Aku tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu. It’s been a long time
since he leave me without saying goodbye or something like that.

Aku masih mencoba mencerna kembali pertemuan kami kemarin.

Aku berjalan memasuki kedai yang ternyata masih menjual es krim.


Hanya saja kepemilikannya sudah berpindah tangan, bukan lagi pak
Ucup dengan sarung dan peci hitam khas yang dengan cerianya
menghidangkan es krim dingin di tengah teriknya matahari.

Interiornya sudah lebih modern ditambah peralatan membuat es krim


yang lebih canggih tapi aku bisa merasakan keberadaan pak Ucup
diseberang sana.

Lamunanku buyar ketika pundakku ditepuk dari belakang.

Tanpa seizin ku dia menarik lengan kiri ku menuju meja di dekat kasir,
“Kenapa senyum senyum?” tanyanya.

“Waktu masih kecil aku sering ke sini.” Jawabku seadanya.

“Oh ya?” tanyanya penasaran mungkin ingin mendapatkan


penjelasan lebih.

Aku hanya mengangguk.

“Saya juga sering ke sini waktu masih tinggal di Yogya,”

Aku tertarik dengan pernyataan itu, “Wah berarti kita mungkin


pernah ketemu atau gimana kak? Tapi aku kok gak ingat,” ku akhiri
dengan tawa canggung.

Dia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, meletakkannya di


meja, menghadap ke arahku.
55
Sontak aku bergerak mendekat untuk melihat dengan jelas apa yang
hendak dia tunjukkan.

Foto dua orang anak yang sangat ku kenal. Si cowok yang bertubuh
gempal dan cewek berambut pendek sedang tersenyum ke arah
bidikan kamera.

Itu fotoku bersama Dimi.

Ku alihkan pandangan ke orang yang ternyata sedang menatapku


intens. “Maksudnya apa Kak?”

“Masih belum mengerti?”

Aku menggeleng, “Ini foto ku sama temanku, kak Bara dapat


darimana?”

“Nama temanmu siapa?” dia bertanya dengan senyum tipis.

“Dimi.” Ucapku.

“Kalau gitu perkenalkan namaku Dimitrio Barachandra,”

Hening.

Di pikiranku tidak pernah ada skenario seperti ini. Pernah sekali, aku
berangan angan seperti apa rasanya jika aku dan Dimi kembali
bertemu. Di benakku Anin yang satu itu pasti akan langsung
memeluknya erat dan akan memaki makinya dengan cara yang jahat
sama seperti bagaimana dia pergi.

Tapi Anin yang dihadapannya tidak memiliki keberanian sebesar itu.


Dia hanya menundukkan kepala, memilin jari jarinya, mencoba
menetralkan perasaannya yang campur aduk.
56
“Maaf,”

Kata itu tidak pernah ingin kudengar keluar dari mulut seorang
Dimitrio Barachandra.

Aku menyesali diriku yang begitu bodohnya tidak menyadari hal aneh
ini. Dia memang banyak berubah tapi seharusnya jika aku memang
temannya harusnya aku bisa mengenalnya lebih baik dari orang lain.

“Untuk apa?” aku tidak yakin dia bisa mendengarnya.

Hening lagi.

“Anindya,”

Aku tidak bisa berkata apa apa. Aku butuh Fifi atau siapapun itu. Aku
ingin pergi dari sini.

“Maaf kak setahu saya teman saya itu udah pindah ke Bali dan gak
mungkin kembali lagi,”

Aku bisa melihat raut wajah sedihnya tapi kuabaikan hal itu dan
bergerak cepat meninggalkan tempat ini.

“But i’m here with all my regrets. Maaf karena pergi mendadak tapi
Anin kamu harus tahu sometimes, some things better left
unexplained.”

Langkah ku terhenti.

Sungguh sebenarnya aku sudah ingin menangis atau apapun itu yang
bisa mengeluarkan rasa sesak yang tiba tiba memenuhi ruang di
dadaku, tetapi aku mencoba untuk menahan itu.

57
“Mungkin pertanyaan di kepala kamu bisa terjawab kalau aku antar
kamu ke suatu tempat.”

Aku mengikuti perintahnya karena jujur terlalu banyak pertanyaan


yang menggantung di benakku.

Kami meninggalkan kawasan ini menuju suatu tempat yang hanya


diketahui oleh Dimi.

Tidak ada yang bersuara diantara kami dan aku tidak nyaman dengan
keheningan ini. Makanya aku memilih untuk mengeluarkan iPod dan
memasang earphones ke telingaku sambil membuka jendela mobil dan
melihat ke arah jalan.

Lampu merah. Tapi bukan itu yang membuyarkan lamunanku,


melainkan earphones yang dilepas paksa dan iPod ku yang
sebelumnya berada di atas paha sekarang dihubungkan ke music
player.

“Aku juga mau dengar,” ujarnya tanpa melihatku sama sekali dan
tetap fokus dengan jalanan di depannya.

Aku tidak menjawab dan memilih menyandarkan kepala di jok mobil


sambil menikmati lagu yang ribuan kali telah ku dengar, menikmati
angin yang masuk ke dalam mobil dan menikmati jalanan yang
ternyata telah dilalui beberapa jam lalu.

Sama seperti lagu yang setidaknya sudah 5 kali terputar di music


player mobilnya. Mungkin dia baru menyadari dan mengatakan,
“Ternyata cuma ada satu lagu,”

Aku tersenyum tipis tanpa menoleh ke arahnya.

“Kalau bosan ganti aja,”


58
“Ga bosan, kamu suka sama lagunya,”

Dia begitu mengenalku.

Aku menarik nafas dalam-dalam untuk menghilangkan sesak di dalam


sana.

“Ayah sama Ibu sehat Nin?”

“Alhamdulillah,”

Tolong jangan bertanya lebih jauh lagi.

“Punya pacar?”

Aku menggelengkan kepala.

“Masih suka one direction?”

Dia tahu bagaimana cara untuk menarik perhatianku.

“Hm,” ku jawab dengan singkat. Aku tidak boleh terpengaruh.

“Kemarin waktu student exchange aku lewat di toko merchandise


mereka and i don’t know aku asal aja beli kaos.” dia melirikku
sebentar kemudian kembali fokus ke jalanan di depannya.

“Taunya itu kaos cewek, langsung aja Mama bilang hadiahkan saja
buat Anin.”

Ada perasaan hangat ketika mengetahui Mama Dayu masih


mengingatku.

“Mama apa kabar?”

59
“Pertanyaan kamu akan terjawab sebentar lagi.” ucapnya disusul
senyum yang terlihat dipaksakan.

Mobil ini membawa kami masuk di pelataran rumah bergaya


minimalis dengan tanaman segar yang menghidupkan rumah ini.

Dimi mengajakku untuk memasuki pintu rumah bercat putih gading itu
setelah mengetuknya dan dibuka oleh seorang wanita paruh baya
yang dipanggil Nini oleh Dimi.

Mengikuti lelaki itu masuk dan ketika kami sampai di ruang tamu
suara seorang wanita yang menyambut kami dari dapur.

“Anin?”

Aku masih berdiri kaku ketika melihat mama Dayu bergerak


mendekatiku. “Ya Allah beneran Anin. Sayang, kamu tambah cantik
saja.” Tak merasa risih ku kalungkan tanganku di pinggangnya.

“Anin aja yang disambut Ma?” akhirnya Dimi bersuara.

“Oh iya, tolong Dimi ambilkan bolu kukus di dapur. Pasti Anin lapar
kan? Masih suka ga ya kira kira sama bolu kukus buatan Mama
Dayu?”

“Anin belum ketemu sama bolu kukus enak selain buatan Mama
Dayu,” ungkapku terus terang disusul tawa yang begitu ku rindukan.

Berbicara dengan Mama Dayu membuat perasaanku membaik. Tak


ada lagi sesak yang mengurung diriku.

“Mama Dayu apa kabar?” tanyaku ditengah pelukan hangat kami


berdua.

60
“Seperti yang Anin lihat, Mama masih energik bahkan ikut klub
zumba.”

“Kalau gitu Anin kalah dong,”

Kami berdua tertawa.

“Silahkan bolu kukus nya gratis buat Anin yang manis,”

Aku bertukar pandang dengan Mama Dayu dan kompak kami tertawa
mendengar perkataan Dimi.

“Ugh, too cheesy,”

Lelaki itu menengadahkan wajahnya ke langit langit, entah malu atau


menyesali kalimat singkatnya tadi.

Mereka merangkul ku hangat dan menggiringku menaiki tangga. Hari


itu kami habiskan dengan berbahagia, melepas rindu, menceritakan
hal yang terlewatkan, memaafkan yang terjadi, kebahagiaan akan
datang pada waktunya, segalanya hanya menanti kata tepat dan itu
memiliki masa batasan waktu.

Hang on there, mungkin kebahagiaan ada satu langkah didepanmu.


Jika kamu memilih untuk mundur, mungkin kamu akan kesulitan
mendapatkan kembali waktu yang tepat, wait a little more and be
happy!

end.

61

Anda mungkin juga menyukai